Anda di halaman 1dari 58

‫المستدرك على الصحيحين‬

‫مستدرك الحاكم‬
Al Hakim al-Naisabury

Pelajar : Mohammad Zulkiffli Abu Bakar


BTH 2002 (Modul : Metodologi Mufassirin)
Pensyarah : Prof Dr Edi Safri
Isi Kandungan
A. Pendahuluan
B. Biografi Al-Hakim al-Naisabury
C. Makna penamaan kitab al Mustadrak Ala as Shahiyain
D. Metode dan sistematika penyusunan Kitab
E. Gambaran umum isi kitab
F. Kriteria penilaian hadis al-Hakim dalam al Mustadrak
G. Penilaian : Pujian dan kritik Ulama terhadap Mustadrak al-Hakim
H. Penutup
A. Pendahuluan

 Al-Mustadrak ‘ala al-Sahihain karya al-Hakim Abu ‘Abdillah al-Naisabury


(w. 405 H) adalah salah satu sumbangan besar dalam khazanah dan
perbendaharaan hadith yang terbukukan.
 Ia membukukan hadith-hadith sahih yang tidak terdapat didalam
kitab sahih Bukhari dan Muslim, padahal Hadith-hadith tersebut
mempunyai kualiti sahih,menurut kriteria Bukhari dan Muslim.
 Ia adalah kitab hadith yang kontroversial, kerana al-Hakim adalah orang
yang terlalu mudah (mutasahil) dalam mensahihkan sesuatu hadith
(mutasahil).
 Maka, sering ditemukan dalam karyanya hadith-hadith dha‘if, munkar
bahkan juga maudhu‘.
Sejarah Metodologi Pembukuan Hadith

 Pada abad pertama Hijriah, salah satu tujuan penulisan hadith adalah agar hadith-hadith tersebar di jazirah Arab
dan tidak lenyap seiring berjalannya waktu sekaligus menjaga otentisitinya.
 Penulisan hadith pada saat itu bersifat peribadi dan tidak dilakukan secara rasmi. Hadith-hadith tersebut ditulis
di atas berbagai media tulis seperti kertas dan suhuf.
 Beberapa sahifah yang terkenal antara lain adalah :
 al-Sahifah al-Sadiqah milik Abdullah bin ‘Amr bin ‘As,
 al-Sahifah al-Sahihah milik Hammam bin Munabbih yang ia riwayatkan dari Abu Hurairah,
 sahifah milik para sahabat lainnya seperti Sa‘d bin ‘Ubadah al-Ansari, Samurah bin Jundub, Jabir bin ‘Abdullah al-Ansari,
Anas bin Malik
 dan seterusnya.
 Namun cara penulisannya teratur dan tidak berurutan.
 Kondisi tersebut tidak berubah sampai akhirnya agama Islam semakin menyebar, wilayah Islam semakin
luas, para sahabat pun berpencar dan sebagian besar dari mereka meninggal dunia.
 Keadaan tersebut mendorong pentingnya pembukuan Hadith. Dengan alasan agar tidak ada hadith yang
hilang begitu saja, Umar bin Abd al-Aziz menyampaikan pesannya kepada para ulama’ di berbagai kota
agar mengumpulkan Hadith-hadith
Sejarah Metodologi Pembukuan Hadith

 Salah satu pengumpul Hadith pada waktu itu adalah Ibnu Shihab al-Zuhri (w. 124 H.) Ia
mengumpulkan Hadith-hadith yang berkaitan dengan satu tema tertentu, kemudian mengumpulkannya
menjadi satu dalam satu buku dan di dalamnya terdapat ucapan para sahabat dan fatwa tabi‘in. Contohnya,
pembahasan tentang solat dalam satu buku, tentang wudu dalam satu buku dan seterusnya.
 Pembukuan hadith dengan model seperti ini, dalam terminologi Hadith dikenali sebagai model ajza’ atau
juz’ .Setelah al-Zuhri, para ulama pun berebut untuk mengumpulkan Hadith. Sebut saja Imam Ibnu
Juraij (150 H) di Makkah, Imam Malik (179 H) di Madinah, Imam Sufyan al-Thauri (161 H) di Kufah,
dan lain sebagainya.
 Kalau al-Zuhri mengumpulkan hadith, ucapan para sahabat dan fatwa tabi‘in untuk satu tema tertentu
dalam satu buku tersendiri, ulama setelah al-Zuhri mengumpulkan Hadith, ucapan para sahabat dan fatwa
tabi‘in untuk satu tema tertentu dalam satu bab tersendiri utuk kemudian digabungkan dengan bab-bab yang
lain dalam satu buku.
 Pembukuan hadith dengan model seperti ini, dalam terminologi Hadith biasa disebut model musannafat atau
musannaf ataupun muwattaat atau muwatta’.
Sejarah Metodologi Pembukuan Hadith
 Pada abad ketiga muncul pembukuan hadith dengan beberapa metode baru.
1. Memisahkan ucapan sahabat dan fatwa tabi‘in dari Hadith, kemudian mengumpulkan Hadith tersebut berdasarkan nama sahabat yang
meriwayatkannya, tanpa ada keterikatan dengan satu tema tertentu, atau biasa disebut dengan masanid atau musnad.
2. Mengumpulkan Hadith-hadith yang sudah dipisahkan dari ucapan sahabat dan fatwa tabi‘in tersebut berdasarkan tema-tema fiqh,
model ini biasa disebut dengan sunan atau sunnah.
3. Yang tidak terbatas pada tema-tema fiqh saja, bahkan mencakup seluruh tema-tema dalam agama, mulai aqidah, hukum, tafsir,
maghazi, manaqib dan lain-lain, model ini dalam terminologi hadith disebut jawami‘ atau jami‘.
4. Membukukuan Hadith-hadith yang nampak kontroversi untuk kemudian dijelaskan duduk permasalahannya (ta’wil mukhtalif al-
Hadith).

 Abad ketiga merupakan masa keemasan pembukuan Hadith (azha ‘usur al-tadwin). Pada abad
tersebut muncul kajian kritik sanad dan matan, sejarah dan biografi para rawi,
pengklasifikasian Hadith berdasarkan kualitasnya, dan muncul pula al-kutub al-sittah yang
membukukan majoriti Hadith sahih yang pembukuannya lebih mengandalkan riwayat
secara lisan. Oleh karenanya mereka sering melakukan perjalanan jauh untuk
mendengarkan ilmu dari seorang guru, dan mereka enggan menukil ilmu dari buku kecuali
bersamaan dengan penukilan tersebut ia mendengarkan ilmu itu dari sang pengarang buku.
 Fenomena ini berbeza dengan apa yang terjadi pada abad keempat. Maka dari itu, abad ketiga
merupakan batas pemisah antara ulama Hadith mutaqaddimin dan muta’akhkhirin.
Sejarah Metodologi Pembukuan Hadith
 Pada abad keempat, ketika para ulama melihat bahwa hampir seluruh
hadith sahih telah terbukukan, mereka menjadikan kitab-kitab tersebut
sebagai bahan kajian dan penelitian. Oleh karenanya mereka hampir
tidak memerlukan pengembaraan dan perjalanan jauh untuk
menuntut ilmu.
 Adapun beberapa metode pembukuan Hadith pada abad ini adalah
pengumpulan Hadith-hadith sahih (sebagaimana yang dilakukan Imam Bukhari
dan Muslim).
1.Metode mustadrak.
2.Metode mustakhraj.
3.Metode mu‘jam.
4.Penyusunan Hadith-hadith yang mengandung ‘illat.
5.Penyusunan Hadith berdasarkan tema.
6.Komentar (sharh) terhadap Hadith-hadith.
B. Biografi al-Hakim Abu ‘Abdillah al-Naisabury
 Nama sebenar : Muhammad bin Abdullah bin Hamduwiyah bin Nu’aim bin Hakam al-Dabby al-
Tahmany al-Naisabury al-Hafiz Abu ‘Abdillah al-Hakim dan yang lebih popular dengan nama Ibn
alBayyi’ al-Dhabyyi al-Syafi’i al-Naisaburi
 Dalam bidang Hadis, ia lebih dikenal dengan nama ‘Abdullah al-Hakim al-Naisaburi, atau Ibn al-Bayyi’
untuk membezakannya dengan tokoh lain yang juga bergelar al-Hakim, yaitu
 Abu Ahmad al-Hakim, Abu „Ali al-Hakim al-Kabir – yang merupakan guru al-Hakim sendiri –,
 Seorang Khalifah Fathimiyah di Mesir yang bergelar al-Hakim, yaitu al-Hakim bi Amrullah
 Lahir di Naisabur pada bulan Rabi‘ul-Awwal 321 H & wafat pada hari Selasa , 3 Safar 405 H.
 Ayah al-Hakim, yaitu ‘Abdullah bin Hammad bin Hamdun adalah seorang yang dekat dan loyal kepada
pemerintah Bani Saman yang menguasai daerah Samaniyah. Disamping seorang pejuang yang tangguh,
ia juga seorang dermawan sekaligus ahli ibadah.
 Berdasarkan informasi sejarah, daerah Samaniyah merupakan tempat yang banyak melahirkan tokoh-
tokoh intelektual, seperti fuqaha, ahli Hadis, dan filosof. Daerah ini pula yang melahirkan ahli Hadis
kenamaan pada abad ke-3 H semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, al-Tirmizi, alNasa’i,
dan Ibn Majah .
 Kondisi sosio-intelektual ini pada akhirnya membentuk kecendrungan keilmuan al-Hakim untuk
menekuni pengetahuan agama, iaitu mendalami Hadis.
Dinasti Samaniyah
B. Biografi al-Hakim Abu ‘Abdillah al-Naisabury
 Setelah mendapatkan pendidikan dasar yang diberikan oleh ayahnya, al-
Hakim pada usia 13 tahun (334 H), mulai belajar Hadis secara khusus kepada
Abu Khatim bin Hibban.
 Oleh kerana itu, dalam karya monumentalnya al-Mustadrak, ia sudah banyak
meriwayatkan Hadis tatkala masih berumur 16 tahun yang diterimanya pada
tahun 337 H.
 Al-Hakim menerima Hadis tersebut antara lain dari Abu ‘Amr Muhammad bin
Ja’far bin Muhammad bin Mathar.
 Tidak cukup sampai disitu, al-Hakim kemudian melanjutkan rihlah
intelektualnya ke berbagai daerah untuk dapat berlajar langsung kepada
para ahli Hadis, agar mata rantai sanad yang diterimanya memiliki nilai
yang tinggi, kerana menurut al-Hakim, sebagaimana yang disyaratkan oleh
Imam Bukhari, suatu sanad Hadis bernilai tinggi apa bila adanya liqa’
(pertemuan) antara guru dan murid, meskipun hanya sekali
B. Biografi al-Hakim Abu ‘Abdillah al-Naisabury
 Di antara daerah-daerah yang didatangi oleh al-Hakim seperti Iraq, Khurasan, dan Hijaz.
Kota-kota tersebut pada masa itu banyak bermukim ulama dalam berbagai disiplin
keilmuan, terutama ahli Hadis.
 Dengan cara ini, al-Hakim ingin mengikuti jejak para pendahulunya seperti Imam
Bukhari dalam upaya mencari Hadis dengan bertemu langsung (liqa‟) kepada ahli Hadis.
 Merasa belum cukup dengan rihlah intelektual pertamanya ke daerah-daerah tersebut,
al-Hakim kembali melakukan perjalanan untuk kedua kalinya pada tahun 368 H, ketika
usianya sudah memasuki 47 tahun.
 Dalam tradisi ahli Hadis, perjalanan seperti itu diperlukan untuk memperbincangkan
tentang temuan dan pendangan-pandangannya tentang Hadis dan ilmu Hadis. Seperti
diketahui bahwa kitab al-Mustadrak pernah dibincangkan dengan salah seorang gurunya,
iaitu al-Daruquthni yang bermukim di Irak.
 Disamping itu, rihlah dilakukan untuk menghilangkan anggapan bahwa ahli Hadis yang
menerima riwayat dari ulama dikampung halamannya bukan seseorang yang
mempunyai ilmu yang tinggi
B. Biografi al-Hakim Abu ‘Abdillah al-Naisabury
 Dengan berbekal kemampuan intelektual yang tinggi dan diiringi dengan
kegigihannya dalam mencari dan mengkaji Hadis menjadikan posisi keilmuan al-
Hakim khususnya dalam bidang Hadis, melebihi para ahli Hadis pada masanya.
 Sehingga ia sering dianggap Imam Hadis “yang paling besar” pada waktu itu.
Kebesaran al-Hakim dibuktikan dengan banyak ulama yang ingin berdiskusi
dengannya, termasuk gurunya sendiri, al-Daruquthni.
 Disamping ahli dalam ilmu Hadis, ia juga mendalami berbagai ilmu-ilmu agama
Islam lainnya, seperti fiqh dan tasawuf . Dalam pandangan al-Hakim, ahli Hadis
yang sempurna ialah orang yang menguasai fiqh dan menjadi fuqaha.
 Al-Hakim menganggap fiqh sebagai ilmu yang paling genting sebagai bahan
rujukan intelektualnya. Walaupun dalam prakteknya, al-Hakim sulit untuk
menggabungkan keduanya dalam satu pandangan, sehingga melahirkan suatu
standard ganda dalam menentukan status Hadis yang oleh ulama Hadis dinilai
sebagai tasahul.
Guru dan murid
 Berdasarkan informasi sejarah diperkirakan bahwa al-Hakim telah belajar kepada seribu
lebih ulama, mulai dari Irak sampai ke daerah-daerah lainnya. Berikut diantara nama-
nama guru al-Hakim, selain ayahnya dan Hibban, ialah :
 Muhammad bin ‘Ali al-Muzakkir,
 Muhammad bin Ya’qub al- ‘Asam,
 Muhammad bin Ya’qub al-Syaibani,
 Muhammad bin Ahmad bin Balawaih al-Jallab,
 Abu Ja’far Muhammad bin Ahmad bin Sa’id al-Razi,
 Muhammad bin ‘Abdullah bin Ahmad al-Saffar,
 Ali bin al-Fadl al-Suturi,
 Ali bin ‘Abdullah al-Hakam,
 Isma’il bin Muhammad al-Razi, dan
 Muhammad bin al-Qasim al-Ataki.
Guru dan murid
 Selain itu, al-Hakim juga memiliki murid yang meriwayatkan Hadisnya, diantaranya ialah:
 Abu al-Falah bin Ubay bin al-Fawari,
 Abu al-’Ala al-Wasiti,
 Muhammad bin Ahmad bin Ya’qub,
 Abu Zarr al-Hirawi,
 Abu Ya’la al-Khalili,
 Abu Bakar al-Baihaqi,
 Abu al-Qasim alQusyairi,
 Abu al-Salih al-Muazzin,
 al-Zakki Abu Hamid al-Bahiri,
 Mu‟ammal bin Muhammad bin al-Walid
Latar Sosio-Politik Intelektual Al-Hakim
 Kegiatan berfikir dan produk pemikirannya tidak dapat dilepaskan dari konteks sosio-
kultural dan politik dimana tempat seorang pemikir hidup dan dibesarkan.
 Produk pemikiran pada dasarnya adalah interpretasi terhadap situasi dan keadaan
masyarakat baik sosial, politik, ekonomi, dan keagamaan yang terjadi saat itu.
 Oleh karena itu, ada ungkapan yang cukup popular “seorang pemikir adalah anak
zamannya”.
 Dengan kata , produk pemikiran seseorang adalah cerminan dari realiti sosial
masyarakat pada waktu itu.
 Maka tidak jarang konteks sosio-politik ikut memberikan pengaruh dan warna bagi
pemikiran seorang intelektual.
 Tidak hanya itu, sosial-politik seringkali “membataskan kebebasan” dalam
mengemukakan pandangan dan memaksa elit intelektual untuk tunduk kepada
ideologi yang dianut oleh penguasa.
Latar Sosio-Politik Intelektual Al-Hakim
 Secara umum, situasi politik umat Islam pada masa al-Hakim, terpecah ke dalam
tiga kekuatan besar, yaitu
 Fathimiyah yang berkuasa di bagian Afrika Utara,
 Bani Umayyah II di Andalusia,
 Bani Abbasiyah yang berpusat di Baghdad.
 Fasa ini dalam sejarah Islam di klasifikasikan sebagai fasa disintegrasi kerana tidak
hanya berbeza secara politik, malah ketiga khalifah tersebut pun menganut
madzab yang berbeza-beza.
 Penguasa Bani Saman, daerah dimana al-Hakim tinggal misalnya, menganut ideologi
yang berbeza; ada yang condong ke sunni dan ada pula yang Syiah.
 Salah seorang penguasa Saman, Sa’id bin Nasr bin Ahmad, misalnya, secara terang-
terangan mendukung Fathimiyah di Mesir yang beraliran Syiah.
 Pada masa Sa’id dan anaknya Nuh berkuasa, ideologi Syiah diterapkan melalui
kebijakan pemerintah Samaniyah
Latar Sosio-Politik Intelektual Al-Hakim
 Kebijakan penguasa Samaniyah yang menerapkan ajaran Syiah lambat-laun ikut
mempengaruhi struktur pemikiran masyarakat umum, ahli politik dan ulama yang
hidup pada masa itu.
 Sosialisasi ajaran Syiah juga nampak dalam tata-upacara dan tradisi, seperti upacara
Mawlid, dan peringatan 10 Muharram yang harus diikuti seluruh warga negara.
 Kebijakan ini memicu terjadinya konflik sektarian antara sunni dan Syiah serta dapat
menganggu stabiliti dan keamanan negara.
 Pada separuh pertama abad ke-4 H, kegiatan intelektual masih terpelihara dan
berkembang dengan baik. Munculnya tokoh-tokoh seperti al-Thabari, alMas’udi dalam
bidang sejarah, al-Maturidi dan al-Bazdawi dalam bidang teologi, Ibn Sina sebagai
filosof, Ibn Hibban, al-Daruquthni, Ibn Huzaimah, dan al-Hakim dalam kajian Hadis
menunjukkan masih kuatnya tradisi intelektual kala itu .
 Bani Saman sendiri adalah pecinta ilmu pengetahuan dan sangat liberal dalam
mengawal situasi dan karya intelektual yang ada dan ini mengacu para intelektual
supaya banyak menghasilkan karya, seperti dalam bidang Hadis, sejarah, sastra,
falsafah, dan tasawuf.
Latar Sosio-Politik Intelektual Al-Hakim
 Latar sosio-budaya dan politik seperti yang dijelaskan di atas, secara tidak langsung
memberikan pengaruh bagi al-Hakim dalam menyusun kitab al-Mustadraknya.
 Demikian juga dengan keakrabannya kepada penguasa Bani Saman yang menyokong
dan menganut ideologi syiah.
 Maka muncullah berbagai tuduhan kepada al-Hakim tentang keSyiahannya yang
menyebabkan tasahul dalam menilai status sebuah Hadis.
 Para ulama berselisih pendapat seputar peribadi al-Hakim. Sebagian ulama
seperti al-Khatib al-Baghdady, al-Sam‘any, dan al-Dhahaby menilai bahwa al-
Hakim seorang shi‘ah. Penilaian tersebut berpangkal dari periwayatan al-Hakim
terhadap dua Hadith yang seakan mendukung kelompok shi‘ah, padahal Hadith
tersebut (menurut mereka) tidak dapat dibuktikan validitinya.
 Sementara sebagian lain,seperti al-Subky mengatakan al-Hakim bukan seorang
shi‘ah, dan Hadith yang diriwayatkan al-Hakim di atas, setelah di-takhrij oleh al-Hafid
Salah al-Din Khalil (kawan al-Subky),adalah Hadith hasan ataupun dha‘if yang masih
boleh diterima.
Kitab-kitab Al-Hakim Naisyaburi
 Al-Hakim menyebutkan bahwa karya ilmiahnya mencapai 1500 (seribu
lima ratus) juz.
 Diantara karya-karya beliau adalah:

 Al-Sahihan-Ma‘rifat Ulum al-Hadith  Ma Tafarrada Bihi Kullun min al-Imamain


 Al-‘Ilal  Tarajim al-Shuyukh
 Tarikh Ulama’ Naysabur  Fadhail al-Imam al-Syafi‘I
 Al-Amaly  Ma‟rifat „Ulum al-Hadits
 Al-Madkhal ila ‘Ilm al-Sahih  Tarikh „Ulama‟ al-Naisabur
 Fawa’id al-Shuyukh  Al-Iklil
 Al-Mustadrak ‘ala al-Sahihain  Al-Muzakkina li Ruwah al-Akhbar
 Amal al-‘Ashiyyat  Madzahib al-Muhadditsin
C. Makna penamaan kitab al Mustadrak Ala as Shahiyain

Definisi Mustadrak

 Mustadrak secara bahasa adalah menyusulkan atau menyempurnakan yang


kurang.
 ulama Hadis. Mahmud al-Thahhan mendefenisikan kitab al-Mustadrak dengan :
“Setiap kitab yang menghimpun Hadis-hadis yang tidak dimuat dalam kitab
Hadis tertentu, yang disusun berdasarkan syaratnya”
 Sementara itu, menurut Subhi al-Shalih, sebagaimana yang dikutip oleh
Bukhari, yang dimaksud dengan al-Mustadrak adalah:
“Kitab yang memuat Hadis-hadis yang tidak dimuat dalam kitab Hadis tertentu
yang disusun berdasarkan persyaratannya”
C. Makna penamaan kitab al Mustadrak Ala as
Shahiyain
 Walaupun sedikit berbeza dalam segi makna, namun secara substansi kedua
definisi di atas dapat disimpulkan ke dalam tiga hal, yaitu :
 pertama, ada kitab yang dijadikan acuan,
 kedua, Hadis-hadis yang dimuat berdasarkan syarat kitab yang dijadikan acuan,
 ketiga, Hadis yang dimuat tidak terdapat dalam kitab yang dijadikan acuan.

 Dengan demikian, pengertian kitab al-Mustadrak ‘Ala al-Shahihain adalah kitab


yang penyusunannya mengacu kepada shahih al-Bukhari dan Muslim, dengan
anggapan bahwa Hadis-hadis yang terdapat didalamnya sesuai dengan syarat
Bukhari dan Muslim dan hadis itu pula tidak terdapat dalam kedua kitab sahih
tersebut.
C. Makna penamaan kitab al Mustadrak Ala as Shahiyain

Dari pengertian al-Mustadrak seperti yang telah dijelaskan di atas, maka Hadis-hadis
yang terdapat dalam karya al-Hakim ini, mengandungi beberapa kemungkinan sebagai
berikut:

1) Hadis-hadis yang tercantum dalam al-Mustadrak tidak terdapat dalam Shahihain,


baik lafaz mahupun makna, tetapi ada dalam kitab lain.
2) Hadis-hadis yang terdapat dalam al-Mustadrak berbeda lafalnya dengan Hadis yang
ada dalam Shahihain.
3) Hadis-hadis yang ada dalam al-Mustadrak melengkapi lafaz Hadis dalam Shahihain.
4) Hadis-hadis yang dimuat dalam al-Mustadrak menggunakan sanad yang tidak
digunakan dalam Shahihain
5) Dalam muqaddimahnya, al-Hakim tidak menyebutkan secara eksplisit/ terang
faktor yang melatar-belakangi penyusunan kitab al-Mustadrak.
C. Makna penamaan kitab al Mustadrak Ala as Shahiyain
 Penyusunan kitab al-Mustadrak juga kerana banyaknya permintaan dari tokoh
intelektual, supaya al-Hakim menghimpun Hadis dalam sebuah kitab berdasarkan
syarat Shahihain Bukhari-Muslim.
 Namun, dari penamaan kitabnya dengan al-Mustadrak, dapat ditafsirkan bahwa
penyusunan kitab tersebut dipacu oleh anggapan al-Hakim bahwa masih banyak Hadis
sahih yang belum dicatat ulama terdahulu.
 Di samping itu, adanya penegasan penulis Shahihain, yang menyatakan bahwa masih
banyak Hadis sahih yang belum dimuat dalam Shahih-nya .
 Faktor lain yang mempengaruhi al-Hakim untuk menyusun kitabnya adalah kerana
keadaan sosio-intelektual saat itu.
 Sebagaimana diketahui, bahwa daerah Nisabur banyak melahirkan tokok-tokoh
intelektual terkemuka, seperti Muslim dan al-Daruqutni.
 Faktor selanjutnya adalah tradisi ilmiah yang begitu kuat ikut memangkin semangat al-
Hakim untuk memberikan sumbangannya dalam kajian Hadis dan ilmu Hadis.
Metode mustadrak
 Adapun metode mustadrak adalah metode penyusunan kitab Hadith dengan
cara menyusulkan Hadith-hadith yang tidak tercantum dalam kitab Hadith lain
yang menjadi bahan kajiannya, dengan tetap mengikuti persyaratan dalam
periwayatan Hadith yang menjadi standard bagi kitab yang dijadikan bahan
kajian tersebut.
 Sebagai contoh, Imam Bukhari dan Imam Muslim belum sampai
membukukan semua Hadith dalam tingkatan sahih menurut persyaratan
mereka.
 Itu bermaknamasih ada Hadith-hadith sahih menurut persyaratan dan kriteria
mereka berdua atau salah satu dari mereka,yang belum terbukukan.
 Maka pengarang al-Mustadrak mengumpulkan Hadith-hadith tersebut,dan
membukukannya dalam satu kitab.
Sejarah Mustadrak
 Dalam sejarah pembukuan Hadith, setidak-tidaknya nya ada tiga ahli
Hadith yang telah membukukan Hadith dengan metode
mustadrak,mereka adalah:
1. Abu Dharr al-Harawi Abdullah bin Ahmad bin Muhammad al-
Maliki (w. 434 H). Ia menamakan bukunya al-Mustadrak ‘ala al-
Sahihain.
2. Abu al-Hasan ‘Ali bin ‘Umar bin Ahmad al-Daruqutni (w. 385 H).
Ia mengumpulkan Hadith-hadith sahih menurut kriteria
Bukhari dan Muslim yang tidak tecantum dalam kitab
sahih mereka. Ia menamakan kitabnya dengan al-Ilzamat.
3. Al-Hakim Abu ‘Abdillah al-Naisabury(w. 405 H) yang terkenal
dengan karya monumentalnya al-Mustadrak ‘ala al-Sahihain
al-Mustadrak ‘ala al-Sahihain
 Dari sekian banyak kitab Hadith yang pernah ada, kitab al-Mustadrak ‘ala al-Sahihain
mempunyai daya tarik tersendiri,baik sebelum disusun maupun sesudahnya.
 Hal ini dibuktikan dengan alasan dan motivasi al-Hakim sendiri dalam menyusun
kitab tersebut.
 Al-Hakim menyebutkan dalam pendahuluan kitabnya, bahwa dia memenuhi permintaan
sekelompok ulama di daerahnya untuk menyusun sebuah kitab yang berisikan
Hadith-hadith yang diriwayatkan dengan sistem sanad yang digunakan oleh Bukhari dan
Muslim.
 Ini kerana masih ada banyak Hadith dengan kualiti sahih menurut persyaratan Bukhari
dan/atau Muslim yang belum terbukukan.
 Setelah dibukukan, ada beberapa ulama yang menjadikan kitab al-Mustadrak sebagai
bahan kajian mereka.
 Al-Dhahaby memberikan komentar terhadap kualiti Hadith yang tercantum di
dalamnya, dalam sebuah kitab bernama Talkhis al-Mustadrak.
 Al-Suyuty memberikan komentarnya lewat karyanya Taudih al-Mudrak fi Tashih al-
Mustadrak.
D. Metode dan sistematika penyusunan Kitab
 Kitab al-Mustadrak terdiri atas empat jilid besar yang memuat lebih kurang 8,8033
buah Hadis yang tersebar dalam 50 pokok bahasan atau kitab.
 Kitab ini termasuk ke dalam kitab al-Jami’, karena memuat berbagai dimensi ajaran
Islam, seperti aqidah, hukum, tafsir, perjalanan Nabi, biografi para Nabi, sirah para
sahabat, sejarah masa lalu, peperangan dan persoalan lainnya.
 Al-Mustadrak, ditulis oleh al-Hakim saat berusia 52 tahun, yaitu tahun 373 H dan
beliau meninggal pada saat berumur 84 tahun.
 Data lain menyebutkan bahwa al-Hakim menyusun kitab al-Mustadrak pada tahun 393
H.
 Namun teori penulisannya bermula, lebih logikal adalah condong pada tahun 373H,
karena tulisan al-Mustadrak itu pernah dia kemukakan kepada al-Daruquthni yang
wafat tahun 375 H.
D. Metode dan sistematika penyusunan Kitab
 Dari waktu sekitar dua puluh tahun itu (373H-393H), al-Hakim tidak hanya
menulis kitab al-Mustadrak sahaja, tetapi juga karya-karya lainnya.
 Makanya, al-Hakim disebut sebagai penulis terbaik pada masanya .
 Dari sistematika penyusunannya, kitab al-Mustadrak condong mengikut cara
penulisan kitab Shahih Bukhari-Muslim, iaitu disusun berdasarkan bab-bab
fiqh dengan membahas berbagai aspek dan membaginya berdasarkan
urutan kitab-kitab mengikut tema.
 Setiap Hadis ditulis berdasarkan nomor urut dari 1-8803.
 Jumlah Hadis itu diklasifikasikan ke dalam empat jilid dengan rincian
sebagai berikut:
 jilid I, 1-2129 buah Hadis,
 jilid II, 2130-4256 buah Hadis,
 jilid III, 4257-6709,
 jilid IV, 6710-8803.
D. Metode dan sistematika penyusunan Kitab
 Disamping itu, masing-masing kitab juga diberi nombor urutan Hadis,
sehingga dapat diketahui jumlah Hadis yang terdapat dalam setiap
kitab.
 Dalam kitab al-Buyu’, misalnya, terdapat sebanyak 246 buah Hadis.
 Setelah mengemukakan sebuah Hadis atau beberapa Hadis dalam
tema yang sama, al-Hakim kemudian memberi komentar dengan
ungkapan, misalnya,
“Hadis ini shahih, tetapi tidak dimuat dalam Shahihain, dan sesuai
dengan syarat Muslim bin al-Hajjaj”.
Al-Mustadrak ‘ala al-Sahihain
 Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, berikut ini adalah
beberapa contoh dari kitab al-Mustadrak, Vol 1, pg 52 (Press: Beirut –Dar
al Kutub Al Ilmiyah, 1990 )
Al-Mustadrak ‘ala al-Sahihain
Al-Mustadrak ‘ala al-Sahihain
Al-Mustadrak ‘ala al-Sahihain
Al-Mustadrak ‘ala al-Sahihain
 Menurut Imam Nawawi, yang dikehendaki dengan istilah ala shart al-
shaikhaini atau ala shart ahadihima adalah bahwa para perawi dalam
sanad Hadith tersebut merupakan para perawi yang ada dalam
kitab sahih Bukhari dan Muslim atau salah satunya.
 Dalam menyusun kitabnya ini, ketika al-Hakim meriwayatkan Hadith
yang sahih menurut kriteria shaikhain, maka ia memberikan isyarat
“hadha al-Hadith ‘ala shart al-shaikhain”.
 Ketika yang ia riwayatkan adalah Hadith yang sahih menurut kriteria
salah satu dari Bukhari atau Muslim,maka ia pun memberikan
isyarat sesuai dengan kualiti Hadith tersebut.
 Apabila ia meriwayatkan Hadith yang Sahih menurut dirinya sendiri,
ia memberikan isyarat “hadha al-Hadith sahih al-Isnad”,
 Apabila ia meriwayatkan Hadith yang tidak sahih, ia pun mengingatkan
bahwa Hadith tersebut tidak sahih.
Daftar kitab al-
Mustadrak ala
al-sahihain
Dan gambaran rincian dari al-Mustadrak-nya adalah sebagai berikut: •

A) Jilid ke-I, pembahasannya adalah:

1. Kitab Iman: 287 hadis 12. Kitab Khauf: 9 hadis


2. Kitab Ilmu: 155 hadis 13. Kitab al-Jana’iz: 162 hadis
3. Kitab Thaharah: 228 hadis 14. Kitab Zakat: 105 hadis
4. Kitab Shalat: 352 hadis 15. Kitab Shiyam: 77 hadits
5. Kitab al-Jum’ah: 82 hadis 16. Kitab Manasik: 192 hadis
6. Kitab Shalat ‘Ied: 29 hadis 17. Kitab Do’a Takbir dan Tahlil: 219
7. Kitab Shalat Witir: 34 hadis hadis

8. Kitab Shalat Tathawwu’: 51 hadis 18. Kitab Fadhail Al-Qur’an: 110 hadis

9. Kitab as-Sahwi 30 hadis


10. Kitab Shalat Istisqa’: 30 hadis
11. Kitab Shalat Kusuf: 17 hadis
Jilid ke-II, pembahasannya adalah:

19. Kitab Buyu’: 246 hadis


20. Kitab Jihad: 209 hadis
21. Kitab Qism al-Fa’i: 59 hadis
22. Kitab Qital al-Baghy: 28 hadis
23. Kitab Nika: 120 hadis
24. Kitab Thalaq: 49 hadis
25. Kitab ‘Itq: 18 hadis
26. Kitab Makatib: 13 hadits
27. Kitab al-Tafsir: 1.129 hadis
28. Kitab al-Tarikh: 266 hadis
Jilid III, pembahasannya adalah: Jilid IV, pembahasannya adalah:

29. Kitab Hijrah: 40 hadis 32. Kitab Ahkam: 127 hadis


33. Kitab Ath’imah: 128 hadis
30. Kitab al-Maghazi: 106 hadis
34. Kitab Asyribah: 114 hadits
31. Kitab Ma’rifah as-Shahabah: 2000 35. Kitab al-Birr wa al-Shillah: 114 hadis
hadis • 36. Kitab al-Libas: 69 hadis
37. Kitab at-Tiba’: 94 hadis
38. Kitab al-udhhiyah: 53 hadis
39. Kitab adz-Dzabaih: 31 hadis
40. Kitab at-Taubah wa Inabah: 78 hadis
41. Kitab al-‘Adab: 121 hadis
42. Kitab al-Ayman wa al-Nuzur: 37 hadis
43. Kitab al-Riqaq: 104 hadis
44. Kitab al-Faraidh: 76 hadis
45. Kitab al-Hudud: 150 hadis
46. Kitab Ta’bir al-Ru’yah 95 hadis
47. Kitab al-Ruqa wa al-Tamaim: 27 hadis
48. Kitab al-Fitan wa al-Malahim: 383 hadis
49. Kitab Malahim: 128 hadis
50. Kitab al-Ahwal: 128 hadis
F. Kriteria penilaian hadis al-Hakim dalam al Mustadrak
 Dalam penelitian al-Dzahabi, Hadis Shahih secara mutlak dalam al-Mustadrak
berjumlah 1930 buah.
 Hadis shahih diklasifikasikan ke dalam tiga istilah yang dikemukakan oleh al-
Hakim, yaitu memenuhi kriteria Syaikhain, ‘ala syarthi Bukhari atau syarthi
Muslim, kriteria shahih al-Isnad, bahkan ada yang tidak dinilai oleh al-Hakim
sama sekali.
 Menurut al-Dzahabi, Hadis shahih yang masuk dalam kategori memenuhi
kriteria Syaikhain sebanyak 986 buah, kriteria Bukhari sebanyak 113 Hadis,
kriteria Muslim sebanyak 571 Hadis.
 Selain itu, Hadis Shahih yang menggunakan ungkapan Shahih al-Isnad
berjumlah 3447 Hadis, selebihnya Hadis yang terdapat dalam al-Mustadrak
tidak dinilai oleh al-Hakim.
 Hadis-hadis tersebut terdapat pada jilid 4 sekitar 280 Hadis. Sedangkan Hadis
maudhu’ dalam al-Mustadrak ada dua kategori, iaitu maudhu’ secara eksplisit
berjumlah 87 buah manakala maudhu’ secara implisit 67 buah
F. Kriteria penilaian hadis al-Hakim dalam al
Mustadrak
 Dalam menentukan status sebuah Hadis, shahih atau dha’if, setiap ulama Hadis
memiliki prinsip-prinsip dasar atau metode tersendiri yang membezakannya dari
ulama lain.
 Perbezaan itu nampak dari metode dan sistematika penyusunan kitab-kitab
Hadis.
 Al-Kutub al-Sittah, misalnya, berbeza penulisannya dengan kitab al-Musnad, al-
Mustakhraj, al-Mustadrak, dan kitab-kitab Hadis lainnya .
 Dengan kata lain, masing-masing ulama berbeza konsep pendekatan menyangkut
status sebuah Hadis.
 Di antara prinsip dasar yang dijadikan acuan bagi al Hakim untuk menilai status
sebuah Hadis adalah ijtihad, prinsip status sanad, prinsip status matan, dan
kriteria kritik sanad.
F. Kriteria penilaian hadis al-Hakim
dalam al Mustadrak
1. Ijtihad
 Menentukan status sebuah Hadis dengan jalan ijtihad, pada dasarnya sudah
diterapkan oleh ulama-ulama Hadis.
 Nama-nama seperti al-Ramahurmuzy, al-Baghdadi, Ibn al-Asir, serta lainnya
adalah ulama yang menggunakan prinsip ijtihad untuk menentukan kesahihan
sebuah Hadis.
 Prinsip ijtihad ini yang membezakan al-Hakim dengan para pendahulunya,
mahupun ulama semasa dan sesudahnya.
 Mengenai prinsip ijtihad ini, difahami oleh ulama Hadis dari ungkapan al-Hakim
sendiri dalam muqaddimah al-Mustadrak-nya, yaitu
Muqaddimah :

“Aku memohon pertolongan Allah untuk meriwayatkan Hadis-hadis yang


para perawinya orang-orang yang tsiqah. Bukhari dan Muslim atau salah
satu keduanya telah menggunakan perawi itu sebagai hujjah. Ini syarat
Hadis Shahih menurut pandangan seluruh Fuqaha‟, bahwa penambahan
pada sanad dan matan dari orang-orang yang tsiqah dapat diterima “
(Al-Hakim, 1997: 40)

 Ungkapan al-Hakim di atas selanjutnya menjadi objek penelitian


ulama Hadis untuk mengetahui substansi dari konsep ijtihad yang
diterapkannya dalam al-Mustadrak
F. Kriteria penilaian hadis al-Hakim
dalam al Mustadrak
 Terdapat banyak makna-makna yang mesti ditafsirkan dari istilah-istilah yang
digunakan al-Hakim , seperti ruwatuha tsiqat /perawi terpercaya, bi mitsliha,
menurut Fuqaha’ al-Islam, dan al-ziyadah min al-tsiqah.
 Pernyataan di atas dihuraikan oleh Abdurrahman sebagai berikut:
a. Ruwatuha Tsiqah : Perawi tsiqah adalah perawi yang memiliki kapasiti
intelektual yang baik serta kualiti peribadi yang sangat sempurna. Dalam bahasa
lain, tsiqah adalah gabungan antara adalah dan dhabit.
F. Kriteria penilaian hadis al-Hakim
dalam al Mustadrak
b. Bi Mitsliha : makna dari kata “bi mitsliha” bermaksud “seperti itu atau
seumpamanya”. Kata ini merupakan kunci dalam memahami ijtihad al-Hakim.
Beragam pendapat ulama Hadis mengenai kata al-Hakim ini. Ada yang memahami kata
bi mitsiliha adalah Hadis yang benar-benar mengacu kepada perawi yang menjadi
persyaratan Syaikhain. Pendapat lain memahami bahwa ungkapan al-Hakim “sesuai
syarat Bukhari-Muslim atau salah satu keduanya” bukan hanya rijal saja, tetapi juga
mengacu kepada sifat-sifat yang sama dengan rijal Syaikhain.
Kata bi mitsliha diterapkan oleh al-Hakim melalui ungkapan-ungkapan yang ia
gunakan setelah meriwayatkan Hadis. Ungkapan-ungkapan itu, secara garis besar
dikalsifikasikan dapat tiga bagian, yaitu:
1. Mengandung pengertian bahwa al-Hakim meriwayatkan Hadis berdasarkan syarat
Bukhari dan Muslim, ertinya rijal Hadis tersebut digunakan dalam Shahihain. Hal ini
dibenarkan oleh al-Dzahabi, kerana dalam penelitiannya, separuh dari jumlah Hadis
dalam al-Mustradrak memenuhi kriteria tersebut.
F. Kriteria penilaian hadis al-Hakim
dalam al Mustadrak
2. Menunjukkan bahwa rijal Hadis dalam al-Mustadrak diambil oleh Bukhari dan Muslim.
Namun, pernyataan ini dibantah oleh al-Dzahabi Menurutnya, setiap apa yang dinyatakan
oleh al-Hakim benar, jika sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Bukhari dan Muslim.
Masih menurut al-Dzahabi, rijal Hadis yang dinyatakan oleh al-Hakim memenuhi
persyaratan Syaikhain, ternyata memenuhi salah satu keduanya. Ketidak-tepatan
pernyataan al-Hakim tersebut, ditemukan oleh al-Dzahabi ketika ia meneliti Hadis berikut:
:‫حدثنا أبو عبد ه لالدمحم ب ني عقوباحالاظ ث نا أمحد ب ن‬
‫النضر بن عبد الوىاب ثنا دمحم بن بكر املقدمي ثنا اضيل بن سليمان ثنا موسى بن عقبة مسع عبيد هلال بن سليمان عن أبيو عن أيب أيوب‬
‫ ما من عبد يعبد هلال و ال يشرك بو شيئا و يقيم الص ة و يؤيت‬: ‫ قال رسول هلال صلى هلال عليو و سلم‬: : ‫اانصاري ر ي هلال عنو قال‬
‫ ااشراك ابهلل و الفرار من اللحف و ق ل النفس‬: ‫ ما الكبائر ؟ قال‬: ‫ اسألوه‬: ‫اللكاة و جي نب الكبائر إال دخل اجلنة قال‬
‫ىذا حديث صحيح على شرط الشي ٌن و ال أعرف لو علة و مل خيرجاه‬
 Dalam mata rantai sanad Hadis di atas, “Ubaid bin Sulaiman” yang menerima Hadis dari
ayahnya, menurut al-Hakim, ‘Ubaid merupakan rijal Syaikhain, tetapi dibantah oleh al-
Dzahabi. Karena menurutnya, hanya Bukhari saja yang memakai ‘Ubaid bin Sulaiman.
Sedangkan ungkapan al-Hakim “Hadis ini sahih sanad”, menunjukkan bahwa Hadis yang
dicantumkan tidak memenuhi kriteria Syaikhain, tetapi sesuai dengan persyaratan al-Hakim
sendiri
F. Kriteria penilaian hadis al-Hakim
dalam al Mustadrak
c. Menurut Fuqaha’ al-Islam : Dalam penerapannya, al-Hakim tidak
menjelaskan secara eksplisit bahwa apa bila suatu Hadis diriwayatkan oleh
orang yang tsiqah dan memenuhi kriteria Bukhari dan Muslim, maka Hadis
itu sudah memenuhi ketentuan Fuqaha’. Dia sendiri tidak menjelaskan baik
dalam kitab ilmu hadisnya Ma’rifah fi ‘Ulum al-Hadits dan al-Madkhal
mahupun dalam al-Mustadrak itu sendiri, tentang ke-shahihan Hadis
menurut Fuqaha’.
Maka timbul pertanyaan, apakah al-Hakim menggunakan double-standard/
standard ganda dalam menentukan status sebuah Hadis?
Sementara antara ahli Hadis dan Fuqaha‟ memiliki perbezaan dalam
menetapkan keshahihan suatu Hadis, dimana ahli Hadis cenderung lebih
ketat dalam menilai suatu Hadis, sedangkan Fuqaha’ lebih tasahul.
F. Kriteria penilaian hadis al-Hakim
dalam al Mustadrak
d. Al-Ziyadah min al-Tsiqah : Konsep al-ziyadah min al-tsiqah pada dasarnya
adalah tambahan yang digunakan seorang rawi yang tsiqah, namun tidak
diterdapat dalam riwayat tsiqah yang lain.
Dalam pandangan Ibn Katsir, ziyadah tsiqah merupakan perbezaan persepsi
antara Fuqaha’ dan ahli Hadiths.
Majoriti ahli fikih bertoleransi mengenainya, sementara ahli Hadis tidak
menerimanya. Sementara al-Hakim sendiri dalam alMustadrak-nya,
memperkuat keberadaan konsep ini.
F. Kriteria penilaian hadis al-Hakim
dalam al Mustadrak
 2. Prinsip Status Sanad
Kajian terhadap sanad Hadis selanjutnya akan menentukan terhadap status suatu Hadis.
Dalam menentukan keakuratan suatu rangkaian sanad, muncul konsep-konsep yang
menunjukkan indentiti sebuah sanad - apakah sahih, hasan, dan dha ‟if.
Konsep-konsep keshahihan sanad, misalnya, diantaranya, Ashahhu al-Asanid, Atsbatu
alAsanid, Ajallu al-Asanid, Aqawa al-Asanid. Tingkatan konsep keshahih-an sanad menurut al-
Hakim ditentukan oleh rijal Hadis itu.
Al-Hakim sendiri telah menetapkan rijal sebuah Hadis yang masuk dalam kategori Ashahhu
al-Asanid.
Baginya, orang-orang yang termasuk Ashahhu al-asanid, jika jalurnya melalui ahli bait adalah
Ja’far bin Muhmmad melalui ayahnya dari datuknya ‘Ali bin Abi Thalib.
Jika Hadis diterima dari jalur Abu Bakar, maka sanad yang paling sahih adalah melalui Isma’il
bin Abi Khalid, dari Qays bin Abi Hazim . Demikian ijtihad al-Hakim dalam menentukan
status sanad Hadis
F. Kriteria penilaian hadis al-Hakim
dalam al Mustadrak
 3. Prinsip Status Matan
Prinsip ini secara tegas dikemukakan oleh al-Hakim dalam bukunya Ma ‟rifah fi „Ulum al-
Hadits , iaitu “ Sesungguhnya Hadis sahih itu tidak hanya diketahui dengan berdasarkan
riwayat saja, melainkan dengan pemahan, hafalan, dan banyak mendengar (Al-Hakim, 1977:
59-60)
Pernyataan al-Hakim di atas adalah petunjuk bahwa dalam mempertimbangkan status sebuah
Hadis, banyak hal yang dikaji oleh ulama Hadis untuk mengetahui ‘illah-nya, apakah terdapat
disanad atau dimatan Hadis.
Prinsip ini kemudian melahirkan berbagai konsep, seperti rajah-marjuh, nasikh-mansukh,
maqlub,mudraj, dan mudltharib. Untuk mengetahui ke-shahih-an suatu matan Hadis
misalnya, dilakukan perbandingan antara satu Hadis dengan Hadis lainnya, bahkan juga matan
Hadis dengan al-Qur’an.
Jika Nampak adanya kontradiksi antar teks Hadis tersebut, maka salah satunya dha’if dan
tidak boleh dijadikan hujjah . Bahkan hasil perbandingan juga menunjukkan adanya nasikh-
mansukh antara keduanya.
F. Kriteria penilaian hadis al-Hakim
dalam al Mustadrak
 4. Kriteria Kritik Sanad
Kritik sanad dalam kajian ilmu Hadis adalah berkaitan dengan cara menggunakan ungkapan jarh untuk menilai perawi
Hadis. Perbezaan dalam menggunakan ungkapan jarh melahirkan berbagai madzhab atau kecendrungan dalam
mengkritik rijal Hadis.
Kecendrungan itu dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok.
 tasyaddud, dengan tokoh-tokohnya, seperti Ibn Ma‟in, „Ali bin Madini, dan al-Bukhari.
 mutawassith, dan tokohnya, Imam Ahmad.
 mutasahil, yaitu Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban, Abu Hatim, dan al-Hakim.
Perbezaan kritik sanad disebabkan perbezaan didalam sudut pandangan serta topik-topik didalam Hadis. Prinsip yang
dipedomani oleh ulama Hadis berkaitan dengan akidah, ibadah mahdhah, muamalah adalah tasyaddud (ketat) dalam
menilai rijal.
Sedangkan berkaitan dengan fadhail ‘amal, targhib wa tarhib lebih longgar (tasahul).
Prinsip ini diterapkan oleh al-Hakim ketika menentukan status Hadis. Ia menggunakan prinsip yang amat ketat
(tasyaddud) terhadap Hadis-hadis yang berkaitan dengan akidah dan syari‟ah, sementara terhadap Hadis-hadis yang
berhubungan dengan fadilah amal, sejarah Rasul, sejarah para nabi-nabi terdahulu, dan para sahabat, al-Hakim
cendrung agak longgar (tasahul) .
G. Penilaian : Pujian dan kritik Ulama
terhadap Mustadrak al-Hakim
Kitab al-Mustadrak tidak lepas dari kritikan baik yang bernada memuji dan maupun yang bernada
menghujat. Pujian itu terutama ditujukan kepada peribadi al-Hakim sendiri. Muhammad al-
Dzahabi, misalnya, dalam bukunya Siyar ‘Alam al-Nubala ‟ menyatakan al-Hakim sebagai ‘al-Imam
al-Hafidz, al-Naqid „ahli kritik‟, al‟Allamah, Syaikh alMuhadditsin, dan Shahibu al-Tashanif’.
Komentar-komentar di atas menunjukkan bahwa kepiawaian al-Hakim dalam kajian Hadis dan
Ilmu Hadis tidak diragukan lagi. Bahkan beberapa karyanya, seperti kitab alMadkhal ila al-Iklil dan
Ma‟rifah ‘Ulum al-Hadits menjadi referensi dalam menentukan status rijal dan kaidah-kaidah yang
berkaitan dengan sanad dan matan Hadis.
Meskipun demikian, kitabnya al-Mustadrak tidak lepas dari berbagai kekurangan yang
menyebabkan ia mendapat kritikan yang sangat tajam.
Dalam penilaian sebagian ahli Hadis, kesalahan yang terdapat dalam al-Mustadrak kerana faktor
usia yang cukup tua.
Selain itu, al- Hakim tidak sempat meneliti kembali Hadis-hadis dalam al-Mustadrak kerana
kematian yang menjemputnya
G. Penilaian : Pujian dan kritik Ulama
terhadap Mustadrak al-Hakim
 Ada pula beberapa kritikan dari ulama Hadis yang memberikan penilaian terhadap
kitab al-Mustadrak, seperti :
1. Al-Baihaqi: ia tidak setuju bahwa al-Mustadrak memuat Hadis-hadis yang
memenuhi persyaratan Bukhari dan Muslim.
2. Abu Sa‟id al-Malini: ia menyatakan bahwa dalam al-Mustadrak tidak ada Hadis
yang memenuhi persyaratan Syakhain. Bahkan ia mengatakan “aku telah
meneliti al-Mustadrak dari awal sampai akhir, ternyata tidak ada satu pun
Hadis yang memenuhi kriteria Syaikahin.
3. Muhammad bin Thahir: ia menilai al-Hakim seorang pengikut Syi‟ah rafidhah,
hanya berpura-pura sunni
F. Kriteria penilaian hadis al-Hakim
dalam al Mustadrak
 4. Al-Dzahabi:
Dalam penelitiannya, separuh dari Hadis al-Mustadrak memenuhi kriteria Syaikhain
atau Bukhari dan Muslim saja.
Meskipun demikian, menurut al-Dzahabi, penyataan al-Hakim bahwa suatu Hadis
memenuhi persyaratan Syaikhain, tidak boleh diterima begitu saja, karena ada
Hadis yang dinyatakan ‘ala syarthi Syaikhain, ternyata hanya memenuhi krtiteria
salah satu keduanya.
Masih dalam pandangan al-Dzahabi, pengakuan al-Hakim bahwa Hadis yang dimuat
dalam al-Mustadrak merupakan Hadis Shahih yang tidak terdapat dalam Shahihain,
tidak dapat diterima sepenuhnya, kerana ada Hadis yang sudah tercantum dalam
Shahihain, tapi masih dimasukkan dalam al-Mustadrak.
Dalam konteks ini, al-Dzahabi bekomentar “Hadis ini ada dalam Shahihain, tapi
mengapa masih anda muat dalam kitab ini”.
G. Penilaian : Pujian dan kritik Ulama terhadap Mustadrak al-
Hakim

 Imam al-Dhahaby memberikan komentar, bahwa dalam kitab al Mustadrak ini,


 terdapat banyak Hadith yang sahih menurut kriteria Bukhari dan Muslim atau salah
satu dari keduanya. Jumlah Hadith dengan kategori ini, mencapai setengah dari isi
kitab.
 Bagian Hadith yang sahih sanadnya menurut al-Hakim sendiri . Untuk kriteria ini,
mencapai seperempat dari isi kitab, hanya saja masih terdapat sesuatu yang
menghalangi Hadith-hadith tersebut mendapatkan predikat sahih secara mutlak
(fihi ba‘du alshay’i).
 Seperempat lainnya, merupakan kumpulan Hadith-hadith munkar, lemah dan
bahkan di antaranya ada yang maudhu‘.
Kritik ulama terhadap Al Mustadrak ala
al Sahihain
 Imam al-Dhahaby telah mengumpulkan Hadith-hadith maudhu‘ yang terdapat dalam kitab
al-Mustadrak. Setelah dikumpulkan, ditemukan seratus Hadith dengan kriteria Hadith
maudu‘.
 Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa sebenarnya al-Hakim menyusun kitabnya
tersebut untuk kemudian disunting setelah rampung, tapi ternyata ia wafat sebelum
sempat menyuntingnya.
 Ulama' lain mengatakan bahwa, al-Hakim menyusun kitab tersebut ketika ia sudah sangat
berumur, sehingga terdapat banyak kesalahan dalam penilaian Hadith.
 Para ahli Hadith berselisih pendapat seputar Hadith-hadith yang dihukumi sahih oleh al-
Hakim seorang. Sebagian ulama berpendapat bahwa Hadith tersebut sahih secara mutlak.
 Ibnu Salah berpendapat bahwa Hadith tersebut, kalau tidak tergolong sahih, maka
setidaknya tergolong hasan yang boleh dijadikan hujjah kecuali apabila ditemukan ‘illat
yang menyebabkan Hadith tesebut berkualiti dha‘if.
Penutup
 Al-Hakim al-Naisaburi merupakan salah seorang ahli Hadis yang hidup pada abad ke-4H
pada masa pemerintahan Samaniyah.
 Dikala zamannya, keadaan sosio-intelektual memicu al-Hakim untuk menyusun berbagai
karya dalam kajian Hadis, salah satunya kitab al-Mustadrak.
 Al-Hakim mempunyai kriteria tersendiri dalam menilai status sebuah Hadis, yaitu ijtihad.
Konsep ijtihad ini kemudian yang membezakan antara al-Hakim dengan ulama lainnya,
khususnya tentang kriteria Syaikhain. Menurutnya, kriteria al-Syaikhain tidak mesti
diriwayatkan secara utuh oleh rijal Syaikahin, tetapi dengan adanya kesamaan sifat-sifat
rijal dalam sebuah Hadis, maka Hadis tersebut sudah memenuhi kriteria Syaikhain. Prinsip
ijtihad ini kemudian diterapkan oleh al-Hakim dalam alMustadrak melalui ungkapan-
ungkapan, seperti “Hadis ini sesuai dengan syarat Syaikhain, dan syarat Bukhari atau
Muslim saja”.
 Selain metode ijtihad, al-Hakim juga menerapkan prinsip status sanad, prinsip status
matan, dan kriteria kritik sanad dalam menilai sebuah Hadis. Metode yang digunakan oleh
al-Hakim tersebut kemudian melahirkan double standard dalam menilai status Hadis
Penutup
 Akibat penerapan prinsip ini, ramai ulama Hadis menilai al-Hakim tidak konsisten dan
bersifat tasahul terhadap Hadis-hadis yang tidak berkaitan dengan persoalan akidah
dan syari’ah.
 Meskipun al-Hakim menyatakan bahwa kitab al-Mustadrak memuat Hadis-hadis yang
memenuhi persyaratan Syaikhain, namun pernyataan itu tidak seluruhnya benar,
kerana tidak semua Hadis dalam al-Mustadrak bernilai Shahih. Bahkan menurut al-
Dzahabi, Hadis shahih secara mutlak dalam kitab tersebut hanya sebanyak 1930 buah.
Sementara yang sesuai dengan persyaratan Syaikahin 985 hadis.
 Walaupun terdapat kekurangannya, kitab al-Mustadrak merupakan sumbangan terbesar
al-Hakim dalam pemikiran Hadis. Al-Hakim telah merintis suatu wacana baru dalam
meletakkan prinsip-prinsip keshahihan sebuah Hadis bagi para pengkaji studi Hadis
sesudahnya.
 Usaha al-Hakim patut diberi penghargaani kerana tidak dapat disangkal bahawa kitab
ini menjadi satu bahan khazanah ilmiah Islam berharga yang berguna untuk para
tholibul ilmi dan para ilmuwan Islam hingga kini.

Wallahu ‘alam bis sawab


Referensi :
1. Abdurrahman, M, Pergeseran Pemikiran Hadits ; Ijtihad al-Hakim dalam
Menentukan Status Hadits. Jakarta: Paramadina. 2000
2. Ali Hamid, Sa‟id bin „Abdullah. Manahij al-Muhadditsin. Riyadh: Dar „Ulum
alSunnah. 1999.
3. Bukhari, M. Ushu al-Hadits: Studi Kritis Ilmu Hadis. Padang: Azka. 2009.
4. Al-Kattani, Ja‟far. al-Risalah al-Mustathrafah. Beirut: Dar al-Kutub al-
Islamiyah. t.th. Najwah, Nurun, “Al-Mustadrak „Ala al-Shahihain al-Hakim”
dalam Studi Kitab Hadis. Yogyakarta: Teras. 2003.
5. Al-Naisaburi, Al-Hakim. al-Mustadrak „Ala al-Shahihain. Jilid. I. Sudan: Dar
alHaramian. 1997.
6. Al-Naisaburi, Al-Hakim. al-Ma‟rifah fi „Ulum al-Hadits. Madinah: al-Maktabah
al-„Ilmiyyah. 1977.
7. Al-Thahhan, Mahmud. Ushul al-Takhrij wa Dirasatu al-Asanid. Terj. Ridwan
Nasir. Surabaya: PT. Bina Ilmu. 1995

Anda mungkin juga menyukai