Anda di halaman 1dari 14

Pengaruh Munculnya Imam Muslim terhadap perkembangan Hukum Islam

(Memuat Biografi Imam Muslim dan Karyanya)


Disusun untuk memenuhi Ujian Akhir Semester
Dosen Pengampu: Imam Khoirul Ulumuddin, M.Pd.I.

Disusun oleh:

Muhammad Afif Naufal (19106021083)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


Semester 3
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
TAHUN 2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Islam yang telah diyakini oleh umat Islam sebagai hukum yang
bersumber dari Allah disampaikan kepada hamba-Nya Muhammad dalam bentuk
wahyu, serta tertulis dalam sebuah buku petunjuk. Kitab kumpulan hukum Allah
itu disebut dengan Alquran1. Dengan demikian Alquran merupakan sumber utama
dan pertama bagi hukum Islam. Kemudian Nabi Muhammad saw sebagai utusan
Allah untuk hamba-Nya dan diberikan otoritas untuk menjelaskan lebih lanjut apa
yang telah diwahyukan kepadanya. Olehnya itu sebagai penjelas dari apa yang
telah tertulis dalam Alquran, maka dapat dipahami bahwa al-sunnah, baik itu
berupa perkataan, perbuatan dan takrir nabi merupakan sumber kedua sesudah
Alquran. Namun diakui juga bahwa Alquran dan al-sunnah terbatas, baik dalam
peristiwa maupun penetapan hukumnya, sementara semakin lama semakin banyak
persoalan hidup dan kehidupan manusia dan beraneka ragam pula masalahnya.
Berdasarkan hal tersebut, maka hukum Islam telah mengalami perkembangan
seiring dengan perjalanan waktu, hukum Islam yang mulai tumbuh dan
berkembang sejak masa Rasulullah secara terus menerus. Pertumbuhan dan
perkembangannya melintasi satu priode dan masuk ke priode berikutnya.
Demikian seterusnya sampai saat sekarang.
Hukum Islam secara umum dibedakan menjadi dua lapangan pokok, yaitu
hukum yang mengatur hubungan antara makhluk dengan khalik dan hukum yang
mengatur hubungan antara sesama makhluk (muamalah).1 Dan dalam lapangan
hukum muamalah sendiri terdiri dari beberapa bidang kajian hukum yang salah
satunya adalah hukum keluarga atau (al Akhwal as Syashsiyah).2 Statemen ini
dipertegas lagi oleh Mustthafa Ahmad Az-Zarqa sebagaimana dikutip oleh Ahmad
Azhar Basyir3 dalam bukunya asas-asas hukum muamalat bahwa al-Akhwal as-
Asyahsiyah merupakan kajian dari hukum Islam yang secara spesifik membahas
tentang ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan ikatan kekeluargaan.
Perkawinan merupakan bagian yang dikaji dalam proses kelangsungan ikatan
kekeluargaan.
Kita semua tentu mengetahui bahwa sumber hukum utama dalam Islam
adalah Al Qur’an dan hadits Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam. Tentang Al
Qur’an, tentu tidak perlu diragukan lagi kebenaran dan keontetikannya. Namun
berkaitan dengan hadits Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam, banyak sekali
upaya dari musuh-musuh Islam serta orang-orang munafik yang ingin merancukan
ajaran Islam dengan membuat hadits palsu, yaitu hadits yang diklaim sebagai
ucapan Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam padahal sebenarnya bukan. Seperti
Abdul Karim bin Abi Auja’, ia mengaku perbuatannya sebelum ia dihukum mati
dengan berkata: “Demi Allah, aku telah memalsukan hadits sebanyak 4000 hadits.
Saya halalkan yang haram dan saya haramkan yang halal”. Namun alhamdulillah,
Allah Ta’ala menjaga kemurnian agama-Nya dengan memunculkan para ulama
pakar hadits yang berupaya memisahkan hadits shahih dengan hadits lemah dan
palsu. Dan upaya ini bukanlah pekerjaan yang mudah dan selesai dalam sekejap.
Bahkan memerlukan penelitian yang panjang, ketelitian yang tajam, kecerdasan
akal yang tinggi, hafalan yang kokoh, serta pemahaman yang mantap terhadap Al
Qur’an dan hadits. Maka seorang muslim yang memahami hal ini sepatutnya ia
menghargai dan bahkan kagum atas jasa para pakar hadits umat Islam yang telah
memberikan kontribusi besar bagi agama ini.
Dan diantara para ulama pakar hadits yang telah diakui kemampuannya dan
sangat besar jasanya, ada satu nama yang sudah cukup dikenal oleh kita semua
yaitu Imam Muslim dengan kitab haditsnya yang terkenal yaitu Kitab Shahih
Muslim. Kitab Shahih Muslim dikatakan oleh Imam An Nawawi sebagai salah satu
kitab yang paling shahih -setelah Al Qur’an- yang pernah ada. Sampai-sampai
ketika seseorang menuliskan hadits yang ada di kitab tersebut, atau dengan tanda
pada akhir hadits berupa perkataan: “Hadits riwayat Muslim”, orang yang
membaca merasa tidak perlu mengecek kembali atau meragukan keshahihan hadits
tersebut. Subhanallah. Oleh karena itu, patutlah kita sebagai seorang muslim untuk
mengenal lebih dalam sosok mulia di balik kitab tersebut, yaitu Imam Muslim,
semoga Allah merahmati beliau.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Nasab dan Kelahiran Imam Muslim


Nama lengkap beliau adalah Abul Hasan Muslim bin Hajjaj bin Muslim bin
Warad bin Kausyaz Al Qusyairi An Naisaburi. Al Qusyairi di sini merupakan
nisbah terhadap nasab (silsilah keturunan) dan An Naisaburi merupakan nisbah
terhadap tempat kelahiran beliau, yaitu kota Naisabur, bagian dari Persia yang
sekarang menjadi bagian dari negara Rusia. Tentang Al Qusyairi, seorang pakar
sejarah, ‘Izzuddin Ibnu Atsir, dalam kitab Al Lubab Fi Tahzibil Ansab (37/3)
berkata: “Al Qusyairi adalah nisbah terhadap keturunan Qusyair bin Ka’ab bin
Rabi’ah bin ‘Amir bin Sha’sha’ah, yang merupakan sebuah kabilah besar. Banyak
para ulama yang menisbatkan diri padanya”.
Para ahli sejarah Islam berbeda pendapat mengenai waktu lahir dan wafat
Imam Muslim. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Taqribut Tahdzib (529), Ibnu Katsir
dalam Al Bidayah Wan Nihayah (35-34/11), Al Khazraji dalam Khulashoh
Tahdzibul Kamal mengatakan bahwa Imam Muslim dilahirkan pada tahun 204 H
dan wafat pada tahun 261 H. Namun pendapat yang paling kuat adalah bahwa
beliau dilahirkan pada tahun 206 H dan wafat pada tahun 261 H di Naisabur,
sehingga usia beliau pada saat wafat adalah 55 tahun. Hal ini sebagaimana
dikatakan oleh Abu Abdillah Al Hakim An Naisaburi dalam kitab Ulama Al
Amshar, juga disetujui An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (123/1).

B. Perjalanan Imam Muslim Dalam Belajar Hadits


Imam Muslim tumbuh sebagai remaja yang giat belajar agama. Bahkan saat
usianya masih sangat muda beliau sudah menekuni ilmu hadits. Dalam kitab Siyar
‘Alamin Nubala (558/12), pakar hadits dan sejarah, Adz Dzahabi, menuturkan
bahwa Imam Muslim mulai belajar hadits sejak tahun 218 H. Berarti usia beliau
ketika itu adalah 12 tahun. Beliau melanglang buana ke beberapa Negara dalam
rangka menuntut ilmu hadits dari mulai Irak, kemudian ke Hijaz, Syam, Mesir dan
negara lainnya. Dalam Tahdzibut Tahdzib diceritakan bahwa Imam Muslim paling
banyak mendapatkan ilmu tentang hadits dari 10 orang guru yaitu:
 Abu Bakar bin Abi Syaibah, beliau belajar 1540 hadits.
 Abu Khaitsamah Zuhair bin Harab, beliau belajar 1281 hadits.
 Muhammad Ibnul Mutsanna yang dijuluki Az Zaman, beliau belajar 772
hadits.
 Qutaibah bin Sa’id, beliau belajar 668 hadits.
 Muhammad bin Abdillah bin Numair, beliau belajar 573 hadits.
 Abu Kuraib Muhammad Ibnul ‘Ila, beliau belajar 556 hadits.
 Muhammad bin Basyar Al Muqallab yang dijuluki Bundaar, beliau belajar
460 hadits.
 Muhammad bin Raafi’ An Naisaburi, beliau belajar 362 hadits.
 Muhammad bin Hatim Al Muqallab yang dijuluki As Samin, beliau belajar
300 hadits.
 ‘Ali bin Hajar As Sa’di, beliau belajar 188 hadits.

Sembilan dari sepuluh nama guru Imam Muslim tersebut, juga merupakan
guru Imam Al Bukhari dalam mengambil hadits, karena Muhammad bin Hatim
tidak termasuk. Perlu diketahui, Imam Muslim pun sempat berguru ilmu hadits
kepada Imam Al Bukhari. Ibnu Shalah dalam kitab Ulumul Hadits berkata: “Imam
Muslim memang belajar pada Imam Bukhari dan banyak mendapatkan faedah ilmu
darinya. Namun banyak guru dari Imam Muslim yang juga merupakan guru dari
Imam Bukhari”. Hal inilah yang menjadi salah satu sebab Imam Muslim tidak
meriwayatkan hadits dari Imam Al Bukhari.

C. Peran Imam Bukhari Terhadap Imam Muslim


Imam Al Bukhari adalah salah satu guru dari Imam Muslim yang paling
menonjol. Dari beliau, Imam Muslim mendapatkan banyak pengetahuan tentang
ilmu hadits serta metodologi dalam memeriksa kesahihan hadits. Al Hafidz Abu
Bakar Al Khatib Al Baghdadi dalam kitabnya Tarikh Al Baghdadi sampai
menceritakan: “Muslim telah mengikuti jejak Al Bukhari, mengembangkan
ilmunya dan mengikuti metodologinya. Ketika Al Bukhari datang ke Naisabur di
masa akhir hidupnya. Imam Muslim belajar dengan intens kepadanya dan selalu
membersamainya”. Hubungan beliau berdua pun dijelaskan oleh Al Hafidz Ibnu
Hajar dalam Syarah Nukhbatul Fikr, beliau berkata: “Para ulama bersepakat bahwa
Al Bukhari lebih utama dari Muslim, dan Al Bukhari lebih dikenal kemampuannya
dalam pembelaan hadits. Karena Muslim adalah murid dan hasil didikan Al
Bukhari. Muslim banyak mengambil ilmu dari Al Bukhari dan mengikuti jejaknya,
sampai-sampai Ad Daruquthni berkata: ‘Seandainya tidak ada Al Bukhari, niscaya
tidak ada Muslim’ ”.
Lalu apa yang menyebabkan Imam Muslim tidak meriwayatkan hadits dari
Imam Bukhari? Sehingga dalam Shahih Muslim tidak ada hadits yang sanadnya
dimulai dengan “ ‘An Al Bukhari…(Diriwayatkan dari Al Bukhari)”. Dijawab oleh
Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad hafizhahullah, beliau menuturkan: “Walau Imam
Muslim merupakan murid dari Imam Al Bukhari dan Imam Muslim mendapatkan
banyak ilmu dari beliau, Imam Muslim tidak meriwayatkan satu pun hadits dari
Imam Al Bukhari. Wallahu Ta’ala A’lam, ini dikarenakan oleh dua hal:
Imam Muslim menginginkan uluwul isnad (sanad yang tinggi derajatnya).
Imam Muslim memiliki banyak guru yang sama dengan guru Imam Al Bukhari.
Jika Imam Muslim meriwayatkan dari Al Bukhari, maka sanad akan bertambah
panjang karena bertambah satu orang rawi yaitu (Al Bukhari). Imam Muslim
menginginkan uluwul isnad dan sanad yang dekat jalurnya dengan Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam sehingga beliau meriwayatkan langsung dari guru-
gurunya yang juga menjadi guru Imam Al Bukhari
Imam Muslim merasa prihatin dengan sebagian ulama yang mencampur-
adukkan hadits-hadits lemah dengan hadits-hadits shahih tanpa membedakannya.
Maka beliau pun mengerahkan daya upaya untuk memisahkan hadits shahih
dengan yang lain, sebagaimana beliau utarakan di Muqaddimah Shahih Muslim.
Jika demikian, maka sebagian hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari
telah dianggap cukup dan tidak perlu diulang lagi. Karena Al Bukhari juga sangat
perhatian dalam mengumpulkan hadits-hadits shahih dengan ketelitian yang tajam
dan pengecekan yang berulang-ulang”

D. Murid-Murid Imam Muslim


Banyak ulama besar yang merupakan murid dari Imam Muslim dalam ilmu
hadits, sebagaimana di ceritakan dalam Tahdzibut Tahdzib. Diantaranya adalah
Abu Hatim Ar Razi, Abul Fadhl Ahmad bin Salamah, Ibrahim bin Abi Thalib, Abu
‘Amr Al Khoffaf, Husain bin Muhammad Al Qabani, Abu ‘Amr Ahmad Ibnul
Mubarak Al Mustamli, Al Hafidz Shalih bin Muhammad, ‘Ali bin Hasan Al Hilali,
Muhammad bin Abdil Wahhab Al Faraa’, Ali Ibnul Husain Ibnul Junaid, Ibnu
Khuzaimah, dll.

Selain itu, sebagian ulama memasukkan Abu ‘Isa Muhammad At Tirmidzi dalam
jajaran murid Imam Muslim, karena terdapat sebuah hadits dalam Sunan At
Tirmidzi:

‫رو عن‬II‫د بن عم‬II‫حدثنا مسلم بن حجاج حدثنا يحي بن يحي حدثنا أبو معاوية عن محم‬
”:‫لم‬II‫ه وس‬II‫لى هللا علي‬II‫ قال رسول هللا ص‬:‫أبي سلمة عن أبي هريرة رضي هللا عنه قال‬
”‫أحصوا هالل شعبان لرمضان‬

Muslim bin Hajjaj menuturkan kepada kami: Yahya bin Yahya menuturkan
kepada kami: Abu Mu’awiyah menuturkan kepada kami: Dari Muhammad bin
‘Amr: Dari Abu Salamah: Dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, ia berkata:
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Untuk menentukan datangnya
Ramadhan, hitunglah hilal bulan Sya’ban”.
Dalam hadits tersebut nampak bahwa At Tirmidzi meriwayatkan dari Imam
Muslim. Terdapat penjelasan Al Iraqi dalam Tuhfatul Ahwadzi Bi Syarhi Jami’ At
Tirmidzi: “At Tirmidzi tidak pernah meriwayatkan hadits dari Muslim kecuali
hadits ini. Karena mereka berdua memiliki guru-guru yang sama sebagian
besarnya”.

E. Karya Tulis Imam Muslim


Imam An Nawawi menceritakan dalam Tahdzibul Asma Wal Lughat bahwa
Imam Muslim memiliki banyak karya tulis, diantaranya:
 Kitab Shahih Muslim (sudah dicetak)
 Kitab Al Musnad Al Kabir ‘Ala Asma Ar Rijal
 Kitab Jami’ Al Kabir ‘Ala Al Abwab
 4. Kitab Al ‘Ilal
 Kitab Auhamul Muhadditsin
 Kitab At Tamyiz (sudah dicetak)
 Kitab Man Laisa Lahu Illa Rawin Wahidin
 Kitab Thabaqat At Tabi’in (sudah dicetak)
 Kitab Al Muhadramain
Kemudian Adz Dzahabi pun menambahkan dalam Tahdzibut Tahdzib
bahwa Imam Muslim juga memiliki karya tulis lain yaitu:
 Kitab Al Asma Wal Kuna (sudah dicetak)
 Kitab Al Afrad
 Kitab Al Aqran
 Kitab Sualaat Ahmad bin Hambal
 Kitab Hadits ‘Amr bin Syu’aib
 Kitab Al Intifa’ bi Uhubis Siba’
 Kitab Masyaikh Malik
 Kitab Masyaikh Ats Tsauri
 Kitab Masyaikh Syu’bah
 Kitab Aulad Ash Shahabah
 Kitab Afrad Asy Syamiyyin
 Mata Pencaharian Imam Muslim

Imam Muslim termasuk diantara para ulama yang menghidupi diri dengan
berdagang. Beliau adalah seorang pedagang pakaian yang sukses. Meski demikian,
beliau tetap dikenal sebagai sosok yang dermawan. Beliau juga memiliki sawah-
sawah di daerah Ustu yang menjadi sumber penghasilan keduanya. Tentang mata
pencaharian beliau diceritakan oleh Al Hakim dalam Siyar ‘Alamin Nubala
(570/12): “Tempat Imam Muslim berdagang adalah Khan Mahmasy. Dan mata
pencahariannya beliau di dapat dari usahanya di Ustu[1]”. Dalam Tahdzibut
Tahdzib hal ini pula diceritakan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab Al Farra:
“Muslim Ibnul Hajjaj adalah salah satu ulama besar…. Dan ia adalah seorang
pedagang pakaian”. Dalam kitab Al ‘Ubar fi Khabar min Ghabar (29/2) terdapat
penjelasan: “Imam Muslim adalah seorang pedagang. Dan ia terkenal sebagai
dermawan di Naisabur. Ia memiliki banyak budak dan harta”.
F. Karakter Fisik Imam Muslim
Terdapat beberapa riwayat yang menceritakan karakter fisik Imam Muslim.
Dalam Siyar ‘Alamin Nubala (566/12) terdapat riwayat dari Abu Abdirrahman As
Salami, ia berkata: “Aku melihat seorang syaikh yang tampan wajahnya. Ia
memakai rida[2] yang bagus. Ia memakai imamah[3] yang dijulurkan di kedua
pundaknya. Lalu ada orang yang mengatakan: ‘Ini Muslim’”. Juga diceritakan dari
Siyar ‘Alamin Nubala (570/12), bahwa Al Hakim mendengar ayahnya berkata:
“Aku pernah melihat Muslim Ibnul Hajjaj sedang bercakap-cakap di Khan
Mahmasy. Ia memiliki perawakan yang sempurna dan kepalanya putih. Janggutnya
memanjang ke bawah di sisi imamah-nya yang terjulur di kedua pundaknya”.

G. Aqidah Imam Muslim


Imam Muslim adalah ulama besar yang memiliki aqidah ahlussunnah,
sebagaimana aqidah generasi salafus shalih. Dengan kata lain Imam Muslim adalah
seorang salafy. Aqidah beliau ini nampak pada beberapa hal:
Perkataan Imam Muslim di muqaddimah Shahih Muslim (6/1) : “Ketahuilah
wahai pembaca, semoga Allah memberi anda taufik, wajib bagi setiap orang untuk
membedakan hadits shahih dengan hadits yang lemah. Juga wajib mengetahui
tingkat kejujuran rawi, yang sebagian mereka diragukan kredibilitasnya. Tidak
boleh mengambil riwayat kecuali dari orang yang diketahui bagus kredibilitasnya
dan hafalannya. Serta patut untuk berhati-hati dari orang-orang yang buruk
kredibilitasnya, yang berasal dari tokoh kesesatan dan ahli bid’ah”. Diceritakan
pula di dalam Syiar ‘Alamin Nubala (568/12) bahwa Al Makki berkata: “Aku
bertanya kepada Muslim tentang Ali bin Ju’d. Muslim berkata: ‘Ia tsiqah, namun ia
berpemahaman Jahmiyyah’”. Hal ini menunjukkan Imam Muslim sangat
membenci paham sesat dan bid’ah semisal paham Jahmiyyah, serta tidak
mengambil riwayat dari tokoh-tokohnya. Dan demikianlah aqidah ahlussunnah.
Imam Muslim memulai kitab Shahih Muslim dengan Bab Iman, dan dalam
bab tersebut beliau memasukkan hadits-hadits yang menetapkan aqidah
Ahlussunnah dalam banyak permasalahan, seperti hadits-hadits yang membantah
Qadariyyah, Murji’ah, Khawarij, Jahmiyyah, dan semacam mereka, beliau juga
ber-hujjah dengan hadits ahad, terdapat juga bab khusus yang berisi hadits-hadits
tentang takdir.
Judul-judul bab pada Shahih Muslim seluruhnya sejalan dengan manhaj
Ahlussunnah dan merupakan bencana bagi ahlul bid’ah.
Abu Utsman Ash Shabuni dalam kitabnya, I’tiqad Ahlissunnah Wa Ash-
habil Hadits halaman 121 – 123, yaitu diakhir-akhir kitabnya, beliau menyebutkan
nama-nama imam Ahlussunnah Wal Jama’ah dan beliau menyebutkan di antaranya
Imam Muslim Ibnul Hajjaj.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab Dar’u Ta’arudh il ‘Aql Wan
Naql (36/7) berkata: “Para tokoh filsafat dan ahli bid’ah, pengetahuan mereka
tentang hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam serta atsar para sahabat dan
tabi’in sangatlah sedikit. Sebab jika memang diantara mereka ada orang yang
memahami sunah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam serta atsar para sahabat
dan tabi’in serta tidak berprasangka baik pada hal-hal yang menentang sunah,
tentulah ia tidak akan bergabung bersama mereka, seperti sikap yang ditempuh
para ahlul hadits. Lebih lagi jika ia mengetahui rusaknya pemahaman filsafat dan
bid’ah tersebut, sebagaimana para imam Ahlussunnah mengetahuinya. Dan
biasanya kerusakan pemahaman mereka tersebut tidak diketahui selain oleh para
imam sunah seperti Malik (kemudian disebutkan nama-nama beberapa imam)…
dan juga Muslim Ibnul Hajjaj An Naisaburi, dan para imam yang lainnya, tidak ada
yang dapat menghitung jumlahnya kecuali Allah, merekalah pewaris para nabi dan
penerus tugas Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam”
Adz Dzahabi dalam kitab Al ‘Uluw (1184/2) menyebutkan: “Diantara
deretan ulama yang berkeyakinan tidak bolehnya menta’wilkan sifat-sifat Allah
dan mereka beriman dengan sifat Al ‘Uluw di masa itu adalah (disebutkan nama-
nama beberapa ulama)… dan juga Al Imam Al Hujjah Muslim Ibnul Hajjaj Al
Qusyairi yang menulis kitab Shahih Muslim.”
Al ‘Allamah Muhammad As Safarini dalam kitab Lawami’ul Anwaril
Bahiyyah Wa Sawati’ul Asrar Al Atsariyyah (22/1) ketika menyebutkan nama-
nama para ulama ahlussunnah ia menyebutkan: “…Muslim, Abu Dawud, ….”.
Kemudian beliau berkata: “dan yang lainnya, mereka semua memiliki aqidah yang
sama yaitu aqidah salafiyyah atsariyyah”.
Dalam Majmu’ Fatawa (39/20) diceritakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
ditanya seseorang: “Apakah Al Bukhari, Muslim, … (disebutkan beberapa nama
ulama) termasuk ulama mujtahidin yang tidak taklid ataukah mereka termasuk
orang-orang yang taklid pada imam tertentu? Apakah diantara mereka ada yang
menisbatkan diri kepada mazhab Hanafi?”. Syaikhul Islam menjawab panjang
lebar, dan pada akhir jawabannya beliau berkata: “Mereka semua adalah para
pengagung sunnah dan pengagung hadits”.
Lebih menegaskan beberapa bukti diatas, bahwa Imam Muslim adalah hasil
didikan dari para ulama Ahlussunnah seperti Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih,
Imam Al Bukhari, Abu Zur’ah, dan yang lainnya. Dan telah diketahui bagaimana
peran mereka dalam memperjuangkan sunnah, dan sikap keras mereka terhadap
ahli bid’ah, sampai-sampai ahli bi’dah tidak mendapat tempat di majelis-majelis
mereka.

H. Mazhab Fiqih Imam Muslim


Jika kita memperhatikan nama-nama kitab yang ditulis oleh Imam Muslim,
hampir semuanya membahas seputar ilmu hadits dan cabang-cabangnya. Hal ini
juga ditemukan pada kebanyakan ulama ahli hadits yang lain di zaman tersebut.
Akibatnya, kita tidak dapat mengetahui dengan jelas mazhab fiqih mana yang
mereka adopsi. Padahal kita semua tahu bahwa Imam Muslim dan para ulama
hadits di zamannya juga sekaligus merupakan ulama besar dalam bidang fiqih,
sebagaimana Al Bukhari dan Imam Ahmad. Dan jika kita memperhatikan kitab
Shahih Muslim, bagaimana metode Imam Muslim membela hadits, bagaimana
penyusunan urutan pembahasan yang beliau buat, memberikan isyarat bahwa
beliau pun seorang ahli fiqih yang memahami perselisihan fiqih diantara para
ulama. Oleh karena itulah Al Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab At Taqrib (529)
mengatakan: “Muslim bin Hajjaj adalah ahli fiqih”.
Namun ada beberapa pendapat tentang mazhab fiqih Imam Muslim. Di
antaranya sebagaimana diutarakan Haji Khalifah dalam kitab Kasyfuz Zhunun
(555/1) ketika menyebut nama Imam Muslim: “Muslim Ibnul Hajjah Al Qusyairi
An Naisaburi Asy Syafi’i”. Shiddiq Hasan Khan juga mengamini hal tersebut
dalam kitabnya Al Hithah (198). Namun pendapat ini perlu diteliti ulang. Karena
terdapat beberapa indikasi yang dijadikan dasar oleh sebagian ulama untuk
mengatakan bahwa Imam Muslim bermazhab Hambali. Diantara, indikasi tersebut
misalnya Imam Muslim memiliki kitab yang berjudul Sualaat Ahmad bin Hambal.
Selain itu Imam Muslim pun berguru pada Imam Ahmad dan mengambil hadits
darinya. Diceritakan dalam Thabaqat Al Hanabilah (413/2) bahwa Imam Muslim
juga memuji Imam Ahmad dengan mengatakan: “Imam Ahmad adalah salah satu
ulama Huffadzul Atsar (punggawa ilmu hadits)”. Namun semua bukti ini juga
tidak menunjukkan dengan pasti bahwa beliau berpegang pada mahzab Hambali.
Pendapat yang benar adalah bahwa Imam Muslim berpegang pada mahzab
Ahlul Hadits dan tidak taklid pada salah satu imam mazhab. Sebagaimana
diterangkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di Majmu’ Fatawa (39/20):
“Adapun Al Bukhari dan Abu Dawud, mereka berdua adalah imam mujtahid
dalam fiqih. Sedangkan Muslim, At Tirmidzi, An Nasai, Ibnu Majah, Ibnu
Khuzaimah, Abu Ya’la, Al Bazzar dan yang semisal mereka, semuanya berpegang
pada mahzab Ahlul Hadits dan tidak taklid terhadap salah satu imam mahzab.
Mereka juga tidak termasuk imam mujtahid dalam fiqih secara mutlak. Namun
terkadang dalam fiqih mereka memiliki kecenderungan untuk mengambil pendapat
ulama Ahlul Hadits seperti Asy Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu ‘Ubaid, dan yang
semisal mereka”

I. Pujian Para Ulama


Kedudukan Imam Muslim diantara pada ulama Islam tergambar dari
banyaknya pujian yang dilontarkan kepada beliau. Pujian datang dari guru-
gurunya, orang-orang terdekatnya, murid-muridnya juga para ulama yang hidup
sesudahnya. Dalam Tarikh Dimasyqi (89/58), diceritakan bahwa Muhammad bin
Basyar, salah satu guru Imam Muslim, berkata: “Ada empat orang yang hafalan
hadits-nya paling hebat di dunia ini: Abu Zur’ah dari Ray, Muslim Ibnul Hajjaj
dari Naisabur, Abdullah bin Abdirrahman Ad Darimi dari Samarkand, dan
Muhammad bin Ismail dari Bukhara”.
Ahmad bin Salamah dalam Tarikh Baghdad (102-103/13) berkata: “Aku
melihat Abu Zur’ah dan Abu Hatim Ar Razi mengutamakan pendapat Muslim
dalam mengenali keshahihan hadits dibanding para masyaikh lain di masa mereka
hidup”.
Diceritakan dalam Tarikh Dimasyqi (89/58), Ishaq bin Mansur Al Kausaz
berkata kepada Imam Muslim: “Kami tidak akan kehilangan kebaikan selama
Allah masih menghidupkan engkau di kalangan muslimin”.
Dalam Tadzkiratul Huffadz, Adz Dzahabi juga memuji Imam Muslim
dengan sebutan: “Muslim Ibnul Hajjaj Al Imam Al Hafidz Hujjatul Islam”.
Imam An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim berkata: “Para ulama
sepakat tentang keagungan Imam Muslim, keimamannya, peran besarnya dalam
ilmu hadits, kepandaiannya dalam menyusun kitab ini, keutamaannya dan kekuatan
hujjah-nya”.
J. Wafatnya Imam Muslim
Diceritakan oleh Ibnu Shalah dalam kitab Shiyanatu Muslim (1216) bahwa
wafatnya Imam Muslim disebabkan hal yang tidak biasa, yaitu dikarenakan
kelelahan pikiran dalam menelaah ilmu. Kemudian disebutkan kisah wafatnya dari
riwayat Ahmad bin Salamah: “Abul Husain Muslim ketika itu mengadakan majelis
untuk mengulang hafalan hadits. Lalu disebutkan kepadanya sebuah hadits yang ia
tidak ketahui. Maka beliau pun pergi menuju rumahnya dan langsung menyalakan
lampu. Beliau berkata pada orang yang berada di dalam rumah: ‘Sungguh, jangan
biarkan orang masuk ke rumah ini’. Kemudian ada yang berkata kepadanya:
‘Maukah engkau kami hadiahkan sekeranjang kurma?’. Beliau menjawab: ‘(Ya)
Berikan kurma-kurma itu kepadaku’. Kurma pun diberikan. Saat itu ia sedang
mencari sebuah hadits. Beliau pun mengambil kurma satu persatu lalu
mengunyahnya. Pagi pun datang dan kurma telah habis, dan beliau menemukan
hadits yang dicari”. Al Hakim mengatakan bahwa terdapat tambahan tsiqah pada
riwayat ini yaitu: “Sejak itu Imam Muslim sakit kemudian wafat”. Riwayat ini
terdapat pada kitab Tarikh Baghdadi (103/13), Tarikh Dimasyqi (94/58), dan
Tahdzibul Kamal (506/27). Beliau wafat pada waktu di hari Ahad, dan
dimakamkan pada hari Senin, 5 Rajab 261 H.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Shahih Muslim berada setingkat di bawah Shahih Bukhari. Penyusunnya
adalah Abu al-Husein Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi. Sosok ini
lebih dikenal sebagai Imam Muslim. Ia lahir di Naisabur tahun 204 H. Tidak
banyak sumber yang dapat menjelaskan tentang keluarga dan masa kanak-kanak
Imam Muslim. Namun yang jelas, para usia 15 ia mulai intensif mempelajari hadis.
Sebagaimana Imam Bukhari, kegairahan Imam Muslim mendalami hadis
menjadikan dirinya sebagai tokoh utama di jajaran ahli hadis. Lebih longgar
dibanding kriteria Imam Bukhari, Imam Muslim menerima perawi yang semasa,
walau tidak bertemu secara langsung. Metode Imam Muslim Secara umum,
metode Imam Muslim dalam kitab shahihnya adalah sebagai berikut. Pertama, ia
tidak meriwayatkan suatu hadis kecuali pada perawi yang adil, kuat hafalannya,
jujur, amanah, dan tidak pelupa. Kedua, ia tidak meriwayatkan kecuali hadis
musnad (sanadnya lengkap), muttasil (sanadnya bersambung), dan marfu'
(disandarkan) kepada Nabi Muhammad. Di sisi lain, matan-matan (isi/kandungan)
hadis yang semakna beserta sanadnya diletakkan pada satu tempat, dan tidak
dipisah dalam beberapa bab yang berbeda. Ia juga tidak mengulas sebuah hadis
kecuali karena sangat perlu diulang untuk kepentingan sanad atau matan. Adapun
hadis yang lafaznya berbeda, diterangkannya dengan penjelasan yang singkat.
Begitu pula jika seorang perawi mengatakan haddatsana (dia menceritakan kepada
kami), dan perawi lain mengatakan akhbarana (dia mengabarkan kepada kami),
maka Imam Muslim akan menjelaskan lafaz ini. Apabila sebuah hadis
diriwayatkan oleh orang banyak dan terdapat beberapa lafaz yang berbeda, ia akan
menerangkan bahwa lafaz yang disebutkan itu berasal dari si fulan.

Anda mungkin juga menyukai