Anda di halaman 1dari 3

Tahlilan, haramkah?

Agung Budi Wirawan / 16305141047


Tahlilan, merupakan ritual setelah seseorang meninggal. Tahlilan berupa pembacaan dzikir,
doa, dan bacaan-bacaan Al-Quran, yang melibatkan kerabat dan warga sekitar yang
dipimpin oleh seorang modin (sebutan dari orang Jawa untuk orang yang memimpin dan
membacakan doa). Pembacaan-pembacaan tersebut ditujukan untuk si mayit di alam sana.
Istilah tahlilan sering digunakan karena dalam sekian materi bacaannya terdapat kalimat
tahlil yang diulang-ulang hingga ratusan kali. Tahlilan biasanya dilakukan setelah shalat
Isya pada saat waktu tertentu, seperti setelah kematian (slametan surtanah), hari ketujuh
(slametan mitung dina) hari keempat puluh (slametan patang puluh dina), hari keseratus
(selametan nyatus), satu tahun (mendak sepisan), ke dua tahun (mendak pindo), dan hari
keseribu (nyewu).
Warisan nenek moyang
Banyak pelaku tradisi ini mengemukakan alasan melakukan tahlilan dikarenakan warisan
nenek moyang. Menurut penyelidikan, kebudayaan seperti ini diadopsi dari upacara
kepercayaan Animisme, Hindu, dan Budha. Menurut kepercayaan tersebut apabila seseorang
meninggal dunia maka ruhnya akan datang ke rumah pada malam hari mengunjungi
keluarganya dan apabila tidak ada orang yang ramai berkumpul dan melakukan upacaraupacara maka ruh tersebut akan marah. (Amrullah, 2008)
Lalu, apakah tahlilan bukan ajaran agama Islam? Apakah tahlilan haram untuk dilakukan oleh
orang Islam?
Asal-usul tahlilan
Pelopor pertama penyiaran dan pengembangan agama Islam di pulau Jawa adalah para ulama
yang berjumlah sembilan orang, yang sering disebut sebagai Wali Sanga. Wali Sanga
menyiarkan dan mengembangakna agama Islam di jawa yang mayoritas penduduknya adalah
orang yang beragama Hindu dan Budha. Para ulama kesulitan dalam menyiarkan agama
Islam dikarenakan penduduk masih memegang teguh tradisi adat istiadatnya. Dalam
menanggulangi masalah tersebut, maka Wali Sanga membagi mereka yang telah masuk Islam
dengan dua aliran. Aliran Giri adalah suatu aliran yang dimana didalamnya tidak mengenal
kompromi dengan adat istiadat, sehingga mereka yang masuk Islam harus membuang jauhjauh adat istiadat yang bertentangan dengan syariat Islam. Aliran ini disebut juga Islam
Putih. Kemudian, ada aliran Tuban, aliran yang berkebalikan 180o dari aliran Giri, karena
aliran ini membiarkan terlebih dahulu mereka yang masuk Islam untuk mengerjakan adat
istiadatnya. Agar mereka tidak menyimpang jauh dengan syariat Islam, maka para wali
berusaha mewarnai kepercayaan dan adat istiadat tersebut dengan nuansa keislaman. Aliran
ini sering disebut Islam Abangan.
Setelah kejadian itu, muncullah pro dan kontra antara para wali. Pada saat musyawarah,
Sunan Kalijaga, selaku ketua aliran Tuban, mengusulkan agar kepercayaan-kepercayaan adat
istiadat yang sulit dibuang dimasuki nuansa unsur keislaman. Usulan tersebut menjadi
masalah serius karena upacara kepercayaan seperti itu menyimpang dari syariat Islam.
Namun, mayoritas anggota musyawarah menyetujui dengan usulan Sunan Kalijaga, maka
berdasarkan hasil musyawarah, upacara dalam kepercayaan-kepercayaan agama Hindu dan
Budha tersebut tetap dilestarikan oleh orang-orang yanng menganut aliran Tuban dan yang
kemudian dikenal sebagai nelung dina, mirung dina, matang puluh, nyatus, dan nyewu.
(Wahyu, 2016)

Lalu, apakah kalian termasuk dalam aliran Tuban ? ataukah kalian menganut aliran Giri ?
Membongkar kebohongan
Banyak sumber yang pro dengan asal-usul tahlilan seperti yang telah saya jelaskan diatas
tadi. Namun juga tidak sedikit yang beranggapan bahwa asal-usul itu adalah sebuah
kebohongan. Kisah tersebut sangat nampak didramatisir bahkan mirip perdebatan antara
Ahlus Sun nah Wal Jamaah dan Wahhabi pada masa sekarang ini, pendapat salah seorang
yang beranggapan bahwa kisah itu sebuah kebohongan. Ada lagi pendapat-pendapat yang
kontra, seperti Antar personil Wali Sanga masa hidupnya banyak yang tidak dalam kurun
waktu yang bersamaan, karena hubungan mereka antara generasi kakek, puta, dan cucu,
sehingga tidak mungkin secara masif dikelompokkan menjadi dua kubu, Kubu Putihan dan
Kubu Abangandan juga Selametan atau Tahlilan tidak bisa dianggap sebagai warisan
Hindu, karena dari akar istilah saja, selametan atau tahlilan berasal dari bahasa Arab,
nukan bahasa Sansekerta atau Jawa kuno. (Fuadi, 2016)
Pendapat-pendapat diatas sangat jelas menentang dengan asal-usul tahlilan diatas tadi.
Namun, apabila tahlilan memang berasal dari bahasa Arab, saya pernah menemui suatau
anggapan bahwa tahlilan hanya ada di Jawa saja, diluar Jawa tidak ada tradisi seperti itu,
apalagi diluar negeri, seperti Arab, Mesir, dan lainnya. (Wahyu, 2016)
Ini menjadi masalah yang serius dalam masyarakat, apalagi jika orang-orang hanya
menganggap bahwa pendapat atau pandangan mereka adalah yang paling benar, masalah
tersebut dapat membuat kesenjangan di dalam kehidupan masyarakat.
Tercipta Anjuran dan Larangan
Apakah ada landasan yang menganjurkan tahlilan? jawabnya ada, seperti Dalil Naqli dan
Dalil Aqli.
Dalil Naqli adalah dalil yang diambil dari kitab Hasyiyah ala maraqy al-Falah karangan
Ahmad ibn Ismail at-Thahawy, yaitu (yang artinya):
Dimakruhkannya hukum penghidangan makanan kepada keluarga mayit bertentangan
dengan keterangan yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Ashim bin Kulaib dari
ayahnya dari laki-laki Anshar, ia berkata, Kami Bersama Rasulullah keluar menuju
pemakaman jenazah sewaktu hendak pulang muncullah istrinya mayit mengundang untuk
singgah, kemudian menghidangkan makanan, rasulullah pun mengambil makanan tersebut,
kemudian para sahabat pun turut mengambilnya pula dan mencicipinya, pada mulut
Rasulullah terdapat sekerat daging.
Dalil Aqli adalah argumen al-Istihsn (menganggap sesuatu itu baik berdasarkan dari
logika), antara lain bacaan ayat-ayat al-Quran, dzikir, dan doa yang mempunyai nilai-nilai
ibadah; kemudian nilai-nilai shadaqah saat melakukan pembagian makanan; dan juga
silaturahmi antar sesama warga masyarakat.
Namun, tidak sedikit sanggahan atau bantahan dari dalil-dalil tersebut, seperti bantahan dalil
Aqli yang menggunakan penalaran atau logika saja, dikecam tidak mempunyai dasar hukum
atau sumber yang jelas, seperti Al-Quran atau Al-Hadist.
Apabila ada pro pasti ada kontra, apabila ada anjuran pasti ada larangan. Larangan dari
tahlilan juga sering bermunculan. Alasan pertama yang sering disebutkan adalah tahlilan
termasuk bentuk dari niyhah (ratapan kepada si mayit) dan merupakan perbuatan orang
jahiliyyah. Diterima dari Thalhah kemudian dikeluarkan dari Ibnu Abi Syaibah bahwasanya
(yang artinya) : Sahabat jarir mendatangi Sahabat Umar. Umar berkata: apakah kamu

sekalian suka meratapi mayit? Jarir menjawab: Tidak. Umar berkata: apakahdiantara
wanita-wanita semua kalian suka berkumpul dirumah keluarga mayit dan memakan
hidangannya? Jarir menjawab: Ya. Umar berkata: hal itu sama dengan niyhah (meratap).
Tahlilan juga sebagai bidah dalam agama. Sebagaimana kita ketahui, Rasulullah dengan para
sahabatnya tidak pernah melakukan tradisi tahlilan. Sehingga tahlilan menjadi bidah dalam
agama yang tertolak. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW (yang artinya): Barangsiapa
mengerjakan sesuatu amalan yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan tersebut
tertolak. (Wahyu, 2016)
Lalu, bagaimana pendapat kalian dengan tanggapan-tanggapan diatas? Apakah kalian tidak
merasa bingung? Jujur saja, saya memang bingung. Setiap argumen yang dikemukakan orang
belum tentu salah, pasti tetap ada sebuah nilai kebenarannya. Sehingga kita jangan
memandang dari satu titik sudut pandang saja, karena masih ada 359 titik sudut pandang yang
lain.

Sumber
Amrullah, A. A. (2008). Pro Kontra Hukum Islam Pada Masyarakat Dusun
Cancangan Wurbasari Cangkringan. Yogyakarta: http://digilib.uinsuka.ac.id/1365/1/BAB%201,%20BAB%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf.
Fuadi, D. (2016). Membongkar Kebohongan Kisah Bahwa Wali Songo Menolak
Selamatan/Tahlilan. http://www.muslimoderat.com/2016/02/membongkarkebohongan-kisah-bahwa-wali.html.
Wahyu, A. (2016). Sejarah Tahlilan Dalil Beserta Keharaman Melakukannya.
http://www.ngekul.com/sejarah-tahlilan-dalil-beserta-keharaman-melakukannya/.

Anda mungkin juga menyukai