Anda di halaman 1dari 13

Masalah Tahlilan Memperingati Orang Mati

Ditinjau dari Ilmu Fiqh - 1

Upacara tahlilan atau memperingati orang mati pada hari-hari


tertentu dengan mengumpulkan orang dan membaca bacan-bacaan
tertentu, apakah termasuk ajaran yang dibawa oleh Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallamatau tidak. Di mana-mana di
Indonesia, upacara tahlilan itu diselenggarakan orang. Kalau yang
kematian itu eko-nominya cekak alias miskin, maka untuk
menyelenggarakan tahlilan itu direwangi wani utang (sampai dibela
dengan berani cari hutangan). Bahkan bisa juga sampai mencuri, seperti
berita berikut ini:

Selasa, 09/06/2009 17:31 WIB


Butuh Dana Tahlilan, Jumadi Curi Kabel 
Ari Saputra - detikNews
Jakarta - Makin pintar saja para pencuri beralibi. Kali ini Jumadi (31)
mengaku membutuhkan uang untuk biaya tahlilan istrinya. Karena
tidak punya uang, ia nekat mencuri kabel telekomunikasi yang
melintang tak jauh dari rumahnya. “Istri saya meninggal gara-gara
kena kanker payudara,” kata pelaku di Mapolsek Kembangan,
Jakarta Barat, Selasa (9/6/2009). Dalam menjalankan aksinya,
Jumadi berkolaborasi dengan Sanjaya (35) dan Ahmad Robani . (35).
Lalu mengendap-endap di malam hari dan memotong-motong kabel.
“Saya membutuhkan Rp 700.000 untuk biaya tahlilan,” kelit Jumadi
beralasan. Petugas memergoki dan meringkus ketiganya seketika.
Mereka terancam pasal 363 KUHP dengan hukuman penjara
maksimal 5 tahun.
(Ari/nrl)
Sumber:http://www.detiknews.com/read/
2009/06/09/173131/1145035/10/butuh-dana-tahlilan-jumadi-
curi-kabel

Di dalam Islam, ada kewajiban zakat. Tetapi bagi orang yang tidak
berharta maka tidak terkena kewajiban zakat itu, bahkan menjadi orang
yang berhak menerima zakat (Mustahiq). Oleh karena itu, seandainya
tahlilan memperingati orang mati itu termasuk ajaran Islam pun (dan
sebenarnya tidak) pasti tidak perlu utang-utang apalagi sampai mencuri.

Untuk memberi gambaran duduk soal masalah tahlilan, berikut ini kami
kutipkan dari buku Hartono Ahmad Jaiz, Tarekat, Tasawuf, Tahlilan, dan
Maulidan, Pustaka WIP, Solo, dalam bab lanjutan, setelah membahas
masalah rancunya tarekat dan tasawuf.

Masalah Tahlilan Memperingati Orang Mati

Ditinjau dari Ilmu Fiqh

Setelah dibahas kesesatan dan kerancuan tarekat tasawuf serta buku-


bukunya, kini mari kita bahas kebiasaan yang dipraktekkan dan didukung
pula oleh kalangan tasawuf dan orang awam, yaitu tahlilan memperingati
orang mati.

Dalam pembahasan ini pendekatan yang dipakai adalah ilmu fiqh.


Obyeknya adalah kebiasaan sebagian banyak masyarakat Islam
mengadakan makan-makan, kumpul-kumpul, dan selamatan dengan
diadakan apa yang mereka sebut tahlilan berkaitan dengan orang
meninggal.

Persoalan yang dipermasalahkan adalah kenapa umat Islam punya


kebiasaan mengadakan selamatan orang mati, yaitu selamatan atau
peringatan niga hari (hari ketiga), nujuh hari (hari ketujuh), matang
puluh (hari ke-empat puluh), nyatus (hari keseratus), haul (ulang tahun
kematian), nyewu (hari keseribu) dan sebagainya.

Kebiasaan masyarakat ini dilihat dari segi aturan Islam bagaimana.

Alat untuk mendekatinya adalah ilmu fiqh, dengan cara:

1. Mengkaji teks-teks fiqh.

2. Mengkaji fatwa-fatwa ulama fiqh dari berbagai madzhab.

3. Mengadakan perbandingan antara apa yang dilakukan di


masyarakatdiban-dingkan dengan ajaran Islam (yang hukum-
hukumnya terkandung dalam fiqh).
4. Menyimpulkan, apakah memang kebiasaan umat Islam itu sesuai
dengan ajaran Islam atau tidak.

Sebelum melaksanakan semua persoalan yang akan ditempuh itu,


maka lebih dulu diperlukan pemaparan tentang ilmu fiqh itu sendiri.

Ilmu Fiqh

Para ulama fiqh mendefiniskan, Fiqih adalah pengetahuan tentang


hukum-hukum syar’i ‘amali (praktis) yang bersumber dari dalil-dalilnya
yang rinci. Fiqh merupakan ilmu aturan perundang-undangan Islam.
Tetapi tidak seperti aturan perundang-undangan buatan manusia, fiqh
lebih mendalam, lebih lengkap, dan lebih luas cakupannya.[1]

Ilmu fiqh merupakan ilmu yang mengatur kehidupan pribadi dan


masyarakat muslim serta umat Islam, negara Islam dengan hukum-
hukum syari’at, baik yang berkaitan dengan hubungan seorang muslim
dengan Allah, yang diatur oleh fiqh ibadah, ataupun yang berkaitan
dengan hubungan antara seorang dengan dirinya sendiri yang
diatur oleh fiqh halal haram dan etika kesopanan individual.

Yang berkaitan dengan hubungan antara seorang dengan anggota


keluarganya diatur oleh fiqh keluarga yang bersisi soal perkawinan dan
yang berkaitan dengannya, yang disebut sebagai ahwal syakhsyiyyah.

Yang berkaiatan dengan pengaturan tukar menukar (jual beli) dan


hubungan-hubungan kemasyarakatan antara seseorang dengan orang
lain disebut sebagai fiqh mu’amalah dan termasuk di dalam tata-aturan
yang disebut undang-undang sipil.

Sementara itu yang berhubungan dengan kejahatan dan pidana


disebutfiqh hudud, qishah, dan ta’zir, termasuk dalam tata aturan
yang bernamatasyri’ jina’I (hukum pidana).

Sedangkan yang khusus mengenai hubungan antara negara dengan


rakyat, antara pemerintah dengan warga negara disebut siyasah
syar’iyyah,dan oleh para ahli hukum disebut peraturan perundang-
undangan atau peraturan birokrasi.
Terdapat pula jihad dan gerakan yang menjadi bagian hubungan
kenegaraan dan lain sebagainya.

Dengan demikian fiqh tidak hanya mengurusai hukum-hukum individual


dan keluarga, tetapi juga meliputi kehidupan kemasyarakatan, politik,
perundang-undangan, ekonomi, negara dan seluruh aspek kehiduapan.
[2]

Kebiasaan kendurian atau selamatan orang mati sebagai obyek

Masalah yang dibicarakan dalam hal ini difokuskan kepada kebiasaan


umat Islam mengadakan kendurian atau selamatan/ peringatan berkaitan
dengan orang mati. Selamatan orang mati itu diadakan dengan
mengadakan upacara kumpul-kumpul di rumah duka pada hari-hari
tertentu, sejak hari kematian. Mereka menamakan selamatan itu
dengan niga hari, nujuh hari, dua kali tujuh, empat puluh (matang
puluh), seratus hari (nyatus), haul (ulang tahun kematian), seribu hari
(nyewu) dan seterusnya.

Upacara kumpul-kumpul untuk selamatan orang mati pada hari-hari


tertentu itu menurut Prof DR Hamka adalah menirukan agama Hindu.
Namun dalam pelaksanaannya, hadirin yang kumpul di rumah duka pada
hari-hari tertentu itu membaca bacaan-bacaan tertentu dipimpin oleh
imam upacara. Rangkaian bacaan itu disebut tahlil, karena ada
bacaan laa ilaaha illallah. Hingga upacara selamatan orang mati itu sendiri
di masyarakat disebut tahlilan.

Biasanya pihak yang duka itu justru menjamu makanan, minuman, plus
rokok (yang hukumnya dalam Islam rokok itu ada yang memakruhkan
dan ada yang mengharamkan), dan kebanyakan masih pula pihak duka
membekali makanan untuk dibawa pulang oleh para hadirin. Makanan
yang dibawa pulang itu disebut berkat, yang diambil dari lafal
Arab barokah, dalam Islam, lafal barokah itu artinya adalah banyak
kebaikannya.

Di samping penderita duka itu menyediakan makanan, minuman,


rokok, dan berkat, masih pula kadang harus menyediakan duit diselipkan
di besek wadah berkat yang dibawa pulang oleh para hadirin itu.
Sehingga beban pihak duka itu bertambah-tambah.

Sejak hari kematian, tentang kebiasaan kumpul-kumpul dan makan-


makan di rumah duka itu telah berlangsung. Hingga pihak duka justru
menyediakan makan, menyembelih hewan dan sebagainya.

Kenyataan tersebut sebenarnya apakah sesuai dengan ajaran Islam atau


tidak, perlu dikaji. Dalam pembahasan ini dikaji dengan cara
dibandingkan dengan ajaran Islam dengan cara:

1. Meneliti teks ayat ataupun hadits.

2. Meneliti hukum-hukum yang tertuang di kitab-kitab fiqh, dan

3. Meneliti pendapat-pendapat para ulama dari berbagai madzhab


fiqh.

Teks ayat atau hadits mengenai jamuan makan kematian

Sebelum menentukan tentang kebiasaan selamatan peringatan orang


mati itu benar atau tidak bila dilihat dari ajaran Islam, lebih dulu diteliti
tentang teks-teks mengenai jamuan makan di kala kematian, dan
bagaimana tatacara ta’ziyah menurut teks.

Kemudian bagaimana pula pendapat-pendapat para ulama fiqh di


sekitar upacara kematian.

Teks hadits di antaranya bisa ditemukan.

1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para sahabatnya


ketika Ja’far ibnu Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia :

‫صنَ ُع ْوا ِآل ِل َج ْعفَ َر طَ َعا ًما فَقَ ْد َأتَا ُه ْم َما يُش ِْغلُ ُه ْم‬
ْ ِ‫ا‬

Artinya :“Buatkanlah makanan bagi keluarga Ja’far karena telah datang


kepada mereka hal yang menyibukkannya.” (Hadits shahih riwayat Imam
Syafi’i, Ahmad, Abu Dawud, Tirmnidzi dan Ibnu Majah).

Kumpul-kumpul di rumah keluarga si mayit serta menyediakan


makanan buat yang kumpul-kumpul itu merupakan
macam niyahah (meratap yang hukumnya dilarang), karena
menyusahkan keluarga si mayit dan mengingatkan mereka kepada si
mayit, juga bertentangan dengan sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam.

2. Jarir ibnu Abdillah berkata:

َ َ‫ص ْن َعةَ الطَّ َعا َم بَ ْع َد َد ْفنِ ِه ِمنَ النِّي‬


‫اح ِة‬ ِ ِّ‫ُكنَّا نَ ُع ُّد ا ِال ْجتِ َما َع ِإلَى َأ ْه ِل ا ْل َمي‬
َ ‫ت َو‬

Artinya :“Kami menganggap kumpul-kumpul ke (rumah) keluarga si


mayit dan penyediaan makanan setelah penguburan si mayit merupakan
bagian dari niyahah (meratap).” (Hadits Shahih riwayat Ahmad dan Ibnu
Majah).

3. Niyahah itu merupakan dosa besar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallamberkata:

ِ ‫اَلنَّاِئ َحةُ ِإ َذا لَ ْم تَت ُْب قَ ْب َل َم ْوتِ َها تُقَا ُم يَ ْو َم القِيَا َم ِة َو َعلَ ْي َها‬
‫س ْربا َ ٌل ِمنْ قَ ِط َرا ٍن‬

Artinya :“Wanita yang meratapi (mayit) jika dia tidak taubat sebelum


dia meninggal maka dia dibangkitkan di hari kiamat (dalam keadaan di
azab) dengan mengenakan pakaian dari cairan tembaga yang
meleleh.” (HR. Muslim).

Teks fiqh atau pendapat Imam-imam tentang ta’ziyah, makan-


makan, dan selamatan orang mati.

Ta’ziyah yang sesuai dengan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallamhanya dilakukan di jalanan atau ketika ada di pekuburan (ketika
mau atau sudah mengubur) atau tidak apa-apa datang ke rumah
keluarga si mayit tapitak lama dan tidak duduk.

Imam Syafi’i rahimahullah berkata di dalam Al-Umm:

‫ضى فِي ِه ِم ْن اَأْلثَ ِر‬ َ ِ‫ َوِإ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَهُ ْم بُ َكا ٌء فَِإ َّن َذل‬, ُ‫ َو ِه َي ْال َج َما َعة‬, ‫َوَأ ْك َرهُ ْال َمْأتَ َم‬
َ ‫ َويُ َكلِّفُ ْال ُمْؤ نَةَ َم َع َما َم‬, َ‫ك يُ َج ِّد ُد ْالح ُْزن‬

“Saya membenci kumpul-kumpul (di rumah mayit) meskipun tidak di


sertai tangisan, karena hal itu mengingatkan kesedihan dan menimbulkan
beban serta bertentangan dengan atsar.”[3]
Imam An Nawawi berkata :

َ‫ رُون‬Kَ‫ق َوآخ‬K ِ K‫ ٍد فِي التَّ ْعلِي‬K‫ ْي ُخ َأبُو َحا ِم‬K‫الش‬


َّ ُ‫ب َعلَى َك َراهَتِ ِه َونَقَلَه‬ ِ ‫صنِّفُ َو َساِئ ُر اَأْلصْ َحا‬ َ ‫ْزيَ ِة فَنَصَّ ال َّشافِ ِع ُّي َو ْال ُم‬
ِ ‫َوَأ َّما ْال ُجلُوسُ لِلتَّع‬
‫لْ يَ ْنبَ ِغي َأ ْن‬KKَ‫ ب‬: ‫الُوا‬KKَ‫ةَ ق‬K َ‫ْزي‬
ِ ‫ص ُدهُ ْم َم ْن َأ َرا َد التَّع‬
ِ ‫ت فَيَ ْق‬ ِ ِّ‫وس لَهَا َأ ْن يَجْ تَ ِم َع َأ ْه ُل ْال َمي‬
ٍ ‫ت فِي بَ ْي‬ ِ ُ‫ يَ ْعنِي بِ ْال ُجل‬: ‫ قَالُوا‬. ‫ع َْن نَصِّ ال َّشافِ ِع ِّي‬
‫ص ِرفُوا فِي َح َواِئ ِج ِه ْم‬
َ ‫يَ ْن‬

Al Imam Asy Syafii dan para pengikut


madzhabnya rahimahumullah berkata : “Dan sangat dibenci melakukan
duduk untuk ta’ziyah,” mereka berkata :”Maksud dengan duduk ini adalah
keluarga si mayit duduk berkumpul agar ada orang yang datang untuk
berta’ziyah, seharusnya mereka pergi menunaikan tugasnya sehari-
hari.”[4]

Al Imam Ahmad rahimahullah mengingkari duduk-duduk itu dan


beliau berkata :Hal itu termasuk perbuatan jahiliyyah.[1]

Syaikh Ahmad Zaini Dahlan Mufti Syafiiyyah di Makkah mengatakan


ketika ditanya tentang hal itu : “Ya, apa yang dilakukan orang-orang
berupa kumpul-kumpul di rumah keluarga si mayit serta penyediaan
makanan itu adalah merupakan bid’ah munkarah, dan orang yang
mengingkarinya mendapatkan pahala.” Kemudian beliau menukil
perkataan Ahmad Ibnu Hajar dalam kitabTuhfatul Muhtaaj: “… Dan apa
yang biasa dilakukan (orang-orang) berupa penyediaan makanan yang
dilakukan ahli mayit untuk mengundang orang-orang ke rumahnya adalah
merupakan bid’ah yang dibenci dan begitu juga memenuhi undangan
itu…” Kemudian Mufti itu menukil perkataan lain dariHasyiyah Al-‘Allamah
Al-Jamal ‘Ala Syarhil Minhaj, “Dan di antara bid’ah munkarah yang
sangat dibenci adalah apa yang dilakukan orang di hari….. dan dihari ke
40 nya. Semua itu haram hukumnya.”

Dalam Kitab Fathul Bari ditegaskan, “Dibenci hukumnya menerima


jamuan (hidangan) dari makanan ahli mayit, karena yang namanya
hidangan itu disyariatkan ketika ada suatu kebahagiaan,
sedangkan penyediaan hidangan di hari-hari kematian adalah bid’ah.”

Dalam Al-Bazzaziyah, “Dan dibenci membuat hidangan di hari pertama,


ketiga dan ketujuh…..”

Fatwa-fatwa itu dikemukakan oleh semua Mufti keempat mazhab.[2]


Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri khatib dan pengajar tetap
di Masjid Nabawi Madinah berkata: “Dan diantara hal yang wajib
ditinggalkan dan dijauhi adalah apa yang dilakukan oleh orang-orang
karena kebodohan (terhadap ajaran Islam) berupa kumpul-kumpul di
rumah-rumah (ahli mayit) untuk ta’ziyah serta penyediaan jamuan juga
mengeluarkan harta untuk itu (sehingga berbangga-bangga). (Itu tidak
boleh) karena salafush shalih(generasi Islam terdahulu yang shalih) tidak
pernah kumpul-kumpul di rumah mayit. Tapi mereka saling menta’ziahi di
pekuburan, ketika kebetulan berjumpa di mana saja. Dan tak apa menuju
ke rumahnya jika tidak mungkin menemuinya di pekuburan atau di jalan.
Yang muhdats (bid’ah) adalah kumpul-kumpul yang khusus dan
dipersiapkan secara sengaja.[3]

Imam Abu Ishaq Ay-Syairaziy Asy-Syafi’i berkata:

ُ ‫َث َو ْال ُمحْ د‬


ٌ‫َث بِ ْد َعة‬ َ ِ‫ َأِل َّن َذل‬, ‫ْزيَ ِة‬
ٌ ‫ك ُمحْ د‬ ِ ‫َويُ ْك َرهُ ْال ُجلُوسُ لِلتَّع‬

“Dan diantara bid’ah yang sangat dibenci adalah duduk-duduk untuk


ta’ziyah karena hal itu adalah muhdats (baru) dan semua
yang muhdats itu adalah bid’ah.”[4]

Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan, “Dan apa yang dilakukan orang –


orang pada masa sekarang ini berupa kumpul-kumpul untuk ta’ziyah,
mendirikan tenda-tenda, membentangkan hamparan, menghambur-
hamburkan harta yang banyak demi gengsi adalah merupakan hal-hal
yang baru dan bid’ah munkarah yang wajib dijauhi oleh semua orang
muslim, Dan haram melakukannya, apalagi sering dibarengi dengan hal-
hal yang bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah serta
berjalan sesuai dengan adat jahiliyah seperti melagukan Al- Qur’an dan
tidak mematuhi adab tilawah, meninggalkan inshat (diam dan tidak ribut)
dan menyibukkan dengan merokok dari mendengarkan Al-Qur’an, bahkan
mereka itu tidak cukup sampai di sini.Mereka tidak hanya terbatas
melakukannya di hari-hari pertama saja, tapi mereka menjadikan hari ke-
40 sebagai hari pengulangan kemugkaran-kemungkaran dan bid’ah ini.
Dan juga mereka mengadakan peringatan temu tahun (Haul istilah orang
Indonesia, pent) pertama, kedua dan seterunya. Hal-hal yang tidak
sesuai dengan akal sehat dan dalil yang kuat.[5]
Hal serupa dikemukakan oleh Syaikh Mahmud Syaltut Syaikhul
Azhar(Universitas Al-Azhar Mesir), beliau menambahkan, “……Dan
ta’ziyah itu tidak ada di abad-abad pertama (Islam) kecuali ketika
mengiringi jenazah atau ketika bertemu pertama kali bagi orang yang
tidak ikut mengiringi jenazah,” kemudian dia berkata lagi, “dan dari sini
tidak pernah dikenal di dalam ajaran Islam apa yang disebut pada masa
sekarang ini dengan nama Kamis kecil atau Kamis besar, apalagi yang
namanya ke 40 (matang puluh), temu tahunan (haul) yang mereka
gunakan untuk mengingat kesedihan lagi dan mereka mengulang kumpul-
kumpul lagi di hari itu dengan meninggalkan pekerjaan rutinnya yang
bermanfaat.[6]

Syaikh Abdur Rahman Al-Juzairiy berkata: “Di antara bid’ah yang


dibenci adalah yang dilakukan pada masa sekarang ini seperti
menyembelih hewan ketika mayit dibawa keluar dari rumah atau
(menyembelih) di dekat kuburan dan (seperti) menyediakan makanan
buat orang yang berkumpul untuk ta’ziyah dan menghidangkannya
kepada mereka seperti dalam acara suka cita. Dan jika di antara ahli
waritsnya ada yang belum baligh maka (pihak yang kematian itu, pen)
menyiapkan makanan serta menyajikannya kepada mereka (para tamu)
adalah haram.” [7]

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata: Dan bukan petunjuk


Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam kumpul-kumpul untuk ta’ziyah, begitu
juga membaca Al-Qur’an buat si mayit, tidak di kuburannya, tidak juga di
tempat yang lainnya. Dan semua ini adalah bid’ah haditsah (diadakan
secara baru) yang dibenci.[8]

Perbandingan

1. Jamuan makan dan upacara kumpul-kumpul yang berkaitan


dengan kematian adalah merupakan kebiasaan sebagian besar
masyarakat Islam di Indonesia.

2. Teks hadits mengenai kematian, justru pihak kematian itulah


yang harus dibantu disediakan makan. Bukan menyediakan
makan untuk penta’ziyah.
3. Teks hadits tentang kumpul-kumpul dengan penyediaan makan
oleh pihak si mayit adalah termasuk niyahah, yaitu meratap
yang hukumnya haram, karena termasuk tingkah jahiliyah.

4. Teks fiqh dan fatwa para ulama dari empat madzhab dan ulama
masa kini, semuanya menilai bahwa acara kumpul-kumpul dan
makan-makan berkaitan dengan kematian adalah bid’ah
munkaroh yang harus dijauhi.

Kesimpulan

Dari kenyataan itu bisa diperbandingkan dan disimpulkan:

Adat kebiasaan berkaitan dengan kematian yaitu jamuan makan,


kumpul-kumpul, dan peringatan orang mati yang berlangsung di
kalangan ummat Islam ternyata bertolak belakang dengan ajaran
Islam, baik teks hadits maupun teks fiqh serta fatwa para ulama dari
berbagai madzhab, klasik maupun masa kini.

Kesimpulan yang nyata di masyarakat itu, bisa dihubungkan dengan


pernyataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

َ‫اف َعلَى ُأ َّمت ِْي اَألِئ َّم َة ا ْل ُمضِ لِّ ْين‬


ُ ‫ِإ َّن َما َأ َخ‬

Artinya: Sesungguhnya yang saya takutkan atas umatku hanyalah para


Imam (ulama, pemuka) yang menyesatkan. (Hadist Shahih Riwayat Abu
Dawud dan Al-Barqani).

Catatan

Pendekatan lewat fiqh pada dasarnya adalah mengkategorikan, termasuk


madzhab yang manakah peristiwa yang diteliti itu.. Apakah termasuk
dalam madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i atau Hanbali. Peneliti mencocokkan
kejadian yang diteliti itu dengan faham madzhab-madzhab tersebut.

Kadang-kadang suatu peristiwa, bahkan telah menjadi kebiasaan di


masyarakat, Islam, tetapi ternyata tidak cocok bila dirujuk kepada
madzhab-madzhab fiqh manapun. Hal itu ada dua kemungkinan.
Pertama, memang kejadian itu menyimpang dari agama, sehingga
dengan fiqh jenis madzhab manapun tidak sesuai. Kedua, mungkin
persoalan itu baru, sehingga belum ada di dalam kitab-kitab fiqh.

Apabila persoalan itu baru, maka diperlukan adanya ijtihad oleh ulama
yang ahlinya. Sedang peneliti hanya bisa sampai pada kesimpulan bahwa
persoalan itu belum ada di kitab-kitab fiqh dalam madzhab manapun.
Meskipun demikian, kalau peneliti itu memiliki keahlian dan memenuhi
syarat-syarat untuk berijtihad, maka dia berhak berijtihad. Namun hal
yang dilakukannya bukan lagi sekadar sebagai peneliti kasus dengan alat
ilmu fiqh, karena dia sudah melangkah ke tingkat yang hanya dijamah
oleh mujtahid, yang kaitannya adalah menggali persoalan sedalam-
dalamnya dengan mencari dalil-dalilnya untuk menentukan hukum.

Peneliti yang sebenarnya justru yang seperti itu, kalau menyangkut


agama. Atau paling kurang adalah mengumpulkan berbagai pendapat dari
madzhab-madzhab, lalu mentarjihnya, yaitu menentukan mana yang
paling kuat dalilnya. Tetapi dalam kenyataan sampai sekarang, penelitian
agama itu hanya seperti penelitian yang berlaku di ilmu-ilmu sosial, maka
pada dasarnya hanya seperti investigasi wartawan, yang tidak ada nilai
benar atau batilnya peristiwa yang ditelitinya. Penelitian semacam itu
punya resiko menyesatkan, bila dilihat dari ajaran agama. Karena tidak
bisa menjangkau mana yang benar / rajih (kuat) menurut dalil agama.

Sayangnya metode penelitian agama pun tidak mengarah ke penelitian


yang sebenarnya, hingga tak lebih dari sekadar penelitian sosial dan
sebagainya. Bahkan tidak jarang, yang digunakan sebagai tolok ukur pun
ilmu-ilmu sosial yang tak mampu menjangkau kaidah-kaidah agama.
Makanya takmengherankan, orang yang diangkat sebagai peneliti ahli
bidang agama dengan julukan Ahli Peneliti Utama (APU) pun justru
dirinya mengikuti aliran sesat Ahmadiyah, misalnya. Itu benar-benar
terjadi di Indonesia ini, yaitu Johan Effendi seorang anggota resmi aliran
sesat Ahmadiyah, malah diangkat secara resmi sebagai APU (Ahli Peneliti
Utama) oleh Menteri Agama Munawir Sjadzali waktu rejim Soeharto
sebelum 1990-an. Pidato pengukuhannya pun menghadirkan para pejabat
tinggi di lingkungan Departemen Agama. Juga Dr Musdah Mulia yang
berpredikat APU, ternyata justru membuat buku controversial berjudul
Conter Draft Legal Kompilasi Hukum Islam, yang isinya sangat
bertentangan dengan Islam, di antaranya laki-laki dikenai ‘iddah (masa
tunggu untuk bolehnya nikah setelah cerai hidup atau cerai mati).

Di samping kasus seperti tersebut di atas, tidak sedikit pula peneliti


agama yang masih bercokol dalam bid’ah-bid’ah. Itu kasus yang pantas
diteliti pula. Jadi umat Islam Indonesia ini secara gampangnya, banyak
yang mengamalkan kebiasaan-kebiasaan bid’ah dan bertentangan dengan
Islam. Malah kebiasaan bid’ah itu dilindungi bahkan dikembangkan oleh
sebagian kiai atau bahkan ulama dan organisasi-organisasi yang doyan
bid’ah. Lalu oleh para peneliti agama yang mungkin mereka tergolong
dalam aliran sesat atau pun kaum bid’ah melegitimasi kebiasaan bid’ah
itu. Kemudian pihak-pihak sekuler termasuk orang-orang pemerintah
menggunakan kesempatan itu untuk mendukung sikap anti Islamnya atau
menghadapi lawan politiknya yang dianggap mau menegakkan syari’at
Islam. Maka bid’ah dan kesesatan di Indonesia ini justru bisa dibilang
dipelihara untuk menjadi salah satu alatpenghalang akan tegaknya
syari’at Islam. Hal itu sangat difahami oleh para anti Islam, baik dalam
negeri maupun luar negeri. Maka mereka ramai-ramai saling mencari
proyek untuk melestarikan bid’ah dan kesesatan itu, sambil mencari hasil
untuk kepentingan dunia sesaat sambil mempecundangi Islam dengan
berwajah seolah mereka Muslim.

Mudah-mudahan orang yang memperjuangkan Islam senantiasa


diunggulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menambah sakit dan
derita orang-orang yang menurut Al-Qur’an disebut di dalam hati mereka
ada penyakit, maka Allah menambahi mereka penyakit. Berbahagialah
orang yang mengikuti petunjuk Allah dan Rasulnya, dan sengsaralah
orang yang melawan dan menyelisihinya, walau berpenampilan sebagai
Muslim. (Hartono Ahmad Jaiz, Tarekat, Tasawuf, Tahlilan, dan
Maulidan, Pustaka WIP, Solo).

[1] Matholib Ulin Nuha, juz 1:

‫ َو ُه َو ااِل جْ ِت َم ا ُع‬, ‫ َأِل َّن ُه إ َعا َن ٌة َعلَى َم ْك رُو ٍه‬, ) ُ‫ ( َفي ُْك َره‬, ‫ت‬
ِ ‫ َأهْ ِل ْال َم ِّي‬: ْ‫ َأي‬, ) ‫الط َع ا ُم ( لِ َمنْ َيجْ َت ِم ُع عِ ْن َد ُه ْم‬ َّ ‫ُص َن ُع‬ ْ ‫َو ( اَل ) ي‬
ً ‫ َوَأ ْن َك َرهُ َشد‬, ‫ال ْال َجا ِهلِ َّي ِة‬
‫ِيدا‬ ِ ‫ إ َّن ُه مِنْ َأ ْف َع‬: ‫ َقا َل َأحْ َم ُد‬, ‫عِ ْن َد ُه ْم‬
[2] Abu Bakar Al-Bakri Asy-Syafi’i 146-2/145 ‫إ عانة ا لطا لبين‬

[3] Minhajul Muslim hal: 282

[4] Al-Muhadzdzab 1/39

[5] Fiqhussunnah 1/476

[6] Al-Fatawaa, Dirasat Limusykilaatil muslim Al-Mu’ashir fi Hayaatihil

Yaumiyyah 217.

[7] (AlFiqhu ‘Ala Al Madzhabib Al-Arba’ah 1/539)

[8] Zaadul Ma’ad 1/442.

(Penelitian teks-teks hadits dan fiqh ini atas bantuan ketekunan Ustadz A A
Sulaiman, seorang ustadz alumni Syari’ah LIPIA Jakarta yang hafal Al-Qur’an).

Anda mungkin juga menyukai