Anda di halaman 1dari 3

Biografi Abuya Dimyati Banten

Mei
08 undefined
penatas

Alangkah ruginya orang Indonesia kalau tidak mengenal ulama satu ini. Orang bilang
Mbah Dim, Banten atau Abuya Dimyati bin Syaikh Muhammad Amin. Beliau adalah
tokoh kharismatik dunia kepesantrenan, penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah
dari pondok pesantren, Cidahu, Pandeglang, Banten. Beliau ulama yang sangat
konsen terhadap akhirat, bersahaja, selalu menjauhi keduniawian. Wirangi (hati-hati
dalam bicara, konsisten dalam perkataan dan perbuatan). Ahli sodakoh, puasa, makan
seperlunya, ala kadarnya seperti dicontohkan Kanjeng Nabi, humanis, penuh kasih
sesama umat manusia. Kegiatan kesehariannya hanya mulang ngaji (mengajar ilmu),
salat serta menjalankan kesunatan lainnya.
Beliau lahir sekitar tahun1925 anak pasangan dari H.Amin dan Hj.Ruqayah. Sejak
kecil Abuya Dimyathi sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya, beliau
belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya mulai dari Pesantren Cadasari,
kadupeseng Pandeglang, ke Plamunan hingga ke Pleret Cirebon. Semasa hidupnya,
Abuya Dimyathi dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai,
sehingga tak berlebihan kalau disebut sebagai tipe ulama Khas al-Khas. Masyarakat
Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten, di samping sebagai
pakunya negara Indonesia . Di balik kemasyhuran nama Abuya, beliau adalah orang
yang sederhana dan bersahaja. Kalau melihat wajah beliau terasa ada perasaan ‘adem’
dan tenteram di hati orang yang melihatnya.

Abuya Dimyati, begitu panggilan hormat masyarakat kepadanya, terlahir tahun 1925
di tanah Banten, salah satu bumi terberkahi. Tepatnya di Kabupaten Pandeglang.
Abuya Dimyathi dikenal sosok ulama yang cukup sempurna dalam menjalankan
perintah agama, beliau bukan saja mengajarkan dalam ilmu syari’ah tetapi juga
menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf, tarekat yang dianutnya tarekat
Naqsabandiyyah Qodiriyyah. Maka wajar jika dalam perilaku sehari-hari beliau penuh
tawadhu’, istiqamah, zuhud, dan ikhlas. Abuya adalah seorang qurra’ dengan lidah
yang fasih. Wiridan al-Qur’an sudah istiqamah lebih dari 40 tahun. Kalau shalat
tarawih di bulan puasa, tidak turun untuk sahur kecuali setelah mengkhatamkan al-
Qur’an dalam shalat.. Oleh karenanya, tidak salah jika kemudian kita mengategorikan
Abuya sebagai Ulama multidimensi.

Dibanding dengan ulama kebanyakan, Abuya Dimyathi ini menempuh jalan spiritual
yang unik. Beliau secara tegas menyeru: “Thariqah aing mah ngaji!” (Jalan saya
adalah ngaji). Sebab, tinggi rendahnya derajat keualamaan seseorang bisa dilihat dari
bagaimana ia memberi penghargaan terhadap ilmu. Sebagaimana yang termaktub
dalam surat al-Mujadilah ayat 11, bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan. Dipertegas lagi dalam hadis
nabi, al-Ulama’u waratsatul anbiya’, para ulama adalah pewaris para nabi. Ngaji
sebagai sarana pewarisan ilmu. Melalui ngaji, sunnah dan keteladanan nabi diajarkan.
Melalui ngaji, tradisi para sahabat dan tabi’in diwariskan. Ahmad Munir berpendapat
bahwa ilmu adalah suatu keistimewaan yang menjadikan manusia unggul atas
makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahannya.

Saking pentingnya ngaji dan belajar, satu hal yang sering disampaikan dan diingatkan
Mbah Dim adalah: “Jangan sampai ngaji ditinggalkan karena kesibukan lain atau
karena umur”. Pesan ini sering diulang-ulang, seolah-olah Mbah Dim ingin
memberikan tekanan khusus; jangan sampai ngaji ditinggal meskipun dunia runtuh
seribu kali! Apalagi demi sekedar hajatan partai. Urusan ngaji ini juga wajib ain
hukumnya bagi putra-putri Mbah Dim untuk mengikutinya. Bahkan, ngaji tidak akan
dimulai, fasal-fasal tidak akan dibuka, kecuali semua putra-putrinya hadir di dalam
majlis. Itulah sekelumit keteladanan Mbah Dimyati dan putra-putrinya, yang sejalan
dengan pesan al-Qur’an dalam surat al-Tahrim ayat 6, Qu anfusakum wa ahlikum
naran.

Dahaga akan ilmu tiada habis, satu hal yang mungkin tidak masuk akal bila seorang
yang sudah menikah dan punya putra berangkat mondok lagi, bahkan bersama
putranya. Tapi itulah Abuya Dimyati, ketulusannya dalam menimba ilmu agama dan
mensyiarkannya membawa beliau pada satu tingkat di atas khalayak biasa.

Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul
Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah
Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah
Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-
guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantany. Kata Abuya, para kiai sepuh
tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya
berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.(hal 396).

Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah
Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar
memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang ‘kitab banyak’. Dan hal ini
terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok
lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-
kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim
Banten’ dan mendapat laqob ‘Sulthon Aulia’, karena Abuya memang wira’i dan topo
dunyo. Pada tiap Pondok yang Abuya singgahi, selalu ada peningkatan santri mengaji
dan ini satu bukti tersendiri di tiap daerah yang Abuya singgahi jadi terberkahi

Namun, Kini, waliyullah itu telah pergi meninggalkan kita semua. Abuya Dimyathi
tak akan tergantikan lagi. Malam Jumat pahing, 3 Oktober 2003 M/07 Sya’ban 1424
H, sekitar pukul 03:00 wib umat Muslim, khususnya warga Nahdlatul Ulama telah
kehilangan salah seorang ulamanya, KH. Muhammad Dimyati bin KH. Muhammad
Amin Al-Bantani, di Cidahu, Cadasari, Pandeglang, Banten dalam usia 78 tahun.
Padahal, pada hari itu juga, dilangsungkan acara resepsi pernikahan putranya.
Sehingga, Banten ramai akan pengunjung yang ingin mengikuti acara resepsi
pernikahan, sementara tidak sedikit masyarakat –pelayat- yang datang ke kediaman
Abuya. Inilah merupakan kekuasaan Allah yang maha mengatur, menjalankan dua
agenda besar, “pernikahan” dan “pemakaman”.

Anda mungkin juga menyukai