Anda di halaman 1dari 15

PENYEMBELIHAN HEWAN DI ATAS KUBURAN

MENURUT HUKUM ISLAM


Makalah ini di buat untuk melengkapi tugas pada
mata kuliah Masail Fiqhiyyah
Dosen Pengampu : Drs. Ruskam Su’aidi, M.HI.

Disusun oleh Kelompok 4 :

Muhammad Fathur Rizqy Akbar ( 632020009 )


Aldi Prabowo ( 632020017 )
Pedro Pratama (632020001)

AKHWAL SYAKHSYIYAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Pada makalah ini penulis banyak mengambil dari berbagai sumber dan refrensi dan
pengarahan dari berbagai pihak oleh sebab itu, dalam kesempatan ini kami
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini.

Penyusunan menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari


sempurna, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun guna kesempurnaan laporan ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini
dapat bermanfaat untuk semua pihak yang membaca.

Palembang, 10 April 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................

DAFTAR ISI .............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................

1.1 Latar Belakang ......................................................................................................

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................

1.3 Tujuan Makalah .....................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ...........................................................................................

2.1 Sejarah Penyembelihan Hewan .............................................................................

2.2 Macam-macam Penyembelihan Hewan ................................................................

2.3 Hukum Penyembelihan Hewan..............................................................................

2.4 Hukum Menyembelih Hewan di atas Kuburan ..................................................... 6

BAB III PENUTUP ................................................................................................... 11

3.1 Kesimpulan ............................................................................................................ 11

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 12

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam Islam, penyembelihan hewan ternak sebelum dikonsumsi merupakan salah satu
hal yang sangat penting, karena binatang yang disembelih bukan atas nama Allah SWT menjadi
haram hukumnya untuk dimakan. Karena pentingnya makanan dan sembelihan bagi manusia,
maka hendaknya kita selalu memberikan perhatian penuh pada makanan dari sumber hewani
yang akan kita konsumsi, terutama bagaimana proses penyembelihan dan
pengolahannya.
Islam telah mengatur tentang makanan mana yang dihalalkan dan mana yang
diharamkan. Hewan yang halal dan baik ditentukan juga pada saat proses penyembelihan dan
pengolahannya. Penyembelihan adalah sengaja memutus saluran makanan, tenggorokan dan dua
pembuluh darah hewan dengan alat yang tajam selain kuku dan gigi. Penyembelihan dilakukan
untuk melepaskan nyawa binatang dengan jalan paling mudah yang kiranya
meringankan dan tidak menyakiti. Islam juga telah mengatur tentang tata cara menyembelih
hewan sesuai dengan syari’at. Karena cara penyembelihannya berpengaruh pada kehalalan
hewan tersebut, karena penyembelihan yang tidak sempurna akan mengakibatkan hewan
tersebut disamakan dengan bangkai, sedangkan Allah mengharamkan memakan bangkai.

B. Rumusan Masalah.
a. Bagaiman Menurut Hukum Islam Menyembelih Hewan di atas Kuburan?
C. Tujuan Masalah.
a. Untuk Mengetahui Hukum Menyembelih Hewan di atas Kuburan

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Penyembelihan Hewan

Penyembelihan Menurut Bahasa ialah menyempurnakan kematian. Sedangkan


Menurut Istilah ialah memutus jalan makan, minum,nafas, dan urat nadi pada leher hewan
dengan alat tajam, selain gigi, kuku, tulang, dan sesuai syariat. Sembelihan dalam istilah fikih
disebut al-Zakah yang bermankna baik atau suci. Digunakan istilah al-Zakah untuk sembelihan,
karena dengan penyembelihan yang sesuai dengan ketentuan syara’ akan menyebabkan hewan
yang disembelih itu baik, suci dan halal dimakan. Penyembelihan halal Al zabilah adalah perkara
yang sangat penting dalam syariat islam dan dari segi bahasa yaitu potong atau menyembelih
bagi menghilangkan nyawa binatang.
Dari segi syarat pula ialah menyembelih binatang yang mampu di kuasai dan harus
dimakan dengan memutuskan urat darah dikiri dan kanan leher binatang
dengan alat yang tajam karena Allah. Menyembelih dalam syariat Islam adalah langkah
melenyapkan ruh binatang dengan cara memotong leher kerongkongan dan tenggorokan serta
dua urat nadi dengan alat yang tajam, kecuali gigi, tulang dan kuku atau cara lain yang
dibenarkan oleh syariat Islam. Namun perlu diketahui ada dua jenis hewan yang halal
dikomsumsi tanpa disembelih terlebih dahulu yaitu ikan dan belalang.
‫اَ ِحطالَو ُ ِدبَ ْكالَف ِنا َ َمدال اَ َمَأو ُدا َ َرجْ الَو ُت ُوحْ الَف ِناَتَ ْتيَ ْمال اَ َمَأف ِنا َ َمدَو ِناَتَ ْتيَم اَنَل ْتَلِحُأ‬
Artinya “Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut
adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan limpa.” (HR.
Ibnu Majah no. 3314. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

B. Macam-Macam Penyembelihan Hewan


B. Macam-Macam Menyembelih Hewan

Penyembelihan hewan dalam rangka taqarrub kepada allah itu ada empat macam, berikut
Empat macam penyembelihan hewan dalam islam:
1. Dam Haji, yaitu setiap orang terkena kewajiban menyembelih seekor kambing, dan bisa
diganti dengan seekor sapi atau unta untuk tujuh orang.

5
2. Hadyu, untuk disembelih disekitar masjidil haram buat orang-orang miskin. Tidak
ditentukan seekor untuk berapa orang.

3. Aqiqah , untuk seorang anak laki-laki dua ekor, dan seorang anak perempuan satu ekor
kambing
4. Qurban idul adha , seekor kambing untuk seluruh anggota keluaga tanpa dibatasi.Setiap
anggota keluarga tidak harus qurban setiap orang dengan seekor. Namun, kalua ada yang
melakukan demikian ,boleh-boleh saja.
Menyembelih pada asalnya terbagi kepada 4 bentuk;
1. Menyembelih hewan yang halal dikonsumsi untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada
Allah Ta’ala dan mengagungkanNya, seperti qurban pada Idul Adha (al udhhiyah) dan
saat haji tamattu’ dan qiran (diistilahkan dengan al hadyu). Seperti juga menyembelih
untuk bersedekah dengan dagingnya kepada orang-orang fakir. Yang seperti
ini disyari’atkan dan termasuk dalam ibadah.
2. Menyembelih hewan yang halal dikonsumsi untuk tamu, atau untuk walimah pernikahan
dan yang semacamnya. Yang seperti ini diperintahkan entah dalam bentuk perintah wajib
atau bersifat anjuran.
3. Menyembelih hewan yang halal dikonsumsi untuk diperdagangkan dengan
menjual dagingnya, atau untuk dimakan, dan yang semacamnya. Yang seperti ini hukum
asalnya adalah mubah.
4. Menyembelih untuk mendekatkan diri kepada makhluk, mengagungkannya dan
merendahkan diri kepadanya. Yang seperti ini adalah ibadah, dan tidak boleh bertaqarrub
dengannya kepada selain Allah Ta’ala. Siapa yang menyembelih dalam rangka untuk
bertaqarrub kepada makhluk dan mengagungkannya, maka ia telah terjatuh kepada syirik
akbar, sembelihannya haram dan tidak boleh dimakan. Sama saja makhluk
tersebut adalah seorang manusia, atau jin, atau dari kalangan malaikat, atau berbentuk
sebuah kubur dan lain-lain. Allah Ta’ala berfirman: Artinya “Katakanlah : Sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada
sekutu bagiNya.” (QS. Al-An’am ayat 162-163)
Berkata para ulama tafsir : “Nusuk adalah sembelihan.”Dari Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu ia berkata : Bersabda Rasulullah ‫ال ريغل حبذ نم ال نعل‬,‫“ ﷺ‬Allah melaknat

6
orang yang menyembelih untuk selain Allah.” (HR. Muslim).Berkata Imam an-Nawawi
asy-Syafi’i rahimahullahu dalam Syarh Shahih Muslim(XIII/141) bahwa siapa yang
menyembelih untuk selain Allah, perbuatannya itu adalah haram. Kemudian ia
berkata,
“Disebutkan hal itu oleh asy-Syafi’i, dan disepakati oleh sahabat-sahabat kami. Jika
dia memaksudkan bersama sembelihan itu pengagungan terhadap orang yang
disembelihkan untuknya yang selain Allah Ta’ala dan beribadah untuknya, makayang
demikian itu adalah kekafiran. Jika yang menyembelih itu muslim sebelum itu, makadia
menjadi murtad dengan sembelihan tersebut.”

C. Hukum Penyembelihan Hewan


Imam Syafi'i dalam Kitab Al-Umm sebagaimana diterjemahkan oleh Fuad Syaifudin Nur
menjelaskan, dzakah atau penyembelihan dilakukan dengan menggunakan benda yang dapat
menumpahkan darah serta memutuskan urat leher dan bagian yang harus disembelih
(kerongkongan dan tenggorokan)
.Imam Syafi'i mengatakan, "Kesempurnaan dzakah dengan empat perkara: tenggorokan,
kerongkongan, dan dua urat leher. Batas minimal dzakah yang sudah cukup ada dua: yaitu
tenggorokan dan kerongkongan." Disebutkan dalam Majalah Kesehatan Muslim Edisi IV
Tahun I karya Saifuddin Hakim dkk, ulama Syafi'iyah, Imam An-Nawawi, menganjurkan
membaringkan sapi dan kambing pada lambung kirinya ketika akan disembelih.Dalam al
Mufhim, al-Qurthubi mengatakan bahwasanya membaringkan hewan yang hendak
disembelih pada lambung kirinya adalah suatu yang telah dipraktikkan kaum muslimin sejak
dahulu.Masih dalam buku yang sama mengutip dari Syekh Zakariya al-Anshari di dalam
Asna al-Mathalib fi Syarhi Raudhi ath-Thalib,
‫على َج ْنبِهَا اَأْل ْي َسرَأِلنَّهُ َأ ْسهَ ُل على ال َّذابِح في َأ ْخ ِذ ال ِّس ِّكي ِن بِ ْاليَ ِمي ِن َوِإ ْم َسا ِ ْأ‬
ِ ‫ك َر ِسهَا بِ ْاليَ َس‬
‫ار‬ ِ ِ

Artinya: "Hendaknya hewan kurban dibaringkan di atas lambung kiri, karena hal itu lebih
mudah bagi penyembelih untuk memegang pisau dengan tangan kanan, dan memegang
kepala hewan dengan tangan kiri."
Melansir dari buku Fatwa-Fatwa Imam Asy-Syafi'i karya Asmaji Muchtar,
terdapat dua cara dalam menyembelih hewan baik hewan tersebut liar maupun jinak yang
sesuai dengan sunnah, yaitu:

7
a. Menyembelih hewan yang dikuasai, hewan tersebut harus disembelih di pangkal
leher, tempat urat atau ujung leher, di tiga tempat tersebut kerongkongan,
tenggorokan, serta dua urat leher berada.

b.
c. Menyembelih hewan yang tidak dikuasai baik jinak maupun liar, cara
menyembelihnya ialah sama dengan memburunya. Namun, apabila seseorang
menebas atau memanah hewan buruan yang ada di depan matanya, namun ia
tidak ingin untuk memakannya, hewan tersebut tetap halal untuk dimakan
Jika anjing atau burung pemburu terlatih yang mengejar hewan buruan kemudian mati
karena kehabisan nafas, maka hewan buruan tersebut tidak halal untuk dimakan sebab
hewan tersebut dianggap sebagai bangkai.Hewan tersebut dianggap halal apabila jika
pemburu yang menangkapnya. Begitu pun jika seseorang memukul atau melempar hewan
buruan hingga nyawanya melayang maka hewan buruan tersebut boleh dimakan. Hal itu
dikarenakan pukulan yang dilakukan bisa berfungsi sebagai penyembelihan.Jika
seseorang menyembelih hewan lalu tangannya lebih dahulu daripada pisaunya, yaitu
kepala hewan itu putus karena tangannya, mazhab Syafi'i berpendapat bahwa hewan itu
halal dimakan. Sebab, sebelum kepalanya putus, orang itu telah melakukan proses
penyembelihan.
Menurut suatu pendapat, menyembelih hewan sampai lehernya terputus hukumnya
makruh.

‫عن نافع أن بن عمر كان ال يأكل الشاة إذا نخعت‬

Artinya: "Dari Nafh, Sesungguhnya Ibnu Umar tidak mau memakan daging kambing
yang disembelih hingga lehernya terputus." (Riwayat Abdur Razaq dengan sanad yang
shahih)
Lalu, apabila seseorang menyembelih hewan di bagian tengkuk atau salah satu
sisinya lalu ia tidak yakin apakah hewan itu telah mati, maka hewan itu tidak halal
dimakan. Kecuali jika ia yakin bahwa hewan tersebut belum mati, lalu tenggorokan dan
kerongkongannya diputus.
Dalam buku itu menjelaskan bahwa melakukan penyembelihan juga disunnahkan
untuk membaca basmalah akan lebih baik jika ditambah dengan dzikirullah.Dalam buku

8
Dialog Lintas Mazhab Fiqh Ibadah dan Muamalah karya Asmaji Muchtar menjelaskan,
menurut Mazhab Syafi'i menyembelih yang benar menurut syara' ialah memotong
hulqum dan mari' hingga putus. Apabila belum putus sepenuhnya, maka hewan
sembelihan tersebut tidaklah halal. Hewan tersebut harus memiliki hayat mustaqirrah
(kehidupan yang tetap), sebelum disembelih jika ada sebab yang dapat menyebabkan
kematiannya.

Sunnah Menyembelih Hewan Kurban Sayyid Sabiq dalam Kitab Fikih Sunnah-nya
mengatakan, hewan kurban berasal dari kata al-udhiyah dan adh-dhahiyah yang
merupakan kata sebutan bagi setiap yang disembelih, yaitu unta, sapi, dan kambing yang
dikurbankan pada hari raya Idul Adha bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT.
Mengenai hukum berkurban dijelaskan dalam buku Tuntunan Berkurban dan
Menyembelih Hewan karya Ali Ghufron, menurut jumhur ulama ialah sunnah. Tiga
Imam, yaitu Imam Maliki, Imam Syafi'i dan Hambali mengatakan bahwasanya berkurban
hukumnya wajib bagi yang mampu.Sementara itu, Imam An-Nawawi di dalam kitabnya
Syarh Shahih Muslim mengatakan bahwasanya para ulama berbeda pendapat tentang
hukum berkurban bagi orang yang mampu. Pendapat jumhur mengatakan bahwa
berkurban hukumnya sunnah sehingga apabila ditinggalkan meskipun tanpa uzur tidak
akan mendapat dosa dan tidak ada kewajiban qadha'.
Hal tersebut merupakan pendapat dari para sahabat Nabi SAW yaitu Abu Bakar
Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Bilal, dan lain-lain.Selain itu, berdasar hadits dari Ibnu
Abbas RA bahwa Rasulullah SAW bersabda,

ُ ْ‫ت بِ َر ْك َعتَي الضُّ َحى َولَ ْم تُْؤ َمرُوا بِهَا َوُأ ِمر‬
ُ‫ت بِاَأْلضْ َحى َولَ ْم تُ ْكتَب‬ ُ ْ‫ُأ ِمر‬

Artinya: "Aku diperintahkan mendirikan dua rakaat dhuha, dan kalian tidak diperintahkan
(diwajibkan) melakukannya. Aku diperintahkan untuk berkurban, tetapi tidak
diwajibkan." (HR Ahmad)

9
D. Hukum Menyembelih Hewan di atas Kuburan

Berdasarkan dali-dalil dari Kitabullah dan as-Sunnah bahwa bertaqarrub dengan cara
menyembelih untuk selain Allah, baik untuk para wali, jin, berhala-berhala atau para
makhluk lainnya adalah perbuatan syirik kepada Allah dan terma-suk perbuatan orang-
orang jahiliyah dan musyrikin.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

)162( َ‫ي َو َم َماتِ ْي هّٰلِل ِ َربِّ ْال ٰعلَ ِم ْي ۙن‬ َ ‫قُلْ اِ َّن‬
َ ‫صاَل تِ ْي َونُ ُس ِك ْي َو َمحْ يَا‬

)163( َ‫ت َواَن َ۠ا اَ َّو ُل ْال ُم ْسلِ ِم ْين‬ َ ِ‫ك لَهٗ ۚ َوبِ ٰذل‬
ُ ْ‫ك اُ ِمر‬ َ ‫اَل َش ِر ْي‬

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk


Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan
kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)’.”
(Al-An’am: 162-163).

Yang dimaksud dengan ‘an-Nusuk‘ (pada kalimat: Wa nusuki, pent.) di dalam ayat
tersebut adalah ‘adz-Dzabhu‘ (penyembelihan). Dalam ayat tersebut, Allah subhanahu wa
ta’ala menjelaskan bahwa menyembelih untuk selain Allah adalah perbuatan syirik
kepadaNya sama halnya dengan shalat untuk selain Allah.

Dalam ayat lain, Allah berfirman,

)1(‫اِنَّٓا اَ ْعطَ ْي ٰنكَ ْال َكوْ ثَ ۗ َر‬

)2( ْ‫صلِّ لِ َربِّكَ َوا ْن َح ۗر‬


َ َ‫ف‬

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak, maka dirikanlah
shalat karena Rabbmu; dan berkorbanlah.” (Al-Kautsar: 1-2).

Dalam surat ini, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada nabiNya agar
melakukan shalat untuk Rabbnya dan menyembelih untukNya. Ini berbeda dengan apa

10
yang dilakukan oleh Ahli Syirik, yaitu bersujud kepada selain Allah dan menyembelih
untuk selainNya.

Demikian pula dalam Firman-firmanNya yang lain,

ُ‫ك َأاَّل تَ ْعبُد ُٓو ۟ا ِإٓاَّل ِإيَّاه‬ َ َ‫َوق‬


َ ُّ‫ض ٰى َرب‬

“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia.” (Al-
Isra`: 23).

۟ ‫َومٓا ُأ ِمر ُٓو ۟ا اَّل لِيَ ْعبُد‬


ِ ِ‫ُوا ٱهَّلل َ ُم ْخل‬
َ‫صينَ لَهُ ٱل ِّدين‬ ‫ِإ‬ َ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (Al-Bayyinah: 5).

Ayat-ayat yang semakna dengan ini banyak sekali. Jadi, me-nyembelih merupakan bentuk
ibadah, karenanya wajib dilakukan dengan ikhlas, untuk Allah semata.

Di dalam Shahih Muslim dari riwayat Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
ِ ‫لَ َعنَ ُ َم ْن َذبَ َح لِ َغي ِْر‬.

“Allah melaknat siapa pun yang menyembelih untuk selain Allah.“[1]

Sedangkan ucapan seseorang, “Aku meminta kepada Allah melalui (dengan) hak para
waliNya”, “melalui jah para waliNya”, “melalui hak Nabi” atau “melalui jah Nabi”; maka
ini semua bukan kategori syirik tetapi bid’ah menurut Jumhur Ulama, di samping
merupakan salah satu sarana kesyirikan sebab berdoa adalah ibadah dan tata caranya
bersifat tauqifiyyah. Selain itu, tidak ada hadits yang diriwayatkan secara shahih dari Nabi
kita yang mengindikasikan bahwa bertawassul melalui hak, atau jah salah seorang dari
makhluk adalah disyariatkan atau dibolehkan sehingga tidak boleh bagi seorang Muslim
menciptakan sendiri (mengada-adakan) suatu bentuk tawassul yang tidak disyariatkan oleh
Allah subhanahu wa ta’ala. Hal ini berdasarkan FirmanNya,

۟ ‫َأ ْم لَهُ ْم ُش َر ٰ َٓك‬


۟ ‫ُؤا َش َرع‬
‫ُوا لَهُم ِّمنَ ٱلدِّي ِن َما لَ ْم يَْأ َذ ۢن بِ ِه ٱل َّل‬

11
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk
mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy-Syura: 21).

Juga, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

َ ‫َث فِ ْي َأ ْم ِرنَا ٰه َذا َما لَي‬


‫ْس فِ ْي ِه فَه َُو َر ٌّد‬ َ ‫ َم ْن َأحْ د‬.

“Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru di dalam urusan kami ini (Din ini)
sesuatu yang tidak terdapat di dalamnya, maka ia tertolak.”

Dan dalam riwayat Muslim yang juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari di dalam
shahihnya secara mu‘allaq (hadits yang dibuang satu atau lebih dari mata rantai

periwayatannya lalu disandarkan langsung kepada periwayat yang berada di atas mata
rantai yang dibuang tersebut.) akan tetapi diungkapkan dengan lafazh yang pasti (tegas),
disebutkan:

‫ْس َعلَ ْي ِه َأ ْم ُرنَا فَهُ َو َر ٌّد‬


َ ‫ َم ْن َع ِم َل َع َمالً لَي‬.

“Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan (dalam Din ini) yang tidak termasuk dari
perkara kami, maka ia tertolak.“

Makna sabda beliau” ‫“ َر ٌّد‬adalah tertolak bagi pelakunya dan tidak diterima.

Oleh karena itu, wajib bagi kaum Muslimin untuk mengikat diri dengan syariat Allah dan
berhati-hati dari perbuatan yang diada-adakan oleh manusia alias bid’ah.

Sedangkan tawassul yang disyariatkan adalah dengan cara bertawassul melalui Asma‘ dan
ShifatNya, mentauhidkanNya dan amal-amal shalih yang di antaranya adalah beriman
kepada Allah dan RasulNya, mencintai Allah dan RasulNya dan amal-amal kebajikan dan
kebaikan semisal itu. Dalil-dalil yang memperkuat hal itu banyak sekali, di antaranya
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,

‫َوهَّلِل ِ ٱَأْل ْس َمٓا ُء ْٱل ُح ْسن َٰى فَٱ ْدعُوهُ بِهَا‬

“Hanya milik Allah asma`ul husna, maka mohonlah kepadaNya dengan menyebut asma`ul
husna itu.” (Al-A’raf: 180).

12
Di antaranya pula, sebagaimana doa yang didengar oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dari seseorang yang mengucapkan,

َّ ‫ اَل ِإ ٰلهَ ِإاَّل َأ ْنتَ اَأْل َح ُد ال‬،ُ ‫ك بَِأنِّ ْي َأ ْشهَ ُد َأنَّكَ َأ ْنتَ هّٰللا‬
‫ص َم ُد الَّ ِذيْ لَ ْم يَلِ ْد َولَ ْم يُوْ لَ ْد َولَ ْم يَ ُك ْن لَهُ ُكفُ ًوا َأ َح ٌد‬ َ ُ‫اَ ٰللّهُ َّم ِإنِّ ْي َأ ْسَأل‬.

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu melalui persaksianku bahwa Engkau
adalah Allah, tiada tuhan yang haq untuk disembah selain Engkau, Yang Mahatunggal dan
Tempat Bergantung, Yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, yang tiada seorang pun
yang dapat menandingiNya.”

Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫هّٰللا‬
َ ‫لَقَ ْد َسَأ َل ُ بِا ْس ِم ِه اَأْل ْعظَ ِم الَّ ِذيْ ِإ َذا ُسِئ َل بِ ِه َأ ْعطَى َوِإ َذا ُد ِع َي بِ ِه َأ َج‬.
‫اب‬

“Sungguh dia telah memohon kepada Allah dengan NamaNya yang Mahaagung. Yang
bilamana dimohonkan dengannya, pasti Dia akan memberi dan bila Dia dimintai (dengan
berdoa) dengannya, pasti Dia akan mengabulkan.“

Di antara dalil yang lain adalah hadits tentang tiga orang yang terkurung di dalam
gua lantas mereka bertawassul kepada Allah subhanahu wa ta’ala melalui amal-amal
shalih mereka; orang pertama bertawassul ke-pada Allah melalui perbuatan birrul walidain
(baktinya terhadap kedua orang tuanya). Orang kedua bertawassul kepada Allah melalui
kesucian dirinya dari melakukan zina padahal sudah di depan matanya. Orang ketiga
bertawassul kepada Allah melalui tindakan-nya mengembangkan (menginvestasikan) upah
buruhnya (yang minggat), kemudian dia menyerahkan semua hasil investasi itu kepadanya
(setelah dia datang lagi). Berkat perbuatan-perbuatan di atas, Allah menghindarkan
mereka dari kesulitan tersebut, menerima doa mereka serta menjadikan batu besar yang
menyumbat mu-lut goa tersebut bergeser dan terbuka. Hadits tersebut disepakati
keshahihannya (oleh Imam Bukhari dan Muslim.). Wallahu waliyyuttaufiq.

13
BAB III

PENUTUP

a. Kesimpulan

Allah melaknat siapa pun yang menyembelih untuk selain Allah. Sedangkan ucapan
seseorang, “Aku meminta kepada Allah melalui (dengan) hak para waliNya”, “melalui jah para
waliNya”, “melalui hak Nabi” atau “melalui jah Nabi”; maka ini semua bukan kategori syirik
tetapi bid’ah menurut Jumhur Ulama, di samping merupakan salah satu sarana kesyirikan sebab
berdoa adalah ibadah dan tata caranya bersifat tauqifiyyah.Selain itu, tidak ada hadits yang
diriwayatkan secara shahih dari Nabi kita yang mengindikasikan bahwa bertawassul melalui hak,
atau jah salah seorang dari makhluk adalah disyariatkan atau dibolehkan sehingga tidak boleh
bagi seorang Muslim menciptakan sendiri (mengada-adakan) suatu bentuk tawassul yang tidak
disyariatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Shahih Muslim, Kitab al-Adhahi dari hadits Ali, no. 1978.


2. Muttafaq ‘Alaih; Shahih al-Bukhari, Kitab ash-Shulhu, no. 2697; Shahih Muslim,
Kitab al-Aqdhiyah, no. 1718.
3. Diriwayatkan secara mu’allaq oleh Imam al-Bukhari, Kitab al-Buyu’, bab an-
Najasi dan dalam Kitab al-I’tisham, bab Idza Ijtahada al-Amil. Riwayat ini
diriwayatkan secara maushul (bersambung) di dalam Shahih Muslim, Kitab al-
Aqdhiyah, no. 1718.
4. Dikeluarkan oleh para pengarang empat Kitab Sunan: Abu Daud, Kitab ash-
Shalah, no. 1493; at-Tirmidzi, Kitab ad-Da’awat, no. 3475; an-Nasa`i, as-Sunan
al-Kubra, no. 7666; Ibnu Majah, Kitab ad-Du’a, no. 2857. Dan Ibnu Hibban, bab
Ihsan, no. 891; dishahihkan oleh beliau sendiri.

15

Anda mungkin juga menyukai