Anda di halaman 1dari 28

TUGAS MATA KULIAH ULUMUL QUR’AN

SEJARAH KUTUBUT TIS’AH


Dosen Pengampu : Dr. Deden Suparman S.Pd, M.Ag

Disusun Oleh :
Keniwati Setiawan 1227040035

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
TAHUN 2023
BAB I
PENDAHULUAN
Islam pada masa Nabi Muhammad Saw masih hidup apabila terdapat kekurangan
paham terhadap suatu hukum, para sahabat langsung menanyakan kepada Nabi
Muhammad Saw, sehingga bisa cepat terselesaikan. Kemudian sepeninggalan Nabi
Muhammad Saw para sahabat menggunakan pengalaman yang diperoleh dari perkataan,
perbuatan dan kebiasaan beliau ketika masih hidup.
Sumber ajaran Islam yang utama adalah al-Qur’an dan hadits atau al-Sunnah. Al-
Qur’an merupakan sumber dasar syari’at Islam yang tidak ada keraguannya, karena al-
Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, dan
menjadi sumber utama hukum dalam Islam adapun sumber hukum kedua adalah Al-
Sunnah. Dalam usaha penulisan al-Qur’an Rasulullah telah langsung membimbing dan
menuntunnya. Sehingga sejak zaman Rasulullah sampai terbentuknya mushaf
sebagaimana yang kita dapat saksikan saat ini, memerlukan waktu yang relatif pendek,
yaitu sekitar 15 tahun saja. Sedangkan untuk menghimpun dan penulisannya mengalami
masa yang cukup panjang, yaitu tiga abad lamanya.
Tetapi untuk hadits tidak ada perintah dari nabi Muhammad untuk
membukukannya. Pada abad ke 2 Hijrah barulah hadits nabi dibukukan yaitu pada masa
Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz dengan dukungan penguasa saat itu. Sehingga hal
tersebut menjadikan hadits berkembang sedemikian pesatnya dan memunculkan
beragam kitab hadits. Kegiatan pembukuan kitab hadits di dunia Islam sudah
berlangsung 12 abad lamanya. Berikut merupakan biografi tentang tokoh al kutub al
tis’ah
BAB II
PEMBAHASAN

1. Sejarah Imam Bukhari


Imam Bukhari (semoga Allah merahmatinya) lahir di Bukhara, Uzbekistan,
Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin
Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju'fiy Al Bukhari, namun beliau lebih
dikenal dengan nama Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal
13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi yang
masih beragama Zoroaster. Tapi orangtuanya, Mughoerah, telah memeluk Islam di
bawah asuhan Al-Yaman el-Ja’fiy. Sebenarnya masa kecil Imam Bukhari penuh
dengan keprihatinan. Di samping menjadi anak yatim, juga tidak dapat melihat
karena buta (tidak lama setelah lahir, beliau kehilangan penglihatannya tersebut).
Ibunya senantiasa berusaha dan berdo'a untuk kesembuhan beliau. Alhamdulillah,
dengan izin dan karunia Allah, menjelang usia 10 tahun matanya sembuh secara total.
Imam Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur diantara para ahli hadits
sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud,
Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih dan hadits,
hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan
julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu
Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya.
Tempat beliau lahir kini termasuk wilayah Rusia, yang waktu itu memang
menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan Islam sesudah Madinah, Damaskus dan
Bagdad. Daerah itu pula yang telah melahirkan filosof-filosof besar seperti al-Farabi
dan Ibnu Sina. Bahkan ulama-ulama besar seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-
Bairuni dan lain-lain, juga dilahirkan di Asia Tengah. Sekalipun daerah tersebut telah
jatuh di bawah kekuasaan Uni Sovyet (Rusia), namun menurut Alexandre
Benningsen dan Chantal Lemercier Quelquejay dalam bukunya "Islam in the Sivyet
Union" (New York, 1967), pemeluk Islamnya masih berjumlah 30 milliun. Jadi
merupakan daerah yang pemeluk Islam-nya nomor lima besarnya di dunia setelah
Indonesia, Pakistan, India dan Cina.
Bukhari dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama. Dalam kitab As-
Siqat, Ibnu Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal sebagai orang yang wara' dalam
arti berhati-hati terhadap hal-hal yang hukumnya bersifat syubhat (ragu-ragu),
terlebih lebih terhadap hal-hal yang sifatnya haram. Ayahnya adalah seorang ulama
bermadzhab Maliki dan merupakan mudir dari Imam Malik, seorang ulama besar dan
ahli fikih. Ayahnya wafat ketika Bukhari masih kecil.
Perhatiannya kepada ilmu hadits yang sulit dan rumit itu sudah tumbuh sejak
usia 10 tahun, hingga dalam usia 16 tahun beliau sudah hafal dan menguasai buku-
buku seperti "al-Mubarak" dan "al-Waki". Bukhari berguru kepada Syekh Ad-
Dakhili, ulama ahli hadits yang masyhur di Bukhara. Pada usia 16 tahun bersama
keluarganya, ia mengunjungi kota suci Mekkah dan Madinah, dimana di kedua kota
suci itu beliau mengikuti kuliah para guru-guru besar ahli hadits. Pada usia 18 tahun
beliau menerbitkan kitab pertamanya "Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien"
(Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien).
Bersama gurunya Syekh Ishaq, beliau menghimpun hadits-hadits shahih
dalam satu kitab, dimana dari satu juta hadits yang diriwayatkan oleh 80.000 perawi
disaring lagi menjadi 7275 hadits. Diantara guru-guru beliau dalam memperoleh
hadits dan ilmu hadits antara lain adalah Ali bin Al Madini, Ahmad bin Hanbali,
Yahya bin Ma'in, Muhammad bin Yusuf Al Faryabi, Maki bin Ibrahim Al Bakhi,
Muhammad bin Yusuf al Baykandi dan Ibnu Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits
yang haditsnya dikutip dalam kitab Shahih-nya.
Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari.
Isinya, meminta dirinya agar menetap di negeri itu (Samarkand). Ia pun pergi
memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah
desa kecil terletak dua farsakh (sekitar 10 Km) sebelum Samarkand, ia singgah
terlebih dahulu untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun disana beliau jatuh
sakit selama beberapa hari. Dan Akhirnya meninggal pada tanggal 31 Agustus 870
M (256 H) pada malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Beliau
dimakamkan selepas Shalat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri. Sebelum meninggal
dunia, ia berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai
kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan
baik oleh masyarakat setempat. Beliau meninggal tanpa meninggalkan seorang
anakpun.
Karyanya yang pertama berjudul "Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien"
(Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien). Kitab ini ditulisnya
ketika masih berusia 18 tahun. Ketika menginjak usia 22 tahun, Imam Bukhari
menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci bersama-sama dengan ibu dan kakaknya yang
bernama Ahmad. Di sanalah beliau menulis kitab "At-Tarikh" (sejarah) yang terkenal
itu. Beliau pernah berkata, "Saya menulis buku "At-Tarikh" di atas makam Nabi
Muhammad SAW di waktu malam bulan purnama".
Karya Imam Bukhari lainnya antara lain adalah kitab Al-Jami' ash Shahih,
Al-Adab al Mufrad, At Tharikh as Shaghir, At Tarikh Al Awsat, At Tarikh al Kabir,
At Tafsir Al Kabir, Al Musnad al Kabir, Kitab al 'Ilal, Raf'ul Yadain fis Salah, Birrul
Walidain, Kitab Ad Du'afa, Asami As Sahabah dan Al Hibah. Diantara semua
karyanya tersebut, yang paling monumental adalah kitab Al-Jami' as-Shahih yang
lebih dikenal dengan nama Shahih Bukhari.
Dalam sebuah riwayat diceritakan, Imam Bukhari berkata: "Aku bermimpi
melihat Rasulullah saw., seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil memegang
kipas yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu
kepada sebagian ahli ta'bir, ia menjelaskan bahwa aku akan menghancurkan dan
mengikis habis kebohongan dari hadits-hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara
lain, yang mendorongku untuk melahirkan kitab Al-Jami' As-Sahih."
Dalam menghimpun hadits-hadits shahih dalam kitabnya tersebut, Imam
Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang
menyebabkan keshahihan hadits-haditsnya dapat dipertanggungjawabkan. Ia
berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para
perawi, serta memperoleh secara pasti kesahihan hadits-hadits yang diriwayatkannya.
Imam Bukhari senantiasa membandingkan hadits-hadits yang
diriwayatkan, satu dengan lainnya, menyaringnya dan memilih mana yang
menurutnya paling shahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi
hadits-hadits tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya: "Aku susun kitab Al Jami'
ini yang dipilih dari 600.000 hadits selama 16 tahun."
Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya, diantaranya adalah Syekh
Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim bin Al
Hajjaj (pengarang kitab Shahih Muslim). Imam Muslim menceritakan : "Ketika
Muhammad bin Ismail (Imam Bukhari) datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat
seorang kepala daerah, para ulama dan penduduk Naisabur yang memberikan
sambutan seperti apa yang mereka berikan kepadanya." Mereka menyambut
kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (100 km), sampai-sampai
Muhammad bin Yahya Az Zihli (guru Imam Bukhari) berkata : "Barang siapa hendak
menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku
sendiri akan ikut menyambutnya."

2. Sejarah Imam Muslim


Imam Muslim dilahirkan di Naisabur pada tahun 202 H atau 817 M. Imam
Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin
Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Naisabur, yang sekarang ini termasuk wilayah
Rusia, dalam sejarah Islam kala itu termasuk dalam sebutan Maa Wara'a an Nahr,
artinya daerah-daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia
Tengah. Pada masa Dinasti Samanid, Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan
perdagangan selama lebih kurang 150 tahun. Seperti halnya Baghdad di abad
pertengahan, Naisabur, juga Bukhara (kota kelahiran Imam Bukhari) sebagai salah
satu kota ilmu dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah. Di sini pula bermukim
banyak ulama besar.
Perhatian dan minat Imam Muslim terhadap ilmu hadits memang luar biasa.
Sejak usia dini, beliau telah berkonsentrasi mempelajari hadits. Pada tahun 218 H,
beliau mulai belajar hadits, ketika usianya kurang dari lima belas tahun. Beruntung,
beliau dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. Ketika
berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada seorang ahli
hadits, yaitu Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, beliau mulai menghafal hadits
Nabi SAW, dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah
menyebutkan periwayatan hadits.
Selain kepada Ad Dakhili, Imam Muslim pun tak segan-segan bertanya
kepada banyak ulama di berbagai tempat dan negara. Berpetualang menjadi aktivitas
rutin bagi dirinya untuk mencari silsilah dan urutan yang benar sebuah hadits. Beliau,
misalnya pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam
lawatannya itu, Imam Muslim banyak bertemu dan mengunjungi ulama-ulama
kenamaan untuk berguru hadits kepada mereka. Di Khurasan, beliau berguru kepada
Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray beliau berguru kepada Muhammad
bin Mahran dan Abu 'Ansan. Di Irak beliau belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal
dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz beliau belajar kepada Sa'id bin Mansur dan
Abu Mas 'Abuzar; di Mesir beliau berguru kepada 'Amr bin Sawad dan Harmalah bin
Yahya, dan ulama ahli hadits lainnya.
Bagi Imam Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah beliau
berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits.
Kunjungannya yang terakhir beliau lakukan pada tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari
datang ke Naisabur, Imam Muslim sering mendatanginya untuk bertukar pikiran
sekaligus berguru padanya. Saat itu, Imam Bukhari yang memang lebih senior, lebih
menguasai ilmu hadits ketimbang dirinya.
Ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az Zihli, beliau
bergabung kepada Bukhari. Sayang, hal ini kemudian menjadi sebab terputusnya
hubungan dirinya dengan Imam Az Zihli. Yang lebih menyedihkan, hubungan tak
baik itu merembet ke masalah ilmu, yakni dalam hal penghimpunan dan periwayatan
hadits-hadits Nabi SAW.
Imam Muslim dalam kitab shahihnya maupun kitab-kitab lainnya tidak
memasukkan hadits-hadits yang diterima dari Az Zihli, padahal beliau adalah
gurunya. Hal serupa juga beliau lakukan terhadap Bukhari. Tampaknya bagi Imam
Muslim tak ada pilihan lain kecuali tidak memasukkan ke dalam Kitab Shahihnya
hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu. Kendatipun demikian, dirinya
tetap mengakui mereka sebagai gurunya.
Imam Muslim yang dikenal sangat tawadhu' dan wara' dalam ilmu itu telah
meriwayatkan puluhan ribu hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar
hadits pada Universitas Damaskus, Syria, hadits yang tercantum dalam karya besar
Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan. Bila
dihitung dengan pengulangan, katanya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sementara
menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya
Muslim tersebut berjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan
pengulangan. Jumlah hadits yang beliau tulis dalam Shahih Muslim itu diambil dan
disaring dari sekitar 300.000 hadits yang beliau ketahui. Untuk menyaring hadits-
hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan waktu 15 tahun.
Dalam khazanah ilmu-ilmu Islam, khususnya dalam bidang ilmu hadits,
nama Imam Muslim begitu monumental, setara dengan gurunya, Abu Abdillah
Muhammad bin Ismail al-Bukhary al-Ju’fy atau lebih dikenal dengan nama Imam
Bukhari. Sejarah Islam sangat berhutang jasa kepadanya, karena prestasinya di
bidang ilmu hadits, serta karya ilmiahnya yang luar biasa sebagai rujukan ajaran
Islam, setelah al-Qur’an. Dua kitab hadits shahih karya Bukhari dan Muslim sangat
berperan dalam standarisasi bagi akurasi akidah, syariah dan tasawwuf dalam dunia
Islam.
Melalui karyanya yang sangat berharga, al-Musnad ash-Shahih, atau al-
Jami’ ash-Shahih, selain menempati urutan kedua setelah Shahih Bukhari, kitab
tersebut memenuhi khazanah pustaka dunia Islam, dan di Indonesia, khususnya di
pesantren-pesantren menjadi kurikulum wajib bagi para santri dan mahasiswa.
Pengembaraan (rihlah) dalam pencarian hadits merupakan kekuatan
tersendiri, dan amat penting bagi perkembangan intelektualnya. Dalam
pengembaraan ini (tahun 220 H), Imam Muslim bertemu dengan guru-gurunya,
dimana pertama kali bertemu dengan Qa’nabi dan yang lainnya, ketika menuju kota
Makkah dalam rangka perjalanan haji. Perjalanan intelektual lebih serius, barangkali
dilakukan tahun 230 H. Dari satu wilayah ke wilayah lainnya, misalnya menuju ke
Irak, Syria, Hijaz dan Mesir.
Waktu yang cukup lama dihabiskan bersama gurunya al-Bukhari. Kepada
guru besarnya ini, Imam Muslim menaruh hormat yang luar biasa. "Biarkan aku
mencium kakimu, hai Imam Muhadditsin dan dokter hadits," pintanya, ketika di
sebuah pertemuan antara Bukhari dan Muslim.
Disamping itu, Imam Muslim memang dikenal sebagai tokoh yang sangat
ramah, sebagaimana al-Bukhari yang memiliki kehalusan budi bahasa, Imam Muslim
juga memiliki reputasi, yang kemudian populer namanya — sebagaimana disebut
oleh Adz-Dzahabi — dengan sebutan muhsin dari Naisabur.
Maslamah bin Qasim menegaskan, "Muslim adalah tsaqqat, agung
derajatnya dan merupakan salah seorang pemuka (Imam)." Senada pula, ungkapan
ahli hadits dan fuqaha’ besar, Imam An-Nawawi, Para ulama sepakat atas
kebesarannya, keimanan, ketinggian martabat, kecerdasan dan kepeloporannya
dalam dunia hadits.
Imam Muslim berhasil menghimpun karya-karyanya, antara lain seperti:
a. Al-Asma’ wal-Kuna,
b. Irfadus Syamiyyin,
c. Al-Arqaam,
d. Al-Intifa bi Juludis Siba’,
e. Auhamul Muhadditsin,
f. At-Tarikh,
g. At-Tamyiz,
h. Al-Jami’,
i. Hadits Amr bin Syu’aib,
j. Rijalul ‘Urwah,
k. Sawalatuh Ahmad bin Hanbal,
l. Thabaqat,
m. Al-I’lal,
n. Al-Mukhadhramin,
o. Al-Musnad al-Kabir,
p. Masyayikh ats-Tsawri,
q. Masyayikh Syu’bah,
r. Masyayikh Malik,
s. Al-Wuhdan,
t. As-Shahih al-Masnad.
Kitab-kitab nomor 6, 20, dan 21 telah dicetak, sementara nomor 1, 11, dan
13 masih dalam bentuk manuskrip. Sedangkan karyanya yang monumental adalah
Shahih dari judul singkatnya, yang sebenarnya berjudul, Al-Musnad as-Shahih, al-
Mukhtashar minas Sunan, bin-Naqli al-’Adl ‘anil ‘Adl ‘an Rasulillah.
3. Sejarah Imam Nasa’i
Nama lengkap Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu'aib bin Ali bin Sinan bin
Bahr al-Khurasani. Dia merupakan ulama hadis pengikut mazhab Syafi'i. Sering
dipanggil dengan nama Abu Abdurrahman. Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin
Bahr atau yang kerap disapa dengan panggilan Imam an-Nasa`i lahir pada tahun pada
tahun 215 H, di Khurasan.
Imam Nasa`i mempunyai lawatan ilmiah cukup luas, Imam an-Nasa`i
berkeliling ke negeri-negeri Islam, baik di timur maupun di barat, sehingga Imam an-
Nasa`i dapat mendengar dari banyak orang yang mendengar hadits dari para hafizh
dan syaikh. Di antara negeri yang Imam an-Nasa`i kunjungi adalah sebagai berikut;
Khurasan, Iraq; Baghdad, Kufah dan Bashrah, Al Jazirah; yaitu Haran, Maushil dan
sekitarnya, Syam, Perbatasan; yaitu perbatasan wilayah negeri islam dengan
kekuasaan Ramawi, Hijaz, Mesir.
Setahun menjelang wafatnya, Imam an-Nasa`i pindah dari Mesir ke
Damsyik. Dan tampaknya tidak ada konsensus ulama tentang tempat meninggal
Imam an-Nasa`i. Al-Daruqutni mengatakan, Imam an-Nasa`i di Makkah dan
dikebumikan di antara Shafa dan Marwah. Pendapat yang senada dikemukakan oleh
Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-’Uqbi al-Mishri.
Sementara ulama yang lain, seperti Imam al-Dzahabi, menolak pendapat
tersebut. Ia mengatakan, Imam al-Nasa’i meninggal di Ramlah, suatu daerah di
Palestina. Pendapat ini didukung oleh Ibn Yunus, Abu Ja’far al-Thahawi (murid al-
Nasa’i) dan Abu Bakar al-Naqatah. Menurut pandangan terakhir ini, Imam al-Nasa’i
meninggal pada tahun 303 H dan dikebumikan di Bait al-Maqdis, Palestina.
Pada saat itu Imam an-Nasa`i berumur 15 tahun. Beliau tinggal di samping
Qutaibah di negerinya Baghlan selama setahun dua bulan, sehingga Imam an-Nasa`i
dapat menimba ilmu darinya begitu banyak dan dapat meriwayatkan hadits-
haditsnya.
Imam Nasa`i mempunyai hafalan dan kepahaman yang jarang dimiliki oleh
orang-orang pada zamannya, sebagaimana Imam an-Nasa`i memiliki kejelian dan
keteliatian yang sangat mendalam. Imam an-Nasa`i dapat meriwayatkan hadits-
hadits dari ulama-ulama besar, berjumpa dengan para imam huffazh dan yang
lainnya, sehingga Imam an-Nasa`i dapat menghafal banyak hadits,
mengumpulkannya dan menuliskannya, sampai akhirnya Imam an-Nasa`i
memperoleh derajat yang tinggi dalam disiplin ilmu ini.
Beliau telah menulis hadits-hadits dla’if, sebagaimana Imam an-Nasa`i pun
telah menulis hadits-hadits shahih, padahal pekerjaan ini hanya di lakukan oleh ulama
pengkritik hadits, tetapi imam Nasa`i mampu untuk melakukan pekerjaan ini, bahkan
Imam an-Nasa`i memiliki kekuatan kritik yang detail dan akurat, sebagaimana yang
digambarkan oleh al Hafizh Abu Thalib Ahmad bin Sazhr; ‘ siapa yang dapat
bersabar sebagaimana kesabaran An Nasa`i? dia memiliki hadits Ibnu Lahi’ah
dengan terperinci – yaitu dari Qutaibah dari Ibnu Lahi’ah-, maka dia tidak
meriwayatkan hadits darinya.’ Maksudnya karena kondisi Ibnu Lahi’ah yang dha’if.
Dengan ini menunjukkan, bahwa tendensi Imam an-Nasa`i bukan hanya
memperbanyak riwayat hadits semata, akan tetapi Imam an-Nasa`i berkeinginan
untuk memberikan nasehat dan menseterilkan syarea’at (dari bid’ah dan hal-hal yang
diada-adakan).
Imam Nasa`i selalu berhati-hati dalam mendengar hadits dan selalu selektif
dalam meriwayatkannya. Maka ketika Imam an-Nasa`i mendengar dari Al Harits bin
Miskin, dan banyak meriwayatkan darinya, akan tetapi Imam an-Nasa`i tidak
mengatakan; ‘telah menceritakan kepada kami,’ atau ‘telah mengabarkan kepada
kami,’ secara serampangan, akan tetapi dia selalu berkata; ‘dengan cara membacakan
kepadanya dan aku mendengar.’
Para ulama menyebutkan, bahwa faktor imam Nasa`i melakukan hal
tersebut karena terdapat kerenggangan antara imam Nasa`i dengan Al Harits, dan
tidak memungkinkan baginya untuk menghadiri majlis Al Harits, kecuali Imam an-
Nasa`i mendengar dari belakang pintu atau lokasi yang memungkinkan baginya
untuk mendengar bacaan qari` dan Imam an-Nasa`i tidak dapat melihatnya. Para
ulama memandang bahwa kitab hadits Imam an-Nasa`i “Sunan an-Nasa`i” sebagai
kitab kelima dari Kutubussittah setelah Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan
Abu Dawud dan Jami’ at-Tirmidzi.
Metode yang digunakan dalam penyusunan kitab adalah dengan
menggunakan metode sunan. Hal ini terlihat jelas dari penamaan kitabnya, yaitu
Sunan An-Nasa’i. Kata sunan merupakan bentuk jamak dari sunnah yang
pengertiannya sama dengan hadist.
Sementara yang dimaksud dengan metode sunan disini adalah metode
penyusunan kitab hadist berdasarkan klasifikasi hukum Islam (abwab al-fiqhiyah)
dan hanya mencantumkan hadist-hadist yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW
saja.
Apabila terdapat hadist selain dari Nabi, maka jumlahnya relatif sangat
sedikit. Berbeda dengan kitab hadist Al-Muwatha’ dan Mushannif yang banyak
memuat hadist-hadist mauquf dan maqtu’, walaupun metode penyusunannya sama
dengan Sunan An-Nasa’i.
Selain kitab Sunan An-Nasa’i masih banyak kitab hadist sunan yang
populer. Antara lain kitab Sunan Abu Dawud Al-Sijistani (w. 275 H) dan Sunan Ibnu
Majah Al-Qazwini (w. 275 H).
Berdasarkan penjelasan diatas dapat ditegaskan bahwa kitab Sunan An-
Nasa’i (Kitab Mujtaba) disusun dengan metode yang sangat unik dengan memadukan
antara fiqh dengan kajian sanad.
Hadist-hadistnya disusun berdasarkan bab-bab fiqh sebagaimana yang telah
dijelaskan diatas dan untuk setiap bab diberi judul yang kadang-kadang mencapai
keunikan tersendiri. Ia mengumpulkan sanad-sanad suatu hadist di suatu tempat.
Dari sistematika yang dipaparkan di atas, ada beberapa catatan dan komentar
yang dapat diberikan mengenai susunan sistematika kitab al-Sunan al-Nasa’i di atas
yaitu:
Dari kitab (bab) pertama sampai dengan ke 21, membahas tentang masalah
thaharah dan salat. Jumlah kitab (bab) yang terbanyak adalah mengenai shalat. Kitab
(bab) puasa didahulukan daripada zakat. Kitab (bab) qism al-fai’ (pembagian
rampasan perang) diletakkan jauh dari kitab jihad. Kitab al-khali juga diletakkan
berjauhan dari kitab jihad. Melakukan pemisahan-pemisahan di antara kitab-kitab
(bab-bab) al-ahbass (wakaf), wasiat-wasiat, alnahl (pemberian kepada anak), al-
hibah (pemberian), al-ruqbaa. Sedangkan kitab atau pembahasan mengenai fara’id
tidak ada. Melakukan pemisahan-pemisahan antara kitab al-asyribah (minuman), al-
said (perburuan), al-zaba’ih (sembelihan hewan qurban), al-dahaya (kurban Idul
Adha). Kitab Iman diletakkan di bagian akhir. Yang tidak termasuk hukum hanyalah
kitab Iman dan kitab al-‘isti’azah.
Kitab-kitab Hasil karya Imam an-Nasa`i di antaranya adalah;
a. As Sunan Ash Shughra
b. As Sunan Al Kubra
c. Al Kuna
d. Khasha`isu ‘Ali
e. ‘Amalu Al Yaum wa Al Lailah
f. At Tafsir
g. Adl Dlu’afa wa al Matrukin
h. Tasmiyatu Fuqaha`i Al Amshar
i. Tasmiyatu man lam yarwi ‘anhu ghaira rajulin wahid
j. Dzikru man haddatsa ‘anhu Ibnu Abi Arubah
k. Musnad ‘Ali bin Abi Thalib
l. Musnad Hadits Malik
m. Asma`u ar ruwah wa at tamyiz bainahum
n. Al Ikhwah
o. Al Ighrab
p. Musnad Manshur bin Zadzan
q. Al Jarhu wa ta’dil

4. Sejarah Imam Abu Dawud


Nama lengkap Imām Abū Dāwud adalah Abū Dāwud Sulaimān bin al-
Asy’as bin Ishāq al-Azdy al-Sijistāniy. Ia dilahirkan pada 202 H di Sijistani. Suatu
kota di Basrah. Beliau lahir Bertepatan masa dinasti Abasiyah yang dijabat oleh
khalifah alMa‟mun. Azdiy adalah sebuah suku besar di Yaman yang merupakan
bakal tunas imigrasi kekota Yasrib (Madinah) dan merupakan inti kelompok al-
Anshar (penerima) di Madinah. Sedangkan kata al-Sijistani memberikan tanda bahwa
beliau berasal dari daerah tersebut yaitu daerah terkenal di India bagian selatan, akan
tetapi ada yang berpendapat (Ibn al-Subki dan Ibn Hallikan) ia merupakan nama
daerah di Yaman dan ada yang berpendapat bahwa Sijistani adalah area yang terletak
antara Iran dan Afganistan (Kabul). Sebagai ulama Mutaqaddimin yang produktif,
beliau selalu memanfaatkan waktunya untuk menuntut ilmu dan beribadah. Namun
sangat disayangkan, informasi kehidupan Abū Dāwud di masa kecil sangat sedikit.
Sedangkan masa dewasanya banyak riwayat yang mengatakan bahwa beliau
termasuk ulama ḥadīts yang terkenal.
Imām Abū Dāwud terlahir di tengah keluarga yang agamis. Mengawali
intelektualitasnya, ia mempelajari al-Qur’an dan literatur (bahasa) Arab serta
sejumlah materi lainnya sebelum mempelajari ḥadīts, sebagaimana tradisi
masyarakat saat itu.
Disamping itu Imām Abū Dāwud juga diperkenalkan kepada ḥadīts Nabi,
sehingga ia pun tertarik untuk mengaji dan mendalaminya, kecendrungannya untuk
menelaah dan mengaji hadis begitu menggelora. Berbagai ilmu ḥadīts pun dikuasai
dengan baik. Ia hafal banyak hadis dan juga rajin megoleksinya. hampir semua guru
besar hadis dinegrinya ia datangi. Ia mendengar langsung penyampaian hadis dari
mereka, tidak jarang ia membacakan sebuah hadis dibawah arah mereka. Disamping
itu, masih banyak lagi tata cara mendapatkan hadis yang ia lakukan kepada para
gurunya. Masa perkenalan dan pendalaman terhadap hadis di negerinya terhitung
cukup lama. Mulai balig sampai berusia 19 tahun. Hingga usia tersebut, ia hanya
belajar kepada para guru hadits di negerinya. Baru ketika berusia kurang lebih 20
tahun, ia berkelana ke Bagdad.
Beliau memulai perjalanannya ke Baghdad (Iraq) dan menemui kematian
Imam Affan bin Muslim, sebagaimana yang beliau katakan: "Aku menyaksikan
jenazahnya dan menshalatkannya" (Tarikh Al Baghdady). Walaupun sebelumnya
Beliau telah pergi ke negeri-negeri tetangga Sajistaan, seperti Khurasan, Baghlan,
Harran, Rai dan Naisabur.
Setelah beliau masuk kota Baghdad, beliau diminta oleh Amir Abu Ahmad
Al Muwaffaq untuk tinggal dan menetap di Bashrah, dan beliau menerimanya, akan
tetapi hal itu tidak membuat beliau berhenti dalam mencari hadits, bahkan pada tahun
221 H beliau datang ke Kuffah dan mengambil hadits dari Al Hafidz Al Hasan bin
Rabi' Al Bajaly dan Al Hafidz Ahmad bin Abdillah bin Yunus Al Yarbu’iy (mereka
berdua termasuk guru-gurunya Imam Muslim).
Sebelumnya beliau berkelana ke Makkah dan meriwayatkan hadits dari
Abdullah bin Maslamah Al Qa'naby (Wafat tahun 221 H), demikian juga ke
Damaskus (ibu kota Suria sekarang) dan mengambil hadits dari Ishaq bin Ibrohim Al
Faradisy dan Hisyam bin Ammaar, lalu pada tahun 224 H pergi ke Himshi dan
mengambil hadits dari Imam Hayawah bin Syuraih Al Himshy, dan mengambil
hadits dari Abu Ja'far An Nafiry di Harran juga pergi ke Halab dan mengambil hadits
dari Abu Taubah Rabi' bin Nafi' Al Halab, lalu berkelana ke Mesir dan mengambil
hadits dari Ahmad bin Shaleh Ath Thabary, kemudian beliau tidak berhenti mencari
ilmu di negeri-negeri tersebut bahkan sering sekali bepergian ke Baghdad untuk
menemui Imam Ahmad bin Hambal disana dan menerima serta menimba ilmu
darinya. Walaupun demikian beliaupun mendengar dan menerima ilmu dari
ulamaulama Bashroh, seperti: Abu Salamah At Tabudzaky, Abul Walid Ath-
Thayalisy dan yang lain-lainnya. Karena itulah beliau menjadi seorang imam ahli
ḥadīts yang terkenal banyak berkelana dalam mencari ilmu.
Setelah dewasa, beliau melakukan rihlah dengan intensif untuk mempelajari
ḥadīts. Ia melakukan perjalanan ke Hijaz, Syam, Irak, Jazirah Arab dan Khurasan
untuk bertemu ulama-ulama Hadits. Pengembaraanya yang sangat panjang dan
melelahkan ini ternyata membuahkan hasil yang sangat luar biasa. Melalui rihlah
keilmuan inilah Abū Dāwud mendapatkan hadis yang sangat banyak untuk dijadikan
referensi dalam penyusunan kitab sunannya.
Pola hidup sederhana tercermin dalam kehidupannya. Hal ini terlihat dari
cara berpakaiannya, yaitu salah satu lengan bajunya lebar dan satunya lagi sempit.
Menurutnya, lengan yang ini (lebar) untuk membawa kitab sedang yang satunya tidak
diperlukan, kalau lebar berarti pemborosan. Maka tidak heran jika banyak ulama
yang semasanya atau sesudahnya memberikan gelar Zaid (mampu meninggalkan hal-
hal yang bersifat duniawi) dan Wara’ (teguh atau tegar dalam menyikapi kehidupan).
Imām Abū Dāwud berhasil meraih reputasi tinggi dalam hidupnya di
Basrah, setelah Basrah mengalami kegersangan ilmu pasca serbuan Zarji pada tahun
257 H. Gubernur Basrah pada waktu itu mengunjungi Imām Abū Dāwud di Baghdad
untuk meminta Imām Abū Dāwud pindah ke Basrah. Diriwayatkan oleh al-Kahttabi
dari Abdillāh bin Muḥammad al-Miski dari Abū Bakar bin Jabir (pembantu Abū
Dāwud), dia berkata: “Bahwa Amir Abū Aḥmad al-Muffaq minta untuk bertemu
Imām Abū Dāwud, lalu Imām Abū Dāwud bertanya: “Apa yang mendorong Amir ke
sini?”, Amir menjawab: “Hendaknya anda mengajarkan Sunan kepada anakanakmu”.
Yang kedua tanya Imām Abū Dāwud, Amir menjawab: “Hendaknya anda membuat
majlis tersendiri untuk mengajarkan ḥadīts kepada keluarga khalifah, sebab mereka
enggan duduk bersama orang umum”. Imām Abū Dāwud menjawab: “Permintaan
kedua tidak bisa aku kabulkan, sebab derajat manusia itu baik pejabat terhormat
maupun rakyat jelata, dalam menuntut ilmu dipandang sama”. Jabir berkata: “Sejak
itulah putera-putera khalifah menghadiri majlis ta‟lim, duduk bersama orang umum
dan diberi tirai pemisah”. Atas permintaan Gubernur Abū Aḥmad tersebut, maka
Imām Abū Dāwud pindah ke Basrah dan menetap di sana hingga wafat. Pada tahun
275 H Imām Abū Dāwud al-Sijistāniy menghembuskan nafas terakhirnya dalam usia
73 tahun atau tepatnya pada tanggal 16 syawal 275 H di Basrah. Dikuburkan di
samping kuburan Imām Sufyan at-Tsauri.
Selain itu, Imām Abū Dāwud juga dikenal sebagai seorang yang jujur, taqwa
dan adil, hal tersebut diakui oleh banyak ulama. Selain sebagai periwayat hadits,
pengumpul dan penyusun hadits, Imām Abū Dāwud juga dikenal sebagai ahli hukum
dan sekaligus kritikus hadits yang baik, sehingga beliau dijuluki sebagai al-Hifz at-
Tamm al-‘Ilm al-Wafir dan juga al-Fahm al-Tsaqib fi al-Ḥadits. Oleh karenanya,
banyak ulama yang memberikan pujian dan penghargaan kepada beliu, di antaranya
dari guru beliau sendiri, yaitu Imām Ahmad bin Hanbal
Adapun karya yang dihasilkan oleh Imām Abū Dāwud adalah sebagai
berikut:
a. Al-Marāsil, kitab ini merupakan kumpulan ḥadīts-ḥadīts mursal
(gugur perawinya), yang disusun secara tematik, adapun jumlah
haditsnya adalah 6000 ḥadīts.
b. Masa‟il al-Imam Aḥmad
c. Al-Naskh wa al-Mansukh
d. Risalah fi Wasf Kitab Sunan
e. Al-Zuhd
f. Ijabat al-Salawat al-Ajjuri.
g. As‟illah Aḥmad bin Hanbal
h. Tasmiyah al-Akhwan
i. Qaul Adar
j. Al-Ba‟as wa Al-Nusyur
k. Al-Masa‟il allati Halaf Alaihi Al-Imam Aḥmad
l. Dala‟il Al-Ansar
m. Fadha‟il Al-Ansar
n. Musnad Malik
o. Al-Du’a
p. Ibtida’ Al-Waḥyi
q. Al-Tafarrud fi Sunan
r. Akhbar Al-Khawarij
s. A’lam Al-Nubuwwat
t. Sunan Abū Dāwud
Dari karya-karya tersebut di atas, yang paling populer adalah kitab Sunan
Imām Abū Dāwud. Menurut riwayat Abū Ali bin Aḥmad bin „Amr Al-Lu‟lui Al-
Basri, seorang ulama‟ ḥadīts mengatakan: “ḥadīts telah dilunakkan Abū Dāwud,
sebagaimana besi telah dilunakkan Nabi Dāwud ‘Alaihi as-Salām”. Ungkapan
tersebut adalah perumpamaan bagi seorang ahli ḥadīts, yang telah mempermudah
yang rumit dan mendekatkan yang jauh, serta memudahkan yang sukar.

5. Sejarah Imam Tirmidzi


Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin adl Dlahhak atau yang kerap
disapa dengan panggilan Imam at-Tirmidzi lahir pada tahun 209 H. Mengenai tahun
lahirnya para pakar sejarah tidak menyebutkan tahun kelahiran Imam at-
Tirmidzi secara pasti, akan tetapi Adz Dzahabi berpendapat dalam kisaran tahun 210
hijriah. Ada satu berita yang mengatakan bahwa imam at-Tirmidzi dilahirkan dalam
keadaan buta, padahal berita yang akurat adalah, bahwa Imam at-
Tirmidzi mengalami kebutaan di masa tua, setelah mengadakan lawatan ilmiah dan
penulisan Imam at-Tirmidzi terhadap ilmu yang ia miliki.
Imam at-Tirmidzi tumbuh di daerah Tirmidz, mendengar ilmu di daerah ini
sebelum memulai rihlah ilmiah Imam at-Tirmidzi. Dan Imam at-Tirmidzi pernah
menceritakan bahwa kakeknya adalah orang marwa, kemudian berpindah dari Marwa
menuju ke tirmidz, dengan ini menunjukkan bahwa Imam at-Tirmidzi lahir di
Tirmidzi.
Nasab Imam at-Tirmidzi:
1. As Sulami; yaitu nisbah kepada satu kabilah yang yang di jadikan
sebagai afiliasi Imam at-Tirmidzi, dan nisbah ini merupakan nisbah
kearaban
2. At-Tirmidzi; nisbah kepada negri tempat Imam at-Tirmidzi di
lahirkan (Tirmidz), yaitu satu kota yang terletak di arah selatan dari
sungai Jaihun, bagian selatan Iran.
Berbagai literatur-literatur yang ada tidak menyebutkan dengan pasti kapan
Imam Tirmidzi memulai mencari ilmu, akan tetapi yang tersirat ketika kita
memperhatikan biografi Imam at-Tirmidzi, bahwa Imam at-Tirmidzi memulai
aktifitas mencari ilmunya setelah menginjak usia dua puluh tahun.Maka dengan
demikian, Imam at-Tirmidzi kehilangan kesempatan untuk mendengar hadits dari
sejumlah tokoh-tokoh ulama hadits yang kenamaan, meski tahun periode Imam at-
Tirmidzi memungkinkan untuk mendengar hadits dari mereka, tetapi Imam at-
Tirmidzi mendengar hadits mereka melalui perantara orang lain. Yang nampak
adalah bahwa Imam at-Tirmidzi memulai rihlah pada tahun 234 hijriah.
Imam at-Tirmidzi memiliki kelebihan; hafalan yang begitu kuat dan otak
encer yang cepat menangkap pelajaran. Sebagai permisalan yang dapat
menggambarkan kecerdasan dan kekuatan hafalan Imam at-Tirmidzi adalah, satu
kisah perjalan Imam at-Tirmidzi menuju Makkah, dia menuturkan;
“Pada saat aku dalam perjalanan menuju Makkah, ketika itu aku telah
menulis dua jilid berisi hadits-hadits yang berasal dari seorang syaikh. Kebetulan
Syaikh tersebut berpapasan dengan kami.
Maka aku bertanya kepadanya, dan saat itu aku mengira bahwa “dua jilid
kitab” yang aku tulis itu bersamaku. Tetapi yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut,
melainkan dua jilid lain yang masih putih bersih belum ada tulisannya. aku memohon
kepadanya untuk menperdengarkan hadits kepadaku, dan ia mengabulkan
permohonanku itu.
“Kemudian ia membacakan hadits dari lafazhnya kepadaku. Di sela-sela
pembacaan itu ia melihat kepadaku dan melihat bahwa kertas yang kupegang putih
bersih.
Maka dia menegurku: ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ maka aku pun
memberitahukan kepadanya perkaraku, dan aku berkata; “aku telah mengahafal
semuanya.” Maka syaikh tersebut berkata; ‘bacalah!’. Maka aku pun membacakan
kepadanya seluruhnya, tetapi dia tidak mempercayaiku, maka dia bertanya: ‘Apakah
telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian aku
meminta lagi agar dia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan
empat puluh buah hadits, lalu berkata: ‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi,’ Lalu
aku membacakannya dari pertama sampai selesai tanpa salah satu huruf pun.”
Menurut para ulama, kitab hadits Imam at-Tirmidzi dipandang sebagai kitab
keempat dari Kutubussittah setelah Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, dan Sunan
Abu Dawud.
Imam at-Tirmidzi keluar dari negerinya menuju Khurasan, Iraq dan
Haramain dalam rangka menuntut ilmu. Di sana Imam at-Tirmidzi mendengar ilmu
dari kalangan ulama yang Imam at-Tirmidzi temui, sehingga dapat mengumpulkan
hadits dan memahaminya. Akan tetapi sangat disayangkan Imam at-Tirmidzi tidak
masuk ke daerah Syam dan Mesir, sehingga hadits-hadits yang Imam at-
Tirmidzi riwayatkan dari ulama kalangan Syam dan Mesir harus melalui perantara,
kalau sekiranya Imam at-Tirmidzi mengadakan perjalanan ke Syam dan Mesir,
niscaya ia akan mendengar langsung dari ulama-ulama tersebut, seperti Hisyam bin
‘Ammar dan semisalnya.
Para pakar sejarah berbeda pendapat tentang masuknya Imam at-
Tirmidzi ke daerah Baghdad, sehingga mereka berkata, “Kalau sekiranya dia masuk
ke Baghdad, niscaya dia akan mendengar dari Ahmad bin Hanbal. Al Khathib tidak
menyebutkan at-Tirmidzi (masuk ke Baghdad) di dalam tarikhnya, sedangkan Ibnu
Nuqthah dan yang lainnya menyebutkan bahwa Imam at-Tirmidzi masuk ke
Baghdad. Ibnu Nuqthah menyebutkan bahwasanya Imam at-Tirmidzi pernah
mendengar di Baghdad dari beberapa ulama, di antaranya adalah; Al Hasan bin
AshShabbah, Ahmad bin Mani’ dan Muhammad bin Ishaq Ash shaghani.
Dengan ini bisa diprediksi bahwa Imam at-Tirmidzi masuk ke Baghdad
setelah meninggalnya Imam Ahmad bin Hanbal, dan ulama-ulama yang di sebutkan
oleh Ibnu Nuqthah meninggal setelah imam Ahmad. Sedangkan pendapat Al Khathib
yang tidak menyebutkannya, itu tidak berarti bahwa Imam at-Tirmidzi tidak pernah
memasuki kota Baghdad sama sekali, sebab banyak sekali dari kalangan ulama yang
tidak di sebutkan Al Khathib di dalam tarikhnya, padahal mereka memasuki
Baghdad.
Setelah pengembaraannya, imam at-Tirmidzi kembali ke negerinya,
kemudian Imam at-Tirmidzi masuk Bukhara dan Naisapur, dan Imam at-
Tirmidzi tinggal di Bukhara beberapa saat.
Negeri-negeri yang pernah Imam at-Tirmidzi masuki adalah Khurasan,
Bashrah, Kufah,Wasith, Baghdad, Makkah, Madinah, Ar Ray
Di akhir kehidupannya, Imam at-Tirmidzi mengalami kebutaan, beberapa
tahun Imam at-Tirmidzi hidup sebagai tuna netra, setelah itu imam atTirmidzi
meninggal dunia. Imam at-Tirmidzi wafat di Tirmidz pada malam Senin 13 Rajab
tahun 279 H bertepatan dengan 8 Oktober 892, dalam usia Imam at-Tirmidzi pada
saat itu 70 tahun.
Imam Tirmizi menuliskan ilmunya di dalam hasil karya Imam at-Tirmidzi,
di antara buku-buku Imam at-Tirmidzi ada yang sampai kepada kita dan ada juga
yang tidak sampai. Di antara hasil karya Imam at-Tirmidzi yang sampai kepada kita
adalah:
a. Kitab Al Jami’, terkenal dengan sebutan Jami’ at-Tirmidzi.
b. Kitab Al ‘Ilal
c. Kitab Asy Syama’il an Nabawiyyah.
d. Kitab Tasmiyyatu ashhabi rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
e. Kitab At-Tarikh.
f. Kitab Az Zuhd.
g. Kitab Al Asma’ wa al kuna.
Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Tirmidzi terbesar dan paling
banyak manfaatnya. Ia tergolong salah satu "Kutubus Sittah" (Enam Kitab Pokok
Bidang Hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal. Al-Jami’ ini terkenal dengan nama
Jami’ Tirmidzi, dinisbatkan kepada penulisnya, yang juga terkenal dengan nama
Sunan Tirmidzi. Namun nama pertamalah yang popular.
Sebagian ulama tidak berkeberatan menyandangkan gelar as-Sahih
kepadanya, sehingga mereka menamakannya dengan Sahih Tirmidzi. Sebenarnya
pemberian nama ini tidak tepat dan terlalu gegabah. Setelah selesai menyusun kitab
ini, Tirmidzi memperlihatkan kitabnya kepada para ulama dan mereka senang dan
menerimanya dengan baik. Ia menerangkan: "Setelah selesai menyusun kitab ini, aku
perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan Khurasan, dan mereka
semuanya meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada Nabi yang selalu
berbicara."
Imam Tirmidzi di dalam Al-Jami’-nya tidak hanya meriwayatkan hadits
sahih semata, tetapi juga meriwayatkan hadits-hadits hasan, da’if, garib dan mu’allal
dengan menerangkan kelemahannya. Dalam pada itu, ia tidak meriwayatkan dalam
kitabnya itu, kecuali hadits-hadits yang diamalkan atau dijadikan pegangan oleh ahli
fiqh. Metode demikian ini merupakan cara atau syarat yang longgar. Oleh karenanya,
ia meriwayatkan semua hadits yang memiliki nilai demikian, baik jalan
periwayatannya itu sahih ataupun tidak sahih. Hanya saja ia selalu memberikan
penjelasan yang sesuai dengan keadaan setiap hadits.
Diriwayatkan, bahwa ia pernah berkata: "Semua hadits yang terdapat dalam
kitab ini adalah dapat diamalkan." Oleh karena itu, sebagian besar ahli ilmu
menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua buah hadits, yaitu:
"Sesungguhnya Rasulullah SAW menjamak salat Zuhur dengan Asar, dan
Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab "takut" dan "dalam perjalanan."
"Jika ia peminum khamar, minum lagi pada yang keempat kalinya, maka
bunuhlah dia."
Hadits ini adalah mansukh dan ijma ulama menunjukan demikian.
Sedangkan mengenai salat jamak dalam hadits di atas, para ulama berbeda pendapat
atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar ulama berpendapat boleh
(jawaz) hukumnya melakukan salat jamak di rumah selama tidak dijadikan
kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyab serta sebagian besar
ahli fiqh dan ahli hadits juga Ibnu Munzir.
Hadits-hadits dha’if dan munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada
umumnya hanya menyangkut fada’il al-a’mal (anjuran melakukan perbuatan-
perbuatan kebajikan). Hal itu dapat dimengerti karena persyaratan-persyaratan bagi
(meriwayatkan dan mengamalkan) hadits semacam ini lebih longgar dibandingkan
dengan persyaratan bagi hadits-hadits tentang halal dan haram.

6. Sejarah Imam Ibnu Majah


Muhammad bin Yazid bin Mâjah al Qazwînî. Nama yang lebih familiar
adalah Ibnu Mâjah yaitu laqab bapaknya (Yazîd). Bukan nama kakek beliau. Kuniyah
beliau Abu ‘Abdullâh. Nasab beliau:
1. Ar Rib’I; merupakan nisbah wala` kepada Rabi’ah, yaitu satu kabilah
arab.
2. al Qazwînî adalah nisbah kepada Qazwîn yaitu nisbah kepada salah
satu kota yang terkenal di kawasan ‘Iraq.
Ibnu Majah menuturkan tentang dirinya; “aku dilahirkan pada tahun 209
hijirah. Referensi-referensi yang ada tidak memberikan ketetapan yang pasti, di mana
Ibnu Majah di lahirkan, akan tetapi masa pertumbuhan beliau beradaA di Qazwin.
Maka bisa jadi Qazwin merupakan tempat tinggal beliau.
Ibnu majah memulai aktifitas menuntut ilmunya di negri tempat tinggalnya
Qazwin. Akan tetapi sekali lagi referensi-referensi yang ada sementara tidak
menyebutkan kapan beliau memulai menuntut ilmunya. Di Qazwin beliau berguru
kepada Ali bin Muhammad at Thanafusi, dia adalah seorang yang tsiqah, berwibawa
dan banyak meriwayatkan hadits. Maka Ibnu Majah tidak menyia-nyiakan
kesempatan ini, dia memperbanyak mendengar dan berguru kepadanya. Ath
Thanafusi meninggal pada tahun 233 hijriah, ketika itu Ibnu Majah berumur sekitar
24 tahun. Maka bisa di tarik kesimpulan bahwa permulaan Ibnu Majah menuntut ilmu
adalah ketika dia berumur dua puluh tahunan.
Ibnu Majah termotivasi untuk menuntut ilmu, dan dia tidak puas dengan
hanya tinggal di negrinya, maka beliaupun mengadakan rihlah ilmiahnya ke sekitar
negri yang berdampingan dengan negrinya, dan beliau mendengar hadits dari negri-
negri tersebut.
Ibnu Majah meniti jalan ahli ilmu pada zaman tersebut, yaitu mengadakan
rihlah dalam rangka menuntut ilmu. Maka beliau pun keluar meninggalkan negrinya
untuk mendengar hadits dan menghafal ilmu. Berkeliling mengitari negri-negri islam
yang menyimpan mutiara hadits. Bakat dan minatnya di bidang Hadis makin besar.
Hal inilah yang membuat Ibnu Majah berkelana ke beberapa daerah dan negri guna
mencari, mengumpulkan, dan menulis Hadis. Puluhan negri telah ia kunjungi, antara
lain:
1. Khurasan
2. Naisabur
3. Ar Ray
4. Iraq; Baghdad, Kufah, Wasith dan Bashrah
5. Hijaz; Makkah dan Madinah
6. Syam; damasqus dan Himsh
7. Mesir
Beliau meninggal pada hari senin, tanggal duapuluh satu ramadlan tahun
dua ratus tujuh puluh tiga hijriah. Di kuburkan esok harinya pada hari selasa. Semoga
Allah selalu melimpahkan rahmat dan keridlaan-Nya kepada beliau.
Ibnu Majah adalah seorang ulama penyusun buku, dan hasil karya beliau
cukuplah banyak. Akan tetapi sangat di sayangkan, bahwa buku-buku tersebut tidak
sampai ke kita. Adapun diantara hasil karya beliau yang dapat di ketahui sekarang ini
adalah:
a. Kitab as-Sunan yang masyhur
b. Tafsîr al Qurân al Karîm
c. Kitab at Tarîkh yang berisi sejarah mulai dari masa ash-Shahâbah
sampai masa beliau.

7. Sejarah Imam Ahmad


Nama lengkap beliau adalah Abu Abdullah Ahmad bin Hilal Al-syaibani
salah satu pendiri Mazhab empat yang berdiri nama mazhab hambali. (Khan, 2009:
265)
Ketika Ahmad masih kecil, ayahnnya berpulang kepada Allah SWT dengan
hanya meninggalkan harta pas-pasan untuk menghidupi keluarganya. Sebuah riwayat
menyebutkana bahwa, jika Ahmad ibn Hanbal ditanya mengenai asal-usul sukunya,
dia mengatakan bahwa ia adalah anak dari suku orang-orang miskin. Dia hidup
sebagaimana layaknya rakyat jelata, tinggal di tengah-tengah mereka dan merasakaan
penderitaan, luka dan duka cita mereka. (Agustina, 1992: 96).
Panggilan sehari-harinya Abu Abdullah. Ahmad bin Hanbal Muhammad al-
Syaibani telah meninggalkan beliau sebelum dilahirkan ke dunia fana ini. Sehingga
beliau tumbuh remaja hanya dalam asuhan ibundanya, Syarifah Maimunah binti abd
al-Malik al-Syaibani. Kakeknya yakni Hanbal ibn Hilal adalah Gubernur Sarakhs
dibawah pemerintahan umayyah tetapi bersama Dinasti Abbasiyah yang aktif
menentang dinasti Umayyah di Khurasan. Ahmad bin Hambal meninggal pada waktu
Dhuha hari jum’at, 12 Rabi’ul Awal 24 Hijriah.
Ahmad menikah dan memiliki dua orang putra yang terkenal dalam bidang
hadits yaitu Salih dan Abdullah. Kedua putranya banyak menerima hadits dari ayah
dan memasukkan sejumlah hadits ke dalam kitab Musnad ayahnya. Imam Ahmad bin
Hanbal adalah Imam keempat dari fuqaha’ Islam. Ia adalah orang yang mempunyai
sifat-sufat luhur dan budi pekerti yang tinggi. Imam Ahmad juga adalah seorang
zuhud, bersih hatinya dari segala macam pengaruh kebendaan.
Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 Hijriyah saat
berumur 16 tahun. Belia uterus berada di kota Baghdad mengambil hadits dari
syaikh-syaikh hadits kota itu hingga tahun 186.
Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya,
Shafiyyah binti Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam
mendidik dan membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk
mereka dua buah rumah di kota Baghdad. Dari kota bagdad inilah beliau memulai
mencurahkan perhatiannya belajar dan mencari hadits sehikmat-hikmatnya, sejak
baru berumur 16 btahun (Rachman, 1981: 325).
Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu,
kota Bagdad telah menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang penuh dengan manusia
yang berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta penuh dengan beragam
jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari', ahli hadits, para sufi, ahli bahasa,
filosof, dan sebagainya.
Setamatnya menghafal Alquran dan mempelajari ilmu- ilmu bahasa Arab di
al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan.
Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak mudah goyah.
Sang ibu banyak membimbing dan memberi beliau dorongan semangat. Tidak lupa
dia mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri sendiri, terutama
dalam masalah kesehatan.
Perhatian beliau saat itu memang tengah tertuju kepada keinginan
mengambil hadits dari para perawinya. Beliau mengatakan bahwa orang pertama
yang darinya beliau mengambil hadits adalah al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan
Imam Abu Hanifah. Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 saat
berumur 16 tahun. Beliau terus berada di kota Baghdad mengambil hadits dari
syaikh-syaikh hadits kota itu hingga tahun 186. Beliau melakukan mulazamah kepada
syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut
wafat tahun 183. Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau mengambil hadits dari
Hasyim sekitar tiga ratus ribu hadits lebih.
Imam Ahmad hidup di Baghdad yang merupakan pusat peradaban dan ilmu
pengetahuan nomor satu pada saat itu. Di sana, tinggal para pakar ilmu pengetahuan.
Sejak kecil Imam Ahmad menghafal al-Qur'an, belajar Bahasa Arab, hadits, dan
Sejarah. Ketika beranjak dewasa, Imam ahmad memilih untuk menekuni ilmu hadits
yang menuntutnya untuk mengembara ke berbagai kota untuk mencari hadits. Dalam
pengemabaraannya, Imam Ahmad juga mengkaji Fiqih. Karenanya ia dapat
memadukan hadits dan fiqih sekaligus (Zahrah, tt: 281).
Imam Ahmad ibn Hanbal selain seorang ahli mengajar dan ahli mendidik ,
ia juga seorang pengarang. Ia mempunyai beberapa kitab yang telah disusun dan telah
direncanakannya, yang isinya sangat berharga bagi masyarakat umat yang hidup
sesudahnya.
Diantara karya beliau yang sangat gemilang, ialah Musnadu'l Kabir kitab
musnad ini merupakan satu-satunya kitab musnad terbaik. Sebuah kitab dinamakan
kitab Musnad apabila penyusunnya memasukkan semua hadis yang pernah dia
terima, dengan tanpa menyaring dan menerangkan derajat hadis-hadis tersebut (ash-
Siddhieqy, 1987: 104).
Diantara kitab-kitabnya yang beliu karang adalah sebagai berikut :
a. Kitab al-Musnad.
b. Kitab Tafsir al-Qurán.
c. Kitab al-Nasikh wa al-Mansukh.
d. Kitab al-Muqaddam wa al-Muakhkhar fi al-Qurán.
e. Kitab Jawabu al-Qurán.
f. Kitab at-Tarikh
g. Kitab Manasiku al-Kabir.
h. Kitab Manasiku al-Shaghir.
i. Kitab Thaátu al Rasul.
j. Kitab al-Íllah.
k. Kitab al-Shalah.

8. Sejarah Imam Malik


Berikut sekilas biografi tentang Imam Malik yang memiliki nama lengkap
Abu Abdullah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir ibn Amr ibn al-Haris ibn
Gaiman ibn Husail ibn Amr ibn al-Haris al-Asbahi al-Madani. Imam Malik (al
Bandari, 1993: 494).
Imam malik dilahirkan di kota Madina pada tahun yang masih di
perselisihkan antara 90,92 dan 93H atau antara 94-97H dan beliau meninggal di
Madinah tahun 169 H atau 179 H (Suryadilaga, 2010: 192).
Imam Malik memiliki budi pekerti yang luhur, sopan, lemah lembut, suka
menolong orang yang kesusahan, dan suka berderma kepada kaum miskin. Beliau
juga termasuk orang yang pendiam, tidak suka membual dan berbicara seperlunya,
sehingga dihormati oleh banyak orang. Namun dibalik sifat pendiamnya tersebut,
beliau juga merupakan sosok yang sangat kuat, dan kokoh dalam pendirian. Bukti
terkait sifatnya tersebut adalah Imam Malik pernah dicambuk 70 kali oleh Gubernur
Madinah Ja'far ibn Sulaiman ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas karena menolak
mengikuti pandangan Ja'far ibn Sulaiman (cholil, 1990: 110).
Imam Malik menikah dengan seorang hamba yang dikaruniai 3 anak laki-
laki (Muhammad, Hammad, dan Yahya) dan seorang anak perempuan (Fatimah).
Imam Malik wafat pada hari ahad 14 Rabiul awal 179 H (798 M) di madinah dan
dimakamkan di Haqi'.
Pada saat malik tumbuh dewasa dan pada masa sebelumnya, Madina al-
Munawwara berkembang dengan para ulama besar yang merupakan pewaris
langsung pengetahuan para sahabat. Diantara mereka adalah ‘tujuh fuqoha kota
madina (atau sepuluh fuqoha) dan sahabat-sahabat mereka yang belajar dari mereka.
Malik sendiri selalu haus akan ilmu dan mengabdikan dirinya untk mengumpulkan
ilmu dari tokoh-tokoh tersebut. Ia minum dan minum lagi dari pancuran air
pengetahuan yang segar dan manis.
Beliau adalah seorang muhadist yang menjunjung tinggi hadist Rasullullah
Saw. Jika hendak memberikan hadist, ia berwudhu' terlebih dahulu, kemudian duduk
di alas sholat dengan tenang dan tawadhu'. Selain ahli hadist, beliau juga ahli
Al muwatha' merupakan karyanya yang sangat gemilang dalam ilmu hadist.
Beliau menulisnya pada tahun 144 H atas anjuran Kholifah Ja'far Manshur sewaktu
menunaikan ibadah haji. Ulama'-ulama' yang mensyarah Muwatho' antara lain
(Rachman, 1981: 9).
Ada beberapa versi yang mengemukakan tentang latar belakang penyusunan
al-muwatta', diantaranya yaitu:
a. Problem politik dan sosial keagamaan pada masa tradisi Daulah
Umayyah-Abasiyyah yang mengancan integritas kaum Muslim.
b. Adanya permintaan Khalifah Ja'far al-Mansur atas usulan Muhammad
ibn al-Muqaffa' yang sangat prihatin terhadap perbedaan fatwa dan
perkembangan yang berkembang saat itu, dan mengusulkan kepada
Khalifah untuk menyusun kitab yang dapat memudahkan umat Islam
dalam memahami agama.
Selanjutnya mengenai isi Kitab al-Muwatta' ini tidak hanya menghimpun
hadist Nabi, tetapi juga memasukkan pendapat sahabat, Qaul Tabi'in, Ijma' Ahlul
Madinah dan pendapat Imam Malik. Para ulama berpendapat tentang jumlah hadis
yang terdapat dalam al-Muwatta', namun pendapat yang banyak disetujui para ulama
yakni pendapat Fuad Abdul Baqi bahwa al-Muwatta' memuat 1824 hadis dengan
kualitas yang beragamm dengan metode penyusunan hadis berdasar klasifikasi
hukum (abwab fiqhiyyah).
Dalam Kitab al-Muwatta' tidak semua hadisnya sahih, ada yang munqati',
mursal, dan mu'dal. Meskipun demikian, banyak ulama hadis berikutnya yang
mencoba mentakhrij dan me-muttasil-kan hadis-hadis yang munqati', mursal, dan
mu'dal. Dalam pandangan Ibnu Abd al-Barr dari 61 hadis yang dianggap tidak
muttasil semuanya sebenarnya musnad dengan jalur selain Imam Malik.
Menurut para ulama ada beberapa kitab yang ditulis oleh imam malik
antara lain;
a. Risala ila ibn wahab fi al-Qadri
b. Kitab al-nujum
c. Risalah fi al-aqidah
d. Tafsir li gharib al-Qur'an
e. Risalah ila al-laits bin sa'ad
f. Risalah ila abi ghisan
g. Kitab al-sir
h. Kitab al-manasik
i. Kitab almuwatta'

9. Sejarah Imam Al-Darimi


Nama lengkap penyusun kitab sunan sunan Al-Darimi adalah
‘Abdurrahman ibn al-fadhl ibn Bahram ‘Abdis shamad (Abdurrahman, 2009: 180).
Ia dilahirkan pada tahun wafatnya Ibn al-Mubarak, yaitu pada tahun 181 H di kota
Samarqand. Sejak kecil ia telah dikaruniai kecerdasan otak sehingga ia mudah untuk
memahami dan menghafal setiap yang didengarnya. Dengan bakal kecerdasannya
itulah ia menemui para syaikh dan belajar ilmu.
Imam al-Darimi meninggal dunia pada hari Tarwiyah tahun 255 H setelah
shalat ‘Ashar. Ia dikubur pada hari Jum'at yang bertepatan dengan hari ‘Arafah.
Ketika meninggal, al- Darimi umurnya telah mencapai 75 tahun. Ada satu pendapat
yang menyatakan bahwa ia meninggal pada tahun 205 H, akan tetapi pendapat ini
diragukan kebenarannya.
Al-darimi sejak kecil sudah dikaruniai kecerdasan otak sehingga beliau
mudah untuk memehami dan menghafalkan setia apa yang beliau dengarkan. Dengan
bekel itu beliau menemui syekh untuk belajar ilmu. Ia belajar kepada orang yang
lebih tua darinya atau bahkan lebih mudah dari beliau, sehingga ulama pada masanya
telah ia kunjungi dan telah ia serap ilmunya.
Samarkan adalah negeri yang tidak pernah sepi dari ilmu pengetahuan,
walupun demikian ia tidak merassa cukup dengan apa yang ada di samarkhand. Ia
juga mengunjungi khurasan dan belajar hadits dari ulama yang ada disana. Kemudian
ia berkunjung ke Irak, dan belajar hadits kepada para ahli yang ada di Bagdad, kuffah,
Wasith dan basrah.
Al Darimi adalah sosok yang gigih dalam mencari hadist dan diakui oleh
kebanyakan ulama' hadist. Salah satu kitabnya yang berjudul “al hadist al musnad al
marfu' wa al mauquf wa al maqthu' yang beliau susun dengan sistematika bab-bab
fikih, sehingga kitab ini popular dengan sebutan “sunan al darimi”.
Al-Darimi belajar hadits dari Yazid ibn Harun, Ya'la ibn ‘Ubaid, Ja'far ibn
‘Umar al-Zahrami, Abu ‘Ali Ubaidillah ibn Abdul majid al-hanafiy, dan Abu Bakar
‘Abd Alkabir (Abdurrahman, 2009: 181). Orang orang yang belajar hadits kepada
Al-Darimi diantaranya, Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Abd ibn Humaid, Raja ibn
Marja, Hasan ibn al-Shabbah ibn yahya.
Karya beliau yang popular adalah kitab hadist yang diberi judul “al hadist
al musnad al marfu’ wa al mauquf wa al maqthu” atau yang terkenal dengan
sunan al Darimi. Disamping itu al Darimi juga menyusun kitab tafsir dan kitab
ensiklopedi (al Jami'). Namun, pada masa kini tidak bisa kita temukan lagi
keberadaannya.
Kitab ini berisi hadis-hadis marfu', mauquf, dan maqtu'. Bagian terbesar dari
hadis-hadis yang terdapat dalamkitab tersebut adalah hadis-hadis yang marfu', ini
pula lah yang menjadi sandaran utama dalam mengemukakan hokum-hukum pada
setiap babnya. Namun ada kalanya al-Darimi memperpanjang lebar penbahasan
dengan menambah hadis yang marfu' dan mengemukakan berbagai asar dari para
sahabat maupun dari para tabi'in.
Dalam menyusun kitab Sunan al-Darimi ini, baliau tampaknya tidak
berkehendak untuk memperbanyak jalur sanad, tetapi ia lebih berkeinginan untuk
menyusun suatu kitab yang ringkas. Dalam satu bab ia hanya memasukkan satu hadis,
dua hadis, atau tiga hadis saja. Inilah alasan beliau hanya memasukkan tidak lebih
dari 10 buah hadis mu'allaq.
Kitab karya al-Darimi ini memiliki sistematika penyusun yang baik, yang
terangkai dalam 24 kitab, artisan bab, dan 3367 buah hadis yang terdiri dari 89 hadis
mursal dan 240 hadis maqtu' serta kebanyakan hadis bersandar langsung dari Nabi
Muhammad SAW (marfu').
DAFTAR PUSTAKA
Sejarah Singkat Imam Bukhari, Hadits, Man 1 Sintang.sch.id
Sejarah Singkat Imam Muslim, Hadits, Man 1 Sintang.sch.id
Biografi Imam Abu Dawud, an-nur.ac.id
Muhammad „Ajajj al-Khatib, Ushul al-Hadits: ‘Ilmuhu wa Musthalahuhu,
(Damaskus: Dār al-Fikri, 1975), hlm 320.
Al-Mabarakfuri, Muqaddimah Tuhfatu al-Ahwadzi, (Bairut: Dar Kutub al-Ilmiah,
1990), hlm 104. Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung: Pusaka Setia, 1999),
hlm 110.
Muhammad „Ajajj al-Khatib, Ushul…, hlm 320.
Mudasir, Ilmu Hadits…, hlm 110.
Ibid., hlm 110.
Muhammad „Ajajj al-Khatib, Ushul al-Hadits…, hlm 320.
Abu Syu‟bah, Fi Rihab al-Kutub al-Shihhah al-Sittah, (Kairo: Majma‟ al-Buhuts
al-Islamiyyah, 1969) hlm 83.
Ibid., hlm 142
Biografi Imam At Tirmidzi, laduni.id
Biografi Imam Nasa’I, laduni.id
Biografi Imam bin Hanbal, Bahan Ajar, staipiq.ac.id
Rachman, Fathur, 1981. Musthalahul-Hadits, Cet-III, PT Al-Ma'arif Yogyakarta.
Haque,Ziul, 1992. Ahmad ibn Hanbal: The Saint Scholar of Baghdad”, terj. Nurul
Agustina,Jurnal studi-Islam Al-hikmah, Yayasan Matahari, Bandung.
M. Abdurrahman, 2009. Studi Kitab Hadits, cet-II, Teras, Yogyakarta.
Abu Zahrah, Muhammad, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah fi Tarikh al-Madzahib
al-Fiqhiyyah, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1987. Sejarah dan Pengantar ilmu Hadis,: Bulan
Bintang, Jakarta
Suryadilaga, M. Alfatih, 2010. Ulumul Hadits, Sukses Offset Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai