Anda di halaman 1dari 51

LIVING HADIS DALAM KERANGKA DASAR KEILMUAN

UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

M. Alfatih Suryadilaga, M.Ag


Dosen Jurusan TH Fak. Ushuluddin
UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta
Pengantar:
living hadis” tampaknya belum begitu
mendapat perhatian di lingkungan
masyarakat akademis, terutama
STAIN/IAIN/UIN dan kampus-kampus
Islam lainnya. Kajian-kajian
akademik mahasiswa jurusan Tafsir-
Hadis di UIN Sunan Kalijaga lebih
banyak menekankan pada kajian-
kajian teks, baik teks sumber (al-
Qur’an dan hadis) maupun teks-teks
produk pemikiran tentang al-Qur’an
dan hadis.
Kajian ini mulai menarik setelah
diadakan sebuah seminar di UIN
Sunan Kalijaga oleh FKMTHI
(Forum Komunikasi Mahasiswa
Tafsir-Hadis se-Indonesia) dengan
mengambil tema “Living Qur’an:
Al-Qur’an sebagai Fenomena
Sosial-Budaya” pada tanggal 13-
15 Maret 2005.
Pengertian:

living hadis” dapat dimaknai sebagai gejala


yang nampak di masyarakat berupa pola-
pola prilaku yang bersumber dari maupun
respons sebagai pemaknaan terhadap hadis
Nabi Muhammad saw.
Di sini terlihat adanya pemekaran wilayah
kajian, dari kajian teks kepada kajian sosial-
budaya yang menjadikan masyarakat agama
sebagai objeknya
Masalah Penelitian
Penelitian ini ingin
memotret bagaimana bentuk
atau model living hadis
yang berkembang di
masyarakat Islam dari
fenomena-fenomena keagamaan
di lokasi yang ditentukan
sebagai sampel penelitian.
Sampel Penelitian:

1. Masjid Besar Mataram Kotagede


Yogyakarta
2. Pondok Pesantren Krapyak (Ali Maksum
dan Al-Munawwir).
Fenomena living hadis di Masjid
Besar Mataram Kotagede :

(1) fenomena ziarah kubur di


pemakaman (pesarean) Panembahan
Senopati;
(2) fenomena seputar praktik shalat
(praying cycle), dibatasi hanya pada
shalat Jumat;
(3) fenomena transkripsi kaligrafi hadis
rukun Islam.
fenomena living hadis di Pondok Pesantren
Krapyak (Ali Maksum dan Al-Munawwir):

(1) fenomena seputar praktik shalat,


dibatasi hanya pada shalat Jumat;
(2) fenomena pembacaan kitab-kitab
hadis selama bulan Ramadhan; dan
(3) fenomena pembelajaran al-Qur’an.
Metode:
• Penelitian kualitatif, yaitu penelitian
kepustakaan (library research) dan
penelitian lapangan (field research)
sekaligus.
• Sumber utama adalah hadis-hadis
yang hidup dalam masyarakat
berupa fenomena prilaku maupun
respons lainnya sebagai pemaknaan
terhadap hadis. Sedangkan sumber
sekundernya dapat berupa literatur-
literatur pendukung sumber primer.
Pendekatan:
• Historis-filosofis, yakni upaya untuk
menelisik persoalan ini dari kacamata
historis terutama ketika menjelajahi
rekaman perjalanan living hadis. Tidak
lupa pula, pendekatan filosofis juga diambil
ketika menelaah nilai-nilai yang abadi dan
yang boleh berubah dalam prinsip dasar
living hadis kaitannya dengan sumber
ajaran Islam.
• Akulturasi juga perlu dipakai untuk
mengetahui proses dan hasil interaksi
antara ajaran-ajaran yang ada dalam hadis
dengan sistem kepercayaan atau budaya
lokal dalam suatu masyarakat.
• Keilmuan hadis, dari sudut penilaiannya
yang normatif, tidak dialpakan untuk
melihat bagaimana proses pemaknaan
masyarakat Islam terhadap hadis.
Pendekatan fenomenologi digunakan
untuk mencari atau mengamati
fenomena living hadis sebagaimana
yang tampak. Dalam hal ini ada tiga
prinsip yang tercakup di dalamnya:
(1) sesuatu itu berwujud; (2)
sesuatu itu tampak; (3) karena
sesuatu itu tampak dengan tepat
maka ia merupakan fenomena.
Penampakan itu menunjukkan
kesamaan antara yang tampak
dengan yang diterima oleh si
pengamat, tanpa melakukan
modifikasi.
Pendekatan Ke-UIN-an

Paradigma Keilmuan UIN Sunan Kalijaga


memandang bahwa antara ilmu-ilmu
qauliyyah/h}ad}a>rah al-nas}s} (ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan teks keagamaan) dengan ilmu-
ilmu kauniyyah-ijtima>‘iyyah/h}ad}a>rah al-
‘ilm (ilmu-ilmu kealaman dan kemasyarakatan),
maupun dengan h}ad}a>rah al-falsafah (ilmu-
ilmu etika kefilsafatan) berintegrasi dan
berinterkoneksi satu sama lain.
Living hadis, dalam perspektif keilmuan UIN Sunan
Kalijaga, tidak lagi menggunakan ilmu-ilmu hadis
(mus}t}alah}a>t al-hadi>th) saja. Tetapi
memadukannya dengan ilmu-ilmu sosial-historis
untuk mengamati dan menjelaskan bagaimana suatu
fenomena hadis terjadi dan berkembang di
masyarakat Islam. Sehingga dari sudut penilaiannya,
tidak berhenti pada aspek normatif-doktrinal semata,
namun lebih pada menjelaskan proses pembentukan
suatu fenomena keagamaan sebagai bagian dari
historisitas Islam.
Lanjutan:

Penelitian ini bersifat deksriptif-


analitis. Maksud dari deskrptif di
sini adalah usaha untuk
menggambarkan konsep dasar
living hadis dan mencari bentuk
dan ragam living hadis serta
menganalisis faktor pembentukan
fenomena living hadis tersebut.
Analisis Data
Metode induktif. Yaitu pola pikir
yang berangkat dari nilai-nilai
khusus yang bersifat partikular
untuk selanjutnya diturunkan pada
sejumlah kasus umum. Fenomena-
fenomena hadis dianalisis dan
kemudian disimpulkan dalam
rumusan-rumusan umumnya.
Lanjutan Metode:

• IPD menggunakan observasi partisipan, kecuali


untuk fenomena pembacaan kitab-kitab hadis
selama bulan Ramadhan. Instrumen lainnya
adalah wawancara dan dokumen (tertulis dan
tidak tertulis).
• Variabel atau unsur yang menentukan sesuatu
sebagai fenomena living hadis adalah bahwa
fenomena tersebut berhubungan atau
bersumber, baik langsung maupun tidak
langsung, dari hadis-hadis Nabi Muhammad
saw.
Fenomena Living Hadis
Masjid Besar Mataram Kotagede
Yogyakarta
Sejarah:
Masjid Besar Mataram terletak di Kotagede bagian
selatan. Kotagede merupakan salah satu kecamatan
di Kotamadya Yogyakarta, yang terletak 6 km di
sebelah tenggara kota. Menurut H. J. van Mook,
Kotagede merupakan komplek tanah desa dan tanah
pertanian yang merupakan sisa peninggalan dari
Kotegede lama. Secara bahasa, Kotagede berasal dari
kata Kuta Gede, yang berarti kota besar. Dalam
istilah Jawa Kromo disebut Kita Ageng, yang juga
biasa disebut Pasar Gede, yang berarti pasar besar.
Komplek ini merupakan daerah Kejawan (dalam
istilah Jawa Kromo disebut Kejawen), yaitu daerah
dimana tidak pernah ada penyewaan tanah
kepatuhan atau tanah kerajaan kepada pengusaha
pertanian bangsa Eropa. (Mook, 1972: 9).
1) Ziarah Kubur:
• Tidak sepenuhnya para peziarah mengamalkan anjuran
ziarah kubur seperti yang dituntunkan Nabi Muhammad
saw. Terkadang, motif dan tujuan mereka sudah
bercampur dengan tujuan-tujuan di luar mendoakan dan
berziarah. Ada yang benar-benar menjaga amaliah, yaitu
sebatas mendoakan, namun ada juga yang meminta-
minta, mencari berkah, dan menjadikan perantara kepada
Tuhan.
• Tradisi ziarah (nyekar) di makam Senopati
mengindikasikan adanya percampuran antara tradisi
Jawa dengan ajaran Islam. Tradisi nyekar adalah aktivitas
upacara yang sangat penting dalam sistem religi orang
Jawa penganut Agama Jawi (sebutan bagi agama Islam
Jawa yang sinkretis, yang menyatukan unsur-unsur pra-
Hindu, Hindu, dan Islam).
• Banyak masyarakat Jawa yang mengunjungi makam pada
waktu nyadran sebelum awal puasa, yaitu upacara
penghormatan kepada leluhur atau keluarga yang sudah
berpulang, yang dilakukan setahun sekali pada bulan
Ruwah (Sya’ban).
2) Shalat Jum’at
Sebelumnya, perlu dijelaskan terlebih
dahulu peralihan ke pengurusan masjid
dari Abdi Dalem kepada masyarakat.
Kepengurusan masjid dipegang oleh
Abdi Dalem sebelum tahun 1950-an.
Namun setelah tahun 1950-an,
kepengurusan diserahkan kepada
masyarakat yang kemudian
membentuk kepengurusan Takmir,
yang saat ini diketuai oleh Showabi,
BA. Perlu diketahui, masyarakat yang
tinggal di sekitar masjid memiliki
tradisi keagamaan Muhammadiyah.
Fenomena seputar praktik shalat di sini
dibatasi hanya pada shalat Jum’at. Ada
beberapa hal yang disorot, yaitu adzan
Jum’at, fenomena menaikkan khatib
yang dilakukan oleh muraqqi’ (baca:
muadzin), pengalihan tongkat dari
muadzin kepada khatib ketika khatib
akan naik mimbar, membaca shalawat
di antara dua khutbah yang dilakukan
oleh muadzin, bacaan surat setelah al-
Fatihah, serta shalat sunnat Qabliyah
dan Ba’diyah Jum’at.
• Adzan Jum’at di masjid ini hanya dilakukan satu
kali, yaitu setelah khatib duduk di mimbar. Hal ini
mengikut pada tradisi zaman Nabi sampai sahabat
‘Umar ibn Khattab. Dulu, waktu masjid ini masih
dikelola oleh Abdi Dalem, adzan Jum’at biasa
dilakukan dua kali. Hal ini berdasar pada riwayat,
bahwa adzan Jum’at dua kali merupakan Sunnah
(baca: kebiasaan) yang dihidupkan pada masa
kepemimpinan Khalifah Usman bin ‘Affan ra.
Karena pada zaman Nabi Muhammad saw. adzan
Jum’at biasa dilakukan hanya satu kali. Sebab
kenapa Usman melakukan ini adalah karena
semakin majunya daerah Islam dan semakin
sibuknya aktivitas umat Islam. Sehingga untuk
melakukan shalat Jum’at tidak cukup memanggil
hanya satu kali. Bahkan, menurut penjelasan J.,
dulu dua kali adzan Jum’at itu dilakukan secara
bersama-sama oleh lima orang muadzin. Hal ini
didasarkan kepada jumlah hari pasaran dalam
tradisi Jawa, yang berjumlah lima hari.
• Adapun fenomena tentang menaikkan khatib yang
dilakukan oleh muraqqi (baca: muadzin), pengalihan
tongkat dari muadzin kepada khatib ketika khatib akan
naik mimbar, dan membaca shalawat di antara dua
khutbah yang dilakukan oleh muadzin, di Masjid Besar
Mataram, setelah kepengurusan masjid dipegang oleh
masyarakat, tidak lagi dilakukan. Karena menurut J.,
mengutip dari Himpunan Putusan Majelis Tarjih
Muhammadiyah (setelah dicek, peneliti tidak menemukan
hadis yang dimaksud), praktik ini tidak disebutkan secara
jelas dalam hadis Nabi.
• Kemudian tentang bacaan setelah surat al-Fatihah. Di
masjid ini biasanya dibacakan surat al-A’la pada rakaat
pertama dan surat al-Ghasyiyah pada rakaat kedua. Atau
ada juga imam yang biasa membaca surat al-Jumu’ah
pada rakaat pertama dan surat al-Munafiqun pada rakaat
kedua. Menurut J. dan S., praktik seperti ini didasarkan
pada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas dan al-
Nu’man bin Basyir.
• Adapun tentang shalat sunnat Qabliyah Jum’at, di Masjid
Besar Mataram ini tidak dilaksanakan. Alasannya,
menurut J., tidak ada dalil yang secara jelas
menyebutkan praktik ibadah ini. Sedangkan shalat
sunnat Ba’diyah Jum’at tetap dilaksanakan. Hal ini
didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah.
3) Fenomena Transkripsi Kaligrafi
Hadis Rukun Islam

• Di bagian atas pintu masuk utama masjid


terdapat transkripsi yang bertuliskan
kaligrafi sebuah hadis tentang rukun Islam.
Hadis tersebut ditulis hanya teks (matan)
berbahasa Arab saja tanpa disertai dengan
sanad (transmitter) dan artinya ke dalam
bahasa Jawa. Secara historis, masyarakat
Kotagede saat itu tentu belum banyak yang
mengerti maknanya karena Kotagede sendiri
adalah kerajaan pertama Mataram Islam di
mana masjid sebagai pusat dakwah Islam
menjadi bagian integralnya.
• Setidaknya ada motivasi yang yang menjadi latar
belakang ditulisnya hadis tentang rukun Islam
tersebut. Sebab, makna hadis tersebut adalah prinsip-
prinsip agama Islam. Informasi yang cukup rasional
diperoleh dari J. (Sesepuh Masjid): “Sebagaimana kita
ketahui, bahwa Raja Mataram itu kan bergelar
Sayyidin Panotogomo. Jadi di samping sebagai
penghulu kerajaan, juga bertindak sebagai penghulu
agama, yang bertanggungjawab terhadap
terpeliharanya nilai-nilai Islam di masyarakat.
Makanya pada pintu gerbang masjid ini
dicantumkan kaligrafi hadis tentang rukun Islam.”
• Sebagai Sayyidin Panotogomo, maka Raja
Mataram bertanggung jawab dalam
menanamkan nilai-nilai Islam kepada
masyarakat saat itu. Inilah motivasi
ditulisnya kaligrafi hadis tentang rukun Islam
di atas pintu masuk utama masjid. Walaupun
harus dijelaskan lagi oleh para mubaligh atau
penceramah, kaligrafi hadis tentang rukun
Islam ini bisa memberikan pencerahan
kepada masyarakat akan dasar-dasar agama
Islam yang didakwahkan pertama kali oleh
penguasa Mataram Islam tempo dulu, yang
dipelopori oleh Ki Ageng Pemanahan dengan
mendirikan Kerajaan Mataram Islam
Pondok Pesantren Al-Munawwir dan Ali
Maksum Krapyak Yogyakarta
Sejarah:
• Didirikan oleh KH. M. Moenawir pada tanggal 15
Nopember 1910 M. Sejak awal berdirinya dan masa
perkembangannya, pondok pesantren ini semula
bernama Pondok Pesantren Krapyak, karena
memang terletak di dusun Krapyak.
• Pada tahun 1976, nama pondok ini ditambah dengan
Al-Munawwir, sehingga lengkapnya adalah Pondok
Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta.
Penambahan nama Al-Munawwir ini untuk
mengenang pendirinya, yaitu KH. M. Moenawwir.
• Selain itu, Pondok Pesantren ini terkenal sebagai
Pondok Pesantren Al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan
keahlian KH. M. Moenauwir yang menjadi figur
ulama ahli Al-Qur’an di Indonesia pada masanya. Al-
Qur’an inilah yang menjadi ciri khusus Pondok
Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta.
• Pada perkembangan
selanjutnya, Pondok Pesantren
Al-Munawwir ini tidak lagi
mengkhususkan pada bidang Al-
Qur’an saja, melainkan
merambah ke bidang ilmu-ilmu
lain, khususnya pendalaman
kitab kuning, yang disusul
dengan sistem Madrasah
(klasikal), yang pada gilirannya
disusul dengan lahirnya
lembaga-lembaga.
• Setelah menempuh perjalanan yang cukup
panjang sampai kepemimpinan KH. Zainal
Abidin Munawwir sekarang, Pondok Pesantren
Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta ini
mengalami perkembangan dan pertumbuhan
yang sangat pesat, khususnya di bidang
pendidikan. Sampai sekarang, telah berdiri
lembaga-lembaga pendidikan, di antaranya
Madrasah Huffadz, Madrasah Salafiyah I, II, III,
IV, Al-Ma’had Al-‘Ali (Perguruan Tinggi Ilmu
Salaf), Majlis Ta’lim, dan Majlis Masyayikh.
Metode, sistem pengajaran, dan kurikulum di
Pondok Pesantren Al-Munawwir adalah berciri
salafi, dengan dibimbing para tenaga pengajar
yang terdiri dari para Kyai, Asatidz, dan santri-
santri senior.
• Pada perkembangan selanjutnya, berdiri juga
Yayasan Ali Maksum (kemudian terkenal
dengan sebutan Pondok Pesantren Ali
Maksum). Yayasan ini berdiri setelah
meninggalnya KH. Ali Maksum, dan
dipegang oleh KH. Attabik Ali. Yayasan Ali
Maksum, berbeda dengan Pondok Pesantren
Al-Munawwir yang mengelola pesantren
secara salafi, mengelola pesantren secara
modern. Sehingga berdirilah beberapa
Madrasah, seperti Madrasah Tsanawiyah
(MTs) Ali Maksum, Madrasah Aliyah (MA)
Ali Maksum, dan Madrasah Aliyah
Keagamaan (MAK) Ali Maksum. Walau
demikian, Yayasan Ali Maksum ini masih
berada dalam koordinasi Pondok Pesantren
Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta.
1) Seputar Praktik Shalat
• Ada yang menjadi penyebab khilafiyah di antara
berbagai kelompok; di antaranya adzan Jum’at dua kali,
fenomena menaikkan khatib yang dilakukan oleh
muraqqi (baca: muadzin), pengalihan tongkat dari
muadzin kepada khatib ketika khatib akan naik mimbar,
dan shalat sunnat Qabliyah Jum’at. Khilafiyah atau
perbedaan ini hanya disebabkan perbedaan dalam
mengambil dalil.
• Semua praktik ibadah yang dilakukan ada sumber
dalilnya. Atas dasar itu, adzan Jum’at dua kali
merupakan Sunnah (baca: kebiasaan) yang dihidupkan
pada masa kepemimpinan Khalifah Usman bin ‘Affan ra.
Karena pada zaman Nabi Muhammad saw. adzan Jum’at
biasa dilakukan hanya satu kali. Sebab kenapa Usman
melakukan ini adalah karena semakin majunya daerah
Islam dan semakin sibuknya aktivitas umat Islam.
Sehingga untuk melakukan shalat Jum’at tidak cukup
memanggil hanya satu kali.
• Adapun tentang fenomena menaikkan
khatib yang dilakukan oleh muraqqi (baca:
muadzin), dengan membaca satu hadis
peringatan agar jamaah Jum’at jangan ada
yang bicara ketika khatib sedang Jum’at,
tidak ada hadis yang menyebutkan secara
jelas. Hanya ada hadis riwayat Ibnu ‘Abbas
yang menyatakan, bahwa barangsiapa
berbicara pada saat khatib sedang
khutbah, maka shalat Jum’atnya sia-sia.
• Hadis inilah yang menjadi dasar adanya
fenomena menaikkan khatib yang dilakukan
oleh muraqqi. Walaupun bentuknya
bermacam-macam, karena ada juga yang
berupa pengumuman biasa dengan
menggunakan bahasa Indonesia. Substansi
dari hadis ini adalah mengingatkan jamaah
Jum’at supaya mendengarkan khutbah,
terserah bagaimanapun caranya.
• Tentang praktik pengalihan tongkat dari
muadzin kepada khatib ketika khatib akan
naik mimbar, Mustaqim mengutip dari kitab al-
Muh}adhdhab fi> Fiqh al-Ima>m al-Sya>fi’i. Menurut al-
Fairuzzabadi, sunnah ini dilakukan
berdasarkan pada hadis yang diriwayatkan
oleh al-Hakim bin Harb.
• Kemudian tentang membaca shalawat di
antara dua khutbah yang dilakukan oleh
muadzin, tidak terdapat hadis yang
menyebutkan secara jelas. Hal ini hanya
didasarkan pada hadis riwayat Abu Burdah,
bahwa waktu di antara duduknya khatib
setelah khutbah pertama sampai
dilaksanakannya shalat Jum’at adalah waktu
mustajab untuk berdoa.
• Sedangkan doanya adalah dengan membaca
shalawat, karena shalawat merupakan pintu
gerbang untuk masuk ke dalam doa.
Walaupun banyak juga jamaah Jum’at yang
berdoa sendiri-sendiri.
• Selanjutnya tentang bacaan surat setelah al-
Fatihah. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh
Ibnu ‘Abbas, bahwa setelah selesai membaca
surat al-Fatihah, pada shalat Jum’at,
Rasulullah biasa membaca surat al-Jumu’ah
dan surat al-Munafiqun. Adapun menurut
hadis riwayat Ibnu ‘Abbas dari Nu’man bin
Basyir, Rasulullah biasa membaca surat al-
A’la dan surat al-Gasyiyah.
• Tetapi, praktik yang dilakukan di masjid
Pondok Pesantren Al-Munawwir berbeda
dengan apa yang telah dituntunkan
Rasulullah saw. Di masjid ini biasanya dibaca
al-Hasyr (59): 18-23. Dulu, biasanya dibaca
surat-surat yang dianjurkan hadis. Mungkin
karena tuntutan psikologis, akhirnya yang
dibaca adalah al-Hasyr (59): 18-23. Selain itu,
tuntunan dalam hadis itu sifatnya sunnah.
• Kemudian tentang shalat sunnat Qabliyah
dan Ba’diyah Jum’at. Mustaqim mengutip
kitab Iba>nat al-Ah}ka>m, syarah kitab Bulu>gh
al-Mara>m karya al-‘Asqala>ni>, bahwa shalat
sunat Qabliyah Jum’at didasarkan pada
hadis riwayat Abu Hurairah, bahwa
barangsiapa yang mandi kemudian hendak
melaksanakan shalat Jum’at, maka
shalatlah sesuai kemampuan (fashalla ma
quddira lahu). Kemudian, kata fashalla ma
quddira lahu ditafsirkan oleh para ulama
sebagai shalat sunat Qabliyah Jum’at.
• Adapun shalat sunat Ba’diyah Jum’at
didasarkan pada hadis riwayat Abu
Hurairah, bahwa barangsiapa yang
melaksanakan shalat Jum’at, maka setelah
melaksanakan shalat Jum’at hendaklah
shalat sunnat empat rakaat. Adapun jika
shalat sunat Ba’diyah Jum’atnya dilakukan
di rumah, maka cukup dua rakaat saja
2) Pembacaan Kitab-kitab Hadis
di Bulan Ramadhan
PKR 1427 H, pembacaan kitab-kitab kuning.
Kegiatan ini dilaksanakan mulai tanggal 1 - 20
Ramadhan 1427 H / 24 September - 13 Oktober 2006
M. Selain diikuti oleh santri Pondok Pesantren Al-
Munawwir dan Ali Maksum, kegiatan ini juga diikuti
masyarakat umum yang ada di sekitar pondok,
khususnya mahasiswa yang berdomisili di sekitar
pondok. Karena kegiatan ini hanya sebagai tambahan
pelajaran kitab pada hari-hari selain Ramadhan,
maka kitab yang dibaca pun berbeda dari kitab yang
biasa dipelajari pada hari-hari biasa di luar
Ramadhan. Kitab yang dibaca biasanya diserahkan
kepada kebijaksanaan ustadz yang mengampu.
Adapun kitab-kitab yang dibaca mencakup kitab-
kitab tentang fiqih, al-Qur’an dan ‘Ulum al-Qur’an,
aqidah, akhlak, hadis, dan lughah.
Kitab-kitab hadis yang dibaca selama Ramadhan:

• al-Adhka>r al-Muntakhabah min Kala>m


Sayyid al-Abra>r karya Ima>m Muh}y al-
Di>n Abu> Zakariyya> Yah}ya> ibn Sharaf al-
Nawa>wi> al-Dimashqi> al-Sha>fi‘i>,
• Sharh} al-Arba‘i>n al-Nawa>wiyyah juga
karya Ima>m Yah}ya> ibn Sharaf al-Di>n al-
Nawa>wi>,
• Bulu>g al-Mara>m min Adillah al-Ah{ka>m
karya Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni>, Riya>d
• } al-S{a>lih}i>n karya Ima>m al-Nawa>wi>
al-Dimashqi, dan
• Luba>b al-H{adi>th karya Ima>m
Jala>luddi>n al-Suyu>t}i>.
• Tujuan dari pembacaan kitab kuning ini
adalah sebagai pengkayaan wacana ke-
Islaman. Metode yang dipakai melalui
pembacaan biasa, dalam rangka
mengartikan kitab, tidak disertai dengan
pemahaman dan pendalaman materi.
Walaupun dalam beberapa kasus—hal ini
didasarkan pada kebijakan ustadz—ada
juga yang lebih menekankan pada
pendalaman materi. Misalnya, kitab Sharh}
al-Arba‘i>n al-Nawa>wiyyah hanya ditekankan
pada pemaknaan saja, yaitu memaknai
kitab kalimat per kalimat, disertai dengan
penjelasan tarki>b (baca: susunan) kalimat
menurut kaidah Nah{w-S{arf. Alasannya
adalah untuk mengejar target khatam
selama Ramadhan.
• Berbeda halnya dengan pengajaran kitab
Bulu>g al-Mara>m min Adillah al-Ah{ka>m. Di
samping pembacaan dan pemaknaan
terhadap kitab, juga.
• ditekankan pada pemahaman materi kitab. Dengan
metode seperti ini, maka tidak mengejar target
khatam. Jadi, bila tidak selesai dibaca selama
Ramadhan, pembacaan kitab ini bisa dilanjutkan
pada Ramadhan tahun depan. Metode yang yang
sama juga diterapkan pada pengajaran kitab al-
Adhkar al-Muntakhabah min Kalam Sayyid al-Abrar.
Karena yang lebih ditekankan adalah aspek
pemahaman, maka dalam pengajarannya beliau lebih
banyak diterangkan isi kitab setelah dibacakan
beberapa hadis. Metode ini diterapkan karena santri
yang ikut pengajian tidak selalu membawa kitab ke
pengajian, bahkan ada santri yang tidak memiliki
kitab. Keragaman daya tangkap para santri juga
menjadi pertimbangan. Perlu diketahui bahwa
pengajaran kitab ini tidak hanya diikuti oleh santri
senior yang sudah lama belajar di pondok, namun
juga santri yang baru masuk pondok pun banyak
yang ikut serta.
• Kitab Syarh} al-Arba’i>n al-Nawa>wiyyah dipilih karena
40 hadis yang terdapat di dalam kitab ini merupakan pokok
agama Islam. Sehingga setelah selesai membaca kitab ini,
diharapkan santri bisa memahami inti ajaran Islam dan
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. (M.,
wawancara: Kamis, 5 Oktober 2006). Begitu pula dengan
pemilihan kitab Bulu>g al-Mara>m min Adillah al-
Ah{ka>m. Karena kitab ini berisi hadis-hadis penting di
bidang fiqih, santri diharapkan dapat mengetahui dalil-dalil
fiqih yang biasa ditanyakan di masyarakat setelah kitab ini
diajarkan. (K., wawancara: Kamis, 5 Oktober 2006).
Namun lain halnya dengan pemilihan kitab al-Adhka>r al-
Muntakhabah min Kala>m Sayyid al-Abra>r yang berisi
doa-doa sehari-hari. Setelah selesai mengaji kitab ini,
diharapkan santri bisa memiliki kemantapan niat,
keteguhan pendirian, dan keikhlasan dalam melaksanakan
ibadah, baik mah{d{ah maupun gayr mah{d{ah.
Selain bulan Ramadhan, juga ada beberapa kitab
hadis yang biasa dikaji, di antaranya adalah kitab
Muqtat}afa>t min Ja>mi’ Kalimih S{alla Alla>h
‘Alyhi wa Sallam karya KH. Zaenal Abidin
Munawwir, yang merupakan ringkasan dari kitab
Fayd} al-Qadi>r karya Ima>m al-Manawi>; dan
kitab Iba>nah al-Ah}ka>m karya Hasan
Sulaima>n al-Nu>ri> dan ‘Alwi ‘Abba>s al-
Makki>, yang merupakan syarah kitab Bulu>g al-
Mara>m min Adillah al-Ah{ka>m. (M.,
wawancara: Kamis, 5 Oktober 2006). Sayangnya,
kitab-kitab hadis induk seperti S{ah}i>h} al-
Bukha>ri> dan S{ah}i>h} Muslim tidak dikaji
baik pada bulan Ramadhan maupun di luar
Ramadhan. Alasannya adalah karena pengajian
kitab hadis di pondok ini diorientasikan kepada
amaliah. Sehingga kitab yang dikaji adalah kitab
yang membahas amaliah sehari-hari yang praktis,
3) Pembelajaran al-Qur’an

Hal yang diteliti pada bagian ini adalah


respons para ustadz dan santri Huffadz
terhadap hadis tentang keutamaan orang
yang mengajar dan mempelajari al-Qur’an,
yaitu: “Khairukum man ta‘allam al-qur’a>n
wa ‘allamah.” Hadis ini mengisyaratkan,
bahwa orang yang belajar dan
mengajarkan al-Qur’an memiliki
keistimewaan sebagai “sebaik-baik orang
di antara kamu”. Bentuk pembelajaran
yang dimaksud hadis ini bisa berupa
belajar membaca, memahami, maupun
menghafal al-Qur’an.
Pembelajaran al-Qur’an di Komplek Huffadz
Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak
saat ini hanya ditekankan pada kegiatan
menghafal al-Qur’an saja, tidak disertai
pendalaman makna. Dahulu, di samping
menghafal al-Qur’an, kegiatan
pembelajaran al-Qur’an juga disertai
dengan memahami maknanya dan
mempelajari ‘Ulumul Qur’an. Perubahan ini
berakibat pada pemahaman santri
terhadap al-Qur’an yang beragam. Tidak
disertainya pendalaman makna juga
disebabkan karena sekitar 80 % santri
yang menghafal al-Qur’an juga sambil
kuliah. Berbeda dengan beberapa tahun
yang lalu, hanya 20 % saja yang sambil
kuliah. Walaupun demikian, terkadang ada
ustadz yang memberi pelajaran tambahan
selain menghafal al-Qur’an. Namun hal itu
tidak bersifat formal.
• Adapun metode menghafal al-Qur’an di
Komplek Huffadz ini adalah santri
menghafal secara personal. Setelah
hafalannya cukup, baru menemui ustadz
yang telah ditunjuk oleh Kyai. Waktu
setorannya adalah setelah Isya dan
Shubuh. Adapun setelah Maghrib, biasanya
membaca al-Qur’an secara bersama-sama
dalam rangka mengulang hafalan (takra>r).
Hafalan di bawah 10 juz disetorkan kepada
ustadz yang ditunjuk Kyai. Sedangkan
hafalan di atas 10 juz baru diperbolehkan
untuk disetorkan kepada Kyai.
• Ada fenomena unik dalam kegiatan takra>r
yang dilakukan setelah shalat Maghrib ini.
Biasanya, sebelum takra>r, para santri
secara bersama-sama
• membaca syair yang berisi doa agar dilancarkan
dalam menghafal al-Qur’an.
• Kemudian setelah hafalan mencapai 30 Juz,
biasanya ada beberapa santri yang melakukan
ritual khusus (baca: riya>d{ah). Ritualnya adalah
dengan membaca al-Qur’an selama 40 hari, per
harinya khatam satu kali, yang diiringi dengan
puasa selama 40 hari, serta ibadah-ibadah sunnah
lainnya. Ritual ini biasanya dilakukan di masjid,
atau di makam pendiri pondok, yaitu Mbah KH. Al-
Munawwir, yang terletak di Pemakaman Umum
daerah Dongkelan. Karena beratnya ritual ini, tidak
semua santri bisa melakukannya. Tujuannya agar
hafalan al-Qur’an semakin lancar. Dengan demikian,
sebenarnya cara menghafal al-Qur’an itu ada dua
cara. Pertama, usaha lahir, dengan cara menghafal.
Kedua, usaha batin, dengan cara melakukan ritual,
riyadah, shalat sunnat, puasa sunnat, atau zikir.
Tetapi KH. Zaenal Abidin Munawwir lebih
menekankan pada aspek lahir, yaitu menghafal al-
Qur’an dan men-deres hafalan yang lalu.
Selain kegiatan menghafal al-Qur’an, setiap
2 tahun sekali, pihak pondok mengadakan
wisuda bagi santri-santri yang telah selesai
khatam al-Qur’an. Ada empat kategori yang
mengikuti wisuda al-Qur’an. Pertama,
Qira>’ah Mashhu>rah bi al-Ghayb 30 juz.
Kedua, Qira>’ah Mashhu>rah bi al-Naz}ar
30 juz. Ketiga, Qira>’ah Sab‘ah bi al-
H{ifz} bi al-Ghayb. Keempat, Juz’ ‘Amma bi
al-Ghayb.
• Tentang menghafal Qira>’ah Sab‘ah, biasanya
dibimbing langsung oleh KH. Zaenal Abidin
Munawwir. Kegiatan ini hanya dikhususkan bagi
santri yang telah selesai menghafal al-Qur’an
sebanyak 30 juz. Adapun kitab yang jadi pegangan
dalam menghafal Qira’ah Sab’ah adalah kitab Fayd{
al-Barakat fi> Sab’i al-Qira>’at karya Muhammad Arwani
bin Muhammad Amin al-Qudusi.
• Intinya, kegiatan pembelajaran al-Qur’an seperti
tersurat dalam hadis di atas hanya difokuskan
kepada menghafal al-Qur’an dan menyetorkannya,
yang dilakukan oleh para santri; serta menyimak
dan membetulkan hafalan al-Qur’an para santri,
yang dilakukan oleh ustadz. Kegiatan mengkaji
makna, memperdalam, dan mengamalkan al-Qur’an,
yang juga terkandung dalam hadis ini, tidak
dilaksanakan.
Terimakasih
Wassalam

Anda mungkin juga menyukai