Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

KEARIFAN BUDAYA LOKAL KALTENG,


KALSEL DAN JAWA
Dibuat untuk Memenuhi Salah SatuTugas Mata Kuliah
Kepemimpinan Budaya Lokal
Dosen : Dr.H. Abu Bakar, M.Ag.

oleh :
TITAWATI
NIM. 19013261

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PALANGKARAYA
2020

1
2

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Alhamdulillah kehadiran Allah SWT hanya dengan

limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas Makalah yang

berjudul “Kearifan Budaya Lokal Kalteng, Kalsel dan Jawa”

Dengan terselesaikannya pembuatan makalah ini penulis tidak lupa

mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada semua pihak yang telah

banyak membantu.

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini jauh dari sempurna. Untuk itu,

segala kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak selalu penulis

harapkan.

Kuala Kapuas, Maret 2020

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN
HALAMAN JUDUL .................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 3
C. Tujuan Pembahasan ........................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Nilai Budaya Lokal ........................................................... 3
B. Kearifan Budaya Lokal ................................................................... 4
1. Kearifan Budaya Lokal Kalteng .................................................... 5
2. Kearifan Budaya Lokal Kalsel .............................................. 11
3. Kearifan Budaya Lokal Jawa..................................................... 23

BAB III PENUTUP


A. Simpulan ............................................................................................ 30
B. Saran .................................................................................................. 31

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah Negara kepulauan yang memiliki bermacam- macam suku,


kebudayaan dan bangsa. Kebudayaan yang beraneka ragamtersebut tentu dapat
terjadi karena perbedaan suku yang terlihat pada setiap wilayahdan daerah di
Indonesia.Tentu saja ini menjadi sebuah tradisi yang turun-temurun
sejak dahulu.Kebudayaan ini tentu saja harus kita pelihara dan lestarikan
keberadaannya, ini merupakan bekal untuk generasi yang akan datang agar
mereka juga bisa mengetahui danmelihat keindahan, keunikkan dan keaslian dari
kebudayaan tersebut.
Dalam suatu masyarakat terdapat suatu kearifan budaya. Kearifan
budaya suatu masyarakat merupakan kumpulan pengetahuan dan cara berpikir
yang berakar dalam kebudayaan suatu kelompok manusia, yang merupakan hasil
pengamatan selama suatu kurun waktu yang lama. Kearifan tersebut banyak
berisikan gambaran tentang anggapan masyarakat yang bersangkutan tentang hal-
hal yang berkaitaan dengan struktur lingkungan; bagaimana lingkungan berfungsi;
bagaimana reaksi alam terhadap tindakan-tindakan manusia, serta hubungan-
hubungan (yang sebaiknya tercipta) antara manausia (masyarakat) dengan
1
lingkungan alamnya.
Diantara sekian banyak kearifan budaya lokal yang terdapat di Indonesia.
Pada makalah ini penulis akan membahas kearifan lokal yang ada di Kalimantan
Tengah dan Kalimantan Selatan dan kearifan lokal Jawa

1
Norginayuwati dan Achmad Rafieq.Kearifan budaya lokal dalam pemanfaatan lahan lebak
untuk pertanian di Kalimantan Selatan, (tanpa kota: tanpa penerbit, tanpa tahun), h. 30.

1
2

B. Rumusan Masalah

Adapun masalah yang dibahas pada makalah ini adalah :

A. Apa pengertian Nilai Budaya Lokal ?

B. Menjelaskan kearifan Budaya Lokal Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan

dan Jawa

C. Tujuan Penulisan Makalah

Adapun tujuan yang diharapkan setelah membaca dan memahami makalah ini,

yakni :

1. Mengetahui pengertian Nilai budaya lokal

2. Mengenal kearifan Budaya Lokal Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan

dan Jawa
BAB II
PEMBAHASAN

A. Nilai Budaya Lokal


1. Pengertian Nilai Budaya Lokal

Nilai budaya adalah seperangkat nilai-nilai yang disepakati dan tertanam


dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, atau lingkungan masyarakat, yang
telah mengakar pada kebiasaan, kepercayaan (believe), dan simbol-simbol,
dengan karakteristik tertentu yang bisa dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan
prilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi.
Nilai-nilai budaya akan terlihat pada simbol-simbol, slogan, moto, visi
misi, atau sesuatu yang tampak sebagai acuan pokok moto suatu lingkungan atau
organisasi. Ada tiga hal yang berkaiatan dengan nilai-nilai budaya yaitu: Simbol-
simbol, slogan atau yang lainnya yang kasat mata (jelas) Sikap, tingkah laku,
gerak gerik yang muncul sebagai akibat adanya slogan atau moto tersebut
Kepercayaan yang tertanam (believe system) yang telah mengakar dan menjadi
kerangka acuan dalam bertindak dan berperilaku (tidak terlihat).
Berikut Beberapa Pengertian Nilai Budaya Menurut Para Ahli, antara
lain:
1. Koentjaraningrat (dalam Warsito 2012 : 99)
Nilai budaya merupakan nilai yang terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup
dalam alam fikiran sebahagian besar warga masyarakat dalam hal-hal yang
mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat
menjadi orientasi dan rujukan dalam bertindak bagi mereka. Oleh sebab itu,
nilai budaya yang dimiliki seseorang mempengaruhinya dalam mengambil
alternatif, cara-cara, alat-alat dan tujuan-tujuan pembuatan yang tersedia.
2. Clyde Kluckholn (dalam Warsito 2012: 99)
Nilai budaya ialah sebagai konsepsi umum yang terorganisasi, berpengaruh
terhadap perilaku yang berkaitan dengan alam, kedudukan manusia dalam
alam, hubungan orang dengan orang dan tentang hal-hal yang diingini dan
tidak diingini yang mungkin berkaitan dengan hubungan orang dengan
lingkungan dan sesama manusia.
3. Sumaatmadja (dalam Koentjaraningrat 2000: 180)
Nilai budaya merupakan nilai-nilai yang melekat dalam masyarakat yang
mengatur keserasian, keselarasan, serta keseimbangan berdasarkan pada
perkembangan penerapan budaya dalam kehidupan.
Dari penjelasan diatas, dapatlah dikatakan bahwa nilai budaya tidak
terlepas daripada norma dan cara berperilaku mengkondisikan sikap dan reaksi
terhadap peristiwa dan berbagai contoh fenomena sosial dalam konteks budaya.
Berbagai norma dan tren yang muncul terus-menerus dari kelompok yang
pada gilirannya menciptakan seperangkat keyakinan dan persepsi pemahaman
bersama. Seperangkat nilai-nilai dan kepercayaan umum yang dipelajari secara
individu melalui pendidikan dan sosialisasi dan yang diakui dan dibagikan oleh
anggota masyarakat.
Budaya local merupakan budaya asli atau dapat didefinisikan sebagai
cirri khas berbudaya sebuah kelompok dalam berinteraksi atau berprilaku dalam
ruang lingkup kelompok tersebut. Kelompok yang dimaksudkan biaanya
terikatdengan tempat atau masalah Geografis. Seperti halnya kebudayaan pada
umumnya yang memeng banyak mendapatkan pengaruh dari banyak factor
( Geografis, agama, polotik, ekonomi dan lain lain
Sumber dari budaya local tersebut biasanya berasal dari nilai nilai agama,
kebiasaan dan petuah pendahulunya ( nenek moyang ) ataupun adat istiadat.
B. Kearifan Budaya Lokal
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kearifan berarti kebijaksanaan
2
atau kecendekiaan. Sedangkan lokal berarti setempat, terjadi (berlaku, ada, dan
3
sebagainya) di satu tempat saja, tidak merata.

2
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 89.
3
Tim Penyusun, Kamus Besar…872
5

Kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local).
Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti
setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum
maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan
setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam
4
dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Jadi, kearifan lokal adalah kebijaksanaan yang berasal dari kebudayaan
masyarakat setempat.
1. Kearifan Budaya Lokal Kalimantan Tengah
a. Rumah adat
1) Huma betang
Huma betang adalah rumah panjang khas suku Dayak Ngaju. Suku
Dayak ini termasuk dalam rumpun Ot Danum yang mendiami wilayah
Kalimantan Tengah. Rumah ini panjangnya bisa mencapai 30—150
meter.Lebarnya bisa sampai 10-30 meter.Lantainya tidak langsung
menyentuh tanah.Ada tiang-tiang penyangga lantai setinggi 3-5 meter dari
permukaan tanahnya.
Rumah ini dapat dihuni oleh 100-150 jiwa.Dalam huma betang dipimpin
oleh seorang pembakas lewu atau ketua kampung sehingga rumah ini disebut
pula rumah suku.Ada sebuah tangga dan pintu masuk ke dalamnya.Ornamen
khas suku Dayak Ngaju sebagai bagian kebudayaan mereka sangat kental di
rumah ini.Rumah ini berbahan kayu ulin. Kayu ini bisa tahan sampai dengan
ratusan tahun dan antirayap. Pada zaman dulu rumah ini tidak
bercat.Warnanya sesuai dengan warna kayu ulin ini.Atapnya menggunakan
bahan sirap dengan jenis atap pelana yang memanjang.Di bagian tengah atas
atap itu ada lagi atap pelana tambahan.Terdapat kayu membentuk huruf V
5
tepat di setiap ujung bubungannya.

4
Elisa, Nilai-nilai Kearifan Lokal, (Yogyakarta: Universitas gajah Mada, tanpa tahun), h. 1.
5
Muhammad Jauhari Ali, Mengenal Kearifan Lokal… h. 34
6

Betang merupakan tempat tinggal permanen untuk beberapa generasi,


dibangun di desa oleh beberapa kepala keluarga yang masih memiliki ikatan
pertalian darah/keturunan atau rumah yang menampung banyak keluarga di
dalamnya. Walaupun rumah Betang menampung banyak keluarga yang
ditampung yang hidup dalam satu atap, tetapi mereka memiliki pemimpin
atau kepala adat atau panglima perang yang dapat melindungi mereka dari
serangan musuh, yaitu seperi Betang Buntoi di pimpin oleh seorang Singa
Djala, Betang Tumbang Korik di pimpin oleh Singa Kiting, Betang Tumbang
Anoi dipimpin oleh Damang Batoe, dan lain-lain.
Adapun makna dari Huma Betang ini ialah secara filosofis sebutan
Betang juga dapat diartikan sebagai suatu perwujudan budaya hidup bersama
dalam satu atap, kegotong royongan, saling pengertian dalam naungan hukum
adat yang jelas.Ini adalah suatu gambaran yang nyata dan logis dari suatu
peradaban tradisional dimana pada waktu itu keadaan lingkungan fisik yang
masih ganas dan buas.Kebersamaan adalah suatu perwujudan kekuatan yang
6
memungkinkan untuk pertahanan dan keberlangsungan.
2) Lewu Hante
Lewu hante merupakan rumah panjang tradisional suku Dayak
Maanyan.Suku Dayak ini banyak mendiami daerah Kalimantan Tengah.
Mereka termasuk dalam rumpun Ot Danum. Bahan utama bangunan rumah
ini adalah kayu ulin.Jarak antara lantai dan permukaan tanah sekitar 3-5
meter.
Rumah ini hanya memiliki tangga tunggal untuk
memasukinya.Atapnya menggunakan atap pelana yang memanjang. Di atas
atap ini tidak ada atap pelana tambahan.Bahan atap terbuat dari sirap.
Di bagian mahkota atap terdapat ukiran bermotif burung enggang dan
naga.Seni ukir ini merupakan bagian dari kebudayaan dan kepercayaan
mereka.Ukiran burung enggang melambangkan dunia atas, sedangkan ukiran

6
Tari Budayanti Usop, Kearifan Lokal dalam Arsitektur Kalimantan Tengah yang
Berkesinambungan, (Tanpa kota: Tanpa Penerbit, 2011), Jurnal, Vol. 6, No 1 h. 27.
naga melambangkan dunia bawah.
b. Tari tradisional
1) Tari hugo dan huda
Tarian hugo dan huda ini merupakan tarian yang termasuk dalam
ritual agar para dewa menurunkan hujan ke bumi. Tarian ini
biasanya dilakukan apabila telah berlangsung musim kemarau yang
cukup lama.
2) Tari putri malawen
Tari ini tepatnya berada di daerah Barito.Tarian ini pada zaman
kerajaan dahuku ditampilkan pada caara-acara besar kerajaan dan
ditarikan oleh seorang gadis yang berasal dari sekitar danau
Malawen di Barito.
3) Tari tuntung tulus
Tari tuntung tulus adalah tarian tradisional yang berasal dari
Kalimantan Tengah.Tarian ini ditampilkan pada acara perlombaan
atau event tertentu di Kalimantan.
4) Tari giring-giring
Tari giring-giring disebut juga dengan tari gangereng adalah tari
tradisional yang biasanya ditampilkan untuk menyambut kedatangan
tamu di Barito.Aksesoris yang digunakan para penari yaitu giring-
giring terbuat dari bambu tipis (telang) yang diisi dengan biji
―piding‖ sehingga menghasilkan suara yang ritmis dengan alunan
kangkanong (gamelan) oleh penarinya.

5) Tari Manasai
Tari Manasai adalah tarian pergaulan pemuda dan pemudi
masyarakat Dayak di daerah Kalimantan tengah.Tarian ini dilakukan
oleh beberapa orang peserta, pria dan wanita yang berdiri berseling-
seling antara pria dan wanita dalam satu lingkaran.Tarian Manasai
dari Kalimantan Tengah dimulai dengan posisi semua penari
menghadap ke dalam lingkaran, kemudian berputar kearah kanan,
sambil melakukan gerak maju bergerak berlawanan arah jarum
jam.Kemudian menghadap ke arah luar lingkaran, berputar lagi ke
arah kiri sambil melakukan gerak maju. Tidak ada batasan usia
dalam tarian ini. Siapapun boleh bergabung.
6) Tari Belian Bawo
Tari ini dipertunjukkan untuk melakukan pengobatan, menolak
penyakit, membayar nazar dan sebagainya.
7) Tari Balean Dadas
Tari ini diprgunakan untuk meminta kesebuhan kepada tuhan bagi
masyarakat yang sakit. Para penari Balean Dadas memakai pakaian
adat dauak yang khas penuh warna seperti hitam, putih, merah, hijau
dan kuning melakukan tarian ini untuk memohon kesembuhan
kepada Ranying Hatala langit (Tuhan) bagi mereka yang sakit.
Selain itu, biasanya seorang dukun perempuan atau Balean dadas
ikut dalam tarian ini.
8) Tari Manganjan
Tari ini biasanya dilakukan oleh masyarakat baik laki-laki maupun
perempuan untuk melakukan ritual tertentu seperti upacara tiwah
atau upacara lain. Tiwah sendiri merupakan prosesi menghantarkan
roh leluhur sanak saudara yang telah meninggal dunia ke alam baka
dengan cara menyucikan dan memindahkan sisa jasad menuju
7
sebuah tempat yang bernama sanding.
c. Bahasa daerah
Masyarakat Kalimantan Tengah menggunakan bahasa Indonesia sebagai
bahasa pengantar. Sebagian bahasa masyarakat Kalimantan Tengah
(sekitar 60 %) terutama di daerah perkotaan telah mengenal dan
menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi terutama sebagai

7
https://www.tradisikita.my.id/2015/06/tari-tradisional-kalimantan-tengah.html. Diakses tanggal 22
April 2018.
9

bahasa pengantar di pemerintahan dan pendidikan. Pelajaran Bahasa


Indonesia telah diajarkan kepada para siswa sejak di bangku sekolah
dasar.
Sebagian besar penduduk Kalimantan Tengah terdiri atas suku bangsa
Dayak.Suku ini terdiri dari atas beberapa subsuku bangsa.Mereka
memiliki beberapa subsuku bangsa mereka memiliki beberapa bahasa
daerah.Bahasa Dayak Ngajuadalah bahasa Dayak yang paling luas
digunakan di Kalimantan Tengah, terutama di daerah sungai Kahayan
dan Kapuas. Bahasa Dayak Ngaju terbagi dalam berbagai dialek seperti
bahasa Dayak Katingan dan Ruangan. Selain itu bahasa Ma’anyan di
daerah aliran sungai Barito dan Ot Danom oleh suku Dayak Ot Danom di
Hulu Sungai Kahayan dan Kapuas.
Bahasa yang yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari
adalah bahasa banjar.Hal ini dikarenakan memiliki kedekatan geografis
dengan daerah Kalimantan Selatan yang mayoritas dihuni oleh suku
(orang) Banjar, dan cukup banyak orang Banjar yang merantau ke
Kalimantan Tengah.Bahasa lainnya adalah bahasa Jawa, bahasa Batak,
dan sebagainya yang dibawa para pendatang.
Menurut Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalimantan Tengah, bahasa
daerah (lokal) terdapat di sebelas DAS meliputi sembilan bahasa
dominan dan tiga belas bahasa minoritas. Sembilan bahasa dominan yaitu
bahasa: Melayu, Banjar, Ngaju, Maanyan, Ot Danom, Katingan,
Bakumpai, Tamuan, Sampit. Tiga belas bahasa Minoritas yaitu: Mentaya,
Pembuang, Dayak Bara Injey, Balai, Bulik, Kadoreh, Mendawai,
Waringin, Dusun Bayan, Dusun Tawoyan, Dusun Lawangan, Dayak
8
Barean.
d. Upacara adat
Upacara di sini tidak dapat dipisahkan dari agama dan kepercayaan yang

8
https://www.senibudayaku.com/2017/11/bahasa-daerah-kalimantan-tengah.html. Diakses pada 22
April 2018
10

dinut oleh masyarakat Kalimantan Tengah.Diantaranya yaitu:


1) Wadian
Upacara adat suku Dayak (Dusun, Maanyan, lawangan, Bawo) dalam
rangka pengobatan terhadap orang sakit. Upacara wadian berlangsung
selama satu minggu lebih, jenis wadian antara lain wadian Pangunraun
(Pangunraun Jatuh, Pangunraun Jawa), Wadian Dapa, Wadian Tapa
Unru, Wadian Bawo, Dan Wadian Bulat.
2) Adat rukun kematian kaharingan
Jenis adat ini meliputi Ngalangkang, Nambak, Ngatet Panuk, Wara,
wara Nyalimbat, Ijambe, Bontang, Kedaton, Manenga Lewu, dan
Marabia. Hanya boleh dilaksanakan dari bulan Mei sampai bulan
September setiap tahun kecuali untuk Kaharingan Lawangan yang
upacara kematiannya disebut ―Wara‖.
3) Upacara adat tiwah
Tujuan iwah adalah mengantarkan arwah orang yang telah meninggal
dunia ke Lewu Tatau atau ke Lewu Liau, yaitu tempat tujuan akhir
sempurna bersama Ranying Hatalla (Tuhan).Ritual tiwah memakan
waktu selama dua bulan.
4) Mamapas lewu
Mamafas lewu merupakan manifestasi tatanan kehidupan dalam
berinteraksi dengan komunitas sesama.Kegiatan ini bertujuan
membersihkan alam dan lingkungan hidup (petak danum) beserta
segala isinya dari berbagai sengketa, bahaya sial, wabah penyakit,
menciptakan suasana panas menjadi dingin dan gerah menjadi sejuk.
5) Manetek kayu
Tradisi memperlihatkan kemampuan, keterampilan dan kekuatan pria
Dayak dalam menggunakan pahera untuk bisa bertahan hidup.Sama
nilainya dengan kemampuan menyumpit, memainkan Mandau
9
maupun tradisi lainnya.
Jadi, contoh kearifan lokal yang ada Kalimantan Tengah sangat beragam
seperti rumah adat, tari tradisional, bahasa daerah, dan upacara adat. Adapun makna
dari kearifan lokal tersebut tergantung dari daerah masing-masing.
2. Kearifan Budaya Lokal Kalimantan Selatan
a. Rumah adat
1) Rumah Bubungan Tinggi
Rumah adat ini adalah rumah khas suku Banjar.Dahulu rumah ini menjadi
pilihan kediaman Sultan Banjar.Rumah bubungan tinggi terbuat dari kayu
ulin atau kayu besi.Kayu ini terkenal sangat kuat. Kayu ini dapat bertahan
sampai dengan ratusan tahun dan anti rayap..
Lantai rumah ini tidak langsung menempel di tanah.Ada tiangtiang
penyangga untuk menopang lantainya.Jarak antara tanah dan lantainya kurang
lebih dua meter.Anak tangga untuk menaikinya selalu ganjil.Terasnya
dikelilingi pagar berupa susunan papan berukir kembang bogam atau bentuk
geometris.Pagar ini dinamakan kandang rasi.Atapnya terbuat dari kepingan
papan tipis-tipis.
Ukuran rumah ini, baik tinggi, panjang, maupun lebarnya, berbeda-beda
antara rumah satu dengan lainnya.Perbedaan ini karena pada waktu itu
ukurannya ditentukan oleh ukuran depa atau jengkal pemilik rumah masing-
masing.Pada zaman dahulu, rumah jenis ini tidak dicat. Warnanya sesuai
dengan warna kayu ulin yang digunakan. Kayu ini jika masih baru berwarna
coklat kekuningan.Setelah lama, warnanya menjadi coklat kehitaman.
Adapun makna dari rumah ini melambangkan perpaduan dunia atas dan
dunia bawah. Ukiran burung enggang yang disamarkan pada bagian ujung
garis lintang atap rumah ini melambangkan alam atas.Sementara ukiran naga
yang juga disamarkan melambangkan alam bawah.Ukiran naga ini terdapat di
bagian ujung penampih, yakni papan yang mengelilingi bagian bahwa

9
https://www.senibudayaku.com/2017/12/upacara-adat-kalimantan-tengah.html. Diakses pada 22
April 2018.
rumah.Ukiran-ukiran itu sengaja disamarkan.Alasannya karena dalam ajaran
Islam yang mereka anut tidak dibolehkan mengukir makhluk bernyawa secara
jelas.Wujud rumah ini secara keseluruhan melambangkan pohon
kehidupan.Pohon ini memiliki makna keseimbangan dan keharmonisan antara
sesama manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan Yang
10
Maha Esa.
2) Rumah Gajah Baliku
Rumah ini juga termasuk rumah tradisional suku Banjar.Pada masa
Kesultanan Banjar, rumah ini merupakan tempat tinggal para saudara
sultan.Sebenarnya bentuk fisiknya mirip dengan rumah bubungan tinggi.
Perbedaan antara rumah bubungan tinggi dan rumah ini terletak pada ruang
tamu kedua jenis rumah.Pertama, pada ruang tamu rumah bubungan tinggi,
lantainya berjenjang, sedangkan pada rumah ini lantainya tidak
berjenjang.Perbedaan ini karena rumah bubungan tinggi adalah bangunan
istana yang didiami sultan.Saat menghadap raja tentu ada tingkatan ruangan
sesuai dengan jabatan dari tiap-tiap tamu yang hadir.
Kedua, pada rumah bubungan tinggi, atap ruang tamu tidak memakai kuda-
kuda, sedangkan rumah gajah baliku memakai kuda-kuda.Rumah jenis ini
dulunya juga berbahan kayu ulin dan tidak dicat.Sementara itu, bangunan
baru yang menggunakan bentuk jenis rumah ini sudah dicat sesuai
selera.Bangunan rumah ini menghadap ke arah sungai sebagai bagian dari
kebudayaan sungai suku Banjar.Terdapat pula seni ukir khas suku Banjar di
dalamnya.
Makna dari rumah ini yaitu secara keseluruhan bangunannya mengandung
makna keseimbangan dan keharmonisan antara sesama manusia, termasuk
antara sultan dan saudara-saudaranya, manusia dengan alam, dan manusia
dengan Tuhan Yang Maha Esa.
3) Rumah Palimasan

10
Muhammad Jauhari Ali, Mengenal Kearifan Lokal di Kalimantan, (Jakarta: Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017), h. 3-4.
13

Rumah ini masih termasuk rumah tradisional suku Banjar.Bahan dasarnya


adalah kayu ulin yang lebih besar.Salah satu ciri utama rumah ini adalah
semua bagian atap sirapnya menggunakan atap model perisai.Penggunaan
atap model ini membentuk atap berwujud limas.Karena itulah, rumah ini
dinamakan rumah palimasan.
Model awal bangunan induknya berbentuk segi empat yang
memanjang.Dalam perkembangannya, bagian agak belakang bangunan induk
ini mendapatkan tambahan ruang pada sisi sampingnya.Ruang tambahan yang
disebut anjung ini pun beratapkan limas.Pada zaman dulu, rumah ini tidak
dicat dan menghadap ke arah sungai.Warna kayu ulinlah yang menjadi warna
alaminya dengan dihiasi seni ukir khas suku Banjar. Kini rumah palimasan
yang tersisa atau bangunan gedung yang berbentuk rumah palimasan dicat
sesuai dengan selera pemilik masing-masing.
Pada masa Kesultanan Banjar, bangunannya didiami oleh
bendaharawan.Tugas bendaharawan ini memelihara emas dan perak
kesultanan.Rumah dengan bahan yang kuat ini bermakna kehati-hatian dan
11
keteraturan dalam menjaga harta benda yang dimiliki.
4) Rumah Balai Bini
Rumah tradisional suku Banjar yang satu ini pada masa Kesultanan Banjar
didiami oleh para putri sultan atau warga sultan dari pihak
perempuan.Bangunan induknya yang segi empat memanjang memakai atap
model perisai.Bentuk bangunan induk ini biasanya dinamakan rumah gajah.
Atap rumah yang menyerupai perisai ini bermakna perlindungan terhadap
wanita.
Bagian bangunan di samping kiri dan kanan bangunan induk tersebut
dinamakan anjung.Anjung memakai atap sengkuap. Atap model ini disebut
dengan nama atap pisang sasikat. Arti pisang sasikat adalah pisang
sesirir.Dinamakan demikian karena ruang bagian kanan dan kiri yang beratap

11
Muhammad Jauhari Ali, Mengenal Kearifan Lokal … h. 7-9
14

pisang sasikat ini menyerupai sesisir pisang.


Pada dinding depan rumah terdapat satu pintu masuk. Terdapat jendela kanan
dan kiri di antara pintu ini.Terasnya diberi pagar kandang rasi seperti pada
rumah bubungan tinggi. Rumah ini diberi atap yang menutupi bagian atas
emper depan. Atap ini dinamakan atap sindang langit yang tidak diberi
plafon.Di bagian terasnya ada empat buah pilar penyangga emper depannya.
Semua model atap rumah ini menggunakan sirap.Rumah ini juga tidak dicat
seperti rumah-rumah tradisional suku Banjar lainnya.Warna kayu ulinlah
yang menjadi warna aslinya dengan dihiasi seni ukir khas suku Banjar.Rumah
ini menghadap ke arah sungai sebagai bagian dari kebudayaan sungai di
Kalimantan Selatan.Pada perkembangannya, bangunan gedung modern yang
memakai model rumah ini dicat sesuai selera.
5) Rumah Tadah Alas
Rumah ini juga termasuk salah satu rumah tradisional suku Banjar. Disebut
tadah alas karena ada satu lapis atap perisai sebagai kanopi di bagian paling
depan. Atap perisai inilah yang disebut tadah alas.Sebenarnya kanopi atau
tadah alas ini sengaja ditambahkan sebagai pengembangan dari rumah balai
ini.
Rumah ini berbahan dasar kayu ulin.Bangunan induknya juga berbentuk segi
empat memanjang.Bagian depannya beratap perisai. Atap bagian depan ini
ditumpangi atap perisai lainnya mulai dari beranda paling atas atau ruangan
setengah terbuka yang dinamakan surambi pamedangan. Ruang samping atau
disebut anjung ada yang ditutupi atap sengkuap pisang sasikat dan ada juga
yang ditutupi atap perisai juga.Semua atap berupa sirap dengan bahan kayu
ulin.
Semula rumah ini juga tidak dicat.Sesuai perkembangan zaman, ada yang
dicat dengan warna-warna sesuai dengan selera pemiliknya.Rumah ini
menghadap ke sungai dengan dihiasi ukiran khas suku Banjar.
Tadah alas atau kanopi ini mengandung makna keadilan secara
menyeluruh.Keadilannya terlihat jelas dengan adanya perlindungan bagian
15

induk rumah dengan atap utama dan perlindungan bagian depannya dengan
atap tadah alas.
6) Rumah Gajah Manyusu
Rumah gajah manyusu adalah sebuah nama kolektif. Nama kolektif ini untuk
menyebut semua bentuk rumah tradisional suku Banjar yang bangunan
induknya beratap perisai buntung.Dalam bahasa banjar disebut atap hidung
bapicik.
Pada masa Kesultanan Banjar, rumah ini memang dihuni oleh keturunan raja
di garis utama.Mereka disebut warit sultan atau bubuhan gusti yang
merupakan para calon pengganti sultan. Di bagian terasnya ada empat buah
pilar penyangga emper depan. Empat pilar ini dapat diganti dengan kontruski
balok kuda-kuda penyangga atap emper rumah.
Pada zaman dulu, bahan dasar rumah ini memakai kayu ulin, baik tiang
penyangga, lantai, dinding, maupun atapnya.Warna dasarnya sesuai warna
kayu ini.Setelah mengenal cat, sebagian rumah ini ada yang dicat sesuai
dengan selera pemiliknya, misalnya, warna cokelat.Ada hiasan berupa seni
ukir Banjar dalam rumah ini.Bangunan rumah ini juga menghadap ke arah
sungai sebagai bagian dari kebudayaan sungai Suku Banjar.
Makna dari rumah ini menggunakan atap pada bagian bubungannya
menyerupai perisai, tetapi seakan-akan terpancung atau terpotong sebagian di
depannya.Dibuat seakan terpotong seperti itu mengesankan atap yang belum
utuh.Ini menyerupai tanaman yang belum tumbuh sempurna.Atap yang belum
utuh ini mengandung makna belum menjadi sultan yang sah.
7) Rumah Balai Laki
Rumah tradisional suku Banjar ini dulu dihuni para penggawa mantri dan
para prajurit pengawal keamanan Kesultanan Banjar. Bentuk atap bangunan
depan atau induknya memakai bubungan atap yang menyerupai pelana kuda.
Atap ini disebut atap pelana. Bahannya sirap yang berupa kepingan papan
tipis-tipis dari kayu ulin
Awalnya bangunan induk rumah ini berbentuk segi empat yang
16

memanjang.Bentuk bangunan induk atau pokok ini disebut rumah laki.Lama-


kelamaan bangunannya mendapatkan tambahan berupa ruangan samping.
Terdapat jendela di samping kiri dan kanan pintu ini.Beranda dalam ditopang
empat pilar.Rumah ini dulunya tidak bercat. Warnanya sesuai dengan warna
kayu ulin sebagai bahan bangunannya. Kini, rumah ini sudah jarang
ditemukan.Rumah ini juga berhiaskan seni ukir khas suku
Banjar.Bangunannya pun menghadap ke arah sungai sebagai bagian dari
kebudayaan sungai.
Rumah ini memiliki satu pintu masuk di bagian depan. Satu pintu ini
maknanya berjiwa kesatria yang gagah berani, cerdas, dan sigap, yaitu tidak
mau melarikan diri dari pintu belakang.
8) Rumah Palimbangan
Pada masa Kesultanan Banjar, rumah tradisional suku Banjar ini adalah
hunian para tokoh agama Islam dan para alim ulamanya.Bangunan ini bahan
utamanya adalah kayu ulin. Bentuk atap bangunan depan atau induknya juga
memakai bubungan atap pelana. Di bagian atas teras depannya ditutup dengan
atap sindang langit. Atap teras depan ini biasanya dibuat melebar ke teras
samping sampai di depan anjung. Atapnya terbuat dari kepingan papan tipis
atau sirap yang berasal dari kayu ulin juga.
Ada seni ukir khas suku Banjar berupa motif anak catur yang di kiri dan
kanannya terdapat ukiran jengger ayam, lipan, atau paku alai. Ukiran ini
disebut jamang, letaknya tepat di bagian pucuk rumah.Jamang ini merupakan
mahkota bubungannya.Rumah ini juga menghadap ke arah sungai, sebagai
bagian dari kebudayaan sungai suku Banjar.
Rumah ini mengandung makna kuatnya agama Islam dan penghormatan
terhadap ulama di Kesultanan Banjar.Selain itu, beranda rumah ini ditopang
empat pilar.Empat pilar ini masing-masing merupakan simbol dalam agama
Islam.Pilar pertama menyimbolkan syariat, yakni hukum yang mengatur
seluruh kehidupan manusia.Pilar kedua adalah simbol tarekat, yaitu
jalan.Maksudnya menjalankan syariat secara benar. Pilar ketiga merupakan
17

simbol hakikat, inti sari, atau dasar agama Islam. Pilar keempat simbol
12
makrifat, yaitu tingkat penyerahan diri kepada Allah Swt.
9) Rumah Cacak Burung
Rumah jenis ini adalah hunian rakyat biasa.Bangunan induknya memanjang
dengan beratap pelana.Ruang dalam yang ada di belakang dan ruang samping
kiri dan kanan ditutupi atap limas.
Atap yang digunakan untuk rumah ini berupa sirap dan ada pula atap
rumbia.Atap rumbia berbahan daun rumbia kering yang disusun dengan
sangat rapat.Kini sudah sangat jarang ditemukan rumah seperti ini.Rumah ini
juga berhiaskan seni ukir khas suku Banjar seperti rumah
lainnya.Bangunannya menghadap ke arah sungai pula.
Kedua atap, yakni atap pelana dan atap limas membentuk tanda tambah
(+).Tanda ini merupakan simbol bentuk cacak burung.Simbol ini adalah tanda
magis penolak bala.Bentuk tanda tambah (+) inilah yang menyebabkan rumah
ini disebut rumah cacak burung.
10) Rumah Lanting
Bangunan rumah ini mengapung di atas air, yakni di sungai atau di rawa
dengan pondasi rakit. Hal inilah yang menyebabkan rumah ini disebut rumah
rakit.Bagian pondasi terdiri atas susunan batang-batang pohon besar.Biasanya
ada tiga batang pohon besar yang dipakai sebagai pondasinya.Dinding rumah
ini biasanya dibuat dengan menyusun kayu lanan secara mendatar.Atapnya
berupa atap pelana.Titian digunakan untuk menghubungkan rumah ini dengan
daratan.Bahan titian ini bisa dari kayu atau bambu.Bahan atapnya bisa berupa
sirap, atap rumbia, atau dari seng.
Bangunannya yang mengapung bermakna kemampuan beradaptasi terhadap
lingkungannya, yakni lingkungan air.Buktinya manusia mampu hidup di atas
air dengan menggunakan rumah lanting ini.
11) Rumah Joglo Gudang atau Rumah Joglo Banjar

12
Muhammad Jauhari Ali, Mengenal Kearifan Lokal… h. 11-19
18

Rumah ini juga termasuk rumah tradisional suku Banjar.Bangunannya


beratap limas dengan disambung atap sindang langit pada bagian
depannya.Atap bagian depannya ini tanpa plafon.Di bagian belakangnya
disambung dengan atap sengkuap yang disebut hambin awan.Bangunannya
bertiang tinggi.Bagian bawahnya bisa menjadi gudang tempat menyimpan
barang.
Rumah ini mengandung makna rendah hati dan gemar berbagi.Makna ini
ditandai dengan atap rumah yang bagian tepinya rendah. Pemakaian kata
joglo pada nama rumah ini karena bangunannya menyerupai rumah joglo
khas suku Jawa. Adapun alasan pemakaian kata gudang karena bagian
kolongnya digunakan sebagai gudang menyimpan hasil hutan, karet, dan
lainnya yang merupakan komoditas zaman dulu.Rumah ini juga dihiasi seni
ukir khas suku Banjar.Arah bangunannya juga menghadap sungai sebagai
bagian dari kebudayaan sungai di Kalimantan Selatan.
12) Rumah Bangun Gudang
Atapnya berbentuk perisai atau atap gajah. Beranda tempat bersantai
tergolong kecil karena bagian kanan dan kirinya diubah menjadi dinding
depan. Beranda yang kecil ini bermakna bermakna kerja keras atau tidak
bermalas-malasan.Pada terasnya tidak terdapat empat pilar penyangga.
Rumah ini memiliki tiga pintu masuk, yakni satu dari tengah, satudari
samping kiri, dan satu dari samping kanan beranda. Bahan bangunannya
terbuat dari kayu ulin. Lantainya disangga kayukayu setinggi setengah meter
dari permukaan tanah. Atap rumah ini umumnya menggunakan sirap.
Terdapat seni ukir khas suku Banjar berupa motif anak catur yang di kiri dan
kanannya ada ukiran jengger ayam, lipan, atau paku alai. Ukiran ini disebut
jamang, letaknya tepat di bagian pucuk rumah.Jamang ini merupakan
mahkota bubungannya.
13) Rumah Balai
Rumah ini merupakan rumah khas sub-subsuku Dayak yang berada di
sepanjang Pegunungan Meratus.Sub-subsuku Dayak ini juga merupakan
19

bagian dari rumpun-rumpun Dayak tersebut di atas.Misalnya, ada yang


termasuk rumpun Ot Danum dan ada yang masuk rumpun Iban.Bangunan
rumah ini berukuran lebar antara 10 sampai 15 meter dan panjang mencapai
20 sampai 30 meter.Lantainya tidak langsung menyentuh tanah.Ada tiang-
13
tiang penyangga setinggi dua sampai tiga meter.
b. Tari tradisional
1) Tari Sinoman Hadrah Rudat
Tarian ini merupakan salah satu bentuk paduan seni tari dan musik khas
Banjar yang paling dikenal.Sinoman hadrah rudat bersumber dari budaya
yang dibawa oleh pedagang dan pendakwah Islam dari Arab dan Persia.
Kesenian ini sangat dipengaruhi nilai-nilai Islam. Puja dan puji kepada
Allah SWT serta Rasul Muhammad SAW, mengisi syair dan pantun yang
dilagukan bersahutan dalam irama Qasidah yang merdu, para penarinya
melakukan gerakan dinamis dengan dilindungi payung ubur-ubur.
Payung ini merupakan lambang keagungan dalam kehidupan tradisional
di Indonesia.Sinoman hadrah rudat biasanya ditampilkan untuk pengantin
banjar dan menyambut kedatangan tamu.
2) Tari Hudo
Tari ini menggambarkan kedatangan utusan dewa ke dunia untuk
mengusir roh-roh jahat yang menggangu ketentraman hidup
manusia.Melalui tarian ini diperoleh gambaran bahwa suku bangsa
Dayak mempercayai adanya makhluk halus yang menguasai kehidupan
di dunia.
3) Tari Giring-Giring
Tari ini merupakan tari pergaulan yang biasanya melibatkan para tamu
pada suatu pesta adat penyambutan untuk ikut bergembira.
4) Tari Baksa Kembang
Tarian ini juga sering dipentaskan pada acara-acara pernikahan ataupun

13
Muhammad Jauhari Ali, Mengenal Kearifan Lokal … h. 21-43
20

acara adat lainnya.Saat ini tari Baksa Kembang masih sering dipakai
pada saat acara penyambutan tamu yang dihormati. Tari baksa kembang
berasal dari kata baksa yang berarti kelembutan, artinya bentuk
kelembutan tuan rumah dalam penyambutan tamu agung dengan cara
memberikan rangkaian bunga oleh penari kepada tamu yang
dihormati.Penari tari Baksa selalu ganjil yang memberikan rangkaian
bunga (mawar dan melati) yang disebut masyarakat setempat dengan
14
kembang Bogam.
c. Bahasa daerah
Bahasa masyarakat pada umumnya adalah bahasa Banjar. Bahasa
Banjar banyak dipengaruhi oleh bahasa Melayu, Jawa, dan bahasa
Dayak.Bahasa Banjar sering juga pula disebut bahasa Melayu Banjar terdiri
atas dua kelompok dialek, yaitu bahasa Banjar Huludan bahasa Banjar
Kuala.
Bahasa Banjar Hulu merupakan dialek asli yang dipakai penduduk
yang tinggal di wilayah Kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai
Tengah, Hulu Sungai Utara, Balangan, dan Tabalong. Daerah pahuluan
dahulu mempakan pusat kerajaan Hindu, tempat asal mula perkembangan
bahasa Melayu Banjar.Dialek bahasa Banjar Hulu dituturkan dengan logat
yang kental (ba-ilun).Dialek bahasa Banjar Hulu juga dapat ditemukan di
kampung-kampung (handil) yang penduduknya berasal dari Hulu Sungai
seperti di Kecamatan Gambut, Aluh Aluh, dan Tamban.Ketiga kecamatan
tersebut berada di wilayah Banjar Kuala.
Dialek bahasa Banjar Kuala digunakan orang yang tinggal di wilayah
Banjar Kuala.Wilayah tersebut pada masa sekarang meliputi Kabupaten
Banjar, Barito Kuala, Tanah Laut, Kota Banjarmasin, dan
Banjarbaru.Pemakaiannya meluas hingga wilayah pesisir bagian tenggara
Kalimantan.Penduduk Kabupaten Tanah Bumbu dan Kota Baru bahkan

14
https://www.senibudayaku.com/2018/02/tarian-tradisional-kalimantan-selatan.html. Diakses pada
22 April 2018
21

sampai Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah bercakap-cakap


menggunakan dialek ini.Bahasa Banjar Kuala dituturkan dengan logat datar
tanpa intonasi tertentu.Dialek Banjar Kuala yang asli dapat ditemukan di
sekitar Kota Banjarmasin yang merupakan daerah awal berkembangnya
Kesultanan Banjar.
Bahasa Banjar juga digunakan sebagai bahasa percakapan (lingua
franca) beberapa suku bangsa di Kalimantan Selatan.Karena kedudukannya
sebagai lingua franca, penutur bahasa Melayu Banjar lebih banyak daripada
jumlah suku Banjar itu sendiri.Pemakaian bahasa Melayu Banjar dalam
percakapan dan pergaulan sehari-hari di daerah ini lebih dominan
dibandingkan dengan bahasa Indonesia.Berbagai suku bangsa di Kalimantan
Selatan berusaha mempelajari bahasa Banjar.Bahasa Banjar juga mengenal
tingkatan bahasa (Jawa: unggahungguh), tetapi hanya untuk kata ganti
15
orang.
d. Upacara adat
Suku Banjar memiliki bebrapa upacara adat yang masih dijalankan
hingga kini. Keseluruhan upacara berisi doa dan permohonan agar manusia
selalu mendapat limpahan rahmat dan karunia Allah Swt. Selanjutnya,
manusia dijauhkan dari berbagai bencana yang tidak diinginkan. Beberapa
upacara tersebut adalah:
1) Mandi Tian Mandaring
Upacara ini dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur dan pengharapan
akan lahirnya seorang bayi. Kelahiran seorang bayi umumnya dimaknai
sebagai karunia Tuhan yang amat berharga.Sewwaktu kandungan
seorang ibu telah berumur tujuh bulan, upacara Mandi Tiam Mandaring
dilaksanakan.Upacara ini disebut juga dengan istilah bapagar mayang
karena tempat mandi menggunakan pagar mayang.
2) Baayun Mulud

15
https://www.senibudayaku.com/2018/01/bahasa-daerah-kalimantan-selatan.html. Diakses pada 22
April 2018.
22

Pelaksanaan upacara ini dengan meletakkan bayi yang berusia empat


puluh hari di atas ayunan.Ayunan terbuat dari tiga lapis kain.Hiasan
Bungan warna warni digantungan disekitar ayunan.Dalam upacara ini
dibacakan syair, seperti syair barzanji, syarafal anam dan syair diba’i.saat
pembacaa asyrakal dikumandangkan, anak dalam ayunan diayun secara
perlahan-lahan dengan cara menarik selendang yang diikat pada ayunan
dengan maksud untuk mengambil berkah atas kemuliaan Nabi
Muhammad Saw dan rasa syukur kepada Allah Swt.
3) Upacara adat perkawinan
Perkawinan adat Banjar dipengaruhi oleh ajaran Islam.Tampak jelas
besarnya penghormatan terhadap wanita.Hal itu merupakan penerapan
dari ajaran Islam yang meyakini bahwa ―surge ada di bawah telapak kaki
ibu‖ dan ―wanita itu adalah tiang Negara‖.Acara demi acara semuanya
berpusat di tempat atau di rumah pihak mempelai wanita.Diantaranya,
hari batatai adalah hari saat kedua mempelai duduk bersanding setelah
akad nikah.Basasarangan atau maatar kada adalah acar keluarga
mempelai pria dan wanita saling berkunjung sevara bergantian setelah
pernikahan.
4) Upacara adat kematian
Membantu orang yang tertimpa musibah kematian pada masyarakat
Kalimantan Selatan merupakan suatu kewajiban yang dilakukan dengan
ikhlas.Segala keperluan biasanya ditanggung bersama secara gotong
royong. Tata cara merwat orang yang telah meninggal mengikuti hokum
Islam. Setelah penguburan, biasanya dilakukan upacara selamatan baaruh
yang dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap pertama adalah upacara
16
turun tanah.Acara didahului dengan tahlil lalu do’a selamat.

16
https://www.senibudayaku.com/2018/01/upacara-adat-kalimantan-selatan.html. Diaksese pada 22
April 2018.
3. Kearifan Budaya Lokal jawa
Kebudayaan suku Jawa meliputi budaya Jawa Barat, budaya Jawa Tengah
dan budaya Jawa Timur serta kebudayaan daerah Yogyakarta adalah kekayaan
yang dimiliki oleh negara Indonesia sampai sekarang. Keberadaan budaya Jawa
membentuk ciri khas tersendiri jika dibandingkan dengan kebudayaan dari
daerah lain, apakah itu budaya yang ada pulau Sumatera atau atau budaya
Kalimantan.
Selain sebagai kekayaan, kebudayaan suku Jawa memiliki sejarah yang
unik untuk dipelajari. Dimana kebudayaan yang ada sekarang ini merupakan
warisan leluhur pada zaman dahulu. Apakah semua budaya Jawa sifatnya
orisinil? Ternyata tidak. Kehadiran kebudayaan Jawa sangat dipengaruhi dari
ajaran Hindu, Budha dan agama Islam.
Masyarakat Jawa mempunyai beberapa kearifan lokal yang merupakan
pandangan hidup masyarakat Jawa yang sangat sarat dengan pengalaman
religius. Pengalaman religius ini merupakan bentuk
Kepercayaan dan penghayatan kepada yang Maha Pencipta, Yang Maha
Tunggal. Yang Maha Tunggal menjadikan spirit bagi manusia untuk selalu
berbuat kebajikan, bersikap penuh kasih, dan menumbuhkan etos kerja yang
tinggi. Masyarakat Jawa mempercayai dan meyakini bahwa pengalaman religius
sebagai wahana untuk bersikap spiritual sehingga ada keharmonisan antara dunia
dengan manusia. Masyarakat Jawa banyak melakukan laku batin untuk
menciptakan kehidupan yang harmoni selaras dan seimbang dengan melakukan
laku tertentu, seperti. (1) Berpuasa weton atau tiga hari apit weton (2) Puasa
mutih (3) Puasa ngrowot (4) Puasa pati geni (5) Meditasi (6) Bersih desa.
Kearifan lokal sangat terkait dengan pandangan hidup masyarakat Jawa dan
filsafat Jawa. Kearifan lokal merupakan pandangan hidup yang bersumber pada
masyarakat pendukung kebudayaan Jawa atau kebudayaan tertentu. Di dalam
kearifan lokal tersebut termuat berbagai sikap dan etika moralitas yang bersifat
religius juga mengenai ajaran spiritualitas kehidupan manusia dengan alam
semesta. Masyarakat Jawa mencari eksestensinya melalui hubungan yang selaras
antara rohani dan jasmani. Melalui penyatuan yang harmoni antara rohani dan
jasmani itu manusia mampu merealisasikan dirinya secara total dan menyeluruh,
mampu menjaga etika dan norma yang berlaku di masyarakat, mampu
mengendalikan diri dalam melawan hawa nafsu. Upacara bersih desa merupakan
bagian dari kearifan lokal masyarakat Jawa. Salah satu peristiwa yang sangat
penting saat mengadakan upacara bersih desa dengan diadakannya pertunjukan
wayang kulit. Pakeliran wayang purwa dilaksanakan pada peristiwa peristiwa
yang dianggap penting pada masyarakat Jawa, seperti : (1) Mitoni (2) Sepasaran
(3) Wetonan (4) Khitanan (5) Mantu (6) Ruwatan (7) Peringatan tujuh belas
agustus (8) Sadranan (9) Bersih desa.
1. Mitoni ( tujuh bulanan )
Mitoni ialah ritual yang dilakoni masyarakat Jawa saat usia kehamilan
memasuki bulan ke-7. Pada usia ini, umumnya janin yang ada di dalam
kandungan sudah hampir sempurna. Rasa antusias sekaligus cemas akan
menghantui calon orangtua menjelang hari persalinan tiba. Untuk itulah,
tradisi Mitoni digelar dengan tujuan menghaturkan doa dan harapan demi
keselamatan dan kebaikan sang ibu dan calon bayi.
Dalam menggelar prosesi Mitoni, ada beberapa ritual yang perlu
dilakukan secara berurutan. Mulai dari sungkeman, siraman, hingga
membagikan rujak kepada tamu undangan. Tidak hanya itu, tradisi Jawa juga
identik dengan menyertakan simbolisasi berupa benda yang sarat akan makna
luhur.
Pun dalam upacara tujuh bulanan Mitoni, Anda perlu menyediakan
beragam perlengkapan yang jumlahnya serba tujuh. Antara lain; bubur tujuh
warna, ketan atau jadah tujuh rupa, tumpeng buceng yang berbentuk kerucut
kecil, procotan yakni hidangan yang dibungkus daun pisang, aneka jajanan
pasar, dan berbagai perlengkapan lainnya.
2. Sepasaran ( Puputan )
25

Sepasar adalah perhitungan waktu Jawa yang lamanya 5 hari.


Selamatan sepasaran adalah selamatan yang diadakan pada waktu bayi berumur
5 hari. Namun demikian ada kalanya sementara orang yang mengadakan
selamatan sepasaran menunggu apabila tali pusat putus (puput puser), yang
biasanya terjadi pada waktu si bayi berumur 5 hari. Oleh karena itu sementara
orang menyebut selamatan sepasaran itu dengan istilah puputan atau cuplak
puser.
Bagi orang yang mengadakan jagong bayen, pada malam sepasaran ini
tamu yang datang biasanya lebih banyak daripada malam-malam sebelumnya.
Karena malam itu merupakan terakhir daripada serangkaian selamatan jagong
bayen. Pada malam itu, bayi yang diselamati tidak ditidurkan hingga pagi hari
melainkan dipangku. Sebab menurut kepercayaan sementara orang, bayi yang
baru saja puput, menjadi incaran roh jahat yang biasanya disebut sarap-
sawan, oleh karena itu bayi dijaga dengan cara dipangku.
Di samping itu ujung kaki tempat tidur si ibu yang sedang melahirkan
diletakkan sliro dan tumbak sewu. Tumbak sewu adalah sapu lidi yang dibalik
sehingga ujung-ujungnya berada di atas. Pada ujung-ujung sapu itu di-
tancapkan dlingo, bangle, kencur, kunir, temu, cabe merah, bawang merah,
bawang putih. Sedang sliro (liro) yaitu peralatan untuk menenun secara
tradisional. Sliro ini biasanya dibuat dari kayu pohon kelapa (kayu yang keras),
yang bentuknya pipih panjang dengan ukuran lebar ±5 cm, panjang 2 m, dan
tebal ±2 cm, kedua ujungnya agak runcing. Sliro yang diletakkan pada tempat
tidur ibu itu, dicoreng-coreng dengan kapur dan arang sehingga penuh dengan
coretan hitam dan putih. Maksud yang terkandung dalam perbuatan itu ialah
untuk menolak roh-roh jahat yang akan mengganggu bayi dan ibunya.
Kemudian di dinding luar rumah bagian atas dibuatkan tulak bala yaitu
dengan mengikatkan benang di sekeliling rumah. Sedang ditiap sudut rumah
diberi ikatan daun pandan berduri, daun andong, daun nanas, daun girang dan
daun alang-alang. Adapun makanan (sajian) untuk keperluan selamatan sepasar-
an atau puputan ini adalah sebagai berikut:
26

1. Nasi tumpeng (buceng) dan nasi golong tujuh buah dengan lauk-pauk yang
terdiri dari gudhangan, panggang ayam, telur rebus, lodheh kluwih.
2. Pisang raja dua sisir (Jawa: setangkep).
3. Jajan pasar atau tukon pasar yang berupa beberapa macam makanan kecil
(kue-kue) dan buah-buahan.
4. Bubur merah, bubur putih, jenang sengkolo yaitu bubur merah yang diatasnya
diberi bubur putih.
5. Nasi brok yaitu nasi yang ditaruh di dalam satu piring dengan lauk-pauknya.
Sajian tersebut di atas dikendurikan dengan mengundang para tetangga
seperti pada waktu selamatan brokohan. Di samping sajian untuk kenduri
pada selamatan sepasaran ada sementara orang yang membuat sajian tulakan
yaitu alat untuk menolak bala. Tulakan ini terdiri dari sebungkus kecil nasi
dan lauk-pauk serta kue-kue sama seperti untuk kenduri.
3. Wetonan ( Memperingati hari kelahiran )
Wetonan merupakan salah satu tradisi yang dilakukan oleh masyarakat
Jawa. Kata "wetonan" dalam bahasa Jawa memiliki arti memperingati hari
kelahiran.
Biasanya wetonan pertama akan dilakukan ketika bayi telah berumur 35
hari, pada hari tersebut keluarga dari bayi akan mengadakan upacara nyelapani.
Kata ―nyelapani” memiliki bentuk dasar ―selapan” yang sama artinya dengan
satu bulan dalam perhitungan Jawa (selapan = 35 hari).
Perhitungan tersebut didasarkan pada perhitungan hari dari penanggalan
Masehi (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu) dan perhitungan
hari dari penanggalan Jawa (Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing). Kombinasi dari
dua perhitungan tersebut menghasilkan penyebutan hari yang khas dalam
masyarakat Jawa seperti Senin Pon, Selasa Wage, Rabu Kliwon, Kamis Legi,
Jumat Pahing, dan seterusnya dimulai dari Pon kembali.
Wetonan dalam masyarakat Jawa berlaku dalam siklus 35 hari sekali. Sebagai
contoh jika weton Kawan GNFI adalah jumat pahing maka weton selanjutnya
27

adalah 35 hari kemudian dan akan bertemu pada hari yang sama yaitu jumat
pahing.
Latar belakang wetonan didasari oleh kepercayaan masyarakat Jawa untuk
menghormati sedulur papat (empat saudara). Sedulur papat ini terdiri dari: 1) air
kawah (air ketuban) yang dianggap sebagai kakak, 2) plasenta (ari-ari) yang
dianggap sebagai adik, 3) getih (darah), 4) puser (tali pusar).
Sedulur papat tersebut dihormati karena sebelumnya telah tinggal bersama
bayi saat dalam kandungan dan juga ikut mengiringi kelahiran dari sang bayi.
Hubungan yang terjalin antara bayi dan juga sedulur papat disebut
dengan sedulur tunggal atau sedulur pribadi. Masyarakat Jawa juga percaya
bahwa apabila sedulur pribadi dipelihara dan diperhatikan dengan baik, maka
mereka akan membantu bayi atau orang yang bersangkutan sepanjang hidupnya.
Dalam praktik keseharianya, masyarakat Jawa tidak hanya menggunakan
weton untuk memperingati hari kelahiran tetapi juga untuk hal lain seperti
perhitungan jodoh, hari baik, dan dalam hal aktivitas ritual adat.
Melalui weton ini masyarakat Jawa biasanya menilai apakah sebuah
pasangan itu akan baik atau tidak. Jika dalam perhitungan memberikan hasil yang
buruk maka pasangan tersebut terpaksa harus berpisah.
Salah satu hal yang juga wajib ada dalam wetonan adalah bubur merah
putih. Bubur ini menjadi hidangan khas ketika wetonan berlangsung.
Di samping merupakan upacara peringatan hari kelahiran, wetonan juga
bermakna mengingat waktu krisis dan melalui waktu krisis (waktu ketika
perempuan melahirkan). Karena waktu tersebut dapat menjadi sebuah awal dari
kehidupan atau akhir dari kehidupan, maka ketika waktunya telah terlampaui, kita
wajib bersyukur. Dengan melakukan wetonan seseorang diharapkan tidak akan
lupa dan akan selalu waspada terhadap segala kemungkinan yang dapat terjadi
pada dirinya.
4. Ruwatan
Ruwatan adalah salah satu upacara tradisional dengan tujuan utama
mendapatkan keselamatan supaya orang terbebas dari segala macam kesialan
28

hidup, nasib jelek dan selanjutnya agar dapat mencapai kehidupan yang ayom
ayem tentrem (aman, bahagia, damai di hati). Lebih konkritnya ruwatan sebagai
suatu upaya membersihkan diri dari sengkala dan sukerta (dosa dan sial) yang
diakibatkan dari perbuatannya sendiri, hasil perbuatan jahat orang lain maupun,
Ruwatan yang paling terkenal sejak zaman kuno diselenggarakan oleh nenek
moyang adalah ruwatan murwakala. Dalam ruwatan ini dipergelarkan wayang
kulit dengan cerita Murwakala di mana orang-orang yang termasuk kategori
sengkolo-sukerto diruwat atau disucikan supaya terbebas dari hukuman Betara
Kala, gambaran raksasa menakutkan yang suka memangsa para sukerto.
Tradisi Ruwat
Ritual pangruwatan dalam masyarakat di Wonoploso yang paling sering
dan mudah dilakukan biasanya adalah pemagaran gaib yang dilakukan dengan
menyediakan berbagai jenis sesaji dan melakukan ritual khusus. Cara di atas bisa
dilakukan apabila sengkolo-sukerto yang ada masih termasuk jenis yang ringan
dan mudah dibersihkan. Sementara itu untuk sengkolo-sukerto kelas berat
pelaksanaan yang umum dilakukan dalam masyarakat Jawa adalah dengan
menggelar pentas wayang kulit yang melakonkan tentang ruwatan itu sendiri.
Sang dalang dalam menampilkan pagelarannya menyajikan salah satu dari
beberapa jenis lakon. Misalnya lakon murwakala. Ruwatan dengan pagelaran
wayang dilakukan sebagai suatu bentuk mendapatkan dispensasi atau keringanan
hukuman. Dalam tradisi hukum positif (formal) sepadan dengan membayar denda
kepada negara atau memohon grasi kepada Presiden. Dalam hal ruwatan, Bethara
Kala posisinya sebagai Presiden dari bangsa lelembut. Negosiasi tertuju pada
Bethara Kala sebagai salah satu eksekutor hukum alam.
Ruwatan yang paling sering dilakukan oleh masyarakat Wonoploso adalah
ruwatan pada diri sendiri yang memiliki fungsi sebagai upaya membersihkan diri
dari sengkala dan sukerta (dosa dan sial agar mendapatkan kebersihan jiwa.
Ruwatan untuk diri sendiri dapat dilaksanakan dengan pakem sederhana
maupun dengan pakem standar yakni dengan pagelaran wayang kulit dengan
lakon dan uborampe khusus ruwatan. Semua itu merupakan pilihan bagi siapa
29

yang akan melaksanakan. Jika ruwatan dilakukan oleh orang yang memang
memiliki kemampuan ekonomi yang memadai, biasanya ruwat murwakala
dilakukan dengan mengadakan pagelaran wayang kulit. Pagelaran wayang kulit
ini berbeda dengan pagelaran yang pada umumnya dilakukan. Pagelaran wayang
kulit dilaksanakan pada siang hari dan dilakukan oleh dalang yang benar-benar
mampu (bukan sekedar bisa) meruwat.
Setiap keariafan lokal yang dimiliki dari beberapa daerah memilki
perbedaan dan namun satu tujuan, adapun yang menyebabkan perbedaan itu di
Adalah :
a. Faktor adat Istiadat
Dianggap berbeda karena setiap orang tidak akan dapat menerima nilai yang
ada sehingga akan menciptakan perbedaan pada berbagai nilai yang ada.
b. Faktor agama
Hal ini dikarenakan pada masing masing agama yang ada memiliki sangat
banyak perebedaan baik itu pada bagian pantangan dan juga cara ibadahnya.
c. Faktor lingkungan
Dikarenakan setiap manusia akan memiliki perbedaan dari berebagai macam
nilai dan juga norma yang dimana berbeda dari masing-masing tempat yang
ada.
d. Faktor kebiasaan
Hal ini diberikan pengaruh dari seringnya seseorang melakukan tindakan.
e. Faktor tradisi
Hal ini dikarenakan di dalam sebuah masyarakat memiliki berbagai macam
perbedaan seperti norma dan nilai yang ada.
f. Faktor suku
Indoneesia memiliki sangat banyak suku, yang dimana memiliki berbagai
macam bentuk perbedaan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat di ambil beberapa kesimpulan :

1. Budaya local merupakan budaya asli atau dapat didefinisikan sebagai cirri khas
berbudaya sebuah kelompok dalam berinteraksi atau berprilaku dalam ruang
lingkup kelompok tersebut. Kelompok yang dimaksudkan biaanya
terikatdengan tempat atau masalah Geografis. Seperti halnya kebudayaan pada
umumnya yang memeng banyak mendapatkan pengaruh dari banyak factor
( Geografis, agama, polotik, ekonomi dan lain lain
2. Dari beberapa tradisi di atas tersirat bahwa tradisi – tradisi tersebut banyak
memiliki fungsi dan manfaat bagi masyarakat diantaranya masyarakat dapat
membangun kebersamaan dengan meningkatkan gotong – royong dalam
melaksanakan kearifan lokal, mempererat tali silahturohmi antar sesama
masyarakat bahkan yang lebih baik unsur kekeluargaan tidak akan pernah
hilang.
Sebagian besar dari masyarakat telah mempercayai, bila tradisi ( kearifan local)
tidak dilakukan dengan benar sampai – sampai tidak dilaksanakan akan terjadi
suatu bencana besar, suatu misal bencana alam akan melanda kampong
mereka, wabah penyakit menyerang warga, bahkan ketidaktentraman dalam
diri masing – masing masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Elisa, Nilai-nilai Kearifan Lokal, (Yogyakarta: Universitas gajah Mada, tanpa tahun), h. 1.

Muhammad Jauhari Ali, Mengenal Kearifan Lokal… h. 34

https://www.senibudayaku.com/2017/12/upacara-adat-kalimantan-tengah.html. Diakses pada 22 April

2018.

http://sabdalangit.wordpress.com/2013/03/09/ruwatan-murwakala/

Anda mungkin juga menyukai