oleh :
TITAWATI
NIM. 19013261
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PALANGKARAYA
2020
1
2
KATA PENGANTAR
limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas Makalah yang
mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada semua pihak yang telah
banyak membantu.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini jauh dari sempurna. Untuk itu,
segala kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak selalu penulis
harapkan.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
HALAMAN JUDUL .................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 3
C. Tujuan Pembahasan ........................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Nilai Budaya Lokal ........................................................... 3
B. Kearifan Budaya Lokal ................................................................... 4
1. Kearifan Budaya Lokal Kalteng .................................................... 5
2. Kearifan Budaya Lokal Kalsel .............................................. 11
3. Kearifan Budaya Lokal Jawa..................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Norginayuwati dan Achmad Rafieq.Kearifan budaya lokal dalam pemanfaatan lahan lebak
untuk pertanian di Kalimantan Selatan, (tanpa kota: tanpa penerbit, tanpa tahun), h. 30.
1
2
B. Rumusan Masalah
dan Jawa
Adapun tujuan yang diharapkan setelah membaca dan memahami makalah ini,
yakni :
dan Jawa
BAB II
PEMBAHASAN
2
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 89.
3
Tim Penyusun, Kamus Besar…872
5
Kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local).
Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti
setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum
maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan
setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam
4
dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Jadi, kearifan lokal adalah kebijaksanaan yang berasal dari kebudayaan
masyarakat setempat.
1. Kearifan Budaya Lokal Kalimantan Tengah
a. Rumah adat
1) Huma betang
Huma betang adalah rumah panjang khas suku Dayak Ngaju. Suku
Dayak ini termasuk dalam rumpun Ot Danum yang mendiami wilayah
Kalimantan Tengah. Rumah ini panjangnya bisa mencapai 30—150
meter.Lebarnya bisa sampai 10-30 meter.Lantainya tidak langsung
menyentuh tanah.Ada tiang-tiang penyangga lantai setinggi 3-5 meter dari
permukaan tanahnya.
Rumah ini dapat dihuni oleh 100-150 jiwa.Dalam huma betang dipimpin
oleh seorang pembakas lewu atau ketua kampung sehingga rumah ini disebut
pula rumah suku.Ada sebuah tangga dan pintu masuk ke dalamnya.Ornamen
khas suku Dayak Ngaju sebagai bagian kebudayaan mereka sangat kental di
rumah ini.Rumah ini berbahan kayu ulin. Kayu ini bisa tahan sampai dengan
ratusan tahun dan antirayap. Pada zaman dulu rumah ini tidak
bercat.Warnanya sesuai dengan warna kayu ulin ini.Atapnya menggunakan
bahan sirap dengan jenis atap pelana yang memanjang.Di bagian tengah atas
atap itu ada lagi atap pelana tambahan.Terdapat kayu membentuk huruf V
5
tepat di setiap ujung bubungannya.
4
Elisa, Nilai-nilai Kearifan Lokal, (Yogyakarta: Universitas gajah Mada, tanpa tahun), h. 1.
5
Muhammad Jauhari Ali, Mengenal Kearifan Lokal… h. 34
6
6
Tari Budayanti Usop, Kearifan Lokal dalam Arsitektur Kalimantan Tengah yang
Berkesinambungan, (Tanpa kota: Tanpa Penerbit, 2011), Jurnal, Vol. 6, No 1 h. 27.
naga melambangkan dunia bawah.
b. Tari tradisional
1) Tari hugo dan huda
Tarian hugo dan huda ini merupakan tarian yang termasuk dalam
ritual agar para dewa menurunkan hujan ke bumi. Tarian ini
biasanya dilakukan apabila telah berlangsung musim kemarau yang
cukup lama.
2) Tari putri malawen
Tari ini tepatnya berada di daerah Barito.Tarian ini pada zaman
kerajaan dahuku ditampilkan pada caara-acara besar kerajaan dan
ditarikan oleh seorang gadis yang berasal dari sekitar danau
Malawen di Barito.
3) Tari tuntung tulus
Tari tuntung tulus adalah tarian tradisional yang berasal dari
Kalimantan Tengah.Tarian ini ditampilkan pada acara perlombaan
atau event tertentu di Kalimantan.
4) Tari giring-giring
Tari giring-giring disebut juga dengan tari gangereng adalah tari
tradisional yang biasanya ditampilkan untuk menyambut kedatangan
tamu di Barito.Aksesoris yang digunakan para penari yaitu giring-
giring terbuat dari bambu tipis (telang) yang diisi dengan biji
―piding‖ sehingga menghasilkan suara yang ritmis dengan alunan
kangkanong (gamelan) oleh penarinya.
5) Tari Manasai
Tari Manasai adalah tarian pergaulan pemuda dan pemudi
masyarakat Dayak di daerah Kalimantan tengah.Tarian ini dilakukan
oleh beberapa orang peserta, pria dan wanita yang berdiri berseling-
seling antara pria dan wanita dalam satu lingkaran.Tarian Manasai
dari Kalimantan Tengah dimulai dengan posisi semua penari
menghadap ke dalam lingkaran, kemudian berputar kearah kanan,
sambil melakukan gerak maju bergerak berlawanan arah jarum
jam.Kemudian menghadap ke arah luar lingkaran, berputar lagi ke
arah kiri sambil melakukan gerak maju. Tidak ada batasan usia
dalam tarian ini. Siapapun boleh bergabung.
6) Tari Belian Bawo
Tari ini dipertunjukkan untuk melakukan pengobatan, menolak
penyakit, membayar nazar dan sebagainya.
7) Tari Balean Dadas
Tari ini diprgunakan untuk meminta kesebuhan kepada tuhan bagi
masyarakat yang sakit. Para penari Balean Dadas memakai pakaian
adat dauak yang khas penuh warna seperti hitam, putih, merah, hijau
dan kuning melakukan tarian ini untuk memohon kesembuhan
kepada Ranying Hatala langit (Tuhan) bagi mereka yang sakit.
Selain itu, biasanya seorang dukun perempuan atau Balean dadas
ikut dalam tarian ini.
8) Tari Manganjan
Tari ini biasanya dilakukan oleh masyarakat baik laki-laki maupun
perempuan untuk melakukan ritual tertentu seperti upacara tiwah
atau upacara lain. Tiwah sendiri merupakan prosesi menghantarkan
roh leluhur sanak saudara yang telah meninggal dunia ke alam baka
dengan cara menyucikan dan memindahkan sisa jasad menuju
7
sebuah tempat yang bernama sanding.
c. Bahasa daerah
Masyarakat Kalimantan Tengah menggunakan bahasa Indonesia sebagai
bahasa pengantar. Sebagian bahasa masyarakat Kalimantan Tengah
(sekitar 60 %) terutama di daerah perkotaan telah mengenal dan
menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi terutama sebagai
7
https://www.tradisikita.my.id/2015/06/tari-tradisional-kalimantan-tengah.html. Diakses tanggal 22
April 2018.
9
8
https://www.senibudayaku.com/2017/11/bahasa-daerah-kalimantan-tengah.html. Diakses pada 22
April 2018
10
9
https://www.senibudayaku.com/2017/12/upacara-adat-kalimantan-tengah.html. Diakses pada 22
April 2018.
rumah.Ukiran-ukiran itu sengaja disamarkan.Alasannya karena dalam ajaran
Islam yang mereka anut tidak dibolehkan mengukir makhluk bernyawa secara
jelas.Wujud rumah ini secara keseluruhan melambangkan pohon
kehidupan.Pohon ini memiliki makna keseimbangan dan keharmonisan antara
sesama manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan Yang
10
Maha Esa.
2) Rumah Gajah Baliku
Rumah ini juga termasuk rumah tradisional suku Banjar.Pada masa
Kesultanan Banjar, rumah ini merupakan tempat tinggal para saudara
sultan.Sebenarnya bentuk fisiknya mirip dengan rumah bubungan tinggi.
Perbedaan antara rumah bubungan tinggi dan rumah ini terletak pada ruang
tamu kedua jenis rumah.Pertama, pada ruang tamu rumah bubungan tinggi,
lantainya berjenjang, sedangkan pada rumah ini lantainya tidak
berjenjang.Perbedaan ini karena rumah bubungan tinggi adalah bangunan
istana yang didiami sultan.Saat menghadap raja tentu ada tingkatan ruangan
sesuai dengan jabatan dari tiap-tiap tamu yang hadir.
Kedua, pada rumah bubungan tinggi, atap ruang tamu tidak memakai kuda-
kuda, sedangkan rumah gajah baliku memakai kuda-kuda.Rumah jenis ini
dulunya juga berbahan kayu ulin dan tidak dicat.Sementara itu, bangunan
baru yang menggunakan bentuk jenis rumah ini sudah dicat sesuai
selera.Bangunan rumah ini menghadap ke arah sungai sebagai bagian dari
kebudayaan sungai suku Banjar.Terdapat pula seni ukir khas suku Banjar di
dalamnya.
Makna dari rumah ini yaitu secara keseluruhan bangunannya mengandung
makna keseimbangan dan keharmonisan antara sesama manusia, termasuk
antara sultan dan saudara-saudaranya, manusia dengan alam, dan manusia
dengan Tuhan Yang Maha Esa.
3) Rumah Palimasan
10
Muhammad Jauhari Ali, Mengenal Kearifan Lokal di Kalimantan, (Jakarta: Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017), h. 3-4.
13
11
Muhammad Jauhari Ali, Mengenal Kearifan Lokal … h. 7-9
14
induk rumah dengan atap utama dan perlindungan bagian depannya dengan
atap tadah alas.
6) Rumah Gajah Manyusu
Rumah gajah manyusu adalah sebuah nama kolektif. Nama kolektif ini untuk
menyebut semua bentuk rumah tradisional suku Banjar yang bangunan
induknya beratap perisai buntung.Dalam bahasa banjar disebut atap hidung
bapicik.
Pada masa Kesultanan Banjar, rumah ini memang dihuni oleh keturunan raja
di garis utama.Mereka disebut warit sultan atau bubuhan gusti yang
merupakan para calon pengganti sultan. Di bagian terasnya ada empat buah
pilar penyangga emper depan. Empat pilar ini dapat diganti dengan kontruski
balok kuda-kuda penyangga atap emper rumah.
Pada zaman dulu, bahan dasar rumah ini memakai kayu ulin, baik tiang
penyangga, lantai, dinding, maupun atapnya.Warna dasarnya sesuai warna
kayu ini.Setelah mengenal cat, sebagian rumah ini ada yang dicat sesuai
dengan selera pemiliknya, misalnya, warna cokelat.Ada hiasan berupa seni
ukir Banjar dalam rumah ini.Bangunan rumah ini juga menghadap ke arah
sungai sebagai bagian dari kebudayaan sungai Suku Banjar.
Makna dari rumah ini menggunakan atap pada bagian bubungannya
menyerupai perisai, tetapi seakan-akan terpancung atau terpotong sebagian di
depannya.Dibuat seakan terpotong seperti itu mengesankan atap yang belum
utuh.Ini menyerupai tanaman yang belum tumbuh sempurna.Atap yang belum
utuh ini mengandung makna belum menjadi sultan yang sah.
7) Rumah Balai Laki
Rumah tradisional suku Banjar ini dulu dihuni para penggawa mantri dan
para prajurit pengawal keamanan Kesultanan Banjar. Bentuk atap bangunan
depan atau induknya memakai bubungan atap yang menyerupai pelana kuda.
Atap ini disebut atap pelana. Bahannya sirap yang berupa kepingan papan
tipis-tipis dari kayu ulin
Awalnya bangunan induk rumah ini berbentuk segi empat yang
16
simbol hakikat, inti sari, atau dasar agama Islam. Pilar keempat simbol
12
makrifat, yaitu tingkat penyerahan diri kepada Allah Swt.
9) Rumah Cacak Burung
Rumah jenis ini adalah hunian rakyat biasa.Bangunan induknya memanjang
dengan beratap pelana.Ruang dalam yang ada di belakang dan ruang samping
kiri dan kanan ditutupi atap limas.
Atap yang digunakan untuk rumah ini berupa sirap dan ada pula atap
rumbia.Atap rumbia berbahan daun rumbia kering yang disusun dengan
sangat rapat.Kini sudah sangat jarang ditemukan rumah seperti ini.Rumah ini
juga berhiaskan seni ukir khas suku Banjar seperti rumah
lainnya.Bangunannya menghadap ke arah sungai pula.
Kedua atap, yakni atap pelana dan atap limas membentuk tanda tambah
(+).Tanda ini merupakan simbol bentuk cacak burung.Simbol ini adalah tanda
magis penolak bala.Bentuk tanda tambah (+) inilah yang menyebabkan rumah
ini disebut rumah cacak burung.
10) Rumah Lanting
Bangunan rumah ini mengapung di atas air, yakni di sungai atau di rawa
dengan pondasi rakit. Hal inilah yang menyebabkan rumah ini disebut rumah
rakit.Bagian pondasi terdiri atas susunan batang-batang pohon besar.Biasanya
ada tiga batang pohon besar yang dipakai sebagai pondasinya.Dinding rumah
ini biasanya dibuat dengan menyusun kayu lanan secara mendatar.Atapnya
berupa atap pelana.Titian digunakan untuk menghubungkan rumah ini dengan
daratan.Bahan titian ini bisa dari kayu atau bambu.Bahan atapnya bisa berupa
sirap, atap rumbia, atau dari seng.
Bangunannya yang mengapung bermakna kemampuan beradaptasi terhadap
lingkungannya, yakni lingkungan air.Buktinya manusia mampu hidup di atas
air dengan menggunakan rumah lanting ini.
11) Rumah Joglo Gudang atau Rumah Joglo Banjar
12
Muhammad Jauhari Ali, Mengenal Kearifan Lokal… h. 11-19
18
13
Muhammad Jauhari Ali, Mengenal Kearifan Lokal … h. 21-43
20
acara adat lainnya.Saat ini tari Baksa Kembang masih sering dipakai
pada saat acara penyambutan tamu yang dihormati. Tari baksa kembang
berasal dari kata baksa yang berarti kelembutan, artinya bentuk
kelembutan tuan rumah dalam penyambutan tamu agung dengan cara
memberikan rangkaian bunga oleh penari kepada tamu yang
dihormati.Penari tari Baksa selalu ganjil yang memberikan rangkaian
bunga (mawar dan melati) yang disebut masyarakat setempat dengan
14
kembang Bogam.
c. Bahasa daerah
Bahasa masyarakat pada umumnya adalah bahasa Banjar. Bahasa
Banjar banyak dipengaruhi oleh bahasa Melayu, Jawa, dan bahasa
Dayak.Bahasa Banjar sering juga pula disebut bahasa Melayu Banjar terdiri
atas dua kelompok dialek, yaitu bahasa Banjar Huludan bahasa Banjar
Kuala.
Bahasa Banjar Hulu merupakan dialek asli yang dipakai penduduk
yang tinggal di wilayah Kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai
Tengah, Hulu Sungai Utara, Balangan, dan Tabalong. Daerah pahuluan
dahulu mempakan pusat kerajaan Hindu, tempat asal mula perkembangan
bahasa Melayu Banjar.Dialek bahasa Banjar Hulu dituturkan dengan logat
yang kental (ba-ilun).Dialek bahasa Banjar Hulu juga dapat ditemukan di
kampung-kampung (handil) yang penduduknya berasal dari Hulu Sungai
seperti di Kecamatan Gambut, Aluh Aluh, dan Tamban.Ketiga kecamatan
tersebut berada di wilayah Banjar Kuala.
Dialek bahasa Banjar Kuala digunakan orang yang tinggal di wilayah
Banjar Kuala.Wilayah tersebut pada masa sekarang meliputi Kabupaten
Banjar, Barito Kuala, Tanah Laut, Kota Banjarmasin, dan
Banjarbaru.Pemakaiannya meluas hingga wilayah pesisir bagian tenggara
Kalimantan.Penduduk Kabupaten Tanah Bumbu dan Kota Baru bahkan
14
https://www.senibudayaku.com/2018/02/tarian-tradisional-kalimantan-selatan.html. Diakses pada
22 April 2018
21
15
https://www.senibudayaku.com/2018/01/bahasa-daerah-kalimantan-selatan.html. Diakses pada 22
April 2018.
22
16
https://www.senibudayaku.com/2018/01/upacara-adat-kalimantan-selatan.html. Diaksese pada 22
April 2018.
3. Kearifan Budaya Lokal jawa
Kebudayaan suku Jawa meliputi budaya Jawa Barat, budaya Jawa Tengah
dan budaya Jawa Timur serta kebudayaan daerah Yogyakarta adalah kekayaan
yang dimiliki oleh negara Indonesia sampai sekarang. Keberadaan budaya Jawa
membentuk ciri khas tersendiri jika dibandingkan dengan kebudayaan dari
daerah lain, apakah itu budaya yang ada pulau Sumatera atau atau budaya
Kalimantan.
Selain sebagai kekayaan, kebudayaan suku Jawa memiliki sejarah yang
unik untuk dipelajari. Dimana kebudayaan yang ada sekarang ini merupakan
warisan leluhur pada zaman dahulu. Apakah semua budaya Jawa sifatnya
orisinil? Ternyata tidak. Kehadiran kebudayaan Jawa sangat dipengaruhi dari
ajaran Hindu, Budha dan agama Islam.
Masyarakat Jawa mempunyai beberapa kearifan lokal yang merupakan
pandangan hidup masyarakat Jawa yang sangat sarat dengan pengalaman
religius. Pengalaman religius ini merupakan bentuk
Kepercayaan dan penghayatan kepada yang Maha Pencipta, Yang Maha
Tunggal. Yang Maha Tunggal menjadikan spirit bagi manusia untuk selalu
berbuat kebajikan, bersikap penuh kasih, dan menumbuhkan etos kerja yang
tinggi. Masyarakat Jawa mempercayai dan meyakini bahwa pengalaman religius
sebagai wahana untuk bersikap spiritual sehingga ada keharmonisan antara dunia
dengan manusia. Masyarakat Jawa banyak melakukan laku batin untuk
menciptakan kehidupan yang harmoni selaras dan seimbang dengan melakukan
laku tertentu, seperti. (1) Berpuasa weton atau tiga hari apit weton (2) Puasa
mutih (3) Puasa ngrowot (4) Puasa pati geni (5) Meditasi (6) Bersih desa.
Kearifan lokal sangat terkait dengan pandangan hidup masyarakat Jawa dan
filsafat Jawa. Kearifan lokal merupakan pandangan hidup yang bersumber pada
masyarakat pendukung kebudayaan Jawa atau kebudayaan tertentu. Di dalam
kearifan lokal tersebut termuat berbagai sikap dan etika moralitas yang bersifat
religius juga mengenai ajaran spiritualitas kehidupan manusia dengan alam
semesta. Masyarakat Jawa mencari eksestensinya melalui hubungan yang selaras
antara rohani dan jasmani. Melalui penyatuan yang harmoni antara rohani dan
jasmani itu manusia mampu merealisasikan dirinya secara total dan menyeluruh,
mampu menjaga etika dan norma yang berlaku di masyarakat, mampu
mengendalikan diri dalam melawan hawa nafsu. Upacara bersih desa merupakan
bagian dari kearifan lokal masyarakat Jawa. Salah satu peristiwa yang sangat
penting saat mengadakan upacara bersih desa dengan diadakannya pertunjukan
wayang kulit. Pakeliran wayang purwa dilaksanakan pada peristiwa peristiwa
yang dianggap penting pada masyarakat Jawa, seperti : (1) Mitoni (2) Sepasaran
(3) Wetonan (4) Khitanan (5) Mantu (6) Ruwatan (7) Peringatan tujuh belas
agustus (8) Sadranan (9) Bersih desa.
1. Mitoni ( tujuh bulanan )
Mitoni ialah ritual yang dilakoni masyarakat Jawa saat usia kehamilan
memasuki bulan ke-7. Pada usia ini, umumnya janin yang ada di dalam
kandungan sudah hampir sempurna. Rasa antusias sekaligus cemas akan
menghantui calon orangtua menjelang hari persalinan tiba. Untuk itulah,
tradisi Mitoni digelar dengan tujuan menghaturkan doa dan harapan demi
keselamatan dan kebaikan sang ibu dan calon bayi.
Dalam menggelar prosesi Mitoni, ada beberapa ritual yang perlu
dilakukan secara berurutan. Mulai dari sungkeman, siraman, hingga
membagikan rujak kepada tamu undangan. Tidak hanya itu, tradisi Jawa juga
identik dengan menyertakan simbolisasi berupa benda yang sarat akan makna
luhur.
Pun dalam upacara tujuh bulanan Mitoni, Anda perlu menyediakan
beragam perlengkapan yang jumlahnya serba tujuh. Antara lain; bubur tujuh
warna, ketan atau jadah tujuh rupa, tumpeng buceng yang berbentuk kerucut
kecil, procotan yakni hidangan yang dibungkus daun pisang, aneka jajanan
pasar, dan berbagai perlengkapan lainnya.
2. Sepasaran ( Puputan )
25
1. Nasi tumpeng (buceng) dan nasi golong tujuh buah dengan lauk-pauk yang
terdiri dari gudhangan, panggang ayam, telur rebus, lodheh kluwih.
2. Pisang raja dua sisir (Jawa: setangkep).
3. Jajan pasar atau tukon pasar yang berupa beberapa macam makanan kecil
(kue-kue) dan buah-buahan.
4. Bubur merah, bubur putih, jenang sengkolo yaitu bubur merah yang diatasnya
diberi bubur putih.
5. Nasi brok yaitu nasi yang ditaruh di dalam satu piring dengan lauk-pauknya.
Sajian tersebut di atas dikendurikan dengan mengundang para tetangga
seperti pada waktu selamatan brokohan. Di samping sajian untuk kenduri
pada selamatan sepasaran ada sementara orang yang membuat sajian tulakan
yaitu alat untuk menolak bala. Tulakan ini terdiri dari sebungkus kecil nasi
dan lauk-pauk serta kue-kue sama seperti untuk kenduri.
3. Wetonan ( Memperingati hari kelahiran )
Wetonan merupakan salah satu tradisi yang dilakukan oleh masyarakat
Jawa. Kata "wetonan" dalam bahasa Jawa memiliki arti memperingati hari
kelahiran.
Biasanya wetonan pertama akan dilakukan ketika bayi telah berumur 35
hari, pada hari tersebut keluarga dari bayi akan mengadakan upacara nyelapani.
Kata ―nyelapani” memiliki bentuk dasar ―selapan” yang sama artinya dengan
satu bulan dalam perhitungan Jawa (selapan = 35 hari).
Perhitungan tersebut didasarkan pada perhitungan hari dari penanggalan
Masehi (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu) dan perhitungan
hari dari penanggalan Jawa (Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing). Kombinasi dari
dua perhitungan tersebut menghasilkan penyebutan hari yang khas dalam
masyarakat Jawa seperti Senin Pon, Selasa Wage, Rabu Kliwon, Kamis Legi,
Jumat Pahing, dan seterusnya dimulai dari Pon kembali.
Wetonan dalam masyarakat Jawa berlaku dalam siklus 35 hari sekali. Sebagai
contoh jika weton Kawan GNFI adalah jumat pahing maka weton selanjutnya
27
adalah 35 hari kemudian dan akan bertemu pada hari yang sama yaitu jumat
pahing.
Latar belakang wetonan didasari oleh kepercayaan masyarakat Jawa untuk
menghormati sedulur papat (empat saudara). Sedulur papat ini terdiri dari: 1) air
kawah (air ketuban) yang dianggap sebagai kakak, 2) plasenta (ari-ari) yang
dianggap sebagai adik, 3) getih (darah), 4) puser (tali pusar).
Sedulur papat tersebut dihormati karena sebelumnya telah tinggal bersama
bayi saat dalam kandungan dan juga ikut mengiringi kelahiran dari sang bayi.
Hubungan yang terjalin antara bayi dan juga sedulur papat disebut
dengan sedulur tunggal atau sedulur pribadi. Masyarakat Jawa juga percaya
bahwa apabila sedulur pribadi dipelihara dan diperhatikan dengan baik, maka
mereka akan membantu bayi atau orang yang bersangkutan sepanjang hidupnya.
Dalam praktik keseharianya, masyarakat Jawa tidak hanya menggunakan
weton untuk memperingati hari kelahiran tetapi juga untuk hal lain seperti
perhitungan jodoh, hari baik, dan dalam hal aktivitas ritual adat.
Melalui weton ini masyarakat Jawa biasanya menilai apakah sebuah
pasangan itu akan baik atau tidak. Jika dalam perhitungan memberikan hasil yang
buruk maka pasangan tersebut terpaksa harus berpisah.
Salah satu hal yang juga wajib ada dalam wetonan adalah bubur merah
putih. Bubur ini menjadi hidangan khas ketika wetonan berlangsung.
Di samping merupakan upacara peringatan hari kelahiran, wetonan juga
bermakna mengingat waktu krisis dan melalui waktu krisis (waktu ketika
perempuan melahirkan). Karena waktu tersebut dapat menjadi sebuah awal dari
kehidupan atau akhir dari kehidupan, maka ketika waktunya telah terlampaui, kita
wajib bersyukur. Dengan melakukan wetonan seseorang diharapkan tidak akan
lupa dan akan selalu waspada terhadap segala kemungkinan yang dapat terjadi
pada dirinya.
4. Ruwatan
Ruwatan adalah salah satu upacara tradisional dengan tujuan utama
mendapatkan keselamatan supaya orang terbebas dari segala macam kesialan
28
hidup, nasib jelek dan selanjutnya agar dapat mencapai kehidupan yang ayom
ayem tentrem (aman, bahagia, damai di hati). Lebih konkritnya ruwatan sebagai
suatu upaya membersihkan diri dari sengkala dan sukerta (dosa dan sial) yang
diakibatkan dari perbuatannya sendiri, hasil perbuatan jahat orang lain maupun,
Ruwatan yang paling terkenal sejak zaman kuno diselenggarakan oleh nenek
moyang adalah ruwatan murwakala. Dalam ruwatan ini dipergelarkan wayang
kulit dengan cerita Murwakala di mana orang-orang yang termasuk kategori
sengkolo-sukerto diruwat atau disucikan supaya terbebas dari hukuman Betara
Kala, gambaran raksasa menakutkan yang suka memangsa para sukerto.
Tradisi Ruwat
Ritual pangruwatan dalam masyarakat di Wonoploso yang paling sering
dan mudah dilakukan biasanya adalah pemagaran gaib yang dilakukan dengan
menyediakan berbagai jenis sesaji dan melakukan ritual khusus. Cara di atas bisa
dilakukan apabila sengkolo-sukerto yang ada masih termasuk jenis yang ringan
dan mudah dibersihkan. Sementara itu untuk sengkolo-sukerto kelas berat
pelaksanaan yang umum dilakukan dalam masyarakat Jawa adalah dengan
menggelar pentas wayang kulit yang melakonkan tentang ruwatan itu sendiri.
Sang dalang dalam menampilkan pagelarannya menyajikan salah satu dari
beberapa jenis lakon. Misalnya lakon murwakala. Ruwatan dengan pagelaran
wayang dilakukan sebagai suatu bentuk mendapatkan dispensasi atau keringanan
hukuman. Dalam tradisi hukum positif (formal) sepadan dengan membayar denda
kepada negara atau memohon grasi kepada Presiden. Dalam hal ruwatan, Bethara
Kala posisinya sebagai Presiden dari bangsa lelembut. Negosiasi tertuju pada
Bethara Kala sebagai salah satu eksekutor hukum alam.
Ruwatan yang paling sering dilakukan oleh masyarakat Wonoploso adalah
ruwatan pada diri sendiri yang memiliki fungsi sebagai upaya membersihkan diri
dari sengkala dan sukerta (dosa dan sial agar mendapatkan kebersihan jiwa.
Ruwatan untuk diri sendiri dapat dilaksanakan dengan pakem sederhana
maupun dengan pakem standar yakni dengan pagelaran wayang kulit dengan
lakon dan uborampe khusus ruwatan. Semua itu merupakan pilihan bagi siapa
29
yang akan melaksanakan. Jika ruwatan dilakukan oleh orang yang memang
memiliki kemampuan ekonomi yang memadai, biasanya ruwat murwakala
dilakukan dengan mengadakan pagelaran wayang kulit. Pagelaran wayang kulit
ini berbeda dengan pagelaran yang pada umumnya dilakukan. Pagelaran wayang
kulit dilaksanakan pada siang hari dan dilakukan oleh dalang yang benar-benar
mampu (bukan sekedar bisa) meruwat.
Setiap keariafan lokal yang dimiliki dari beberapa daerah memilki
perbedaan dan namun satu tujuan, adapun yang menyebabkan perbedaan itu di
Adalah :
a. Faktor adat Istiadat
Dianggap berbeda karena setiap orang tidak akan dapat menerima nilai yang
ada sehingga akan menciptakan perbedaan pada berbagai nilai yang ada.
b. Faktor agama
Hal ini dikarenakan pada masing masing agama yang ada memiliki sangat
banyak perebedaan baik itu pada bagian pantangan dan juga cara ibadahnya.
c. Faktor lingkungan
Dikarenakan setiap manusia akan memiliki perbedaan dari berebagai macam
nilai dan juga norma yang dimana berbeda dari masing-masing tempat yang
ada.
d. Faktor kebiasaan
Hal ini diberikan pengaruh dari seringnya seseorang melakukan tindakan.
e. Faktor tradisi
Hal ini dikarenakan di dalam sebuah masyarakat memiliki berbagai macam
perbedaan seperti norma dan nilai yang ada.
f. Faktor suku
Indoneesia memiliki sangat banyak suku, yang dimana memiliki berbagai
macam bentuk perbedaan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Budaya local merupakan budaya asli atau dapat didefinisikan sebagai cirri khas
berbudaya sebuah kelompok dalam berinteraksi atau berprilaku dalam ruang
lingkup kelompok tersebut. Kelompok yang dimaksudkan biaanya
terikatdengan tempat atau masalah Geografis. Seperti halnya kebudayaan pada
umumnya yang memeng banyak mendapatkan pengaruh dari banyak factor
( Geografis, agama, polotik, ekonomi dan lain lain
2. Dari beberapa tradisi di atas tersirat bahwa tradisi – tradisi tersebut banyak
memiliki fungsi dan manfaat bagi masyarakat diantaranya masyarakat dapat
membangun kebersamaan dengan meningkatkan gotong – royong dalam
melaksanakan kearifan lokal, mempererat tali silahturohmi antar sesama
masyarakat bahkan yang lebih baik unsur kekeluargaan tidak akan pernah
hilang.
Sebagian besar dari masyarakat telah mempercayai, bila tradisi ( kearifan local)
tidak dilakukan dengan benar sampai – sampai tidak dilaksanakan akan terjadi
suatu bencana besar, suatu misal bencana alam akan melanda kampong
mereka, wabah penyakit menyerang warga, bahkan ketidaktentraman dalam
diri masing – masing masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Elisa, Nilai-nilai Kearifan Lokal, (Yogyakarta: Universitas gajah Mada, tanpa tahun), h. 1.
2018.
http://sabdalangit.wordpress.com/2013/03/09/ruwatan-murwakala/