Anda di halaman 1dari 3

Contoh perilaku bid'ah

1. Perayaan Bertepatan Dengan Kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Pada Bulan
Rabiul Awwal.

Merayakan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah, karena perayaan tersebut tidak ada
dasarnya dalam Kitab dan Sunnah, juga dalam perbuatan Salaf Shalih dan pada generasi-generasi pilihan
terdahulu. Perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam baru terjadi setelah abad ke empat
Hijriyah.

Imam Abu Ja’far Tajuddin berkata : “Saya tidak tahu bahwa perayaan ini mempunyai dasar dalam Kitab
dan Sunnah, dan tidak pula keterangan yang dinukil bahwa hal tersebut pernah dilakukan oleh seorang
dari para ulama yang merupakan panutan dalam beragama, yang sangat kuat dan berpegang teguh
terhadap atsar (keterangan) generasi terdahulu. Perayaan itu tiada lain adalah bid’ah yang diada-adakan
oleh orang-orang yang tidak punya kerjaan dan merupakan tempat pelampiasan nafsu yang sangat
dimanfaatkan oleh orang-orang yang hobi makan” [Risalatul Maurid fi Amalil Maulid]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Begitu pula praktek yang diada-adakan oleh
sebagian manusia, baik karena hanya meniru orang-orang nasrani sehubungan dengan kelahiran Nabi Isa
‘Alaihis Salam atau karena alasan cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menjadikan
kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sebuah perayaan. Padahal tanggal kelahiran beliau
masih menjadi ajang perselisihan.

Dan hal semacam ini belum pernah dilakukan oleh ulama salaf (terdahulu). Jika sekiranya hal tersebut
memang merupakan kebaikan yang murni atau merupakan pendapat yang kuat, tentu mereka itu lebih
berhak (pasti) melakukannya dari pada kita, sebab mereka itu lebih cinta dan lebih hormat pada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pada kita. Mereka itu lebih giat terhadap perbuatan baik.

Sebenarnya, kecintaan dan penghormatan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tercermin
dalam meniru, mentaati dan mengikuti perintah beliau, menghidupkan sunnah beliau baik lahir maupun
bathin dan menyebarkan agama yang dibawanya, serta memperjuangkannya dengan hati, tangan dan
lisan. Begitulah jalan generasi awal terdahulu, dari kaum Muhajirin, Anshar dan Tabi’in yang mengikuti
mereka dengan baik” [Iqtida ‘Ash-Shirath Al-Mustaqim 1/615]
2. Tabbaruk (Mengambil Berkah) Dari Tempat-Tempat Tertentu, Barang-Barang Peninggalan, Dan Dari
Orang-Orang Baik, Yang Hidup Ataupun Yang Sudah Meninggal.

Termasuk di antara bid’ah juga adalah tabarruk (mengharapkan berkah) dari makhluk. Dan ini
merupakan salah satu bentuk dari watsaniyah (pengabdian terhadap mahluk) dan juga dijadikan jaringan
bisnis untuk mendapatkan uang dari orang-orang awam.

Tabarruk artinya memohon berkah dan berkah artinya tetapnya dan bertambahnya kebaikan yang ada
pada sesuatu. Dan memohon tetap dan bertambahnya kebaikan tidaklah mungkin bisa diharapkan
kecuali dari yang memiliki dan mampu untuk itu dan dia adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah-lah
yang menurunkan berkah dan mengekalkannya. Adapun mahluk, dia tidak mampu menetapkan dan
mengekalkannya.

Maka, praktek tabarruk dari tempat-tempat tertentu, barang-barang peninggalan dan orang-orang baik,
baik yang hidup ataupun yang sudah meninggal tidak boleh dilakukan karena praktek ini bisa termasuk
syirik bila ada keyakinan bahwa barang-barang tersebut dapat memberikan berkah, atau termasuk media
menuju syirik, bila ada keyakinan bahwa menziarahi barang-barang tersebut, memegangnya dan
mengusapnya merupakan penyebab untuk mendapatkan berkah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Adapun tabarruk yang dilakukan para sahabat dengan rambut, ludah dan sesuatu yang terpisah/terlepas
dari tubuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disinggung terdahulu, hal tersebut
hanya khusus Rasulullah di masa hidup beliau dan saat beliau berada di antara mereka ; dengan dalil
bahwa para sahabat tidak ber-tabarruk dengan bekas kamar dan kuburan beliau setelah wafat.

Mereka juga tidak pergi ke tempat-tempat shalat atau tempat-tempat duduk untuk ber-tabarruk, apalagi
kuburan-kuburan para wali. Mereka juga tidak ber-tabarruk dari orang-orang shalih seperti Abu Bakar
Radhiyallahu ‘anhu, Umar Radhiyallahu ‘anhu dan yang lainnya dari para sahabat yang mulia. Baik
semasa hidup ataupun setelah meninggal. Mereka tidak pergi ke Gua Hira untuk shalat dan berdo’a di
situ, dan tidak pula ke tempat-tempat lainnya, seperti gunung-gunung yang katanya disana terdapat
kuburan nabi-nabi dan lain sebagainya, tidak pula ke tempat yang dibangun di atas peninggalan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Selain itu, tidak ada seorangpun dari ulama salaf yang mengusap-ngusap dan mencium tempat-tempat
shalat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di Madinah ataupun di Makkah. Apabila tempat
yang pernah di injak kaki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yan mulia dan juga dipakai untuk shalat,
tidak ada syari’at yang mengajarkan umat beliau untuk mengusap-ngusap atau menciuminya, maka
bagaimana bisa dijadikan hujjah untuk tabarruk, dengan mengatakan bahwa (si fulan yang wali) –bukan
lagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah shalat atau tidur disana ?! Para ulama telah
mengetahui secara pasti berdasarkan dalil-dalil dari syariat Islam, bahwa menciumi dan mengusap-
ngusap sesuatu untuk ber-tabarruk tidaklah termasuk syariat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”
[Lihat Iqtidha’ Al-Shirath Al-Mustaqim 2/759-802]

Anda mungkin juga menyukai