مستدرك الحاكم
Al Hakim al-Naisabury
Pada abad pertama Hijriah, salah satu tujuan penulisan hadith adalah agar hadith-hadith tersebar di jazirah Arab
dan tidak lenyap seiring berjalannya waktu sekaligus menjaga otentisitinya.
Penulisan hadith pada saat itu bersifat peribadi dan tidak dilakukan secara rasmi. Hadith-hadith tersebut ditulis
di atas berbagai media tulis seperti kertas dan suhuf.
Beberapa sahifah yang terkenal antara lain adalah :
al-Sahifah al-Sadiqah milik Abdullah bin ‘Amr bin ‘As,
al-Sahifah al-Sahihah milik Hammam bin Munabbih yang ia riwayatkan dari Abu Hurairah,
sahifah milik para sahabat lainnya seperti Sa‘d bin ‘Ubadah al-Ansari, Samurah bin Jundub, Jabir bin ‘Abdullah al-Ansari,
Anas bin Malik
dan seterusnya.
Namun cara penulisannya teratur dan tidak berurutan.
Kondisi tersebut tidak berubah sampai akhirnya agama Islam semakin menyebar, wilayah Islam semakin
luas, para sahabat pun berpencar dan sebagian besar dari mereka meninggal dunia.
Keadaan tersebut mendorong pentingnya pembukuan Hadith. Dengan alasan agar tidak ada hadith yang
hilang begitu saja, Umar bin Abd al-Aziz menyampaikan pesannya kepada para ulama’ di berbagai kota
agar mengumpulkan Hadith-hadith
Sejarah Metodologi Pembukuan Hadith
Salah satu pengumpul Hadith pada waktu itu adalah Ibnu Shihab al-Zuhri (w. 124 H.) Ia
mengumpulkan Hadith-hadith yang berkaitan dengan satu tema tertentu, kemudian mengumpulkannya
menjadi satu dalam satu buku dan di dalamnya terdapat ucapan para sahabat dan fatwa tabi‘in. Contohnya,
pembahasan tentang solat dalam satu buku, tentang wudu dalam satu buku dan seterusnya.
Pembukuan hadith dengan model seperti ini, dalam terminologi Hadith dikenali sebagai model ajza’ atau
juz’ .Setelah al-Zuhri, para ulama pun berebut untuk mengumpulkan Hadith. Sebut saja Imam Ibnu
Juraij (150 H) di Makkah, Imam Malik (179 H) di Madinah, Imam Sufyan al-Thauri (161 H) di Kufah,
dan lain sebagainya.
Kalau al-Zuhri mengumpulkan hadith, ucapan para sahabat dan fatwa tabi‘in untuk satu tema tertentu
dalam satu buku tersendiri, ulama setelah al-Zuhri mengumpulkan Hadith, ucapan para sahabat dan fatwa
tabi‘in untuk satu tema tertentu dalam satu bab tersendiri utuk kemudian digabungkan dengan bab-bab yang
lain dalam satu buku.
Pembukuan hadith dengan model seperti ini, dalam terminologi Hadith biasa disebut model musannafat atau
musannaf ataupun muwattaat atau muwatta’.
Sejarah Metodologi Pembukuan Hadith
Pada abad ketiga muncul pembukuan hadith dengan beberapa metode baru.
1. Memisahkan ucapan sahabat dan fatwa tabi‘in dari Hadith, kemudian mengumpulkan Hadith tersebut berdasarkan nama sahabat yang
meriwayatkannya, tanpa ada keterikatan dengan satu tema tertentu, atau biasa disebut dengan masanid atau musnad.
2. Mengumpulkan Hadith-hadith yang sudah dipisahkan dari ucapan sahabat dan fatwa tabi‘in tersebut berdasarkan tema-tema fiqh,
model ini biasa disebut dengan sunan atau sunnah.
3. Yang tidak terbatas pada tema-tema fiqh saja, bahkan mencakup seluruh tema-tema dalam agama, mulai aqidah, hukum, tafsir,
maghazi, manaqib dan lain-lain, model ini dalam terminologi hadith disebut jawami‘ atau jami‘.
4. Membukukuan Hadith-hadith yang nampak kontroversi untuk kemudian dijelaskan duduk permasalahannya (ta’wil mukhtalif al-
Hadith).
Abad ketiga merupakan masa keemasan pembukuan Hadith (azha ‘usur al-tadwin). Pada abad
tersebut muncul kajian kritik sanad dan matan, sejarah dan biografi para rawi,
pengklasifikasian Hadith berdasarkan kualitasnya, dan muncul pula al-kutub al-sittah yang
membukukan majoriti Hadith sahih yang pembukuannya lebih mengandalkan riwayat
secara lisan. Oleh karenanya mereka sering melakukan perjalanan jauh untuk
mendengarkan ilmu dari seorang guru, dan mereka enggan menukil ilmu dari buku kecuali
bersamaan dengan penukilan tersebut ia mendengarkan ilmu itu dari sang pengarang buku.
Fenomena ini berbeza dengan apa yang terjadi pada abad keempat. Maka dari itu, abad ketiga
merupakan batas pemisah antara ulama Hadith mutaqaddimin dan muta’akhkhirin.
Sejarah Metodologi Pembukuan Hadith
Pada abad keempat, ketika para ulama melihat bahwa hampir seluruh
hadith sahih telah terbukukan, mereka menjadikan kitab-kitab tersebut
sebagai bahan kajian dan penelitian. Oleh karenanya mereka hampir
tidak memerlukan pengembaraan dan perjalanan jauh untuk
menuntut ilmu.
Adapun beberapa metode pembukuan Hadith pada abad ini adalah
pengumpulan Hadith-hadith sahih (sebagaimana yang dilakukan Imam Bukhari
dan Muslim).
1.Metode mustadrak.
2.Metode mustakhraj.
3.Metode mu‘jam.
4.Penyusunan Hadith-hadith yang mengandung ‘illat.
5.Penyusunan Hadith berdasarkan tema.
6.Komentar (sharh) terhadap Hadith-hadith.
B. Biografi al-Hakim Abu ‘Abdillah al-Naisabury
Nama sebenar : Muhammad bin Abdullah bin Hamduwiyah bin Nu’aim bin Hakam al-Dabby al-
Tahmany al-Naisabury al-Hafiz Abu ‘Abdillah al-Hakim dan yang lebih popular dengan nama Ibn
alBayyi’ al-Dhabyyi al-Syafi’i al-Naisaburi
Dalam bidang Hadis, ia lebih dikenal dengan nama ‘Abdullah al-Hakim al-Naisaburi, atau Ibn al-Bayyi’
untuk membezakannya dengan tokoh lain yang juga bergelar al-Hakim, yaitu
Abu Ahmad al-Hakim, Abu „Ali al-Hakim al-Kabir – yang merupakan guru al-Hakim sendiri –,
Seorang Khalifah Fathimiyah di Mesir yang bergelar al-Hakim, yaitu al-Hakim bi Amrullah
Lahir di Naisabur pada bulan Rabi‘ul-Awwal 321 H & wafat pada hari Selasa , 3 Safar 405 H.
Ayah al-Hakim, yaitu ‘Abdullah bin Hammad bin Hamdun adalah seorang yang dekat dan loyal kepada
pemerintah Bani Saman yang menguasai daerah Samaniyah. Disamping seorang pejuang yang tangguh,
ia juga seorang dermawan sekaligus ahli ibadah.
Berdasarkan informasi sejarah, daerah Samaniyah merupakan tempat yang banyak melahirkan tokoh-
tokoh intelektual, seperti fuqaha, ahli Hadis, dan filosof. Daerah ini pula yang melahirkan ahli Hadis
kenamaan pada abad ke-3 H semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, al-Tirmizi, alNasa’i,
dan Ibn Majah .
Kondisi sosio-intelektual ini pada akhirnya membentuk kecendrungan keilmuan al-Hakim untuk
menekuni pengetahuan agama, iaitu mendalami Hadis.
Dinasti Samaniyah
B. Biografi al-Hakim Abu ‘Abdillah al-Naisabury
Setelah mendapatkan pendidikan dasar yang diberikan oleh ayahnya, al-
Hakim pada usia 13 tahun (334 H), mulai belajar Hadis secara khusus kepada
Abu Khatim bin Hibban.
Oleh kerana itu, dalam karya monumentalnya al-Mustadrak, ia sudah banyak
meriwayatkan Hadis tatkala masih berumur 16 tahun yang diterimanya pada
tahun 337 H.
Al-Hakim menerima Hadis tersebut antara lain dari Abu ‘Amr Muhammad bin
Ja’far bin Muhammad bin Mathar.
Tidak cukup sampai disitu, al-Hakim kemudian melanjutkan rihlah
intelektualnya ke berbagai daerah untuk dapat berlajar langsung kepada
para ahli Hadis, agar mata rantai sanad yang diterimanya memiliki nilai
yang tinggi, kerana menurut al-Hakim, sebagaimana yang disyaratkan oleh
Imam Bukhari, suatu sanad Hadis bernilai tinggi apa bila adanya liqa’
(pertemuan) antara guru dan murid, meskipun hanya sekali
B. Biografi al-Hakim Abu ‘Abdillah al-Naisabury
Di antara daerah-daerah yang didatangi oleh al-Hakim seperti Iraq, Khurasan, dan Hijaz.
Kota-kota tersebut pada masa itu banyak bermukim ulama dalam berbagai disiplin
keilmuan, terutama ahli Hadis.
Dengan cara ini, al-Hakim ingin mengikuti jejak para pendahulunya seperti Imam
Bukhari dalam upaya mencari Hadis dengan bertemu langsung (liqa‟) kepada ahli Hadis.
Merasa belum cukup dengan rihlah intelektual pertamanya ke daerah-daerah tersebut,
al-Hakim kembali melakukan perjalanan untuk kedua kalinya pada tahun 368 H, ketika
usianya sudah memasuki 47 tahun.
Dalam tradisi ahli Hadis, perjalanan seperti itu diperlukan untuk memperbincangkan
tentang temuan dan pendangan-pandangannya tentang Hadis dan ilmu Hadis. Seperti
diketahui bahwa kitab al-Mustadrak pernah dibincangkan dengan salah seorang gurunya,
iaitu al-Daruquthni yang bermukim di Irak.
Disamping itu, rihlah dilakukan untuk menghilangkan anggapan bahwa ahli Hadis yang
menerima riwayat dari ulama dikampung halamannya bukan seseorang yang
mempunyai ilmu yang tinggi
B. Biografi al-Hakim Abu ‘Abdillah al-Naisabury
Dengan berbekal kemampuan intelektual yang tinggi dan diiringi dengan
kegigihannya dalam mencari dan mengkaji Hadis menjadikan posisi keilmuan al-
Hakim khususnya dalam bidang Hadis, melebihi para ahli Hadis pada masanya.
Sehingga ia sering dianggap Imam Hadis “yang paling besar” pada waktu itu.
Kebesaran al-Hakim dibuktikan dengan banyak ulama yang ingin berdiskusi
dengannya, termasuk gurunya sendiri, al-Daruquthni.
Disamping ahli dalam ilmu Hadis, ia juga mendalami berbagai ilmu-ilmu agama
Islam lainnya, seperti fiqh dan tasawuf . Dalam pandangan al-Hakim, ahli Hadis
yang sempurna ialah orang yang menguasai fiqh dan menjadi fuqaha.
Al-Hakim menganggap fiqh sebagai ilmu yang paling genting sebagai bahan
rujukan intelektualnya. Walaupun dalam prakteknya, al-Hakim sulit untuk
menggabungkan keduanya dalam satu pandangan, sehingga melahirkan suatu
standard ganda dalam menentukan status Hadis yang oleh ulama Hadis dinilai
sebagai tasahul.
Guru dan murid
Berdasarkan informasi sejarah diperkirakan bahwa al-Hakim telah belajar kepada seribu
lebih ulama, mulai dari Irak sampai ke daerah-daerah lainnya. Berikut diantara nama-
nama guru al-Hakim, selain ayahnya dan Hibban, ialah :
Muhammad bin ‘Ali al-Muzakkir,
Muhammad bin Ya’qub al- ‘Asam,
Muhammad bin Ya’qub al-Syaibani,
Muhammad bin Ahmad bin Balawaih al-Jallab,
Abu Ja’far Muhammad bin Ahmad bin Sa’id al-Razi,
Muhammad bin ‘Abdullah bin Ahmad al-Saffar,
Ali bin al-Fadl al-Suturi,
Ali bin ‘Abdullah al-Hakam,
Isma’il bin Muhammad al-Razi, dan
Muhammad bin al-Qasim al-Ataki.
Guru dan murid
Selain itu, al-Hakim juga memiliki murid yang meriwayatkan Hadisnya, diantaranya ialah:
Abu al-Falah bin Ubay bin al-Fawari,
Abu al-’Ala al-Wasiti,
Muhammad bin Ahmad bin Ya’qub,
Abu Zarr al-Hirawi,
Abu Ya’la al-Khalili,
Abu Bakar al-Baihaqi,
Abu al-Qasim alQusyairi,
Abu al-Salih al-Muazzin,
al-Zakki Abu Hamid al-Bahiri,
Mu‟ammal bin Muhammad bin al-Walid
Latar Sosio-Politik Intelektual Al-Hakim
Kegiatan berfikir dan produk pemikirannya tidak dapat dilepaskan dari konteks sosio-
kultural dan politik dimana tempat seorang pemikir hidup dan dibesarkan.
Produk pemikiran pada dasarnya adalah interpretasi terhadap situasi dan keadaan
masyarakat baik sosial, politik, ekonomi, dan keagamaan yang terjadi saat itu.
Oleh karena itu, ada ungkapan yang cukup popular “seorang pemikir adalah anak
zamannya”.
Dengan kata , produk pemikiran seseorang adalah cerminan dari realiti sosial
masyarakat pada waktu itu.
Maka tidak jarang konteks sosio-politik ikut memberikan pengaruh dan warna bagi
pemikiran seorang intelektual.
Tidak hanya itu, sosial-politik seringkali “membataskan kebebasan” dalam
mengemukakan pandangan dan memaksa elit intelektual untuk tunduk kepada
ideologi yang dianut oleh penguasa.
Latar Sosio-Politik Intelektual Al-Hakim
Secara umum, situasi politik umat Islam pada masa al-Hakim, terpecah ke dalam
tiga kekuatan besar, yaitu
Fathimiyah yang berkuasa di bagian Afrika Utara,
Bani Umayyah II di Andalusia,
Bani Abbasiyah yang berpusat di Baghdad.
Fasa ini dalam sejarah Islam di klasifikasikan sebagai fasa disintegrasi kerana tidak
hanya berbeza secara politik, malah ketiga khalifah tersebut pun menganut
madzab yang berbeza-beza.
Penguasa Bani Saman, daerah dimana al-Hakim tinggal misalnya, menganut ideologi
yang berbeza; ada yang condong ke sunni dan ada pula yang Syiah.
Salah seorang penguasa Saman, Sa’id bin Nasr bin Ahmad, misalnya, secara terang-
terangan mendukung Fathimiyah di Mesir yang beraliran Syiah.
Pada masa Sa’id dan anaknya Nuh berkuasa, ideologi Syiah diterapkan melalui
kebijakan pemerintah Samaniyah
Latar Sosio-Politik Intelektual Al-Hakim
Kebijakan penguasa Samaniyah yang menerapkan ajaran Syiah lambat-laun ikut
mempengaruhi struktur pemikiran masyarakat umum, ahli politik dan ulama yang
hidup pada masa itu.
Sosialisasi ajaran Syiah juga nampak dalam tata-upacara dan tradisi, seperti upacara
Mawlid, dan peringatan 10 Muharram yang harus diikuti seluruh warga negara.
Kebijakan ini memicu terjadinya konflik sektarian antara sunni dan Syiah serta dapat
menganggu stabiliti dan keamanan negara.
Pada separuh pertama abad ke-4 H, kegiatan intelektual masih terpelihara dan
berkembang dengan baik. Munculnya tokoh-tokoh seperti al-Thabari, alMas’udi dalam
bidang sejarah, al-Maturidi dan al-Bazdawi dalam bidang teologi, Ibn Sina sebagai
filosof, Ibn Hibban, al-Daruquthni, Ibn Huzaimah, dan al-Hakim dalam kajian Hadis
menunjukkan masih kuatnya tradisi intelektual kala itu .
Bani Saman sendiri adalah pecinta ilmu pengetahuan dan sangat liberal dalam
mengawal situasi dan karya intelektual yang ada dan ini mengacu para intelektual
supaya banyak menghasilkan karya, seperti dalam bidang Hadis, sejarah, sastra,
falsafah, dan tasawuf.
Latar Sosio-Politik Intelektual Al-Hakim
Latar sosio-budaya dan politik seperti yang dijelaskan di atas, secara tidak langsung
memberikan pengaruh bagi al-Hakim dalam menyusun kitab al-Mustadraknya.
Demikian juga dengan keakrabannya kepada penguasa Bani Saman yang menyokong
dan menganut ideologi syiah.
Maka muncullah berbagai tuduhan kepada al-Hakim tentang keSyiahannya yang
menyebabkan tasahul dalam menilai status sebuah Hadis.
Para ulama berselisih pendapat seputar peribadi al-Hakim. Sebagian ulama
seperti al-Khatib al-Baghdady, al-Sam‘any, dan al-Dhahaby menilai bahwa al-
Hakim seorang shi‘ah. Penilaian tersebut berpangkal dari periwayatan al-Hakim
terhadap dua Hadith yang seakan mendukung kelompok shi‘ah, padahal Hadith
tersebut (menurut mereka) tidak dapat dibuktikan validitinya.
Sementara sebagian lain,seperti al-Subky mengatakan al-Hakim bukan seorang
shi‘ah, dan Hadith yang diriwayatkan al-Hakim di atas, setelah di-takhrij oleh al-Hafid
Salah al-Din Khalil (kawan al-Subky),adalah Hadith hasan ataupun dha‘if yang masih
boleh diterima.
Kitab-kitab Al-Hakim Naisyaburi
Al-Hakim menyebutkan bahwa karya ilmiahnya mencapai 1500 (seribu
lima ratus) juz.
Diantara karya-karya beliau adalah:
Definisi Mustadrak
Dari pengertian al-Mustadrak seperti yang telah dijelaskan di atas, maka Hadis-hadis
yang terdapat dalam karya al-Hakim ini, mengandungi beberapa kemungkinan sebagai
berikut:
8. Kitab Shalat Tathawwu’: 51 hadis 18. Kitab Fadhail Al-Qur’an: 110 hadis