Anda di halaman 1dari 20

KAJIAN ATAS PEMIKIRAN PEMBAHARUAN ISLAM

MUNAWIR SJADZALI :
REAKTUALISASI/KONTEKSTUALISASI AJARAN ISLAM.
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata mata kuliah

Pendekatan Studi Islam

Dosen Pengampu

DR. M. SAMSUL HADY, M.Ag.

Di susun Oleh.
Muhammad Mursyidul Azmi
200101210006

MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN KEGURUAN

PASCASARJANA UIN MAULANA MALIK IBRAHIM


MALANG
2020

KATA PENGANTAR

Puji syukur Kami panjatkan kepada Allah SWT. atas limpahan rahmat,

hidayah serta inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini

tanpa suatu halangan yang berarti. Tidak lupa sholawat serta salam tetap

tercurahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa

kita dari jaman jahiliah menuju jaman Islamiah sekarang ini.

Adapun tujuan dari penyusunan makalah yang berjudul ”Kajian atas

Pemikiran Pembaharuan Islam Munawir Sjadzali: Reaktualisasi/Kontekstualisasi

Ajaran Islam.” ini adalah sebagai pemenuhan tugas yang diberikan demi

tercapainya tujuan pembelajaran yang telah direncanakan.

Diharapkan makalah ini memberikan informasi kepada kita semua tentang apa

saja yang berkaitan dengan ”Kajian atas Pemikiran Pembaharuan Islam Munawir

Sjadzali: Reaktualisasi/Kontekstualisasi Ajaran Islam”. Kami menyadari bahwa

makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua

pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan

makalah ini.

Akhir kata, Kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah

berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga

Allah SWT senantiasa meridhai segala urusan kita. Amin.


BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Dewasa ini tantangan umat Islam terasa kian berat. Semakin banyak
problematika umat Islam maka semakin kompleks pula persoalan yang
dihadapinya. Pada akhirnya, warisan utama umat Islam yakni al-Quran dan as-
Sunnah seakan-akan dituntut harus bisa menjadi sebuah fleksibilitas hukum
namun tetap berwibawa akan konsistensinya dalam berpendirian penegakan
hukum.
Dari beberapa pokok problematika yang ada didepan pintu umat Islam
diantaranya adalah terkait pembagian hak waris, hukum Islam, serta politik
Islam. Dari segi pembagian hak waris umat islam mengalami pergeseran nilai-
nilai serta prinsip. Umat islam sebagai tuan rumah hukum islam seakan-akan
berusaha lari dari ketentuan dalil-dalil qath’i. Mencari hukum lain yang
sekiranya lebih praktis dan menguntungkan. Dari segi hukum Islam, di
hadapkan persoalan terkait pembuatan hokum yang sekiranya relevan dengan
adat konteks kekinian. Dari segi politik Islm, umat islam dihadapkan pada
kericuhan prinsip dasar Negara.
Kiranya sangatlah mendesak untuk bisa segera menjawab dengan tuntas
problematika tersebut. Umat islam tidak boleh berlarut-larut dengan
permasalahan semacam ini, karenanya dapat membuat ketegangan horizontal
kepada sesama umat.
Munawir Sjazdali hadir dengan gagasn Reaktualisasi/Kontekstualisasi Ajaran
Islam mencoba menembus dimensi problematika tersebut. Dengan gagasan
inilah idealnya umat islam diharapkan pada sebuah muara kehidupan yang
sesuai konteks kekinia dengan sesuai rel hokum Islam.
Dalam tiga dekade ini, di Indonesia banyak bermunculan istilah-istilah
yang dipergunakan oleh para pemikir Muslim dan para pengamat sosial-
keagamaan Islam untuk menggaris bawahi perlunya meneliti dan mencermati
kembali prinsip-prinsip dasar, nilai-nilai dan norma-norma ke islaman yang
hendak dihidupkan kembali dalam era modernitas. Istilah-istilah itu antara lain
adalah reinterpretasi (penafsiran ulang), reaktualisasi (mengangkat dan
menghidupkan kembali), reorientasi (memikirkan kembali), revitalisasi
(membangkitkan kembali), kontekstualisasi (mempertimbangkan konteks
kehidupan sosial-budaya), membumikan Islam, dan istilah-istilah lain yang
masih mempunyai kandungan makna yang relatif sama seperti Islam
transformatif, Islam intelektual, dan Islam substansial. Salah satu dari istilah-
istilah tersebut yang paling menonjol dan paling banyak menimbulkan
kontroversi adalah reaktualisasi, atau tepatnya Reaktualisasi Ajaran Islam
dengan tokoh penggagasnya1 Munawir Sjadzali, Menteri Agama Republik
Indonesia dua periode(1983-1993). Karena gagasan ini diangkat oleh seorang
pejabat tinggi negara yang memiliki banyak forum untuk memasyarakatkan
gagasannya, maka segera saja gagasan reaktualisasi itu mendapatkan respons
dari umat Islam Indonesia, terutama dari kalangan ulama dan pemikir Muslim.
Tidak ketinggalan juga tanggapan dari masyarakat awam. Popularitas gagasan
ini terlepas dari pro dan kontra mengalahkan gagasan pembaharuan pemikiran
Islam lainnya.
Makalah ini disusun bukanlah dengan maksud ikut menanggapi substansi
dan argumentasi gagasan itu sendiri, tapi berusaha mengungkap latar belakang
kenapa gagasan reaktualisasi itu muncul dan bagaimana respons para ulama
dan pemikir Muslim terhadap gagasan itu. Sedapat mungkin juga dilihat sejauh
mana pengaruh gagasan tersebut terhadap pemikiran Islam di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, Maka dapat dirumuskan pokok masalah
yang akan menjadi titik sentral dalam makalah ini sebagai berikut.:
1. Siapakah Munawir Syadjali ?
2. Apa yang menjadikan latar belakang pandangan dan gagasan Munawir
sjadali tentang Reaktualisasi/Kontekstualisasi Ajaran Islam ?
3. Bagaimana pandangan dan gagasan Munawir sjadali tentang
Reaktualisasi/Kontekstualisasi Ajaran Islam ?
4. Apa metodologi Ijtihad Munawir Sjadzali tentang
Reaktualisasi/Kontekstualisasi Ajaran Islam ?

1
M.Amin Abdullah, “Telaah Hermeneutis terhadap Masyarakat MuslimIndonesia”, dalam Muhammad
Wahyuni Nafis (ed.),Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA (Jakarta:
Paramadina, 1995), hlm. 537.
5. Bagaimana kritik dari pandangan dan gagasan Munawir sjadali tentang
Reaktualisasi/Kontekstualisasi Ajaran Islam ?
C. Tujuan
Pada intinya tujuan makalah ini tidak terlepas dari masalah yang telah
dirumuskan berdasarkan rumusan masalah tersebut. Maka makalah ini
bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui siapakah sosok Munawir Sjadali
2. Untuk mengetahui bagaimana pandangan dan gagasan Munawir sjadali
tentang Reaktualisasi/Kontekstualisasi Ajaran Islam
3. Untuk mengetahui metodologi Ijtihad Munawir Sjadzali tentang
Reaktualisasi/Kontekstualisasi Ajaran Islam
4. Untuk mengetahui kritik dari pandangan dan gagasan Munawir sjadali
tentang Reaktualisasi/Kontekstualisasi Ajaran Islam
5. Untuk mengetahui latar belakang pandangan dan gagasan Munawir sjadali
tentang Reaktualisasi/Kontekstualisasi Ajaran Islam ?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi munawir sjadli


Sebelum kita membahas tentang konteks pandangan dan gagasan Munawir
sjadali tentang Reaktualisasi/Kontekstualisasi Ajaran Islam kiranya kita perlu
mengetahui siapa sebenarnya Munawir Sjadali itu. Sebelum diangkat oleh
Presiden Soeharto sebagai Menteri Agama dalam Kabinet Pembangunan IV
(1983), Munawir Sjadzali tidak banyak dikenal oleh masyarakat, apalagi dalam
bidang pemikiran Islam. Hal itu dapat dimaklumi karena dalam kariernya di
Departemen Luar Negeri(1950-19830), Munawir lebih banyak berada di luar
negeri dalam berbagai jabatan diplomatik, mulai dari Sekretaris III Kedutaan
Besar Republik Indonesia di Washington D.C. (1956-1959), Sekretaris I KBRI
di Colombo Srilangka (1963-1966), kemudian Kuasa Usaha Sementara KBRI
yang sama (1966-1968), Minister Councelor KBRI London (1970-1975)
sampai menjadi Duta Besar RI di KBRI Kuwait, merangkap Duta Besar RI non
resident untuk Uni Emirat Arab (UEA), Qatar dan Bahrain (1976-1980). T otal
dari 33 tahun berkarir di Deplu, Munawir menghabiskan 17 tahun di luar
negeri, sedangkan di dalam negeri Munawir menduduki berbagai jabatan di
Deplu mulai dari staf seksiArab/Timur Tengah (1950) sampai Dirjen Politik
(1980-1983). Praktis Munawir tidak pernah terjun dalam bidang yang
menyebabkan dia bisa dikenal luas oleh masyarakat.
Munawir Sjadzali dilahirkan di Klaten, Jawa Tengah, 7 November1925
dari pasangan Abu Aswad Hasan Sjadzali bin Tohari (setelah menikah diberi
nama tua Mughaffir) dan Tas’iyyah binti Badruddin. Ayah Munawir adalah
seorang Kyai di kampungnya yang secara formal menjabat Kepala Madrasah
Bi’tsah al-Muslimin (tingkat Ibtidaiyah) diKaranganom Klaten. Nama Sjadzali
di belakang nama ayahnya karena memang beliau seorang pengikut Tarekat
Syadzaliyah. Itu pulalahsebabnya di belakang nama anaknya juga ditambah
Sjadzali. Pendidikan agama diperoleh Munawir pertama dari orang tuanya
sendiri, dan kedua dari pendidikan formal di Madrasah Ibtidaiyah (5tahun) di
Karang Anom, Tsanawiyah (1 tahun) di Madrasah Al-Islam Solo, kemudian
Pondok Pesantren Manba’ul ‘Ulum Solo (5 tahun).Setelah tamat Manba’ul
‘Ulum tahun 1943, Munawir sempat jadi guru Sekolah Dasar Islam Ungaran,
Jawa Tengah satu tahun, kemudian ikut perjuangan mempertahankan
kemerdekaan di daerah Jawa Tengah sampai tahun 1949. Seperti disebutkan di
atas tahun 1950 Munawir mulai berkarier di Departemen Luar Negeri Jakarta.2
Selama berkarier di Deplu, Munawir sempat mengikuti KursusDiplomatik dan
Konsuler Angkatan II (1951) selama 10 bulan, dan pendidikan ilmu politik
selama satu tahun di University College ofSouth West of England, Exeter
(1953). Waktu bertugas di Amerika,Munawir menyempatkan mengikuti kuliah
pascasarjana di Universitas Georgetown dalam bidang Hubungan Internasional
dan mendapat Master tahun 1959 dengan tesis: Indonesia’s Muslim Political
Parties and Their Political Concept.3
B. Latar belakang pemikiran munawir sjadali
Reaktualisasi Al-Qur’an atau reaktualisasi ajaran Islam sebenarnya
berangkat dari asumsi, bahwa Al-Qur’an atau ajaran Islam itu diturunkan
empat belas abad yang lalu sehingga menimbulkan pertanyaan, masih
relevankah Al-Qur’an atau ajaran Islam digunakan untuk saat ini? Mereka yang
mengusung gagasan reaktualisasi memandang bahwa Al-Qur’an atau ajaran
Islam itu sudah usang dan tidak relevan lagi, kecuali jika yang usang dan tidak
relevan tersebut diaktualkan kembali sehingga cocok untuk kondisi kekinian
dan kedisinian. Selain reaktualisasi, istilah lain yang sering mereka gunakan
adalah revitalisasi atau menyegarkan kembali pemahaman Islam. Semua itu
intinya sama. Gagasan reaktualisasi hukum Islam ini mulai dilemparkan
kepada masyarakat oleh Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA pada awal tahun
1985. Pada waktu itu, tanggapan dari para pemikir hukum Islam biasa-biasa

2
Diringkas dari Munawir Sjadzali, “Dari Lembah Kemiskinan” dalam Muhammad Wahyuni Nafis dkk
(editor),Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 tahun Prof.Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Jakarta: Paramadina,
1995), hlm. 1-115. Baca juga BahtiarEffendy dkk, “Munawir Sjadzali, M.A; Pencarian Ketegangan
Ideologis”, dimuat dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam. Menteri-Menteri Agama RI Biografi Sosial-
Politik, cet.I, (Jakarta : INIS, 1998), hlm. 372-384.
3
baca Iqbal Sentosa. “Prof. Dr. Munawir Sjadzali, M.A.: Hidup yang takTerbayangkan”,PERTA, No. 2/Vol.
III/2000, hlm. 62-63.
saja. Tetapi, setelah disampaikan pada forum Paramadina, maka timbul reaksi
pro-kontra yang cukup keras. 4
Dua hal yang melatarbelakangi Munawir untuk memunculkan ide
reaktualisasi ini. Pertama, Munawir melihat bahwa adanya sikap mendua di
kalangan umat Islam dalam menjalankan hukum Islam. Umat Islam terkesan
enggan untuk menjalankan hukum Islam karena tidak sesuai dengan harapan
dan keinginannya. Hal ini dapat dilihat dalam dua contoh pelaksanaan umat
Islam terhadap hukum Islam. Di antara umat Islam banyak yang berpendirian
bahwa bunga atau interest dalam bank itu riba, dan oleh karenanya maka sama-
sama haram dan terkutuk sebagaimana riba. Sementara itu, mereka tidak hanya
hidup dari bunga deposito, melainkan sehari-hari juga banyak mempergunakan
jasa bank, dan bahkan mendirikan bank dengan sistem bunga, dengan alasan
darurat. Padahal, seperti yang dapat dibaca dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah,
ayat 173, kelonggaran yang diberikan dalam keadaan darurat itu dengan syarat
tidak adanya unsur kesengajaan dan tidak lebih dari pemenuhan kebutuhan
esensial.5
Kedua, dalam hal pembagian harta warisan, Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat
11, dengan jelas menyatakan bahwa hak laki-laki adalah dua kali lebih besar
daripada hak perempuan. Tetapi, ketentuan tersebut sudah banyak ditinggalkan
oleh masyarakat Islam Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Munawir menyatakan bahwa ia mengetahui setelah beliau menjadi menteri
agama. Sebagai Menteri Agama, Munawir banyak mendapat laporan dari para
hakim di Pengadilan Agama di berbagai daerah, termasuk daerah-daerah yang
kuat Islamnya, seperti Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan, tentang
banyaknya penyimpangan dari ketentuan Al-Qur’an tersebut. Para hakim
sering kali menyaksikan, setelah perkara waris diputus secara fara’id, ahli
waris tidak mau melaksanakannya, tetapi mereka pergi ke Pengadilan Negeri

4
Munawir Sjadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Temprint, 1995), h. 87. Munawir Syadzali,
Islam and Governmental System: Teachings, History and Reflections (Jakarta: INIS, 1991). Juga,
Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, edisi ke-5 (Jakarta: UI-
Press, 1993).
5
Sjadzali, Kontekstualisasi, h. 88
untuk meminta agar diberlakukan sistem pembagian yang lain, yang terang
tidak sesuai dengan fara’id.
Suatu hal yang perlu dicatat, yang enggan melaksanakan fatwa waris di
Pengadilan Agama dan kemudian pergi ke Pengadilan Negeri itu tidak hanya
orang-orang awam, melainkan juga banyak tokoh organisasi Islam yang cukup
menguasai ilmu-ilmu keislaman. Sementara itu telah membudaya pula
penyimpangan tidak lansung dari ketentuan Al-Qur’an tersebut. Banyak kepala
keluarga yang mengambil kebijaksanaan pre-emptive. Semasa hidup mereka
telah membagikan sebagian besar dari kekayaannya kepada anak-anak,
masing-masing mendapat pembagian yang sama besar tanpa membedakan jenis
kelamin, sebagai hibah. Dengan demikian, maka pada waktu mereka
meninggal, kekayaan yang harus dibagi tinggal sedikit, bahkan hampir habis
sama sekali.
Dalam hal ini, memang secara formal tidak terjadi penyimpangan dari
ketentuan Al-Qur’an di atas. Tetapi apakah melaksanakan ajaran agama dengan
semangat demikian sudah betul? Apakah tindakan-tindakan itu tidak termasuk
kategori hillah atau main-main dengan agama? Itulah realitas yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat. Menurut Munawir, kita boleh kecewa, tetapi
demikianlah kenyataan sosial yang harus dengan jujur kita akui ada. Sementara
itu, salah kiranya kalau kita menuding para pelaku penyimpangan itu, termasuk
sejumlah ulama, sebagai kurang utuh komitmen mereka kepada Islam, tanpa
mempelajari latar belakang dan faktor-faktor yang mendorong mereka berani
melakukan penyimpangan itu.
Dari uraian di atas, Munawir menyatakan, bahwa bukan saya mengatakan
bahwa hukum waris Islam seperti yang ditentukan oleh Al-Qur’an itu tidak
adil, tetapi justru saya menyoroti sikap masyarakat yang tampaknya tidak
percaya lagi kepada keadilan hukum fara’id.6 Inilah yang melatar belakangi
pemikiran Munawir untuk memunculkan ide reaktualisasi hukum Islam.

6
Ibid... h 90
C. Reaktualisasi Ajaran Islam dalam Pembaruan Hukum Islam di Indonesia.
1. Kasus Pembagian Harta Waris
Berangkat dari pemahaman surat An-Nisa ayat 11 yang menyatakan
bahwa bagian warisan harta untuk anak laki-laki adalah dua kali yang
diberikan kepada anak perempuan,7 Munawir berusaha
mengkonstektualisasi ajaran Islam dengan mendekonstruksi masalah
pembagian warisan tersebut. Dekonstruksi yang dilakukannya bukan
merupakan hal baru, sebab masalah interpretasi yang menyimpang terhadap
ajaran agama juga pernah dilakukan Umar bin Khattab. Dalam masalah
warisan, Munawir menjelaskan bahwa bagian warisan antara laki-laki yang
dua kali lipat dari bagian wanita, pertama,tidak mencerminkan semangat
keadilan bagi masyarakat Indonesia sekarang ini. Hal ini terbukti dengan
banyaknya penyimpangan dari ketentuan waris tersebut baik dilakukan oleh
orang awam maupun ulama, dengan cara melakukan hailah, yakni dengan
cara menghibahkan harta bendanya kepada putera-puterinya ketika orang
tua tersebut hidup. Ini merupakan suatu indikasi atas ketidak percayaan
masyarakat muslim terhadap hukum waris dalam Alquran. Alasan kedua
adalah faktor gradualitas. Menurut Munawir, wanita pada masa jahiliyah
tidak mendapatkan warisan, maka ketika Islam datang, wanita diangkat
derajatnya dan diberi warisan walaupun hanya separo dari bagian laki laki.
Pengangkatan derajat wanita dengan diberinya warisan ini tidak secara
langsung disamakan dengan laki-laki, tetapi dilakukan secara bertahap. Hal
ini sesuai dengan sifat gradual ajaran Islam sebagaimana kasus
pengharaman khamr. Kemudian oleh karena pada masa modern ini wanita
memberikan peran yang sama dengan laki-laki di masyarakat, maka
merupakan suatu yang logis bila warisannya ditingkatkan agar sama dengan
laki-laki. Alasan ketiga, bahwa bagian laki-laki dua kali lipat bagian
perempuan dikaitkan dengan suatu persyaratan bahwa laki-laki mempunyai
kewajiban memberi nafkah terhadap anak isteri, bahkan orang tua maupun
adik perempuan yang belum bersuami.8 Hal ini sebagaimana yang
7
“Allah mensyariatkan ( mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan ) untuk anak-anakmu, yaitu
bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan ....”
8
Hasbullah Mursyid,”Menelusuri Faktor Sosial yang Mungkin Berpengaruh” dalam Muh. Wahyuni Nafis
(ed), Kontekstualisasi Ajaran Islam..., h.205.
disebutkan dalam Alquran Surat An-Nisa (4) : 34 yang artinya,“ Laki-laki
itu pelindung bagi perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian
dari mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena
mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya...” Sebenarnya
dalam konteks zaman sekarang bukan hanya suami yang bisa mencari
nafkah. Perkembangan zaman menuntut perempuan untuk bisa lebih maju
dan mandiri. Sehingga wilayah mencari nafkah dilakukan oleh kaum
perempuan merupakan hal yang biasa. Bila dalam kondisi demikian
ketentuan hukum waris masih diterapkan 2:1, itu dianggap sebagai bentuk
ketidak adilan.
2. Kasus Bunga Bank
Bunga bank yang oleh umat islam biasa disebut riba, mempunyai arti
tambahan, baik berupa tunai, benda maupun jasa yang mengharuskan pihak
peminjam membayar selain jumlah uang yang dipinjam, pada hari jatuh
waktu mengembalikan uang pinjaman tersebut.9 Seperti dalam Surat
Albaqarah 278 disebutkan ;“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang yang beriman” Sampai sekarang banyak para ulama yang
mengharamkan pemungutan bunga bank tapi tidak ada pencegahan
terhadap penggunaan jasa bank. Termasuk umat Islam di Indonesia saat ini,
dari berbagai kalangan sudah terbiasa hidup dengan sistem bunga bank
bahkan ketergantungan terhadap jasa bank tidak ada bedanya dengan umat
yang lain. Menurut Sayyid Sabiq, ada empat alasan mengapa riba
diharamkan yakni: a). Riba merupakan penyebab timbulnya permusuhan
antar masyarakat, b). Riba cenderung melahirkan perbedaan kelas dalam
masyarakat, c). Riba merupakan penyebab terjadinya penjajahan,
wewenang untuk lebih menguasai yang lain, d). Islam menghimbau untuk
memberikan pinjaman untuk menolong, bukan memberatkan dengan
tambahan.10 Mencermati alasan-alasan yang dikemukakan oleh Sayid Sabiq
diatas, nampaknya sangat masuk akal kalau kemudian riba diharamkan oleh
Islam. Namun berkaitan dengan sistem bunga bank yang ada di Indonesia
9
Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan..., h. 11.
10
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut : Dar al-Fikr li al-Thiba‟ah wa al-Nasri wa al-Tauzi‟, tt ), Jilid 3, h.178
saat ini apakah mempunyai kriteria demikian ? Dalam Surat Albaqarah 279
dijelaskan : “.... Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas harta
pokokmu. Kamu tidak berbuat dzalim ( merugikan) dan tidak di dzalimi
(dirugikan).”Lebih tegas lagi Munawir menjelaskan bahwa kata kuncinya
adalah tidak merugikan orang lain atau tidak ada pihak yang dirugikan.
Bank adalah suatu lembaga terhormat, dan sistem bunga adalah suatu
mekanisme pengelolaan bank untuk peredaran modal masyarakat.
Berdasarkan prinsip jangan ada pihak yang dirugikan, tidak adil kalau
pemilik modal kehilangan daya beli modal yang dititipkan untuk jangka
waktu tertentu, sementara peminjam dana yang menggunakannya untuk
modal usaha dan mendapatkan untung tidak harus membagi keuntungannya
dengan pemilik asli modal.11
Salah satu keberatan yang dikemukakan orang terhadap sistem bunga
bank ialah karena jumlah prosentase bunga sudah ditetapkan lebih dahulu.
Maka, sebagai alternatif ditawarkan sistem bagi hasil yang berarti akan
dihitung untung dan rugi perusahaan, kemudian dibagi antara pemilik dan
pengguna modal, baik keuntungan maupun kerugiannya. Tetapi menurut
Munawir, dalam prakteknya sistem pengelolaan bagi hasil ternyata lebih
kompleks dan tidak efisien.12
Bisa dipahami, bahwa konsep reaktualisasi yang dilontarkan oleh
Munawir sebenarnya tidak menghapus apa yang ada dalam Alquran, jadi
pada dasarnya bukan sesuatu yang baru. Mengingat pada sekitar abad 12,
Abu Yusuf, murid Imam Hanifah menyatakan bahwa kalau ada nash yang
didasarkan oleh adat, kemudian adat tersebut berubah, maka petunjuk yang
terkandung dalam nash tersebut juga ikut berubah.13 Pada sekitar abad ke-7,
at-Thufy, seorang ulama mazhab Hanbali, mengatakan bahwa kalau terjadi
benturan antara kepentingan masyarakat dengan nash, maka yang
didahulukan adalah kepentingan masyarakat.14 Dua Mufassir besar abad 20,
yaitu Mustofa Al-Maraghi dan Muhammad Rasyid Ridho menyatakan
bahwa hukum itu semata-mata diundangkan untuk kepentingan manusia,
11
Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan..., h. 14.
12
bid.,hal. 15.
13
Munawir Sjadzali, Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa Ini,(Jakarta : UI Press, 1994), h. 43.
14
Ibid
sementara kepentingan manusia dapat berubah sesuai perkembangan
zaman, maka sangat mungkin terjadi muncul hukum yang baru yang bisa
disesuaikan dngan kondisi masyarakat setempat.15
Demikian juga Muhammad Abduh mengawali sebuah makalahnya
yang berjudul Al-Islah al-Diny (Reformasi Keagamaan) dengan kalimat
sebagai berikut : “Kita harus berani membebaskan belenggu pikiran kita
dari belenggu taqlid dan berusaha memahami agama dengan
mempergunakan akal sebagai sesuatu yang paling utama..”.16 Pada dasarnya
disini Munawir ingin menegaskan bahwa berijtihad menemukan sesuatu
hukum baru dari Alquran adalah bukan hal yang pertama dia lakukan. Para
tokoh-tokoh dan ulama sebelumnya sudah menerapkan hal itu, bahkan pada
masa Umar bin Khattab sekalipun.

15
Ibid
16
Ibid., h.44.
D. Metodologi Ijtihad Munawir Sjadzali
Pada kondisi dan kasus tertentu, secara sosio kultural, sebenarnya Hukum
Islam telah menyatu dan menjadi hukum yang hidup. Namun secara teori,
sebagaimana dikatakan oleh Schacht, bahwa hukum Islam mengesampingkan
adat sebagai suatu sumber yang resmi dalam Islam. Hal itu bisa dikatakan
bahwa secara teoritis, adat tidak diakui sebagai salah satu sumber dalam
jurisprudensi Islam17
Disini Munawir menawarkan tiga kerangka metodologi dalam berijtihad
yakni „adat, nasakh dan maslahah. a). Adat(kebiasaan), Munawir selalu
mengutip pendapat Abu Yusuf yang mengatakan bahwa nash diturunkan dalam
suatu kasus adat tertentu. Jika adat berubah, maka gugur pula dalil hukum yang
terkandung dalam nash tersebut. Bagi Munawir nash hanyalah sebuah tawaran
bagi pemecahan masalah (hukum, sosial, politik) yang efektif dalam kondisi
sosial masyarakat tertentu. Apabila terjadi pertentangan antara nash dan adat,
dan ternyata adat lebih menjamin kemaslahatan yang dibutuhkan oleh
masyarakat, maka adat dapat diterima. Kekuatan hukumnya sama kuatnya
dengan hukum yang ditetapkan berdasarkan nash. Hal ini sesuai dengan hadis
Nabi bahwa sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka dianggap baik
di sisi Allah.“Penolakan” terhadap nash karena adanya adat baru yang
dipandang sebagai illat pembatalan hukum yang terkandung dalam nash adalah
sesuai dengan kaidah yang mengatakan
: ‫الحكن يدر هع العلة وجودا و عدها‬

‫تغير االحكام بتغير االهكنات و العازهات‬

Hal ini tidak otomatis bisa dipandang sebagai pengabaian nash, namun
merupakan cara lain untuk menafsir-ta’wilkan kandungan maslahah yang
terdapat dalam nash. Teori ini masih sangat layak digunakan dalam
pengembangan hukum Islam. Teori adat yang disiapkan dalam kerangka
metodologi hukum Islam ini merupakan langkah untuk mengantisipasi
perubahan dalam masyarakat, karena kebutuhan hukum masyarakat tidak akan
pernah mati dan akan terus berkembang. Untuk itu adat ini digunakan sebagai

17
Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law,(Oxford: The Clarendon Press,1964), h.62.
salah satu alat yang memberikan jaminan bahwa Islam shalih li kulli makan wa
zaman, b).Naskh, dalam pandangan Munawir,nasakh adalah pergeseran atau
pembatalan hukum-hukum atau petunjuk yang terkandung dalam ayat-ayat
yang diterima oleh Rasul pada masa sebelumnya. Munawir sering mengutip
pendapat Mufassir besar seperti Ibn Katsir, al-Maraghi, Muhammad Rasyid
Ridha dan Sayyid Qutb. Menurut para mufassir tersebut, nasakh merupakan
suatu perubahan hukum sangat erat kaitannya dengan perubahan tempat dan
waktu, c). Maslahah,pengertian maslahah sendiri menurut Abdul Wahab
Khallaf adalah menetapkan hukum suatu masalah yang tidak disebut
ketentuannya dalam Alquran dan Sunah. Penetapan semata-mata dimaksudkan
dalam rangka mencari kemaslahatan dan menolak kerusakan dalam kehidupan
manusia.18 Bila dilihat dari konsep maslahahat-Thufi, bahwa jika terjadi
perselisihan antara kepentingan masyarakat dengan nash dan ijma‟, maka
wajib mendahulukan kepentingan masyarakat atas nash dan ijma‟. Pemikiran
at-Thufi ini dibangun atas empat prinsip dasar yakni:19

‫استقالاللعقولبادراكالمصالحوالمفاسد‬
(Kebebasan akal untuk menentukan baik dan buruk tanpa harus
dibimbing oleh kebenaran wahyu). Namun disini kebebasan akal hanya dalam
hal muamalat dan adat istiadat, bukan dalam hal ibadah
.‫“المصلحتدلياللشرعمستقلعهالنصوص‬

Maslahah adalah dalil syara‟ yang tidak terikat dengan ketentuan


nash.”Bagi ath-Thufy, untukmenyatakan sesuatu itu maslahah atau tidak
didasarkan pada ada istiadat dan eksperimen, bukan pada nash

.‫“مجاللعملبالمصلحتهوالمعامالثدونالعبادة‬

Maslahah hanya dapat dijadikan dalil syara‟ dalam bidang mu‟amalah,


tidak dalam bidang ibadah

.”‫“المصلحتىو ْقادلياللشرع‬
18
Abd Wahhab Khallaf,Ilmu Ushul al-Fiqh, (Ttp : Li al-Tiba‟ah wa al-Nashshyr al-Tauzi‟, 1977), h. 84.
19
Mustofa Zaid, Al-Maslahah fi al-Tasyri al-Islamiy wa Najmuddin al-Thûfî,(Ttp : dar al-Fikr al-arabiy,1959).
Maslahah adalah dalil syara‟ yang terkuat.”Disini ath-Thufi
berpendapat bahwa maslahahadalah dalil yang terkuat mengingat sabda
nabi: “Tidak memadlaratkandan tidak dimadlaratkan”.

Adapun teori Abu Yusuf yang sering dijadikan rujukan oleh Munawir
adalah kaidah ushuliyah yang berbunyi : Al-Hukmu yadurru ma‟a illatihi
wujudan wa adaman, yaitu bahwa hukum itu beredar menurut illat baik ada
maupun tidak adanya. Begitu juga dengan kaidah : Taghayyurul ahkam bi
taghayyuril amkinat wal azman. Kaidah ushuliyah ini masih bisa
dikembangkan dalam rangka reaktualisasi hukum Islam sekarang ini. Adat,
nasakhh dan maslahah yang menjadi landasan metodologis Munawir dalam
melakukan ijtihad, kadang diterapkan secara terpisah, namun juga tidak jarang
digunakan secara bersamaan. Penangguhan pemberlakuan ayat waris dalam al-
Qur‟an, atau mempertimbangkan kembali sistem bunga bank dalam kondisi
Indonesia saat ini, akan memunculkan pemikiran baru (ijtihad) yang lebih
memperjuangkan nilai kemaslahatan bagi masyarakat Indonesia.

E. Beberapa Kritik pandangan dan gagasan Munawir sjadali tentang


Reaktualisasi/Kontekstualisasi Ajaran Islam
Para intelektual Muslim Indonesia nampaknya menangkap semangat
pembaruan yang dilontarkan oleh Munawir. Beberapa menyambut positif
gagasan-gagasan progresifnya, namun banyak juga kalangan ulama dan
intelektual yang memberikan kritik maupun catatan atas ide tersebut. Ibrahim
Hosen meragukan tentang maslahah yang didahulukan apabila ada
pertentangan dengan nash. Menurut Ibrahim, di dalam nash sendiri sudah
terkandung nilai maslahah.20 Lebih lanjut dikatakan bahwa -seperti yang
dikutip Munawir dari abu Yusuf-bahwa nash sekalipun, kalau dasarnya adat,
dan adat tersebut kemudian telah berubah, maka gugur pula hukum yang
terkandung dalam nash tersebut. Menurut Ibrahim, adat yang dijadikan dasar
hukum yang kemudian berubah tidak berhubungan dengan substansi hukum,
melainkan hanya berupa penjelasan dan penerapan saja.21

20
Ibrahim Hosein, “Beberapa Catatan tentang Reaktualisasi ajaran islam”, dalam Muh. Wahyuni nafis,
Kontekstualisasi ajaran Islam”, h. 258 –260.
21
Ibid
Begitu juga ketika Munawir berpedoman kepada ijtihad Umar bin Khattab,
Jalaluddin Rakhmat mengatakan bahwa ijtihad Umar tidak meninggalkan
dhahir nash, apalagi mengganti atau menghapus ketentuannya, melainkan
Umar berpegang kepada ruh dan maqashid al-ahkam.22 Safrudin Prawiranegara
menjelaskan makna keadilan dalam warisan, dan juga tentang status hukum
waris yang masuk kategori voluntary law(hukum yang berlaku kalau yang
berkepentingan tidak mempergunakan alternatif lain yang tersedia), bukan
compulsary law (hukum yang berlaku secara mutlak ). Para ahli waris dapat
memusyawarahkan dulu sebelum menentukan pembagian waris jika memang
ada kasus seperti yang dikemukakan oleh Munawir.23

22
Iqbal Abdurrauf Saimina (ed.), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, (Jakarta : Pustaka panjimas, 1988) h.
45
23
bid.,h.31.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pemikiran reaktualisasi Munawir Sjadzali sedikit banyak memberi
pengaruh terhadap perkembangan pemikiran Islam di Indonesia. Loncatan cara
berpikirnya, yang jarang dimiliki oleh para ulama semasanya, memberikan
suatu energi bagi umat Islam yang sudah lama “tertidur” dalam kebekuan
kerangka tekstualitas. Dalam masa jabatannya sebagai Menteri Agama,
Munawir telah memberi angin baru bagi eksistensi hukum Islam di Indonesia.
Salah satu contoh hasil keputusan hukum pada masa jabatannya adalah
munculnya UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, menyusul
diterbitkannya KHI (Kompilasi Hukum Islam, merupakan suatu pengakuan
terhadap eksistensi Hukum Islam di Indonesia yang sebelumnya tidak punya
kewenangan mutlak. Terwujudkan landasan hukum tadi merupakan suatu
landasan baru, bahwa fikh bisa disesuaikan dengan zaman dan tempat sesuai
dengan kemaslahatan masing-masing wilayah.Terlepas dari pro dan kontra,
sumbangan pemikiran Munawir sudah barang tentu akan memotivasi para
pemikir Muslim berikutnya untuk selalu menggali dan menyelaraskan nash dan
pesan dalam Alquran dengan situasi lokal dan temporal masyarakat Indonesia.
B. Saran
Makalah ini dibuat bertujuan agar lebih bisa memahami tentang Kajian
atas pemikiran pembaharuan Islam Munawir Sjadali:
Reaktualisasi/Konstektualisasi Ajaran Islam. Maka apabila ada kesalahan baik
dalam penjelasan maupun penulisan kami mohon maaf se ikhlas-ikhlasnya,
kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun, karena sesungguhnya
isi makalah kami masih jauh dari kesempurnaan.
DAFTAR PUSTAKA

M. Abdullah ,Amin, 1995 “Telaah Hermeneutis terhadap Masyarakat

Muslim Indonesia”, dalam Muhammad Wahyuni Nafis

(ed.),Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali,

MA (Jakarta: Paramadina,

Sjadzali ,Munawir, 1995 “Dari Lembah Kemiskinan”, dalam Muhammad

Wahyuni Nafis dkk (editor),Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 tahun

Prof.Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Jakarta: Paramadina,),

Sentosa,Iqbal. 2000 “Prof. Dr. Munawir Sjadzali, M.A.: Hidup yang tak

Terbayangkan”,PERTA, No. 2/Vol. III/

Effendy,Bahtiar dkk, 1998 “Munawir Sjadzali, M.A; Pencarian Ketegangan

Ideologis”, dimuat dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam. Menteri-

Menteri Agama RI Biografi Sosial-Politik, cet.I, (Jakarta : INIS,

Sjadzali Munawir , 1995, Kontekstualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Temprint,)

Syadzali, Munawir, 1991, Islam and Governmental System: Teachings,

History and Reflections (Jakarta: INIS,)

Syadzali, Munawir, 1993, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan

Pemikiran, edisi ke-5 (Jakarta: UI-Press,).

Mursyid , Hasbullah,”Menelusuri Faktor Sosial yang Mungkin Berpengaruh”

dalam Muh. Wahyuni Nafis (ed), Kontekstualisasi Ajaran Islam.

Sabiq , Sayid, Fiqh Sunnah, (Beirut : Dar al-Fikr li al-Thiba‟ah wa al-

Nasri wa al-Tauzi‟, tt ), Jilid 3

Syadzali, Munawir, Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa Ini, 1994,


(Jakarta : UI Press,

Schacht, ,Joseph, An Introduction to Islamic Law, 1964 (Oxford: The Clarendon

Press,),

Wahhab ,Abd Khallaf,Ilmu Ushul al-Fiqh, 1977, (Ttp : Li al-Tiba‟ah wa al-

Nashshyr al-Tauzi‟,

Zaid ,Mustofa, 1959 “Al-Maslahah fi al-Tasyri al-Islamiy wa Najmuddin al-

Thûfî”, (Ttp : dar al-Fikr al-arabiy,).

Abdurrauf , Iqbal ,Saimina (ed.), 1988 , Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam,

(Jakarta : Pustaka panjimas,)

Anda mungkin juga menyukai