Anda di halaman 1dari 24

TRADISI TAHLILAN DALAM ISLAM

MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam
Yang Dibimbing Oleh Ibu Vita Fitria, M.pd

Disusun Oleh :
1.
2.
3.
4.
5.

Siti Nur Hasanah


Taufik Nur Rahmadi
Ratna Sari
Tri Handayani
Listina Widiastuti

(12312241011)
(12312241014)
(12312241011)
(12312241011)
(12312241009)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul

Tradisi Tahlilan Dalam Islam dengan lancar. Penulisan makalah ini bertujuan
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
Dalam penulisan makalah ini penulis banyak mendapatkan arahan,
bimbingan, dan saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis
mengucakpakn terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Vita Fitria, M. Pd
selaku dosen pembimbing mata kuliah Pendidikan Agama Islam dan semua
pihak yang telah membantu penulisan makalah ini yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu.
Makalah ini ditulis berdasarkan hasil penyusunan data-data sekunder dan
informasi yang penulis peroleh dari media massa (cetak maupun elektronik )
yang berhubungan dengan tradisi Tahlilan di masyrakat. Makalah yang ditulis
dengan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan ini, tentu tidak luput dari
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, oleh karena ituselalu terbuka bagi
adanya kritik dan saran serta penyempurnaan. Namun demikian penulis akan
terus mencoba dan berusaha agar pada waktu yang akan datang dapat lebih
menyempurnakan pengetahuan penulis di bidang ilmu agama.
Semoga dengan makalah yang sederhana ini dapat memberikan
tambahan ilmu bagi para pembaca umumnya dan bagi penulis khususnya.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kitik dan saran yang membangun dari semua
pihak demi perbaikan makalah selanjutnya. Terima kasih.

Yogyakarta, 07 November 2012

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Manusia merupakan makhluk yang paling sempurna di antara
makhluk-makhluk yang lain. Hal ini dikarenakan Allah memberikan akal
kepada manusia, dengan akal tersebut manusia dituntut untuk
memikirkan segala sesuatu, baik yang berkaitan dengan agama, sesuatu,
hablum minannas maupun hablum minallah.
Setiap yang bernyawa akan mengalami ajal atau kematian, ajal
manusia sudah menjadi ketentuan, bila sudah waktunya meninggal
dunia,maka kita harus bersikap sabar atas keluarga yang meninggal. Ada
sebuah wacana yang mengatakan bahwa mayit disiksa karena ratapan
keluarganya. Dan bila seseorang sampai meneteskan air mata, bila
keluarganya meninggal dunia,maka hal tersebut sudah biasa sebagai rasa
duka, yang penting tidak sampai menangis keterlaluan.
Bila salah satu dari keluarga (famili) meninggal, maka kita harus
tetap bertaqwa kepada-Nya dan bersikap sabar atas musibah tersebut dan
kita berusaha jangan sampai berputus asa, menggerutu dan bahkan
sampai marah-marah, karena semua itu kejadian yang pasti dan bila
sudah waktunya maka tidak ada seorangpun yang bisa mengelaknya.
Maka atas dasar tersebut, dalam menghadapi orang dan keluarga
atau teman yang meninggal janganlah bersikap kurang baik melainkan
kita harus mendoakan baik secara perorangan ataupun secara bersamasama. Beberapa keluarga mayit biasanya mengadakan tahlilan bersama
warga sekitar dan sanak saudara yang lain untuk mendoakan si mayit.
Namun ternyata ada sebagian golongan yang melarang pengadaan
tahlilan dengan alasan tertentu. Bahkan ada yang mengatakan bahwa
tahlilan merupakan Bidah yang tidak ada tuntunannya. Hal ini cukup
menjadi perdebatan di kalangan masyarakat tentang bagaimana
sebenarnya hukum tahlilan yang sudah menjadi tradisi dalam
masyarakat.

Untuk mengetahui lebih banyak tentang tahlilan serta bagaimana


hukum melaksanakannya, maka penulis menulis makalah dengan judul
Tradisi Tahlilan dalam Islam.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan
masalahnya adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana definisi tentang tahlilan ?
2. Bagaimana asal-usul tradisi tahlilan ?
3. Bagaimana bacaan-bacaan doa tahlilan ?
4. Bagaimana pendapat beberapa ulama tentang pelaksanaan tahlilan ?
5. Bagaimana hukum melaksanakan tahlilan ?
6. Bagaimana menanggapi perbedaan pendapat yang ada pada saat ini
tentang hukum melaksanakan tahlilan agar tidak menimbulkan
konflik antar umat Islam yang berselisih paham ?
C. TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Menjelaskan definisi tentang tahlilan
2. Menjelaskan asal-usul tradisi tahlilan
3. Menunjukkan dan menjelaskan bacaan-bacaan doa tahlilan
4. Menjelaskan pendapat beberapa ulama tentang pelaksanaan tahlilan
5. Menjelaskan hukum melaksanakan tahlilan
6. Menjelaskan cara menanggapi perbedaan pendapat yang ada pada
saat

ini

tentang

hukum

melaksanakan

tahlilan

agar

tidak

menimbulkan konflik antar umat Islam yang berselisih paham.

BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI TENTANG TAHLILAN


Secara lughah tahlilan berakar dari kata berbahasa arab yakni hallala
) artinya adalah membaca/mengucap
( )yuhallilu ( ) tahlilan (
kalimat "Laa ila ha illallah"

makna inilah yang dimaksud dengan


4

pengertian tahlilan. Dikatakan sebagai tahlil, karena memang dalam


pelaksanaanya lebih banyak membaca kalimat-kalimat tahlil yang
mengesakan Allah seperti bacaan tahlil (Laa ila ha illallah) dan lain
sebagainya sesuai dengan tradisi masyarakat setempat atau pemahaman dari
guru (syekh) suatu daerah tertentu. Pada pelaksanaan tahlilan selain bacaan
tahlil (Laa ila ha illallah) ada juga bacaan tasbih (Subhanallah), tahmid
(Alhamdulillah), takbir (Allahu akbar), sholawat (Allahumma sholli ala
syaidina Muhammad), serta beberapa ayat Al-Qur'an seperti QS. Yaasin,
QS. Al-Baqarah : 1-5, 163, 255, 284-286, dan lain sebagainya yang bagi
umat muslim dianggap memiliki fadhilah dan syafaat.
Sebagian muslim sering mengamalkanya dalam segala macam acara,
bahkan dalam resepsi (sebelum atau sesudah akad nikah) tidak
meninggalkan amalan tahlilan ini. Dengan kata lain, dalam tahlilan
menggunakan bacaan-bacaan (doa) tetentu yang mengandung banyak
keutamaan (fadhilah). Fenomena yang terlihat di masyrakat, penyebutan
kata tahlilan umumnya dipakai untuk persembahan yang dikelompokan
menurut jenis, maksud,dan suasananya. Ketika dipakai untuk peristiwa
gembira (kemenangan) tahlilan disebut sebagai syukuran, ketika dipakai
untuk peristiwa sedih (kematian), ketika dipakai untuk meminta
perlindungan (pindah rumah, menempati kantor/rumah baru, awal
membuka usaha dll.) disebut selamatan, dan ketika dipakai untuk meminta
sesuatu (menghasratkan sesuatau) disebut hajatan. Selain itu tahlilan juga
dilaksanakan pada acara-acara tertentu seperti saat seseorang akan pergi
jauh dan dalam waktu yang cukup lama (pergi haji, merantau belajar, atau
bekerja diluar negeri), acara pertemuan keluarga seperti arisan keluarga
maupun halal- bihalal, dan khitanan.
Tradisi tahlilan dalam masyrakat Jawa juga sering disebut dengan
kata sedekah (sedekahan, karena dalam setiap kegiatannya diangggap selalu
memberikan sedekah (pemberian) baik bagi mereka yang datang
berkunjung atau bagi pemilik hajat. Jadi masing-masing saling bersedekah
(memberi) dalam bentuk barang atau pun berupa dukungan moral yang

sangat mereka harapkan. Dukungan moral diantara mereka secara


psikologis dapat saling memberi motivasi. Dalam kenyataan istilah
syukuran, hajatan dan sedekah sulit dibedakan, mereka lebih sering
menggunakan kata tahlilan.
Berdasarkan beberapa pengertian tentang tahlilan tersebut, tahlilan
sebagai syukuran, hajatan, selamatan, tahlilan dalam arisan maupun dalam
acara keluarga lainnya tidak menjadi masalah yang diperdebatkan sebagian
golongan. Akan tetapi tahlilan dalam rangka memeringati kematian
seseoranglah

yang

saat

ini

banyak

menjadi

perbincangan

yang

diperdebatkan sebagian golongan. Tahlilan dalam konteks memeringati


kematian seseorang inilah yang akan penulis bahas lebih lanjut.
B. ASAL-USUL TRADISI TAHLILAN
Upacara atau ritual tradisional dengan beragam jenisnya di negeri kita,
tentu punya kajian hukum tersendiri. Sebagian ada yang

dipandang oleh

para ulama sebagai hal yang sejalan dengan aqidah dan syariah, sebagian
lainnya memang tidak bisa diterima. Terdapat begitu banyak budaya yang
berakar kepada syirik dan penyembahan kepada yang selain Allah. Misalnya
budaya meramal kedukun, memberi sesaji kepada jin dan roh penunggu
tempat keramat, atau menghadirkan roh dan makhluk halus, percaya kepada
nasib naas, horoskop, dan wangsit. Termasuk di dalamnya mempelajari ilmu
kebal, ilmu santet, ilmu sihir, ilmu teluh, jelangkung dan tuyul. Semua itu
jelas tidak akan bisa dijadikan dasar hukum karena pada hakikatnya justru
tradisi itu yang ingin dihilangkan dari aqidah bangsa ini.
Selain terkait dengan syirik, terkadang ada juga budaya yang secara
radikal memang bertabrakan dengan garis-garis syariah Islam. Misalnya
tradisi bermabuk-mabukan, gonta ganti pasangan, membuka aurat dalam
berpakaian, membagi waris dengan tradisi yang berbeda dengan hukum
Islam,

berjudi,

nyawer,

sabung

ayam

dan

seterusnya.

Salah satu acara tradisional yang berkembang dalam masyarakat adalah


tahlilan. Tahlil pada mulanya ditradisikan oleh Wali Sanga. Keberhasilan
dawah Wali Sanga ini tidak lepas dari cara dakwahnya yang

mengedepankan metode kultural atau budaya. Wali Sanga mengajarkan


nilai-nilai Islam secara luwes mereka tidak secara frontal menentang tradisi
hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat, namun membiarkan tradisi
itu berjalan hanya saja isinya diganti dengan nilai-nilai islam, tradisi dulu
bila ada orang mati maka sanak famili dan tetangga berkumpul dirumah
duka yang dilakukan bukannya mendoakan si mayat malah bergadang
dengan bermain judi atau mabuk-mabukan.
Wali Sanga tidak serta merta membubarkan tradisi tersebut,
masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun acaranya diganti dengan
mendoakan pada mayit, jadi tahlil dengan pengertian diatas sebelum Wali
Sanga tidak dikenal. Kalau membuka catatan sejarah Islam, maka acara
ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalAllahualaihiwasallam,
di masa para sahabatnya dan para Tabiin maupun Tabiuttabiin. Bahkan acara
tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al
Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafii, Ahmad, dan ulama lainnya yang
semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka.
Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca:
selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama
Hindu dan Budha.

Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan

mendoakan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan


pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara
praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu
dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan doa-doa ala agama lain dengan
bacaan dari Al Quran, maupun dzikir-dzikir dan doa-doa ala Islam menurut
mereka.
Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara
tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran)
dengan agama lain.
Acara tahlilan ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses
penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian

terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan


kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut
diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang berbeda
antara satu tempat dengan tempat lainnya.
Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan
pada tiap kali acara diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya
selalu variatif, tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut. Namun pada
dasarnya menu hidangan "lebih dari sekedarnya" cenderung mirip menu
hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta
kecil-kecilan, memang demikianlah kenyataannya.
Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan,
hingga tanpa disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada
yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat
dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara
tersebut telah membangun opini muatan hukumya itu sunnah

(baca:

"wajib") untuk dikerjakan dan sebaliknya, bidah (hal yang baru dan ajaib)
apabila ditinggalkan.
Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan
kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu
mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan
kepada Al Quran dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang
sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman
kepada Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah
subhanahu wataala telah berfirman (artinya): "Maka jika kalian berselisih
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran)
dan ArRasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik
akibatnya." (AnNisaa: 59)

C. PENDAPAT

BEBERAPA

ULAMA

TENTANG

PELAKSANAAN

TAHLILAN
Berikut ini merupakan cuplikan beberapa pendapat ulama mengenai
pelaksanaan tahlilan:
1. Imam SyafiI
Aku benci Al MATAM yaitu berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit
meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu
2.

akan memperbaharui kesedihan . (Al-Umm, Juz 1, hal 248)


Imam Nawawi
Adapun bacaan Al-Quran dan mengirimkan pahalanya untuk mayit
dan menggantikan shalatnya mayit tersebut. Menrut Imam SyafiI dan
Jumhur Ulama mengatakan tidak dapat sampai kepada simayit yang
dikirimkan dan keterangan seperti ini telah diulang-ulang oleh Imam
Nawawi

didalam

kitabnya

Syarah

Muslim.

(As

Subuki,

TAKMILATUL MAJMU, syarah MUHADZAB, Juz X, hal. 426)


3. Al-Haitami
Mayit tidak boleh dibacakan apa pun, berdasarkan keterangan yang
mutlak dari para Ulama Mutaqaddimin (terdahulu), bahwa bacaan
(yang pahalanya dikirimkan kepada simayit) adalah tidak sampai
kepadanya, sebab pahala bacaan itu adalah untuk pembacanya saja.
Sedangkan pahala hasil amalan tidak dapat dipindahkan ari amil (yang
mengamalkan) pernuatan itu, berdasarkan firman Allah Dan manusia
tidak memperoleh, kecuali dari pahala hasil usahanya sendiri. (AlHaitami, Al-Fatwa Wa Al Kubra Al Fighiyah, Juz II, hal.9).
4. Imam Al Khazin
Dan yang masyhur dalam madzhab SyafiI, bahwa bacaan Al-Quran
(yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak dapat sampai
5.

kepada mayit yang dikirimi. (Al Khazin, Al-Jamal, Juz IV, hal.236)
Ibnu Katsir
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya.(An-Najm :39), Imam SyafiI r.a dan ulamaulama yang mengikitinya mengambil kesimpulan, bahwa pahala bacaan
yang pahalanya dikirimkan kepada simayit adalah tidak dapat sampai,
karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rosulullah
9

SAW tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkan


(pengiriman pahala bacaan). Dan tidak pernah memberikan bimbingan,
baik dengan nash maupun isyarat, dan tidak ada seorang sahabatpun
yang tidak pernah mengamalkan hal tersebut, kalau toh amalan
semacam itu baik , tentu mereka lebih dulu mengerjakannya, padahal
amalan qurban (mendekatkan diri kepada Allah ) hanya terbatas yang
ada nash-nashnya (dalam Al-Quran dan Sunnah Rosulullah SAW) dan
tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat.
(Tafsir Ibnu Katsir IV:258)
Analisis Firman Allah:
Dan bahwasanya seseorang tidak akan mendapatkan sesuatu selain
apa yang telah diusahakan
1. Tafsir Ibnu Katsir IV: 258
(maksudnya) ialah bagaimana seseorang tidak akan dibebani dengan
dosa (orang) lain, demikian ia tidak dapat memperoleh pahala selain
dari apa yang telah iya upayakan untuk dirinya. Imam SyafiI r.a dan
ulama-ulama yang mengikitinya mengambil kesimpulan, bahwa
pahala bacaan yang pahalanya dikirimkan kepada simayit adalah
tidak dapat sampai, karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh
karena itu Rosulullah SAW tidak pernah menganjurkan umatnya
untuk mengamalkan (pengiriman pahala bacaan). Dan tidak pernah
memnerikan bimbingan, baik dengan nash maupun isyarat, dan tidak
ada seorang sahabatpun yang tidak pernah mengamalkan hal
tersebut, kalau toh amalan semacam itu baik , tentu mereka lebih
dulu mengerjakannya.
2. Tafsir Al-Maraghi XXVII:66)
Adapun madzhab Ahmad bin Hanbal dan segolongan para ulama
(menyatakan) bahwa bacaan Al-Quran akan sampai (pahalanya)
kepada yang telah mati, apa bila bacaan itu dilakukan dengan tidak
mengambil upah. Adapun apabila mengambil bayaran atau upah
sebagaimana dilakukan orang-orang dewasa ini, ialah dengan
member bayaran/ upah kepada pembaca Al-Quran diatas kuburan

10

dan yang lainnya, maka hal seperti itu tidak akan sampai kepada
3.

yang telah mati.


Sarah Shahih Muslim
Adapun Al-Quran pendapat yang masyhur dari madzhab SyafiI
tidak sampai pahalanya kepada yang telah mati, sementara
sebagian pengikut Imam SyafiI berpendapat bahwa pahala bacaan

itu sampai kepada orang yang telah mati.


4. Adzkar An-Nawawi
Para ulama berselisih pendapat dalam hal sampai dan tidaknya
pahala bacaan Al-Quran, maka pendapat yang masyhur dari
madzhab Imam SyafiI serta golongan para ulama bahwasanya
pahala bacaan Al-Quran itu tidak akan sampai kepada orang yang
telah mati.
(AL HIDAYAH, Bab Menghadiyahkan Pahala Bacaan Al-Quran
Kepada Orang Yang Telah Mati hal.784, A.Zakariya)

Analisa Kitab
1. Ianatut Thalibin
ya, apa yang dikerjakan orang, yaitu berkumpul dirumah
keluarga mayit dan dihidangkannya makanan untuk itu, adalah
termasuk BIDAH Munkarat (bidah yang diingkari agama).
Yang bagi memberantasnya akan diberi pahala. (Ianatut
Thalibin, Sarah Fathul Muin, Juz 2 hal. 145)
Dan apa yang dibiasakan orang tentang hidangan makanan oleh
keluarga mayit untuk dihidangkan para undangan. Adalah
BIDAH yang tidak disukai dalam agama. Sebagaimana
berkumpul dirumah simayit itu sendiri. Karena ada hadits shahih
yang diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah Al Bajalii Kami
( yakni para Shahabat semuanya ) memandang/menganggap
( yakni menurut madzhab kami para Shahabat ) bahwa
berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan
makanan adalah sama dengan hokum Niyahah (meratapi mayit)

11

yakni haram. (Ianatut Thalibin, Sarah Fathul Muin, Juz 2 hal.


146)
Dan tidak disukai menyediakan makana pada hari pertama
kematian. Hari ketiga, sesudah seminggu, dan juga memindahkan
makanan ke luburan secara musiman seperti haul. (Ianatut
Thalibin, Sarah Fathul Muin, Juz 2 hal. 146)
Dan diantara bidah yang munkarat yang tidak disukai ialah apa
yang biasa dikerjakan orang tentang cara penyampaian rasa duka
cita, berkumpul dan acara hari keempat puluh, bahkan semua itu
adalah haram. (Ianatut Thalibin, Sarah Fathul Muin, Juz 2 hal.
145-146)
Dan tidak ada keraguan sedikitpun, bahwa mencegah umat dari
bidah munkarat ini adalah menghidupkan Sunnah Nabi SAW ,
mematikan BIDAH, membuka seluas-luasnya pintu kebaikan
dan menutup serapat-rapatnya pintu-pintu keburukan, karena
orang-orang memaksa-maksa diri mereka berbuat hal-hal yang
akan membawa kepada hal yang diharamkan. (Ianatut Thalibin,
Sarah Fathul Muin, Juz 2 hal. 145-146)
2. Al-Umm
Aku benci Al MATAM yaitu berkumpul-kumpul dirumah ahli
mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang
demikian itu akan memperbaharui kesedihan . (Al-Umm, Juz 1,
3.

hal 248)
Mughnil Muhtaj
Adapun menyediakan hidangan makanan oleh keluarga mayit dan
berkumpulnya orang-orang banyak disitu, adalah BIDAH, yang
tidak disunatkan, dan didalam hal ini Imam Ahmad bin Ibnu
Majah meriwayatkan dengan sanad yang sah dari Jarir bin
Abdullah Al Bajalii Kami ( yakni para Shahabat semuanya )
memandang/menganggap ( yakni menurut madzhab kami para
Shahabat ) bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan
membuatkan makanan adalah sama dengan hokum Niyahah
(meratapi mayit) yakni haram. (Mughnil Muhtaj, Jus 1, hal 268)

12

4.

Hasyiyatul Qalyubi
Syekh Ar Romli berkata diantara bidah yang munkarat yang
tidak dibenarkan agama, yang tidak disukai dikerjakan, yaitu
sebagaimana yang diterngangkan dalam kitab Ar Raudlah, yaitu
apa yang dikerjakan orang, yang disebut kifarah, dan hidangan
makanan untuk acara berkumpul dirumah keluarga mayit. Baik
senelum maupun sesudah kematian, dan juga penyembelihan

dikuburan. (Hasyiyatul Qalyubi, Juz 1, hal 353)


5. Al-Majmu Sarah Muhadzab
Adapun menyediakan hidangan makanan oleh keluarga mayit dan
berkumpulnya orang-orang banyak disitu, adalah BIDAH yang
tidak disunatkan. (Al-Majmu Sarah Muhadzab, Juz 5, hal.286
6. Al Fiqhu Alal Madzahibil Arbaah
Dan diantara BIDAH yang tidak disukai agama ialah, apa yang
dikerjakan orang tentang menolong binatang-binatang ketika
mayit dikeluarkandari tempat bersemayamnya, atau dikuburan,
dan juga menghidangkan makanan yang diperuntukkna bagi
orang-orang yang taziah (menjenguk yang meninggal). (Al
Fiqhu Alal Madzahibil Arbaah, Juz 1, hal 539)
(TAHLILAN dan SELAMATAN: Menurut Madzhab Syafii)
Dari awal sampai saat ini sudah teramat sangat jelas apa itu
TAHLILAN/ MATAM dari sudut pandang Syariah (Al-Quran
dan As-Sunah), Qaul Ulama, Kitab-kitab dan lain sebagainya,
akan tetapi kenapa lagi-lagi masih banyak disekitar kita yang
melakukan hal BODOH seperti itu, apakah para asatidz yang
pura-pura tidak tahu ? ? ? tidak ingin tahu ? ? ? takut kehilangan
BESEK (Berkat, Imbalan sehabis TAHLILAN/ MATAM), dan
biasanya hal ini identik dengan kegiatan orang-orang NU, afwan
ane pribadi miris ketika orang-orang diluar sana mencap NU
sebagai Ahlul Bidah, ana miris karena ini semua perbuatan
masyarakat BODOH yang TAQLID dan FANATIK yang
mengaku-ngaku Nahdiyin akan tetapi ia tidak tau menau apa-apa
13

(BODOH),

majalah

NU

Al-Mawaid

menentang

keras

TAHLILAN/ MATAM bahkan didalam majalah yang tebit pada


tahun 1930an itu mengutip bahwasanya Imam Ahmad bin
Hanbal mengatakan TAHLILAN/ MATAM min AFALIL
JAHILIYAH (PERBUATAN ORANG JAHILIYAH) dan menurut
sejarah itu berasal dari agama BUDHA, naudzubillahhi min
dzalik.
K.H Wahab Muhsin dan K.H Muhammad Syihabuddin Muhsin
rohimahullah beserta para asatidz NU lainnya berjuang
memerangi TAHLILAN/ MATAM 17 tahun lamanya didaerah
Suka Rame, Suka Rapih, Singaparna, Tasikmalaya. Ini harus kita
jadikan contoh terutama bagi orang-orang yang mengaku
Ahlussunah. karena NU bukan perkumpulan orang yang CINTA
BIDAH, TAQLID BUTA dan FANATIK akan tetapi tajdid yang
senantiasa berpegang kepada Al-Quran dan As-Sunah Shahihah.
Yaa Allah bukakan lah pintu hidayahMu dan bimbinglah kami
kedalam jalan yang Engkau ridhoi
D. HUKUM MELAKSANAKAN TAHLILAN
Akhir-akhir ini kita sering mendengar kegiatan tahlil bersama,
sehubungan dengan perginya orang penting di negara ini.
Kegiatan tahlilan marak dilakukan oleh sebagian orang yang ingin
mendoakan agar amal ibadah yang bersangkutan diterima oleh Allah
Subhanahu wa taala.
Dalam sebuah kitab kecil, selamatan kematian atau yang biasa kita sebut
tahlilan dibahas secara singkat dan padat, khususnya dari pandangan imam
Syafii sendiri. Tujuannya adalah untuk meluruskan pemahaman yang keliru
dari kegiatan ini.
Ternyata kegiatan tahlilan ini dari sejak jaman sahabat dianggap sebagai
kegiatan meratap yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Dari Jabir bin Abdillah Al Bajaliy, ia berkata:Kami (yakni para Sahabat
semuanya) memandang/menganggap (yakni menurut mazhab kami para
14

Sahabat) bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan


makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap.
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah (no 1612) dengan derajat
yang shahih.
Dan an niyahah/ meratap ini adalah perbuatan jahiliyyah yang dilarang
oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam;
Diriwayatkan dalam sahih Muslim dari Abu Hurairah radiyallahu anhu.
bahawa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:
Ada dua perkara yang masih dilakukan oleh manusia, yang kedua
duanya merupakan bentuk kekufuran: mencela keturunan, dan meratapi
orang mati.

Pandangan Imam Syafii


Didalam kitab al Umm (I/318), telah berkata imam Syafii berkaitan
dengan hal ini;
Aku benci al matam, yaitu berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit
meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan
memperbahrui kesedihan.
Jadi, imam Syafii sendiri tidak suka dengan kegiatan tahlilan yang dilakukan
sebagaimana yang banyak dilakukan oleh ummat Islam sendiri.
Membaca Al Quran untuk orang mati (menurut Imam Syafii)
Dalam Al Quran, di surat An Najm ayat 38 dan 39 disebutkan disana;
[53.38] (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa
orang lain,
[53.39] dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya.
Berkaitan dengan hal ini maka Al Hafidh Ibnu Katsir menafsirkannya
sebagai berikut;
15

Yaitu, sebagaimana seseorang tidak akan memikul dosa orang lain,


demikian juga seseorang tidak akan memperoleh ganjaran/pahala kecuali
apa-apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri.
Dan dari ayat yang mulia ini, al Imam Asy Syafii bersama para ulama yang
mengikutinya telah mengeluarkan suatu hukum: Bahwa Al Quran tidak
akan sampai hadiah pahalanya kepada orang yang telah mati.
Karena bacaan tersebut bukan dari amal dan usaha mereka. Oleh karena itu
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tidak pernah mensyariatkan umatnya
(untuk menghadiahkan bacaan Quran kepada orang yang telah mati) dan
tidak juga pernah menggemarkannya atau memberikan petunjuk kepada
mereka dengan baik dengan nash (dalil yang tegas dan terang) dan tidak juga
dengan isyarat (sampai-sampai dalil isyarat pun tidak ada).
Dan tidak pernah dinukil dari seorang pun Sahabat (bahwa mereka pernah
mengirim bacaan Al Quran kepada orang yang telah mati).
Kalau sekiranya perbuatan itu baik, tentu para Sahabat telah mendahului
kita mengamalkannya.
Dan dalam masalah peribadatan hanya terbatas kepada dalil tidak boleh
dipalingkan dengan bermacam qiyas dan rayu (pikiran).
Jadi, dari keterangan ibnu Katsir ini jelas bahwa perbuatan membaca Al
Quran dengan tujuan pahalanya disampaikan kepada si mayit tidak akan
sampai, dan demikianlah pandangan ulama besar yang dianut oleh
sebahagian besar kaum muslimin di negeri ini.
reposting

http://thetrueideas.multiply.com/journal/item/1059

TAHLILAN (SELAMATAN KEMATIAN ) ADALAH BIDAH MUNKAR


DENGAN IJMA PARA SHAHABAT DAN SELURUH ULAMA ISLAM
Oleh Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

( : ) :

) (
"Dari Jarir bin Abdullah Al Bajaliy, ia berkata : " Kami (yakni para shahabat
semuanya) memandang/menganggap (yakni menurut madzhab kami para

16

shahabat) bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan


makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap"
TAKHRIJ HADITS:
Hadits ini atau atsar di atas dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah (No. 1612
dan ini adalah lafadznya) dan Imam Ahmad di musnadnya (2/204 dan
riwayat yang kedua bersama tambahannya keduanya adalah dari riwayat
beliau), dari jalan Ismail bin Abi Khalid dari Qais bin Abi Hazim dari Jarir
sebagaimana tersebut di atas. Saya berkata : Sanad Hadits ini shahih dan
rawi-rawinya semuanya tsiqat (dapat dipercaya) atas syarat Bukhari dan
Muslim.
Dan hadits atau atsar ini telah dishahihkan oleh jamaah para Ulama yakni
para Ulama Islam telah ijma/sepakat tentang hadits atau atsar di atas dalam
beberapa hal.
Pertama : Mereka ijma' atas keshahihan hadits tersebut dan tidak ada
seorang pun Ulama -sepanjang yang diketahui penulis- wallahu alam yang
mendloifkan hadits ini. Dan ini disebabkan seluruh rawi yang ada di sanad
hadits ini sebagaimana saya katakan dimuka- tsiqoh dan termasuk rawirawi yang dipakai oleh Imam Bukhari dan Muslim.
Kedua : Mereka ijma' dalam menerima hadits atau atsar dari ijma' para
shahabat yang diterangkan oleh Jarir bin Abdullah. Yakni tidak ada
seorangpun Ulama yang menolak atsar ini. Yang saya maksud dengan
penerimaan (qobul) para Ulama ini ialah mereka menetapkan adanya ijma
para shahabat dalam masalah ini dan tidak ada seorangpun di antara mereka
yang menyalahinya.
Ketiga : Mereka ijma' dalam mengamalkan hadits atau atsar diatas. Mereka
dari zaman shahabat sampai zaman kita sekarang ini senantiasa melarang
dan mengharamkan apa yang telah di ijma'kan oleh para shahabat yaitu
berkumpul-kumpul ditempat atau rumah ahli mayit yang biasa kita kenal di
negeri kita ini dengan nama " Selamatan Kematian atau Tahlilan".
LUGHOTUL HADITS:
1.

/ =
Kami
memandang/menganggap.
Maknanya : Menurut madzhab kami para shahabat semuanya bahwa

17

berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit dan membuatkan makanan


termasuk dari bagian meratap.
Ini menunjukkan telah terjadi ijma/kesepakatan para shahabat dalam
masalah ini. Sedangkan ijma para shahabat menjadi dasar hukum
Islam yang ketiga setelah Al-Quran dan Sunnah dengan kesepakatan
para Ulama Islam seluruhnya.
2.


= Berkumpul-kumpul di tempat atau di

rumah ahli mayit dan membuatkan makanan yang kemudian mereka
makan bersama-sama

3.

i = Sesudah mayit itu ditanam/dikubur. Lafadz ini adalah


tambahan dari riwayat Imam Ahmad.
Keterangan di atas tidak menunjukkan bolehnya makan-makan di
rumah ahli mayit sebelum dikubur!?. Akan tetapi yang dimaksud
ialah ingin menjelaskan kebiasaan yang terjadi mereka makan-makan
di rumah ahli mayit sesudah mayit itu dikubur.

4.

= Termasuk dari meratapi mayit. Ini menunjukkan bahwa


berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit atau yang kita kenal di sini
dengan nama selamatan kematian/tahlilan adalah hukumnya haram
berdasarkan madzhab dan ijma para sahabat karena mereka telah
memasukkan ke dalam bagian meratap sedangkan meratap adalah
dosa besar.
FATWA PARA ULAMA ISLAM DAN IJMA MEREKA DALAM
MASALAH INI
Apabila para shahabat telah ijma tentang sesuatu masalah seperti
masalah yang sedang kita bahas ini, maka para tabiin dan tabiuttabiin dan termasuk di dalamnya Imam yang empat (Abu Hanifah,
Malik, Syafiiy dan Ahmad) dan seluruh Ulama Islam dari zaman ke
zamanpun mengikuti ijmanya para sahabat yaitu berkumpul-kumpul
di tempat ahli mayit dan makan-makan di situ adalah haram dan
termasuk dari adat/kebiasaan jahiliyyah. Berikut adalah kumpulan
fatma dari para ulama.
1. Telah berkata Imamnya para Ulama, mujtahid mutlak, lautan ilmu,
pembela Sunnah. Al-Imam Asy-Syafiiy di kitabnya Al-Um

18

(I/318).
Aku benci al ma'tam yaitu berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit
meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian
itu akan memperbaharui kesedihan"[1]
Perkataan imam kita diatas jelas sekali yang tidak bisa dita'wil
atau ditafsirkan kepada arti dan makna lain kecuali bahwa beliau
dengan tegas mengharamkan berkumpul-kumpul dirumah
keluarga/ahli mayit. Ini baru berkumpul saja, bagaimana kalau
disertai dengan apa yang kita namakan disini sebagai Tahlilan ?"
2. Telah berkata Imam Ibnu Qudamah, di kitabnya Al Mughni (Juz 3
halaman 496-497 cetakan baru ditahqiq oleh Syaikh Abdullah bin
Abdul Muhsin At Turki ) :
Adapun ahli mayit membuatkan makanan untuk orang banyak
maka itu satu hal yang dibenci ( haram ). Karena akan menambah
kesusahan diatas musibah mereka dan menyibukkan mereka diatas
kesibukan mereka [2] dan menyerupai perbuatan orang-orang
jahiliyyah.
Dan telah diriwayatkan bahwasannya Jarir pernah bertamu kepada
Umar. Lalu Umar bertanya,.Apakah mayit kamu diratapi ?" Jawab
Jarir, " Tidak !" Umar bertanya lagi, " Apakah mereka berkumpul
di rumah ahli mayit dan mereka membuat makanan ? Jawab Jarir,
" Ya !" Berkata Umar, " Itulah ratapan !"
3. Telah berkata Syaikh Ahmad Abdurrahman Al Banna, di kitabnya :
Fathurrabbani tartib musnad Imam Ahmad bin Hambal ( 8/95-96) :
"Telah sepakat imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan
Ahmad) atas tidak disukainya ahli mayit membuat makanan untuk
orang banyak yang mana mereka berkumpul disitu berdalil dengan
hadits Jarir bin Abdullah. Dan zhahirnya adalah HARAM karena
meratapi mayit hukumnya haram, sedangkan para Shahabat telah
memasukkannya (yakni berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit)
bagian dari meratap dan dia itu (jelas) haram.

19

Dan diantara faedah hadits Jarir ialah tidak diperbolehkannya


berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit dengan alasan ta'ziyah
/melayat sebagaimana dikerjakan orang sekarang ini.
Telah berkata An Nawawi rahimahullah : Adapun duduk-duduk
(dirumah ahli mayit ) dengan alasan untuk ta'ziyah telah dijelaskan
oleh Imam Syafi'i dan pengarang kitab Al Muhadzdzab dan
kawan-kawan semadzhab atas dibencinya (perbuatan tersebut).
Kemudian Nawawi menjelaskan lagi, " Telah berkata pengarang
kitab Al Muhadzdzab : Dibenci duduk-duduk (ditempat ahli
mayit ) dengan alasan untuk ta'ziyah. Karena sesungguhnya yang
demikian itu adalah muhdats (hal yang baru yang tidak ada
keterangan dari Agama), sedang muhdats adalah " Bid'ah."
Kemudian Syaikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna di akhir
syarahnya atas hadits Jarir menegaskan : Maka, apa yang biasa
dikerjakan oleh kebanyakan orang sekarang ini yaitu berkumpulkupmul (di tempat ahli mayit) dengan alasan taziyah dan
mengadakan penyembelihan, menyediakan makanan, memasang
tenda dan permadani dan lain-lain dari pemborosan harta yang
banyak dalam seluruh urusan yang bidah ini mereka tidak
maksudkan kecuali untuk bermegah-megah dan pamer supaya
orang-orang memujinya bahwa si fulan telah mengerjakan ini dan
itu dan menginfakkan hartanya untuk tahlilan bapak-nya.
Semuanya itu adalah HARAM menyalahi petunjuk Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam, dan Salafush shalih dari para
shahabat dan tabiin dan tidak pernah diucapkan oleh seorangpun
juga
dari
Imam-imam
Agama
(kita).
Kita memohon kepada Allah keselamatan !
4.

Al Imam An Nawawi, dikitabnya Al Majmu' Syarah Muhadzdzab


(5/319-320) telah menjelaskan tentang bid'ahnya berkumpulkumpul dan makan-makan dirumah ahli mayit dengan
membawakan perkataan penulis kitab Asy -Syaamil dan lain-lain
Ulama dan beliau menyetujuinya berdalil dengan hadits Jarir yang
beliau tegaskan sanadnya shahih. Dan hal inipun beliau tegaskan
di kitab beliau Raudlotuth Tholibin (2/145).

20

5.

Telah berkata Al Imam Asy Syairoziy, dikitabnya Muhadzdzab


yang kemudian disyarahkan oleh Imam Nawawi dengan nama Al
Majmu' Syarah Muhadzdzab : "Tidak disukai /dibenci dudukduduk (ditempat ahli mayit) dengan alasan untuk Ta'ziyah karena
sesungguhnya yang demikian itu muhdats sedangkan muhdats
adalah " Bid'ah ".

6.

Al Imam Ibnul Humam Al Hanafi, di kitabnya Fathul Qadir


(2/142) dengan tegas dan terang menyatakan bahwa perbuatan
tersebut adalah " Bid'ah Yang Jelek". Beliau berdalil dengan hadits
Jarir yang beliau katakan shahih.

7.

Al Imam Ibnul Qayyim, di kitabnya Zaadul Ma'aad (I/527-528)


menegaskan bahwa berkumpul-kumpul (dirumah ahli mayit)
dengan alasan untuk ta'ziyah dan membacakan Qur'an untuk mayit
adalah " Bid'ah " yang tidak ada petunjuknya dari Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam

8.

Al Imam Asy Syaukani, dikitabnya Nailul Authar (4/148)


menegaskan bahwa hal tersebut Menyalahi Sunnah.

9.

Berkata penulis kitab Al-Fiqhul Islamiy (2/549) : Adapaun ahli


mayit membuat makanan untuk orang banyak maka hal tersebut
dibenci dan Bidah yang tidak ada asalnya. Karena akan
menambah musibah mereka dan menyibukkan mereka diatas
kesibukan mereka dan menyerupai (tasyabbuh) perbuatan orangorang jahiliyyah.

10. Al Imam Ahmad bin Hambal, ketika ditanya tentang masalah ini
beliau menjawab : " Dibuatkan makanan untuk mereka (ahli
mayit ) dan tidaklah mereka (ahli mayit ) membuatkan makanan
untuk para penta'ziyah." [Masaa-il Imam Ahmad bin Hambal oleh
Imam Abu Dawud hal. 139]
11. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, " Disukai membuatkan
makanan untuk ahli mayit dan mengirimnya kepada mereka. Akan
tetapi tidak disukai mereka membuat makanan untuk para
penta'ziyah. Demikian menurut madzhab Ahmad dan lain-lain."
[Al Ikhtiyaaraat Fiqhiyyah hal.93]

21

12. Berkata Al Imam Al Ghazali, dikitabnya Al Wajiz Fighi Al Imam


Asy Syafi'i (I/79), " Disukai membuatkan makanan untuk ahli
mayit."
Berdasarkan fatwa- fatwa tersebut dapat disimpulkan bahwa:
Pertama : Bahwa berkumpul-kumpul ditempat ahli mayit
hukumnya adalah BID'AH dengan kesepakatan para Shahabat dan
seluruh imam dan ulama' termasuk didalamnya imam empat.

Kedua : Akan bertambah bid'ahnya apabila


membuatkan makanan untuk para penta'ziyah.

ahli

mayit

Ketiga : Akan lebih bertambah lagi bid'ahnya apabila disitu


diadakan tahlilan pada hari pertama dan seterusnya.
Keempat : Perbuatan yang mulia dan terpuji menurut SUNNAH
NABI Shallallahu alaihi wa sallam kaum kerabat /sanak famili
dan para jiran/tetangga memberikan makanan untuk ahli mayit
yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka untuk mereka
makan sehari semalam. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam ketika Ja'far bin Abi Thalib wafat.
"Buatlah makanan untuk keluarga Ja'far ! Karena sesungguhnya
telah datang kepada mereka apa yang menyibukakan mereka
(yakni musibah kematian)." [Hadits Shahih, riwayat Imam Asy
Syafi'i ( I/317), Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad
(I/205)]
Hal inilah yang disukai oleh para ulama kita seperti Syafiiy dan
lain-lain (bacalah keterangan mereka di kitab-kitab yang kami
turunkan di atas).
Berkata Imam Syafiiy : Aku menyukai bagi para tetangga mayit
dan sanak familinya membuat makanan untuk ahli mayit pada hari
kematiannya dan malam harinya yang sekiranya dapat
mengenyangkan mereka, karena sesungguhnya yang demikian
adalah (mengikuti) SUNNAH (Nabi) [Al-Um I/317]

22

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Tahlilan adalah acara peringatan hari kematian seseorang yang acara
diisi dengan doa doa untuk mendoakan seseorang yang telah meninggal
tersebut.
2. Hukum pelaksanaan tahlilan itu relatif. Tahlilan boleh dilaksanakan
asalkan tidak memberatkan keluarga dari si mayat. Tetapi apabila acara
tahlilan memberatkan keluarga yang ditinggalkannya

hukumnya

haram.

23

DAFTAR PUSTAKA
http://thetrueideas.multiply.com/journal/item/1059
http://semuaguru.blogspot.com/2012/01/fiqh-khilafiyah-numuhammadiyah-seputar_1302.html
http://warkopmbahlalar.com/2011/09/strategi-dakwah-wali-songo/
http://suaraaswaja.com/wahabi-saudi-akan-hancurkan-makam-nabisahabat.htmlsuaraaswaja.com/wahabi-saudi-akan-hancurkanmakam-nabi-sahabat.html
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,10-id,37823lang,id-c,ubudiyyah-t,Tentang+Tahlilan+dan+Dalilnya-.phpx
http://mighamir.wordpress.com/2009/10/10/makalah-hukum-tahlilan/

24

Anda mungkin juga menyukai