0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
13 tayangan13 halaman
Ilmu musthalah hadits membahas istilah-istilah yang terkait dengan hadits Nabi Muhammad SAW dan perkembangannya. Terdiri dari ilmu riwayat dan dirayah. Ilmu riwayat membahas naql hadits, sedangkan dirayah menjelaskan kaidah untuk mengetahui sanad dan matannya. Sejarahnya dimulai dari zaman Rasulullah SAW hingga abad ke-4 H dengan dikumpulkannya koleksi hadits oleh para ulama.
Ilmu musthalah hadits membahas istilah-istilah yang terkait dengan hadits Nabi Muhammad SAW dan perkembangannya. Terdiri dari ilmu riwayat dan dirayah. Ilmu riwayat membahas naql hadits, sedangkan dirayah menjelaskan kaidah untuk mengetahui sanad dan matannya. Sejarahnya dimulai dari zaman Rasulullah SAW hingga abad ke-4 H dengan dikumpulkannya koleksi hadits oleh para ulama.
Ilmu musthalah hadits membahas istilah-istilah yang terkait dengan hadits Nabi Muhammad SAW dan perkembangannya. Terdiri dari ilmu riwayat dan dirayah. Ilmu riwayat membahas naql hadits, sedangkan dirayah menjelaskan kaidah untuk mengetahui sanad dan matannya. Sejarahnya dimulai dari zaman Rasulullah SAW hingga abad ke-4 H dengan dikumpulkannya koleksi hadits oleh para ulama.
Secara etimologi ilmu ini berarti hal-hal yang terkait dengan istilah-istilah atau pembahasan hadits. Secara lebih spesifik, Ilmu mushthalahul hadits atau ilmu hadits itu ada dua macam, yaitu: 1. Ilmu hadits riwayah dan 2. Ilmu Hadits Dirayah. Ilmu hadits riwayah adalah satu disiplin ilmu yang meliputi pembahasan tentang pemindahan (naql) segala hal yang diafiliasikan kepada Rasulullah SAW. baik berupa perbuatan, perkataan, penetapan, dan sifat, atau segala hal yang diafiliasikan kepada para Sahabat atau para Tabi’in. Sedangkan Ilmu Hadits Dirayah adalah disiplin ilmu yang menjelaskan tentang kaidah-kaidah tertentu untuk mengetahui keberadaan sanad atau matan. Materi yang terdapat dalam Ilmu Hadits Dirayah ini meliputi pembahasan yang berkaitan dengan rawi, hadits yang diriwayatkan, sanad, dan matan dipandang dari aspek hadits yang bisa diterima dan yang tidak bisa diterima. Hubungan Ilmu hadits riwayah dengan Ilmu hadits dirayah tak ubahnya hubungan Ilmu Usul Fikih dengan Ilmu Fikih. Ilmu Hadits Dirayah merupakan asal atau dasar (usul) sebuah riwayat yang mengungkap hadits shahih yang bisa diamalkan, mengetahui keistimewaan hadits shahih dari yang lain, mengetahui aneka macam hadits, dan hadits yang bisa dibuat pijakan dalam menetapkan hukum-hukum syari’at atau tidak, serta bisa membantu seseorang untuk mengetahui hukum sebuah hadits. Sebagian pembahasan Ilmu hadits riwayah ini pertama kali diperkenalkan oleh imam Syafi’i dalam kitab al-Risalah dan al-Umm. Kemudian sebagian pembahasan ilmu ini dikumpulkan oleh Imam Tirmidzi dalam kitab Khotimah Jamiah. Adapun orang yang pertama kali menyusun satu pembahasan khusus tentang Ilmu Hadits adalah al-Qodhi Abu Muhammad al- Romahurmuzi (w. 360 H.) dalam kitab al-Muhaddits; al-Fashil bain al-Rowi wa al-Sami’. Menurut sebagian ulama, yang pertama kali mencetuskan sebagian pembahasan ilmu Musthalah al-Hadits adalah imam Ali ibn al-Mudini merespon permintaan Imam Bukhori, Imam Muslim, Tirmidzi, dan beberapa ulama yang hidup di abad ketiga hijriyah. Setelah itu Imam Tirmidzi menyebar-luaskan ilmu ini dan mengumpulkannya dalam kitab al-Jami’. Ilmu Hadits yang kemudian populer dengan ilmu mushthalah hadits adalah salah satu cabang disiplin ilmu yang semula disusun oleh Abu Muhammad ar-Rama al-Hurmuzi ( wafat 260 ), walaupun norma-norma umumnya telah timbul sejak adanya usaha pengumpulan dan penyeleksian hadits oleh masing-masing penulis hadits. B. Perkembangan Ilmu Musthalah Hadits Sejarah Singkat Perkembangan Al-Hadits. Para ulama membagi perkembangan hadits itu kepada 7 periode yaitu : 1. Masa wahyu dan pembentukan hukum ( pada Zaman Rasul : 13 SH - 11 SH ). 2. Masa pembatasan riwayat ( masa khulafaur-rasyidin : 12-40 H ) 3. Masa pencarian hadits ( pada masa generasi tabi'in dan sahabat-sahabat muda : 41 H - akhir abad 1 H ). 4. Masa pembukuan hadits ( permulaan abad II H ). 5. Masa penyaringan dan seleksi ketat ( awal abad III H ) sampai selesai. 6. Masa penyusunan kitab-kitab koleksi ( awal abad IV H sampai jatuhnya Baghdad pada tahun 656 H ). 7. Masa pembuatan kitab syarah hadits, kitab-kitab tahrij dan penyusunan kitab-kitab koleksi yang lebih umum ( 656 H dan seterusnya ). a. Pada zaman Rasulullah al-Hadits belum pernah dituliskan sebab : Nabi sendiri pernah melarangnya, kecuali bagi sahabat-sahabat tertentu yang diizinkan beliau sebagai catatan pribadi. b. Rasulullah berada ditengah-tengah ummat Islam sehingga dirasa tidak sangat perlu untuk dituliskan pada waktu itu. c. Kemampuan tulis baca di kalangan sahabat sangat terbatas. d. Ummat Islam sedang dikonsentrasikan kepada Al-Qur'an. e. Kesibukan-kesibukan ummat Islam yang luar biasa dalam menghadapi perjuangan da'wah yang sangat penting. Cara penyusunan kitab-kitab hadits. Dalam penyusunan kitab-kitab hadits para ulama menempuh cara-cara antara lain : 1. Penyusunan berdasarkan bab-bab fiqhiyah, mengumpulkan hadits-hadits yang berhubungan dengan shalat umpamanya dalam babush- shalah,hadits-hadits yang berhubungan dengan masalah wudhu dalam babul-wudhu dan sebagainya. Cara ini terbagi dua macam : a. Dengan mengkhususkan hadits-hadits yang shahih saja, seperti yang ditempuh oleh Imam Bukhari dan Muslim. b. Dengan tidak mengkhususkan hadits-hadits yang shahih ( asal tidak munkar ), seperti yang ditempuh oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'I, dan sebagainya. 2. Penyusunan berdasarkan nama-nama sahabat yang meriwayatkannya. Cara ini terbagi dua macam : a. Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan abjad. b. Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan nama qabilah. Mereka dahulukan Banu Hasyim, kemudian qabilah yang terdekat dengan Rasulullah. c. Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan kronologik masuknya Islam. Mereka didahulukan sahabat-sahabat yang termasuk assabiqunal awwalun kemudian ahlul Badr, kemudian ahlul Hudaibiyah, kemudian yang turut hijrah dan seterusnya. d. Dengan menyusun sebagaimana ketiga dan dibagi-bagi berdasarkan awamir, nawahi, ikhbar, ibadat, dan af'alun nabi. Seperti yang ditempuh oleh Ibnu Hibban dalam shahehnya. 3. Penyusunan berdasarkan abjad-abjad huruf dari awal matan hadits, seperti yang ditempuh oleh Abu Mansur Abdailani dalam Musnadul Firdausi dan oleh as-Suyuti dalam Jamiush-Shagir. a. Kitab-kitab Hadits Pada Abad ke I H. 1) Ash-Shahifah oleh Imam Ali bin Abi Thalib. 2) Ash-Shadiqah oleh Imam Abdullah bin Amr bin Ash. 3) Daftar oleh Imam Muhammad bin Muslim ( 50 - 124 H ). 4. Kutub oleh Imam Abu Bakar bin Hazmin. Keempat-empatnya tidak sampai ke tangan kita, jadi hanya berdasarkan keterangan sejarah saja yang dapat dipertanggung-jawabkan. Kitab-kitab Hadits Pada Abad ke-2 H. 1) Al-Musnad oleh Imam Abu Hanifah an-Nu'man ( wafat 150 H ). 2) Al-Muwaththa oleh Imam Malik Anas ( 93 - 179 H ). 3) Al-Musnad oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi'I ( 150 - 204 H ). 4) Mukhtaliful Hadits oleh Muh, bin Idris asy-Syafi'I ( 150 - 204 H ) 5) Al-Musnad oleh Imam Ali Ridha al-Katsin ( 148 - 203 H ). 6) Al-Jami' oleh Abdulrazaq al-Hamam ash Shan'ani ( wafat 311 H ). 7) Mushannaf oleh Imam Syu'bah bin Jajaj ( 80 - 180 H ). 8) Mushannaf oleh Imam Laits bin Sa'ud ( 94 - 175 H ). 9) Mushannaf oleh Imam Sufyan bin Uyaina ( 107 - 190 H ). 10) As-Sunnah oleh Imam Abdurrahman bin Amr al-Auza'i ( wafat 157 H ). 11) As-Sunnah oleh Imam Abd bin Zubair b. Isa al-Asadi. Seluruh kitab-kitab hadits yang ada pada abad ini tidak sampai kepada kita kecuali 5 buah saja yaitu nomor 1 sampai dengan 5. Kitab-kitab Hadits pada abad ke-3 H. a) Ash-Shahih oleh Imam Muh bin Ismail al-Bukhari ( 194 - 256 H ). b) Ash-Shahih oleh Imam Muslim al-Hajjaj ( 204 - 261 H ). c) As-Sunan oleh Imam Abu Isa at-Tirmidzi ( 209 - 279 H ). d) As-Sunan oleh Imam Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy'at ( 202 - 275 H ). e) As-Sunan oleh Imam Ahmad b.Sya'ab an-Nasai ( 215 - 303 H ). f) As-Sunan oleh Imam Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman ad Damiri ( 181 - 255 H ). g) As-Sunan oleh Imam Muhammad bin Yazid bin Majah Ibnu Majah ( 209 - 273 H ). h) Al-Musnad oleh Imam Ahmad bin Hambal ( 164 - 241 H). i) Al-Muntaqa al-Ahkam oleh Imam Abd Hamid bin Jarud ( wafat 307 H ). j) Al-Mushannaf oleh Imam Ibn. Abi Syaibah ( wafat 235 H ). k) Al-Kitab oleh Muhammad Sa'id bin Manshur ( wafat 227 H ). l) Al-Mushannaf oleh Imam Muhammad Sa'id bin Manshur ( wafat 227 H ). m) Tandzibul Afsar oleh Imam Muhammad bin Jarir at-Thobari ( wafat 310 H ). n) Al-Musnadul Kabir oleh Imam Baqi bin Makhlad al-Qurthubi ( wafat 276 H ). o) Al-Musnad oleh Imam Ishak bin Rawahaih ( wafat 237 H ). p) Al-Musnad oleh Imam Ubaidillah bin Musa ( wafat 213 H ). q) Al-Musnad oleh Abdibni ibn Humaid ( wafat 249 H ). r) Al-Musnad oleh Imam Abu Ya'la ( wafat 307 H ). s) Al-Musnad oleh Imam Ibn. Abi Usamah al-Harits ibn Muhammad at-Tamimi ( 282 H ). t) Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi Ahmad bin Amr asy-Syaibani ( wafat 287 H ). u) Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi'amrin Muhammad bin Yahya Aladani ( wafat 243 H ). v) Al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin al-Askari ( wafat 282 H ). w) Al-Musnad oleh Imam bin Ahmad bin Syu'aib an-Nasai ( wafat 303 H ). x) Al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin Ismail at-Tusi al-Anbari ( wafat 280 H ). y) Al-Musnad oleh Imam Musaddad bin Musarhadin ( wafat 228 ). Dan masih banyak sekali kitab-kitab musnad yang ditulis oleh para ulama abad ini. Kitab-kitab Hadits Pada Abad ke-4 H. 1) Al-Mu'jam Kabir, ash-Shagir dan al-Ausath oleh Imam Sulaiman bin Ahmad ath-Thabrani ( wafat 360 H ). 2) As-Sunan oleh Imam Darulkutni ( wafat 385 H ) 3) Ash-Shahih oleh Imam Abu Hatim Muhammad bin Habban ( wafat 354 H ). 4) Ash-Shahih oleh Imam Abu Awanah Ya'qub bin Ishaq ( wafat 316 H ). 5) Ash-Shahih oleh Imam Ibnu Huzaimah Muhammad bin Ishaq ( wafat 311 H ). 6) Al-Muntaqa oleh Imam Ibnu Saqni Sa'id bin'Usman al-Baghdadi ( wafat 353 H ). 7) Al-Muntaqa oleh Imam Qasim bin Asbagh ( wafat 340 H ). 8) Al-Mushannaf oleh Imam Thahawi ( wafat 321 H ). 9) Al-Musnad oleh Imam Ibnu Jami Muhammad bin Ahmad ( wafat 402 H ). 10) Al-Musnad oleh Imam Muhammad bin Ishaq ( wafat 313 H ). 11) Al-Musnad oleh Imam Hawarizni ( wafat 425 H ). 12) Al-Musnad oleh Imam Ibnu Natsir ar-Razi ( wafat 385 H ). 13) Al-Mustadrak ala-Shahihaini oleh Imam Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Hakim an-Naisaburi ( 321 - 405 H ). C. Mushani yang Mashur, Perkembangan Kitab-kitab Hadits Kitab-kitab Shahih Selain Bukhari Muslim. Ada beberapa ulama yang telah berusaha menghimpun hadits-hadits shahih sebagaimana yang ditempuh oleh Bukhari dan Muslim, akan tetapi menurut penyelidikan ahli-ahli hadits, ternyata kitab-kitab mereka tidak sampai kepada tingkat kualitas kitab-kitab Bukhari dan Muslim. Para ulama yang menyusun Kitab Shahih tersebut ialah : 1. Ibnu Huzaimah dalam kitab ash-Shahih. 2. Abu Awanah dalam kitab ash-Shahih. 3. Ibnu Hibban dalam kitab at-Taqsim Walarba. 4. Al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak. 5. Ibnu Jarud dalam kitab al-Muntaqa. 6. Ibnu Abdil Wahid al-Maqdisi dalam kitabnya al-Mukhtarah. Menurut sebagian besar para ulama hadits, diantara kitab-kitab hadits ada 7 ( tujuh ) kitab hadits yang dinilai terbaik yaitu : a. Ash-Shahih Bukhari. b. Ash-Shahih Muslim. c. Ash-Sunan Abu-Dawud. d. As-Sunan Nasai. e. As-Sunan Tirmidzi. f. As-Sunan Ibnu Majah g. Al-Musnad Imam Ahmad. h. Perkembangan Ilmu Hadits Dalam perkembangan berikutnya telah lahir berbagai cabang ilmu hadits, seperti : 1) Ilmu rijalul hadits, yaitu ilmu yang membahas tokoh-tokoh yang berperan dalam periwayatan hadits. 2) Ilmu jarh wat-ta'dil, yaitu ilmu yang membahas tentang jujur dan tidaknya pembawa-pembawa hadits. 3) Ilmu panilmubhamat, yaitu ilmu yang membahas tentang orang-orang yang tidak nampak peranannya dalam periwayatan suatu hadits. 4) Ilmu tashif wat-tahrif, yaitu ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang berubah titik atau bentuknya. 5) Ilmu ilalil hadits, yaitu ilmu yang membahas tentang penyakit-penyakit yang tidak nampak dalam suatu hadits, yang dapat menjatuhkan kwalitas hadits tersebut. 6) Ilmu gharibil hadits, yaitu ilmu yang membahas tentang kalimat- kalimat yang sukar dalam hadits. 7) Ilmu asbabi wurudil hadits, yaitu ilmu yang membahas tentang sebab timbulnya suatu hadits. 8) Ilmu talfiqil hadits, yaitu ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan hadits yang nampaknya bertentangan. D. Seleksi Hadits Dengan menggunakan berbagai macam ilmu hadits itu, maka timbullah berbagai macam nama hadits, yang disepakati oleh para ulama, yang sekaligus dapat menunjukkan jenis, sifat, bentuk, dan kualitas dari suatu hadits. Yang paling penting untuk diketahui adalah pembagian hadits itu atas dasar kualitasnya yaitu : 1. Maqbul ( dapat diterima sebagai pedoman ) yang mencakup hadits shahih dan hadits hasan. 2. Mardud ( tidak dapat diterima sebagai pedoman ) yang mencakup hadits dha'if / lemah dan hadits maudhu' / palsu. Usaha seleksi itu diarahkan kepada tiga unsur hadits, yaitu : 1. Matan ( materi hadits ). Suatu materi hadits dapat dinilai baik apabila materi hadits itu tidak bertentangan dengan al-Qur'an atau hadits lain yang lebih kuat, tidak bertentangan dengan realita, tidak bertentangan dengan fakta sejarah, tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Untuk sekedar contoh dapat kita perhatikan hadits-hadits yang dinilai baik,tapi bertentangan isi materinya dengan al-Qur'an : a. Hadits yang mengatakan bahwa " Seorang mayat akan disiksa oleh Tuhan karena ratapan ahli warisnya ", adalah bertentangan dengan firman Allah : " Wala taziru waziratun wizra ukhra " yang artinya " Dan seseorang tidak akan memikul dosa orang lain"( al-An'an : 164). b. Hadits yang mengatakan : " Barangsiapa yang meninggal dunia dalam keadaan punya hutang puasa, maka hendaklah dipuasakan oleh walinya ", adalah bertentangan dengan firman Allah : " Wa allaisa lil insani illa ma-sa'a ", yang artinya : " Dan seseorang tidak akan mendapatkan pahala apa-apa kecuali dari apa yang dia kerjakan sendiri ". ( an-Najm : 39 ). Ada satu norma yang disepakati oleh mayoritas ulama, yaitu : " Apabila Qur'an dan hadits bertentangan, maka ambillah Qur'an ". 2. Sanad ( persambungan antara pembawa dan penerima hadits ). Suatu persambungan hadits dapat dinilai segala baik, apabila antara pembawa dan penerima hadits benar-benar bertemu bahkan dalam batas- batas tertentu berguru. Tidak boleh ada orang lain yang berperanan dalam membawakan hadits tapi tidak nampak dalam susunan pembawa hadits itu. Apabila ada satu kaitan yang diragukan antara pembawa dan penerima hadits, maka hadits itu tidak dapat dimasukkan dalam kriteria hadits yang maqbul. 3. Rawi ( orang-orang yang membawakan hadits ) : Seseorang yang dapat diterima haditsnya ialah yang memenuhi syarat-syarat : a. Adil, yaitu orang Islam yang baligh dan jujur, tidak pernah berdusta dan membiasakan dosa. b. Hafizh, yaitu kuat hafalannya atau mempunyai catatan pribadi yang dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan kriteria-kriteria seleksi tersebut, maka jumhur ( mayoritas ) ulama berpendirian bahwa kitab ash-Shahih Bukhari dan kitab ash-Shahih Imam Muslim dapat dijamin keshahihannya ditinjau dari segi sanad dan rawi. Sedang dari segi matan kita dapat memberikan seleksinya dengan pedoman-pedoman diatas. Beberapa langkah praktis dalam usaha seleksi hadits, apakah sesuatu hadits itu maqbul atau tidak adalah : 1) Perhatikan materinya sesuai dengan norma diatas. 2) Perhatikan kitab pengambilannya ( rowahu = diriwayatkan atau ahrajahu = dikeluarkan ). Apabila matannya baik diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim, maka dapat dinilai hadits itu shahih atau paling rendah hasan. Dengan demikian dapat dikatakan shahih apabila ujung hadits itu oleh para ulama diberi kata-kata : a) Diriwayatkan / dikeluarkan oleh jama'ah b) Diriwayatkan / dikeluarkan oleh Imam 7. c) Diriwayatkan / dikeluarkan oleh Imam 6. d) Diriwayatkan / dikeluarkan oleh dua syaikh ( Bukhari dan Muslim ). e) Disepakati oleh Bukhari dan Muslim ( Muttafaqun alaihi ). f) Diriwayatkan oleh Bukhari saja atau oleh Muslim saja. 3) Apabila sesuatu hadits sudah baik materinya tetapi tidak termasuk dalam persyaratan pun 2 diatas maka hendaknya diperhatikan komentar-komentar ulama terhadap hadits itu seperti : Komentar baik : Hadits quwat, hadits shahih,hadits jayyid, hadits baik, hadits pilihan dan sebagainya. Komentar jelek : Hadits putus, hadits lemah, hadits ada illatnya, mauquf, maqthu, mudallas, munkar, munqathi, muallak, dan lain sebagainya. Dalam ilmu Mushthalah al-Hadits, ada beberapa istilah yang digunakan oleh para pakar Ilmu Hadits. Di antaranya adalah; a) Sanad, yaitu mata rantai pembawa hadits yang meriwayatkannya hingga sampai kepada Rasulullah. Menurut sebagian ulama, arti sanad adalah mengabarkan jalannya hadits. b) Isnad, yaitu menyebutkan mata rantai perawi hadits atau mengafilisaikan hadits kepada orang yang pertama kali meriwayatkannya. Dengan meninjau pengertian ini, maka sanad dan isnad tidaklah jauh berbeda, yaitu berpegang-teguhnya rawi mengenai shahih dan dlo’ifnya hadits kepada para perawinya. c) Matan, yaitu isi atau kalimat hadits yang disampaikan Rasulullah, atau juga disebut dengan istilah akhir dari sanad. d) Musnad, yaitu hadits yang sanad-nya tersambung hingga yang paling akhir, yakni Rasulullah. Musnad bisa juga digunakan pada salah satu tingkatan kitab hadits, seperti Musnad Bukhari dan Musnad Muslim. Terkadang ungkapan musnad itu juga diartikan sama dengan isnad. e) Musnid, adalah orang yang meriwayatkan hadits dengan sanad- sanadnya, baik dia itu menguasai ilmu hadits atau cuma sekedar meriwayatkan saja. f) Mukhrij, yaitu ulama yang menyebutkan nama-nama para perawi hadits, seperti Imam Bukhari. Salah satu contohnya adalah dengan kalimat, “hadits ini dikeluarkan atau diriwayatkan oleh si Fulan.” g) Mukhraj. Sebenarnya arti mukhraj adalah tempat. Namun yang dimaksud di sini adalah para perawi hadits. Karena mereka menjadi sumber hadits yang dikeluarkan, mereka disebut dengan mukhraj al-hadits. Seperti halnya bila dikatakan, hadits ini telah diketahui mukhraj-nya, maka maksudnya adalah para perawi hadits. h) Muhaddits, yaitu orang yang mengerti tentang teori periwayatan hadits dan tahu pada nama-nama para rawi, matan, dan kekurangan-kekurangan (‘illat[2]) yang ada pada hadits. Muhaddits ini lebih tinggi tingkatannya daripada Musnid. Syaikh Fathuddin dalam kitab Sayyid al-Nas berkata, “adapun Muhaddits di zaman sekarang adalah orang-orang yang sibuk dengan hadits, baik riwayat atau dirayat (kajian), serta dapat mengklasifikasikan para perawinya, dan mengetahui para rawi dan riwayat di masa itu. Dia juga harus dikenal memiliki kapabilitas tersebut. Bila pengetahuan seseorang itu lebih luas, hingga mengetahui gurunya para rawi dari satu tingkatan ke tingkatan yang lain, lebih banyak dari yang tidak diketahui, maka dia disebut seorang Hafidz. i) Hafidz. Menurut satu pendapat, Hafidz mempunyai arti yang sama dengan Muhaddits. Namun sebagian ulama memberi difinisi lain untuk Hafidz. Menurut mereka, Hafidz adalah orang yang banyak menghafal hadits dan sangat mengerti macam-macamnya hadits, serta mengetahui tentang ilmu hadits dirayah dan riwayat, atau kekurangan-kekurangan yang ada dalam hadits. Menurut sebagian pendapat, Hafidz adalah orang telah menghafal dan menguasai seratus ribu (100.000) hadits, baik matan ataupun sanad-nya. j) Al-Thalib, yang artinya adalah seorang pemula. k) Al-Hujjah, yaitu orang yang telah mampu menguasai atau menghafal tiga ratus ribu (300.000) hadits. l) Al-Hakim, yaitu orang yang telah menguasai semua riwayat hadits dalam segi matan, isnad, jarh, dan ta’dil. m) Amirul Mu’minin, dalam hadits berarti orang yang paling tinggi derajatnya dibandingkan tingkatan-tingkatan yang telah disebutkan di atas. Hadits Palsu (Mau’dlu’) E. Asas dan Pijakan Dasar Ilmu Hadits Pijakan utama ilmu Mushthalah Hadits adalah; 1. Al-Isnad. Isnad adalah satu disiplin yang dijadikan pegangan untuk menghukumi shahih, hasan, dla’if, dan maudlu’-nya hadits. Bahkan isnad ini dibutuhkan untuk menerima ilmu-ilmu syariat yang lain seperti halnya ilmu tafsir, fikih, sejarah, gramatika, sastra, dan lainnya. Isnad inilah yang menjadi keistimewaan umat Islam dan memiki kedudukan yang tinggi. 2. Al-Tarikh li al-Rijal wa al-Ruwwat. Ilmu yang membahas tentang sejarah para tokoh dan perawi hadits ini ini sangat penting untuk megetahui hadits shahih dan lainnya yang datang dari para tokoh dan perawi hadits. Bahkan Ibnu al-Madini berkata, “memahami kandungan bunyi hadits adalah separuhnya ilmu (nishful ilmi) dan mengetahui para tokoh hadits juga termasuk nishful ilmi. 3. Naqdu al-Ruwat. Ilmu ini membahas tentang kritik perawi hadits, satu disiplin ilmu yang sangat sulit yang dimulai pada masa para Sahabat. Ilmu ini berguna untuk mengetahui status seorang pembawa hadits (rawi), apakah dia itu tsiqoh, jujur, orang yang tidak bermasalah, dan lain sebagainya. 4. Naqdu al-Matan. yaitu ilmu yang membahas tentang metode kritik isi hadits, dan menampilkan nash riwayat terhadap Alqur’an dan hadits shahih yang mahfudz. Bila sebuah hadits itu menyalahi Sharih-nya atau makna jelas yang terkandung dalam ayat Alqur’an atau hadits shahih, maka isi hadits itu harus dibuang dan ditolak, serta tidak boleh digunakan. 5. Al-Jarhu wa al-Ta’dil. Al-Jarhu berarti mengetahui kadar yang dimiliki seorang pembawa hadits, seperti kekuatan hafalan atau sifat adilnya. Sedangkan Ta’dil artinya memberikan satu hukum terhadap seorang rawi, apakah dia itu orang yang kuat hafalannya atau apakah dia itu seorang yang adil. Istilahul Muhadditsin. F. Kegunaan Mempelajari Ilmu Hadits Keutamaan yang terkandung dalam ilmu hadits ini adalah termasuk paling penting dan mulia dibanding ilmu yang lain. Penyebabnya adalah karena ilmu ini dibutuhkan untuk mengetahui berbagai macam bentuk dan hukum hadits. Dengan ilmu ini pula proses penyampaian hadits Nabawy sesuai ketentuan Nabi SAW. dapat tercapai, dan dengan ilmu ini pula sempurnalah kebahagiaan mendapatkan do’a Rasulullah yang diberikan kepada orang- orang yang menyampaikan (baca: meriwayatkan) hadits beliau. Sebagaimana sabda Nabi, “semoga Allah membahagiakan orang yang telah mendengar sesuatu dari kami (Rasulullah) kemudian disampaikan kepada orang lain, sebagaimana yang ia dengar dariku. Banyak sekali orang yang diberitahu (tentang sebuah hadits [muballagh]), justeru lebih paham dibandingkan orang yang mendengarnya ([sami'ihi] langsung dariku),” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Imam Sufyan Tsauri menyampaikan satu makalah yang diungkapkan oleh Imam ‘Uyainah, bahwa wajah seorang ahli hadits pasti memantulkan cahaya yang disebabkan hadits tersebut. Dengan mengetahui ilmu hadits ini, seseorang dapat mengetahui hadits yang maqbul (dapat diterima) atau yang mardud (ditolak atau tidak diterima). Mengetahui adanya satu hadits itu bisa diterima berarti mengetahui bahwa hadits itu bisa diamalkan, menjadi dasar pijakan dalam menentukan hukum syariat, untuk menjelaskan ayat-ayat Alqur’an yang global (mujmal), atau digunakan untuk menafsiri hal-hal yang masih samar (mubham). Begitu juga dengan mengetahui hadits yang mardud, maka dapat diketahui mana hadits yang palsu (maudlu’) atau dla’if yang tidak bisa diamalkan. Dengan demikian orang muslim bisa waspada dan tidak terbujuk dengan menggunakan hadits palsu dan lemah sebagai argument serta tidak mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi mengetahui ilmu ini hanya terfokus kepada orang-orang yang memperhatikan syari’at islami, kewajiban-kewajiban, dan dalil-dalilnya.