OLEH
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuina-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Dzabihah
(Penyembelihan)”.Makalah ini merupakan salah satu syarat untuk memenuhi tugas
mata kuliah Fiqih Ibadah 2yang diampu oleh bapak Saleh.
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna, dan
banyak kekurangan baik dalam metode penulisan maupun dalam pembahasan
materi. Sehingga, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun
mudah-mudahan dikemudian hari dapat memperbaiki segala kekuranganya.
Terselesaikannya masalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak, sehingga
pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat penulis
mengucapkan terima kasih bagi semua pihak yang telah memberikan bantuan
dalam penyusunan makalah ini hingga selesai.
Akhir kata penulis berharap makalah ini dapat memberikan hal yang bermanfaat
dan menambah wawasan bagi pembaca dan khususnya bagi penulis juga.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
BAB 1 PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan
kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu
menyembah.”1
Islam telah mengatur tentang makanan mana yang dihalalkan dan mana yang
diharamkan. Bahan makanan yang dibutuhkan oleh tubuh manusia salah satunya adalah
protein yang diperoleh dari ikan dan daging hewan. Hewan yang halal dan baik ditentukan
juga pada saat proses penyembelihan dan pengolahannya.
1
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an danTerjemahannya, (Jakarta:Yayasan
penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, 1979), hlm. 32
2
Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram, Terj.Halal wal Haram fil Islam oleh Tim Kuadran, (Bandung: Jabal,
2007), hlm. 67
1
sempurnaakan mengakibatkan hewan tersebut disamakan dengan bangkai,
sedangkanAllah mengharamkan memakan bangkai.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Dzabihah (penyembelihan)?
2. Apa saja syarat penyembelih dan sembelihan ahli kitab?
3. Apa saja alat dan teknik penyembelihan?
4. Apa saja adab dalam penyembelihan?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian Dzabihah (penyembelihan).
2. Menjelaskan syarat penyembelihan serta sembelihan ahli kitab.
3. Mengetahui alat dan teknik penyembelihan.
4. Mengetahui niat dan tujuan penyembelihan.
5. Mengetahu adab dalam penyembelihan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Secara syara‘,berarti menyembelih dengan cara atau nahr pada hewan yang boleh
dimakan dagingnya dengan kemauan sendiri, atau membunuh hewan yang sulit disembelih
lehernya dengan cara yang disahkan oleh syara‘.5
Di samping itu disyaratkan juga, bahwa penyembelihan itu harus dilakukan di leher
binatang yang bisa dipotong lehernya, sedangkan untuk binatang yang tidak bisa disembelih
lehernya maka dilakukan pada tempat yang lebih dekat untuk memisahkan hidup binatang
dengan mudah.
3
Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 6, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
Cet.7, 2006), hal.1969
4
Sayyid Sabit, Fiqih Sunnah 13, diterjermahkan oleh Kamalaudin A. Marzuki dari Fiqhussunnah,
(Bandung: PT. Alma’arif, 1987), hal.132
5
Abu Sari Muhammad Abdul Hadi, Hukum Makanan dan Sembelihan dalam Islam,
Diterjemahkan oleh Sofyan Suparman dari al-Ath’imah wadz Dzabaa-ih fil Fiqhil Islam, (Bandung: Trigenda
Karya, 1997),hal.194
3
B. Syarat Penyembelih dan Sembelihan Ahli Kitab
1. Syarat Penyembelih
Adapaun syarat yang harus dipenuhi bagi penyembelih (orang yang akan melakukan
penyembelihan) sebagai berikut.
a. Berakal, baik laki-laki maupun perempuan, sudah baligh atau belum baligh
asalkan sudah tamyiz. Sehingga dari sini, tidak sah penyembelihan yang
dilakukan oleh orang gila dan anak kecil yang belum tamyiz. Begitu pula orang
yang mabuk, sembelihannya juga tidak sah.6
b. Yang menyembelih adalah seorang muslim atau ahli kitab (Yahudi atau Nasrani).
Oleh karena itu, tidak halal hasil sembelihan dari seorang penyembah berhala
dan orang Majusi sebagaimana hal ini telah disepakati oleh para ulama. Karena
selain muslim dan ahli kitab tidak murni mengucapkan nama Allah ketika
menyembelih.7
c. Menyebut nama Allah ketika menyembelih. Jika sengaja tidak menyebut nama
Allah padahal ia tidak bisu dan mampu mengucapkan, maka hasil sembelihannya
tidak boleh dimakan menurut pendapat mayoritas ulama. Selain itu, menyebut
nama selain Allah baik dengan mengeraskan suara atau tidak, maka hukumnya
adalah haram. Hal ini tertuang dalam firman Allah surah Al-Maidah ayat 3 :
َّ علَ ْي ُك ُم ٱ ْل َم ْيت َةُ َوٱل َّد ُم َولَحْ ُم ٱ ْلخِ ِنز ِير َو َما َٰٓ أ ُ ِه َّل ِلغَي ِْر
... ٱلِلِ بِه َ ُْح ِر َمت
Artinya : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan)
yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-Maidah:3)
6
Abdul Fatah Idris, Terjemahan Ringkas Fiqih Islam Lengkap, (Jakarta: Rineka Cipta, 1987), hal. 305
7
Sayyid Sabiq, Fiqih sunnah 13, hal. 132
4
Artinya : “...Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal (pula) bagi mereka...” (QS. Al-Maidah:5)
Imam Syafi‘i menyatakan bahwa sembelihan ahli kitab halal, baik menyebut nama
Allah atau tidak, dengan syarat tidak menyebut nama selain Allah ketika menyembelih
dan tidak diperuntukan untuk tempat peribadatannya.8 Demikian pula imam Hanafi dan
Hambali sependapat dengan imam Syafi‘i. Dalam hal ini yang dimaksud ahli kitab oleh
imam Syafi‘i, Hambali dan Hanafi adalah ahli kitab pada masa Rasulullah Muhammad
SAW. Sedangkan imam Malik memandang makruh sembelihan ahli kitab demi
menjaga diri dari sesuatu yang diragukan.9
1. Alat Penyembelihan
8
Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 6. Hal.1970
9
Abu Sari Muhammad Abdul Hadi, Hukum Makanan dan Sembelihan dalam Islam,… hal. 258
10
Ibid. Hal.201
5
menggunakan benda tumpul dihukumi haram, apabila kematiannya setelah disembelih
berjalan lambat, karena merupakan penyiksaan panjang bagi hewan.11
2. Teknik Penyembelihan
Pada dasarnya, penyembelihan merupakan perkara yang ta‘abbudi yang tata cara
pelaksanaannya telah ditentukan oleh syara‘. Karena itu, tidak diperbolehkan
menyembelih dengan kehendak hati sendiri.
a. Maqdur ‘Alaih
Dalam keadaan maqdur ‘alaih, hewan dapat disembelih dengan cara nahr, yaitu
penyembelihan yang ditujukan pada bagian pangkal leher di atas dada dan dengan
cara zabh. Zabh berarti memotong suatu bagian pada leher hewan yang dapat
menyebabkan kematiannya.
Adapun tata cara penyembelihannya sebagai berikut.
1) Menyebut nama Allah.
2) Penyembelihan hendaknya dilaksanakan dengan menghadapkan kearah kiblat
yang merupakan arah yang diagungkan.
3) Mengasah pisau penyembelihan jauh dari hewan sembelihan.
4) Menjauhkan hewan yang disembalih jauh dari hewan lainnya.
5) Membawa dan membaringkannya dengan lembu dan
menyenangkannya.
6) Hendaknya digulingkan kesebelah rusuk kirinya, agar memudahkan bagi orang
yang menyembelihnya.
7) Kerongkongan dan tenggorokan harus terpotong.12
11
Wahbah az-Zuhaili, Konsep Darurat dalam Hukum Islam Jilid 3, Diterjemahkan dari Nazhariyah Al-Dlururoh
Al-Syar’iyah oleh Said Agil Husain Al-Munawar, (Jakarta: Gaya media Pratama, 1997), hal.375
12
Abdul Aziz Dahlan et.al, Ensiklopedi Hukum Islam Jilid 6, … hal. 1971
6
b. Ghair Maqdur’alaih
Berkenaan dengan hewan ghair maqdur‘alaih yang terbagi atas hewan buruan dan
hewan ternak yang karena suatu hal menjadi liar dihukumi sama dengan hewan
buruan. Hewan dalam keadaan ini bisa dibunuh dibagian manapun dari tubuhnya
dengan menggunakan benda tajam atau alat apapun yang dapat mengalirkan
darah dan mempercepat kematiannya.
Ulama fiqh menyepakati bahwa selama masih ada hayyat mustaqirrahnya, maka
hewan tersebut boleh disembelih. Tanda-tanda hayyat mustaqirrah adalah gerakan
yang keras pada hewan setelah diputuskan bagian-bagian tubuhnya disertai
dengan memancar dan mengalirnya darah dengan deras. Jadi, jika penyembelihan
dilakukan secara perlahan dan usaha pemotongan terlalu lamban sehingga ketika
penyembelihan selesai ternyata hewan itu tidak bergerak-gerak lagi berarti
nyawanya yang menetap telah tiada sebelum sempurnanya penyembelihan maka
jelaslah hewan itu belum sempat disembelih sudah mati dan halal dimakan.
Jika nyawanya sudah tidak menetap lagi sebelum disembelih, maka tidak halal
dimakan kecuali sebelumnya telah disembelih secara darurat. Dalam hal ini,
mengalirnya darah dari urat leher setelah pemotongan bukan merupakan petunjuk
atas adanya nyawa yang menetap.
1. Niat Penyembelihan
Doa ini dibaca dengan harapan Allah menerima ibadah qurban.
1. Baca “basmallah”
Bismillahirrohmaanirrohiim.
Artinya :”Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”
2. Baca sholawat untuk Rasulullah SAW
Allaahumma shalli alaa sayyidinaa muhammad, wa alaa alii sayyidina
muhammad.
Artinya :”Tuhanku, limpahkan Rahmat untuk Nabi Muhammad SAW dan
keluarganya.”
7
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, walillaahil hamd.
Artinya :”Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala puji
bagi-Mu.”
4. Baca doa menyembelih
Allaahumma haadzihii minka wa ilaika fataqabbal minni yaa kariim.
Artinya : “ Ya Tuhanku, hewan ini adalah nikmat dari-Mu. Dan dengan ini aku
bertaqarrub kepada-Mu. Karenanya hai Tuhan Yang Maha Pemurah, terimalah
taqarrabku.”
2. Tujuan Penyembelihan
E. Adab Penyembelihan
1. Berbuat ihsan (berbuat baik terhadap hewan)
ُش ْف َرتَهُ فَ ْليُ ِرحْ ذَ ِبي َحتَه ِ ْسنُوا ا ْل ِقتْلَةَ َوإِذَا ذَبَحْ ت ُ ْم فَأَح
َ سنُوا الذَّ ْب َح َو ْليُحِ د أ َ َح ُد ُك ْم ِ ْعلَى ك ُِل ش َْىءٍ فَ ِإذَا قَت َ ْلت ُ ْم فَأَح
َ َسان َّ َّإِن
ِ َّللاَ َكت ََب
َ ْاإلح
“Sesungguhnya Allah memerintahkan agar berbuat baik terhadap segala sesuatu. Jika kalian
hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian hendak menyembelih,
maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan
senangkanlah hewan yang akan disembelih”
Di antara bentuk berbuat ihsan adalah tidak menampakkan pisau atau menajamkan pisau di
hadapan hewan yang akan disembelih. Dari Ibnu ’Abbas radhiyallaahu ’anhuma, ia berkata,
ْ َ ش ْف َرت َكَ قَ ْب َل أ َ ْن ت
ض َجعَهَا َ َأَت ُِر ْي ُد أ َ ْن تَمِ ْيتَهَا َم ْوت َات َهالَ َح َددْت
8
”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengamati seseorang yang meletakkan kakinya
di atas pipi (sisi) kambing dalam keadaan ia mengasah pisaunya, sedangkan kambing itu
memandang kepadanya. Lantas Nabi berkata, “Apakah sebelum ini kamu hendak mematikannya
dengan beberapa kali kematian?! Hendaklah pisaumu sudah diasah sebelum engkau
membaringkannya”
2. Membaringkan hewan di sisi sebelah kiri, memegang pisau dengan tangan kanan dan
menahan kepala hewan ketika menyembelih
Membaringkan hewan termasuk perlakuan terbaik pada hewan dan disepakati oleh para ulama.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah,
س َوا ٍد فَأُت َِى بِ ِه ِليُض َِح َى بِ ِه فَقَا َل لَهَاَ ظ ُر فِى ُ س َوا ٍد َويَ ْن
َ س َوا ٍد َويَب ُْركُ فِى َ طأ ُ فِى َ َ أ َ َم َر بِ َكب ٍْش أ َ ْق َرنَ ي-صلى هللا عليه وسلم- َِّللا َّ أَنَّ َرسُو َل
َّللاِ ال َّل ُه َّم ْ َ ْش فَأ
ْ ض َجعَهُ ث ُ َّم ذَبَ َحهُ ث ُ َّم َقا َل « ِبا
َّ س ِم َ فَ َفعَلَتْ ث ُ َّم أ َ َخذَهَا َوأ َ َخذَ ا ْل َكب.» ش َحذِيهَا ِب َحج ٍَر ْ ث ُ َّم قَا َل « ا.» َ« يَا عَائِشَةُ َهلُ ِمى ا ْل ُم ْديَة
َ ث ُ َّم.» تَقَبَّ ْل ِم ْن ُم َح َّم ٍد َوآ ِل ُم َح َّم ٍد َومِ ْن أ ُ َّم ِة ُم َح َّم ٍد
.ِضحَّى بِه
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meminta diambilkan seekor kambing kibasy. Beliau
berjalan dan berdiri serta melepas pandangannya di tengah orang banyak. Kemudian beliau
dibawakan seekor kambing kibasy untuk beliau buat qurban. Beliau berkata kepada ‘Aisyah,
“Wahai ‘Aisyah, bawakan kepadaku pisau”. Beliau melanjutkan, “Asahlah pisau itu dengan
batu”. ‘Aisyah pun mengasahnya. Lalu beliau membaringkan kambing itu, kemudian beliau
bersiap menyembelihnya, lalu mengucapkan, “Bismillah. Ya Allah, terimalah qurban ini dari
Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad”. Kemudian beliau menyembelihnya.
Anas berkata,“Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam berqurban dengan dua ekor kambing
kibasy putih. Aku melihat beliau menginjak kakinya di pangkal leher dua kambing itu. Lalu
beliau membaca basmalah dan takbir, kemudian beliau menyembelih keduanya.”
Ibnu Hajar memberi keterangan, “Dianjurkan meletakkan kaki di sisi kanan hewan qurban.
Para ulama telah sepakat bahwa membaringkan hewan tadi adalah pada sisi kirinya. Lalu kaki si
penyembelih diletakkan di sisi kanan agar mudah untuk menyembelih dan mudah mengambil
pisau dengan tangan kanan. Begitu pula seperti ini akan semakin mudah memegang kepala
hewan tadi dengan tangan kiri.”
9
Dari Nafi’,“Sesungguhnya Ibnu Umar tidak suka memakan daging hewan yang disembelih
dengan tidak menghadap kiblat.”
Syaikh Abu Malik menjelaskan bahwa menghadapkan hewan ke arah kiblat bukanlah syarat
dalam penyembelihan. Jika memang hal ini adalah syarat, tentu Allah akan menjelaskannya.
Namun hal ini hanyalah mustahab (dianjurkan).
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dzabihah berarti penyembelihan hewan secara syar‘i demi kehalalan
mengkonsumsinya. Secara kebahasaan berarti penyembelihan hewan atau
memotongnya dengan jalan memotong tanggorokannya atau organ untuk perjalanan
makanan dan minumannya. Secara syara‘,berarti menyembelih dengan cara atau
nahr pada hewan yang boleh dimakan dagingnya dengan kemauan sendiri, atau
membunuh hewan yang sulit disembelih lehernya dengan cara yang disahkan oleh
syara’.
syarat yang harus dipenuhi bagi penyembelih (orang yang akan melakukan
penyembelihan) sebagai berikut.
a. Berakal, baik laki-laki maupun perempuan, sudah baligh atau belum baligh asalkan
sudah tamyiz.
b. Yang menyembelih adalah seorang muslim atau ahli kitab (Yahudi atau Nasrani).
Oleh karena itu, tidak halal hasil sembelihan dari seorang penyembah berhala dan
orang Majusi.
c. Menyebut nama Allah ketika menyembelih. Jika sengaja tidak menyebut nama Allah
padahal ia tidak bisu dan mampu mengucapkan, maka hasil sembelihannya tidak
boleh dimakan menurut pendapat mayoritas ulama.
Imam Syafi‘i menyatakan bahwa sembelihan ahli kitab halal, baik menyebut
nama Allah atau tidak, dengan syarat tidak menyebut nama selain Allah ketika
menyembelih dan tidak diperuntukan untuk tempat peribadatannya. Demikian pula
imam Hanafi dan Hambali sependapat dengan imam Syafi‘i.
11
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Dahlan. 2006. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta. PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve
Sayyid Sabit. 1987. Fiqih Sunnah 13. Bandung. PT. Alma’arif
Abu Sari Muhammad Abdul Hadi. 1997. Hukum Makanan dan Sembelihan dalam
Islam. Bandung. Trigenda Karya
Abdul Fatah Idris. 1987. Terjemahan Ringkas Fiqih Islam Lengkap. Jakarta.
Rineka Cipta
12