Anda di halaman 1dari 36

Tahlilan, Maulidan, Yasinan Dianggap “Bid’ah” Kenapa,

Alasanya, Dalilnya ?

bismillahirahmanirahim

sahabatku semua yang dirahmati Allah, banyak seakali diantara saudara kita yang
membid’ahkan acara tahlilan dan yasinan, mempersalahkan acara tahlilan hari ke 7, 40, 100
dan 1000. padahal tahlilan dan yasinan adalah strategi dakwah para wali songo yang begitu
paham alquran dan hadist sehingga menuangkan amalan-amalan yang baik dalam wadah
yang disebut tahlilan, walisongo orang yang sangat berjasa besar dalam penyebaran islam di
indonesia, dakwah mereka melalui kultural dan budaya, mendekati dari hati ke hati sehingga
orang berbondong-bondong masuk islam karena keihlasan hatinya bukan sebuah
keterpaksaan. untuk itu yang masih mengganggap itu bid’ah sesat dan akan masuk neraka,
alangkah baiknya kita kaji dimana sesatnya…? dalilnya? bukan sekedar menafsirkan dan
menyomot dalil yang gak jelas. ingat ulama itu pewaris para nabi, ilmu para walisanga jauh
lebih tinggi daripada ilmu kita mereka semua hafal alqur’an dan jasa mereka sangat besar ,
kita pun gak mampu menyamainya bukan? lantas apakah kita serta dengan angkuhnya
membid’ahkan apa yang mereka ajarkan? sungguh sombongnya kita, jika demikian.

mari kita kaji bersama, mari buka mata dan hati kita,…

Jangan cuma asal ikut sana, ikut sini, tanpa tahu dari mana asalanya, sepeti mengikuti
gerakan Wahabi yang berkembang di Indonesia yg berasal dari Arab Saudi. Tujuan mereka
ingin mengajarkan pemurnian Islam versi mereka, ingat versi mereka lho, bukan mengikuti
Rosulullah saw maupun maghdab 4, sementara ajaran lain dianggap tidak benar dan harus
diperangi. aliran Wahabi cukup berbahaya dan mengancam kelangsungan hidup Islam. Sebab
aliran ini banyak menjalakan amalan-amalan yang justru tidak sejalan dengan ajaran Islam.

perlu diingat saja. AL Hafidh adalah Ahli hadits yg hafal lebih dari 100.000 hadits dengan
sanad dan hukum matannya, dan Al Hujjah adalah yg hafal lebih dari 300.000 hadits dengan
sanad dan hukum matannya, sebagaimana Imam Nawawi yg telah melebih derajat Al hujjah
sehingga digelari Hujjatul Islam, demikian pula Hujjatul Islam Imam Ghazali, demikian pula
Hujjatul Islam Imam Ibn Hajar AL Asqalaniy dan banyak lagi,

dan Imam Ahmad bin Hanbal (hambali) ia hafal 1 juta hadits berikut sanad dan hukum
matannya, dan ia adalah Murid Imam Syafi’i, dan ia berkata : “tak kulihat seorangpun lebih
menjaga hadits seperti Imam Syafii”
wahabi itu tak satupun yg sampai jadi ahli hadits dan keilmuan mereka tak dipertimbangkan
dari kalangan ahli hadist dan ilmu lainya.

mereka juga tak punya sanad, berkata para ahli hadits: “Tiada ilmu tanpa sanad”

kita Ahlussunnah waljamaah tak mau ilmu yg tak ada sanadnya, kita bicara syariah kita
punya sanad, kita bicara tauhid kita punya sanad, kita bicara hadits kita punya sanad kepada
para ahli hadits, kita punya sanad kepada Imam Bukhari, kita punya sanad kepada
Kutubussittah, kita bicara fiqih madzhab kita punya sanad kepada Imam Imam Madzhab.
mereka wahabi itu tak punya sanad, hanya nukil nukil dari buku, lalu mengaku sebagai ahli
hadits, padahal dalam pendapat para ahli hadits tidak diterima ucapan nukil nukil, mesti ada
sanad periwayatnya, menurut para ahli hadits tak bisa kita shalat lihat dari buku, tapi mesti :
“aku rukuk melihat si fulan seperti ini ruku’nya, dan aku tahu dia orang terpercaya, aku tahu
dia shalih, aku tahu dia berilmu, aku tahu dia tsiqah, aqil, baligh, dan rasyiid (bisa dipercaya
untuk diikuti), dan aku tahu bahwa dia itu ruku’nya mengikuti gurunya, si fulan, yg juga
orang mulia, dan gurunya itu rukuk mengikuti gurunya lagi yaitu…., demikian hingga
Rasulullah saw.

dengan cara ini baru ruku kita diterima, kalau tak punya riwayat maka dhoif, omongannya tak
didengar, fatwanya tertolak, dan ucapannya tak bisa dijadikan rujukan fatwa,

inilah keadaan kita ahlussunnah waljamaah, kita lihat guru kita, bukan nukil dari buku,
demikian dalam pelbagai ibadah kita punya guru, berbeda dengan mereka, tak punya guru,
hanya nukil nukil dari buku lalu berfatwa,

lalu yg lucu, mereka mengaku merekalah Madzhab ahlul hadits, ini seperti orang yg
membuka kursus menjahit padahal ia sendiri tak tahu menjahit itu apa.

maka berhati-hatilah kawan atas dampak ajaran wahabi yangt berada diindonesia.. yang
selalu membidahkan segala aspek masalah… mari kita kaji dulu bersama

sebuah kisah menarik bacalah dengan seksama……. semoga kisah ini membuka
kekakuan hati kita semua,.

Disebuah desa di daerah Banyuwangi, terdapat seorang Kyai yang cukup disegani dan
memiliki lembaga pendidikan dengan jumlah santri yang cukup banyak, sebut saja Kyai
Fulan. Kyai Fulan, tampaknya kurang begitu puas dengan ilmu yang diperoleh dari berbagai
pondok pesantren yang pernah ia singgahi waktu muda dulu. Dia mempunyai seorang putra
yang ia gadang-gadang menjadi penggantinya kelak jika ia sudah menghadap Sang Pencipta.

Sebagai calon pengganti si Anak -sebut saja Gus Zaid– ia ‘titipkan’ pada lembaga-lembaga
pendidikan agama yang dibilang favorit di negeri ini. Dikatakan favorit, karena lembaga ini
dikelola dengan manajemen yang rapi, dan moderen, juga ditangani oleh guru-guru yang
‘alim’ lulusan universitas-universitas di Arab Saudi, negara tempat Islam dilahirkan.

Saat Gus Zaid masih dalam penyelesaian pendidikannya di lembaga favorit itu, Kyai Fulan
wafat. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Gus Zaid pun diminta pulang oleh keluarganya.

Seperti lazimnya adat kalangan NU, upacara pemakaman Kyai Fulan dilakukan dengan
tradisi-tradisi yang indentik dengan kalangan nahdliyin. Ketika Gus Zaid sampai di rumah
dan melihat acara pemakaman yang sedang berlangsung, ia kaget dan menahan amarah,
karena semua acara yang dilaksanakan dianggapnya bid’ah. Tapi saat ini ia mampu bersabar.

Saat seorang Kyai tetangga yang juga teman Kyai Fulan, –sebut saja Kyai Umar—
memberikan sambutan atas nama wakil tuan rumah, ketika jenazah akan diberangkatkan,
setelah bicara ini dan itu, ia menyampaikan bahwa nanti malam sampai malam ke-7 kematian
Kyai Fulan akan diadakan acara tahlilan setelah maghrib. Mendengar hal itu, Gus Zaid yang
semenjak kedatangannya sudah memendam amarah dan kebencian, tanpa ba bi bu, ia
langsung menyambar mikrofon dari Kyai Umar dan berkata: “Tidak ada tahlil bagi bapakku
malam nanti. Tahlil adalah bid’ah dan doa orang yang masih hidup untuk orang yang telah
meninggal dunia tidak sampai, wa an laysa lil insani illa ma sa’a. Sekian terima kasih!”. Lalu
ia berikan lagi mikrofon itu kepada Kyai Umar.

Para pelayat tersentak kaget. Kyai Umar hanya tersenyum dan melanjutkan sambutannya.
“Benar saudara-saudaraku sekalian, wa an laysa lil insani illa ma sa’a. Karena Gus Zaid
sudah mengatakan demikian, maka nanti malam dan seterusnya tahlil tidak diadakan.
Sekarang mari kita berdoa semoga Kyai Fulan di siksa dalam Kubur!. Semoga dosa-dosa
tidak terampuni, semoga dia menjadi bahan bakar api neraka dan tidak pernah dimasukkan ke
dalam Surga!”.

Para pelayat serentak meneriakkan, “Amiiiiin!”.

Gus Zaid: “?????”. “Kok mendoakan begitu untuk bapakku”.

Kyai Umar dengan enteng menjawab: “Kan Allah berfirman, Wa an laysa lil insani illa ma
sa’a?”.

Gus Zaid : Ya sudah nanti malam tahlilan…..!

NB; maaf, jika orang yang tak paham pasti akan mengklaim kiayi kok mendoakan jelek,
bukan itu maksud yg ingin saya sampaikan dan tekankan, disini saya akan menekankan, jika
seandenya mendoakan yang baik-baikpun percuma, maka mereka menganggap do’a kita gak
sampai ( do’a sampai seribu kalipun gak akan sampai tho, kan mereka menyakini itu), itulah
karena kedangkalan pemahaman syariah mereka, ayo do ngaji maleh,...ngaji maleh,…
(belajar lagi)

Sampainya Do’a Kepada Orang Yg Sudah Meninggal

Fadhilatusy Syaikh asy-Sya’raawi dalam himpunan fatwanya “al-Fatawa” mukasurat 201-


202 menyatakan seperti berikut:-

 Telah disebut oleh asy-Syaikh al-‘Adawi rhm. dalam “Masyaariqul Anwaar“


bahawasanya:- “Telah sepakat atas sampainya (pahala) sedekah kepada si mati. Tidak
ada bezanya sama ada sedekah tersebut dilakukan jauh dari kubur si mati atau dekat.
Dan demikian jugalah pada doa dan istighfar.” Dan telah berkata al-Imam al-Qurthubi
bahawa telah ijma` sekalian ulama atas sampainya (pahala) sedekah kepada orang-
orang mati, dan demikian pula perkataannya pada bacaan al-Quran, doa dan istighfar
yang dikuatkannya dengan hadis: ” Dan setiap ma’ruf itu adalah sedekah“.
Demikian lagi dikuatkannya dengan hadis Junjungan s.a.w.: ” Orang mati itu di
dalam kuburnya seperti orang lemas yang meminta-minta pertolongan. Dia
menunggu doa berhubungan dengannya daripada saudaranya atau sahabatnya,
maka mendapat doa tersebut adalah lebih baik baginya dari dunia seisinya.” Dan
juga dalil atas sampainya pahala tadi ialah hadis Junjungan s.a.w.: “Sesiapa yang
melalui perkuburan lalu membaca Suratul Ikhlash 11 kali, kemudian dihadiahkan
pahalanya kepada orang-orang mati, dikurniakan pahala baginya sebanyak
bilangan orang-orang mati tersebut.” Adalah al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata:-
“Apabila kamu memasuki kawasan perkuburan, maka kamu bacalah al-Fatihah dan
al-Mu`awwidzatain dan Suratul Ikhlash dan kamu jadikanlah pahala yang sedemikian
itu buat ahli kubur tersebut, maka bahawasanya pahala tersebut sampai kepada
mereka.”

Tok Syaikh Daud al-Fathani pula dalam “Bughyatuth Thullab” juzuk 2 mukasurat 33
menulis:-

 (Faedah) Telah datang daripada salaf bahawasanya barangsiapa membaca surah Qul
Huwa Allahu Ahad sebelas kali dan dihadiahkan pahalanya bagi ahli kubur , diampun
Allah ta`ala dosanya dengan sebilang-bilang orang yang mati di dalam kubur itu dan
riwayat yang lain diberi akan dia pahala sebilang orang yang mati padanya.

Sa’ad Azzanjani meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah RA dengan hadits marfu’:
BARANG SIAPA MEMASUKI PEKUBURAN KEMUDIAN MEMBACA FATIHAH,QUL
HUWALLOHU AHAD,ALHA KUM ATTAKATSUR KEMUDIAN DIA BERKATA: YA
ALLAH AKU MENJADIKAN PAHALA BACAAN KALAMMU INI UNTUK AHLI
KUBUR DARI ORANG-ORANG MU’MIN,MAKA AHLI KUBUR ITU AKAN MENJADI
PENOLONGNYA NANTI DI HADAPAN ALLAH SWT…..
Abdul Azizi Shahib Al-kholllal meriwayatkan dengan sanadnya dari Anas dalam hadits
marfu’:
NABI SAW BERSABDA:
BARANGSIAPA YANG MEMASUKI PEKUBURAN KEMUDIAN DIA MEMBACA
YASIN, MAKA ALLAH AKAN MERINGANKAN SIKSAAN MEREKA, DAN DIA AKAN
MENDAPATKAN PAHALA AHLI KUBUR TERSEBUT…...
Sahabatku semua yang baik yang dirahmati Allah,..
ada orang yang bertanya kepada habieb lutfi pekalongan. Saya pernah membaca buku yang
menyatakan sesatnya tarekat dan mengharamkan membaca sholawat. Saya bingung,
bagaimana mungkin sebuah komunitas zikir disebut sesat. Alasannya, tak ada tuntunan
Rasulullah. Saya semakin bingung lagi. Pertanyaan saya, begitu sempitkah ajaran Islam itu
sehingga semuanya harus mengikuti Rasulullah? Menurut saya, tarekat juga membaca wirid
yang diajarkan Rasulullah. Dan menurut sebuah hadist, Allah swt dan malaikat pun
bersholawat kepada Rasulullah saw. Hanya karena dikelompokkan dan kemudian berzikir
secara bersamaan dalam sebuah kelompok disebut sesat dan bid’ah? Mohon penjelasan, apa
batasan bid’ah itu? Apakah juga untuk semua hal, termasuk wirid secara bersama-sama?
Terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Jabir Ibnu Hayyan
jawaban habieb lutfi :
Islam adalah agama yang universal. Ini dapat dibuktikan dengan keuniversalan Al-
Qur’an. Orang yang mempelajari Al-Qur’an atas dasar keuniversalannya justru akan selalu
melihat bahwa manusia perlu dimodernisasikan. Untuk itu paling tidak diperlukan dan
dibekali ilmu yang cukup dalam mempelajari Al-Qur’an.
Islam itu luwes. Sebab kejadian yang tidak terjadi di zaman Rasulullah bisa saja terjadi di
zaman para sahabat. Demikian pula, kejadian yang tidak terjadi di zaman sahabat, bisa
terjadi di zaman tabi’in yaitu orang-orang yang hidup pada generasi setelah para sahabat
Nabi (saw), dan begitupun seterusnya.
Mestinya para ulama itu dapat memberikan jawaban sesuai dengan generasinya karena
adanya sebuah perkembangan zaman. Namun itu bukan berarti bahwa Al-Qur’an tidak bisa
menjawab persoalan. Al-Qur’an siap menjawab persoalan sepanjang masa. Tapi siapakah
yang sanggup memberi penjelasan jika tanpa dibekali ilmu Al-Qur’an yang cukup.
Misalnya saja, pada zaman Rasulullah, pencangkokan mata, ginjal dan sebagainya belum
terjadi. Namun, kemungkinan ilmu-ilmu untuk mencangkok sudah ada. Tapi peristiwa itu
secara syariat di zaman Rasul belum ada. Mungkin saja terjadi di suatu zaman, contohnya ada
seseorang memerlukan kornea mata, dan ahli medis siap untuk melakukannya sebagai sebuah
ikhtiar. Untuk orang yang bersangkutan, apakah ini tidak dibenarkan?
Untuk masalah zikir, siapa yang bilang tidak ada ajaran tentang zikir dari Rasulullah.
Misalnya, satu Hadist Qudsi -Hadist yang diyakini sebagai firman Allah, bukan ucapan Nabi
(saw)- menyebutkan, diriwayatkan oleh Imam Ali Ridha, “Kalimat La ilaha Illallah itu
benteng-Ku. Barang siapa mengucapkan kalimat La ilaha Illallah berarti orang itu masuk
ke dalam pengayoman-Ku (dalam benteng-Ku). Dan barang siapa yang masuk ke dalam
benteng-Ku, berarti amanlah mereka dari siksa-Ku.” Apakah ini tidak bisa dianggap
sebagai tuntunan?
Selanjutnya, mohon maaf, sebelum Anda ikut-ikutan mengatakan bahwa tarekat itu sesuatu
yang bid’ah, ada baiknya Anda mempelajari dulu perihal tarekat. Setelah itu melaksanakan
ajaran dalam tarekat tersebut dalam kehidupan Anda sehari-hari. Jadi bukan hanya
bersumberkan pada pertanyaan tadi. Lebih dari itu, melaksanakan tarekat sesuai ajaran dan
kaidah yang ada dalam tarekat. Nanti Anda akan langsung mengetahui, termasuk siapa
ulama-ulama itu, tepat atau tidak bila seorang ulama itu telah mengatakannya sebagai
bid’ah.
Apakah sejauh itu prasangka kita pada ulama-ulama? Seolah-olah ulama-ulama itu tidak
mengerti dosa, dan hanya kita sendiri yang mengerti bid’ah?
Harap diingat, melihat figur jangan sampai dijadikan ukuran. Sebab sebuah figur belum
merupakan orang yang alim. Makanya syarat orang yang mengikuti tarekat itu, haruslah
mengetahui arkan al-iman (rukun iman) dan Islam. Mengetahui batalnya shalat, rukun shalat,
rukun wudhu, batalnya wudhu, dan sebagainya. Juga mengetahui sifat-sifat Allah yang wajib
dan yang jaiz, juga tahu sifat para rasul, membedakan barang halal dan haram. Setelah itu
baru dipersilahkan mengikuti tarekat. Itulah dasar kita masuk tarekat. Bukan suatu yang
bersifat ikut-ikutan. Sedangkan orang yang masuk terkadang tertarik oleh sebuah ritus,
termasuk mendekatkan diri pada ulama. Tetapi di dalam dirinya masih ada banyak
kekurangan, sehingga apa yang sebenarnya bukan merupakan ajaran sebuah tarekat, terpaksa
dilakukan. Seperti, kita menjalankan tarekatnya namun justru meninggalkan yang wajib.
Sekali lagi harus diingat, tarekat adalah buah shalat. Bukan sebaliknya.

Sahabatku semua yang baik yang dicintai Allah,.


Imam Syafi’i rahimahullah, seorang ‘ulama besar pendiri madzhab
syaafi’iyyah,mendefinisikan, bid’ah sbb,
‫ ال خالف فيه لواحد من هذه‬,‫ وما أحدث من الخير‬.‫ فهذه البدعة الضاللة‬,‫ما أحدث يخالف كتابا أو سنة اأو أثرا أو اجماعا‬
‫ فهذه محدثة غير مذمومة‬,‫األصول‬.
“ Bid’ah adalah apa-apa yang diadakan yang menyelisihi kitab Allah dan sunah-NYA, atsar,
atau ijma’ maka inilah bid’ah yang sesat. Adapun perkara baik yang diadakan, yang tidak
menyelisihi salah satu pun prinsip-prinsip ini maka tidaklah termasuk perkara baru yang
tercela.”
Imam Ibnu Rojab rahimahullah dalam kitabnya yang berjudul “ Jami’ul Ulum wal Hikam “
mengatakan bahwa bid’ah adalah,
َ ‫ما ُأحْ ِد‬
ْ ، ً ‫ فليس ببدع ٍة شرعا‬، ‫ فأ َّما ما كان له أص ٌل ِمنَ ال َّشرع يدلُّ عليه‬، ‫ث م َّما ال أصل له في الشريعة يدلُّ عليه‬
‫وإن كان‬
ً‫ بدعةً لغة‬،“ Bid’ah adalah apa saja yang dibuat tanpa landasan syari’at. Jika punya landasan
hukum dalam syari’at, maka bukan bid’ah secara syari’at, walaupun termasuk bid’ah dalam
tinjauan bahasa.”lalu apa maksud dari tahlilan dan esensesinya terhadap bid’ah ?

Tahlil telah menjadi perdebatan yang sampai sekarang belum belum mencapai kesepakatan
bagi mereka yang gemar menyelisihinya. Tanpa ikut berpolemik, sedikit kita uraikan
permasalahan tahlil dan tawassul yang menurut sebagian orang dianggap bid’ah dan syirik.
Arti tahlil secara lafdzi adalah bacaan kalimat Thayyibah (‫)الاله اال هللا‬. Namun kemudian
kalimat tahlil menjadi sebuah istilah dari rangkaian bacaan beberapa dzikir, alqur’an dan do’a
tertentu yang dibaca untuk mendo’akan orang yang sudah mati. Ketika diucapkan kata-kata
tahlil pengertiannya berubah seperti itu.

Tahlil pada mulanya ditradisikan sebagai metode dakwah oleh Wali Sanga. Seperti yang telah
kita ketahui, yang paling berjasa menyebarkan ajaran Islam di indonesia adalah Wali Sanga.
keberhasilan da’wah Wali Sanga ini tidak lepas dari cara dakwahnya yang mengedepankan
metode kultural atau budaya. Wali Sanga mengajarkan nilai-nilai Islam secara luwes mereka
tidak secara frontal menentang tradisi tradisi hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat,
namun membiarkan tradisi itu berjalan hanya saja isinya diganti dengan nilai nilai islam,
tradisi dulu bila ada orang mati maka sanak famili dan tetangga berkumpul dirumah duka
yang dilakukan bukannya mendo’akan simati malah bergadang dengan bermain judi atau
mabuk mabukan.

Wali Sanga tidak serta merta membubarkan tradisi tersebut, masyarakat dibiarkan tetap
berkumpul namun acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit, jadi tahlil dengan
pengertian diatas sebelum Wali Sanga tidak dikenal.

apa yang dipermasahkan saat ini oleh sebagian orang ?

1. Tahlil itu bid’ah! Setiap perbuatan bid’ah sesat ! setiap sesat masuk neraka?

Tunggu dulu, anda berada didepan Komputer ini juga bid’ah sebab tidak pernah di kerjakan
oleh nabi S A W kalau begitu anda sesat dan masuk neraka? Akal sesat pasti menolak logika
seperti ini. jangan salah menafsirkan bid’ah….kawan !!!

Ulama membagi bid’ah menjadi dua , bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah , sedangkan
bid’ah hasanah sama sekali tidak sesat meskipun tidak pernah dikerjakan oleh nabi jadi
ukurannya bukan pernah dikerjakan oleh nabi atau tidak , namun lebih luas dari itu, apakah
sesuai dengan syariat atau tidak ! yang dimaksudkan syariat disini tentu saja dalil dalil
alquran sunnah ,atsarus shahabah , Ijma’ dan qiyas . jika melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan dalail dalil tersebut maka sesat.

Sekarang kita lihat apakah dalam tahlil ada yang bertentangan dengan syari’at ? tidak ada,
tahlil adalah serangkaian kalimat yang berisi dzikir, bacaan alqur’an, yang disusun untuk
sekedar mudah untuk di ingat, biasanya dibaca secara berjemaah yang pahalanya dihadiahkan
pada mayit , rangkaian bacaan yang ada mempunyai keutamaan yang mempunyai dasar yang
kuat, dari sisi ini jelas tahlil tidak ada yang bertentangan dengan syariat.

Jika yang dipermasalahkan adalah sampai dan tidaknya pahala maka perdebatan tidak akan
menemui ujung usai, sebab itu masalah khilafiyah dengan argumen masing masing ada yang
mengatakan pahalanya bisa sampai ada yang mengatakan tidak, pendeknya ulama’ sepakat,
untuk tidak sepakat ya sudah jangan dipermasalahkan lagi. itu urusanmu…. gitu aja kok
repot,. !~! dan bukan ranah pembahasanmu,

Hemat kita urusan pahala adalah hak prerogatif Allah yang tidak bisa di interfensi oleh
siapapun. Kita yang membaca tahlil esensinya berdo’a semoga pahala bacaan kita
disampaikan kepada mayit.
Lepas dari Khilafiyah itu KH. Sahal Mahfud Allahuyarham (Rais Aam Syuriah Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama dan ketua MUI 2014), kajen-pati jawatengah. berpendapat bahwa
acara tahlilan yang sudah mentradisi hendaknya terus dilestarikan sebagai salah satu budaya
yang bernilai islami dalam rangka melaksanakan ibadah sosial sekaligus meningkatkan dzikir
kepada Allah.

2. Hukum memberi jamuan dalam tahlilan

Memberi jamuan yang biasa diadakan ketika ada orang mati, itu diperbolehkan. Banyak dari
kalangan ulama’ yang mengatakan bahwa semacam itu termasuk ibadah yang terpuji dan,
memang, dianjurkan dengan berbagai alasan. Karena hal itu, kalau ditilik dari segi jamuannya
adalah termasuk sadaqah”yang, memang, dianjurkan oleh agama menurut kesepakatan
ulama’. — yang pahalanya dihadiyahkan pada orang telah mati. Dan lebih dari itu, ada tujuan
lain yang ada di balik jamuan tersebut, yaitu,
(1) ikramud dlaif (memulyakan tamu)
(2) bersabar menghadapi musibah.
(3) tidak menampakkan rasa susah dan gelisah kepada orang lain. Ketiga masalah tersebut,
semuanaya, termasuk ibadah dan perbuatan taat yang diridlai oleh Allah AWT serta
pelakunya akan mendapatkan pahala yang besar.

Dengan catatan biaya jamuan tersebut tidak diambilkan dari harta ahli waris yang
berstatus mahjuralaih. Apabila biaya jamuan tersebut diambilakan harta ahli waris yang
berstatus mahjuralaih.(seperti anak yatim), maka hukumnya tidak boleh.

jika harus jual barang berharga dan segala macemnya gimana ,?

bukan tahlilanya yang salah, cara orang tersebut menyikapi hakekat tahlilan yang harus
diluruskan, itulah yang menjadi polemik masyarakat saat ini. banyak kok didaerah saya juga
pernah, hanya menyediakan makanan ala kadarnya saja, sohibul musibah adalah orang yang
tidak punya ( beliau meminta maaf sebelumnya karena tidak bisa menghormati tamu lebih
baik dari yang biasa mereka sediakan ) para masyarakatpun memaklumi dan memahami acara
yang mulia inipun tetap berlangsung dengan baik, ini harusnya bisa dijadikan contoh
ditempat lain.

Namun demikian shadakah itu sama sekali tidak mengurangi nilai pahala sedekah yang
pahalanya dihadiahkan pada mayit seperti penjelasan diatas. ada beberapa ulama seperti
Syaikh nawawi syaikh ismail dan lain lain menyatakan, bersedekah untuk orang yang telah
meninggal dunia itu sunnah (matlub) Cuma hal itu tidak boleh disengaja dikaitkan dengan
hari hari yang telah mentradisi di suatu komunitas masyarakat. Malah jika acara tersebut
dimaksudkan untuk meratapi mayit, maka haram.

Nihayatuz zain(281) , Ianatut talibin 11/166

‫والتصدق عن الميت بوجو شرعي مطلوب وال يتقيد بكونه فى سبعة ايام او اكثر او اقل وتقييد بعض االيام من العوائد فقط‬
‫كما افتى بذلك السيد احمد دحالن وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت فىثالث من موته وفىسابع وفى تمام العشرين‬
‫وفى االربعين وفى المائة وبعد ذلك يفعل كل سنة حوال فى يوم الموت كما افاده شيخنا يوسف السنبالوى اما الطعام الذى‬
‫يجتمع عليه الناس ليلة دفن الميت المسمى بالوحشة فهو مكروه مالم يكن من مال اليتام واال فيحرم كذافى كشف اللثام‬

281 33 ‫نهاية الزين‬


‫ فان ذلك‬.‫ وهي ما يصنعه أهل الميت من الوليمة ودعاء الناس اليها لألكل‬.‫ومنها مسألة مهمة وألجلها كانت هذه الرسالة‬
‫جائز كما يدل عليه الحديث المذكور بل هو قربة من القرب ألنه اما أن يكون بقصد جصول األجر والثواب للميت وذلك من‬
‫ واما أن يكون بقصد اكرام الصيف والتسلي عن المصاب وبعدا عن اطظهار‬.‫أفضل القربات التي تلجق الميت باتفاق‬
‫الحزن وذلك أيصا من القربات والطعاب التي يرضاها رب العالمين وثيب فاعلها ثوابها عظيما وسواء كان ذلك يوم الوفات‬
‫ الى قوله‬.‫عقب الدفن كما فعلته زوجة الميت المذكورة فى الحديث أو بعد ذلك وفى الحديث نص صريح فى مشروعية ذلك‬

‫وهذا كله كما هو ظاهر فيما اذا لم يوص الميت باتخاذ الطعام واطعامه للمعزين الحاضرين واال فيجب ذلك عمال بوصيته‬
.208 ‫ ص‬3 ‫ج‬-‫وتطون الوصية معتبرة من الثلث أي ثلث تركة الميت قال فى التحفة‬

181- 175 ‫قرة العين بفتاوى الشيخ اسماعيل الزين‬

sahabatku yang dirahmati Allah,

kata “tahlilan “ memang didalam masa rosul tidak ada, tapi apa yang dibaca didalam
tahlilan rosul mencontohkannya, inilah tuntunan, istilahnya memang belum ada, tapi isinya
sudah dari dulu Rosul menyuruh kita mengerjakannya, itulah karena pandai dan cerdasnya
para ulama dalam menyusun suatu isitlah (tahlilan) kemudian mengumpulkan bacaan Al
Qur’an, Dzikir, Tasbih, Tahmid, Tahlil, Shalawat dan bacaan lainnya dalam wadah tahlilan.
Dengan kata lain mengadakan acara Tahlilan dengan tujuan untuk memohon kepada Allah
SWT., agar kerabat atau keluarga yang telah dipanggil kehadirat-Nya mendapatkan ampunan
dan tempat yang layak disisi-Nya, serta berbahagia di alam kubur sana.

lihatlah satu isinya, secara dzahir saja isi daripada tahlilan tersebut sangat baik, karena berisi
bacaan-bacaan dari Al Qur’an dan surat-surat yang sudah terkenal tentang fadhilah atau
keutamaan surat tersebut, contohnya surat alfatihah..

diriwayatkan oleh sayyidina Ibnu Abbas dalam kitab Shahih Muslim :

‫ف ِم ْنهُ َما اِالَأ ْعطَ ْيتُه‬


ٍ ْ‫ب َوخَ َواتِ ْي ُم سُوْ َر ِة ْالبَقَ َر ِة لَ ْن تَ ْق َرَأ بِ َحر‬
ِ ‫ك فَاتِ َحةُ ْال ِكتَا‬
َ َ‫َأ ْب ِشرْ بِنُوْ َر ْي ِن اُوْ تِ ْيتَهُ َما لَ ْم يُْؤ تَهُ َما نَبِ ٌى قَ ْبل‬

“Bergembiralah engkau (Muhammad SAW) dengan dua cahaya yang diberikan kepadamu
dan beleum pernah diterima oleh nabi sebelummu yakni surat Al Fatihah dan beberapa ayat
terakhir surat Al Baqarah. Tidaklah kamu membaca satu huruf dari keduanya kecuali engkau
akan diberi imbalannya. (Shahih Muslim, 1339)

Selain dari surat Al Fatihah masih banyak lagi surat-surat dalam bacaan tahlil yang terkenal
akan fadhilah atau keutamaan surat tersebut, seperti surat Al Ikhlas, Al Falaq, Annas dan juga
surat Yasin. Disamping itu tahlilan juga memuat do’a-do’a yang diajarkan oleh Rasulullah,

dalam hal ini, siapa yang cerdas jawabnya jelas para ulama, yang lebih paham tentang
alquran dan hadist, yang karena kecerdasaan ingin memudahkan bagi orang awam agar selalu
mengerjakan amalan baik yang dirangkum dalam wadah tahlilan yang isinya semua
dicontohkan rosul saw. mulane yuk do ngaji, ngilangke kebodohan, ngerisiki ati, golek
ridhane gusti illahi robby. setuju ya…

dahulu ketika ada salah seorang meninggal dunia, maka yang dilakukan oleh keluarga,
kerabat dan para tetangga adalah meratapi si mayit dan melakukan perbuatan-perbuatan yang
tidak baik, seperti bermain kartu, judi dan minum-minuman. Setelah para muballegh datang
secara berangsur-angsur, kemudian mereka berusaha dengan sabar dan perlahan-lahan diajak
membaca atau mengucapkan kalimah thayyibah dan bacaan-bacaan lainnya. apakah ini tidak
baik, jelas ini baik sekali, bagaimana jika tradisi meratapi si mayit dan melakukan
perbuatan-perbuatan yang tidak baik, seperti bermain kartu, judi dan minum-minuman
tidak diganti dengan membaca kalimat thayyibah dan doa-doa yang baik?, bisa dipastikan
tradisi buruk itu akan diteruskan sampai generasi sekarang, tak bisa membayangkan..
astagfirullah,

kita ulang lagi biar ingat, Apa sih tahlilan itu ?

Kata tahlil atau tahlilan secara bahasa berasal dari bahasa arab dengan fiil madhi ، ‫ يهلل‬، ‫هلل‬
‫ تهليال‬yang artinya mengucapkan kalimah thayyibah ‫ ال اله اال هللا‬. dengan kata lain yaitu
“pengakuan seorang hamba yang mengi’tikadkan bahwa tiada tuhan yang wajib di sembah
kecuali Allah semata” Sedangkan menurut istilah tahlilan artinya “bersama-sama
mengucapkan kalimah thayyibah dan berdo’a bagi orang yang sudah meninggal dunia

Dalam uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa tahlil adalah bersama-sama melakukan do’a
bagi orang yang sudah meninggal dunia yang dilakukan di rumah-rumah, musholla, surau
atau majlis-majlis dengan harapan semoga diterima amalnya dan diampuni dosanya oleh
Allah SWT. yang sebelumnya diucapkan beberapa kalimah thayyibah, tahmid, tasbih, tahlil
dan ayat-ayat suci Al Qur’an.

Indonesia merupakan salah satu Negara yang memiliki bermacam-macam budaya, salah
satunya adalah tahlilan. Hal tersebut yang telah dipaparkan oleh almarhum KH. Muchit
Muzadi, yang mengatakan petikan hadits, “Waladun Shalihun Yad’u lahu” (anak shaleh yang
mendoakan orang tuanya) ini dirangkaikan atau direalisasikan dengan tradisi yang ada di
Indonesia. Khususnya di daerah Jawa apabila ada tetangga, kerabat atau saudara yang
meninggal dunia, maka para tetangga atau kerabat biasanya “jagongan” (berbincang-
bincang). Dengan jagongan itu mereka membicarakan orang, terus “keademen” (kedinginan),
mereka cari minuman yang hangat-hangat sambil main kartu dan lain-lain. Tradisi itu
berlangsung lama, hingga ketika para mubaligh Islam, Walisongo atau kyai, menerapkan
“yad’u lahu” ini dirangkaikan dengan jagongan dan “mele’an” (begadang), yang memang
prosesnya lama. Kemudian yang dulunya melean dilakukan dengan minum-minuman dan
main kartu kemudian diganti dengan bacaan-bacaan Al Qur’an dan do’a-do’a hingga
kemudian muncul apa yang dikenal saat ini dengan istilah tradisi ritual tahlilan,
subhanallah…

kecerdasan para mubaligh dan keahlian dalam berdialog dan negosiasi dengan agama dan
tradisi lokal. Sehingga Islam mudah diterima di Indonesia dengan baik dan bertahan lama,
tidak seperti di sebagian Negara eropa yang perkembangan Islam dilakukan dengan cara
peperangan, walaupun hasilnya cepat atau maksimal tapi kekuasaan Islam didaerah tersebut
tidak berlangsung lama. Seperti di Spanyol, Turki dan lain-lain

memangs eringkali terjadi ekses (berlebih-lebihan) di dalam pelaksanaan tahlilan, baik


mengenai “frekuensi”-nya maupun suguhannya atau ekses dalam sikap batinnya (seperti
merasa sudah pasti amal orang yang ditahlili diterima Allah SWT dan segala dosanya sudah
diampuni oleh-Nya, kalau sudah ditahlili atau dihauli). Sikap “memastikan” inilah yang
bertentangan dengan syari’at agama. Ekses-ekses inilah yang harus menjadi garapan wajib
para pemimpin umat, untuk meluruskannya. Memang masih banyak amalan-amalan kaum
muslimin yang belum sesuai benar dengan ajaran Islam. Sedangkan agama Islam sudah
sempurna, tetapi dalam kenyataanya kebanyakan pengamalan kaum muslimin tidak
sesempurna Islam itu. Maka dari itulah tahlilan sering jadi bahan perdebatan bagi kelompok
yang tidak setuju dengan tahlilan ataupun kelompok pembaharu yang sengaja ingin
membumi hanguskan acara ritual tahlilan karena dianggap sesat, bid’ah dan tidak mempunyai
landasan-landasan yang kuat. astaqfirullah,

3. polemik 7 hari, 40 hari, 100 hari 1000 hari

Dalam Artikel karangan Drs. KH. Ahmad Masduqi yang berjudul “Ahlu Sunnah Wal
Jama’ah dan Ijtihad” Ritual Tahlilan atau upacara selametan (orang jawa bilang begitu)
untuk orang yang meninggal, biasanya dilakukan pada hari pertama kematian sampai hari ke-
tujuh atau bahasa jawanya mitung dina, selanjutnya dilakukan pada hari ke-40, ke-100, ke-
satu tahun pertama, kedua, ketiga dan seterusnya, dan ada juga yang melakukan pada hari
1000. Dalam upacara dihari-hari tersebut, keluarga si mayyit mengundang orang untuk
membaca beberapa ayat dan surat Al Qur’an, dan zikir seperti : tahlil, tasbih, tahmid,
shalawat dan do’a-do’a, pahala bacaan Al Qur’an dan dzikir tersebut dihadiahkan kepada si
mayit. Menurut penyelidikan para ahli, upacara tersebut diadopsi oleh para da’I terdahulu
dari upacara kepercayaan animisme, agama budha dan hindu yang kemudian diganti dengan
ritual yang diambil dari Al Qur’an dan Hadits.

Menurut kepercayaan Animisme, Hinduisme dan Budhisme bila seseorang meninggal dunia,
maka ruhnya akan datang kerumah pada malam hari mengunjungi keluarganya. Jika dalam
rumah tadi tidak ada orang ramai yang berkumpul-kumpul mengadakan upacara-upacara
sesaji, seperti membakar kemenyan, dan sesaji kepada yang ghaib atau ruh-ruh ghaib, maka
ruh orang mati tadi akan marah dan masuk (sumerup) kedalam jasad orang yang masih hidup
dari keluarga si mayyit. Maka untuk itu semalaman para tetangga dan kawan-kawan atau
masyarakat tidak tidur, membaca mantera-mantera atau sekedar berkumpul-kumpul. Hal
seperti itu dilakukan pada malam pertama kematian, selanjutnya malam ketiaga, ketujuh, ke-
100, satu tahun, dua tahun dan malam ke-1000. ٍSetelah orang-orang yang mempunyai
kepercayaan tersebut masuk islam, mereka tetap melakukan upacara-upacara tersebut.
Sebagai langkah awal, para da’I terdahulu tidak memberantasnya tetapi mengalihkan dari
upacara yang bersipat Hindu dan Budha itu menjadi upacara yang bernafaskan islam. Sesaji
diganti dengan nasi dan lauk-pauk untuk shadaqah. Mantera-mantera diganti dengan dzikir,
do’a dan bacaan-bacaan Al Qur’an. Upacara seperti ini kemudian dinamakan Tahlilan yang
sekarang telah membudaya pada sebagian besar masyaraka

Sebelum agama Hindu, Budha dan Islam masuk ke Indonesia, kepercayaan yang dianut
bangsa Indonesia antara lain adalah paham animisme. Menurut paham ini ruh dari orang-
orang yang sudah mati itu sangat menentukan bagi kebahagiaan dan kecelakaan orang-orang
yang masih hidup di dunia ini. Disamping itu bangsa-bangsa yang menganut paham
Animisme ini juga berkeyakinan bahwa ruh orang yang sedang mengalami kematian itu tidak
senang untuk meninggalkan alam dunia ini sendirian tanpa teman, dan ingin mengajak
anggota keluarganya yang lain.

Untuk itu agar anggota keluarga yang mati itu tidak mengajak keluarga yang lain, maka
anggota keluarga yang ditinggal mati itu melakukan hal-hal yang antara lain sebagai
berikut:

1. Menyembelih binatang ternak seperti : kerbau, sapi, kambing, babi atau ayam milik si
mayyit, agar nyawa binatang tersebut menemani ruh si mayyit, agar ruh si mayyit tidak
marah kepada anggota keluarganya.
2. Setelah tiga hari dari kematian, yaitu saat si mayyit yang sudah ditanam di dalam kubur
mulai membengkak, di tempat tidur orang yang mati bagi orang jawa di atas buffet yang telah
dipasang fotto dari orang yang mati bagi orang cina, diberikan sesaji agar ruh dari orang yang
mati tidak marah, demikian pula pada hari ketujuh, keempat puluh, keseratus, satu tahun, dua
tahun dan keseribu dari hari kematian.

3. Bagi orang cina, anggota keluarga yang mati itu diinapkan di rumah duka beberapa hari
lamanya dan selama itu papan nama dari rumahnya disilang dengan kertas hitam atau lainya
untuk mengenalkan kepada ruh si mayyit bahwa rumahnya adalah yang papan namanya
diberi silang. Dan setelah si mayyit dikubur, maka tanda silang tersebut di buang, dengan
maksud agar apabila ruh si mayyit tersebut pulang kerumahnya, ruh itu tersesat tidak dapat
masuk kedalam rumahnya, sehingga tidak dapat menggangu anggota keluarganya.

4. Bagi orang jawa ada yang menyebarkan beras kuning dan uang logam di depan mayyit
sewaktu mayyit dibawa ke pekuburan dengan maksud untuk memberitahukan kepada si
mayyit bahwa jalanya dari rumah sampai ke pekuburan adalah yang ada beras kuning dan
uang logam. Sehingga jika ruh si mayyit ingin pulang kerumah untuk menggangu anggota
keluarganya dia tersesat, sebab beras kuning dan uang logam di jalan yang dilaluinya sudah
tidak ada lagi Karena beras kuningnya sudah di makan oleh ayam atau burung, sedang uang
sudah diambil oleh anak-anak. Adapula yang mengeluarkan jenazah dari rumah tidak boleh
melalui pintu rumah, tetapi harus dibobolkan pagar rumah yang segera ditutup kembali
setelah jenazah dibawa ke kubur dan lainnya lagi dengan maksud agar ruh si mayyit tidak
dapat lagi kembali ke rumah.

Pada waktu agama Hindu dan Budha masuk di Indonesia, kedua agama ini tidak dapat
merubah tradisi yang telah dilakukan oleh bangsa Indonesia yang berpaham animisme
tersebut, sehingga tradisi tersebut berlangsung terus sampai saat agama Islam masuk ke
Indonesia dibawa oleh para penganjur Islam yang kemudian terkenal dengan nama Wali
Songo.

Pada saat Wali Songo datang, tradisi bangsa Indonesia yang telah berurat berakar setelah
ratusan dan bahkan mungkin ribuan tahun lamanya, tidak diberantas, tapi hanya diarahkan
dan dibimbing sedemikian rupa, sehingga tidak bertentangan dengan pokok-pokok ajaran
Islam.

Dengan demikian dakwah dengan metode Tahlilan khususnya yang ada di Indonesia, adalah
hasil dari negosiasi antara agama pribumi dengan agama Islam yang datang kemudian, yang
dilakukan oleh para ulama dan wali songo, dan mereka tentunya mengerti akan kondisi
bangsa Indonesia. karena manusia dimanapun selalu dipengaruhi oleh lingkunganya.

dan tentunya walisongo adalah orang yang betul-betul paham alquran dan hadist secara
mendalam, mereka semua hafal alquran, dan mereka membuat suatu amalan pasti bukan
karena nafsunya semata, untuk itulah yang sering membidahkan,

4. tahlilan tasyabbuh dengan orang-orang Hindu. Mereka orang kafir. Tasyabbuh dengan
kafir berarti kafir pula

Owh, tunggu dulu, itu karena Anda baru belajar ilmu agama. Coba Anda belajar di pesantren
Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Anda tidak akan bertindak sekasar ini. Anda pasti malu dengan
tindakan Anda yang kasar, dan sangat tidak Islami. Ingat, Islam itu mengedepankan akhlaqul
karimah, budi pekerti yang mulia. Bukan sikap kasar seperti Anda.” Justru acara dzikir
Tahlilan pada hari-hari tersebut hukumnya sunnah, agar kita berbeda dengan Hindu,
dalilnya..

“Justru karena pada hari-hari tersebut, orang Hindu melakukan kesyirikan dan kemaksiatan,
kita lawan mereka dengan melakukan kebajikan, dzikir bersama kepada Allah subhanahu wa
ta’ala, dengan Tahlilan. Tasyabbuh itu bisa terjadi, apabila perbuatan yang dilakukan oleh
kaum Muslimin pada hari-hari tersebut persis dengan apa yang dilakukan oleh orang Hindu.
Kaum Muslimin Tahlilan. Orang Hindu jelas tidak Tahlilan. Ini kan beda.”Dalam kitab-kitab
hadits diterangkan:

. َ‫ َذا ِك ُر هللاِ فِي ْالغَافِلِ ْينَ بِ َم ْن ِزلَ ِة الصَّابِ ِر فِي ْالفَا ِّر ْين‬:‫ع َِن ا ْب ِن َم ْسعُوْ ٍد رضي هللا عنه قَا َل قَا َل َرسُوْ ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم‬
)‫ وصححه الحافظ السيوطي في الجامع الصغير‬،‫(رواه الطبراني في الكبير واألوسط‬.

“Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Orang yang berdzikir kepada Allah di antara kaum yang lalai kepada Allah, sederajat
dengan orang yang sabar di antara kaum yang melarikan diri dari medan peperangan.” (HR.
al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [9797] dan al-Mu’jam al-Ausath [271]. Al-Hafizh al-
Suyuthi menilai hadits tersebut shahih dalam al-Jami’ al-Shaghir [4310]).

Dalam acara tahlilan selama tujuh hari kematian, kaum Muslimin berdzikir kepada Allah,
ketika pada hari-hari tersebut orang Hindu melakukan sekian banyak kemungkaran. Betapa
indah dan mulianya tradisi tahlilan itu.

5. bagaimana soal penentuan waktunya ?

kesamaan waktu itu tidak menjadi masalah, selama perbuatannya beda. Coba Anda
perhatikan hadits ini:

‫ت َويَوْ َم اَْأل َح ِد َأ ْكثَ َر ِم َّما يَصُو ُم ِم ْن اَْألي َِّام َويَقُو ُل ِإنَّهُ َما‬
ِ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَصُو ُم يَوْ َم ال َّس ْب‬ ْ َ‫ع َْن ُأ ِّم َسلَ َمةَ قَال‬
َ ِ‫ت َكانَ َرسُو ُل هللا‬
)‫ (رواه أحمد والنسائي وصححه ابن خزيمة وابن حبان‬.‫ ِعيدَا ْال ُم ْش ِر ِكينَ فََأنَا ِحبُّ َأ ْن َخالِفَهُ ْم‬. ‫ُأ‬ ‫ُأ‬

Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu
berpuasa pada hari Sabtu dan Ahad, melebihi puasa pada hari-hari yang lain. Beliau
bersabda: “Dua hari itu adalah hari raya orang-orang Musyrik, aku senang menyelisihi
mereka.” (HR. Ahmad [26750], al-Nasa’i juz 2 hlm 146, dan dishahihkan oleh Ibnu
Khuzaimah dan Ibnu Hibban).

Dalam hadits di atas jelas sekali, karena pada hari Sabtu dan Ahad, kaum Musyrik
menjadikannya hari raya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, menyelisihi mereka
dengan berpuasa. Sama dengan kaum Muslimin Indonesia. Karena orang Hindu mengisi hari-
hari yang Anda sebutkan dengan kesyirikan dan kemaksiatan, yang merupakan penghinaan
kepada si mati, maka kaum Muslimin mengisinya dengan dzikir Tahlilan, sebagai
penghormatan kepada si mati.

Pemilihan waktu dalam dzikir, doa maupun tilawah adalah sesuatu yang mubah saja karena
dzikir, doa dan tilawah bisa dilakukan kapan pun. Memang ada waktu-waktu yang lebih
dianjurkan semisal berdoa setelah shalat, membaca Al-Kahfi di malam Jum’ah, berdzikir di
akhir malam dsb, namun hal itu tidak berarti bahwa dzikir di waktu lain itu tidak dianjurkan
atau malah dilarang. Demikian pula menentukan dzikir di hari ke 1, 5, 7, 8, 15 dsb adalah
hal mubah sepanjang tidak dijadikan pandangan keharusan karena memang tidak ada
kewajiban ataupun anjuran untuk menetapkan jumlah hari tertentu. Penetapan hari 3, 7,
40, 100, 1000 hari dst sebetulnya tidak begitu saja ditetapkan, namun berdasarkan pada
riwayat-riwayat meskipun memang dha’if sanadnya. Tetapi kedha’ifan tersebut tidak
lantas mengubah hukum penetapan hari yang mubah menjadi makruh atau haram
kecuali dianggap suatu keharusan.
Memang tidak dipungkiri bahwa sebagian masyarakat kita memahami penetapan jumlah hari
ini sebagai keharusan akibat faktor gengsi atau pengajaran yang keliru dari para tokoh agama
setempat. Hal ini harus diperbaiki agar tidak menimbulkan madharat apalagi jika dikaitkan
dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat acara, padahal tujuan dari penetapan
waktu-waktu tsb lebih pada upaya untuk secara konsisten mendoakan orang tua yang telah
meninggal sebagai salah satu jalan pahala yang tetap mengalir setelah seseorang wafat.
Bisa kita saksikan di masyarakat kita ada keluarga yang sampai harus menjual harta hanya
untuk membuat acara 40 hari padahal kehidupan mereka sendiri compang-camping penuh
kekurangan. Imbas-imbas buruk ini harus dikikis tanpa perlu menggeneralisasikan bahwa
penetapan waktu itu membawa madharat bagi keluarga si mayyit.

Hukum dalam fiqh itu sarat dengan perbedaan pendapat (ikhtilaf) dan perbedaan ini juga
ditemui dalam hukum membaca Alquran bagi wanita haid. Adapun fatwa keharaman
membaca Alqur’an saat haid adalah fatwa yang masyhur dalam madzhab Syafi’i. Sedang
fatwa dalam madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali bercabang dalam 2 pandangan, ada yang
mengharamkan dan sebagian menganggapnya boleh.
Telah berkata Ibnu ‘Umar, sabda Nabi s.a.w. : „Tidak boleh membaca Qur’an orang yang
junub dan tidak boleh (pula) perempuan yang berhaidl”. (H.R. Abu Dawud, Turmudzi dan
Ibnu Majah). Hadits ini dishahihkan Imam Turmudzi namun dianggap dhaif oleh kebanyakan
ahli hadits.
Namun pandangan yang menetapkan hukum haram bagi wanita haid untuk membaca Alquran
disamping mempertimbangkan hadits di atas juga mengambil qiyas dengan keharaman
membaca Quran saat junub yang keharamannya lebih disepakati para ulama. Mengingat
tingkat hadats saat haid dan nifas lebih tinggi dari junub maka sudah sewajarnya hal yang
diharamkan bagi orang junub lebih kuat keharamannya bagi wanita haid.
Meski demikian, fatwa yang mengharamkan membaca Alquran pun memberikan
pengecualian untuk hal-hal tertentu, a.l. :
1. Bacaan Alquran yang sudah lazim tidak dianggap Alquran karena berfungsi sebagai
dzikir atau doa. Misalnya bacaan basmalah sebelum makan, istirja’ (innaa lillaahi dst)
saat ada musibah, doa sapu jagad (rabbanaa aatinaa fiddunyya dst).
2. Bacaan Alquran untuk kepentingan dirasah (pembelajaran) yang sifatnya dharury
(wajib dikuasai segera) semisal bacaan fatihah untuk kepentingan shalat.

Karenanya untuk kasus belajar membaca Alquran yang sifatnya tidak dharury menurut hemat
saya lebih baik dihentikan sementara. Dengan pertimbangan bahwa meskipun tidak
mengesampingkan adanya pendapat bolehnya membaca Quran bagi wanita haid, khuruj
minal khilaf (keluar dari perbedaan) dengan mengambil fatwa yang lebih berhati-hati layak
untuk diutamakan. Apalagi belajar dalam hal ini sifatnya anjuran sehingga wajar dikalahkan
demi menghindari keharaman.

Bisa dikatakan demikian, namun budaya yang bermaterikan nilai ibadah semisal bacaan
Alquran dan dzikir tentu merupakan kebaikan sesuai dengan perintah untuk melazimkan
(membiasakan) ibadah meskipun hanya sesuatu yang kecil. Hanya pemahaman yang banyak
dikelirukan adalah anggapan bahwa 100 hari atau setahun, dll itulah yang dianggap ibadah
‫‪padahal ibadah yang sesungguhnya adalah tilawah, dzikir dan doa. Sering di kampung kalau‬‬
‫‪ditanya : bikin acara apa? maka jawabannya nyatus (100 hari) atau haul (setahun) dengan‬‬
‫‪anggapan bahwa nyatus dan haul itulah yang bernilai ibadah. Padahal itu hanya penetapan‬‬
‫‪momen/waktu yang mubah, sedang ibadah sesungguhnya adalah dzikir, doa, dsb yang‬‬
‫‪pelaksanaannya tidak mesti menunggu momen tertentu tetapi selayaknya dilakukan secara‬‬
‫‪istiqamah setiap saat.‬‬

‫‪Sahabatku yang baik, cara mudah untuk memahami islam adalah berfikir,‬‬

‫‪cobalah engkau berfikir sejenak, isi tahlilan ini, dimana letak tercelanya….‬‬

‫بِس ِْم هللاِ الرَّحْ َم ِن ال َّر ِحي ِْم‬

‫اّلتَّ ْهلِيْل‬

‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلِّ ِم َوَألِ ِه َوَأ ْز َوا ِج ِه َوَأوْ ال ِد ِه َو ُذرِّ يَاتِ ِه‪ .‬الفاتحة………‪..‬‬
‫ِإلَى َحضْ َر ِة النَّبِ ِّي ْال ُمصْ طَفَى َ‬

‫صنِّفِ ْينَ ْال ُم ْخلِ ِ‬


‫ص ْينَ‬ ‫ص َحابَ ِة َوالتَّاب ِع ْينَ َو ْال ُعلَ َما ِء ْال َعا ِملِ ْينَ َو ْال ُم َ‬
‫ثُ َّم إلِ َى َحضْ َر ِة ِإ ْخ َوانِ ِه ِمنَ االنبِيَا ِء َوال ُمرْ َسلِ ْينَ َواالوْ لِيَا ِء َوال َّ‬
‫َو ْال َماَل ِئ َك ِة ْال ُمقَ َّربِ ْينَ ُخصُوْ صًا َسيِّ ِدنَا ال َّشيْخ َع ْبد ُْالقَا ِدرْ الَ َجيْالنِى‪ .‬الفاتحة………………………‬

‫َاربِهَا بَرِّ هَا َوبَحْ ِرهَا‬ ‫ض إلى َمغ ِ‬ ‫ق االرْ ِ‬ ‫ار ِ‬ ‫ت ِم ْن َم َش ِ‬ ‫ت َِوال ُمْؤ ِمنِ ْينَ َو ْال ُمْؤ ِمنَا ِ‬
‫ثُ َّم ِإلَى َج ِمي ِْع َأ ْه ِل ْالقُبُوْ ِر ِمنَ ْال ُم ْسلِ ِم ْينَ َو ْال ُمسلِ َما ِ‬
‫َأ‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬ ‫ُأ‬
‫خ َم َشايِ ِخنَا َو َساتِ َذاتِنَا َو َساتِ َذ ِة َساتِ َذتِنَا َولِ َم ْن ِإجْ تِ َم ِعنَا هَاهُنَا‬‫ُخصْ ُوصًا إلى أبَاِئنَا َو َمهَاتِنَا َوَأجْ دَا ِدنَا َو َجدَاتِنَا َو َم ِّشايَ ِخنَا َو َم َشايِ ِ‬
‫بِ َسبَبِ ِه‪ .‬الفاتحة……………………‬

‫‪Dan ada juga yang setelah membaca surat Al Fatihah dilanjutkan dengan membaca Surat‬‬
‫‪Yasin kemudian dilanjutkan dengan surat yang ada dibawah ini.‬‬

‫بِس ِْم هللاِ الرَّحْ َم ِن ال َّر ِحي ِْم‬

‫ص َم ُد (‪ )2‬لَ ْم يَلِ ْد َولَ ْم يُولَ ْد (‪َ )3‬ولَ ْم يَ ُك ْن لَهُ ُكفُ ًوا َأ َح ٌد (‪ )4‬ألإله إالهللا ‪X 1‬‬
‫قُلْ هُ َو هَّللا ُ َأ َح ٌد (‪ )1‬هَّللا ُ ال َّ‬

‫ألإلَهَ إالهللاُ َوهللاُ َأ ْكبَ ُر َوهَلِل ِ ْال َح ْم ُد بِس ِْم هللاِ ْالرَّحْ َم ِن ْال َّر ِحي ِْم‬

‫ت فِي ْال ُعقَ ِد (‪َ )4‬و ِم ْن َشرِّ َح ِ‬


‫اس ٍد‬ ‫ب (‪َ )3‬و ِم ْن َش ِّر النَّفَّاثَا ِ‬
‫ق ِإ َذا َوقَ َ‬ ‫قُلْ َأعُو ُذ بِ َربِّ ْالفَلَ ِ‬
‫ق (‪ِ )1‬م ْن َش ِّر َما خَ لَ َ‬
‫ق (‪َ )2‬و ِم ْن َش ِّر غَا ِس ٍ‬
‫ِإ َذا َح َس َد (‪)5‬‬

‫ألإلَهَ إالهللاُ َوهللاُ َأ ْكبَ ُر َوهَلِل ِ ْال َح ْم ُد بِس ِْم هللاِ ْالرَّحْ َم ِن ْال َّر ِحي ِْم‬

‫ُور النَّ ِ‬
‫اس (‪)5‬‬ ‫صد ِ‬ ‫اس ْال َخنَّ ِ‬
‫اس (‪ )4‬الَّ ِذي ي َُوس ِْوسُ فِي ُ‬ ‫اس (‪ِ )3‬م ْن َشرِّ ْال َو ْس َو ِ‬
‫اس (‪ِ )2‬إلَ ِه النَّ ِ‬
‫ك النَّ ِ‬ ‫قُلْ َأعُو ُذ بِ َربِّ النَّ ِ‬
‫اس (‪َ )1‬ملِ ِ‬
‫ِمنَ ْال ِجنَّ ِة َوالنَّ ِ‬
‫اس (‪)6‬‬

‫ألإلَهَ إالهللاُ َوهللاُ َأ ْكبَ ُر َوهَلِل ِ ا ْل َح ْم ُد بِس ِْم هللاِ ْالرَّحْ َم ِن ْال َّر ِحي ِْم‬

‫ك نَ ْست َِعينُ (‪ )4‬ا ْه ِدنَا الصِّ َراطَ ْال ُم ْستَقِي َم (‬


‫ك نَ ْعبُ ُد َوِإيَّا َ‬ ‫ْال َح ْم ُد هَّلِل ِ َربِّ ْال َعالَ ِمينَ (‪ )1‬الرَّحْ َم ِن ال َّر ِح ِيم (‪َ )2‬مالِ ِ‬
‫ك يَوْ ِم الدِّي ِن (‪ِ )3‬إيَّا َ‬
‫ِّ‬
‫ب َعلَ ْي ِه ْم َواَل الضَّالينَ (‪)7‬‬ ‫ص َراطَ الَّ ِذينَ َأ ْن َع ْمتَ َعلَ ْي ِه ْم (‪َ )6‬غي ِْر ْال َم ْغضُو ِ‬
‫‪ِ )5‬‬

‫صاَل ةَ َو ِم َّما َر َز ْقنَاهُ ْم يُ ْنفِقُونَ (‪َ )3‬والَّ ِذينَ‬


‫ب َويُقِي ُمونَ ال َّ‬‫ْب فِي ِه هُدًى لِ ْل ُمتَّقِينَ (‪ )2‬الَّ ِذينَ يُْؤ ِمنُونَ بِ ْال َغ ْي ِ‬ ‫ك ْال ِكتَابُ اَل َري َ‬ ‫الم (‪َ )1‬ذلِ َ‬
‫ك هُ ُم ْال ُم ْفلِحُونَ (‪)5‬‬ ‫ُأ‬
‫ك َعلَى هُدًى ِم ْن َربِّ ِه ْم َو ولَِئ َ‬ ‫ُأ‬ ‫ُأ‬
‫ك َو َما ْن ِز َل ِم ْن قَ ْبلِكَ َوبِاَآْل ِخ َر ِة هُ ْم يُوقِنُونَ (‪ )4‬ولَِئ َ‬ ‫يُْؤ ِمنُونَ بِ َما ُأ ْن ِز َل ِإلَ ْي َ‬
‫وَِإلَهُ ُك ْم ِإلَهُ وَّا ِح ْد‪ ,‬اَل اِلَهَ اِاَّل هُ َو الرَّحْ َم ِن ْال َّر ِحي ِْم‬
‫شفَ ُع ِع ْن َدهُ ِإاَّل بِِإ ْذنِ ِه‬ ‫ض َمنْ َذا الَّ ِذي يَ ْ‬ ‫ت َو َما ِفي اَأْل ْر ِ‬ ‫س َما َوا ِ‬‫سنَةٌ َواَل َن ْو ٌم لَهُ َما ِفي ال َّ‬ ‫هَّللا ُ اَل ِإلَهَ ِإاَّل ُه َو ا ْل َح ُّي ا ْلقَ ُّيو ُم اَل َتْأ ُخ ُذهُ ِ‬
‫ض َواَل يَُئو ُدهُ‬ ‫َأْل‬
‫ت َوا ْر َ‬ ‫س َما َوا ِ‬ ‫سيُّهُ ال َّ‬ ‫س َع ُك ْر ِ‬ ‫يَ ْعلَ ُم َما بَيْنَ َأ ْي ِدي ِه ْم َو َما َخ ْلفَ ُه ْم َواَل يُ ِحيطُونَ بِش َْي ٍء ِمنْ ِعل ِم ِه ِإاَّل بِ َما شَا َء َو ِ‬
‫ْ‬
‫س ْب ُك ْم بِ ِه هَّللا ُ‬ ‫س ُك ْم َأ ْو ت ُْخفُوهُ يُ َحا ِ‬ ‫ض َوِإنْ تُ ْبدُوا َما فِي َأ ْنفُ ِ‬ ‫ت َو َما فِي اَأْل ْر ِ‬ ‫س َما َوا ِ‬‫ِح ْفظُ ُه َما َو ُه َو ا ْل َعلِ ُّي ا ْل َع ِظي ُم (‪ )255‬هَّلِل ِ َما فِي ال َّ‬
‫َآ‬ ‫ُ‬ ‫ُ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬
‫سو ُل بِ َما ن ِز َل ِإل ْي ِه ِمنْ َربِّ ِه َوال ُمْؤ ِمنونَ ك ٌّل َمنَ‬ ‫ْ‬ ‫ُأ‬ ‫َآ‬ ‫َ‬
‫ب َمنْ يَشَا ُء َوهَّللا ُ َعلَى ُك ِّل ش َْي ٍء ق ِدي ٌر (‪َ )284‬منَ ال َّر ُ‬ ‫فَيَ ْغفِ ُر لِ َمنْ يَشَا ُء َويُ َع ِّذ ُ‬
‫صي ُر (‪ )285‬اَل يُ َكلِّفُ‬ ‫َأ‬
‫س ِم ْعنَا َو طَ ْعنَا ُغ ْف َرانَ َك َربَّنَا َوِإلَ ْي َك ا ْل َم ِ‬ ‫سلِ ِه َوقَالُوا َ‬ ‫َأ‬
‫ق بَيْنَ َح ٍد ِمنْ ُر ُ‬ ‫سلِ ِه اَل نُفَ ِّر ُ‬
‫ِباهَّلل ِ َو َماَل ِئ َكتِ ِه َو ُكتُبِ ِه َو ُر ُ‬
‫َ‬
‫ص ًرا ك َما‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫اَل‬ ‫َ‬
‫سينا ْو خط نا َربَّنا َو ت َْح ِم ْل َعل ْينا ِإ ْ‬ ‫َ‬ ‫ْأ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬ ‫اَل‬ ‫َ‬
‫سبَتْ َربَّنا تَُؤ ا ِخذنا ِإنْ ن ِ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬
‫سبَتْ َو َعل ْي َها َما اكت َ‬ ‫س َع َها لَ َها َما ك َ‬
‫َ‬ ‫سا ِإاَّل ُو ْ‬ ‫هَّللا ُ نَ ْف ً‬
‫ص ْرنَا َعلَى ا ْلقَ ْو ِم‬ ‫َ‬ ‫َأ‬
‫ار َح ْمنَا ْنتَ َم ْواَل نَا فا ْن ُ‬ ‫ْ‬
‫طاقَة لَنَا ِب ِه َواعْفُ َعنَّا َواغفِ ْر لَنَا َو ْ‬ ‫َ‬ ‫َح َم ْلتَهُ َعلَى الَّ ِذينَ ِمنْ قَ ْبلِنَا َربَّنَا َواَل ت َُح ِّم ْلنَا َما اَل َ‬
‫ا ْل َكافِ ِرينَ (‪)286‬‬

‫ِإ ْر َح ْمنَا يَاَأ ْر َح َم ال َّر ِح ِميْنَ‬

‫ت َويُطَ َّه ُر ُك ْم تَ ْط ِه ْي َرا‪ِ.‬إنَّ هَّللا َ‬ ‫س َأ ْه َل ا ْلبَ ْي ِ‬ ‫ت إنَّهُ َح ِم ْي ٌد َم ِج ْيدٌ‪ .‬إنَ َما يُ ِر ْي ُد هللاِ لِيُ ْذ ِه َب َع ْن ُك ُم ال ِر ْج َ‬ ‫َر ْح َمةُ هللاِ َوبَ َر َكاتُهَ َعلَ ْي ُكم أ ْه َل ا ْلبَ ْي ِ‬
‫س َع ِد‬ ‫َأ‬ ‫َ‬
‫الصاَل ِة َعلى ْ‬ ‫ض َل َ‬ ‫ْ‬ ‫َأ‬
‫صلى ف َ‬ ‫ِّ‬ ‫َّ‬
‫سلِي ًما (‪)56‬اَلل ُه َّم َ‬ ‫سل ُموا تَ ْ‬ ‫ِّ‬ ‫َ‬
‫صلوا َعل ْي ِه َو َ‬ ‫ُّ‬ ‫صلُّونَ َعلَى النَّبِ ِّي يَا َأيُّ َها ال ِذينَ َمنُوا َ‬
‫َآ‬ ‫َّ‬ ‫َو َماَل ِئ َكتَهُ يُ َ‬
‫الذا ِك ُر ْونَ ‪َ .‬و َغفَ َل عَنْ ِذ ْك ِر َك ا ْلغاَفِلُ ْونَ ‪ .‬اَللَّ ُه َّم‬ ‫سيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد‪َ .‬ع َد َد َم ْعلُ ْو َماتِ َك َو ِمدَا َد َكلِ َماتِ َك ُكلَّ َما َذ َك َركَ َّ‬‫َ‬ ‫َى‬ ‫د‬‫ه‬‫ُ‬ ‫ْ‬
‫ل‬ ‫ا‬ ‫َم ْخلُوقَاتِ َك نُ ْ ِ‬
‫ر‬ ‫و‬
‫ُ‬ ‫َ‬
‫سيِّ ِدنا ُم َح َّم ٍد َع َد َد َم ْعل ْو َماتِكَ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫سيِّ ِدنا َو َم ْوالنا ُم َح َّم ٍد َو َعلى اَ ِل َ‬ ‫الض َحى َ‬ ‫س ُّ‬ ‫ش ْم ِ‬ ‫َ‬ ‫ُ‬ ‫ْ‬
‫س َع ِد َمخل ْوقاتِ َك َ‬ ‫َأ‬ ‫َ‬
‫صاَل ِة َعلى ْ‬ ‫ض َل ال َّ‬ ‫صل ِّى اَ ْف َ‬ ‫َ‬
‫س َع ِد َم ْخلُ ْوقَاتِكَ بَ ْد ِر الد َُّجى‬ ‫صاَل ِة َعلَى َأ ْ‬ ‫ض َل ال َّ‬‫صلِّى َأ ْف َ‬ ‫َو ِمدَا َد َكلِ َماتِ َك ُكلَّ َما َذ َك َر َك ال َذا ِك ُر ْونَ ‪َ .‬و َغفَ َل عَنْ ِذ ْك ِر َك ا ْل َغافِلُ ْونَ اَللهَّ َم َ‬
‫سيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َع َد َد َم ْعلُ ْو َماتِ َك َو ِمدَا َد َكلِ َماتِ َك ُكلَّ َما َذ َك َر َك ال َذا ِك ُر ْونَ ‪َ .‬و َغفَ َل عَنْ ِذ ْك ِر َك‬ ‫سيِّ ِدنَا َو َم ْواَل نَا ُم َح َّم ٍد َو َعلَى َأ ِل َ‬ ‫َ‬
‫مولَى َونِ ْع َم‬ ‫الوكيِ ْل‪ .‬نِ ْع َم الَ ْ‬ ‫سبُنَا هللاُ َونِ ْع َم َ‬ ‫َأ‬
‫سو ِل هللاِ ْج َم ِعيْنَ ‪َ .‬ح ْ‬ ‫ب َر ُ‬ ‫ص َحا ِ‬ ‫َأ‬
‫سادَاتِنَا ْ‬ ‫ض َي هللاُ تَ َعَال َى عَنْ َ‬ ‫سلَِّ ْم َو َر ِ‬ ‫ا ْل َغافِلُ ْونَ ‪َ .‬و َ‬
‫ستَ ْغفِ ُرهللاَ ال َع ِظ ْي ِم ‪3X.‬‬ ‫صير‪َ .‬واَل َح ْو َل َواَل قُ َّوةَ إالبِاهللِ ال َعلِ ِّي ا ْل َع ِظ ْي ِم ‪َ .‬أ ْ‬ ‫النَّ ِ‬

‫ض ُل ال ِذ ْك ِر فَا ْعلَ ْم َأنَّهُ ‪:‬‬


‫َأ ْف َ‬

‫……‪..‬ح ٌّي َم ْو ُج ْود‬


‫َ‬ ‫الإله إالأهلل‬

‫……‪..‬ح ٌّي َم ْعبُ ْود‬


‫َ‬ ‫الإله إالأهلل‬

‫……‪..‬ح ٌّي باَق‬


‫َ‬ ‫الإله إالأهلل‬

‫الإله إالأهلل …‪X 100 ..‬‬

‫الإله إالأهلل محمد رسوالهلل‬

‫أللهم صلى على سيدنا محمد‪ ,‬أللهم صلى عليه وسلم ‪X 3‬‬

‫أللهم صلى على سيدنا محمد يارب صل عليه وسلم ‪X1‬‬

‫سبحان هللا وبحمده ‪ .‬سبحان هللا العظيم ……‪X7 ..‬‬

‫سبحان هللا وبحمده ‪ .‬سبحان هللا العظيم وبحمده …‪ .X3 ..‬أللهم صل على حبيبك سيدنا محمد وعلى اله وصحبه وسلم‬
‫……… ‪X 3‬‬

‫‪ .‬أللهم صل على حبيبك سيدنا محمد وعلى اله وصحبه وبرك وسلم أجمعين ‪ .‬الفاتحة …………‪.‬‬

‫دعا الفاتحة‬

‫سلِّم َعلَى َ‬
‫سيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد‬ ‫ص ِّل َو َ‬‫سيِّ ِدنّا ُم َح َّم ٍد فِي االَ َّولِيْنَ ‪َ .‬و َ‬ ‫صلِّى َعلَى َ‬ ‫الرح ْي ِم الَ َح ْم ُد هَلِل ِ َر ِّب ا ْل َعالَ ِميْنَ ‪ .‬اَلَّل ُه َّم َ‬ ‫س ِم هللاَِ ال َر ْح َم ِن َ‬‫ِب ْ‬
‫ْأ‬ ‫َ‬
‫اب َماق َر نَاهُ ِمنَ‬ ‫َ‬
‫ص ْل ث َو َ‬ ‫اج َع ْل َواَ ْو ِ‬ ‫َّ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫سيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد فِي ال َماَل ءاِالَ ْعلى ِإلى يَ ْو ِم ال ِّد ْي ِن ‪ .‬اَلل ُه َّم ْ‬ ‫َ‬
‫سلم َعلى َ‬ ‫ِّ‬ ‫ص ِّل َو َ‬‫فِي االَ ِخ ِريْنَ ‪َ . .‬و َ‬
‫سلَّم فِى‬ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َ‬ ‫صلَّ ْينَاُه َعلَى النَّبِ ِّي ُم َح َّم ٍد َ‬ ‫القُ ْرَأ ِن ال َع ِظ ْي ِم ‪َ .‬و َما قُ ْلنَا ِمنْ قَ ْو ِل اَل اِلَهَ اِاَّل هللا َو َما َ‬
‫سبَّ ْحنَاهُ َوبِ َح ْم ِد ِه ‪َ .‬و َما َ‬
‫سيِّ ِدنَا‬‫ض َر ِة َ‬ ‫ص َدقَةً ُمتَقَبَّلَةً ‪ ,‬نُقَ ِّد َم َذلِ َك َونُ ْه ِد ْي ِه اِلَى َح ْ‬ ‫اصلَةً ‪َ ,‬و َر ْح َمةً نَا ِزلَةً ‪َ ,‬وبَ َر َكةَ شَا ِملَةً ‪َ ,‬و َ‬ ‫س ال ُمبَا َرك ‪َ ,‬ه ِديَّةً َو ِ‬ ‫َه َذا ال َم ْجلِ ِ‬
‫صلَ َواتُ‬ ‫سلِيْنَ ‪َ .‬‬ ‫اح بَاِئ ِه َوِإ ْخ َوانِ ِه ِمنَ االَنِبيَا ِء َوال ُم ْر َ‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬
‫سلَّ َم ‪ .‬ثُ َّم ِإلَى ْر َو ِ‬
‫صلَى هللا َعلَ ْي ِه َو َ‬ ‫َأ‬
‫شفِ ْي ِع ْينَا َوقُ َّر ِة ْعيُنِنَا ُم َح َّم ٍد َ‬‫َو َحبِ ْيبِنَا َو َ‬
‫ساِن ِإلَى يَ ْو ِم‬ َ ‫ص َحابَ ِة َوالقَ َرابَ ِة َوالتَّابِ ِعيْنَ َوتَّابِ ِع التَّابِ ِعيْنَ لَ ُه ْم بِِإ ْح‬ َ ‫ح َأ ِل ُك ِّل َوال‬ ِ ‫ َوِإلَى ُر ْو‬. َ‫سلَ ُمهَُ َعلَ ْي ِه َو َعلَ ْي ِه ْم َأ ْج َم ِعيْن‬ َ ‫هللاِ َو‬
‫ق‬
ِ ‫ت ِمنْ َمشَا ِر‬ ْ
ِ ‫ت االَ ْحيَا ِء ِمن ُه ْم َوااَل ْم َوا‬ ِ ‫ت َوال ُمْؤ ِمنِيْنَ َوال ًمْؤ ِمنَا‬ ِ ‫سلِ َما‬ ْ ‫سلِ ِميْنَ َوال ُم‬ ُ ‫َأ‬ َ ُ
ْ ‫ ث َّم ِإلى َج ِم ْي ِع ْه ِل القبُ َْو ِر ِمنَ ال ُم‬. ‫ال َّد ْي ِن‬
‫سبَبِ ِه‬ َ ‫اجتَ َم ْعنَا هَا ُهنَا ِب‬ ْ ‫ساتِ َذتِنَا َولِ َم ِن‬ َ ‫ساتِ َذ ِة َأ‬ َ ‫صا ِإلَى َأبَاِئنَا َوُأ َّم َهاتِنَا َوَأ‬
َ ‫ساتِ َذتِنَا َوَأ‬ ً ‫صو‬ ُ ‫ض ِإلَى َم َغا ِربِ َهابَ ِّرهَا َوبَ ْح ِرهَا ُخ‬ ِ ‫االَ ْر‬
َ ْ
‫ لهم ) َو َوالِ ِد ْينا َو َوالِ ِد ْي ِه ْم‬/ ‫ لهم ) َوعْفُ َعنهُ (لها‬/‫ لهم ) َوعَافِ ِه (لها‬/ ‫ار َح ْمهُ (لها‬ َ ْ َّ
ْ ‫ لهم ) َو‬/ ‫وَاِل َ ْجلِ ِه الل ُه َّم اغفِ ْرلهُ (لها‬َ
. َ ‫ساَل ِم َج ِم ْي ًعا ت ََوفنَّا‬ ْ ‫اال‬ ِ ‫ت ْع َمالَنَا َو َعلَى‬
ِ ‫اال ْي َما ِن َو‬ ‫َأ‬ ِ ‫صالِ َحا‬ َّ ‫سا َرنَا َوا ْقبَ ِل اعتِ َذا َرنَا واَ ْختِ ْم باِل‬ ْ ‫ اَللَّ ُه َّم‬. ‫ص ْولِ ِه ْم َوفُ ُر ْو ِع ِه ْم‬
َ ‫اجبُ ْران ِك‬ ُ ‫َوُأ‬
‫سيِّ ِدنَا‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَى‬ َ ‫ َو‬. َ‫س ِريْن‬ ِ ‫سنَا َوِإنْ لَ ْم تَ ْغفِ ْرلَنَا َوت َْر َح ْمنَا لَنَ ُك ْونَنَّ ِمنَ ا ْل َخا‬ َ ُ‫ظلَ ْمنَا َأ ْنف‬
َ ‫ َواَل ت َُخيِّ ْبنَا َربَّنَا‬. ‫ض َعنَّا‬ ٍ ‫َوَأ ْنتَ َرا‬
. َ‫سلِيْنَ َو ا ْل َح ْم ُد هَلِل ِ َر ِّب ال َعالَ ِميْن‬ َ ‫ساَل ٌم َعلَى ال ْ ُمر‬ َ ‫ َو‬. َ‫صفُ ْون‬ ِ َ‫س ْب َحانَ َربِّ َك َر ِّب ا ْل ِع َّز ِة َع ِّما ي‬ ُ . ‫سيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد‬ َ ‫ُم َح َّم ٍد َو َعلَى اَ ِل‬
…………………‫الفاتحة‬

Dalam uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa tahlil adalah perkara yang baik (khair) bukan
perkara yang buruk (sayyiah) karena berisikan shalawat, tasbih, tahmid, tahlil dan do’a-do’a
yang bagus serta tahlil juga bisa melatih lisan untuk selalu berdzikir kepada Allah

Sahabatku, kutunjukkan beberapa keutamaan kandungan tahlilan yang populer

1. Surat Al Fatihah

‫ بينما جبريل قاعد عند النبي صلى هللا عليه وسلم سمع‬:‫ عن ابن عباس رضى هللا عنهما قال‬,‫روى مسلم في (صحيحه) سنده‬
‫ هذا ملك نزل‬:‫ فنزل منه ملك فقال‬. ‫ ((هذا باب من السماء فتح اليوم لم يفتح قط اال اليوم‬: ‫ فرفع رأسه فقال‬, ‫نقيضا من فرقه‬
‫ فاتحة الكتاب وخواتيم سورة‬, ‫ أبشر بنورين أوتتهما لم يؤتهما نبي قبلك‬:‫ فسلم وقال‬. ‫الى االرض لم ينزل قط اال اليوم‬
]52[.))‫ لن تقرأ بحرف منهما اال أعطيتها‬. ‫البقرة‬

“Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata, ketika Malaikat Jibril duduk bersama Nabi SAW, beliau
mendengae suara pintu terbuka dari atasnya. Kemudian Nabi SAW menengadahkan kepala.
Malikat Jibril AS lalu berkata, pada hari ini pintu langit dibuka dan belum pernah dibuka
sebelumnya. Malaikat turun kebumi yang tidak pernah turun kecuali hari ini. Ia kemudian
mengucapakan salam kepana Nabi SAW seraya berkata, bergembiralah engakau
(Muhammad SAW) dengan dua cahaya yang diberikan kepadamu dan belum pernah diterima
oelh Nabi sebelumnya, yakni surat Al Fatehah dan beberapa ayat terakhir Surat Al Baqarah.
Tidaklah kamu membaca satu huruf dari keduanya kecuali engkau akan diberi imbalanya.”

‫ فدعانى النبي صلى هللا‬,‫ كنت أصلى‬: ‫ عن أبي سعيد ابن المعلى رضي هللا عنه قال‬,‫وروى البخري في (صحيحه) بسنده‬
‫ اال‬: ‫ ألم يقل هللا (استجيبوا هلل وللرسول إذا دعاكم) ثم قال‬: ‫ قال‬,‫ يارسول هللا إني كنت أصلى‬:‫ قلت‬,‫عليه وسلم فلم أجبه‬
‫ إنك‬. ‫ يا رسول هللا‬:‫ فلما أردنا أن تخرج قلت‬,‫ فأخذ بيذي‬.‫أعلمك أعظم سورة في القرأن قبل أن تخرج من المسجد‬
]54[)‫ (الحمد هلل رب العالمين) هي السبع المثاني والقرأن العظيم اللذي أوتيته‬:‫ قال‬, ‫ أعلم سورة في القرأن‬Í‫ألعلمنك‬: ‫قلت‬

“Diriwayatkan dari Abi Sa’id Bin Ma’ali RA, ia berkata, ketika saya sedang shalat,
kemudian Nabi SAW memanggil saya kemudian saya tidak menemui Nabi, kemudian saya
berkata, ya Rasulallah sesungguhnya saya telah melakukan shalat, kemudian Nabi berkata,
bukankah Allah telah berfirman “Istajibu lillahi Wa lirrosuli ida dakum” kemudian Nabi
Berkata, maukah kamu saya ajarkan surat yang agung yang ada dalam Al Qur’an sebelum
kamu keluar dari masjid”, sambil memegangi tanganku. Kemudian ketika saya hendak
keluar maka saya berkata kepada rosul bahwa engakau mau mengajarkan surat kepada
saya, maka rasul menjawab, yaitu “Al Hamdu lillahi Rabbil Alamin”. Dia adalah tuju ayat
yang diulang-ulang dan juga Al Qur’an yang paling agung yang diberikan kepadaku”.

1. Surat Al Ikhlas
)‫ (قل هو هللا أحد‬: ‫روى البخرى فى (صحيحه) بسنده عن أبى سعيد الخذرى رضي هللا عنه أن رجال سمع رجال يقرأ‬
‫ فقال رسول هللا صلى هللا عليه‬. ‫يرددها فلما أصبح جاء إلى النبي صلى هللا عليه وسلم فذكر له ذلك وكأن الرجل يتقالها‬
]55[)‫وسلم (والذي نفسي بيده إنها لتعدل ثلث القرأن‬

“Ada seorang laki-laki mendengar seseoarang laki-laki lain yang sedang membaca surat Al
Ikhlas dengan berulang-ulang, tatkala pagi hari, laki yang mendengar itu mendatangi rosul
dan menyebutkan demikian seakan-akan laki-laki tersebut menganggap remeh terhadap
surat Al Ikhlas maka Rasul menjawab Demi Dzat yang jiwaku dalam kekuasaanya,
sesungguhnya Al Ikhlas dapat membandingi sepertiga Al Qur’an.”

3. Surat Al Falaq dan Surat An Nas

‫ (قد أنزل علي أيات لم‬:‫وروي الترمذي بسنده عن عقبه بن عامر الجهنى رضي هللا عنه عن النبي صلى هللا عليه وسلم قال‬
]56[)‫ إلى أخر السورة‬.‫ و قل أعوذ برب الفلق‬. ‫ إلى أخر السورة‬.‫ قل أعوذ برب الناس‬: ‫ير مثلهن‬

“Imam At Tirmidzi meriwayatkan dengan sanadnya dari Uqbah Bin Amir Al Juhni RA. dari
Nabi SAW. Nabi bersabda : Sesungguhnya Allah telah menurunkan kepadaku beberapa Ayat
yang Nabi belum melihat yang menyerupainya (yang menyamainya ) yaitu: Surat Annas dan
Surat Al Falaq”.

4. Bacaan Laa Ilaaha Il lallah

bacaan Tahlil sudah sedikit disinggung tentang keutamaan kalimah Thayyibah, bahwa
kalimat tersebut adalah sebaik baiknya dzikir seperti yang diriwayatkan oleh Shahbat Jabir
Bin Abdillah. Selain dari pada keutamaan tersebut, Kalimah Thayyibah juga memiliki
keutamaan yang lain diantaranya; Hadis yang diriwayatkan oleh shahabat Abu Hurairah ra.

ٌّ‫ َما قَا َل َع ْب ٌد ال إله إال هللا قَط‬:‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬:‫وروى الترمذي بسنده عن أبي هريرة رضي هللا عنه قال‬
]57[ .‫ت ْال َكبَاِئ َر‬
ِ َ‫العرش َما اجْ تُنِب‬
ِ ِ ‫ت لَهُ َأ ْب َوابُ ال َّس َما ِء َحتَّى تُ ْف‬
‫ضي إلى‬ ْ ‫ْ ُمحلِصًا إال فُتِ َح‬

“Tidaklah seorang hamba mengucapkan Laa Ilaa Ha Illallah dengan penuh keikhlasan
melainkan akan dibukakan baginya pintu-pintu langit sehingga Laa Ilaa Ha Illallah
dilaporkan keatas selama ia menjauhi dosa-dosa besar.”

Dan masih bnyak lagi keutaman daripada kalimah Thayyibah tersebut.

Dalil alquran dan hadist

DALIL DARI ALQURAN

Seperti yang tersebut didalam Al Qur’an:

1. Qs. Muhammad 19

‫ت َوهَّللا ُ يَ ْعلَ ُم ُمتَقَلَّبَ ُك ْم َو َم ْث َوا ُك ْم‬


ِ ‫ك َولِ ْل ُمْؤ ِمنِينَ َو ْال ُمْؤ ِمنَا‬
َ ِ‫َوا ْستَ ْغفِرْ لِ َذ ْنب‬

“dan mohonlah ampunnan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan
perempuan.”
Dari ayat tersebut menerangkan bahwa orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan
mendapatkan manfaat dari istighfar orang mukmin lainnya.

2. Qs. Al Nuh 28

‫ت َواَل ت َِز ِد الظَّالِ ِمينَ ِإاَّل تَبَارًا‬


ِ ‫ي َولِ َم ْن َد َخ َل بَ ْيتِ َي ُمْؤ ِمنًا َولِ ْل ُمْؤ ِمنِينَ َو ْال ُمْؤ ِمنَا‬
َّ ‫َربِّ ا ْغفِرْ لِي َولِ َوالِ َد‬

“Ya tuhanku ampunilah aku. Ibu bapakku, orang yang masuk kerumahku dengan beriman,
serta semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau
tambahkan bagi orang-orang yang zhalim itu selain kebinasaan.”

3. Qs. Ibrohim 40-41

)41( ُ‫ي َولِ ْل ُمْؤ ِمنِينَ يَوْ َم يَقُو ُم ْال ِح َساب‬ َّ ‫َربِّ اجْ َع ْلنِي ُمقِي َم ال‬
َّ ‫) َربَّنَا ا ْغفِرْ لِي َولِ َوالِ َد‬40( ‫صاَل ِة َو ِم ْن ُذ ِّريَّتِي َربَّنَا َوتَقَبَّلْ ُدعَا ِء‬

“Ya tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya
tuhan kami, perkenankanlah do’aku . Ya tuhan kami, ampunilah aku dan kedua ibu bapakku
dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab.”

4. Qs. Al Hasyr 10

َ‫َوالَّ ِذينَ َجا ُءوا ِم ْن بَ ْع ِد ِه ْم يَقُولُونَ َربَّنَا ا ْغفِرْ لَنَا َوِإِل ْخ َوانِنَا الَّ ِذينَ َسبَقُونَا بِاِإْل ي َما ِن َواَل تَجْ َعلْ فِي قُلُوبِنَا ِغاًّل لِلَّ ِذينَ َآ َمنُوا َربَّنَا ِإنَّك‬
ٌ ‫َر ُء‬
‫وف َر ِحي ٌم‬

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan anshar), mereka berdo’a, ya
tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu
dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-
orang yang beriman. Ya tuhan kami, sesungguhnya Engkau MahaPenyantun lagi Maha
Penyayang.”

5. Qs. At Tur 21

َ ‫َوالَّ ِذينَ َآ َمنُوا َواتَّبَ َع ْتهُ ْم ُذ ِّريَّتُهُ ْم بِِإي َما ٍن َأ ْل َح ْقنَا بِ ِه ْم ُذ ِّريَّتَهُ ْم َو َما َألَ ْتنَاهُ ْم ِم ْن َع َملِ ِه ْم ِم ْن َش ْي ٍء ُكلُّ ا ْم ِرٍئ بِ َما َك َس‬
ٌ ‫ب َر ِه‬
‫ين‬

“dan orang-orang yang beriman, serta anak cucu mereka mengikuti mereka dalam
keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada mengurangi
sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap mausia terikat dengan apa yang
dikerjakannya.”

Mengenai ayat ini Syekh ‘Alauddin Ali Bin Muhammad Bin Ibrahim Al Baghdadi
memberikan penjelasan sebagai berikut:

“kami menyamakan anak-anak mereka yang kecil dan yang dewasa dengan keimanan orang
tua mereka. Yang dewasa dengan keimanan mereka sendiri, sementara yang kecil dengan
keimanan orang tuanya. Keislaman seorang anak yang masih kecil diikutkan pada salah satu
dari kedua orang tuanya. (kami menyamakan kepada mereka keturunan mereka) artinya
menyamakan orang-orang mukmin di surga sesuai dengan derajat orang tua mereka,
meskipun amal-amal mereka tidak sesuai dengan derajat orang tua mereka, meskipun amal-
amal mereka tidak sampai pada derajat amal orang tua mereka. Hal itu sebagai
penghormatan kepada orang tua mereka agar mereka senang. Keterangan ini diriwayatkan
dari Ibn Abbas ra.”

6. Al-Baqarah : 186

)186( َ‫اع ِإ َذا َدعَا ِن فَ ْليَ ْست َِجيبُوا لِي َو ْليُْؤ ِمنُوا بِي لَ َعلَّهُ ْم يَرْ ُش ُدون‬ ‫ُأ‬
ِ ‫وَِإ َذا َسَألَكَ ِعبَا ِدي َعنِّي فَِإنِّي قَ ِريبٌ ِجيبُ َد ْع َوةَ ال َّد‬

“dan apabila hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku dekat,
Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka
hendaklah mereka itu memnuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran .“[72]

Beberapa ayat dan keterangan tersebut menjadi bukti nyata bahwa orang yang beriman tidak
hanya memperoleh pahala dari perbuatannya sendiri. Mereka juga dapat merasakan manfaat
amaliyah orang lain.

DALIL DARI HADIST

Selain dalil dari Al Qur’an yang menerangkan bahwa, orang yang sudah meninggal dunia
dapat merasakan manfaat amaliyah orang lain, dalam hadispun tedapat keterangan yang
menyatakan hal tersebut. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Shahabat Abu Hurairah ra.

‫ت فََأ ْخلِصُوْ ا لَهُ ال ُّد َعاَء‬


ِ ِّ‫صلَّ ْيتُ ْم َعلَى ْال َمي‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُوْ ُل ِإ َذا‬ ِ ‫ع َْن َأبِ ْي هُ َر ْي َرةَ َر‬
ُ ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ قَا َل َس ِمع‬
َ ِ‫ْت َرسُوْ ُل هللا‬
)2784 ‫(سنن الترمذى رقم‬

“Dari Abu Hurairah RA, Aku mendengar Rosulullah SAW bersabda, Jika kamu semua
menshalati mayit, maka berdo’alah dengan ikhlas untuknya. (Sunan Al Tirmidzi, 2784)”

Hadist tersebut secara jelas menerangkan bahwa Rosulullah SAW memerintahkan kepada
umat islam untuk mendo’akan orang yang sudah meninggal dunia dengan tulus ikhlas. Hal ini
berarti bahwa do’a yang dibaca dengan ikhlas dapat bermanfaat bagi mayit yang dimaksud.
Juga hadits lain menerangkan bahwa Rosul pernah mendo’akan orang yang sudah mati
seperti hadits yang diriwayatkan oleh Auf bin Malik ra.

‫ت ِم ْن ُدعَاِئ ِه َوهُ َو يَقُوْ ُل اَللَّهُ َّم‬ ْ ِ‫صلًّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َعلَى َجنَا َز ٍة فَ َحف‬
ُ ‫ظ‬ َ ِ‫ض َي هللاُ َع ْنهَ قَا َل َرسُوْ ُل هللا‬
ِ ‫ك َر‬ ٍ ْ‫ع َْن عَو‬
ِ ِ‫ف ْب ٍن َمال‬
َّ َ‫ْت‬ َّ َ َ َ َ‫خ‬ ْ َ ْ ْ َّ ْ ْ ْ ْ َ َ َ ْ َ ُ ْ َ ْ ُ‫ْف‬ ‫ا ْغفِرْ لَهُ َوارْ َح ْمهُ َوعَافِ ِه َواع‬
‫ب‬
َ ْ‫ج َوالبَ َر ِد َونقِِّ ِه ِمنَ ال طايَا ك َما نقي الثو‬ ِ ‫َعنهُ َواك ِر ْم ن ُرلهُ َو َو ِس ْع َمدخلهُ َواغ ِسلهُ بِال َما ِء َوالثل‬
ْ ‫َأ‬ ًَ ْ ْ ‫َأ‬
ِ ‫َار ِه َواَ ْهاًل خَ ْيرًا ِم ْن اَ ْهلِ ِه َو َزوْ جًا َخ ْيرًا ِم ْن زَ وْ ِج ِه َو ْد ِخلهُ ال َجنَّة َو ِعذهُ ِم ْن َع َذا‬
‫ب‬ ِ ‫َس َواَ ْب ِد ْلهُ دَارًا خَ ْيرًا ِم ْن د‬ ِ ‫ض ِمنَ ال َّدن‬ َ َ‫ااْل َ ْبي‬
)16.. ‫ رقم‬,‫ار (صحيح مسلم‬ ِ َّ ‫ن‬‫ال‬ ِ َ ِ ‫ْالقَب ِْر َو‬
‫ب‬ ‫ا‬ َ
‫ذ‬ ‫ع‬ ‫ن‬ْ ‫م‬

“Diriwayatkan dari Auf bin Malik RA, ia berkata, Rasulullah SAW pernah menshalati
jenazah dan saya hafal do’a Rasulullah SAW tersebut. Do’a yang beliau baca adalah, Ya
Allah, ampunillah dosanya, kasihanilah dia, selamatkanlah dan maafkanlah dia. Ya Allah,
baguskanlah tempat kembalinya, luaskanlah kediamanya, bersihkanlah ia dengan air dan
embun, bersihkanlah ia dari dosa-dosanya, sebagaimana Engkau membersihkan baju putih
nan suci dari kotoran. Berilah ia rumah yang lebih bagus, karuniakanlah isteri yang lebih
baik dari isterinya (ketika di dunia), masukanlah ia kedalam surga, dan selamatkanlah ia
dari siksa kubur dan siksa api neraka.”
Hadits tersebut menerangkan bahwa Rasulullah SAW pernah mendo’akan orang yang sudah
mati dan memohon agar dosanya diampuni. Maka semakin jelaslah orang yang sudah
meninggal dunia dapat memperoleh manfaat dari amal orang-orang yang masih hidup.

‫ال قُوْ لِى اَل َّساَل ُم َعلَى َأ ْه ِل‬


َ َ‫ت اِل َ ْه ِل ْالقُبُوْ ِرق‬
ُ ْ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َك ْيفَ َأقُوْ ُل ِإ َذا ا ْستَ ْغفَر‬ ِ َ‫ض َي هللاُ َع ْنهَا َسَأل‬
َ ‫ت النَّبِ َي‬ ِ ‫اَ َّن عَاِئ َسةَ َر‬
‫ْأ‬
‫ رقم‬,‫ْن َوال ُم ْسلِ ِم ْينَ َويَرْ َح ُم هللاُ ال ُم ْستَق ِد ِم ْينَ ِمنا َوال ُم ْستَ ِخ ِر ْينَ َوإنا إن شا َء هللاُ بِك ْم ِحقوْ نَ (صحيح مسلم‬Íَ ‫ار ِمنَ ْال ُمْؤ ِمنِي‬
ْ ْ ْ
ُ ‫اَل‬ ُ َ ْ َّ َّ ْ ِ َ‫ْال ِّدي‬
)1619

“Sesungguhnya ‘Aisyah RA bertanya kepada Rasulullah SAW, apa yang harus dibaca ketika
kami memohon ampun bagi ahli kubur? Rasulullah SAW menjawab, Ucapkanlah, Salam
sejahtera atas engkau semua wahai ahli kubur dari golongan mukminin dan muslimin,
semoga Allah SWT melimpahkan Rahmat-Nya bagi orang-orang yang mendahului serta
orang-orang yang datang kemudian dari kami. Dan Insya Allah kami akan menyusul kalian.”

Hadits diatas menerangkan bahwa Rasulullah menganjurkan untuk ziarah kubur dan
mengucapkan salam kepada ahli kubur serta mendo’akannya dan ada juga hadits yang
menerangkan bahwa Rasulullah SAW sering ziarah kemaqam baqi’. Bisa dipahami dari
penjelasan tersebut, bahwa ahli kubur dapat mendengar salam dari orang yang mengucapkan
salam kepada ahli kubur tersebut dan memperoleh manfaat dari do’a tersebut.

‫ال اِ ْستَ ْغفِرُوا‬ ِ ِّ‫عن عثمان بن عفان رضي هللا عنه قال كان النبي صلى هللا عليه وسلم إ َذا فَ َر َغ ِم ْن َد ْف ِن ْال َمي‬
َ َ‫ت َوقَفَ َعلَ ْي ِه فَق‬
) 2804 ‫ رقم‬,‫ت فَاِءنَّهُ اآلنَ يُ ْسَأ ُل (سنن ابي داود‬
ِ ‫الَ ِخ ْي ُك ْم َو َسلُوا لَهُ بِ ْالتَّ ْثبِ ْي‬

“Dari Usman bin Affan, ia berkata jika Nabi Muhammad SAW selesai menguburkan jenazah,
beliau berdiri didekat kubur lalu bersabda, hendaklah kamu sekalian memintakan ampunan
bagi saudaramu (yang meninggal ini) baginya karena saat ini dia sedang ditanya oleh
malaikat.”

ْ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَقَا َل يَا َرسُوْ َل هللاِ ِإ َّن ُأ ِّم ْى ُأ ْفتُلِت‬
ِ ْ‫َت َن ْف ُسهَا َولَ ْم تُو‬
‫ص‬ َ ‫ض َي هللاُ َع ْنهَا َأ َّن َرجُال َأتَى النَّبِ َي‬ ِ ‫ع َْن عَاِئ َسةَ َر‬
) 1672 ‫ رقم‬, ‫ص َّدقت َعنهَا ؟ قا َل نَ َع ْم (صحيح مسلم‬ َ ْ ُ ْ ْ ‫َأ‬ َ َ ‫َأ‬ ْ
َ َ‫ص َّدقت فلهَا جْ ٌر ِإن ت‬ َ َ َ‫َوَأظَنُّهَا لَوْ تَ َكلَّ َمت ت‬
ْ

“Dari ‘Aisyah RA, seseorang laki-laki bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, Ibu saya
meninggal dunia secara mendadak dan tidak sempat berwasiat. Saya menduga seandenya
dia dapat berwasiat, tentu ia akan bersedekah. Apakah ia akan mendapat pahala jika saya
bersedekah atas namanya ? Nabi Muhammad SAW menjawab, “Ya”.”[77]

‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بِقَ ْب َر ْي ِن فَقَا َل ِإنَّهُ َما لَيُ َع َّذبَا ِن َو َما يُ َع َّذبَا ِن فِي َكبِي ٍْر َأ َّما َأ َح ُدهُ َما‬ َ ‫ال َم َّر النَّبِ ُّي‬ َ َ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ ق‬ ِ ‫س َر‬ ٍ ‫ع َْن اِ ْب ِن َعبَّا‬
‫ قَالُوا‬, ‫اح َد ٍة‬ ‫و‬
ِ َ ٍ ‫ْر‬ ‫ب‬َ ‫ق‬ ِّ‫ل‬ ُ
‫ك‬ ‫ي‬ ‫ف‬
ِ َ َِ‫ز‬ ‫ر‬ َ
‫غ‬ َ ‫ف‬ ‫ن‬‫ي‬ْ َ ‫ف‬ ْ‫ص‬ ‫ن‬
ِ َ ‫ا‬ ‫ه‬ َّ ‫ق‬‫ش‬َ َ ‫ف‬ ً ‫ة‬ ‫ب‬‫ط‬
َ َْ ‫ر‬ ً ‫ة‬ ‫د‬
َ ْ
‫ي‬ ‫ر‬
ِ َ‫ج‬ َ
‫ذ‬ َ‫خ‬‫َأ‬ ‫م‬ ُ ‫ث‬ ‫ة‬
Í ‫م‬‫ي‬ْ ‫م‬
َّ ِ َ ِ ِ ِ ْ ََّ ‫ن‬‫ال‬ ‫ب‬ ‫ى‬ ‫ش‬ ‫م‬‫ي‬ َ‫ان‬ َ
‫ك‬ َ ‫ف‬ ‫ر‬
ُ َ
‫خ‬ ‫اال‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫َأ‬ ‫و‬
َّ َ ِ َ ‫ل‬ ْ‫و‬ ‫ب‬ ْ
‫ال‬ َ‫ن‬ ِ ‫فَ َكانَ ال يَ ْستَتِ ُر‬
‫م‬
َ ْ َّ َّ
)209 ‫ رقم‬,‫يَا َرسُو ُل هللا لِ َم فَ َعلتَ هَذا ؟ قَا َل ل َعلهُ يُ َخففُ َعنهُ َما َمال ْم يَ ْيبَ َسا (صحيح البخارى‬ َ َ ْ

“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, ia berkata, suatu hari Nabi SAW berjalan melewati dua
pemakaman. Kemudian beliau bersabda, kedua orang yang berada dalam kuburan ini
sekarang sedang disiksa. Namun keduanya disiksa bukan karena dosa besar. Yang satu
disiksa karena ia kencing dan tidak menutup auratnya. Dan yang lain disiksa karena suka
mengadu domba. Lalu Nabi SAW mengambil pelapah kurma dan membelahnya menjadi dua,
kemudian menancapkanya diatas kubur masing-masing. Para shahabat bertanya, mengapa
engkau melakukan hal tersebut ? Nabi SAW menjawab, semoga keduanya mendapatkan
keringanan siksa selama pelepah kurma ini belum kering.”
َ ‫ك َوتَ َعالَى َوال َّد‬
‫ار‬ َ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل َويس قَ ْلبُ اٍلقُرْ َأ ِن ال يَ ْق َرُؤ هَا َر ُج ٌل ي ُِر ْي ُد هللاَ تَب‬
َ ‫ار‬ َ ِ‫ار َأ َّن َرسُو ُل هللا‬
ٍ ‫ع َْن َم ْعقِ ٍل ب ِْن يَ َس‬
ُ ْ
) 1941 ‫ رقم‬, ‫اال ِخ ْي َرةَ إال ُغفِ َر لَهُ َواق َرُؤ هَا َعلى َموْ تَاك ْم (مسند احمد بن حنبل‬
َ

“Diriwayatkan dari Ma’kil bin Yasar RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, surat yasin
adalah intisari Al Qur’an. Tidaklah seseorang membacanya dengan mengharap rahmat
Allah SWT kecuali Allah SWT akan mengampuni dosa-dosanya. Maka bacalah surat Yasin
atas orang-orang yang telah meninggal diantara kamu sekalian.”

ُ‫ب َوقُلْ ه َُو هللا‬ ِ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َم ْن َد َخ َل ْال َمقَابِ َر ثُ َّم قَ َرَأ فَاتِ َحةَ ْال ِكتَا‬ َ ِ‫ قَا َل َرسُوْ ُل هللا‬. ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ قَا َل‬ ِ ‫ع َْن َأبِي هُ َر ْي َرةَ َر‬
‫ت َكانُوْ ا ُشفَ َعا َء لَهُ ِإلَى‬ ِ ‫ك الَ ْه ِل ْال َمقَابِ ِر ِمنَ ْال ُمْؤ ِمنِ ْينَ َو ْال ُمْؤ ِمنَا‬ ُ ‫اب َما قَ َرْأ‬
َ ‫ت ِم ْن كَاَل ِم‬ ُ ‫َأ َح ْد وَِألَهُ ُك ُم ْالتَ َكاثُ ُر ثُ َّم قَا َل ِإنِّي َج َع ْل‬
َ ‫ت ثَ َو‬
) 46 : ‫ حول خصائص القرأن‬, ‫هللاِ تَ َعالَى (أخرجه أبو القاسم الزنجاني‬

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, barang siapa memasuki
pemakaman lalu membaca sura Al Fatihah, Al Ikhlas dan At Takatsur, lalu berdo’a, Aku
hadiahkan bacaan yang aku baca dari firman-Mu untuk semua Ahli Qubur dari kalangan
mukmiin dan mukminat, maka semua ahli qubur itu akan memberikan syafa’at (pertolongan)
kepada orang yang membaca surat tersebut.”

) 11 :‫اختَلَفُوْ ا َعلَى قَب ِْر ِه يَ ْق َرُؤ نَ ِع ْن َدهُ ْالقُرْ َأنَ (الروح‬ ُ ‫صا ُر ِإ َذا َماتَ لَهُ ُم ْال َمي‬
ْ ‫ِّت‬ َ ‫ت االَ ْن‬
ِ َ‫َكان‬

“Jika ada shahabat dikalangan Anshar meninggal dunia, mereka berkumpul di depan
kuburnya sambil membaca Al Qur’an.”

Demikianlah beberapa Hadits yang bisa Disebutkan dalam penulisan risalah ini, tentunya
masih banyak sekali dalil-dalil dari hadits yang menjelaskan bahwa amaliyah orang yang
masih hidup dapat bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal dunia, dan dengan
disebutkannya beberapa dalil dari hadits yang tersebut diatas penulis berharap bagi para
pembaca ketika melakukan ritual tahlil tidak lagi mersa bimbang dan khawatir kalau-kalau
perbuatan tersebut sia-sia.
sungguh hanya orang-orang yang paham mendalam alquran dan hadist sajalah yang bisa
demikian, itulah hebatnya para ulama, maka telitilah kawan, kajilah, maka engkau kan
dapatkan kebenaran-kebenaran.. jangan gunakan nafsumu, maupun kebodohan-
kebodohanmu…

6. beberapa pendapat ulama tentang tahlilan ;

1. Pendapat Almarhum KH. Muchit Muzadi dalam artikelnya yang berjudul “Tidak
Mungkin Agama Terlepas dari Tradisi Lokal” yang termuat dalam majalah Afkar
sebagai berikut: “bagaimana sebenarnya pandangan Nahdlatul Ulama terhadap tradisi
local ? NU termasuk organisasi Islam yang bisa menerima tradisi lokal. Bahkan bisa
dikatakan lebih bisa menerima tradisi lokal ketimbang beberapa organisasi islam yang
lain. “Agama apa sih yang bisa diterapkan tanpa pengaruh dan percampuran
dengan tradisi lokal ? itu tidak mungkin. Karena agama itu untuk manusia dan
manusia dimanapun selalu dipengaruhi oleh lingkungannya”.Dengan dicontohkan
“waladun shalihun ya’du lahu” di Indonesia waladun shalihun dirangkaikan dengan
cara ritual tahlilan.
2. Imam Al Syaukani mengatakan bahwa setiap perkumpulan yang didalamnya
dilaksanakan kebaikan, misalnya membaca Al Qur’an, Dzikir dan Do’a, itu adalah
perbuatan yang dibenarkan meskipun tidak pernah dilaksanakan pada masa
Rosulullah. Begitupula tidak ada larangan untuk menghadiahkan pahala bacaan Al
Qur’an atau lainnya kepada orang yang sudah meninggal dunia.
3. Imam Ibnu Taymiah Syaikhul Islamnya Salafiyyin (Wahabi) suatu ketika pernah
ditanya, apakah bacaan keluarga mayyit, tasbih, tahmid, takbir, tahlil jika dihadiahkan
pahalanya untuk si mayyit akan sampai atau tidak? Maka beliau menjawab: “akan
sampai bacaan keluarga si mayyit seperti bacaan tasbih, tahmid, tahlil dan seluruh
jenis dzikir kepada Allah jika dihadiahkan kepada mayyit akan sampai”
4. dan masih banyak lagi…

Sahabatku semua yang dirahmati Allah,..

Saya ulang lagi, Pada hakikatnya majelis tahlil atau tahlilan adalah hanya nama atau
sebutan untuk sebuah acara di dalam berdzikir dan berdoa atau bermunajat
bersama.sudah jelas…. hanya sebuah nama...

Yaitu berkumpulnya sejumlah orang untuk berdoa atau bermunajat kepada Allah SWT
dengan cara membaca kalimat-kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih,
Asma’ul husna, shalawat dan lain-lain. apakah itu salah? apakah itu bidah? ya, bid’ah
hasanah tentunya, jika engkau menggangap bid’ah yang sesat, etss nanti dulu,…

Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan majelis dzikir, hanya istilah atau
namanya saja yang berbeda namun hakikatnya sama. (Tahlil artinya adalah lafadh Laa ilaaha
illallah) Lalu bagaimana hukumnya mengadakan acara tahlilan atau dzikir dan berdoa
bersama yang berkaitan dengan acara kematian untuk mendoakan dan memberikan hadiah
pahala kepada orang yang telah meninggal dunia ? Dan apakah hal itu bermanfaat atau
tersampaikan bagi si mayyit ?

Menghadiahkan Fatihah, atau Yaasiin, atau dzikir, Tahlil, atau shadaqah, atau Qadha
puasanya dan lain lain, itu semua sampai kepada Mayyit, dengan Nash yang Jelas dalam
Shahih Muslim hadits no.1149, bahwa “seorang wanita bersedekah untuk Ibunya yang
telah wafat dan diperbolehkan oleh Rasul saw”, dan adapula riwayat Shahihain Bukhari dan
Muslim bahwa “seorang sahabat menghajikan untuk Ibunya yang telah wafat”, dan
Rasulullah SAW pun menghadiahkan Sembelihan Beliau SAW saat Idul Adha untuk dirinya
dan untuk ummatnya, “Wahai Allah terimalah sembelihan ini dari Muhammad dan keluarga
Muhammad dan dari Ummat Muhammad” (Shahih Muslim hadits no.1967).

Dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit) merupakan Jumhur
(kesepakatan) Ulama seluruh madzhab dan tak ada yang memungkirinya apalagi
mengharamkannya, dan perselisihan pendapat hanya terdapat pada madzhab Imam Syafi’i,
bila si pembaca tak mengucapkan lafadz : “Kuhadiahkan”, atau wahai Allah kuhadiahkan
sedekah ini, atau dzikir ini, atau ayat ini..”, bila hal ini tidak disebutkan maka sebagian Ulama
Syafi’iy mengatakan pahalanya tak sampai.

Jadi tak satupun ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal untuk mayiit,
tapi berikhtilaf adalah pada Lafadznya. Demikian pula Ibn Taimiyyah yang menyebutkan 21
hujjah (dua puluh satu dalil) tentang Intifa’ min ‘amalilghair (mendapat manfaat dari amal
selainnya). Mengenai ayat : “DAN TIADALAH BAGI SESEORANG KECUALI APA YG
DIPERBUATNYA, maka Ibn Abbas ra menyatakan bahwa ayat ini telah mansukh dengan
ayat “DAN ORANG ORANG YG BERIMAN YG DIIKUTI KETURUNAN MEREKA
DENGAN KEIMANAN”,
Mengenai hadits yang mengatakan bahwa bila wafat keturunan adam, maka terputuslah
amalnya terkecuali 3 (tiga), shadaqah Jariyah, Ilmu yang bermanfaat, dan anaknya yang
berdoa untuknya, maka orang orang lain yang mengirim amal, dzikir dll untuknya ini jelas
jelas bukanlah amal perbuatan si mayyit, karena Rasulullah SAW menjelaskan terputusnya
amal si mayyit, bukan amal orang lain yang dihadiahkan untuk si mayyit, dan juga sebagai
hujjah bahwa Allah memerintahkan di dalam Al Qur’an untuk mendoakan orang yang telah
wafat : “WAHAI TUHAN KAMI AMPUNILAH DOSA-DOSA KAMI DAN BAGI
SAUDARA-SAUDARA KAMI YG MENDAHULUI KAMI DALAM KEIMANAN”, (QS
Al Hasyr-10).

Mengenai rangkuman tahlilan itu, tak satupun Ulama dan Imam Imam yang memungkirinya,
siapa pula yang memungkiri muslimin berkumpul dan berdzikir?, hanya syaitan yang tak
suka dengan dzikir. Didalam acara Tahlil itu terdapat ucapan Laa ilaah illallah, tasbih,
shalawat, ayat qur’an, dirangkai sedemikian rupa dalam satu paket dengan tujuan agar
semua orang awam bisa mengikutinya dengan mudah, ini sama saja dengan merangkum
Al Qur’an dalam disket atau CD, lalu ditambah pula bila ingin ayat Fulani, silahkan Klik
awal ayat, bila anda ingin ayat azab, klik a, ayat rahmat klik b, maka ini semua dibuat
buat untuk mempermudah muslimin terutama yang awam. Atau dikumpulkannya hadits
Bukhari, Muslim, dan Kutubussittah, Alqur’an dengan Tafsir Baghawi, Jalalain dan Ilmu
Musthalah, Nahwu dll, dalam sebuah CD atau disket, atau sekumpulan kitab, bila mereka
melarangnya maka mana dalilnya ?, Munculkan satu dalil yang mengharamkan acara
Tahlil?, (acara berkumpulnya muslimin untuk mendoakan yang wafat) tidak di Al Qur’an,
tidak pula di Hadits, tidak pula di Qaul Sahabat, tidak pula di kalam Imamulmadzahib,
hanya mereka saja yang mengada ada dari kesempitan pemahamannya.

Mengenai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, atau bahkan tiap hari, tak ada dalil yang
melarangnya, itu adalah Bid’ah hasanah yang sudah diperbolehkan , justru kita perlu
bertanya, ajaran muslimkah mereka yang melarang orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?,
siapa yang alergi dengan suara Laa ilaaha illallah kalau bukan syaitan dan pengikutnya ?,
siapa yang membatasi orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, muslimkah?, semoga Allah
memberi hidayah pada muslimin, tak ada larangan untuk menyebut Laa ilaaha illallah, tak
pula ada larangan untuk melarang yang berdzikir pada hari ke 40, hari ke 100 atau kapanpun,
pelarangan atas hal ini adalah kemungkaran yang nyata.

Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana dengan computer,
handphone, mikrofon, dan lainnya yang merupakan adat orang kafir, bahkan mimbar yang
ada di masjid masjid pun adalah adat istiadat gereja, namun selama hal itu bermanfaat dan
tak melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya, sebagaimana Rasul saw meniru
adat yahudi yang berpuasa pada hari 10 muharram, bahwa Rasul saw menemukan orang
yahudi puasa dihari 10 muharram karena mereka tasyakkur atas selamatnya Musa as, dan
Rasul saw bersabda : Kami lebih berhak dari kalian atas Musa as, lalu beliau saw
memerintahkan muslimin agar berpuasa pula” (HR Shahih Bukhari hadits no.3726, 3727).

Sebagaimana pula diriwayatkan bahwa Imam Masjid Quba di zaman Nabi saw, selalu
membaca surat Al Ikhlas pada setiap kali membaca fatihah, maka setelah fatihah maka ia
membaca AL Ikhlas, lalu surat lainnya, dan ia tak mau meninggalkan surat al ikhlas setiap
rakaatnya, ia jadikan Al Ikhlas sama dengan Fatihah hingga selalu berdampingan disetiap
rakaat, maka orang mengadukannya pada Rasul saw, dan ia ditanya oleh Rasul saw :
Mengapa kau melakukan hal itu?, maka ia menjawab : Aku mencintai surat Al Ikhlas.
Maka Rasul saw bersabda : Cintamu pada surat Al ikhlas akan membuatmu masuk sorga”
(Shahih Bukhari).

Maka tentunya orang itu tak melakukan hal tsb dari ajaran Rasul saw, ia membuat buatnya
sendiri karena cintanya pada surat Al Ikhlas, maka Rasul saw tak melarangnya bahkan
memujinya. Kita bisa melihat bagaimana para Huffadh (Huffadh adalah Jamak dari Al
hafidh, yaitu ahli hadits yang telah hafal 100.000 hadits (seratus ribu) hadits berikut sanad
dan hukum matannya) dan para Imam imam mengirim hadiah pada Rasul saw :

Berkata Imam Alhafidh Al Muhaddits Ali bin Almuwaffiq rahimahullah : “aku 60 kali
melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu 30 haji untuk
Rasulullah saw”.

Berkata Al Imam Alhafidh Al Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq Atssaqafiy
Assiraaj : “aku mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku lakukan 7X haji yang pahalanya untuk
Rasulullah saw dan aku menyembelih Qurban 12.000 ekor untuk Rasulullah saw, dan aku
khatamkan 12.000 kali khatam Alqur’an untuk Rasulullah saw, dan kujadikan seluruh amalku
untuk Rasulullah saw”.

Ia adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia menyimpan 70 ribu masalah yang
dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir pada 218 H dan wafat pada 313H

Berkata Al Imam Al Hafidh Abu Ishaq Almuzakkiy, aku mengikuti Abul Abbas dan aku haji
pula 7X untuk rasulullah saw, dan aku mengkhatamkan Alqur’an 700 kali khatam untuk
Rasulullah saw. (Tarikh Baghdad Juz 12 hal 111).

sahabatku yang aku sayangi karena Allah,

seseorang bertanya kepada habieb munzir Almusyawwa

Mohon habib memberikan penjelasan mengenai kutipan al Umm imam Syafi’i ini,

Imam Asy Syafi’I, yakni seorang imamnya para ulama’, mujtahid mutlak, lautan ilmu,
pembela sunnah dan yang khususnya di Indonesia ini banyak yang mengaku bermadzhab
beliau, telah berkata dalam kitabnya Al Um (I/318) :
” Aku benci al ma’tam yaitu berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit meskipun tidak ada
tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan .”

Dari pernyataan Imam Syafi’i di atas, beliau menerangkan bahwa berkumpul di rumah ahli
mayit (meskipun menurut kebiasaan) akan memperbaharui kesedihan (dengan kata lain, si
pemilik rumah, yg anggota keluarganya wafat, akan merasa sedih lagi, meskipun tidak mesti
menangis). JANGAN SALAH, ini bukan berarti kalau tidak sedih boleh dilakukan. Sama
sekali tidak! Perkataan Imam Syafi’I diatas tidak menerima pemahaman terbalik atau
mafhum mukhalafah.

Dari beberapa sumber referensi, aku dapatkan pengertian bahwa : ” beliau (imam Syafi’i)
dengan tegas MENGHARAMKAN berkumpul-kumpul di rumah keluarga/ahli mayit. Ini baru
berkumpul saja, bagaimana kalau di sertai dengan apa yang kita namakan disini sebagai
Tahlilan ?”
Sementara itu, Imam Ibnul Qayyim, di kitabnya Zaadul Ma’aad (I/527-528) menegaskan
bahwa berkumpul-kumpul ( dirumah ahli mayit ) dengan alasan untuk ta’ziyah dan
membacakan Qur’an untuk mayit adalah ” Bid’ah ” yang tidak ada petunjuknya dari Nabi
SAW.

Bahkan para ulama/imam empat (Imam Malik, Syafi’i, Hanafi dan Hambali) sepakat dengan
melarang hal tersebut (tahlilan). Mereka berempat tidak berselisih/berbeda pendapat tentang
larangan hal tersebut melainkan dalam masalah tingkatannya, haram atau makruh saja. Dan
tidak ada seorangpun dari mereka yang mengatakan bolehnya tahlilan. Bahkan para sahabat g
menggolongkan hal tersebut sebagai niyahah/ratapan terhadap si mayit. Dan ulama telah
sepakatkan keharaman niyahah.

Dengan demikian, TAHLILAN BUKANLAH AJARAN ISLAM…melainkan adopsi dari


agama Hindu. Aku yakin para Wali Sanga mempunyai alasan tertentu mengapa beliau2 tidak
menghapus budaya ini. Salah satu alasan yg aku ketahui adalah untuk memudahkan
penyebaran agama Islam. Sebagaimana diketahui, masyarakat Indonesia (terutama Jawa)
sangat mencintai budayanya (bahkan cintanya berlebihan).
Wallahu a’lam

jawaban habieb munzir atas pertanyaannya itu..

Anugerah dan Cahaya Rahmat Nya semoga selalu menerangi hari hari anda,

Saudaraku yg kumuliakan,
sebenarnya sudah jelas, bahwa ucapan Imam Syafii itu diselewengkan maknanya oleh
mereka, “Ma’tam” adalah perkumpulan ratapan dan tangisan, orang orang Jahiliyah jika
ada yg mati di keluarga mereka maka mereka membayar para “penangis” untuk meratap
dirumah mereka, semacam adat istiadat mereka seperti itu, memang sudah ada orangnya,
sebagaimana masa kini ada group Band penghibur, dimasa lalu juga ada Group penangis,
khusus untuk meratap dirumah duka.

ini yg tidak disukai oleh Imam Syafii, dan tentunya Imam syafii mengetahui bahwa hal itu
buruk dan dimasa beliau masih ada sisa sisanya yaitu tidak meratap dan menjerit2, tapi
disebut perkumpulan Duka,

namun beliau tak menjatuhkan hukum haram, akan tetapi makruh, karena Ma’tam yg ada
dimasa beliau sudah jauh berbeda dg Ma’tam yg dimasa Jahiliyah,

karena jika Ma’tam yg dimasa jahiliyah sudah jelas jelas haram, dan beliau melihat dimasa
beliau masih ada sisa sisa perkumpulan tangisan dirumah duka, maka beliau
memakruhkannya.

kalimat “benci/membenci” pada lafadh para muhadditsin yg dimaksud adala


“Kariha/yakrahu/Karhan” yg berarti Makruh.,

Makruh mempunyai dua makna, yaitu : makna bahasa dan makna syariah.
makna makruh secara bahasa adalah benci,
makna makruh dalam syariah adalah hal hal yg jika dikerjakan tidak mendapat dosa, dan
jika ditinggalkan mendapat pahala.
sang penulis menyelewengkan ucapan Imam Syafii yg mengatakan bahwa hal itu Makruh,
justru Imam syafii tidak menjatuhkan hukum haram, karena jika haram maka beliau tak
akan menyebut membenci, tapi haram secara mutlak,

sebab dalam istilah para ahli hadits jika bicara tentang suatu hukum, maka tak ada istilah
kalimat benci, senang, ngga suka, hal itu tak ada dalam fatwa hukum, namun yg ada adalah
keputusan hukum, yaitu haram, makruh, mubah, sunnah, wajib

maka jika ada fatwa para Imam dalam hukum, tidak ada istilah benci/suka, tapi hukumlah yg
disampaikan, maka jelas sudah makna ucapan imam syafii itu adalah hukumnya, yaitu
makruh, bukan haram

karena menurut kaidah ushul bahwa semua imam dan ulama dan siapapun, tak berhak
memberi pendapat pada suatu hukum dg perasaan, tapi mereka jika berhadapan dg
hukum mestilah fatwa syariah yg disampaikan, bukan perasaan benci, senang dll, karena
hal itu bukan dalil.

Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga sukses dg


segala cita cita,

KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAMA

Hal itu merupakan pendapat orang orang yg kalap dan gerasa gerusu tanpa ilmu, kok ribut
sekali dengan urusan orang yg mau bersedekah pada muslimin?,

‫عن عائشة أن رجال أتى النبي صلى هللا عليه وسلم فقال ثم يا رسول هللا إن أمي افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت‬
‫تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها قال نعم‬

Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada nabi saw seraya berkata :
Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila
ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?, Rasul
saw menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits no.1004).

Berkata Al Hafidh Al Imam Nawawi rahimahullah :

‫وفي هذا الحديث أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول‬
‫الدعاء‬

“Dan dalam hadits ini (hadits riwayat shahih muslim diatas) menjelaskan bahwa shadaqah
untuk mayit bermanfaat bagi mayit, dan pahalanya disampaikan pada mayyit, demikian pula
menurut Ijma (sepakat) para ulama, dan demikian pula mereka bersepakat atas sampainya
doa doa” (syarh Imam Nawawi ala shahih muslim juz 7 hal 90)

Maka bila keluarga rumah duka menyediakan makanan dengan maksud bersedekah maka hal
itu sunnah, apalagi bila diniatkan pahala sedekahnya untuk mayyit, demikian kebanyakan
orang orang yg kematian, mereka menjamu tamu2 dengan sedekah yg pahalanya untuk si
mayyit, maka hal ini sunnah.

7. Lalu mana dalilnya yg mengharamkan makan dirumah duka?


Mengenai ucapan para Imam itu, yg dimaksud adalah membuat jamuan khusus untuk
mendatangkan tamu yg banyak, dan mereka tak mengharamkan itu :
Perlu diketahui bahwa Makruh adalah jika dihindari mendapat pahala dan jika dilakukan
tidak mendapat dosa.

1. Ucapan Imam nawawi yg anda jelaskan itu, beliau mengatakannya tidak disukai (ghairu
Mustahibbah), bukan haram, tapi orang wahabi mencapnya haram padahal Imam Nawawi
mengatakan ghairu mustahibbah, berarti bukan hal yg dicintai, ini berarti hukumnya mubah,
dan tidak sampai makruh apalagi haram, dan yg dimaksud adalah mengundang orang dengan
mengadakan jamuan makanan (ittikhaadzuddhiyafah), beda dengan tahlilan masa kini
bukanlah jamuan makan, namun sekedar makanan ala kadarnya saja, bukan Jamuan, hal ini
berbeda dalam syariah, jamuan adalah makan besar semacam pesta yg menyajikan bermacam
makanan, ini tidak terjadi pada tahlilan manapun dimuka bumi, yg ada adalah sekedar besek
atau sekantung kardus kecil berisi aqua dan kue kue atau nasi sederhana sekedar sedekah
pada pengunjung, maka sedekah pada pengunjung hukumnya sunnah.

2. Imam Ibnu Hajar Al Haitsamiy menjelaskan adalah :

‫من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة مكروهة‬

“mereka yg keluarga duka yg membuat makanan demi mengundang orang adalah hal Bid’ah
Munkarah yg makruh” (bukan haram)

semoga anda mengerti bahasa, bahwa jauh beda dengan rumah duka yg menyuguhkan
makanan untuk tamu yg mengucapkan bela sungkawa, jauh berbeda dengan membuat
makanan demi mengundang orang agar datang, yg dilarang (Makruh) adalah membuat
makanan untuk mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah, lihat ucapan beliau,
bid;ah buruk yg makruh.., bukan haram, jika haram maka ia akan menyebutnya : Bid’ah
munkarah muharramah, atau cukup dengan ucapan Bid’ah munkarah, maka itu sudah
mengandung makna haram, tapi tambahan kalimat makruh, berarti memunculkan hukum
sebagai penjelas bahwa hal itu bukan haram,

Entahlah para wahabi itu tak faham bahasa atau memang sengaja menyelewengkan
makna, sebab keduanya sering mereka lakukan, yaitu tak faham hadits dan
menyelewengkan makna.

Dalam istilah istilah pada hukum syariah, sungguh satu kalimat menyimpan banyak makna,
apalagi ucapan para Muhaddits dan para Imam, dam hal semacam ini sering tak difahami
oleh mereka yg dangkal dalam pemahaman syariahnya,

3. Ucapan Imam Ibnu Abidin Al-Hanafy menjelaskan “Ittikhadzuddhiyafah”, ini maknanya


“membuat perjamuan besar”, misalnya begini : Gubernur menjadikan selamatan
kemenangannya dalam pilkada dengan “Ittikhadzuddhiyafah” yaitu mengadakan perjamuan.
Inilah yg dikatakan Makruh oleh Imam Ibn Abidin dan beliau tak mengatakannya haram,
kebiasaan ini sering dilakukan dimasa jahiliyah

4. Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki berkata berkumpulnya orang dalam hidangan makan makan
dirumah mayit hukumnya Bid’ah yg makruh. (Bukan haram tentunya), dan maksudnya pun
sama dg ucapan diatas, yaitu mengumpulkan orang dengan jamuan makanan, namun beliau
mengatakannya makruh, tidak sampai mengharamkannya. Orang orang wahabi menafsirkan
kaliamt “makruh”adalah hal yg dibenci, tentu mereka salah besar, karena imam imam ini
berbicara hukum syariah bukan bicara dicintai atau dibenci.

5. Syaikh An-Nawawi Al-Banteni rahimahullah menjelaskan adat istiadat baru berupa


“Wahsyah” yaitu adat berkumpul dimalam pertama saat mayyit wafat dengan hidangan
makanan macam macam, hal ini makruh, (bukan haram).

dan mengenai ucapan secara keseluruhan, yg dimaksud makruh adalah sengaja membuat
acara “jamuan makan” demi mengundang tamu tamu, ini yg ikhtilaf ulama antara mubah dan
makruh, tapi kalau justru diniatkan sedekah dengan pahalanya untuk mayyit maka justru
Nash Shahih Bukhari dan Shahih Muslim diatas telah memperbolehkannya bahkan sunnah.

Dan tentunya bila mereka (keluarga mayyit) meniatkan untuk sedekah yg pahalanya untuk
mereka sendiripun maka tak ada pula yg memakruhkannya bahkan mendapat pahala jika
dilakukan.

Yg lebih baik adalah datang dan makan tanpa bermuka masam dan merengut sambil berkata
haram..haram… dirumah duka (padahal makruh), tapi bawalah uang atau hadiah untuk
membantu mereka.

dan pelarangan / pengharaman untuk tak menghidangkan makanan dirumah duka adalah
menambah kesusahan keluarga duka, bagaimana tidak?, bila keluarga anda wafat lalu anda
melihat orang banyak datang maka anda tak suguhkan apa2..?, datang dari Luar kota
misalnya, dari bandara atau dari stasion luar kota datang dg lelah dan peluh demi hadir
jenazah, lalu mereka dibiarkan tanpa seteguk airpun..???, tentunya hal ini sangat berat bagi
mereka, dan akan sangat membuat mereka malu.

didalam Ushul dijelaskan bahwa Mandub, hasan, annafl, sunnah, Mustahab fiih
(mustahibbah), Muragghab fiih, ini semua satu makna, yaitu yutsab ala fi’lihi walaa yu’aqabu
alaa tarkihi (diberi pahala bila dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan).
imam Nawawi mengatakan hal itu ghairu mustahibbah, yaitu bukan hal yg bila dilakukan
mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, maka jatuhlah derajatnya antara
mubah dan makruh,

Imam Nawawi tidak mengucapkan haram, karena bila haram beliau tak payah payah
menaruh kata ghairu mustahibbah dlsb, beliau akan berkata haram mutlaqan (haram
secara mutlak), namun beliau tak mengatakannya,

Dan mengenai kata “Bid’ah” sebagaimana mereka menukil ucapan Imam Nawawi,
fahamilah bahwa Bid;ah menurut WAHABI sangat jauh berbeda dengan BID’AH
menurut Imam Nawawi, Imam Nawawi berpendapat Bid’ah terbagi lima bagian, yaitu
wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram (rujuk Syarh Nawawi ala Shahih Muslim Juz 6
hal 164-165),

maka sebelum mengambil dan menggunting Ucapan Imam Nawawi, fahami dulu apa
maksud bid’ah dalam ta’rif Imam Nawawi, barulah bicara fatwa Bid’ah oleh Imam
Nawawi,

bila Imam Nawawi menjelaskan bahwa dalam Bid’ah itu ada yg Mubah dan yg makruh,
maka ucapan “Bid’ah Ghairu Mustahibbah” bermakna Bid’ah yg mubah atau yg makruh,
kecuali bila Imam Nawawi berkata “Bid’ah Muharramah” (Bid’ah yg haram).

Namun kenyataannya Imam Nawawi tidak mengatakannya haram, maka hukumnya


antara Mubah dan makruh.

Untuk Ucapan Imam Ibn Hajar inipun jelas, beliau berkata Bid’ah Munkarah Makruhah,
(Bid’ah tercela yg makruh), karena Bid;ah tercela itu tidak semuanya haram, sebagaimana
masa kini sajadah yg padanya terdapat hiasan hiasan warna warni membentuk pemandangan
atau istana istana dan burung burung misalnya, ini adalah Bid’ah buruk (munkarah) yg
makruh, tidak haram untuk memakainya shalat, tidak batal shalat kita menggunakan sajadah
semacam itu, namun Bid;ah buruk yg makruh, tidak haram, karena shalatnya tetap sah.

Hukum darimana makruh dibilang haram?, makruh sudah jelas makruh, hukumnya
yutsab ala tarkihi wala yu’aqabu ala fi’lihi (mendapat pahala bila ditinggalkan dan tidak
mendapat dosa bila dilakukan),

Dan yg dimakruhkan adalah menyiapkan makanan untuk mengundang orang, beda


dengan orang datang lalu shohibul bait menyuguhi.

Berkata Shohibul Mughniy :

‫فأما صنع أهل الميت طعاما للناس فمكروه ألن فيه زيادة على مصيبتهم وشغال لهم إلى شغلهم وتشبها بصنع أهل الجاهلية‬

Bila keluarga mayyit membuat makanan untuk orang, maka makruh, karena hal itu
menambah atas musibah mereka dan menyibukkan, dan meniru niru perbuatan jahiliyah.
(Almughniy Juz 2 hal 215)

Lalu shohibul Mughniy menjelaskan kemudian :

‫وإن دعت الحاجة إلى ذلك جاز فإنه ربما جاءهم من يحضر ميتهم من القرى واألماكن البعيدة ويبيت عندهم وال يمكنهم إال‬
‫أن يضيفوه‬

Bila mereka melakukannya karena ada sebab/hajat, maka hal itu diperbolehkan, karena
barangkali diantara yg hadir mayyit mereka ada yg berdatangan dari pedesaan, dan tempat
tempat yg jauh, dan menginap dirumah mereka, maka tak bisa tidak terkecuali mereka mesti
dijamu (Almughniy Juz 2 hal 215)

(disini hukumnya berubah, yg asalnya makruh, menjadi Mubah bahkan hal yg mulia,
karena tamu yg berdatangan dari jauh, maka jelaslah kita memahami bahwa pokok
permasalahan adalah pada keluarga duka dan kebutuhan tamu,

Dijelaskan bahwa yg dimaksud adat jahiliyyah ini adalah membuat jamuan besar, mereka
menyembelih sapi atau kambing demi mengundang tamu setelah ada kematian, ini makruh
hukumnya, sebagian ulama mengharamkannya, namun beda dengan orang datang karena
ingin menjenguk, lalu sohibulbait menyuguhi ala kadarnya, Bukan kebuli dan menyembelih
kerbau, hanya besek sekedar hadiahan dan sedekah.

baiklah jika sebagian saudara kita masih belum tenang maka riwayat dibawah ini semoga
dapat menenangkan mereka :
dari Ahnaf bin Qeis ra berkata : “Ketika Umar ra ditusuk dan terluka parah, ia
memerintahkan Shuhaib untuk membuat makanan untuk orang orang” (AL Hafidh Al Imam
Ibn Hajar pd Mathalibul ‘Aliyah Juz 1 hal 199 no.709, dan ia berkata sanadnya Hasan)

dari Thaawus ra : “Sungguh mayyit tersulitkan di kubur selama 7 hari, maka merupakan
sebaiknya mereka memberi makan orang orang selama hari hari itu” (Diriwayatkan Oleh Al
Hafidh Imam Ibn Hajar pd Mathalibul ‘Aliyah Juz 1 hal 199 dan berkata sanad nya Kuat

mengenai pengadaan makanan dan jamuan makanan pada rumah duka telah kuat dalilnya
sebagaimana sabda Rasul saw : “Buatlah untuk keluarga Jakfar makanan sungguh mereka
telah ditimpa hal yg membuat mereka sibuk” (diriwayatkan oleh Al Imam Tirmidziy no.998
dg sanad hasan, dan di Shahih kan oleh Imam Hakim Juz 1/372)

demikian pula riwayat shahih dibawah ini ;

‫ فلما‬، ‫ وأمر أن يجعل للناس طعام فيطعموا حتى يستخلفوا إنسانا‬، ‫فلما احتضرعمر أمر صهيبا أن يصلي بالناس ثالثة أيام‬
: ‫ فقال العباس بن عبد المطلب‬، ‫ فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه‬، ‫رجعوا من الجنازة جئ بالطعام ووضعت الموائد‬
‫أيها الناس ! إن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قد مات فأكلنا بعده وشربنا ومات أبو بكر فأكلنا بعده وشربنا وإنه البد من‬
‫ ثم مد‬، ‫االجل فكلوا من هذا الطعام‬
‫العباس يده فأكل ومد الناس أيديهم فأكلوا‬

Ketika Umar ra terluka sebelum wafatnya, ia memerintahkan pada Shuhaib untuk memimpin
shalat, dan memberi makan para tamu selama 3 hari hingga mereka memilih seseorang, maka
ketikan hidangan hidangan ditaruhkan, orang orang tak mau makan karena sedihnya, maka
berkatalah Abbas bin Abdulmuttalib ra : Wahai hadirin.., sungguh telah wafat Rasulullah saw
dan kita makan dan minum setelahnya, lalu wafat Abubakar ra dan kita makan dan minum
sesudahnya, dan ajal itu adalah hal yg mesti, maka makanlah makanan ini..!”, lalu beliau ra
mengulurkan tangannya dan makan, maka orang orang pun mengulurkan tangannya masing
masing dan makan.
(Al fawaidussyahiir Li Abi Bakar Assyafii juz 1 hal 288, Kanzul ummaal fii sunanil aqwaal
wal af’al Juz 13 hal 309, Thabaqatul Kubra Li Ibn Sa’d Juz 4 hal 29, Tarikh Dimasyq juz 26
hal 373, Al Makrifah wattaarikh Juz 1 hal 110)

Kini saya ulas dengan kesimpulan :


1. membuat jamuan untuk mengundang orang banyak dg masakan yg dibuat oleh keluarga
mayyit hukumnya makruh, walaupun ada yg mengatakan haram namun Jumhur Imam dan
Muhadditsin mengatakannya Makruh.

2. membuat jamuan dengan tujuan sedekah dan pahalanya untuk mayyit hukumnya sunnah,
sebagaimana riwayat Shahih Bukhari seorang wanita mengatakan pada Nabi saw bahwa
ibuku wafat, dan apakah ibuku mendapat pahala bila aku bersedekah untuknya?, Rasul saw
menjawab : Betul (Shahih Bukhari hadits no.1322), bukankah wanita ini mengeluarkan
uangnya untuk bersedekah..?,

3. menghidangkan makanan seadanya untuk tamu yg datang saat kematian adalah hal yg
mubah, bukan makruh, misalnya sekedar air putih, teh, atau kopi sederhana.

4. Sunnah Muakkadah bagi masyarakat dan keluarga tidak datang begitu saja dg tangan
kosong, namun bawalah sesuatu, berupa buah, atau uang, atau makanan.
5. makan makanan yg dihidangkan oleh mereka tidak haram, karena tak ada yg
mengharamkannya, bahkan sebagaimana riwayat yg akan saya sebutkan bahwa Umar bin
Khattab ra memerintahkan tuk menjamu tamunya jika ia wafat

6. boleh saja jika keluarga mayyit membeli makanan dari luar atau ketring untuk menyambut
tamu tamu, karena pelarangan akan hal itulah yg akan menyusahkan keluarga mayyit, yaitu
memasak dan merepotkan mereka.

7. makruh jika membuat hidangan besar seperti hidangan pernikahan demi menyambut tamu
dirumah duka

mengenai fatwa Imam Syafii didalam kitab I’anatutthaalibin, yg diharamkan adalah
Ittikhadzuddhiyafah, (mengadakan jamuan besar), sebagaimana dijelaskan “Syara’a
lissurur”, yaitu jamuan makan untuk kegembiraan,

namun bila diniatkan untuk sedekah, walau menyembelih seribu ekor kerbau selama 40 hari
40 malam atau menyembelih 1.000 ekor kambing selama 100 hari atau bahkan tiap hari
sekalipun, hal itu tidak ada larangannya, bahkan mendapat pahala.

8. MENGIRIM PAHALA DAN BACA’AN KEPADA MAYIT

1. Ucapan Imam Nawawi dalam Syarah Nawawi Ala shahih Muslim Juz 1 hal 90
menjelaskan :

‫من أراد بر والديه فليتصدق عنهما فان الصدقة تصل الى الميت وينتفع بها بال خالف بين المسلمين وهذا هو الصواب وأما‬
‫ما حكاه أقضى القضاة أبو الحسن الماوردى البصرى الفقيه‬
‫الشافعى فى كتابه الحاوى عن بعض أصحاب الكالم من أن الميت ال يلحقه بعد موته ثواب فهو مذهب باطل قطعيا وخطأ‬
‫بين مخالف لنصوص الكتاب والسنة واجماع االمة فال التفات اليه وال تعريج عليه وأما الصالة والصوم فمذهب الشافعى‬
‫وجماهير العلماء أنه ال يصل ثوابها الى الميت اال اذا كان الصوم واجبا على الميت فقضاه عنه وليه أو من أذن له الولي‬
‫فان فيه قولين للشافعى أشهرهما عنه أنه ال يصلح وأصحهما ثم محققى متأخرى أصحابه أنه يصح وستأتى المسألة فى‬
‫كتاب الصيام ان شاء هللا تعالى‬
‫وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعى أنه ال يصل ثوابها الى الميت وقال بعض أصحابه يصل ثوابها الى الميت‬
‫وذهب جماعات من العلماء الى أنه يصل الى الميت ثواب جميع العبادات من الصالة والصوم والقراءة وغير ذلك وفى‬
‫صحيح البخارى فى باب من مات وعليه نذر أن ابن عمر أمر من ماتت أمها وعليها صالة أن تصلى عنها وحكى صاحب‬
‫الحاوى عن عطاء بن أبى رباح واسحاق بن راهويه أنهما قاال بجواز الصالة عن الميت وقال الشيخ أبو سعد عبد هللا بن‬
‫محمد بن هبة هللا بن أبى عصرون من أصحابنا المتأخرين فى كتابه االنتصار الى اختيار هذا وقال االمام أبو محمد البغوى‬
‫ أن يطعم عن كل صالة مد من طعام وكل هذه إذنه كمال ودليلهم القياس على الدعاء‬Í‫من أصحابنا فى كتابه التهذيب ال يبعد‬
‫والصدقة والحج فانها تصل‬

Berkata Imam Nawawi : “Barangsiapa yg ingin berbakti pada ayah ibunya maka ia boleh
bersedekah atas nama mereka (kirim amal sedekah untuk mereka), dan sungguh pahala
shadaqah itu sampai pada mayyit dan akan membawa manfaat atasnya tanpa ada ikhtilaf
diantara muslimin, inilah pendapat terbaik, mengenai apa apa yg diceritakan pimpinan
Qadhiy Abul Hasan Almawardiy Albashriy Alfaqiihi Assyafii mengenai ucapan beberapa
Ahli Bicara (semacam wahabiy yg hanya bisa bicara tanpa ilmu) bahwa mayyit setelah
wafatnya tak bisa menerima pahala, maka pemahaman ini Batil secara jelas dan kesalahan yg
diperbuat oleh mereka yg mengingkari nash nash dari Alqur’an dan Alhadits dan Ijma ummat
ini, maka tak perlu ditolelir dan tak perlu diperdulikan.
Namun mengenai pengiriman pahala shalat dan puasa, maka madzhab Syafii dan sebagian
ulama mengatakannya tidak sampai kecuali shalat dan puasa yg wajib bagi mayyit, maka
boleh di Qadha oleh wali nya atau orang lain yg diizinkan oleh walinya, maka dalam hal ini
ada dua pendapat dalam Madzhab Syafii, yg lebih masyhur hal ini tak sampai, namun
pendapat kedua yg lebih shahih mengatakan hal itu sampai, dan akan kuperjelas nanti di Bab
Puasa Insya Allah Ta’ala.

Mengenai pahala Alqur’an menurut pendapat yg masyhur dalam madzhab Syafii bahwa tak
sampai pada mayyit, namun adapula pendapat dari sahabat sahabat Syafii yg mengatakannya
sampai, dan sebagian besar ulama mengambil pendapat bahwa sampainya pahala semua
macam ibadah, berupa shalat, puasa, bacaan Alqur’an, ibadah dan yg lainnya, sebagaimana
diriwayatkan dalam shahih Bukhari pada Bab : “Barangsiapa yg wafat dan atasnya nadzar”
bahwa Ibn Umar memerintahkan seorang wanita yg wafat ibunya yg masih punya hutang
shalat agar wanita itu membayar(meng qadha) shalatnya, dan dihikayatkan oleh Penulis kitab
Al Hawiy, bahwa Atha bin Abi Ribah dan Ishaq bin Rahawayh bahwa mereka berdua
mengatakan bolehnya shalat dikirim untuk mayyit,
telah berkata Syeikh Abu Sa’ad Abdullah bin Muhammad bin Hibatullah bin Abi Ishruun
dari kalangan kita (berkata Imam nawawi dengan ucapan : “kalangan kita” maksudnya dari
madzhab syafii) yg muta’akhir (dimasa Imam Nawawi) dalam kitabnya Al Intishar ilaa
Ikhtiyar bahwa hal ini seperti ini. (sebagaimana pembahasan diatas), berkata Imam Abu
Muhammad Al Baghawiy dari kalangan kita dalam kitabnya At Tahdzib : Tidak jauh bagi
mereka untuk memberi satu Mudd untuk membayar satu shalat (shalat mayyit yg tertinggal)
dan ini semua izinnya sempurna, dan dalil mereka adalah Qiyas atas Doa dan sedekah dan
haji (sebagaimana riwayat hadist2 shahih) bahwa itu semua sampai dengan pendapat yg
sepakat para ulama. (Syarh Nawawi Ala Shahih Muslim Juz 1 hal 90)

Maka jelaslah sudah bahwa Imam Nawawi menjelaskan dalam hal ini ada dua pendapat, dan
yg lebih masyhur adalah yg mengatakan tak sampai, namun yg lebih shahih mengatakannya
sampai,
tentunya kita mesti memilih yg lebih shahih, bukan yg lebih masyhur, Imam nawawi
menjelaskan bahwa yg shahih adalah yg mengatakan sampai, walaupun yg masyhur
mengatakan tak sampai, berarti yg masyhur itu dhoif, dan yg shahih adalah yg mengatakan
sampai, dan Imam Nawawi menjelaskan pula bahwa sebagian besar ulama mengatakan
semua amal apahal sampai.

Inilah liciknya orang orang wahabi, mereka bersiasat dengan “gunting tambal”, mereka
menggunting gunting ucapan para imam lalu ditampilkan di web web, inilah bukti kelicikan
mereka, Saya akan buktikan kelicikan mereka :

Lalu berkata pula Imam Nawawi :

‫أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء وقضاء الدين‬
‫بالنصوص الواردة في الجميع ويصح الحج عن الميت اذا كان حج االسالم وكذا اذا وصى بحج التطوع على األصح عندنا‬
‫واختلف العلماء في الصوم اذا مات وعليه صوم فالراجح جوازه عنه لألحاديث الصحيحة فيه‬
‫والمشهور في مذهبنا أن قراءة القرآن ال يصله ثوابها وقال جماعة من أصحابنا يصله ثوابها وبه قال أحمد بن حنبل‬

“Sungguh sedekah untuk dikirimkan pada mayyit akan membawa manfaat bagi mayyit dan
akan disampaikan padanya pahalanya, demikian ini pula menurut Ijma (sepakat) para ulama,
demikian pula mereka telah sepakat atas sampainya doa doa, dan pembayaran hutang (untuk
mayyit) dengan nash2 yg teriwayatkan masing masing, dan sah pula haji untuk mayyit bila
haji muslim,
demikian pula bila ia berwasiat untuk dihajikan dengan haji yg sunnah, demikian pendapat yg
lebih shahih dalam madzhab kita (Syafii), namun berbeda pendapat para ulama mengenai
puasa, dan yg lebih benar adalah yg membolehkannya sebagaimana hadits hadits shahih yg
menjelaskannya,
dan yg masyhur dikalangan madzhab kita bahwa bacaan Alqur’an tidak sampai pada mayyit
pahalanya, namun telah berpendapat sebagian dari ulama madzhab kita bahwa sampai
pahalanya, dan Imam Ahmad bin Hanbal berpegang pada yg membolehkannya” (Syarh Imam
Nawawi ala shahih Muslim Juz 7 hal 90)

Dan dijelaskan pula dalam Almughniy :

‫وال بأس بالقراءة ثم القبر وقد روي عن أحمد أنه قال إذا دخلتم المقابر اقرؤوا آية الكرسي وثالث مرار قل هو هللا أحد‬
‫اإلخالص ثم قال اللهم إن فضله ألهل المقابر وروي عنه أنه قال القراءة ثم القبر بدعة وروي ذلك عن هشيم قال أبو بكر‬
‫نقل ذلك عن أحمد جماعة ثم رجع رجوعا أبان به عن نفسه فروى جماعة أن أحمد نهى ضريرا أن يقرأ ثم القبر وقال له إن‬
‫القراءة ثم القبر بدعة فقال له محمد بن قدامة الجوهري يا أبا عبد هللا ما تقول في مبشر فلهذا قال ثقة قال فأخبرني مبشر عن‬
‫أبيه أنه أوصى إذا دفن يقرأ عنده بفاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصي بذلك قال أحمد بن حنبل فارجع فقل‬
‫للرجل يقرأ‬

“Tidak ada larangannya membaca Alqur’an dikuburan , dan telah diriwayatkan dari Ahmad
bahwa bila kalian masuk pekuburan bacalah ayat alkursiy, lalu Al Ikhlas 3X, lalu katakanlah :
Wahai Allah, sungguh pahalanya untuk ahli kubur”.
Dan diriwayatkan pula bahwa bacaan Alqur’an di kuburan adalah Bid’ah, dan hal itu adalah
ucapan Imam Ahmad bin hanbal, lalu muncul riwayat lain bahwa Imam Ahmad melarang
keras hal itu, maka berkatalah padanya Muhammad bin Qudaamah : Wahai Abu Abdillah
(nama panggilan Imam Ahmad), apa pendapatmu tentang Mubasyir (seorang perawi hadits),
Imam Ahmad menjawab : Ia Tsiqah (kuat dan terpercaya riwayatnya), maka berkata
Muhammad bin Qudaamah sungguh Mubasyir telah meriwayatkan padaku dari ayahnya
bahwa bila wafat agar dibacakan awal surat Baqarah dan penutupnya, dan bahwa Ibn Umar
berwasiat demikian pula!”, maka berkata Imam Ahmad :”katakana pada orang yg tadi
kularang membaca ALqur’an dikuburan agar ia terus membacanya lagi..”.
(Al Mughniy Juz 2 hal : 225)

Dan dikatakan dalam Syarh AL Kanz :

‫وقال في شرح الكنز إن لإلنسان أن يجعل ثواب عمله لغيره صالة كان أو صوما أو حجا أو صدقة أو قراءة قرآن ذلك من‬
‫جميع أنواع البر ويصل ذلك إلى الميت وينفعه ثم أهل السنة انتهى والمشهور من مذهب الشافعي وجماعة من أصحابه أنه‬
‫ال يصل إلى الميت ثواب قراءة القرآن وذهب أحمد بن حنبل وجماعة من العلماء وجماعة من أصحاب الشافعي إلى أنه‬
‫يصل كذا ذكره النووي في األذكار وفي شرح المنهاج البن النحوي ال يصل إلى الميت عندنا ثواب القراءة على المشهور‬
‫والمختار الوصول إذا سأل هللا إيصال ثواب قراءته وينبغي الجزم به ألنه دعاء فإذا جاز الدعاء للميت بما ليس للداعي فألن‬
‫يجوز بما هو له أولى ويبقى األمر فيه موقوفا على استجابة الدعاء وهذا المعنى ال يختص بالقراءة بل يجري في سائر‬
‫األعمال والظاهر أن الدعاء متفق عليه أنه ينفع الميت والحي القريب والبعيد بوصية وغيرها وعلى ذلك أحاديث كثيرة‬

“sungguh boleh bagi seseorang untuk mengirim pahala amal kepada orang lain, shalat kah,
atau puasa, atau haji, atau shadaqah, atau Bacaan Alqur’an, dan seluruh amal ibadah lainnya,
dan itu boleh untuk mayyit dan itu sudah disepakati dalam Ahlussunnah waljamaah.
Namun hal yg terkenal bahwa Imam Syafii dan sebagian ulamanya mengatakan pahala
pembacaan Alqur’an tidak sampai, namun Imam Ahmad bin hanbal, dan kelompok besar dari
para ulama, dan kelompok besar dari ulama syafii mengatakannya pahalanya sampai,
demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al Adzkar,
dan dijelaskan dalam Syarh Al Minhaj oleh Ibn Annahwiy : “tidak sampai pahala bacaan
Alqur’an dalam pendapat kami yg masyhur, dan maka sebaiknya adalah pasti sampai bila
berdoa kepada Allah untuk memohon penyampaian pahalanya itu,
dan selayaknya ia meyakini hal itu karena merupakan doa, karena bila dibolehkan doa tuk
mayyit, maka menyertakan semua amal itu dalam doa tuk dikirmkan merupakan hal yg lebih
baik, dan ini boleh tuk seluruh amal,
dan doa itu sudah Muttafaq alaih (tak ada ikhtilaf) bahwa doa itu sampai dan bermanfaat pada
mayyit bahkan pada yg hidup, keluarga dekat atau yg jauh, dengan wasiat atau tanpa wasiat,
dan dalil ini dengan hadits yg sangat banyak” (Naylul Awthar lil Imam Assyaukaniy Juz 4
hal 142, Al majmu’ Syarh Muhadzab lil Imam Nawawiy Juz 15 hal 522).

Kesimpulannya bahwa hal ini merupakan ikhtilaf ulama, ada yg mengatakan pengiriman
amal pada mayyit sampai secara keseluruhan, ada yg mengatakan bahwa pengiriman
bacaan Alqur’an tidak sampai, namun kesemua itu bila dirangkul dalam doa kepada Allah
untuk disampaikan maka tak ada ikhtilaf lagi.

Dan kita semua dalam tahlilan itu pastilah ada ucapan : Allahumma awshil, tsawabaa maa
qaraa’naa minalqur’anilkarim… dst (Wahai Allah, sampaikanlah pahala apa apa yg kami
baca, dari alqur’anulkarim…dst). Maka jelaslah sudah bahwa Imam Syafii dan seluruh Imam
Ahlussunnah waljamaah tak ada yg mengingkarinya dan tak adapula yg mengatakannya tak
sampai.

kita ahlussunnah waljamaah mempunyai sanad, bila saya bicara fatwa Imam Bukhari, saya
mempunyai sanad guru kepada Imam Bukhari,

bila saya berbicara fatwa Imam Nawawi, saya mempunyai sanad guru kepada Imam
Nawawi, bila saya berbicara fatwa Imam Syafii, maka saya mempunyai sanad Guru kepada
Imam Syafii.

demikianlah kita ahlussunnah waljamaah, kita tak bersanad kepada buku, kita mempunyai
sanad guru, boleh saja dibantu oleh Buku buku, namun acuan utama adalah pada guru yg
mempunyai sanad.
kasihan mereka mereka yg keluar dari ahlussunnah waljamaah karena berimamkan buku,
agama mereka sebatas buku buku, iman mereka tergantung buku, dan akidah mereka adalah
pada buku buku.

jauh berbeda dengan ahlussunnah waljamaah, kita tahu siapa Imam Nawawi, Imam Nawawi
bertawassul pada nabi saw, Imam nawawi mengagungkan Rasul saw, beliau membuat
shalawat yg dipenuhi salam pada nabi Muhammad saw,
ia memperbolehkan tabarruk dan ziarah kubur, demikianlah para ulama ahlussunnah
waljamaah.

Sabda Rasulullah saw : “Sungguh sebesar besar kejahatan muslimin pada muslimin lainnya,
adalah yg bertanya tentang hal yg tidak diharamkan atas muslimin, menjadi diharamkan atas
mereka karena ia mempermasalahkannya” (shahih Muslim hadits no.2358)

(jawaban oleh habieb munzir almusyawa)

9. bagaimana hukum Membaca yasin atau surah tertentu ?

Membaca Alquran sama halnya dengan dzikir, ia sunnah dibaca kapan saja di mana saja
dengan sedikit pembatasan, semisal haram bagi wanita haid/nifas atau orang sedang junub
(hadats besar), makruh dibaca di tempat yang sering kotor seperti WC. Selebihnya tidak ada
pembatasan waktu maupun tempat. Yasin adalah bagian dari Alquran yang tentunya hukum
membacanya sama dengan membaca Alquran.
Kaitannya dengan bacaan yasin untuk jenazah, sunnahnya adalah saat ada seseorang
menjelang skaratul maut, keluarga/handai taulan hendaknya membacakannya surah
yasin bukan saat sudah meninggal, akan tetapi apabila surah yasin dibaca saat seseorang
sudah meninggal itu juga tidak mengapa dan hukum sunnahnya mengikuti kesunnahan
umum membaca Alquran meski tidak mendapatkan sunnah khusus bacaan saat orang
sakaratul maut.
Kalau ada yang berkata membaca tahlil/yasin bid’ah karena tidak dilakukan Rasulullah maka
pernyataan tersebut terhapuskan oleh perintah berdzikir/tilawah Quran yang bersifat umum.
Artinya membaca Alquran (termasuk yasin) dan dzikir (termasuk tahlil) selamanya adalah
sunnah, kapan saja dan dimana saja kecuali ada dalil qath’i tentang pelarangannya dari
Quran atau hadits seperti larangan bagi wanita haid.
Adapun mengkhususkan yasin atau surat yang dibaca memang tidak dianjurkan dan
makruh jika memang hanya surat tertentu itu saja yang dibaca tanpa pernah membaca
surah lain dalam Alquran. Perlu digarisbawahi bahwa hukum makruh tersebut bukan
dalam bacaan yasinnya namun pada tindakan “pengkhususannya”. Sedang bacaan
yasinnya tetap sunnah sebagaimana hukum umum membaca Alquran. Karena itu
pengkhususan yang biasa dilakukan di wilayah kita bukanlah hal terlarang, apalagi hal itu
dilakukan dengan pertimbangan bahwa masyarakat yang belum mampu membaca surah lain
sebaik yasin. Tentu tetap perlu mengembangkan pembelajaran kepada masyarakat namun hal
tersebut bisa saja dilakukan dengan jalur lain semisal melalui kajian-2 tajwid dan qira’ah.

tambahan catatan kecil :

 Tahlilan adalah bersama-sama melakukan do’a bagi orang yang sudah meninggal
dunia yang dilakukan di rumah-rumah, musholla, surau atau majlis-majlis dengan
harapan semoga diterima amalnya dan diampuni dosanya oleh Allah SWT. yang
sebelumnya diucapkan beberapa kalimah thayyibah, tahmid, tasbih, tahlil dan ayat-
ayat suci Al Qur’an
 Tahlilan bukanlah bid’ah yg sesat, karena tahlil sebenarnya do’a yang bisa dilakukan
oleh semua kalangan baik secara perindividu ataupun jama’ah, tetapi karena di
Indonesia tahlilan terbiasa dilakukan secara berjama’ah, maka menjadi kebiasaan atau
adat. Seperti dalam ushul fiqhnya “Al Adatu Muhkamatun” kebiasaan bisa dijadikan
hukum.
 Tahlilan juga merupakan wahana silaturrahmi yang bisa mengeratkan tali
persaudaraan antara sesama ummat islam.
 Tahlilan juga bisa menjadi pelipur hati bagi keluarga yang sedang terkena musibah.

sedikit saran bagi yang sering menyelisih tentang tahlilan

1. selalu mengintropeksi diri, apakah sudah benar perbuatan kita sesuai dengan tuntutan
Rosulullah ataukah belum sesuai, karena tidak dibenarkan kita selalu mencari-cari
kesalahan orang lain atau golongan lain.
2. telitilah, kajialah, belajarlah lagi dan lagi, sehingga kebenaran itu menyentuh hatimu,
coba telitilah tahlilan secara adil dan menyeluruh, agar engkau menjadi paham
3. Biasakanlah lisan kita untuk selalu berdzikir dengan kalimat Tahlil, Tahmid, Tasbih
dan Takbir. karena lisan yang terbiasa digunakan untuk berdzikir dapat
mencerminkan hati yang bersih. Dan dengan harapan ketika ruh terlepas dari jasad
kita kata yang terakhir diucapkan adalah kalimat tahlil.
4. yuk podo ngaji bareng-bareng, maring para kyai, para ulama untuk memantapkan
iman dan aqidah kita,
5. jangan merasa paling benar, sehingga sering menghujat dan menyalahkan yang lain.
bahkan begitu gampangnya membid”ahkan, mencap kafir muslim lainnya,
astaqfirullah,..
6. “Jika amalan yang tidak ada dalil perintahnya disebut bid’ah, maka melarang
suatau amalan tanpa menggunakan dalil larangan juga termasuk bid’ah”. Sebab,
perintah dan larangan dalam islam telah jelas. Adapun amalan yang tidak ada perintah
ataupun larangannya, maka amalan ini termasuk mahalul ijtihad (Tempat
ijtihad).Untuk amalan yang seperti ini, boleh dikerjakan jika tidak bertentangan
dengan Al-Qur’an, Hadits dan ijma’. Maksudnya sebagaimana yang dijelaskan oleh
Abu Zahro dalam kitab Ushul Fiqh : “Amalan tersebut tidak menghalalkan apa yg
telah diharamkan atau mengharamkan apa yang telah dihalalkan.”Walhasil, untuk
melarang suatu amalan yang tidak memiliki dalil perintahnya, kita harus memiliki
dalil larangannya. Dalam kitab Ushul Fiqh terdapat kaidah: “Tidak ada dalil,bukan lah
dalil untuk melarang.”
7. islam itu cahaya, maka jadikanlah ia cahaya penerang untuk didunia dan akheratmu,
dekatilah selalu para ulama

bagaimana kawan, masih ada yang membidahkah sesat tahlilan dan yasinan maupun
maulidan… padahal banyak sekali manfaatnya…semoga Allah ilhamkan pemahaman yg
dalam bagi yang masih dangkal pemahaman ilmunya…

mari kita terus mengkaji ilmu Allah untuk mengkuatkan iman dan akidah kita,

masih kurang jelas…silahkan download ini saja.

Anda mungkin juga menyukai