Anda di halaman 1dari 30

Kajian atas Pemikiran Pembaharuan

Islam Munawir Sjadzali


Reaktualisasi/Kontekstualisasi Ajaran Islam

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata Pendekatan Studi Islam

Dosen Pengampu
DR. M. SAMSUL HADY, M.Ag.

Di susun Oleh.
Muhammad Mursyidul Azmi
200101210006 http://www.free-powerpoint-templates-design.com
FOKUS PEMBAHASAN
01 Siapakah Munawir Syadjali

02 Reaktualisasi Ajaran Islam dalam Pembaruan


Hukum Islam di Indonesia oleh munawir syadali

03 Metodologi Ijtihad Munawir Sjadzali

04 Beberapa Kritik tentang reaktualisasi ajaran


islam
BIOGRAFI
Munawir sjadali
Diringkas dari Munawir Sjadzali, “Dari Lembah Kemiskinan” dalam Muhammad Wahyuni Nafis dkk
(editor),Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 tahun Prof.Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Jakarta: Paramadina,
1995), hlm. 1-115. Baca juga BahtiarEffendy dkk, “Munawir Sjadzali, M.A; Pencarian Ketegangan Ideologis”,
dimuat dalamAzyumardi Azra dan Saiful Umam. Menteri-Menteri Agama RI
Biografi Sosial-Politik, cet.I, (Jakarta : INIS, 1998), hlm. 372-384.

Sebelum diangkat oleh Presiden Soeharto sebagai Menteri Agama dalam


Kabinet Pembangunan IV (1983), Munawir Sjadzali tidak banyak dikenal
oleh masyarakat, apalagi dalam bidang pemikiran Islam. Hal itu dapat
dimaklumi karena dalam kariernya di Departemen Luar Negeri(1950-
19830), Munawir lebih banyak berada di luar negeri dalam berbagai jabatan
diplomatik, mulai dari Sekretaris III Kedutaan Besar Republik Indonesia di
Washington D.C. (1956-1959), Sekretaris I KBRIdi Colombo Srilangka
(1963-1966), kemudian Kuasa Usaha Sementara KBRI yang sama (1966-
1968), Minister Councelor KBRI London (1970-1975) sampai menjadi
Duta Besar RI di KBRI Kuwait, merangkap Duta Besar RI non resident
untuk Uni Emirat Arab (UEA), Qatar dan Bahrain (1976-1980). T otal dari
33 tahun berkarir di Deplu, Munawir menghabiskan 17 tahun di luar negeri,
sedangkan di dalam negeri Munawir menduduki berbagai jabatan di Deplu
mulai dari staf seksiArab/Timur Tengah (1950) sampai Dirjen Politik (1980-
BIOGRAFI MUNAWIR SJADALI

Munawir Sjadzali dilahirkan di Klaten, Jawa Tengah,


7 November1925 dari pasangan Abu Aswad Hasan
Sjadzali bin Tohari (setelahmenikah diberi nama tua
Mughaffir) dan Tas’iyyah binti Badruddin. Ayah
Munawir adalah seorang Kyai di kampungnya yang
secara formal menjabat Kepala Madrasah Bi’tsah
al-Muslimin (tingkat Ibtidaiyah) di Karanganom
Klaten. Nama Sjadzali di belakang nama ayahnya
karena memang beliau seorang pengikut Tarekat
Syadzaliyah.
Diringkas dari Munawir Sjadzali, “Dari Lembah Kemiskinan” dalam Muhammad Wahyuni Nafis dkk
(editor),Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 tahun Prof.Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Jakarta: Paramadina,
1995), hlm. 1-115. Baca juga BahtiarEffendy dkk, “Munawir Sjadzali, M.A; Pencarian Ketegangan Ideologis”,
dimuat dalamAzyumardi Azra dan Saiful Umam. Menteri-Menteri Agama RI
Biografi Sosial-Politik, cet.I, (Jakarta : INIS, 1998), hlm. 372-384.
BIOGRAFI MUNAWIR SJADALI

Pendidikan agama diperoleh Munawir pertama dari orang tuanya


sendiri, dan kedua dari pendidikan formal di Madrasah Ibtidaiyah
(5tahun) di Karang Anom, Tsanawiyah (1 tahun) di Madrasah Al-Islam
Solo, kemudian Pondok Pesantren Manba’ul ‘Ulum Solo (5 tahun).
Setelah tamat Manba’ul ‘Ulum tahun 1943, Munawir sempat jadiguru
Sekolah Dasar Islam Ungaran, Jawa Tengah satu tahun, kemudian
ikut perjuangan mempertahankan kemerdekaan di daerah Jawa
Tengahsampai tahun 1949. Seperti disebutkan di atas tahun 1950
Munawirmulai berkarier di Departemen Luar Negeri Jakarta.

Diringkas dari Munawir Sjadzali, “Dari Lembah Kemiskinan” dalam Muhammad Wahyuni Nafis dkk
(editor),Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 tahun Prof.Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Jakarta: Paramadina,
1995), hlm. 1-115. Baca juga BahtiarEffendy dkk, “Munawir Sjadzali, M.A; Pencarian Ketegangan Ideologis”,
dimuat dalamAzyumardi Azra dan Saiful Umam. Menteri-Menteri Agama RI
Biografi Sosial-Politik, cet.I, (Jakarta : INIS, 1998), hlm. 372-384.
baca Iqbal Sentosa. “Prof. Dr. Munawir Sjadzali, M.A.: Hidup yang takTerbayangkan”,
PERTA, No. 2/Vol. III/2000, hlm. 62-63.


Selama berkarier di Deplu, Munawir sempat mengikuti
Kursus Diplomatik dan Konsuler Angkatan II (1951) selama 10 bulan,
danpendidikan ilmu politik selama satu tahun di University College
ofSouth West of England, Exeter (1953). Waktu bertugas di Amerika,

Munawir menyempatkan mengikuti kuliah pascasarjana di
UniversitasGeorgetown dalam bidang Hubungan Internasional dan
mendapat Master tahun 1959 dengan tesis:Indonesia’s Muslim Political
Parties and Their Political Concept.
Latar belakang pemikiran munawir sjadali
Latar belakang pemikiran munawir sjadali


Reaktualisasi Al-Qur’an atau reaktualisasi ajaran Islam sebenarnya
berangkat dari asumsi, bahwa Al-Qur’an atau ajaran Islam itu diturunkan
empat belas abad yang lalu sehingga menimbulkan pertanyaan,
masih relevankah Al-Qur’an atau ajaran Islam digunakan untuk saat

ini? Mereka yang mengusung gagasan reaktualisasi memandang bahwa
Al-Qur’an atau ajaran Islam itu sudah usang dan tidak relevan lagi,
kecuali jika yang usang dan tidak relevan tersebut diaktualkan kembali
sehingga cocok untuk kondisi kekinian dan kedisinian

Gagasan reaktualisasi hukum Islam ini mulai


dilemparkan kepada masyarakat oleh Prof. Dr. H.
Munawir Sjadzali, MA pada awal tahun 1985.
Pada waktu itu, tanggapan dari para pemikir Di kutip dari Munawir Sjadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam
(Jakarta: Temprint, 1995), h. 87. Munawir Syadzali, Islam and
hukum Islam biasa-biasa saja. Tetapi, setelah Governmental
Governmental System:
System: Teachings,
Teachings, History
History and
and Reflections
Reflections (Jakarta:
(Jakarta:
INIS,
INIS, 1991).
1991). Juga,
Juga, Munawir
Munawir Syadzali,
Syadzali, Islam
Islam dan
dan Tata
Tata Negara:
Negara:
disampaikan pada forum Paramadina, maka Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, edisi ke-5 (Jakarta: UI-Press, 1993).
timbul reaksi pro-kontra yang cukup keras
Dua hal yang melatarbelakangi Munawir untuk memunculkan ide reaktualisasi ini

Dalam karya Sjadzali, Kontekstualisasi, h. 88

01 Munawir melihat bahwa adanya sikap mendua di


kalangan umat Islam dalam menjalankan hukum
02 Dalam hal pembagian harta warisan, Al-Qur’an surat
an-Nisa’ ayat 11, dengan jelas menyatakan bahwa
Islam hak laki-laki adalah dua kali lebih besar dari pada hak
Umat Islam terkesan enggan untuk menjalankan hukum Islam perempuan
karena tidak sesuai dengan harapan dan keinginannya. Hal ini
dapat dilihat dalam dua contoh pelaksanaan umat Islam
terhadap hukum Islam. Di antara umat Islam banyak yang Tetapi, ketentuan tersebut sudah banyak ditinggalkan oleh
berpendirian bahwa bunga atau interest dalam bank itu riba, masyarakat Islam Indonesia, baik secara langsung maupun
dan oleh karenanya maka sama-sama haram dan terkutuk tidak langsung
sebagaimana riba.
Dalam hal ini, memang secara formal tidak terjadi
penyimpangan dari ketentuan Al-Qur’an di atas. Tetapi
apakah melaksanakan ajaran agama dengan semangat
demikian sudah betul? Apakah tindakan-tindakan itu
tidak termasuk kategori hillah atau main-main dengan
agama? Itulah realitas yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat
Dari uraian di atas, Munawir menyatakan, bahwa
bukan saya mengatakan bahwa hukum waris Islam
seperti yang ditentukan oleh Al-Qur’an itu tidak
adil, tetapi justru saya menyoroti sikap masyarakat
yang tampaknya tidak percaya lagi kepada keadilan
hukum fara’id.
Ibid... h 90

Inilah yang melatarbelakangi pemikiran Munawir untuk


memunculkan ide reaktualisasi hukum Islam
Reaktualisasi Ajaran Islam dalam Pembaruan Hukum Islam di Indonesia.
Reaktualisasi Ajaran Islam dalam Pembaruan Hukum Islam di Indonesia.
Kasus Pembagian Harta Waris

11
i s a ayat
-N
sur at A n
Hasbullah Mursyid,”Menelusuri Faktor Sosial yang Mungkin
ur ’an
Berpengaruh” dalam Muh. Wahyuni Nafis (ed), Al Q
Kontekstualisasi Ajaran Islam..., h.205.

Berangkat dari pemahaman surat An-Nisa ayat 11


yang menyatakan bahwa bagian warisan harta
untuk anak laki-laki adalah dua kali yang diberikan ng
kepada anak perempuan. m u tenta n
pada a
bagi
ib kan) ke u, yaitu ak
Munawir berusaha mengkonstektualisasi ajaran aj akm a an
k an ( mew anak-an agian du
at k b
Islam dengan mendekonstruksi masalah syari untu gan
ll ah men warisan ) sama den
pembagian warisan tersebut. “A n ki
bagia aki-la
(pem g anak l
an
seor puan....”
Dekonstruksi yang dilakukannya bukan merupakan hal baru, m
pere
sebab masalah interpretasi yang menyimpang terhadap ajaran
agama juga pernah dilakukan Umar bin Khattab
Di kutip dari Hasbullah Mursyid,”Menelusuri Faktor Sosial
yang Mungkin Berpengaruh” dalam Muh. Wahyuni Nafis
(ed), Kontekstualisasi Ajaran Islam..., h.205.

Alasan kedua adalah faktor gradualitas


Dalam hal ini ada beberapa alasan dalam
masalah warisan, munawir menjelaskan Menurut Munawir, wanita pada masa jahiliyah
bahwa bagian warisan antara laki-laki yang tidak mendapatkan warisan, maka ketika Islam
dua kali lipat dari bagian wanita. datang, wanita diangkat derajatnya dan diberi
warisan walaupun hanya separo dari bagian laki
laki.
Alasan pertama, hal ini tidak mencerminkan A B Hal ini sesuai dengan sifat gradual ajaran
semangat keadilan bagi masyarakat Indonesia Islam sebagaimana kasus pengharaman
sekarang ini. khamr

C D
Hal ini terbukti dengan banyaknya penyimpangan
dari ketentuan waris tersebut baik dilakukan oleh Kemudian oleh karena pada masa modern ini wanita
orang awam maupun ulama, dengan cara memberikan peran yang sama dengan laki-laki di
melakukan hailah, yakni dengan cara masyarakat, maka merupakan suatu yang logis bila
menghibahkan harta bendanya kepada putera- warisannya ditingkatkan agar sama dengan laki-laki
puterinya ketika orang tua tersebut hidup.
Di kutip dari Hasbullah Mursyid,”Menelusuri Faktor Sosial
yang Mungkin Berpengaruh” dalam Muh. Wahyuni Nafis
(ed), Kontekstualisasi Ajaran Islam..., h.205.

Alasan ketiga, bahwa bagian laki-laki dua kali


lipat bagian perempuan dikaitkan dengan suatu
persyaratan bahwa laki-laki mempunyai
kewkewajiban memberi nafkah terhadap anak
isteri, bahkan orang tua maupun adik
perempuan yang belum bersuami

Text Here
Sebenarnya dalam konteks zaman sekarang bukan
hanya suami yang bisa mencari nafkah. Perkembangan
zaman menuntut perempuan untuk bisa lebih maju dan
mandiri. Sehingga wilayah mencari nafkah dilakukan
oleh kaum perempuan merupakan hal yang biasa. Bila
dalam kondisi demikian ketentuan hukum waris masih
diterapkan 2:1, itu dianggap sebagai bentuk ketidak
adilan.
Reaktualisasi Ajaran Islam dalam Pembaruan Hukum Islam di Indonesia.
Kasus Bunga Bank

Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan..., h. 11.

Bunga bank yang oleh umat islam biasa disebut


riba, mempunyai arti tambahan, baik berupa tunai,
benda maupun jasa yang mengharuskan pihak
-
peminjam membayar selain jumlah uang yang t : Dar al
Beiru 3,
dipinjam, pada hari jatuh waktu mengembalikan u nnah, ( , tt ), Jilid
qh S uzi‟
uang pinjaman tersebut
a bi q, Fi wa al-Ta
id S sri
dar i Say wa al-Na
t ip ah
Sampai sekarang banyak para ulama yang Di ku al-Thiba‟
l i
mengharamkan pemungutan bunga bank tapi Fikr
tidak ada pencegahan terhadap penggunaan jasa h. 8
1 7
bank
Termasuk umat Islam di Indonesia saat ini, dari
berbagai kalangan sudah terbiasa hidup dengan
sistem bunga bank bahkan ketergantungan
terhadap jasa bank tidak ada bedanya dengan
umat yang lain.
Di kutip dari Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut : Dar al-Fikr
li al-Thiba‟ah wa al-Nasri wa al-Tauzi‟, tt ), Jilid 3, h.178

Menurut Sayyid Sabiq, ada empat


alasan mengapa riba diharamkan

1. Riba merupakan penyebab


timbulnya permusuhan antar
masyarakat 4. Islam menghimbau untuk
memberikan pinjaman
2. Riba cenderung melahirkan perbedaan
untuk menolong, bukan
kelas dalam masyarakat,
memberatkan dengan
3. Riba merupakan penyebab terjadinya tambahan
penjajahan, wewenang untuk lebih
menguasai yang lain
Baca Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan..., h.
14

Mencermati alasan-alasan yang dikemukakan oleh Sayid Sabiq diatas,


One
nampaknya sangat masuk akal kalau kemudian riba diharamkan oleh Islam.
Namun berkaitan dengan sistem bunga bank yang ada di Indonesia saat ini Columns
Designed
apakah mempunyai kriteria demikian ?

Dalam Surat Albaqarah 279 dijelaskan : “.... Tetapi jika kamu


bertobat, maka kamu berhak atas harta pokokmu. Kamu tidak
berbuat dzalim ( merugikan) dan tidak di dzalimi (dirugikan).

Lebih tegas lagi Munawir menjelaskan bahwa kata kuncinya


adalah tidak merugikan orang lain atau tidak ada pihak yang
dirugikan.

Berdasarkan prinsip jangan ada pihak yang dirugikan, tidak adil


kalau pemilik modal kehilangan daya beli modal yang dititipkan
untuk jangka waktu tertentu, sementara peminjam dana yang
menggunakannya untuk modal usaha dan mendapatkan untung
tidak harus membagi keuntungannya dengan pemilik asli modal
Munawir Sjadzali, Bunga Rampai Wawasan Islam
Dewasa Ini,(Jakarta : UI Press, 1994), h. 43.

Bisa dipahami, bahwa konsep reaktualisasi yang dilontarkan oleh Munawir Pada dasarnya disini
sebenarnya tidak menghapus apa yang ada dalam Alquran, jadi pada dasarnya Munawir ingin
bukan sesuatu yang baru. Mengingat pada sekitar abad 12, Abu Yusuf, murid menegaskan bahwa
Imam Hanifah menyatakan bahwa kalau ada nash yang didasarkan oleh berijtihad menemukan
adat, kemudian adat tersebut berubah, maka petunjuk yang terkandung dalam sesuatu hukum baru
nash tersebut juga ikut berubah dari Alquran adalah
Ibid bukan hal yang
pertama dia lakukan.
Dua Mufassir besar abad 20, yaitu Mustofa Al-Maraghi dan Muhammad Rasyid Para tokoh-tokoh dan
Ridho menyatakan bahwa hukum itu semata-mata diundangkan untuk kepentingan ulama sebelumnya
manusia, sementara kepentingan manusia dapat berubah sesuai perkembangan sudah menerapkan hal
zaman, maka sangat mungkin terjadi muncul hukum yang baru yang bisa itu, bahkan pada masa
disesuaikan dngan kondisi masyarakat setempat Umar bin Khattab
sekalipun.
Ibid., h.44.
Demikian juga Muhammad Abduh mengawali sebuah makalahnya yang
berjudul Al-Islah al-Diny (Reformasi Keagamaan) dengan kalimat sebagai
berikut : “Kita harus berani membebaskan belenggu pikiran kita dari belenggu
taqlid dan berusaha memahami agama dengan mempergunakan akal sebagai
sesuatu yang paling utama
Metodologi Ijtihad Munawir Sjadzali
Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law,
(Oxford: The Clarendon Press,1964), h.62

Pada kondisi dan kasus tertentu, secara sosio kultural, sebenarnya


Hukum Islam telah menyatu dan menjadi hukum yang hidup.
Namun secara teori, sebagaimana dikatakan oleh Schacht, bahwa
hukum Islam mengesampingkan adat sebagai suatu sumber yang
resmi dalam Islam. Hal itu bisa dikatakan bahwa secara teoritis,
adat tidak diakui sebagai salah satu sumber dalam jurisprudensi
Islam.
Abd Wahhab Khallaf,Ilmu Ushul al-Fiqh, (Ttp : Li al-
Tiba‟ah wa al-Nashshyr al-Tauzi‟, 1977), h. 84.
Disini Munawir menawarkan tiga kerangka
metodologi dalam berijtihad yakni „adat, nasakh
dan maslahah

01 Adat (kebiasaan), Munawir selalu mengutip pendapat Abu Yusuf yang


mengatakan bahwa nash diturunkan dalam suatu kasus adat tertentu. Jika
adat berubah, maka gugur pula dalil hukum yang terkandung dalam nash
tersebut

02 Naskh, dalam pandangan Munawir,nasakh adalah pergeseran atau


pembatalan hukum-hukum atau petunjuk yang terkandung dalam ayat-
ayat yang diterima oleh Rasul pada masa sebelumnya

Munawir sering mengutip pendapat Mufassir besar seperti Ibn Katsir, al-
Maraghi, Muhammad Rasyid Ridha dan Sayyid Qutb. Menurut para mufassir
tersebut, nasakh merupakan suatu perubahan hukum sangat erat kaitannya
dengan perubahan tempat dan waktu,

Maslahah, pengertian maslahah sendiri menurut Abdul Wahab Khallaf


03 adalah menetapkan hukum suatu masalah yang tidak disebut
ketentuannya dalam Alquran dan Sunah. Penetapan semata-mata
dimaksudkan dalam rangka mencari kemaslahatan dan menolak
kerusakan dalam kehidupan manusia
Mustofa Zaid, Al-Maslahah fi al-Tasyri al-Islamiy wa Najmuddin
al-Thûfî,(Ttp : dar al-Fikr al-arabiy,1959).
 
.‫شـعمستقلعهـلناـصـوص‬
‫يالـر‬
‫لاـمصلحتدلـ ل‬ “
Bila dilihat dari konsep maslahahat-Thufi, bahwa Maslahah adalah dalil syara‟ yang
jika terjadi perselisihan antara kepentingan tidak terikat dengan ketentuan
masyarakat dengan nash dan ijma‟, maka wajib nash.”Bagi ath-Thufy, untuk
menyatakan sesuatu itu maslahah
mendahulukan kepentingan masyarakat atas
atau tidak didasarkan pada ada
nash dan ijma‟. Pemikiran at-Thufi ini dibangun istiadat dan eksperimen, bukan pada
atas empat prinsip dasar yakni: nash
.‫ناـعبادـة‬
‫معـمـالثدوـ ل‬
‫واـ ا‬
‫عملباـمصلحتهـ ل‬
‫مجالـ ل‬
‫ل‬ “
Maslahah hanya dapat dijadikan dalil

syara‟ dalam bidang mu‟amalah, tidak


‫استقالاللعقولبادراكالمصالحوالمفاسد‬ dalam bidang ibadah
(Kebebasan akal untuk menentukan baik dan buruk
tanpa harus dibimbing oleh kebenaran wahyu). .”‫شـعـ‬
‫يالـر‬
‫لاـمصلحتىوقْادلـ ل‬ “
Namun disini kebebasan akal hanya dalam hal Maslahah adalah dalil syara‟ yang
muamalat dan adat istiadat, bukan dalam hal ibadah terkuat.”Disini ath-Thufi berpendapat bahwa
maslahahadalah dalil yang terkuat
mengingat sabda nabi: “Tidak
memadlaratkandan tidak dimadlaratkan”.
Abd Wahhab Khallaf,Ilmu Ushul al-Fiqh, (Ttp : Li al-Tiba‟ah wa
al-Nashshyr al-Tauzi‟, 1977), h. 84.

Adapun teori Abu Yusuf yang sering dijadikan rujukan oleh Munawir
adalah kaidah ushuliyah yang berbunyi : Al-Hukmu yadurru ma‟a
illatihi wujudan wa adaman, yaitu bahwa hukum itu beredar menurut
illat baik ada maupun tidak adanya. Begitu juga dengan kaidah :
Taghayyurul ahkam bi taghayyuril amkinat wal azman.
Kaidah ushuliyah ini masih bisa dikembangkan dalam rangka
reaktualisasi hukum Islam sekarang ini. Adat, nasakhh dan
maslahah yang menjadi landasan metodologis Munawir dalam
melakukan ijtihad, kadang diterapkan secara terpisah, namun juga
tidak jarang digunakan secara bersamaan.
Beberapa kritik munawir sjadali
Beberapa kritik pemikiran munawir sjadali
One
Para intelektual Muslim Indonesia nampaknya menangkap semangat pembaruan
yang dilontarkan oleh Munawir. Beberapa menyambut positif gagasan-gagasan
progresifnya, namun banyak juga kalangan ulama dan intelektual yang memberikan
Columns
kritik maupun catatan atas ide tersebut
Seperti yang di kutip dari Ibrahim Hosein, “Beberapa Catatan tentang Reaktualisasi ajaran islam”,
Designed
dalam Muh. Wahyuni nafis, Kontekstualisasi ajaran Islam”, h. 258 –260 .

Ibrahim Hosen meragukan tentang maslahah yang didahulukan apabila ada


pertentangan dengan nash. Menurut Ibrahim, di dalam nash sendiri sudah
terkandung nilai maslahah.

Ibid Lebih lanjut dikatakan bahwa -seperti yang dikutip Munawir dari abu Yusuf-
bahwa nash sekalipun, kalau dasarnya adat, dan adat tersebut kemudian telah
berubah, maka gugur pula hukum yang terkandung dalam nash tersebut.
Menurut Ibrahim, adat yang dijadikan dasar hukum yang kemudian berubah tidak
berhubungan dengan substansi hukum, melainkan hanya berupa penjelasan dan
penerapan saja Ibrahim Hosein, “Beberapa Catatan tentang Reaktualisasi ajaran
islam”, dalam Muh. Wahyuni nafis, Kontekstualisasi ajaran Islam”, h. 258 –260.
Beberapa kritik
Pemikiran munawir sjadali

Iqbal Abdurrauf Saimina (ed.), Polemik Reaktualisasi


Ajaran Islam, (Jakarta : Pustaka panjimas, 1988) h. 45
ibid.,h.31

Safrudin Prawiranegara menjelaskan makna keadilan


Begitu juga ketika Munawir berpedoman kepada ijtihad Umar
dalam warisan, dan juga tentang status hukum waris yang
bin Khattab, Jalaluddin Rakhmat mengatakan bahwa ijtihad
masuk kategori voluntary law(hukum yang berlaku kalau
Umar tidak meninggalkan dhahir nash, apalagi mengganti
yang berkepentingan tidak mempergunakan alternatif lain
atau menghapus ketentuannya, melainkan Umar berpegang
yang tersedia), bukan compulsary law (hukum yang
kepada ruh dan maqashid al-ahkam.
berlaku secara mutlak ).
KESIMPULAN
KESIMPULAN

01 02
Pemikiran reaktualisasi Munawir Sjadzali sedikit banyak Salah satu contoh hasil keputusan hukum pada masa
memberi pengaruh terhadap perkembangan pemikiran jabatannya adalah munculnya UU No. 7 tahun 1989 tentang
Islam di Indonesia. Loncatan cara berpikirnya, yang jarang Peradilan Agama, menyusul diterbitkannya KHI
dimiliki oleh para ulama semasanya, memberikan suatu (Kompilasi Hukum Islam, merupakan suatu pengakuan
energi bagi umat Islam yang sudah lama “tertidur” dalam terhadap eksistensi Hukum Islam di Indonesia yang
kebekuan kerangka tekstualitas sebelumnya tidak punya kewenangan mutlak.

Terwujudkan landasan hukum tadi merupakan suatu landasan baru, bahwa fikh bisa
disesuaikan dengan zaman dan tempat sesuai dengan kemaslahatan masing-masing
wilayah
Terlepas dari pro dan kontra, sumbangan pemikiran Munawir sudah barang tentu akan memotivasi para
pemikir Muslim berikutnya untuk selalu menggali dan menyelaraskan nashdan pesan dalam Alquran dengan
situasi lokal dan temporal masyarakat Indonesia
Thank you
Insert the title of your subtitle Here

Anda mungkin juga menyukai