Anda di halaman 1dari 20

BIOGRAFI DAN ETIKA MENUNTUT ILMU

Di

Oleh :

NAMA : SHERLY

KELAS : X MIPA 2

SMAN 16 BONE

TAHUN AJARAN 2021/2022


Biografi Imam Muslim

Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin
Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi . Imam Muslim dilahirkan di Naisabur tahun 202 H atau 817
M. Naisabur, saat ini termasuk wilayah Rusia. Dalam sejarah Islam, Naisabur dikenal dengan
sebutan Maa Wara'a an Nahr, daerah-daerah yang terletak di belakang Sungai Jihun di
Uzbekistan, Asia Tengah.

Naisabur pernah menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan tidak kurang 150 tahun pada
masa Dinasti Samanid. Tidak hanya sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan, kota Naisabur
juga dikenal sebagai salah satu kota ilmu, bermukimnya ulama besar dan pusat di kawasan Asia
Tengah.

kecenderungan Imam Muslim kepada ilmu hadits tergolong luar biasa. Keunggulannya dari sisi
kecerdasan dan ketajaman hafalan, ia manfaatkan sebaik mungkin. Di usia 10 tahun, Muslim
kecil sering datang berguru pada Imam Ad Dakhili, seorang ahli hadits di kotanya. Setahun
kemudian, Muslim mulai menghafal hadits dan berani mengakui kesalahan gurunya ketika salah
dalam hadits periwayatan.

Seperti orang yang haus, kecintaanya dengan membimbing Muslim bertuangalang ke berbagai
tempat dan negara. Safar ke negeri lain menjadi kegiatan rutin bagi Muslim untuk mendapatkan
silsilah yang benar-benar sebuah hadits.

Dalam berbagai sumber, Muslim tercatat pernah ke Khurasan. Di kota ini Muslim bertemu dan
berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih. Di Ray ia berguru kepada
Muhammad bin Mahran dan Abu 'Ansan. Pada rihlahnya ke Makkah untuk menunaikan haji 220
H, Muslim bertemu dengan Qa'nabi,- muhaddits kota ini- untuk belajar memilikinya Anda.

Selain itu Muslim juga menyempatkan diri ke Hijaz. di kota Hijaz ia belajar kepada Sa'id bin
Mansur dan Abu Mas 'Abuzar. Di Irak Muslim belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal dan
Abdullah bin Maslamah. Kemudian di Mesir, Muslim berguru kepada 'Amr bin Sawad dan
Harmalah bin Yahya. Termasuk ke Syam, Muslim banyak belajar pada ulama hadits kota itu.

Tidak seperti kota-kota lainnya, bagi umat Islam, Bagdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah
Imam Muhaddits ini berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama ahli hadits. Terakhir
Imam Muslim berkunjung pada 259 H. Saat itu, Imam Bukhari berkunjung ke Naisabur. Oleh
Imam Muslim kesempatan ini digunakan untuk berkreasi sekaligus berguru pada Imam Bukhari.

Berkat kegigihan dan kecintaannya pada hadits, Imam Muslim tercatat sebagai orang yang
dikenal telah meriwayatkan puluhan ribu hadits. Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hasits
pada Universitas Damaskus, Syria, menyebutkan, hadits-hadits yang tercantum dalam karya
besar Imam Muslim, Shahih Muslim, mengadakan 3.030 hadits tanpa kuadrat.
Bila dihitung dengan angka, sambung, sekitar 10.000 hadits. Sedang menurut Imam Al Khuli,
ulama besar asal Mesir, hadits-hadits yang terdapat dalam karya Muslim yaitu 4.000 hadits tanpa
barisan, dan 7.275 dengan barisan. Jumlah hadits yang ditulis dalam Shahih Muslim merupakan
hasil saringan sekitar 300.000 hadits. Untuk menyelasekaikan kitab Sahihnya, Muslim
membutuhkan tidak kurang dari 15 tahun.

Imam Muslim dalam menetapkan kesahihan hadits yang diriwayatknya selalu tentang ilmu jarh
dan ta'dil. Metode ini ia gunakan untuk menilai tidaknya suatu hadits. Selain itu, Imam Muslim
juga menggunakan metode sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat). Dalam
kitabnya, dijumpai istilah haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan
kepada kami), akhbarani (mengabarkan saya), akhabarana (mengabarkan kepada maupun kami),
qaalaa (ia berkata). Dengan metode ini menjadikan Imam Muslim sebagai orang kedua terbaik
dalam masalah hadits dan seluk beluknya setelah Imam Bukhari.

Selain itu, Imam Muslim dikenal sebagai tokoh yang sangat ramah . Keramahan yang tidak jauh
berbeda dengan gurunya, Imam Bukhari. Dengan reputasi ini Imam Muslim oleh Adz-Dzahabi
disebutan sebagai Muhsin min Naisabur (orang baik dari Naisabur).

Maslamah bin Qasim menegaskan, “Muslim adalah tsiqqat, agung derajatnya dan merupakan
salah seorang pemuka (Imam).” Senada dengan Maslamah bin Qasim, Imam An-Nawawi juga
memberi sanjungan: “Para ulama atas kebesarannya, ketinggian, martabat, kecerdasan dan
kepeloporannya dalam hadits dunia.”

Seperti halnya Imam Bukhari dengan Al-Jami' ash-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari,
Imam Muslim juga memiliki kitab munumental, kitab Shahih Muslim. Dibanding kitab-kitab
hadits shahih karya Imam Muslim lainnya, Shahih Muslim yang memuat 3.033 hadits memiliki
karakteristik tersendiri. Imam Muslim banyak memberikan perhatian pada penjabaran hadits
secara resmi. Imam Muslim bahkan tidak judul-judul pada setiap akhir dari sebuah pokok
bahasan.

Sebenarnya kitab Shahih Muslim untuk Abu Zur'ah, salah seorang kritikus memiliki terbesar,
yang biasanya memberikan jumlah catatan mengenai hadits. Lantas, Imam Muslim kemudian
mengoreksi cacat tersebut dengan membuangnya tanpa argumentasi. Karena Imam Muslim tidak
pernah ingin mencatat hadits-hadits yang hanya berdasarkan kriteria pribadi semata, dan hanya
meriwayatkan hadits yang diterima oleh kalangan ulama. Sehingga hadits-hadits muslim terasa
sangat populis.

Sebenarnya para ulama berbeda pendapat mana yang lebih unggul antara Shahih Muslim dengan
Shahih Bukhari. Jumhur Muhadditsun berpendapat, Shahihul Bukhari lebih unggul, jumlah
ulama Marokko dan yang lain lebih mengunggulkan Shahih Muslim. Perbedaan ini terjadi bila
dilihat dari sisi pada sistematika penulisannya serta perbandingan antara tema dan isinya. Al-
Hafizh Ibnu Hajar mengulas kelebihan Shahih Bukhari atas Shahih Muslim, antara lain, karena
Al-Bukhari memastikan kepastian bertemunya dua perawi secara struktural sebagai guru dan
murid dalam hadits Mu'an'an agar dapat dipastikan sanadnya bersambung. Sementara Imam
Muslim menganggap cukup dengan “kemungkinan” bertemunya kedua rawi dengan tidak adanya
tadlis.

Al-Bukhari mentakhrij hadits yang diterima para perawi tsiqqat derajat utama dari segi hafalan
dan keteguhannya. Meski begitu, dia juga mengeluarkan hadits dari rawi derajat berikutnya
dengan sangat selektif. Sementara Muslim, lebih banyak pada rawi derajat kedua dibanding
Bukhari . Selain itu, kritik yang ditujukan kepada perawi jalur Muslim lebih banyak dibanding
al-Bukhari.

Sementara pendapat yang berpihak pada keunggulan Shahih Muslim beralasan, seperti yang
dijelaskan Ibnu Hajar, Muslim lebih berhati-hati dalam menyusun kata dan redaksinya. Muslim
juga tidak membuat kesimpulan dengan memberi judul bab seperti yang dilakukan Bukhari
lakukan. Imam Muslim wafat pada Ahad Sore, pada tanggal 24 Rajab 261 dengan mewariskan
hadiah yang sangat berharga bagi kaum Muslim dan dunia Islam.

Akhir Hayat Imam Muslim

Setelah mengarungi kehidupan yang penuh berkah, Muslim wafat pada hari Ahad sore, dan di
makamkan di kampung Nasr Abad daerah Naisabur pada hari Senin, 25 Rajab 261 H. dalam usia
55 tahun. Selama hidupnya, Muslim menulis beberapa kitab yang sangat bermanfaat

Para Guru Imam Muslim

Imam Muslim memiliki guru hadits yang sangat banyak sekali, di antaranya adalah: Usman bin
Abi Syaibah, Abu Bakar bin Syaibah, Syaiban bin Farukh, Abu Kamil al-Juri, Zuhair bin Harab,
'Amar an-Naqid, Muhammad bin Musanna, Muhammad bin Yasar, Harun bin Sa'id al-Aili,
Qutaibah bin sa'id dan lain sebagainya.

Murid yang meriwayatkan haditsnya

Banyak para ulama yang meriwayatkan hadits dari Muslim, bahkan di antaranya terdapat ulama
besar yang sebaya dengan dia. Di antaranya, Abu Hatim ar-Razi, Musa bin Harun, Ahmad bin
Salamah, Abu Bakar bin Khuzaimah, Yahya bin Said, Abu Awanah al-Isfarayini, Abi isa at-
Tirmidzi, Abu Amar Ahmad bin al-Mubarak al-Mustamli, Abul Abbas Muhammad bin Ishaq bin
as-Sarraj, Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan al-Faqih az-Zahid. Nama terakhir ini adalah
perawi utama bagi Shahih Muslim. Dan masih banyak lagi muridnya yang lain.

Pujian para Ulama Terhadap Imam Muslim

Jika Imam Bukhari sebagai ahli hadits nomor satu, ahli tentang ilat-ilat (cacat) hadits dan seluk
beluk hadits, dan daya kritiknya sangat tajam, maka Muslim adalah orang kedua setelah Bukhari,
baik dalam ilmu, keistimewaan dan kedudukannya. Hal ini tidak mengherankan, karena Muslim
adalah salah satu dari muridnya.
Al-Khatib al-Bagdadi berkata: “Muslim telah mengikuti jejak Bukhari, mengembangkan ilmunya
dan mengikuti.” pernyataan ini menunjukkan bahwa Muslim hanya seorang pengikut saja.
Karena memiliki ciri khas tersendiri dalam menyusun kitab, serta memperkenalkan metode baru
yang belum ada sebelumnya.

Imam Muslim mendapat pujian dari ulama hadis dan ulama lainnya. Al–Khatib al-Bagdadi
meriwayatkan dari Ahmad bin Salamah , katanya “Saya me-lihat Abu Zur'ah dan Abu Hatim
selalu mengutamakan Muslim bin al-Hajjaj dari pada guru-guru hadits lainnya.

Ishak bin Mansur al-Kausaj berkata Muslim: “Kami tidak akan kehilangan kaum untuk
menghargai selama Allah menetapkan bagimu muslimin.”

Ishak bin Rahawaih pernah berkata: “Adakah orang lain seperti Muslim?”. Ibnu Abi Hatim
mengatakan: “Muslim adalah penghafal hadits. Saya menulis hadits dari dia di Ray.” Abu
Quraisy berkata: “Di dunia ini, orang yang benar-benar ahli hadits hanya empat orang. Di
antaranya adalah Muslim.” Maksudnya, ahli hadits terkemuka di masa Abu Quraisy. Sebab ahli
hadits itu cukup banyak jumlahnya.

Kitab tulisan Imam Muslim

Imam muslim memiliki kitab hasil tulisannya yang cukup banyak. Di antaranya:

1.Al-Jamius Syahih

2.Al-Musnadul Kabir Alar Rijal

3.Kitab al-Asma' wal Kuna

4.Kitab al-Ilalah

5.Kitab al-Aqran

6.Kitab Sualatihi Ahmad bin Hanbal

7.Kitab al-Intifa' bi Uhubis Siba'

8.Kitab al-Muhadramain

9.Kitab Man Laisa Lahu illa Rawin Wahidin

10.Kitab Auladus Sahabah

11.Kitab Auhamul Muhadisin.


BAB II

BIOGRAFI IMAM SYAFI’I

A. Biografi Imam Syafi‟i

1. Riwayat Hidup Imam Syafi‟i Imam Syafi‟i adalah salah seorang ulama yang sangat masyhur.
Setiap orang yang memperhatikannya akan tertarik untuk mengetahui lebih dalam pribadinya,
perilakunya serta peninggalannya yang telah membuat orang yang memperhatikannya
menghormati, memuliakan dan mengagungkannya.1 Ia ulama mujtahid (ahli ijtihad) dibidang
Fiqih dan salah seorang dari empat imam madzhab yang terkenal dalam Islam. Ia hidup di masa
pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid, al-Amin dan al-Ma‟mun dari Dinasti Abbasiyah.2 Ia
dilahirkan di Gaza, sebuah kota kecil di Laut Tengah pada tahun 150 H./767 M.

Nama lengkap Imam Syafi‟i adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Idris al-Syafi‟i. Ia sering
juga dipanggil dengan nama Abu Abdullah, karena salah seorang putranya bernama Abdullah.
Setelah menjadi ulama besar dan mempunyai banyak pengikut, ia lebih dikenal dengan nama
Imam Syafi‟i dan madzhabnya disebut Madzhab Syafi‟i. Kata Syafi‟i dinisbatkan kepada nama
kakeknya yang ketiga, yaitu Syafi‟i ibn al-Saib. Ayahnya bernama Idris ibn Abbas ibn Usman
ibn Syafi‟i ibn al-Saib ibn Abdul Manaf, sedangkan ibunya bernama Fatimah binti Abdullah ibn
al-Hasan ibn Husain ibn Ali ibn Abi Thalib. Dari garis keturunan ayahnya, Imam Syafi‟i bersatu
dengan keturunan Nabi Muhammad SAW.

Pada Abdul Manaf, kakek Nabi saw. yang ketiga, sedangkan dari pihak ibunya, ia adalah cicit
dari Ali ibn Abi Thalib. Dengan demikian, kedua orang tuanya berasal dari bangsawan Arab
Quraisy. Dengan pertalian tersebut di atas, Imam Syafi‟i menganggap dirinya dari orang yang
dekat kepada Rasulullah saw. Bahkan beliau dari keturunan Zawil Kubra yang berjuang bersama
dengan Rasulullah saw. Di zaman Jahiliyah dan Islam.

Mereka bersama dengan Rasulullah juga semasa orang Quraisy mengasingkan Rasulullah
mereka bersama turut menanggung penderitaan bersama-sama Rasulullah. Keluarga Imam
Syafi‟i adalah dari keluarga Palestina yang miskin yang dihalau dari negerinya, mereka hidup
dalam perkampungan yang nyaman. Meskipun dibesarkan dalam keadaan yatim dan dalam
keluarga yang miskin, tidak menjadikan beliau merasa rendah diri apalagi malas. Sebaliknya,
beliau bahkan giat mempelajari hadits dari ulama- ulama hadits yang banyak terdapat di
Makkah.8 beliau terpaksa mengumpulkan batu-batu yang baik, belulang, pelepah tamar dan
tulang unta untuk ditulis di atasnya. Kadangkala beliau pergi ke tempat-tempat perkumpulan
orang banyak meminta kertas untuk menulis pelajarannya.9 2. Pendidikan Imam Syafi‟i Pada
waktu beliau hidup di tengah-tengah masyarakat, mula-mula belajar dengan Muslim bin Khalid
al-Zinji, kemudian beliau melanjutkan pengembarannya ke Madinah, di mana menemui Imam
Malik untuk minta ijin agar diperkenankan meriwayatkan hadits-haditsnya. Sebelum Imam
Malik mengijinkannya, Imam Syafi‟i sempat ditest untuk membacakan kitab al-Muwatta‟
dihadapannya, kemudian beliau membacanya di luar kepala.
Setelah belajar kepada Imam Malik, pada tahun 195 H. beliau pergi ke Baghdad untuk menuntut
ilmu dan mengambil pendapat-pendapat dari murid- murid Imam Abu Hanifah, dengan cara
bermunazarah dan berdebat dengan mereka, selama dua tahun beliau berada di Baghdad kemudia
beliau ke Makkah, dilanjutkan ke Yaman, beliau berguru pada Matrak bin Mazin dan di Irak
beliau berguru kepada Muhammad bin Hasan. Diantara guru-guru beliau ada yang beraliran
tradisional atau aliran hadits. Seperti Imam Malik dan ada pula yang mengikuti paham
Mu‟tazilah dan Syiah. Pengalaman yang diperoleh Imam Syafi‟i dari berbagai aliran Fiqh
tersebut membawanya ke dalam cakrawala berpikir yang luas, beliau mengetahui letak keturunan
dan kelemahan, luas dan semptinya pandangan masing-masing madzhab tersebut, dengan bekal
itulah beliau melangkah untuk mengajukan berbagai kritik dan kemudian mengambill jalan
keluarnya sendiri.

Mula-mula beliau berbeda pendapat dengan gurunya Imam Malik. Perbedaan ini berkembang
sedemikian rupa sehingga ia menulis buku Khilaf Malik yang sebagian besar berisi kritik
terhadap pendapat (Fiqh) madzhab gurunya itu. Beliau juga terjun dalam perdebatan perdebatan
sengit dengan Madzhab Hanafi dan banyak mengeluarkan koreksi terhadapnya. Dari kritik- kritik
Imam Syafi‟i terhadap kedua madzhab tersebut akhirnya ia muncul dengan madzhab baru yang
merupakan sintesa antara fiqh ahli hadits dan fiqh ahli ra‟yu yang benar-benar orisinil. Namun
demikian yang paling menentukan orisinalitas Madzhab Syafi‟i ini adalah kehidupan empat
tahunnya di Mesir.10 3. Guru-Guru Imam Syafi‟i Al-Syafi‟i menerima Fiqh dan Hadits dari
banyak guru yang masing- masing mempunyai manhaj sendiri dan tinggal di tempat-tempat yang
berjauhan satu sama lainnya. Ada di antara gurunya yang mu‟tazili yang memperkatakan ilmu
kalam yang tidak disukainya. Dia mengambil mana yang perlu diambil dan dia tinggalkan mana
yang perlu ditinggalkan. Al- Syafi‟i menerimanya dari ulama-ulama Mekkah, ulama-ulama
Madinah, ulama-ulama Irak dan ulama-ulama Yaman.11 Ulama-ulama Mekkah yang menjadi
gurunya adalah: a. Muslim ibn Khalid az-Zinji b. Sufyan ibn Uyainah Said ibn al-Kudah d.
Daud ibn Abdurrahman e. Al-Attar f. Abdul Hamid ibn Abdul Aziz ibn Abi Daud.12 Ulama-
ulama Madinah yang menjadi gurunya adalah: a. Malik ibn Anas b. Ibrahim ibn Saad al-Ansari
c. Abdul Azis ibn Muhammad al-Darawardi d. Ibrahim ibn Yahya al-Asami e. Muhammad Said
ibn Abi Fudaik f. Abdullah ibn Nafi al-Shani.13 Ulama-ulama Irak yang menjadi gurunya
adalah: a. Waki ibn Jarrah b. Abu Usamah c. Hammad ibn Usamah d. Ismail ibn Ulaiyah e.
Abdul Wahab ibn Ulaiyah f. Muhammad ibn Hasan.14 Ulama-ulama Yaman yang menjadi
gurunya adalah: a. Muththarif ibn Mizan b. Hisyam ibn Yusuf c. Hakim Shan‟a (Ibu Kota
Republik Yaman) 12 Moenawar Chalil , op. cit., h. 149. 13 Ahmad asy-Syurbasi, 4 Mutiara
Zaman, (Jakarta: Pustaka Qalami, 2003), h. 135. 14 Faruk Abu Zaid, op. cit., h. 487. 18 d. Umar
ibn Abi Maslamah al-Auza‟i e. Yahya Hasan.15 4. Murid-murid Imam Syafi‟i Sebagaimana
yang telah kita ketahui bahwa guru-guru Imam Syafi‟i amatlah banyak, maka tidak kurang pula
penuntut atau muridmuridnya. Di antara murid-muridnya adalah: a. Abu Bakar al-Humaidi b.
Ibrahim ibn Muhammad al-Abbas c. Abu Bakar Muhammad ibn Idris d. Musa ibn Abi al-
Jarud.16 Murid-muridnya yang keluaran Baghdad, yaitu: a. Al-Hasan al-Sabah al-Za‟farani b.
Al-Husain ibn Ali al-Karabisi c. Abu Thur al-Kulbi d. Ahmad ibn Muhammad al-Asy‟ari.17
Murid-muridnya yang keluaran Irak, yaitu: a. Imam Ahmad ibn Hanbal b. Imam Dawud al-
Zahiri c. Imam Abu Tsaur al-Baghdadi d. Abu Ja‟far at-Thabari.18 Murid-muridnya yang
keluaran Mesir, yaitu: 15Ahmad asy-Syurbasi, loc. cit, h. 122. 16 Ibid, h. 151. 17 Ibid. 18 Subhi
Mahmassani, Filsafat Hukum dalam Islam, (Bandung: al-Ma‟arif, 1976), h. 68. 19 a. Al-Rabi‟in
ibn Sulaiman al-Muradi b. Abdullah ibn Zuber al-Humaidi c. Abu Ya‟kub Yusuf Ibnu Yahya al-
Buwaithi d. Abu Ibrahim Ismail ibn Yahya al-Muzany e. Al-Rabi‟i ibn Sulaiman al-Jizi f.
Harmalah ibn Yahya at-Tujibi g. Yunus ibn Abdil A‟la h. Muhammad ibn Abdullah ibn Abdul
Hakam i. Abdurrahman ibn Abdullah ibn Abdul Hakam j. Abu Bakar al-Humaidi k. Abdul Aziz
ibn Umar l. Abu Utsman, Muhammad ibn Syafi‟i m. Abu Hanifah al-Asnawi. Murid-murid
Imam Syafi‟i dari kalangan perempuan tercatat antara lain saudara perempuan al-Muzani.
Mereka adalah para cendekiawan besar dalam bidang pemikiran Islam dengan sejumlah besar
bukunya baik dalam Fiqih maupun lainnya.19 Di antara para muridnya yang termasyhur sekali
ialah Ahmad ibn Hambal yang mana beliau telah memberi jawaban kepada pertanyaan tentang
Imam Syafi‟i dengan katanya: Allah Ta‟ala telah memberi kesenangan dan kemudahan kepada
kami melalui Imam Syafi‟i. Kami telah mempelajari pendapat kaum-kaum dan kami telah
menyalin kitab-kitab 19 Abdullah Mustofa al-Maraghi, Pakar-pakar Fiqh Sepanjang Sejarah”,
(Yogyakarta: 2001), h. 93. 20 mereka tetapi apabila Imam Syafi‟i datang kami belajar
kepadanya, kami dapati bahwa Imam Syafi‟i lebih alim dari orang-orang lain. Kami senantiasa
mengikuti Imam Syafi‟i malam dan siang apa yang kami dapati darinya adalah kesemuanya baik,
mudah-mudahan Allah melimpahkan rahmat-Nya atas beliau.20 5. Pemikiran Dan Karya Imam
Syafi‟i Sebagaimana Imam Malik di mana pemikiran beliau banyak dipengaruhi oleh tingkat
kehidupan sosial masyarakat dimana beliau tinggal, maka demikian pula Imam Syafi‟i, ketika
beliau berada di Hijaz, sunnah dan hadits dengan tatanan kehidupan sosial yang sederhana
hingga relatif tidak banyak timbul problem kemasyarakatan dan cara pengambilan yang langsung
dari teks al-Qur‟an serta sunnah telah mamadahi untuk menyelesaikannya, maka wajar sekali
jika Imam Syafi‟i lalu cenderung kepada aliran ahli hadits, karena memang beliau belajar dari
Imam tersebut. akan tetapi setelah beliau mengembara ke Baghdad (Irak) dan menetap untuk
beberapa tahun lamanya serta mempelajari Fiqh Abu Hanifah dan Madzhab ahli ra‟yu, maka
mulailah beliau condong kepada aliran rasional ini. Apalagi beliau saksikan sendiri bahwa
tigginya tingkat kebudayaan di Irak sebagai daerah keruwetannya yang para ahli Fiqh seringkali
tidak menemukan ketegasan jawabannya dalam al-Qur‟an maupun as-Sunnah. Keadaan ini lalu
mendorong mereka untuk melakukan ijtihad dan 20Moenawar Chalil, op. cit, h. 152. 21
menggunakan rasio.21 Seperti penulis kemukakan diatas bahwa yang paling menentukan
keorisinilitas madzhabnya adalah kehidupan selama empat tahun di Mesir. Memang banyak kota
dimana Imam Syafi‟i mengembangkan dan mengambil ilmu, seperti Yaman, Persia, baghdad dan
kota-kota lainnya, tetapi di Mesirlah sampai beliau meinggal dunia. Banyak digunakan untuk
menulis karya-karyanya, bahkan untuk merivisi buku-buku yang telah ditulisnya, juga
meletakkan dasar-dasar madzhab barunya yang dikenal dengan Qaul Jadidnya. Dengan
perpaduan pemikiran beliau akibat pengaruh dari corak pendidikan dan pengalamannya dari
berbagai negara, disinilah Imam Syafi‟i mengkompromikannya, mengkombinasikan serta
mendiskusikan Fiqih negara Hijaz yang menjadikan beliau terkenal dengan ahli ra‟yu. Misalnya
beliau sependapat dengan Imam Malik (ahli hadits) dalam mengambil al-Qur‟an sebagai dasar
pertama hukum Islam, karena menurutnya as-Sunnah berfungsi menjelaskan dan menafsirkan al-
Qur‟an maka ia menjadikan as-Sunnah sebagai dasar hukum kedua. Di lain pihak, Imam Syafi‟i
sepakat dengan Madzhab Hanafi (ahli ra‟yu) dalam kecenderungan memakai ijtihad atau rasio,
namun Imam Syafi‟i memberikan suatu batasan bahan dasar ijtihad atau ra‟yu tersebut berbentuk
qiyas (analogi), dan dalam pemakaian qiyas ini Imam Syafi‟i memberikan ketentuan-
ketentuannya. Beliau juga sependapat dengan golongan Malikidalam mengambil ijma‟ sebagai
sumber hukum sesudah al-Qur‟an dan 21 Ibid, h. 30. 22 as-Sunnah, tetapi beliau memberikan
persyaratan-persyaratan yang ketat sebagai ijma‟ bukan semata-mata hasil pemikiran, hasil
pemikiran tanpa ketentuan-ketentuan yang pasti.22 Terhadap karya-karya Imam Syafi‟i Qadi
Imam Abu Muhammad bin Husain bin Muhammad al-Muzani, yaitu salah seorang murid Imam
Syafi‟i yang mengatakan bahwa Imam Syafi‟i telah mengarang kitab sebanyak 113 kitab, baik
kitab dalam ilmu Ushul al-Fiqh, dan lain-lain, sebagai pegangan dan pengetahuan yang sempat
kita nikmati sampai sekarang. Khususnya untuk kepustakaan Indonesia adalah diantaranya
sebagai berikut : a. Ar-Risalah Kitab ini disusun berkaitan dengan kaidah-kaidah ushul fiqh yang
didalamnya diterangkan mengenai pokok-pokok pegangan Imam Syafi‟i dalam
mengistinbathkan suatu hukum. b. Al-Umm Kitab induk ini berisikan hasil-hasil ijtihad Imam
Syafi‟i yang telah dikondisikan dalam bentuk juz dan jilid yang membahas masalah taharah,
ibadah, amaliyah, sampai pada masalah peradilan seperti jinayah, muamalat, munakahat dan
lain-lain. c. Ikhtilaf al-Hadits Disebut Ikhtilaf al-Hadits karena di dalamnya mengungkap
perbedaan para ulama dalam persepsinya tentang hadits mulai dari Sanad sampai Perawi 22
Abdullah Mustofa al-Maraghi, Op. Cit, h. 34. 23 yang dapat dipegangi, termasuk analisisnya
tentang hadits yang menurutnya dapat dipegangi sebagai hujjah. d. Musnad Di dalam musnad
isinya hampir sama dengan yang ada di dalam kitab ikhtilaf al-Hadits, kitab ini juga
menggunakan persoalan mengenai hadits hanya dalam hal ini terdapat kisah bahwa hadits yang
disebut dalam kitab ini adalah hadits yang dipergunakan Imam Syafi‟i, khususnya yang berkaitan
dengan fiqh dalam kitab al-Umm, dimana dari segi sanadnya telah dijelaskan secara jelas dan
rinci. 6. Fiqh Imam Syafi‟i Ilmu fiqih yang dibawa oleh Imam Syafi‟i adalah merpakan suatu
zaman perkembangan fiqih dalam sejarah perundangan Islam. Oleh karena itu, beliau
mengumpulkan atau menyatukan ilmu fiqih ahli-ahli akal dan pikir dengan ilmu fiqih ahli-ahli
akal dan hadits. Ilmu fiqih Imam Syafi‟i merupakan ikatan sunnah dengan qiyas dan pemikiran
dengan beberapa cara- cara atau peraturan untuk memahami al-Qur‟an dan Hadits. Juga beliau
menerapkan kaidah-kaidah pengeluaran hukum dan kesimpulannya, oleh karena itulah beliau
berhak dianggap sebagai penulis ilmu Ushul Fiqih.23 Menurut apa yang terbukti di atas bahwa
Imam Syafi‟i mulai menyusun madzhab fiqihnya setelah beliau mempelajari ilmu fiqih di
Madinah dan fiqih orang-orang Irak.24 Madzhab Syafi‟i mulai berkembag di Mesir, yang
terkenal dengan qaul jadidnya, yang diajarkan beliau di Masjid 23 Ahmad asy-Syurbasi, op. cit,
h. 155. 24 Ibid. 24 „Amr ibn Ash. Perkembangan ini semakin bertambah sejak banyaknya para
ulama dan para cendekiawan yang mengikuti pelajarannya. Seperti Muhammad ibn Abdullah ibn
Abdul Hakim, Ismail ibn Yahya al-Buwaithy, ar-Rabi, al-Jizi, Asyhab Ibnu Qasim dan Ibn
Mawaz. Oleh karena itu, terdesaklah madzhab yang telah dianut sebelumnya, yaitu mazhab
Hanafi dan mazhab Maliki.25 Walaupun pada tahun 197 H beliau telah mengajarkan qaul
qadimnya di Baghdad, namun perkembangan madzhab Syafi‟i barulah setelah beliau meninggal
dunia yang dikembangkan oleh Hasan ibn Muhammad al-Za‟farani (wafat 260 H.). 7. Imam
Syafi‟i Wafat Imam Syafi‟i dengan tenang menghembuskan nafasnya yang terakhir sesudah
shalat Isya‟, malam Jum‟at bulan Rajab tahun 204 H./819 M. dengan disaksikan muridnya Rabi
al-Jizi.26

BAB II BIOGRAFI SYEKH MUHAMMAD NAWAWI AL-BANTANI

A. Biografi Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani

Beserta Latar Belakang Kehidupan Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani Syekh Nawawi Al-
Bantani memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu'ti Muhammad Nawawi ibn Umar al- Tanara al-
Jawi al-Bantani. Ialebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-
Bantani.Dilahirkan di Kampung Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang Banten.1 Ada
yang menyebut ulama ini dengan nama Nawawi Banten ada pula yang menyebutnya Nawawi
Tanara, karena dia lahir di kampong Tanara Kec. Tirtayasa Kab. Serang Banten. Dalam sebagian
bukunya tertulis nama Syaikh Muhammad Nawawi Al- Jawi. Al-Jawi berarti orang jawa atau
orang dari pulau jawa, yang meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat atau Jawa bagian
barat, yang menyeliputi Banten.2 Ayah Nawawi bernama “Umar bin “Araby dan ibunya
bernama Zubaidah. Keduannya adalah penduduk asli desa Tanara kecamatan Tirtayasa
Kabupaten Serang Jawa Barat. Ayahnya seorang ulama sebagai pendiri dan pembina pertama-
tama masjid jami‟ Desa Tanara itu dan pernah menjabat sebagai penghulu Kecamatan di daerah
tersebut. Secara genologis Muhammad Nawawi merupakan keturunan yang ke 12 dari Maulana
syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) Cirebon yaitu 1Kafabihi Mahrus, Ulama Besar
Indonesia Biografi dan Karyanya, Kendal: PondokPesantren Al-Itqon, Cet Ke 1, 2007, hlm. 4
2Sudirman Teba, Mengenalkan Wajah Islam Yang Ramah, Banten: Pustaka irVan, CetKe-1,
2007, hlm. 155 16 keturunan dari Maulana Hasanuddin (Sultan Kerajaan Islam Banten I) lewat
jalur Suniararas.3 Silsilah keturunan Syaikh Muhammad Nawawi dari ayahnya adalah Kyai
Umar bin Kyai Arabi bin Kyai Ali bin Kyai Jamad bin Janta, bin Kyai Mas Bugil bin Kyai
Masqun bin Kyai Masnun bin Kyai Maswi bin Kyai Tajul Arusy Tanara bin Maulana
Hasanuddin Banten bin Maulana Syarif Hidayatullah Cirebon bin Raja Amatudin Abdullah bin
Ali Nuruddin bin Maulana Jamaluddin Akbar Husain bin Imam Sayyid Ahmad Syah Jalal bin
Abdullah Adzmah Khan bin Amir Abdullah Malik bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad
Sahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali Qasim bin Sayyid Alwi bin Imam Ubaidillah bin Imam
Ahmad Mubajir Ilalahi bin Imam Isya Al-Naqib bin Imam Muhammad Naqib bin Imam Ali
Aridhi bin Imam Ja‟far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad Al- Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin
bin Sayyidina Khusain bin Sayyidatuna Fatimah Zahra binti Muhammad Rasulallah SAW.
Kemudian dari silsilah keturunan pihak Ibunya adalah bahwa Nawawi Putra Nyi Zubaidah binti
Muhammad Singaraja.4 Kalau ditinjau dari geneologis, kehidupan keluarga serta latar belakang
pendidikannya. Muhammah Nawawi bukanlah keluarga orang awam (biasa). Ia adalah keturunan
Sunan Gunung Jati yang sangat terkenal, salah satu anggota wali songa yang terkenal di tanah
jawa. Dalammasalah-masalah Agama keluarga nawawi termasuk keluarga besar yang menonjol
di daerahnya. Semua anggota keluarganya adalah orang-orang yang suka menuntut ilmu
khususnya ilmu 3Yasin, Melacak Pemikiran Syaikh Nawawi Al-Bantani, Semarang: RaSAIL
Media Group, Cet Ke I, 2007, hlm. 60 4Sudirman Teba, Op Cit, hlm. 156 17 ilmu pengetahuan
agama. Ini semua membukakan jalan seluas-luasnya bagi nawawi untuk meraih sukses dalam
bidang ilmu pengetahuan.5 Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan kita mendapat kesan
bahwa Muhammah Nawawi ini membukakan jalan seluas-luasnya bagi beliau untuk meraih
sukses dalam ilmu pengetahuan dan memang lanyak dan pantas tumbuh menjadi seorang ulama
besar dan terkenal. Latar belakang keluarga dan pendidikan keagamaannya cukup kuat untuk
memberikan arah pasti dan membentuk pola pikir dan kepribadian yang mantap menjadi seorang
ulama besar. B. Pendidikan dan Aktivitasnya Pada usia lima tahun beliau belajar langsung
dibawah asuhan Ayahandanya „Umar bin “Araby seorang ulama yang pertama membangun
pondok pesantren di daerahnya. dari Ayahnyalah Muhammad Nawawi mendapatkan Ilmu
Pengetahuan khususnya Ilmu Agama seperti Bahasa Arab, tauhid, fiqih dan tafsir. Setelah itu
barulah Muhammad Nawawidan kedua adiknya Ahmad dan Tamim belajar kepada ulama-ulama
lain seperti Kyai Sahal di Bantam dan Kyai Yusuf seorang Ulama terkenal di Purwakarta.6
Ketika usianya memasuki delapan tahun, anak pertama dari tujuh bersaudara itu memulai
pengembaraannya mencari ilmu. Tempat pertama yang dituju adalah Jawa Timur, setelah tiga
tahun di Jawa Timur, beliau pindah ke salah satu pondok di daerah Cikampek (Jawa Barat)
khusus belajar lughot (bahasa).7 5Yasin, Op Cit, hlm. 60 6Ibid, hlm. 61 7Kafabihi Mahrus. Op
Cit, hlm. 5 18 Syekh Muhammad Nawawi adalah seorang ulama yang haus akan ilmu
pengetahuan. Setelah beliau belajar kepada orang tuanya sendiri dan beberapa ulama di jawa,
dalam usianya yang relatif muda, 15 tahun, Muhammad Nawawi bersama kedua saudaranya
Tamin dan Ahmad berangkat ke mekah untuk menunaikan ibadah haji. Syaikh Muhammad
Nawawi bermukim di sana selama 3 tahun. Setelah tiga tahun bermukim di Mekkah, ia kembali
ke Tanara dan mencoba mengembangkan ilmu yang didapatnya. 8 Tetapi karena kondisi tanah
air pada saat itu masih berada di bawah jajahan belanda dan setiap gerak gerik Ulama termasuk
Muhammad Nawawi selalu diintai oleh pemerintah Belanda 9 dan juga kehidupan intelektual di
mekkah sangat menarik hatinya, setelah kurang lebih tiga tahun tinggal di tanara (tempat
kelahirannya), ia kembali ke mekkah dan tinggal di Syi‟ib Ali sampai Akhir hayatnya.10 Beliau
belajar untuk pertama kali di Masjidil Haram Makkah. Di tempat ini dia belajar pada Sayyid
Ahmad Nahrawi, Sayyid Ahmad Dimyati, Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (ketiganya dari
Makkah), dan setelah itu dia belajar pada Syekh Muhammad Khotib Al- Hambali dari Madinah
dan Syaikh khotib As-sambasi, Syekh Yusuf Sumbawani dari Indonesia yang bermukim di
Makkah.11 Pencariannya terhadap ilmu pengetahuan tidak berhenti sampai disitu, tetapi ia juga
pergi ke Negara-Negara Lainnya seperti Mesir dan Suriah. Di 8Ibid, hlm. 5 9Sudirman Teba, Op
Cit, hlm. 157 10Yasin, Op Cit, hlm. 62 11Kafabihi Mahrus, Op Cit, hlm. 6 19 sana dia belajar
pada Ulama-Ulama Besar.12 seperti Yusuf Samulaweni, Al- Nakhrawy dan Abdul Hanid
Daghastani yang ketiganya dari Mesir.13 Setelah sukses belajar, beliau menjadi guru di Masjidil
Haram selama 30 tahun. Diantara anak didiknya yang kemudian dikenal oleh bangsa dan umat
Islam Indonesia sebagai ulama kenamaan adalah KH. Kholil Bangkalan, KH. Tubagus
Muhammad Asnawi di Caringan (Jawa Barat).14KH. Hasim Asy‟ari Tebu Ireng Jombang Jawa
Timur, KH. Asy‟ari Bawean, KH. Nahjun Kampung Gunung Mauk Tangerang, KH. ASnawi
Caringin Labuan Pandeglang Banten, KH. Ilyas Kampung Teras Tanjung Kec. Karagilan Kab.
Serang banten, KH. Abdul Ghoffar Kampung. Lampung Kec. Tirtayasa Kab. Serang Banten,
KH. Tubagus Bakri Sempur Purwakarta.15 Ada juga murud- murid yang terkenal dari negara
lain, seperti Dawud Perak (Kuala Lumpur Malaysia), dan Abd. Al- Sattar bin Abd. Al-Wahhad
Al-Dahlawi (Mekkah).16 Syaikh Muhammad Nawawi adalah seorang pendidik yang piwai. Ia
adalah sang penabur benih bagi tumbuhnya ilmu-ilmu agama dan pemekarannya sekaligus di
wilayah Nusantara setelah dengan khusyuknya mengajarkan tentang keshalehan kepada murid-
muridnya selama lebih dari tiga puluh tahun. Murid-muridnya tersebar dan tumbuh subur dengan
manfaat ilmunya. Ia memang sang penabur benih kebajikan, ilmu dan keteladanan.17Di
kalangan komunitas pesantren khususnya di tanah Jawi, Syekh Nawawi tidak hanya dikenal
sebagai ulama penulis kitab, tetapi juga beliau adalah maha 12Sudirman Teba hlm. 157 13Yasin,
Op Cit, hlm. 62 14Kafabihi Mahrus, Loc Cit, hlm. 6 15Sudirman Teba, Op Cit, hlm. 158
16Yasin, Loc Cit, hlm. 62 17Yasin, Op Cit, hlm. 72 20 guru sejati (the great scholar). Syaikh
Muhammad Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasanbatasan etis
tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualan
tokoh-tokoh para pendiri pesantren.18 Hal ini terbukti bahwa para murid- muridnya setelah
pulang ke Nusantara, berkiprah sebagai pendiri Pesantren seperti: KH. Kholil Bangkalan, KH.
Hasim Asy‟ari Tebu Ireng Jombang Jawa Timur, dengan bertujuan untuk mendakwahkan apa
yang telah diperolehnya. Sehingga terlihat sampai sekarang bahwa materi dan metode dalam
pengajaran di pesantren tidak lepas dari jasa guru besar Syaikh Muhammad Nawawi. Disamping
digunakan untuk mengajar kepada para muridnya, seluruh kehidupan beliau banyak dicurahkan
untuk menulis buku. Adayang mengatakan bahwa bukunya mencapai 99 dan ada pula yang
menyebut bahwa dia menulis 115 buku.19 Inisiatif menulis banyak dating dari desakan sebagian
kolegannya yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang
dari sahabatnya yang berasal dari Jawi, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali di daerah
asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karyanya yang sering ditulis atas permohonan
sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (Syarh) dari
karya-karya ulamasebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis Syarh
selain karena permintaan orang lain, Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya
pendahulunya yang sering mengalami perubahan (ta‟rif) dan pengurangan.20 18www.
biografyilmuwan.blogspot.com 19Sudirman Teba, Op Cit, hlm. 158 20www.
biografyilmuwan.blogspot.com 21 Syekh Muhammad Nawawi tercatat dalam tinta emas sejarah
sebagai fuqaha dan hukama generasi terakhir. Beliau dikenal sebagai salah seorang ulama Hijaz,
Imam al-Ulama al-Haramain, guru besar pada Nasrul Diniyah di Makkah, dan mempunyai peran
penting dalammemutuskan hukum-hukum fiqih di kawasan kota suci itu. Lalu semua ikut
berduka cita, beliau wafat pada tahun 1314 H. atau bertepatan pada tahun 1897 M.21 Di tempat
kediamannya di kampong Syi‟ib Ali Makkah, jenazahnya dimakamkan di pemakaman Ma‟la
Mekkah, berdekatan dengan makam Ibnu Hajar dan Siti Asma binti Abu Bakarash-Shiddiq.
Beliau wafat pada saat sedang menyusun buku yang menguraikan Minhaj ath-Thalibin-nya
Imam Yahya bin Syaraf bin Mura bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jam‟ah Hujam an-
Nawawi.22 Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di
desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum'at terakhir bulan Syawwal selalu diadakan
acara khol untuk memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.23 C. Karya-karya
Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Kitab-kitab karangan beliau, diantaranya adalah: a.
Bidang tauhid 1) Tijan al-Durrar „ala Risalah al-Bajuri selesai ditulis 1927 Hdicetak pertama
pada tahun 1301 H di Mesir 2) Al-Simaral-Yailah Fi al-Riyad al-Bad‟ah „ala Mukhtasar al-
Syaikh Muhammad Hasbullah, cetak pertama 1299 di Mesir. 21Kafabihi Mahrus, Op Cit, hlm. 6
22Kafabihi Mahrus, Op Cit, hlm. 8 23Sudirman Teba, Op Cit, hlm. 155-156 22 3) Zari‟ah al-
Yaqin „ala ummi al-Barahin, cetak pertama 1315 H diMekkah 4) Fath al-Majid Fi Syarah al-Durr
al-Fard, selesai ditulis 1294 H,cetak pertama 1296 di Mesir. 5) Qami‟al-Tuhyan „ala Manzumah
Syu‟ab al-Iman, cetak pertama di Mesir. 6) Qahru al-Gais Fi Syarh Masa‟il Abi al-Lays, cetak
pertama 1301 H di Mesir. 7) Al-Nahjah al-Jayyidah Li Hilli Tafawwut al-„Aqidah Syarah
Manzumah al- Tauhid, cetak pertama 1303 H di Mesir. 8) Nur al-Zulam „ala Manzumah „Aqidah
al-„awwam, selesai ditulis 1277 H., cetak pertama 1303 H di Mesir. b. Bidang Tarikh atau
Sejarah a. Al-Ibriz al-Dani Fi Mawlid Sayyidina Muhammad al-Sayyid al- „Adnani, cetak
pertama 1299 H di Meesir. b. Bugyah al-„Awwam Fi Syarh Mawlid Sayyid al-Anam „Ala
Mawlid Ibn al-Juzi, cet pertama 1297 H di Mesir. c. Targib al-Musytaqin Li bayan Manzumah
Sayyid al-Barzah Fi Maulid Sayyid al-Awwalin wa al-Akhirin, cetak pertama 1292 H diMesir. d.
Al-Durrar al-Bahiyah Fi Syarh al-Khasa‟is al-Nabawiyah Syarh Qissah al-Mi‟raj li al-Barzanji,
cetak pertama 1298 di Mesir. e. Madarij al-Su‟ud ila iktisa‟ al-Burud”, Syarh „ala Mawlid al-
Barzanji, selesai ditulis pada tahun 1293 H, cetak pertama 1296 Hdi Mesir. 23 f. Syarh al-
Burdah, cetak pertama 314 H, di Makkah. g. Fath al-Samad al-„Alim „ala Mawlid al-Syaikh
ahmad ibnu Qasim, selesai ditulis 1286 H., cetak pertama 1292 H di Mesir. c. Bidang Tasawwuf
a. Al-Risalah al-Jami‟ah Bayn Usul al-Din wa al-Fiqh wa al- Taswwuf cetak pertama 1292 H di
Mesir. b. Syarh „ala Manzumah al-Syaikh Muhammad al-Dimyati Fi al- Tawassul Bi Asm‟Allah
al-Husna, cetak pertama 1302H di Mesir..50 c. Misbah al-Zulm „ala al-Manhaj al-Atamm Fi
Tabwib al-Hikam, Syarh al-Minahaj li al-Syaikh „AH ibn Hisam al-Din al-Hindl,cetak pertama
1314 H di Makkah. d. Nasa‟ih al-„Ibad Syarh „ala al-Mawa‟iz Li Syitiab al-Din Ahmad bin Hajar
al-„Asqalani, cetak pertama 1311 H di Mesir. e. Salalim al-Fudala‟ al-Manzumah al-
Musammmah Hidayah al- Azkiya‟ila Tariq al-Awliya, cetak pertama 1315 H di Makkah. f.
Muraqi al-„Ubudiyah Syarh Bidayah al-Hidayahkarya Abu Hamid al- Ghozali terbit tahun 1881
M d. Bidang Fiqih 1) Bahjah al-Wasa‟il Bi Syarh al-Msa‟il, Syarh „ala al-Risalah al- Jami‟ah,
cetak pertama 1292 H di Mesir. 2) Al-Tawsyih‟ala Syarh Ibn al-Qasim al-Guzi „ala Matn al-
Taqrib Li Abi Syuja‟, selesai ditulis awal abad 13 H cetak pertama 1314 di Mesir 3) Sulam al-
Munajat „ala‟ Safinah al-Salam Li Syaikh „Abd Allah bin yahya al-Hadrami, cetak pertama 1297
H di Mesir. 24 4) Suluk al-Jadah „ala al-Risalah al-Musammah bi Lum‟ah al- Mufadah Fi Bayan
al-Jum‟ah wa al-Mu‟adah, cetak pertama 1300. Di Mesir. k. Syarh „ala Akahs Manasik Malamah
al-Khatib. 5) Al-‟Iqd al-Samln, Syarh Manzumah al-Sittin Mas‟alah al- Musammah al-Fath al-
Mubin, cetak pertama 1300 H di Mesir. 6) Uqud al-Lujjyn Fi Bayan Huquq al-Zawjayn, selesai
ditulis 1294g, cetak pertama 1296 H di Mesir.s 7) Fath al-Mujib Bi Syarh Mukhtasar al-Khatib
Fi Manasiq al-Hajj, cetak pertama 1276 H di Mesir. 8) Qut al-Habib al-Garib, Hasyiyah‟, cetak
pertama 1301 H di Mesir. 9) Kasyifah al-Saja bi Syarh Safinah al-Naja, selesai ditulis 1277 H
cetak pertama 1292 H di Mesir.51 10) Mirqah Su‟ud al-Tasdiq Bi Syarh Sulam al-Taufiq ila
Mahbbah al-Ilah „ala al-Tahqig, cetak pertama 1292 H di Mesir. 11) Nihayah al-Zayn Fi Irsyad
al-Mubtadi‟in Bi Syarh Qurrah al-„Ayn Bi Muhimmah al-Din, cetak pertama 1297 H di Mesir. e.
Bidang Hadist Tanqih al-Qawl al-Hasis, Syarh Lubab al-Hadis Li Jalal al-Din al- Suyuti, tidak
ada keterangan cetak pertama. f. Bidang Tajwid 25 Hilyah al-Sibyan „ala Fath al-Rahman, tidak
ada keterangan cetak pertama. g. Bidang Ilmu Alat/Bantu 1) Fath Gafir al-Khatti‟ah „ala al-
Kawakib al-Jaliyyah FI Nazm al- Ajtupiyyah, cetak pertama 1298 H di Mesir. 2) Al- Fusus al-
Yaqutiyyah „ala al-Bahiyyah Fi Abwah al-Tasriyyah, cetak pertama 1299 H di Mesir. 3) Lubab
al-bayan, syarh „ala Risalah al-Syaykh Husain al-Maliki Fi alIsti‟arat, cetak pertama 1301 H di
Mesir. 4) Kasyf al-Nurutiyyah „an Satr al-Ajrumiyyah, cetak pertama 1298 H di Mesir. h. Bidang
tafsir Marah Labid Li Kasyf Ma‟na Qur‟an Majid, yang juga disebut al- Tafsir al-Munir Li
Ma‟alim al-Tanzil, cetak pertama 1305 H. DiMesir.24 Karya-karya Syaikh Muhammad Nawawi
kebanyakan berupa syarh (komentar atau penjelas lanjut) atas karya ulama sebelumnya. Namun
ternyata kemampuannya sebagai komentator menunjukan bahwa ilmunya cukup mumpuni.25 D.
Ajaran-ajaran Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani 24Yasin, Op Cit, hlm. 74 - 78 25Ibid,
hlm. 78 26 Ajaran Syaikh Muhammad Nawawi terlihat pada buku-bukunya yang mencangkup
hampir semua aspek ajaran Islam, khususnya tauhid, fiqh dan tasawwuf. Ini berarti bahwa dalam
pandangannya, islam merupakan panduan ketiga bidang ajaran ini dan beliau tidak menekankan
satu bidang ajaran melebihi bidang ajaran yang lain.26 Karena itu orang Islam beriman kepada
Allah, lalu melaksanakan ibadah (hubungan vertikal manusia dengan Tuhan) dan muamalah
(hubungan horisontal manusia dengan sesamanya dan makhluk padaumumnya, termasuk
tumbuh-tumbuhan dan binatang) dan memiliki akhlak yang mulia sebagai esensi ajaran
tasawufnya. Pandangan keagamaan seperti itu sebenarnya bukan khas pandangan Syaikh
Muhammad Nawawi sendiri, tetapi merupakan pandangan ulama sunni pada umumnya, yaitu
bahwa ajaran tasawwuf tidak berdiri sendiri dan hanya merupakan bagian dari ajaran islam pada
umumnya. Dalam beberapa tulisannya seringkali Syaikh Muhammad Nawawi mengaku dirinya
sebagai penganut teologi Asy'ari (al- Asyari al-I'tiqodiy). Karya-karyanya yang banyak dikaji di
Indonesia di bidang ini diantaranya Fath ai-Majid, Tijan al-Durari, Nur al Dzulam, al-Futuhat al-
Madaniyah,al-Tsumar al-Yaniah, Bahjat al-Wasail, Kasyifat as-Suja dan Mirqat al-Su'ud. Sejalan
dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang teologi Syaikh Muhammad Nawawi
mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi.
Sebagai penganut Asyariyah 26Sudirman Teba, Op Cit, hlm. 166 27 Syekh Muhammad Nawawi
banyak memperkenalkan konsep sifa-sifat Allah. Seorang muslim harus mempercayai bahwa
Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dari perbuatannya (His Act), karena sifat Allah adalah
perbuatanNya. Dia membagi sifat Allah dalam tiga bagian : wajib, mustahil dan mumkin. Sifat
Wajib adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya, dan mustahil adalah
sifat yang pasti tidak melekat pada Allah dan wajib tidak adanya, sementara mumkin adalah sifat
yang boleh ada dan tidak ada pada Allah. Meskipun Nawawi bukan orang pertama yang
membahas konsep sifatiyah Allah, namun dalam konteks Indonesia Nawawi dinilai orang yang
berhasil memperkenalkan teologi Asy‟ari sebagai sistem teologi yang kuat di negeri ini.27
Sementara di bidang fikih tidak berlebihan jika Syeikh Muhammad Nawawi dikatakan sebagai
"obor" mazhab Imam Syafi'I untuk konteks Indonesia.28 Melalui karya-karya fiqhnya seperti
SyarhSafinat al-Naja, Syarh Sullam al-Taufiq, Nihayat al-Zain fi Irsyad al-Mubtadi'in dan
Tasyrih ala Fathul Qarib, sehingga KH. Nawawi berhasil memperkenalkan madzhab Syafi'i
secara sempurna. Dan, atas dedikasi KH. Nawawi yang mencurahkan hidupnya hanya untuk
mengajar dan menulis mendapat apresiasi luas dari berbagai kalangan. Hasil tulisannya yang
sudah tersebar luas setelah diterbitkan di berbagai daerah member kesan tersendiri bagi para
pembacanya. Pada tahun 1870 Para Ulama Universitas al-Azhar Mesir pernah mengundangnya
untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi 27Ibid, hlm. 166 28www.
biografyilmuwan.blogspot.com 28 ilmiyah. Mereka tertarik untuk mengundangnya karena nama
KH. Muhammad Nawawi sudah dikenal melalui karya - karyanya yang telah banyak tersebar di
Mesir.29

Etika Menuntut Ilmu Dalam Islam

Setiap penuntut ilmu merindukan untuk menjadi penuntut ilmu yang baik, walaupun tidak
selalu diikuti oleh kesediaan dalam menempuh jalan kesuksesan. Sebagaimana setiap penuntut
ilmu tidak menginginkan dirinya menjadi atau tergolong sebagai penuntut ilmu yang gagal.
Karena itu setelah memaparkan dua kategori penuntut ilmu, berikut ini penulis ketengahkan
beberapa kiat dan jalan menuju kesuksesan dalam menuntut ilmu berdasarkan nash-nash Al-
Qur`an, hadits, maupun penjelasan dan contoh dari para ulama.

a. Ikhlas

Ikhlas merupakan kunci sukses yang pertama dan mendasar dalam upaya seseorang
mewujudkan cita-citanya meraih ilmu yang bermanfaat. Karena hanya dengan dasar ikhlas,
segala tindakan kebaikan yang dilakukan akan menjadi amal shalih yang layak mendapatkan
balasan kebaikan dari Allah, Tuhan semesta alam. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
rahimahullah berkata :

Tidaklah diragukan lagi, bahwa menuntut ilmu adalah sebuah ibadah, bahkan ia merupakan
ibadah yang paling mulia lagi utama. Maka oleh karenanya, wajib atas seorang penuntut ilmu
harus memenuhi syarat diterimanya ibadah, yaitu ikhlas[1]. Allah SWT berfirman dalam Surat
al-Bayyinah ayat 5:
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.[2]

Juga hadits Nabi SAW ;

“Barangsiapa yang mempelajari ilmu untuk membanggakan diri di hadapan para ulama,
mempermainkan diri orang-orang bodoh dan dengan itu wajah orang-orang berpaling kepadanya,
maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka Jahannam. “ (HR. Ibn Majjah dari sahabat
Abu Hurairah)[3]

b. Berdo`a

Dalam Islam, seorang penuntut ilmu disamping didorong untuk berusaha Allah SWT
memerintahkan kepada penuntut ilmu untuk berdo‟a dengan do‟a. Sebagaimana tersebut dalam
firman–Nya Surat Thaha ayat 114:

“Dan katakanlah ,”Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.”[4]

Rasulullah juga mengajarkan sebuah do‟a khusus bagi para penuntut ilmu. Do‟a itu adalah:

‫ َوأَع ُْىذ ُ بِلَ ِم ْه ِع ْي ٍم ََليَ ْىفَـ ُع‬،ً‫اىي ُه َّم إوِّـ ْي أ َ ْسأَىُلَ ِع ْيمب ً وَبفِعـب‬

“Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat dan Aku berlindung
kepada Engkau dari (mendapatkan) ilmu yang tidak bermanfaat.” (HR. Al-Nasa‟i dari sahabat
Jabir bin Abdillah ra)[5]

Dalam hadits yang lain, Rasulullah SAW. mengajarkan do‟a yang sedikit berbeda untuk para
penuntut ilmu. Do‟a itu adalah:

َ ‫اَىيَّ ُه َّم إِوِّي أ َ ْسأَىُلَ ِع ْي ًمب وَبفِعًب َو ِر ْزقًب‬


ً‫طيِّبب ً َو َع َمالً ُمتَ َقبَّال‬
“Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang
baik serta amal yang diterima. (HR. Ibn Majjah dari shahabiyah Ummu Salamah ra)[6].

c. Bersungguh-Sungguh

Termasuk juga kunci sukses dalam menuntut ilmu adalah bersungguh-sungguh dan diniatkan
untuk mencari keridhaan Allah. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan Allah SWT. dalam Surat
al-Ankabut ayat 69:

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-
orang yang berbuat baik”[7]

Seorang penuntut ilmu memerlukan kesungguhan. Tidak layak para penuntut ilmu bermalas-
malasan dalam mencarinya. Kita akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat-dengan izin Allah-
apabila kita bersungguh-sungguh dalam menuntutnya. Sebab jika seorang penuntut ilmu malas
maka ia tidak akan mendapatkan ilmu yang dicarinya, sebagaimana pendapat Yahya bin Abi
Katsir rahimahullah bahwa ilmu tidak akan diperoleh dengan tubuh yang dimanjakan (santai).
Karena itulah dalam ayat di atas Allah menjanjikan kabar gembira dan kemuliaan bagi orang
yang bersungguh-sungguh. Syaikh Abu Bakar al-Jazairy menjelaskan: “Di dalam ayat ini
terdapat busyra dan janji yang benar lagi mulia, demikian itu karena orang yang bersungguh-
sungguh berada di jalan Allah, karena mencari ridha Allah dengan berusaha untuk meninggikan
kalimat-Nya[8].”

Maka tak heran jika para ulama terdahulu selalu bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu.
Sebagai contoh, kisah Imam Syafi`i rahimahullah dalam menuntut ilmu. Beliau berasal dari
keluarga yang fakir, namun hal itu tidak dianggap aib oleh beliau, justru sebaliknya, dijadikan
sebagai kekuatan yang dapat mendorongnya untuk senantiasa menuntut ilmu. Imam Syafi‟i,
sebagaimana yang dikisahkan Humaidi, pernah bercerita:

Aku adalah seorang anak yatim yang berada dalam pengayoman ibu, ia selalu mendorongku
untuk hadir ke majelis ilmu. Guru sangat sayang pada aku, sampai-sampai aku menempati
tempatnya ketika ia berdiri. Tatkala aku sudah merapikan Al-Qur‟an, kemudian aku masuk ke
dalam masjid dan duduk bersama para ulama. Di sana aku mendengarkan hadits beserta
rinciannya kemudian aku hafal semuanya. Ibuku tidak dapat memberikan kepadaku sesuatu yang
dengannya aku dapat belikan kertas. Aku melihat tulang maka aku ambil, kemudian aku
menulisnya, tatkala sudah penuh, maka aku menghafalnya sekuat tenagaku[9].

d. Menjauhi Kemaksiatan

Syarat lain bagi penuntut ilmu yang ingin sukses adalah menjauhi kemaksiatan. Syarat ini
merupakan syarat unik yang hanya dimiliki oleh agama Islam. Ibn al-Qayyim al-Jauziyah
rahimahullah misalnya berkata:
Maksiat memilki pengaruh jelek lagi tercela, dan juga dapat merusak hati dan badan baik di
dunia maupun di akhirat. Diantara bahaya dari maksiat antara lain: Terhalangnya mendapatkan
ilmu, karena sesungguhnya ilmu itu adalah cahaya yang telah Allah berikan di dalam hati, dan
maksiat itu memadamkannya (cahaya itu).[10]

Pengaruh kemaksiatan terhadap terhalangnya ilmu pernah terbukti menimpa Imam Syafi‟i. hal
ini terlihat dari pengaduan Imam Syafi‟i kepada salah seorang gurunya yang bernama Waki‟.
Kisah ini diceritakan Imam Syafi‟i dalam sebuah syair berikut:

ِ ‫فَأ َ ْرشَـدَ ِو ْي ِإىَ ًْ ت َْـر ِك اْى َم َع‬


‫ـبص ْي‬ ‫س ْى َء ِح ْف ِظ ْي‬
ُ ٍ‫شن َْىتُ ِإىَ ًْ َو ِميْـع‬
َ

ِ ‫ض ُو هللاِ َلَ يُؤْ تبَيُ َع‬


‫ـبص‬ ْ َ‫َوف‬ ْ ُ‫ ا ْعيَ ْم ِبأ َ َّن ْاى ِع ْي َم و‬:َ‫وقَبه‬
‫ـــــى ٌر‬

Aku mengadu kepada guruku bernama Waqi‟, tentang jeleknya hafalanku, maka ia memberikan
petunjuk kepadaku agar meninggalkan kemaksiatan. Karena sesungguhnya ilmu itu adalah
cahaya, dan cahaya Allah itu tidak akan diberikan kepada orang yang berbuat maksiat”[11]

Demikian juga nasihat Imam Malik kepada Imam Syafi‟i. ia berkata:

ِ ‫ظ ْيـ َم ِة َم ْع‬
‫صيَ ٍة‬ ْ ُ ‫إِوِ ْي أري هللاَ قَـدْ َجعَ َو فِ ْي قَ ْيـبِلَ وُ ْىراً فَالَ ت‬
ُ ِ‫طـ ِفئًُْ ب‬

“Sesungguhnya aku melihat pada hatimu pancaran cahaya, maka jangan engkau redupkan
cahaya itu dengan gelapnya kemaksiatan.”[12]

e. Tidak Malu dan Tidak Sombong

Sombong dan malu menyebabkan pelakunya tidak akan mendapatkan ilmu selama kedua sifat itu
masih ada dalam dalam dirinya. Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu „Anha pernah berkata
tentang sifat malu para wanita Anshor:

ِ ّ‫بر ىَ ْم َي ْم َى ْع ُه َّه اى َح َيب ُء أَ ْن َيتَفَقَّ ْههَ فِي اىد‬


‫ِيه‬ ِ ‫ص‬َ ‫سب ُء األ َ ْو‬ َ ِّ‫وِ ْع َم اىى‬
َ ِ‫سب ُء و‬
“Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk
memperdalam ilmu agama[13]. (HR. Bukhari)

Artinya sekalipun wanita anshar merupakan sekelompok perempuan yang memiliki rasa malu
yang tinggi sebagai cerminan keimanan mereka, namun hal itu tidak berlaku dalam menuntut
ilmu. Sebab rasa malu dalam menuntut ilmu dapat menyebabkan kekeliruan atau ketidakjelasan.
Seseorang yang malu bertanya dalam menuntut ilmu akan menyebabkan ia tidak mendapatkan
penjelasan dari hal-hal yang masih samar atau meragukan baginya. Karena itu agar seorang
penuntut ilmu mendapatkan penjelasan yang terang dan ilmu yang pasti maka ia harus
memberanikan diri bertanya mengenai permasalahan yang belum jelas ataupun belum
meyakinkan bagi dirinya.

Sementara mengenai larangan sombong, Allah SWT. jelaskan dalam Surat al-Baqarah ayat 34:

Dan ingatlah ketika kami berfirman kepada para malaikat : Sujudlah[14] kamu kepada Adam,
maka sujudlah mereka kecuali Iblis, ia enggan dan takabbur dan adalah ia termasuk golongan
orang–orang yang kafir.[15]

Kesombongan dalam menuntut ilmu dilarang sebab ia akan menyebabkan tertolaknya kebenaran.
Seorang yang sombong akan cenderung merendahkan manusia lainnya dan menolak kebenaran,
sehingga ia akan kesulitan untuk mendapatkan guru dan ilmu. Orang sombong akan merasa
dirinya selalu lebih baik dari orang lain sehingga tidak lagi memerlukan tambahan ilmu. Hal ini
sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah dalam salah satu sabdanya:

ُ ‫ق َوغ َْم‬
ِ َّ‫ظ اىى‬
‫بس‬ َ َ‫ا َ ْى ِنب ُْر ب‬
ِ ّ ‫ط ُر اْى َح‬

“ Sombong itu adalah, menolak kebenaran dan merendahkan manusia.”(HR. Muslim dari
sahabat Ibn Mas‟ud ra)[16]

f. Mengamalkan dan Menyebarkan Ilmu

Di dalam ajaran Islam, ada tiga perintah yang saling bertautan kepada para penuntut ilmu.
Perintah itu adalah mencari ilmu, mengamalkan dan menyampaikannya kepada orang lain.
Trilogi menuntut ilmu ini tidak boleh lepas dari diri seseorang, sebab antara satu dengan yang
lainnya mempunyai shilah (hubungan) yang erat. Islam mensyariatkan wajibnya menuntut ilmu
atas setiap muslim, dan di sisi lain ia juga memerintahkan agar ilmu yang sudah diketahui harus
diamalkan dan dida‟wahkan kepada orang lain. Banyak ayat dan hadits yang menjelaskan
keutamaan orang yang mengamalkan ilmu dan menda‟wahkannya, dan banyak pula nushûsh
yang berbicara tentang ancaman orang yang tidak mau mengamalkan dan menda‟wahkan
ilmunya. Mengenai keutamaan menda‟wahkan ilmu, misalnya dapat disimak dari sabda Nabi
SAW. berikut ini:

ًِ ‫َم ْه دَ َّه َعيًَ َخي ٍْر فَيًَُ ِمثْ ُو أَجْ ِر فَب ِع ِي‬

“Siapa orang yang menunjukkan kebaikan, maka baginya pahala seperti orang yang
melakukkannya”(HR. Tirmidzi dari sahabat Abi Mas‟ud ra)[17].

Dalam hadits di atas, Rasulullah memberikan dorongan berupa janji pahala bagi orang yang
mengajarkan ilmunya. Pahala itu berupa kebaikan semisal kebaikan yang didapat oleh orang
yang diajari ilmu olehnya dari ilmunya itu.*

Anda mungkin juga menyukai