DEWAN REDAKSI:
Pengarah:
Rektor UNSIQ Wonosobo
Pemimpin Redaksi:
Nurul Mubin, M.S.I
Redaktur Ahli:
Dr. H. Zamaksyari Dhofier, MA
KH. Mukhotob Hamzah, MM
Drs. Zainal Sukawi, MA
Dr. Phil. Sahiron Syamsudin, MA
Drs. Abdul Kholiq, MA
Drs. Mahfudz, MA
Drs. Akhsin Wijaya, Alhafidz, M.Ag
Drs. Arifin Shidiq, M.Pd.I
Drs. Samsul Munir, Amin, MA
Dr. H. Asyhar Kholil, MA
Perwajahan:
Agung Istiadi – Pustaka Prisma
Distributor:
Adi Suwondo, M.Kom
Hafin Hafiyati, S.S
Penerbit:
Pusat Penelitian, Penerbitan & Pengabdian Masyarakat (P3M)
Universitas Sains Al-Qur’an Wonosobo
Jl. Raya Kalibeber Km. 03 Mojotengah, Wonosobo, Jawa Tengah
Tlp. (0286) 321873. Fax: (0286) 324160.
email redaksi ; jihadil_akbar@yahoo.com
i
ii
Nomor: 09 Tahun VII, Januari – Maret 2012 ISSN: 1412-7075
Pengantar Redaksi
Kajian keislaman (Islamic Studies) belakangan menjadi populer
bagi masyarakat muslim dunia dan juga Indonesia. Tampaknya
fenomena ini merupakan imbas dari semakin meningkatnya kesadaran
beragama umat Islam yang ditandai dengan berbagai aktivitas
keagamaan yang diwujudkan dalam bentuk Majlis dzikir, majlis
pengajian, pelatihan-pelatihan pembangunan spiritual dan aktivitas
kajian pemikiran keislaman yang tidak saja berkembang dikalangan
akademisi tetapi juga di kalangan masyarakat secara umum.
Semangat dan fenomena meningkatnya kesadaran beragama baik
ranah aktivitas ibadah dan ranah keilmuwan ini tidak lepas dari
semakin berkembangnya berbagai isu fundamentalisme Islam yang
kini berbuah model gerakan (harakah) Islam radikal. Rentetan panjang
tentang pemikiran dan gerakan Islam radikal diberbagai wilayah ini
menuntut umat Islam untuk mengambil peran-peran strategis untuk
mengkaji secara mendalam tentang pesan inti agama dalam ranah
sosial, politik dan budaya, agar Islam dapat memposisikan diri sebagai
pemandu dalam percaturan global.
Isu radikalisasi Islam seakan memutar balik jarum jam potret
kemunduran Islam. Kebangkitan Islam dan kejayaan Islam yang
pernah diraih pada masa abad ke-emasan intelektualisme Islam, dimana
Islam mampu berdampingan dan mampu mendialogkan berbagai
persoalan politik, sosial dan budaya. Bahkan Islam menjadi bagian
dari solusi problem global bukan sebaliknya pemicu masalah-masalah
global. Tuduhan-tuduhan miring atas berbagai corak pemikiran dan
gerakan Islam semakin meneguhkan eksistensi Islam dimata dunia,
terutama ketika berhadapan dengan dinamika perkembangan global
yang didominasi oleh dunia Barat.
Beragamnya corak pemikiran keagamaan yang berkembang dalam
sejarah Islam di dunia dan khususnya di Indonesia—dari Islam yang
bercorak sufistik, tradisionalis, revivalis dan modernis hingga neo-
iii
modernis—dengan jelas memperteguh kekayaan khazanah keislaman
negeri ini. Kenyataan ini semakin membuktikan beragamnya pengaruh
yang masuk ke dalam wacana Islam yang berkembang di belahan dunia
dan khususnya Nusantara ini. Dalam perspektif sejarah perkembangan
intelektual, hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran visi
dan orientasi di dalam corak pemahaman keagamaan di kalangan
Muslim Indonesia.
Pola pergeseran tersebut, bisa dimulai dari penjelasan Martin van
Bruinessen, seorang sarjana Belanda yang ahli dalam kajian Islam di
Indonesia, bahwa pada masa-masa awal berkembangnya Islam di
Nusantara sejak abad ke-13 M corak Islam yang berkembang adalah
Islam yang bernuansa sufistik. Bentuk Islam yang seperti itu juga
mempengaruhi para pemikir-pemikir Islam pada masa tersebut hingga
sekarang ini.
Pada “Manarul Qur’an” edisi ini tema yang diusung adalah
dinamika pemikiran Islam Indonesia. Sejumlah artikel menarik
disajikan dalam edisi ini, diantaranya adalah artikel pemikiran
keislaman yang ditulis Mahfudz Junaidi mencoba menelaah episte-
mologi hukum Islam, kemudian tulisan Samsul Munir Amin tentang
Islam dan demokrasi. Artikel selanjutnya oleh Nurul Mubin tentang
teologi multikultural dalam konteks sejarah dan implementasi nilai-
nilainya di Indonesia, kemudian juga dilengkapi dengan artikel
pemikiran tasawuf kontemporer oleh Asep Dawud Kosasih yang
mengkaji pemikiran Buya Hamka tentang tasawuf modern. Selain itu,
dalam edisi ini juga disajikan pemikiran filsafat yang ditulis oleh
Khusnul Khotimah tentang filsafat profetik menurut Seyyed Hossein
Nasr, kemudian juga dilengkapi dengan bahasan tentang pendidikan
Islam oleh Abdul Majid tentang sketsa masa awal pendidikan Islam,
kemudian bahasan tentang kajian Al-Qur’am dan tafsir oleh Abdul
Wahab Saleem tentang sihir ayat poligami dan artikel tentang ayat
Makkiyah – Madaniyyah dalam Al-Qur’an oleh Wahyudi Ja’far.
Akhirnya redaktur berharap, semoga terbitnya “Manarul Qur’an”
edisi ini akan turut serta mewarnai dan meramaikan belantara
pemikiran dan kajian keislaman di Indonesia. Sebelum diakhiri,
disampaikan kepada pembaca bahwa “Manarul Qur’an” akan terbit
empat kali dalam satu tahun, dan untuk diketahui pembaca sekalian
bahwa tema “Manarul Qur’an” edisi mendatang adalah “Islam Lokal.”
Kami mengundang pembaca sekalian untuk berpartisipasi dalam tema
ini.
Salam
Redaktur
iv
Nomor: 09 Tahun VII, Januari – Maret 2012 ISSN: 1412-7075
Daftar Isi
TEOLOGI MULTIKULTURAL
Upaya Membumikan Dimensi Transendental
Di tengah Keragaman Suku, Budaya Dan Agama
Nurul Mubin, M.S.I. ........................................................................ 89
v
vi
AYAT MAKKIAH-MADANIAH
DALAM AL-QUR‘AN
Wahyudi Ja‘far, S.Ag
Penulis adalah alumni Program Pendidikan Kader Ulama (PPKU) Ulumul
Qur’an dan Tafsir, Magister Studi Islam, UNSIQ Wonosobo
Abstraksi:
Persoalan Makki-Madani dalam ulumul Qur‘an termasuk persoalan
yang sangat penting. Urgensi permasalahan tersebut terlihat dalam
kitab-kitab tafsir dan ulumul Qur‘an hampir semuanya, kalau bukan
semua, menjadikan salah satu pembahasan utama bahkan paling awal
dibahas setelah pengertian al-Qur‘an. Meski pembahasannya sangat
sederhana, tidak sekompleks dengan tema-tema ilmu-ilmu al-Qur‘an
yang lain, tapi sebenarnya ia sangat urgen untuk diketahui. Karena
dengan mengetahuinya, seorang mufassir atau orang yang mengkaji
al-Qur‘an akan mendapat petunjuk dengan kemampuan memetakan ayat
naskh-mansukh. Karenanya, wawasan Makki-Madani menjadi dasar atau
starting poin menuju pembahasan nasikh-mansukh, tanpa mengetahui-
nya maka persoalan nasikh-mansukh juga akan kabur. Hal ini menjadi
salah satu alasan kenapa ia menjadi tema yang didahulukan daripada
tema-tema yang lain.
Pendahuluan
Persoalan Makki dan Madani menarik untuk dikaji karena tidak
adanya riwayat langsung dari Rasulullah Saw., melainkan para ulama
hanya bersandar pada riwayat sahabat dan tabi‘in tentang klasifikasi
ayat Makki-Madani. Bahkan tidak jarang ulama hanya bersandarkan
pada ijtihadi dalam pengklasifikasian. Namun, tidak berarti bahwa
persoalan itu semuanya ijtihadi. Cukup menjadi pegangan dari riwayat
sahabat yang melihat langsung cara penurunan wahyu.
1
Di samping itu, semakin menjadi penting untuk dicermati
persoalan ini setelah munculnya tuduhan-tuduhan orientalis terkait
dengan ayat Makki-Madani sebagai indikasi bahwa al-Qur‘an
terpengaruh oleh budaya dan lingkungan, yang pada akhirnya akan
mengatakan bahwa al-Qur‘an adalah non-ilahi. Persoalan-persoalan
tersebut, dalam makalah sederhana ini akan dibahas secara sederhana
pula dengan mencoba melakukan pendekatan deskriftif-analisis,
dengan harapan bahwa melalui tulisan ini menjadi pengantar sekaligus
gambaran umum tentang Makki-Madani.
Teori Makki-Madani
Abul Qasim al-Hasan bin Muhammad bin Habib an-Naisabuuri
dalam bukunya at-Tanbih al fadli Ulumil Qur‘an bahwa “Diantara
ilmu-ilmu yang paling mulia adalah ilmu tentang nuzulul qur‘an dan
daerahnya, urutan turunnya di Mekkah dan di Madinah, tentang yang
diturunkan di Mekkah tetapi hukumnya madani dan sebaliknya, dan
tentang yang diturunkan di Juhfah, di Baitul Makdis, Taif, atau
Hudaibiyah, di waktu siang, diturunkan secara bersama-sama, atau
diturunkan secara sendiri-sendiri, ayat-ayat madaniah dari surah-surah
al-Makkiah, ayat-ayat Makkiah dalam surah Madaniah; yang dibawa
dari Mekkah ke Madinah dan yang dibawa dari Madinah ke Mekkah;
yang dibawa dari Madinah ke Abesinia, yang diturunkan secara glo-
bal dan yang telah dijelaskan, serta yang diperselisihkan sehingga
sebagian orang mengatakan Madani dan sebagian mengatakan Makki.
Itu semua ada duapuluh lima macam. Orang yang tidak mengetahui-
nya dan tak dapat membeda-bedakannya, ia tidak berhak berbicara
tentang Qur‘an”1.
Statement di atas menunjukkan pentingnya mengetahui ayat
Makki dan Madani sebagai salah satu alat yang membantu dalam
memahami maksud ayat tertentu. Tidak mengherankan kemudian jika
pembahasan tersebut menjadi pembahasan yang didahulukan daripada
pembahasan ilmu-ilmu al-Qur’an yang lain. Dengan demikian, An-
Naisaburi di atas secara tegas mengatakan bahwa seseorang tidak
berhak berbicara al-Qur‘an kecuali telah mengetahui persoalan Makki-
Madani. Kemudian Manna Al-Kattan merinci poin per poin
1
Jalaluddin As-Suyuti: al-itqan fi ulum al-qur‘an, tahqiq oleh Markaz ad-dirasat al-Qur‘aniyah,
juz. I tnp. thn. hal. 43-44.
2
Wahyudi Ja’far, S.Ag - Ayat Makkah-Madaniah dalam Al-Qur’an
3
Sedangkan konsekuensi pendapat ke dua yang melihat dari segi
zaman turunnya sebuah ayat; makkiah adalah yang turun sebelum
hijrah sedangkan Madaniah adalah yang turun sesudah hijrah, yaitu
ayat-ayat yang diturunkan kepada Rasulullah Saw. ketika masih diper-
jalanan, meski telah keluar di Mekkah, tapi belum masuk Madinah
maka dianggap sebagai Makkiah. Seperti (QS. al-Qashash: 85)
“sesungguhnya yang mewajibkan atasmu al-Qur`an, benar-benar akan
mengembalikan kamu ke tempat kembali…” Beda halnya dengan poin ke
tiga yang melihat dari segi isi. Dimana sebuah ayat apakah Makki
atau Madani dilihat dari kontennya, jika berbicara tentang orang kafir
maka ia Makki, sedangkan jika membahas orang beriman maka ia
adalah Madani. Hal itu sesuai dengan riwayat Abdullah bin Mas`ud
bahwa setiap surah yang didalamnya terdapat kata-kata ’wahai
Manusia’ adalah Makkiah. Setiap surah yang di dalamnya terdapat
’hai orang-orang beriman’ adalah Madaniah5.
Namun, tolak ukur di atas jika berdiri sendiri tidak bisa menjadi
sebagai tolak ukur universal karena misalnya, dalam surah Madaniah
seperti al-Baqarah juga terdapat kata-kata “Wahai manusia...” Sehing-
ga ketiga tolak ukur di atas harus digabungkan dengan ditambah lagi
dengan dua metode lainnya sebagaimana yang dikatakan oleh Al-
Allamah Burhanuddin Ibrahim bin Umar bin Ibrahim Ju`bari6 yaitu
cara sama`i dan Qiyasi. Hal itu senada dengan ulasan Manna Al-
Qattan yang mengatakan bahwa ada dua sandaran dalam mendeteksi
satu ayat, apakah Makkiah atau Madaniah? yaitu; sima`inaqli (pen-
dengaran seperti apa adanya dan Qiyasi ijtihadi (kias hasil ijtihad)7.
Menurutnya bahwa cara pertama ini yang mendominasi dalam kitab-
kitab asbabul nuzul. Metode ini juga bersandar pada riwayat sahih
dari para sahabat yang menyaksikan langsung bagaimana dan dimana
ayat turun, serta para tabi`in yang menerima langsung dari sahabat.
Sedangkan cara qiyas ijtihadi adalah cara yang bersandar pada ijtihad
bukan pada riwayat. Cara ini hanya melihat sifat sebuah ayat. Apabila
dalam surah al-Makkiah ada sebuah ayat yang sifatnya Madani maka
5
Lihat Az-Zarkasyi hal. 187.
6
M. Hadi Ma‘rifat, Sejarah Al-Qur‘an, ter. dariTarikh Al-Qur‘an olehThohaMusawa, (Jakarta,
Al-Huda, cet. I, 2007), hal. 68-70.
7
Manna al-Qattan, Op.cit. 82.
4
Wahyudi Ja’far, S.Ag - Ayat Makkah-Madaniah dalam Al-Qur’an
ayat itu Madani, dan apabila dalam surah Madinah terdapat ayat yang
sifatnya Makkiah maka ia ayat Makkiah.
Kriteria-kriteria di atas hanyalah ciri-ciri umum, belum final.
Mengabsolutkan satu kriteria Makki-Madani menurut Nasr Hamid
Abu Zaid akan menyusahkan kita, meski secara pribadi dia mendu-
kung pendapat mayoritas tentang Makki-Madani; yaitu ditinjau dari
segi waktu hijrah, ayat yang turun sebelum Hijrah maka ia Makki,
dan Madani adalah yang turun setelahnya, baik turun di Makkah
ataupun di Madinah, pada tahun penaklukan (Makkah) atau haji wada,
atau dalam perjalan8. Karenanya, kriteria klasifikasi seharusnya dida-
sarkan pada realitas, pada satu sisi, dan pada teks pada sisi lain. Karena
teks bergerak bersama realitas yang pada akhirnya mempengaruhi isi
dan strukturnya. Hal ini sesuai dengan realitas dalam al-Qur‘an bahwa
ayat Makki struktur ayatnya pendek-pendek dan dengan penuh i‘jaz
dan balaghat tinggi, karena pada saat itu ia berkomunikasi dengan
orang Makki yaang secara watak terkenal keras kepala, dan mahil
dalam balaghat. Ayat yang pendek dengan penuh i‘jaz karena karena
sebagai tahaddi pada penyair-penyair orang Musyrik sehingga ayat-
ayat Makki juga biasanya dimulai dengan huruf muqata‘ah. Masih
menurut Nasr Hamid, pada fase indzar yaitu Makki, ayat al-Qur‘an
benar-benar memakai metode dakwah yang melihat objek yang
didakwahi. Kebanyakan ayat Makki menggunakan kata-kata persuasif,
sedangkan pada Fase Risalah atau Madani ayat al-Qur‘an cenderung
panjang-panjang karena memang objek dakwahnya berbeda dan lebih
pada transformasi informasi dan lebih banyak terkait dengan hukum
Islam syariah islamiah daripada persoalan akidah9.
5
Qur‘an terpengaruhi oleh lingkungan atau budaya dengan al-Qur‘an
dalam berdakwah melihat objek dakwahnya. Dalam bahwa dakwah,
yukhatibun nasa bi qadri ‘ukulihim. Siapa pun ingin mengubah lingkung-
an maka pertama kali harus lebih dahulu memperhatikan fenomena
yang terjadi dalam lingkungan. Dengan demikian ia dengan mudah
berbicara sesuai dengan akal mereka, dan pada akhirnya dakwahnya
akan mudah diterima. Tidak berlawanan dengan kultur yang sudah
mendarah daging. Untuk lebih jelasnya saya akan mengutip langsung
keraguan dan tuduhan Orientalis terkait dengan al-Quran non-Ilahi:
yaitu bahwa metode yang digunakan surah-surah Makkiah adalah
kekerasan, tekanan dan cibiran. Sedangkan surah Madaniah adalah
lemah lembut. Dua karakter yang belawanan ini menjadikan al-
Qur‘an, menurut mereka, terpengaruhi oleh peristiwa-peristiwa, dan
ketidakindependenan al-Qur‘an.
Hadi Ma‘rifah dan Muhammad Husain Ad-Zhahabi telah menja-
wab tuduhan ini dengan membuktikan bahwa sebenarnya ciri ancam-
an dan kata yang keras dalam al-Qur‘an tidak hanya dikhususkan
pada surah-surah Makkiah. Metode tekanan, kekerasan juga terdapat
dalam surah Madaniah. Menurutnya, siapa pun yang keras kepala
maka al-Qur‘an menggunakan dengan nada ancaman yang keras, baik
itu dalam surah Makkiah ataupun Madaniah. Hal itu terlihat dalam
al-Qur‘an surah al-Baqarah yang Madaniah “Orang-orang yang makan
riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
setan lantaran tekanan penyakit gila (al-Baqarah: 275). Kerasnya nada-
nada ayat di atas dalam rangka menyikapi orang-orang munafik dan
para ahli kitab yang keras kepala. Bahkan menurutnya, surah al-
Baqarah ayat yang termasuk turun terakhir di Madinah disinyalir
sebagai surah yang paling keras nadanya.
Disisi lain, banyak sekali surah-surah Makkiah yang lemah
lembut. Seperti surah Az-Zumar Ayat 53 “Wahai hamba-hambaku yang
telah berlebih-lebihan (berbuat dzalim) kepada dirinya sendiri, janganlah
kalian semua berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah meng-
ampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun
lagi Maha Pengasih”. Ayat Makkiah tersebut nadanya sangat lembut
meski termasuk ayat Makkiah. Dengan indikasi tersebut, Hadi
Ma`rifah menyimpulkan bahwa al-Qur`an tidak terpengaruhi oleh
lingkungan dan dependen dari peristiwa11. Selain itu, kenyataan di
6
Wahyudi Ja’far, S.Ag - Ayat Makkah-Madaniah dalam Al-Qur’an
11
Hadi Ma‘rifah, Op.Cit., Sejarah al-Qur‘an, hlm. 72-74.
12
Dr. Mushtafa Diib Al-Bagha, al-Waadih fi Ulum al-Qur‘an, (Dimaski, Dar. Ulumal `Insaniah,
cet. II, 1998), hlm. 65. Lihat As-Suyuti, Al-Itqan, Op.Cit. hlm. 27
13
Manna Al-Qattan, Op.cit., hlm. 82
7
6. Setiap Surah yang yang dibuka dengan huruf singkatan seperti:
Alif Lam Mim, Alif Lam Ra, Ha Mim dan lain-lain adalah Makki
kecuali Surah Baqarah dan Ali ‘Imran. Sedang Surah Ra’d masih
diperselisihkan.
Ini adalah dari segi ketentuan, sedang dari segi tema dan gaya
bahasa dapat diringkas sebagai berikut:
1. Ajakan kepada ketauhidan dan ibadah hanya kepada Allah, pem-
buktian risalah, kebangkitan dan pembalasan, neraka, surga.
2. Peletakan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan akhlak
mulia dan terbentuknya suatu masyarakat.
3. Menyebutkan kisah para nabi dan umat terdahulu.
4. Suku katanya pendek-pendek disertai kata-kata yang mengesankan
sekali.
CirikhasMadaniyah:
1. Setiap surah yang berisi kewajiban atau had (sanksi) adalah Madani.
2. Setiap surah yang didalamnya disebutkan orang-orang munafik
adalah Madani, kecuali surah al-Angkabut adalah Makki.
3. Setiap surah yang didalamnya terdapat dialog dengan ahli Kitab
adalah madani.
Ini adalah dari segi ketentuan; sedang dari segi tema dan gaya
bahasa dapat disingkat sebagai berikut:
1. Menjelaskan ibadah, muamalah, kekeluargaan, warisan, jihad,
hubungan sosial, hubungan internasional, baik di waktu damai
maupun perang, kaidah hukum dan perundang-undangan.
2. Seruan terhadap Ahli Kitab, dari kalangan Yahudi dan Nasrani,
ajakan masuk Islam, penjelasan terhadap penyimpangan mereka
terhadap kitab-kitab Allah.
3. Menyingkap perilaku orang munafik.
4. Suku kata dan ayat-ayatnya panjang-panjang dengan gaya bahasa
yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan sasaran-
nya14.
14
Manna Al-Qattan, Op.Cit., hlm. 86-88.
8
Wahyudi Ja’far, S.Ag - Ayat Makkah-Madaniah dalam Al-Qur’an
FaedahMengetahuiMakki-Madani
Mempelajari dan mengetahui ilmu mengenai Makki dan Madani
dapat memberi faedah yang besar, antaranya:
1. Sebagai alat bantu penafsiran al-Qur’an, sebab pengetahuan ten-
tang tempat turunnya ayat dapat membantu memahami ayat
tersebut dan penafsirannya yang benar, sekalipun yang menjadi
pegangan adalah pengertian umum lafaz, bukan sebab yang khusus.
Dan dengan itu pula para penafsir dapat membedakan antara ayat
yang nasikh dan mansukh bila ada ayat yang kontradiktif. dengan
pastinya, bahwa ayat Makkiah dihapus oleh ayat Madaniah yang
turun belakangan.
2. Dengan gaya bahasa Qur’an yang memiliki karakteristik gaya
bahasa Makki dan Madani sangat tepat memanfaatkannya untuk
menyeru menuju jalan Allah.
3. Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat Qur’an, sebab
turunnya wahyu kepada Rasulullah sejalan dengan sejarah da’wah,
baik priode Mekah maupun priode Medinah15.
15
Manna Al-Qattan, Op.Cit., hlm. 81-82
9
Syariat Islam menjadi akomodatif dan fleksibel menghadapi masalah-
masalah yang muncul16.
Kesimpulan
Dari kajian yang sederhana kiranya kita bisa mengambil beberapa
intisari atau beberapa kesimpulan. Kesimpulan ini sesungguhnya
hanya sebagai hasil pembacaan penulis dalam kajian sederhana.
Diantara kesimpulan itu adalah konsep makki dan madani adalah
sebuah kajian yang masih perlu dikaji dan didiskusikan di zaman
sekarang bagaimana pun juga dia ini adalah bagian dari prasyarat
pembelajaran atau studi tafsir dan kajian hukum Islam. Betapa tidak
ketika seorang mujtahid atau mufasir ketika menetapkan suatu ijtihad
maka telaah akan konsep makki dan madani adalah sebuah pertim-
bangan yang signifikan.
Disamping itu pula diskusi tentang perbedaan perspektif para
ulama tentang makki dan madani suatu hal yang sangat wajar dalam
dunia akademik dan intelektual, pandangan para orinetalis tentang
maki dan madani tentang keterpengaruhan budaya Arab memang
secara metodologi sangat akurat untuk dipertimbangkan, tapi lagi-
lagi dalam kajian seperti ini memang perlu adanya usaha yang besar
dalam mengungkap kembali validitas data.
Daftar Pustaka
Al-Bagha, Mushtafa Diib, al-Waadih fi Ulum al-Qur‘an, (Dimaski, Dar.
Ulum alInsaniah, cet. II,1998)
Adz-Zahabi, Muhammad Husain, buhuts fi Ulum at-Tafsir, wal- fiqh,
wad a‘wah, (Kairo, Dar. Hadist, cet. I, 2005)
Abu Zaid, Nast Hamid, Tekstualitas Al-Qur‘an; Kritik Terhadap Ulumul
Qur‘an, terj. Mafhumum An-Nash Dirasah fi Ulum Al-
Qur‘an oleh Khoirun Nahdliyin, (Yogyakarta, cet. IV, LKiS,
2005)
16
Agus Muh. Najib, Evolusi Syariah, Ihktiar Mahmoud Moehamed Taha Bagi Pembentukan
Hukum Islam Kontemporer (Yogyakarta, Nawesea, cet. I, 2007), hlm.5-6.
10
Wahyudi Ja’far, S.Ag - Ayat Makkah-Madaniah dalam Al-Qur’an
11
12
SIHIR AYAT POLIGAMI
Abdul Wahab Saleem
Penulis adalah alumni Program Pendidikan Kader Ulama (PPKU) Ulumul
Qur’an dan Tafsir, Magister Studi Islam, UNSIQ Wonosobo
Abstraksi:
Masalah poligami sampai saat ini masih saja menjadi masalah yang
sangat “urgen” untuk dibahas dan dikaji, dan itu semua tidak lepas
karena adanya pro-kontra dan saling klaim atas duduk perkaranya, ada
sebagian yang lebih menganalisa dari ranah dalil al-Qur’an, ada yang
lebih tertarik mengkajinya dari ranah realitas sosial, politik atau bahkan
budaya.
Tulisan yang sangat sederhana ini hanya akan mengurai sedikit
duduk perkara dan elastisitas pemahaman penafsiran tentang poligami
sehingga tidak terjebak pada nuansa hitam-putih ketetapan undang-
undang maupun penetapan hukum serta terbebas dari kubangan
pemahaman yang hanya satu perspektif.
A. Pendahuluan:
Pada prinsipnya bahwa Tuhan tidak akan meleset ketika memba-
tasi poligami –hanya- sampai empat wanita, karena banyak data
statistik yang menunjukkan bahwasanya terdapat keterpautan jumlah
antara laki-laki dan perempuan usia kawin –meskipun masalah keter-
pautan ini masih juga diperdebatkan-. Tentunya banyak alasan lain
yang menjadikan praktik poligami ini tidak dihapus oleh Islam.
Berikut ini penulis akan memaparkan analisis yang sederhana
tentang hal tersebut agar dari beberapa pemetaan pemahaman yang
tercantum dalam tulisan sederhana ini menjadikan kita menjadi lebih
bijak dalam menanggapi hal-hal yang menyangkut masalah praktik
13
poligami sekaligus diharapkan poligami dijadikan sebagai salah satu
solusi alternatif dari berbagai problem sosial bukan malah keberadaan
poligami menjadi masalah sosial baru karena pemahaman akan poli-
gami dan segala dimensinya yang kurang komprehensif.
1
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
2
Abraham Silo Wilar, Poligini Nabi; Kajian Kritis-Teologis Terhadap Pemikiran Ali Syari’ati dan
Fatimah Mernissi (Yogjakarta: Pustaka Rihlah, 2006), 3
14
Abdul Wahab Saleem - Sihir Ayat Poligami
b. Sekilas sejarah
Poligami sebenarnya sama sekali bukan realitas baru dalam
sejarah peradaban, sebagai contoh sederhana bahwa kita sampai
saat ini masih lekat dengan riwayat yang diterangkan dalam kitab
taurat bahwa nabi Sulaiman memiliki 1000 orang istri, 700 orang
istri dari golongan merdeka dan 300 orang dari golongan budak,
begitu juga dengan nabi Daud yang memiliki 100 istri3. Peraturan
perkawinan model poligami juga telah jauh dikenal sebelum Islam
baik yang terjadi di kalangan masyarakat yang berperadaban tinggi
maupun rendah,4 dalam hal ini seorang laki-laki diperbolehkan
(tentu oleh budaya dan kepercayaan mereka) mengawini lebih dari
seorang wanita, taruhlah misalnya di Cina dimana seorang laki-
laki berhak mengawini seorang atau beberapa orang wanita jika
istri yang pertama ternyata mandul dan tidak bisa memberinya
keturunan, tetapi dalam kasus ini istri pertama menjadi ratu dari
istri-istri yang lain. Kemudian di India dimana praktik poligami
biasanya terjadi di kalangan kerajaan dan konglomerat, dalam kasus
ini biasanya motifnya adalah karena istri yang pertama mandul atau
emosional. Ada juga yang terjadi pada masyarakat Mesir kuno –
dan ini yang menarik- dimana poligami dianggap hal yang wajar
asalkan calon suami mau berjanji akan membayar uang yang
banyak kepada istri pertama apabila nanti suami menginginkan
untuk menikah lagi. Bahkan bangsa Timur kuno seperti Siria,
Babylonia dan Madyan memiliki anggapan bahwa praktik poligami
merupakan hal yang suci karena raja-raja mereka yang nota-bene-
nya adalah orang suci juga melakukan poligami. Praktik poligami
juga terjadi pada masyarakat Arab pra-Islam5 dimana seorang laki-
3
Dr. Muhammad al-Habsy, Al mar’ah baina al-syari’ah wa-al-hilah, hlm. 111
4
Dr. Musfir Husain al-Jahrani, Poligami dari berbagai Persepsi, Terj. Muh. Suten Ritonga, (Jakarta,
Gema Insani Press, 2002) hlm. 34-35
5
Ibid, hlm. 36, Perlu dicatat juga bahwa ada beberapa bentuk perkawinan yang terjadi pada
masyarakat Arab pra Islam seperti perkawinan istibdha’ (di sini seorang suami meminta
istrinya melayani seseorang yang terkenal dengan kemuliaan, keberanian, dan kecerdasannya.
Selama itu suami tidak menggauli istrinya untuk beberapa saat sampai jelas kehamilannya,
tujuannya adalah agar mendapatkan anak yang memiliki sifat seperti sifat yang dimiliki oleh
lelaki yang menggauli istrinya tadi). Perkawinan ar-Rahtun (beberapa orang menggauli seorang
wanita yang mereka kehendaki dan setelah wanita itu hamil dan melahirkan anak laki-laki
maka wanita tadi memanggil semua lelaki yang telah menggaulinya tadi untuk berkumpul di
rumahnya, dan tidak ada yang boleh absen, setelah semuanya hadir maka si wanita tadi
menunjuk salah satu dari mereka untuk menjadi bapak biologis dari si anak dan siapa yang
15
laki berhak menikahi sejumlah wanita yang dikehendaki tanpa ikat-
an maupun syarat apapun, sebagaimana yang ada dalam riwayat
bahwa Ghilan bin Salamah ats-tsaqafi sebelum masuk Islam dia
memiliki 10 orang istri, Naufal bin Mu’awiyah memiliki 5 orang
istri, begitu juga dengan Tsabit bin Qais yang sebelum masuk Is-
lam memiliki 8 orang istri, kenyataan semacam ini memang sudah
lama terbangun dalam sejarah peradaban manusia terutama dalam
masyarakat yang berbudaya dan berperadaban tinggi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa praktik poligami
secara umum telah dikenal pada berbagai bangsa sebelum Islam
tanpa batasan maupun ikatan, bahkan bagi pemeluk agama Nasrani
khususnya, praktik poligami ini bahkan diakui gereja hingga abad
ke-16 Masehi6. Sampai saat ini praktik poligami dengan segala ma-
cam dimensinya masih tetap ada dalam berbagai bangsa dan masya-
rakat tak terkecuali pada masyarakat muslim yang justru menang-
gapi praktik poligami ini dengan pandangan yang sangat beragam
karena adanya semacam keterpengaruhan besar terhadap ayat-ayat
yang oleh sebagian orang atau bahkan ulama dianggap sebagai pele-
gitimasi praktik poligami meskipun sebagian yang lain menolak
pendapat itu.
tertunjuk tidak bisa mengelak). Perkawinan al-Maqtu’ (seorang laki-laki mengawini istri
bapak kandungnya setelah bapak kandungnya itu meninggal dunia). Perkawinan Badal (seorang
suami tukar-menukar istri mereka tanpa bercerai terlebih dahulu). Perkawinan Syighar (seorang
mengawinkan anak perempuan atau saudara perempuannya kepada seseorang tanpa membayar
mahar). Perkawinan Khadan (seorang laki-laki bergaul dengan seorang wanita layaknya suami
istri dan kumpul dalam satu rumah tanpa ada ikatan perkawinan atau kumpul kebo). Perkawin-
an Baghaya (sekelompok laki-laki menggauli seorang wanita yang tuna susila setelah wanita
tadi hamil dan melahirkan anak maka wanita tadi menisbatkan anaknya pada laki-laki yang
lebih mirip wajahnya). Tentang bentuk-bentuk perkawinan semacam ini juga diterangkan
dalam shohih bukhori sebagaimana riwayat Aisyah Ummul Mukminin (lihat misalnya Quraish
Shihab, Wawasan al-Qur’an, hlm. 193).
6
Ibid, hlm 35
16
Abdul Wahab Saleem - Sihir Ayat Poligami
Artinya; Apabila kamu takut untuk tidak dapat berlaku adil terhadap
perempuan yatim (yang kamu kawini) maka kawinilah perempuan-perempuan
(lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Dan kemudian jika kamu
takut untuk tidak dapat berlaku adil maka kawinilah seorang saja, atau budak-
budakmu, yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berlaku aniaya.
Tentang Jumlah
Yang hampir menjadi kesepakatan diantara para ulama tentang
berapa jumlah istri dalam praktik poligami adalah empat orang, tetapi
paling tidak menurut DR. Musfir al-Jahrani ada tiga pendapat7 yang
berbeda tentang penafsiran ayat di atas yang berkaitan dengan masalah
jumlah. Yaitu;
Kelompok pertama yang menafsirkan bahwa keberadaan huruf
“wawu” pada lafaz matsna, watsulatsa, waruba’a adalah “wawu jama’”
yang berarti deret atau tambah dari 2 + 3 + 4 = 9.
7
Ibid, hlm.53-54. akan tetapi keterangan tentang tiga pendapat ini merupakan pendapat atau
penafsiran lain selain yang sudah menjadi ijma’ bagi mayoritas ulama yag menyatakan bahwa
batas maksimal jumlah istri yang diperbolehkan dalam praktik poligami adalah empat orang,
dan beliau sendiri memilih pendapat jumhurul ulama ini dengan mengatakan bahwa tiga
pendapat yang telah diterangkan itu merupakan pendapat yang keliru, beliau juga mengatakan
bahwa keberadaan huruf “wawu”dalam kalimat matsna, atsulatsa, waruba’a adalah berfungsi
littakhyir (memilih) dan bukan wawu jama’.
17
Kelompok kedua yang menafsirkan ayat yang sama dengan boleh-
nya laki-laki menikahi wanita sebanyak delapan belas orang dengan
alasan bahwa lafaz mufrad yang diulang-ulang dengan huruf “wawu”
di antara kalimat matsna, watsulatsa, waruba’a adalah deret tambah
dari 2 + 2 + 3 + 3 + 4 + 4 = 18.
Kelompok ketiga yang menafsirkan ayat yang sama dengan boleh-
nya laki-laki untuk memadu istri dalam jumlah yang tak terbatas
(berapa saja), mereka beralasan;
1. Ungkapan “ma thaba lakum minannisa’i…” yang biasa diartikan
“wanita-wanita (lain) yang kamu senangi…” adalah mencakup
makna yang umum, sedangkan kalimat “matsna, watsulatsa,
waruba’a..” merupakan kalimat hitungan yang diulang-ulang tanpa
kesudahan. Jadi cakupannya sangat umum dan tidak menunjukkan
tentang batasan jumlah.
2. Sama juga seperti “milkul yamin” (budak) yang juga tidak dibatasi
jumlah.
3. Ternyata hadits Nabi yang menerangkan mengenai batasan jumlah
ini merupakan hadits ahad (riwayat perseorangan) dimana hadits
ahad tidak bisa digunakan untuk menasakh ayat al-Qur’an.
8
M.Quraish Shihab,Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, (Mizan,
Bandung, 2001), hlm 199-200
9
Ibnu Abi Hatim Al-Razi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, hlm.859
10
Tafsir Imam as-Syafi’I Jilid 2, hlm. 514-518
11
Abdul Mustaqim, Konsep Poligami Menurut Muhammad Syahrur,dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-
Qur’an dan Hadits, vol. 8, no. 1. Januari 2007, hlm 53-54
19
menyimpulkan karena jumlah laki-laki dan perempuan adalah 1 ban-
ding 4. Yang lainnya berpendapat karena kalangan laki-laki mencoba
menghimpun berbagai jenis wanita, ada yang tinggi, pendek, kurus,
atau gemuk dalam soal bentuk tubuh. Ada yang memahami dari jenis
kulit wanita yaitu ada yang putih, pirang, hitam manis, atau kuning
langsat. Ada juga yang ingin menghimpun wanita yang beragama
kuat, berparas cantik, memiliki banyak harta, dan yang memiliki ketu-
runan bangsawan (sebagaimana yang diserukan dalam memilih istri).
Sampai-sampai ada yang memahami bahwa masalah jumlah empat
itu sesuai dengan siklus bulanan wanita yang memiliki kebiasaan haid.
Tetapi apapun yang terjadi dengan alasan-alasan di atas, toh semua
itu hanyalah merupakan pemahaman ijtihadiyyah yang bisa benar dan
bisa juga salah. Hanya Allahlah yang maha Tahu.
Bagaimanapun bentuk penafsiran tentang jumlah yang telah
ditawarkan di atas ternyata memang tidak ada satupun yang secara
tegas melarang poligami kecuali hanya pesan moral yang diselipkan
sebagai motivasi bahwa monogamy adalah menempati posisi yang
lebih aman.
Tentang Adil
Masalah keadilan yang secara eksplisit dipahami sebagai syarat
“diperbolehkannya” poligami juga menjadi perdebatan pemahaman
tersendiri, hal ini memang terkait erat dengan pernyataan “wa in
khiftum an laa ta’diluu fawahidatan aw maa malakat aimanukum…” (jika
kamu takut tidak dapat berlaku adil maka kawinilah seorang saja atau
budak yang kamu miliki…), sehingga pertanyaan yang sering muncul
adalah bentuk keadilam yang seperti apa yang diharapkan dalam
masalah ini?
Ada sebagian yang memahami bahwa maksud adil terhadap istri
adalah sekadar apa yang dapat dilakukan seseorang untuk berlaku
adil, misalnya dalam hal membagi waktu, nafkah, pakaian, dan tempat
tinggal. Adapun yang tidak dapat dilakukan oleh seseorang seperti
melebihkan cintanya kepada salah seorang istri maka tidak termasuk
dosa.12
12
H.S.A Al-hamdani, Risalah Nikah, terj. Agus Salim (Jakarta; Pustaka Amani, 2002) hlm. 38
20
Abdul Wahab Saleem - Sihir Ayat Poligami
13
M. Quraish Shihab, Op.Cit. hlm. 201
21
paling berhasrat melaksanakan keadilan terhadap istri-istrinya- saja
lebih mencintai Aisyah dibanding istri-istri yang lain.14
Jadi, seberapa ragamnya penafsiran tentang adil di sini, tetapi
muaranya tetap pada nilai moral yang tersembunyi dibalik konteks
ayat itu, yaitu monogamy lebih aman dan poligami berposisi sebagai
solusi alternatif bagi pemecahan problem sosial dan keberadaannya
bukan malah menimbulkan problem baru.
14
Dr. Musfir al-Jahrani, Op.Cit, hlm. 58-59. Di sana juga dijelaskan bahwa Rasulullah saw
pernah berdoa mohon “pengertian” dari Allah karena kecenderungan beliau lebih mencintai
Aisyah di banding istri-itri yang lain (Ya Allah inilah bagianku yang mampu aku laksanakan,
janganlah mencelaku tentang yang Engkau miliki tapi tidak aku miliki [keadilan bercinta]).
Lihat juga misalnya H.S.A. Al-Hamdani, Risalah Nikah, 39
15
Murtadha Muthahhari, Duduk Perkara Poligami,terj. M. Hashem (Jakarta; PT Serambi Ilmu
Semesta, 2007), Hlm. 17-27
22
Abdul Wahab Saleem - Sihir Ayat Poligami
23
banyak juga laki-laki duda yang terlantar di mana-mana, sehingga
alasan apapun yang menjadi argumentasi pembolehan poligami untuk
laki-laki toh bisa diterapkan juga pada wanita, kenapa laki-laki boleh
melakukan poligami tetapi wanita tidak diperbolehkan poliandri?
Begitu juga mereka yang menganalisa bahwa poligami merupakan
suatu solusi alternatif untuk memecahkan problem sosial mereka akan
mengatakan bahwa dalam kondisi tertentu maka praktik poligami akan
menjadi hal yang wajib begitu pula dalam kondisi tertentu poligami
akan menjadi hal yang haram. Dan masih banyak lagi aneka pemaham-
an tentang dinamika praktik poligami ini disertai berbagai macam
argumentasi yang menguatkan atau bahkan melemahkan pemahaman
tersebut.
Sebagai misal, Fatimah Mernissi16 memahami bahwa terdapat
keanehan yang kemudian perlu digarisbawahi dalam ayat yang selama
ini di pahami oleh banyak orang sebagai dalil yang melegalisasi praktik
poligami yaitu QS. An-nisa; 03, yaitu bahwa satu-satunya syarat yang
membatasi hak seorang laki-laki untuk melakukan praktik poligami
adalah adanya sebuah kekhawatiran untuk tidak dapat berbuat adil.
Dia mengatakan bahwa itu adalah merupakan sebuah perasaan yang
sangat subjektif dan sulit ditentukan secara hukum.17
Sebagai penentang praktik poligami, Fatimah berpendapat bahwa
al-Qur’an tidak menetapkan suatu justifikasi (pembenaran) terhadap
poligami dengan berdasar pada QS. An-nisa; 129. Dia juga memahami
bahwa poligami merupakan ajang pemuasan atau pemenuhan terha-
dap dorongan seksual laki-laki dan merupakan suatu cara untuk me-
rendahkan derajat dan martabat kaum wanita sebagaimana kalimat
yang ia sitir dari kata mutiara Maroko “Rendahkan martabat seorang
wanita dengan memasukkan wanita lain ke dalam rumah”.18
Merupakan sebuah kewajaran apabila Mernissi “memberontak”
praktik poligami dengan berbagai argumentasi yang sangat mendasar,
16
Fatimah Mernissi adalah tokoh feminis asal Maroko yang ahli dalam bidang politik dan
sosiologi, yang juga sangat produktif menulis beberapa karya tentang HAM, demokrasi
maupun posisi perempuan dan tafsir feminis baik berupa artikel maupun buku. (Lihat misalnya
Abraham Silo Wilar, Poligini… 84-96s)
17
Fatimah Mernissi, Beyond The Veil, Seks dan Kekuasaan. Terj. Masyhur Abadi (Surabaya; Al-fikr,
1997), hlm. 110
18
Ibid, hlm. 110-112
24
Abdul Wahab Saleem - Sihir Ayat Poligami
19
Abraham Silo Wilar, Op.Cit, hlm. 88
20
Fatimah Mernissi, Op.Cit, hlm 110
21
Ibid, hlm.113
22
Abraham, Op.Cit, hlm. 90
23
Ibid, hlm. 107
25
dan membutuhkan perkawinan, yang sejak dahulu, sekarang, dan
yang akan datang selalu ada dan poligami tidak diperkenankan maka
justru kaum wanita akan menjadi alat permainan yang paling rendah
dari kaum pria.24
Muthahhari membeberkan dan juga telah mengkaji secara jelas
alasan mengapa dia berpendapat seperti itu, terutama yang berkenaan
dengan perbandingan jumlah wanita dan pria usia kawin, mungkin
jumlah kelahiran antara pria dan wanita bisa sama atau bahkan lebih
banyak pria, akan tetapi dalam usia kawin selalu lebih banyak pria,
dan hal ini hampir terdapat diseluruh dunia.
Muthahhari mencontohkan berdasarkan data statistik yang dike-
luarkan oleh PBB bahwa jumlah total penduduk Korea adalah
26.277.635 yang terdiri atas 13.145.289 pria dan 13.132.346 wanita,
jadi di sini jumlah pria lebih banyak 12.943 melebihi jumlah wanita,
perbandingan ini secara seragam bertahan dalam usia 19 tahun ke
bawah, akan tetapi lain halnya dengan usia 20 sampai dengan 24
tahun, proporsinya berubah yaitu jumlah pria dalam kelompok ini
adalah 1.083.364 sedangkan jumlah wanita mencapai 1.110.051.
Begitu pula yang terjadi di Republik Soviet dan Negara-negara lainnya
bahkan di Amerika Serikat.25
Masih banyak lagi analisa yang dikemukakan oleh Murtadha
Muthahhari termasuk data yang didapatkannya dari surat kabar
“Etelaat” edisi Desember 195426 dalam sebuah artikel yang berjudul
“Dari Setiap Sepuluh Anak Inggris, Satu Anak Haram” seorang pejabat
kedokteran London yaitu Dr. ZA Scott melaporkan bahwa dari setiap
sepuluh anak yang lahir, satu diantaranya tidak sah, dan kondisi
semacam ini diprediksi akan semakin meningkat pada tahun-tahun
berikutnya.27
24
Murtadha Muthahhari, Op.Cit, hlm.150-154. Bahkan dia menjelaskan bahwa pria-pria mo-
dern yang menolak poligami ternyata lebih disebabkan karena mereka tidak suka formalitas,
yang berbentuk pernikahan, nafkah, mahar dan sebagainya. Akan tetapi mereka justru
melampiaskan nafsu serta cinta mereka dengan jalan perselingkuhan atau berganti-ganti
pasangan secara bebas tetapi di luar pernikahan sebagaimana yang dilakukan oleh Moise
Tshombe dan Bertrand Russel.
25
Ibid, hlm 72-78
26
Mohon maaf karena penulis belum dapat menyajikan data statistik yang paling terkini tentang
hal-hal yang berkaitan dengan perbandingan jumlah pria-wanita usia kawin maupun jumlah
anak haram yang terlahir. Baik di Indonesia maupun di Negara yang lain.
27
Ibid. hlm. 91-92
26
Abdul Wahab Saleem - Sihir Ayat Poligami
Penutup.
Poligami – atau lebih tepatnya poligini – dengan berbagai macam
persyaratan yang melingkupinya apabila dibandingkan dengan
perzinahan, pelecehan seksual, komunisme seksual dan penyimpang-
an-penyimpangan seksual yang lain merupakan hal yang paling bisa
dianggap solusi dan paling bisa ditoleransi keberadaannya. Sehingga
27
dalam satu kondisi poligami bisa dijadikan solusi alternatif, akan tetapi
dalam kondisi tertentu pula monogami adalah hal yang prinsip dalam
pernikahan. Dan pastinya kondisi ini menyangkut analisa dan kajian
baik yang bersifat sosiologis, psikhis, ekonomis, maupun politis.
Dengan demikian, elastisitas pemahaman ataupun elastisitas
tafsir poligami adalah sebuah keniscayaan. Sehingga tidak terjebak
dalam nuansa hitam-putih hukum atau tidak memandang suatu
masalah hanya dari satu perspektif.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mustaqim, Konsep Poligami Menurut Muhammad Syahrur, dalam
Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadits, vol. 8, no. 1.
Januari 2007
Abdur Rahman Ibn Muhammad ibn Idris al-Razi ibn Abi Hatim, Tafsir
al-Qur’an al-Azhim (Riyadh; Maktabah Nizar Musthafa al-
Baz, 1997)
Abraham Silo Wilar, POLIGINI NABI, Kajian Kritis-Teologis Terhadap
Pemikiran Ali Syari’ati dan Fatimah Mernissi (Yogjakarta:
Pustaka Rihlah, 2006)
DR.Ahmad ibn Musthafa al-Farran, Tafsir Imam as-Syafi’I Jilid 2
(Riyadh; Daar Tadammuriyyah, 2006)
Dr.Muhammad al-Habsy, Al mar’ah baina al-syari’ah wa-al-hilah
(Damaskus; Daar al- Tajdid, 2002)
Dr. Musfir Husain al-Jahrani, Poligami dari berbagai Persepsi, terj.
Muh.Suten Ritonga, (Jakarta, Gema Insani Press, 2002)
Fatimah Mernissi, Beyond The Veil, Seks dan Kekuasaan. terj. Masyhur
Abadi (Surabaya; Alfikr, 1997)
H.S.A Alhamdani, Risalah Nikah, terj. Agus Salim (Jakarta; Pustaka
Amani, 2002)
Murtadha Muthahhari, Duduk Perkara Poligami, terj. M. Hashem
(Jakarta; PT Serambi Ilmu Semesta, 2007),
M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat, (Mizan, Bandung, 2001)
28
SKETSA PENDIDIKAN ISLAM
MASA AWAL
Drs. Abdul Majid. M.Pd.
Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UNSIQ Wonosobo
Abstraksi:
Potret pendidikan Islam dari masa ke masa selalu menunjukkkan
dinamika yang unik, maju dalam banyak hal dan juga dinilai mundur
dalam beberapa hal. Di tengah berbagai problema yang dihadapi umat
manusia, pendidikan Islam selalu menjadi pusat perhatian, pusat
gugatan dan sekaligus pusat kajian, tidak hanya pada ranah paradigma,
nilai-nilai, konstribusi dan faktor kesejarahan.
Tulisan ini akan membahas tentang bagaimana gambaran awal
pendidikan Islam yang telah nyata berkonstribusi dalam menciptakan
peradaban besar berbagai bangsa di dunia. Tulisan ini secara spesifik
akan mengkaji tentang potret pendidikan Islam pada masa-masa awal.
A. Pendahuluan
Sejarah masa awal pendidikan Islam tidak dapat dipisahkan dengan
sejarah awal Islam lahir dan berkembang di tanah Arab. Dimana
kelahiran Islam saat itu secara sosiologis, bangsa Arab -khususnya
masyarakat Makkah- mengalami perkembangan ekonomi yang cukup
tinggi dengan hadirnya orang-orang non-jazirah Arab di Kota Mekkah
untuk berdagang menjual dan memasarkan hasil pertanian mereka.
Dengan adanya pasar yang cukup ramai tersebut, masyarakat Makkah
mendapatkan dinamika atau progres kehidupan yang luar biasa.
Sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Arab yang demikian,
Allah SWT memberikan wahyu kepada Rasulullah Muhammad SAW,
yang diabadikan dalam QS. Quraish (106): 1-2.
29
1. karena kebiasaan orang-orang Quraisy,
2. (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas1
B. Pembahasan
Kondisi masyarakat yang maju dalam bidang ekonomi dan kesu-
sastraan, pada masa awal kehadiran Islam, belum diimbangi dengan
kemajuan dalam bidang pendidikan. Hal ini dapat dilihat masih sedikit-
nya bangsa Arab yang memiliki kemampuan membaca dan menulis.
Bahkan mereka belum mengenal kertas, sebagai kertas yang dikenal
sekarang. Perkataan “al-waraq” (daun) yang lazim pula dipakaikan
dengan arti “kertas” di masa itu, hanyalah dipakaikan pada daun kayu
saja.3
Adapun kata “al-qirthas” yang daripadanya terambil kata-kata
Indonesia “kertas” dipakaikan oleh mereka hanyalah kepada benda-
benda (bahan-bahan) yang mereka pergunakan untuk ditulis, yaitu:
kulit binatang, batu yang tipis dan licin, pelepah tamar (korma), tulang-
1
Orang Quraisy biasa mengadakan perjalanan terutama untuk berdagang ke negeri Syam pada
musim panas dan ke negeri Yaman pada musim dingin. Dalam perjalanan itu mereka mendapat
jaminan keamanan dari penguasa-penguasa dari negeri-negeri yang dilaluinya. Ini adalah
suatu nikmat yang amat besar dari Tuhan mereka. Oleh karena itu sewajarnyalah mereka
menyembah Allah yang telah memberikan nikmat itu kepada mereka.
2
Syauqi Dhoif, Tarikh al-Adab al-Arabi al-Jahili, Mesir, Darul Ma’arif, t.t. 38.
3
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma’ Al-Malik Al-Fahd li Thiba’at Al-Mushhaf Asy-Syarif
Medinah Munawwarah, P.O. BOX 6262, Kerajaan Saudi Arabia, 1418 H., hal. 18.
30
Drs. Abdul Majid. M.Pd. - Sketsa Pendidikan Islam Masa Awal
4
Ibid, hal. 19.
31
meningkat dengan hadirnya Islam. Dikatakannya, pada tahap-tahap
awal setelah tersebarnya Islam, guru-guru pada lembaga-lembaga
pengajaran dasar (kuttab) terutama sekali adalah orang-orang non-
muslim, khususnya Yahudi dan Kristen. Namun setelah kedatangan
Islam, perubahan besar terjadi. Karena, di samping penguasaan kete-
rampilam membaca dan menulis bangsa Arab meningkat, Islam juga
pertama kalinya memberikan instrumen pendidikan tertentu yang
berbudayakan agama, yaitu al-Qur’an dan ajaran-ajaran Nabi.5
Kemudian, untuk membahas pendidikan masa awal Islam terse-
but, penulis melakukan kajian historis-sosiologis dengan pendekatan
deduktif - komparatif. Pendekatan deduktif-komparatif itu, misalnya
memperbandingkan model, konsep, kurikulum, pendidik dan peserta
didik, alat/media, lingkungan, dan evaluasi pendidikan sekarang (2011)
dengan pendidikan pada masa awal Islam (di era Rasulullah). Adapun
komparasi itu terbatas pada pokok-pokok masalah dalam pendidikan
sebagai berikut:
1. Tujuan Pendidikan
Pada masa awal Islam, tujuan pendidikan yang utama adalah
mencetak sahabat dan umat yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan yang menciptakan manusia, agar menjadi khalifah fil ardh
yang membawa rahmat, kedamaian dan kesejahteraan.
Hal ini dapat dicermati dari wahyu Allah SWT yang pertama
kali diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad SAW, sebagai
ajaran yang berlaku kepada diri pribadi Muhammad dan seluruh
umat manusia. Ajaran wahyu pertama (awalan) adalah perintah
membaca. Manusia diminta membaca asal-usul kejadiannya.
Setelah itu, harus mengingat bahwa asal-usul kejadian manusia
adalah ada yang menciptakan. Maka membaca (belajar) apapun,
bermula membaca diri sendiri, manusia sebagai makhluk, harus selalu
mengingat (menyebut) Yang Menciptakan (Al-Khaliq). Sebagai-
mana firman Allah QS. Al-‘Alaq (96): 1-2.
5
Fazlur Rahman, Terjemah Ahsin Muhammad, Islam, Cet. IV, PUSTAKA, Bandung, 2000, hal.
263.
32
Drs. Abdul Majid. M.Pd. - Sketsa Pendidikan Islam Masa Awal
33
Ayat-ayat al-Qur’an. Dan sebagian diwajibkannya untuk dibaca pada
saat sholat.
Berikutnya, setiap kali ayat-ayat al-Qur’an diturunkan, Nabi
memerintahkan kepada para sahabat untuk menghafalkannya dan
menuliskannya di batu, kulit binatang, pelepah kurma, dan apa
saja yang bisa disusun, dalam sesuatu surat. Nabi menjelaskan
tertib urutan ayat-ayat itu, Nabi mengadakan peraturan, hanya al-
Qur’an saja yang dituliskan. Selain ayat-ayat al-Qur’an, Hadits atau
pelajaran-pelajaran yang mereka dengar dari Nabi, tidak boleh
dituliskan. Larangan ini dengan maksud supaya al-Qur’an al-Karim
terpelihara, tidak tercampur dengan yang lain-lain yang juga di
dengar dari Nabi.
Kemudian berdasarkan tema atau topik dari materi kurikulum
inti pada masa awal Islam yang terutama adalah Tauhid. Di mana
berdasarkan periodisasi dari tempat dan waktu diturunkan wahyu,
yakni: periode pertama, Makkiyah (+ 13 tahun/610-622 M) Nabi
lebih banyak mengajarkan tentang keimanan dan ketakwaan.
Sedangkan pada periode kedua, Madaniyah (+ 10 tahun/622-632
M) Nabi mengajarkan beberapa materi kurikulum, antara lain:
Tauhid, ibadah Sholat, adab di masyarakat, adab dalam keluarga, amar
ma’ruf nahi munkar, dan kepribadian.
Materi-materi kurikulum pendidikan pada masa awal Islam
itu ditunjukkan, misalnya dalam al-Qur’an Surat Luqman (31):
12-19.6
12. dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu:
“Bersyukurlah kepada Allah. dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah),
maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang
tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.
13. dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia
memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan
Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman
yang besar”.
14. dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun[1180]. bersyukurlah
kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
6
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Loc.cit., hal. 654-655.
34
Drs. Abdul Majid. M.Pd. - Sketsa Pendidikan Islam Masa Awal
35
dikan model ini -lebih sering- dilakukan pada masalah-masalah
kemasyarakatan dan pemerintahan. Misalnya; 1) Nabi memberikan
teladan dalam beberapa medan pertempuran membela agama Al-
lah. Memimpin pasukan muslimin secara langsung, dan berada di
garis depan medan pertempuran bersama para sahabat. 2) Nabi
memberikan teladan dalam penegakan hukum. Seringkali dalam
permasalahan sosial/kemasyarakatan bangsa Arab, Nabi mem-
bantu mencarikan dan atau langsung memberi solusi. Dalam hal
ini, terkenal pernyataan beliau “….seandainya anakku Fatimah terbukti
melakukan pencurian, sungguh akan aku potong tangannya dengan
tanganku sendiri. 3) di kesempatan lain, Nabi juga memberikan tela-
dan untuk kasih sayang kepada sesama. Bagaimana, seorang kafir
setiap harinya mengganggu kegiatan ibadah dan kehidupan Nabi,
ketika suatu hari trouble maker itu tidak tampak mengganggunya,
Nabi -dengan penuh perhatian- bertanya kepada sahabat-sahabat-
nya. Ketika para sahabat menjawab orang tersebut sedang sakit,
Nabi langsung mengajak salah satu sahabatnya untuk menjenguk
orang kafir yang sedang sakit tersebut.
Metode lain yang digunakan Nabi adalah musyawarah (diskusi/
seminar). Misalnya dalam masalah kebijakan bernegara, sehingga
muncul perundangan-undangan yang dapat melindungi warga
bangsa atau rakyat madinah. Misalnya; adanya perjanjian Hudaibiyah
dan piagam Madinah. Perundangan-undangan ini muncul adalah
dari hasil musyawarah untuk mufakat dengan tujuan utamanya
masyarakat nyaman, tenteram, damai, sejahtera.
36
Drs. Abdul Majid. M.Pd. - Sketsa Pendidikan Islam Masa Awal
C. SIMPULAN
Pendidikan pada masa awal Islam dipengaruhi oleh kondisi sosial
masyarakat Arab ketika itu. Yakni masyarakat yang meskipun sudah
memiliki kemampuan ekonomi (makmur), berbudaya, dan multikul-
turalisme. Namun sebagian besar bangsa Arab masih buta huruf atau
belum bisa membaca dan menulis. Karena itu, pendidikan yang diuta-
makan adalah pendidikan membaca dan menulis. Guru-gurunya pada
tahap awal yang mengajarkan membaca dan menulis, sebagian besar
adalah orang-orang non-muslim (Yahudi dan Kristen).7
Adapun materi kurikulum yang utama adalah Tauhid. Meskipun
dalam petunjuk al-Qur’an, materi pendidikan Islam sudah lebih
banyak. Sebagaimana yang diisyaratkan dalam QS. Luqman (31): 12-
19 yaitu; tauhid, shalat, adab dalam masyarakat, adab dalam lingkungan
keluarga, kesehatan, dan kepribadian.
Untuk alat/media dan sumber belajar yang utama berpusat pada
figur Nabi sebagai insan kamil, yang memberikan teladan, sehingga
dapat dijadikan teladan oleh para sahabat dan keseluruhan umat
manusia.
7
Fazlur Rahmman, Loc.cit., hal. 263.
37
Sehingga pendidikan masa awal Islam (di era Rasulullah) dapat
dikatakan sebagai dasar-dasar atau fondasi pendidikan modern pada
zamannya bahkan dapat dikatakan melewati zamannya. Karena
pendidikan Islam oleh Rasulullah bertujuan bukan hanya untuk
kepentingan manusia hidup di dunia, tetapi sampai akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma’ Al-Malik Al-Fahd li Thiba’at
Al-Mushhaf Asy-Syarif Medinah Munawwarah, P.O. BOX 6262,
Kerajaan Saudi Arabia, 1418 H., hal. 18.
Arma’I, ‘Arif, Sejarah Pertumbhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan
Islam Klasik, Bandung, Penerbit Angkas, 2005.
Dhoif, Syauqi, Tarikh al-Adab al-Arabi fi al-Ashri al-Jahili, Mesir, Darul
Ma’arif, t.t., 2008.
Fazlur Rahman, terjemah Ahsin Mushtofa, Islam, Cet. IV, Bandung,
PUSTAKA, 2000.
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, PT. Hidakarya Agung,
1992.
Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Kencana, 2008.
Salabi, Ahmad, Tarikh al-Tsaqofah al-‘Arobiyah, Mesir: Darul Ma’arif,
Juz. I. t.t.
Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, Cet.9,
2008.
38
PEMIKIRAN HAMKA TENTANG
TASAWUF MODERN
Asep Daud Kosasih
Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhamadiyah
Purwokerto dan mahasiswa Program Doktor Program Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Abstraksi:
Pada masyarakat yang mengikuti pola peradaban Barat yang sekuler,
solusi yang ditawarkan untuk mengatasi problem kejiwaan dilakukan
dengan pendekatan psikologi untuk mencapai kesehatan mental (mental
health). Sedangkan pada masyarakat Islam yang pada awal sejarahnya
tidak mengenal problem psikologis seperti itu, maka solusi yang ditawar-
kan lebih bersifat religious spiritual, yakni dengan pendekatan tasa-
wuf. Makalah ini akan membahas tentang persoalan tasawuf menurut
Hamka. Persoalannya, tasawuf telah tergelincir dari agama dengan gaya
hidup mengasingkan diri dari aktivitas dunia dan dengan pakaian sufinya
karam di dalam khalwat, melakukan ritualitas tertentu, serta tidak peduli
apa-apa, karena merasa “lezat” di dalam kesunyian diri. Pemikiran Hamka
yang akan dibahas dalam makalah ini berusaha mengembalikan tasawuf
ke pangkalnya sehingga dapat dijadikan sebagai solusi dalam menghadapi
problem kejiwaan masyarakat modern.
I. PENDAHULUAN
Manusia memiliki potensi untuk berhubungan dengan dua
dunia, yaitu dunia material dan dunia spiritual. Itu sebabnya manusia
mampu menangkap hukum-hukum alam di balik gejala-gejala fisik
yang diamatinya, tetapi juga mampu menyadap isyarat-isyarat gaib
dari alam yang lebih luas lagi. Bila satu potensi dikembangkan luar
biasa, sedangkan potensi lain dimatikan, maka manusia akan meng-
alami ketimpangan, ibarat makhluk bermata satu. Fenomena seperti
39
itu dialami oleh manusia modern. Mereka menafikan potensi ruha-
niahnya, sehingga mereka menghadapi persoalan makna hidup.1
Persoalan makna hidup yang dialami oleh manusia modern dise-
babkan karena mereka sangat berlebihan dalam segi material kehidup-
an. Definisi “sukses” dalam perbendaharaan kata manusia modern
hampir-hampir identik hanya dengan keberhasilan mewujudkan
angan-angan dalam bidang kehidupan material. Ukuran “sukses” dan
“tidak sukses” kebanyakan terbatas hanya kepada seberapa jauh sese-
orang menampilkan dirinya secara lahiriah dalam kehidupan mate-
rial. Dalam waktu yang bersamaan, mereka mengabaikan “kesuksesan
ruhaniah”, yang sebenarnya built in dalam dirinya. Pengabaian “kesuk-
sesan ruhaniah” inilah yang berimplikasi pada kegersangan spiritual
di kalangan manusia modern. Oleh karena itu, menurut Haidar Bagir,
wajar jika manusia modern memiliki kerinduan pada kesejukan dan
kedamaian jiwa.2
Pada masyarakat yang mengikuti pola peradaban Barat yang seku-
ler, solusi yang ditawarkan untuk mengatasi problem kejiwaan terse-
but dilakukan dengan pendekatan psikologi, dalam hal ini kesehatan
mental (mental health). Sedangkan pada masyarakat Islam yang pada
awal sejarahnya tidak mengenal problem psikologis seperti itu, maka
solusi yang ditawarkan lebih bersifat religius spiritual, yakni dengan
pendekatan tasawuf. Namun demikian, menurut Hamka, persoalan-
nya tasawuf telah tergelincir dari agama dengan hidup mengasingkan
diri dari aktivitas dunia dan dengan pakaian sufinya karam di dalam
khalwat, melakukan ritualitas tertentu, serta tidak peduli apa-apa, kare-
na merasa “lezat” di dalam kesunyian diri.3 Pemikiran Hamka dalam
mengembalikan tasawuf ke pangkalnya sehingga dapat dijadikan seba-
gai solusi dalam menghadapi problem kejiwaan masyarakat modern
dituangkan dalam karyanya yang berjudul “Tasawuf Modern”
1
Jalaludin Rakhmat, Renungan-renungan Sufistik: Membuka Tirai Kegaiban (Bandung: Mizan,
2000), hlm. 35.
2
Haidar Bagir, “Manusia Modern Mendamba Allah” dalam Ahmad Najib Burhani (ed), Manusia
Modern Mendamba Allah: Renungan Tasawuf Positif (Jakarta: IIMAN & Hikmah, 2002), hlm.
xii.
3
Hamka, Tasawuf Moderen,(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996), hlm. 2- 4
40
Asep Daud Kosasih - Pemikiran Hamka tentang Tasawuf Modern
41
Pakualaman Yogjakarta. Dari berbagai kursus tersebut Hamka menge-
nal secara dekat pemahaman pergerakan politik Syarikat Islam dan
pergerakan sosial Muhammadiyah. Setelah beberapa lama di
Yogyakarta, Hamka berangkat ke Pekalongan untuk menemui guru-
nya sekaligus suami kakaknya, yaitu A.R. Sutan Mansyur, yang pada
waktu itu menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah Cabang
Pekalongan. Di kota ini dia berkenalan dengan Citrosuarno, Mas
Ranuwiharjo, Mas Usman, dan Mohammad Roem. Baru pada Juli
1925 Hamka kembali ke Padang Panjang.8
Pada bulan Februari 1927 Hamka berangkat ke Mekkah. Namun
tidak begitu lama, setelah sempat bekerja pada sebuah percetakan di
sana, pada bulan Juli 1927 dia pulang ke tanah air.9 Pada tanggal 5
April 1929 Hamka menikahi Siti Raham. Pada waktu itu dia baru ber-
usia 21 tahun, sedangkan istrinya berusia 15 tahun.10 Setelah pernikah-
annya, Hamka mengaktifkan diri sebagai pengurus Muhammadiyah.
Kiprah Hamka di organisasi itu diawali sebagai pengurus Cabang
Padang. Pada tahun 1934 ia diangkat menjadi anggota tetap Majlis
Konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah. Pada konggres
Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto tahun 1953, Hamka terpilih
menjadi anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Tetapi pada kong-
gres berikutnya ia tidak bersedia lagi untuk duduk menjadi anggota
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, karena faktor kesehatannya yang
semakin berkurang. Sejak konggres di Makasar tahun 1971 ia ditetap-
kan menjadi penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah sampai akhir
hayatnya.11
Di samping sebagai aktifis organisasi keagamaan, Hamka juga
merupakan figur terkemuka dalam perjuangan revolusioner merebut
kemerdekaan di Sumatera Barat dari tahun 1945 sampai 1949. Pada
tahun 1950, ia pindah ke Jakarta dan diangkat menjadi pejabat tinggi
Depag ketika menterinya K.H. Wahid Hasyim. Dia diserahi tugas
mengajar di beberapa perguruan tinggi Islam di Jakarta, Universitas
Muhammadiyah di Padang Panjang, Universitas Muslim Indonesia
Makasar, dan Universitas Islam Sumatera Utara. 12 Di samping
8
H. Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya, hlm. 2
9
Sahiron Syamsuddin, Hamka’s Political Thought, hlm. 2
10
H. Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya, hlm. 3
11
Ibid, hlm.3-4; Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam, hlm. 44-48
42
Asep Daud Kosasih - Pemikiran Hamka tentang Tasawuf Modern
12
Sulaeman Al-Kumayi, Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym, (Semarang: Pustaka Nuun,
2004), hlm. 27.
13
Ahmad Hakim dan M. Thalhah, Politik Bermoral Agama, hlm. 27-28; H. Rusydi Hamka,
Pribadi dan Martabat Buya, hlm. 5.
14
Floriberta Aning S, 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia, (Tangerang: Penerbit Narasi), hlm. 80
15
Ibid; H. Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya, hlm. 5.
43
ketahuilah, saya sebagai ulama tidak dapat dibeli.” Dua bulan sebelum
wafatnya, Hamka mengundurkan diri dari jabatan tersebut. Hal itu
disebabkan oleh masalah perayaan Natal yang dilakukan bersama
dengan penganut agama lainnya, termasuk umat Islam. MUI di bawah
pimpinan Hamka telah mengeluarkan fatwa haram hukumnya bagi
seorang muslim mengikuti perayaan Natal. Fatwa tersebut mendapat
kecaman dari Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara dan
meminta agar MUI mencabutnya.16
Hamka dikenal sebagai seorang otodidak yang sangat tinggi. Ia
belajar sendiri tentang buku-buku yang menurutnya penting. Ilmu-
ilmu seperti falsafah, kesusasteraan, sejarah, sosiologi dan politik
ditelaahnya dengan bermodal pendidikan yang pernah diterimanya.
Berkat kemampuan membacanya yang luas meyebabkan ia mempu-
nyai banyak akses keilmuan. Dibanding pemikir Islam modernis lain
di Indonesia, Hamka mempunyai kelebihan menyatakan pikiran dalam
ungkapan-ungkapan modern dan kontemporer. Oleh karena itu ia
berhasil menjalin komunikasi intelektual dengan kalangan terpelajar
tanpa canggung dan tanpa hambatan.17 Komunikasi tersebut diwujud-
kan selain lewat ceramah diberbagai kegiatan juga lewat tulisan dalam
bentuk artikel dan buku.
Hamka dikenal sebagai seorang penulis yang sangat produktif.
Jumlah tulisannya dalam bentuk buku mencapai hingga 118 buah.
Buku-buku tersebut isinya bervariasi dan dapat dikelompokan ke dalam
tiga bidang ilmu, yaitu bidang sastra, bidang keagamaan, serta bidang
sosial-politik-kebudayaan.18 Sebagai penghargaan terhadap kemam-
puan Hamka di bidang keilmuan, dua perguruan tinggi menganuge-
rahkan kepadanya gelar doctor honoris causa dan profesor, yaitu Uni-
versitas Al-Azhar Mesir pada tanggal 28 Februari 1959 dan Universi-
tas Kebangsaan Malaysia pada tanggal 8 Juni 1974.19
Pada tanggal 24 Juli 1981, sembari dikelilingi oleh istri, putranya,
Afif Amrullah, dan beberapa teman dekatnya, Hamka wafat dalam
usia 73 tahun.20
16
Ahmad Hakim dan M. Thalhah, Politik Bermoral Agama, hlm. 29.
17
Sulaeman Al-Kumayi, Kearifan Spiritual dari Hamka, hlm. 22.
18
Ahmad Hakim dan M. Thalhah, Politik Bermoral Agama, hlm. 33-34.
19
Sulaeman Al-Kumayi, Kearifan Spiritual dari Hamka, hlm. 23.
20
Ahmad Hakim dan M. Thalhah, Politik Bermoral Agama, hlm. 29.
44
Asep Daud Kosasih - Pemikiran Hamka tentang Tasawuf Modern
21
Abdurrahman Wahid, “Benarkah Buya Hamka seorang Besar?: Sebuah Pengantar” dalam Nasir
Tamara, Buntaran Sanusi, dan Vincent Djauhari (Penyunting), Hamka di mata Umat, (Jakarta:
Sinar Harapan, 1983), hlm. 30.
22
Hamka, Tasawuf Moderen, hlm. v-viii
23
Ibid, hlm. vii-viii
45
pendapat-pendapat dari banyak sumber, antara lain dari tokoh-tokoh
filsafat Timur dan Barat serta tokoh-tokoh tasawuf yang isinya kemu-
dian dibandingkan dengan barometer al-Qur’an dan as-Sunnah. Dian-
tara buku-buku rujukan yang digunakan Hamka untuk mengetengah-
kan pemikirannya adalah; Ihyâ’ Ulûmuddîn, Arba’în fî ushûluddîn,
Bidâyah, Al-Hidâyah, Minhâjul Abidîn, Tahdzîbul Akhlâq, Tafsir
Muhammad Abduh, Raddu ‘ala Dahriyîn, Adâbud Dunya wad Dîn,
Riyâdushôlihîn, kumpulan majalah ‘Azhar”, beberapa risalah Ibnu Sina
dan lain-lain. Semua buku-buku itu dijadikan Hamka sebagai penguat
argumentasi yang dibangunnya, dengan terkadang menambahkan
beberapa point analisa pribadinya.24
Sistematika “Tasawuf Modern” disusun ke dalam beberapa Bab.
Sebelum masuk pembahasan, pada bagian pendahuluan Hamka
menulis sebuah sub judul dengan nama “Pengantar Tasawuf”. Bagian
ini dimaksudkan Hamka untuk memberikan gambaran sekilas
mengenai pokok-pokok tasawuf yang menjadi pemahaman dan inti
da’wah yang dilakukannya selama ini dengan membawa istilah
tasawuf moderen.25 Setelah itu Hamka menguraikan pemikirannya
ke dalam dua belas bagian pembahasan secara berturut-turut meliputi
pembahasan tentang bahagia, bahagia dan agama, bahagia dan utama,
kesehatan jiwa dan badan, harta benda dan bahagia, qana’ah, tawakal,
bahagia yang dirasai Rasulullah SAW, hubungan ridha dengan
keindahan alam, tangga bahagia, celaka, dan munajat.
Pada bagian pertama, Hamka memaparkan pendapat para tokoh
Barat dan Timur tentang arti bahagia yang mereka pahami dan rasakan,
termasuk di dalamnya Hamka membandingkan dengan kebahagiaan
yang di alami oleh Rasulullah. Tokoh-tokoh yang diangkat Hamka
dalam bagian ini adalah; Aristoteles, Hendrik Ibsen, Thomas Hardy,
Leo Tolstoy, Bertrand Russel, George Bernard Shaw, Ibnu Khaldun,
Abu Bakar Ar Razi, dan Imam al Ghozali.26
Pada bagian kedua, yaitu Bahagia dan Agama, Hamka menerang-
kan tentang kewajiban untuk menjadikan agama sebagai kerangka
kehidupan manusia, dan mencari kebenaran serta kebahagiaan melalui
24
Ibid, hlm. vi
25
Ibid, hlm.1-8.
26
Ibid, hlm. 8-47
46
Asep Daud Kosasih - Pemikiran Hamka tentang Tasawuf Modern
27
Ibid, hlm. 48-116
28
Ibid, hlm. 117-141
29
Ibid, hlm. 142-198
30
Ibid, hlm. 199-230
31
Ibid, hlm. 231-244
32
Ibid, hlm. 245-259
33
Ibid, hlm. 260-266
34
Ibid, hlm. 267-275
47
Pada bagian kesepuluh, Hamka kembali mengulas mengenai
makna bahagia dengan menukil pendapat para tokoh filsafat seperti
Bertrand Russel, Amin Al Raihany, Al Anisah Mai.35 Untuk melengkapi
pemahaman pembaca mengenai makna bahagia, pada bagian kesebelas
Hamka menjelaskan mengenai makna “celaka”, sebagai kebalikan dari
bahagia.36
Pembahasan Hamka tentang Tasawuf Modern diakhiri dengan
bagian kedua belas mengenai munajat. Pada bagian ini walaupun isinya
merupakan munajat penulis, tetapi memberi isyarat kepada pembaca
tentang pentingnya do’a bagi manusia dalam merengkuh kebahagiaan
kepada Allah, sebab Allah itulah sumber dan pemilik kebahagiaan.37
Menyimak pemikiran Hamka di dalam Tasawuf Modern, sebagai-
mana diuraikan di atas, Hamka berpandangan, bahwa keberadaan
tasawuf dalam Islam memang menjadi perdebatan di kalangan para
ulama dan ahli ilmu. Mereka terbagi menjadi golongan yang menolak
dan menerima tasawuf. Bagi yang menolak beranggapan, bahwa
tasawuf dapat mengotori kemurnian Islam. Adapun bagi golongan
yang menerima beranggapan bahwa tasawuf adalah ilmu yang ber-
sumber dari Islam itu sendiri. Meskipun Hamka menggunakan istilah
tasawuf, akan tetapi tasawuf yang dikemukakan Hamka bukanlah
tasawuf sebagaimana yang dipahami kebanyakan orang. Tasawuf yang
dikembangkan Hamka adalah tasawuf yang memiliki basis pada koridor
syari’at agama (Tasawwûf Masyrû’). Oleh sebab itulah, di dalam peni-
laian Hamka, tasawuf tidaklah memiliki sumber lain melainkan ber-
sumberkan murni dari Islam. Hamka sangat menekankan keharusan
setiap individu untuk melakukan pelaksanaan tasawuf agar tercapai
budi pekerti yang baik sebagaimana kesepakatan Hamka atas definisi
tasawuf yang diuraikan oleh al Junaid yaitu; “Keluar dari budi pekerti
yang tercela, dan masuk kepada budi pekerti yang terpuji.”38
Hamka mendasarkan konsep tasawufnya itu pada kerangka
agama di bawah fondasi aqîdah yang bersih dari praktik-praktik syirik,
dan amalan-amalan lain yang bertentangan dengan syari’at. Sebab
Hamka benar-benar menyadari bahwa tasawuf yang telah menjadi
35
Ibid, hlm. 276-304
36
Ibid, hlm. 305-317
37
Ibid, hlm. 318-321
38
Ibid, hlm.3-4.
48
Asep Daud Kosasih - Pemikiran Hamka tentang Tasawuf Modern
49
Berdasarkan hal itu, maka konsep dasar pemikiran tasawuf yang
ditawarkan Hamka adalah sufisme yang berorientasi ke depan yang
ditandai dengan mekanisme dari sebuah sistem ketasawufan yang
unsur-unsurnya meliputi prinsip tauhid (menjaga kedekatan dengan
Tuhan), memanfaatkan peribadatan sebagai media bertasawuf, dalam
arti di samping melaksanakan perintah agama juga mencari hikmah
yang berupa sikap positif terhadap hidup dalam wujud memiliki etos
sosial yang tinggi.42
Menurut Nurcholish Madjid, kehadiran Hamka dengan “Tasawuf
Modern”nya, menandai babak baru dasar-dasar sufisme baru di In-
donesia. Hal itu memberi petunjuk adanya apresiasi Hamka terhadap
penghayatan esoteris Islam. Lebih dari itu, Hamka memberikan per-
ingatan bahwa esoterisme itu harus tetap terkendalikan oleh ajaran-
ajaran standar syari’ah. Dengan demikian, Hamka masih tetap dalam
garis kontinuitas dengan pemikiran Imam Al-Ghazali. Akan tetapi
bedanya dengan Al-Ghazali, Hamka menghendaki suatu penghayatan
keagamaan esoterik yang mendalam tetapi tidak dengan melakukan
pengasingan diri atau uzlah, melainkan tetap aktif melibatkan diri
dalam masyarakat.43
Mengacu pada hasil penelitian A. Rivay Siregar tentang perkem-
bangan tasawuf dari Sufisme Klasik sampai Neo-Sufisme, substansi
pemikiran Hamka mengenai Tasawuf Modern dapat dipetakan ke
dalam kelompok Neo-Sufisme.44 Hal ini didasarkan pada inti pemikir-
annya yang menampilkan pemahaman dan pengamalan tasawuf kon-
temporer dengan pendekatan yang sangat intens antara spiritualitas
sufisme dengan konsep-konsep syariah.45 Demikian juga dalam hal
tujuan, terdapat kesamaan antara tujuan Tasawuf Modern Hamka
dengan tujuan Neo-Sufisme, yaitu penekanan yang lebih intens pada
penguatan iman sesuai dengan prinsip-prinsip akidah Islam, dan
42
Ibid, hlm. 243-244
43
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam
Dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 92.
44
Neo-Sufisme adalah tipe tasawuf yang terintegrasi dengan syari’ah. Istilah ini pertama kali
dikemukakan oleh Fazlur Rahman di dalam karyanya Islam. Menurut Fazlur Rahman, tokoh
perintis Neo-Sufisme adalah Ibn Taimiyah yang kemudian diteruskan oleh muridnya, Ibn
Qoyyim. Lihat, Fazlur Rahman, Islam (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 193-194; 285-286.
45
A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2000), hlm. 247-258.
50
Asep Daud Kosasih - Pemikiran Hamka tentang Tasawuf Modern
IV.Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan:
1. Pemikiran Hamka tentang Tasawuf Modern merupakan pemaham-
an tasawuf yang didasarkan pada fondasi aqîdah yang bersih dari
praktik-praktik dan amalan-amalan lain yang bertentangan dengan
syari’at Islam.
2. Tasawuf Modern model Hamka dimaksudkan meletakkan tasawuf
kepada relnya, dengan menegakkan kembali maksud semula tasa-
wuf, yakni guna membersihkan jiwa, mendidik, dan memperhalus
perasaan, menghidupkan hati dalam menyembah Tuhan dan
mempertinggi derajat budi pekerti
3. Konsep-konsep tasawuf yang diterangkan Hamka dikategorikan
Neo-Sufisme, yaitu tasawuf kontemporer yang sangat dinamis
dengan kehidupan modern yang didasarkan pada ajaran Islam.
Baginya, hidup di era modern tidak menjauhkan seseorang kepada
Allah. Bahkan ajaran Allah, yaitu Islam dapat menjadi solusi dalam
menghadapi problem kejiwaan masyarakat modern.
46
Ibid, hlm. 251; Fazlur Rahman, Islam, hlm. 195.
47
Hamka, Tasawuf Moderen, hlm. 4
51
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hakim dan M. Thalhah, Politik Bermoral Agama: Tafsir Politik
HAMKA,(Yogyakarta: UII Press, 2005)
Ahmad Najib Burhani (ed), Manusia Modern Mendamba Allah: Renungan
Tasawuf Positif (Jakarta: IMAN & Hikmah, 2002)
A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2000)
Fazlur Rahman, Islam (Bandung: Pustaka, 1984)
Floriberta Aning S, 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia, (Tangerang:
Penerbit Narasi)
Hamka, Tasawuf Moderen, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996)
H.Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. DR. Hamka, (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1981)
Jalaludin Rakhmat, Renungan-renungan Sufistik: Membuka Tirai
Kegaiban (Bandung: Mizan, 2000)
Mohammad Damami, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka
(Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2000)
M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensi, dan Perilaku Politik Bangsa:
Risalah Cendekiawan Muslim (Baandung: Mizan, 1993)
Nasir Tamara, Buntaran Sanusi, dan Vincent Djauhari (Penyunting),
Hamka di mata Umat, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983)
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan
Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina,
1995)
Sahiron Syamsuddin, Hamka’s Political Thought As Expressed in His Tafsir
Al-Azhar, (Jakarta: PERMIKA Montreal dan LPMI, 1997)
Sulaeman Al-Kumayi, Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym,
(Semarang: Pustaka Nuun, 2004)
Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1990)
52
ISLAM DAN DEMOKRASI
Samsul Munir
Penulis adalah Dekan dan Lektor Kepala pada Program Studi Komunikasi
dan Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Komunikasi dan Sosial Politik,
Universitas Sains Al-Qur’an (UNSIQ) Jawa Tengah di Wonosobo. Saat ini
sedang menyelesaikan Program Doktor (S3) di Islamic Studies IAIN
Walisongo Semarang.
Abstraksi:
Dilihat basis empiriknya, agama dan demokrasi memang berbeda.
Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari pergumulan
pemikiran manusia. Dengan demikian agama memiliki dialeketikanya
sendiri. Namun begitu tidak ada halangan bagi agama untuk berdam-
pingan dengan demokrasi. Dalam perspektif Islam elemen-elemen
demokrasi meliputi: syura, musawah, ‘adalah, amanah, masuliyyah dan
hurriyyah.
Islam menaruh perhatian yang serius terhadap aplikasi kristalisasi
nilai-nilai demokrasi. Sebagai rahmatan lil’alamin, Islam memiliki tujuan
yang terakumulasi dalam lima prinsip universal (kulliatul khams); yakni
menjamin kebebasan beragama (hifdz al-din), memelihara nyawa (hifdz
al-nafs), menjaga keturunan dan profesi (hifdz al-nasl wa al-irdl), menjamin
kebebasan berekspresi dan berspikir (hifdz al-aql), dan memelihara harta
benda (hifdz al-mal). Kelima prinsip tersebut, dewasa ini sangat relevan
dengan prinsip-prinsip HAM yang menjadi pilar demokrasi. Tulisan ini
berusaha membahas tentang bagaimana pemahaman tentang demokrasi
dan bagaimana Islam memandang demokrasi. Adakah perspektif yang
saling mendukung atau saling berlawanan antara Islam dengan demo-
krasi. Oleh karena pendekatan dalam kajian makalah ini mengunakan
berbagai pendekatan, yakni pendekatan normatif, pendekatan sejarah
dan pendekatan yang relevan.
A. Pendahuluan
Secara etimologis “demokrasi” terdiri dari dua kata yang berasal
dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk
53
suatu tempat “cratein” atau “cratus” yang berarti kekuasaan dan kedu-
dukan, jadi secara istilah demokrasi adalah keadaan negara dimana
dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada ditangan rakyat,
kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat
berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.
Demokrasi secara sederhana dapat diartikan sebagai pemerin-
tahan dari, oleh dan untuk rakyat. Sistem ini menuntut partisipasi
langsung warga suatu bangsa untuk menentukan roda pemerintahan1.
Rakyat sebagai pemilik kedaulatan, selain memiliki kewajiban, juga
mempunyai hak. Hal ini bertolak belakang dengan sistem monarchi-
absolut yang menjadi trend sistem pemerintahan pra-abad ke-18.
Diskursus demokrasi mulai berkembang pada apad ke-17 dan
18 Masehi. Kehadirannya sebagai respon atas absolutism raja-raja dan
kaum feodal kala itu. Gap antara kelas atas (penguasa) dengan kelas
bawah (rakyat) menghendaki adanya gagasan persamaan derajat (al-
musawah), suatu perlakuan yang sama di hadapan hukum, penegakan
keadilan dengan tanpa pandang bulu (al’adalah) kebebasan berekspresi
(al-huriyyah). Kulminasi dari ide-ide tersebut terealisasikan pada peris-
tiwa Revolusi Perancis di akhir abad ke-182. Hasilnya ortodoksi gereja
yang dikooptasi para raja semakin lama semakin mencair, sampai
akhirnya terwujud tatanan masyarakat yang demokratis.
Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-
hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan
persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul idiom-
idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality (keadilan), lib-
erty (kebebasan), human right (hak asasi manusia), dan seterusnya.
Dalam tradisi Barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa
rakyat seharusnya menjadi “pemerintah” bagi dirinya sendiri, dan
wakil rakyat seharusnya menjadi pengendali yang bertanggung jawab
atas tugasnya. Karena alasan inilah maka lembaga legislatif di dunia
Barat menganggap sebagai pioner dan garda depan demokrasi. Lem-
baga legislatif benar-benar menjadi wakil rakyat dan berfungsi sebagai
agen rakyat yang aspiratif dan distributif. Keberadaan wakil rakyat
didasarkan atas pertimbangan, bahwa tidak mungkin semua rakyat
1
Menurut Benyamin Franklin, demokrasi adalah sebuah tatanan negara/pemerintahan yang
bersumber dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
54
Samsul Munir - Islam dan Demokrasi
2
Kebangkitan Perancis itu sebenarnya bermula dari upaya para filosuf alumni Cordova (para
mahasiswa Ibnu Rusyd) yang selalu mengadakan kajian kritis, rasional dan obyektif. Pengaruh
pemikiran Ibnu Rusyd (Averros) (1120-1198 M) sangat besar terhadap pemikiran di Eropa,
sehingga memunculkan Averroisme yang menuntut kebebasan berpikir. Pengaruh Averroisme
yang begitu besar melahirkan gerakan reformasi pada abad ke-16 M, dan rasionalisme pada
abad ke-17, bahkan renaissance di Eropa. Baca, Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam,
Jakarta: Amzah, Cetakan ke-2, 2010, hlm 177.
55
yang dikategorikan sebagai bagian terpenting dalam penegakan demo-
krasi, dan hubungannya dengan realitas demokrasi dalam negara yang
berbasis mayoritas Islam.
Islam menaruh perhatian yang serius terhadap aplikasi kristalisasi
nilai-nilai demokrasi. Sebagai rahmatan lil’alamin, Islam memiliki tujuan
yang terakumulasi dalam lima prinsip universal (kulliatul khams); yakni
menjamin kebebasan beragama (hifdz al-din), memelihara nyawa (hifdz
al-nafs), menjaga keturunan dan profesi (hifdz al-nasl wa al-irdl), menja-
min kebebasan berekspresi dan berpikir (hifdz al-aql), dan memelihara
harta benda (hifdz al-mal). Kelima prinsip tersebut, dewasa ini sangat
relevan dengan prinsip-prinsip HAM yang menjadi pilar demokrasi.3
Dilihat basis empiriknya, agama dan demokrasi memang berbeda.
Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari pergu-
mulan pemikiran manusia. Dengan demikian agama memiliki dialek-
tikannya sendiri. Namun begitu tidak ada halangan bagi agama untuk
berdampingan dengan demokrasi.
Dalam perspektif Islam elemen-elemen demokrasi meliputi:
syura, musawah, ‘adalah, amanah, masuliyyah dan hurriyyah.
Pertama, Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengam-
bilan keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an.
Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura (42): 38 dan Ali Imran (3):
159.
3
Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siradj, MA, Islam Kebangsaan Fiqh Demokratik Kaum Santri, Jakarta:
Pustaka Ciganjur, 1999, hlm 77.
56
Samsul Munir - Islam dan Demokrasi
159. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam
urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawak-
kallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya. (QS: Ali Imran (3): 159)
4
Menurut Yusuf al-Qardhawi, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat
dari beberapa hal, misalnya:Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang
untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka.
Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian
juga dengan Islam, Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh
makmum di belakangnya.
57
Ketiga, al-Musawah adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang
merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehen-
daknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap
rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam
suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas
rakyat.
Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi
yang diberi wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan
yang jujur dan adil untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan
dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh sebab itu pemerintah
memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat demikian juga
kepada Tuhan. Dengan begitu pemerintah harus amanah, memiliki
sikap dan perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan adil. Sebagian ulama’
memahami al-musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-
syura dan al-‘adalah. Diantara dalil al-Qur’an yang sering digunakan
dalam hal ini adalah surat al-Hujurat:13, sementara dalil sunnah-nya
cukup banyak antara lain tercakup dalam khutbah wada’ dan sabda
Nabi kepada keluarga Bani Hasyim.
Keempat, al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang
diberikan seseorang kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan
atau amanah tersebut harus dijaga dengan baik. Dalam konteks kene-
garaan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh
rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan
penuh rasa tanggung jawab. Persoalan amanah ini terkait dengan sikap
adil seperti ditegaskan Allah Swt dalam surat an-Nisa’:58.
Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan terse-
but tidak bisa diminta, dan orang yang menerima jabatan seharusnya
merasa prihatin bukan malah bersyukur atas jabatan tersebut. Demi-
kianlah etika Islam dalam menerima jabatan.
Kelima, al-Mas’uliyyah adalah tanggung jawab. Kekuasaan dan
jabatan itu adalah amanah yang harus diwaspadai, bukan nikmat yang
harus disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin
atau penguasa harus dipenuhi. Dan kekuasaan sebagai amanah ini
mememiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus dipertanggung-
jawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus dipertenggung-
jawabkan di depan Tuhan.
58
Samsul Munir - Islam dan Demokrasi
59
dengan kemaslahatan publik). Ini salah satu konsep demokrasi dalam
Islam berkaitan dengan political will penguasa.
Dalam hal pembagian kekuasaan sistem Imamah, dalam Islam
tidaklah mendapatkan rincian yang jelas. Hal ini berbeda dengan
kerangka demokrasi yang membagi suatu kekuasaan Negara dalam
tiga institusi (Trias Politica, as-sulthah al-tsalats), yaitu kekuasaan leg-
islative (as-Sulthah at-tasyri’iyyah), eksekutif (as-sulthah at-tanfidziyyah),
dan yudikatif (as-sulthah al-qadhaiyyah).5
Konsep-konsep Islam tentang demokrasi sebenarnya telah ada
dalam ajaran-ajaran Islam. Akan tetapi dalam realitas kehidupan di
kalangan umat Islam, penegakan demokrasi masih sangat minim.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana realitas demokrasi di dunia Is-
lam dalam sejarahnya?
Dalam realitas sejarah Islam memang ada pemerintahan otoriter
yang dibungkus dengan baju Islam seperti pada praktik-praktik yang
dilakukan oleh sebagian penguasa Bani Umayyah dan Abbasiyyah.
Tetapi itu bukan alasan untuk melegitimasi bahwa Islam agama yang
tidak demokratis. Karena sebelum itu juga ada eksperimen demokrati-
sasi dalam sejarah Islam, yaitu pada masa Nabi dan khulafaurrasyi-
din. Pemerintahan Khulafaurrasyidin merupakan implementasi dan
aplikasi dari nilai-nilai demokrasi dalam sistem pemerintahan Islam.
Memang harus diakui, karena kepentingan dan untuk melang-
gengkan status quo raja-raja Islam, demokrasi sering dijadikan tumbal.
Di beberapa bagian negara Arab misalnya, Islam seolah-olah menge-
sankan pemerintahan raja-raja otoriter. Tetapi realitas seperti itu
ternyata juga dialami oleh pemeluk agama lain. Gereja Katolik misalnya,
bersikap acuh-tak acuh ketika terjadi revolusi Perancis. Karena sikap
tersebut kemudian Katolik disebut sebagai tidak demokratis. Hal yang
sama ternyata juga dialami oleh agama Kristen Protestan, dimana pada
awal munculnya, dengan reformasi Martin Luther, Kristen memihak
elit ekonomi, sehingga merugikan posisi kaum tani dan buruh. Tak
mengherankan kalau Kristen pun disebut tidak demokratis.
Melihat kenyataan sejarah yang dialami oleh elit agama-agama
di atas, maka tesis Huntington dan Fukuyama yang mengatakan,
5
Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siradj, MA, Islam Kebangsaan, hlm 68.
60
Samsul Munir - Islam dan Demokrasi
61
negara maju (barat) sedangkan Islam merupakan sistem politik
demokratis kalau demokrasi didefinisikan secara subtantif yakni
kedaulatan ditangan rakyat dan negara merupakan terjemahan dan
kedaulatan rakyat ini. Dengan demikian dalam pandangan kelom-
pok ini demokrasi adalah konsep yang sejalan dengan Islam setelah
diadakan penyesuaian penafsiran terhadap konsep demokrasi itu
sendiri. (Tokohnya yaitu Al-Maududi, di Indonesia diwakili oleh
Moh. Natsir).
3. Islam adalah sistem nilai yang membenarkan dan mendukung
sistem politik demokrasi seperti yang dipraktikkan negara-negara
maju. Di Indonesia, pandangan yang ketiga tampaknya yang lebih
dominan karena demokrasi sudah menjadi bagian integral sistem
pemerintahan Indonesia dan negara-negara muslim lainnya.
(Tokohnya yaitu Amien Rais, Munawir Syadzali, Abdurrahman
Wahid).
62
Samsul Munir - Islam dan Demokrasi
F. Penutup
Dalam kenyataannya di Negara-negara Islam, misalnya Saudi
Arabia, Libya, Aljazair, Mesir, Yaman, Brunai Darussalam, dan Negara-
negara Islam lain memang bisa dikatakan sebagai Negara non demo-
krasi, karena demokrasi sulit ditegakkan di Negara-negara tersebut.
Sulit menemukan realitas Negara Islam yang menegakkan demokrasi
modern pada masa sekarang.
Apakah dengan demikian Islam sesuai dengan demokrasi?Kalau
menurut hemat penulis, jika Islam dipahami sebagai suatu ajaran atau
suatu doktrin maka sebenarnya nilai-nilai ajaran atau doktrin Islam
sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Contohnya adalah ajaran-ajaran
63
Islam mengenai demokrasi seperti: syura, musawah, ‘adalah, amanah,
mas’uliyyah dan hurriyyah. Dalam sejarah Islam, masa pemerintahan
Rasulullah saw, dan Khulafaur Rasyidin adalah sistem pemerintahan
yang menegakkan nilai-nilai demokrasi dalam pemerintahannya.
Akan tetapi jika melihat realitas penguasa dan sistem pemerintah-
an di beberapa Negara Islam pada saat ini memang sulit untuk dikata-
kan bahwa Negara-negara yang mendasarkan Islam sebagai bentuk
negaranya sesuai dengan demokrasi. Maka tidak bisa disalahkan sepe-
nuhnya manakala kita merujuk thesis Samuel P. Huntington dan F.
Fukuyama yang menyatakan bahwa realitas empirik masyarakat Is-
lam tidak compatible dengan demokrasi. Walaupun tidak menutup
kemungkinan pada saatnya mungkin akan terwujud alam demokrasi
dalam dunia Islam.
KEPUSTAKAAN
Azra Azyumardi, 2000. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat
Madani, Jakarta: TIM ICCE UIN.
Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah,
Cetakan ke-2, 2010.
_________, Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Islam, Jakarta: Amzah,
2008.
Beyer, Peter, Religion and Globalzation, Sage Publication, 1994.
Hasan, Muhammad Tholhah, Prospek Islam Dalam Menghadapai
Tantangan Zaman, Jakarta: Lantabora Press, 2003.
Siradj, Said Aqiel, Islam Kebangsaan, Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999.
Wahid, Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, Jakarta: The Wahid Insti-
tute, 2007.
Zuli Qodir, Syariah Demokratik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
64
EPISTEMOLOGI HUKUM
ISLAM KONTEMPORER
Mahfudz Junaedi
Penulis adalah Wakil Direktur Program Pascasarjana Universitas Sains Al-
Qur’an (UNSIQ) Wonosobo dan Mahasiswa Program Doktor (S3) PPs UIN
Sunan Kalijaga Yogjakarta
Abstraksi:
Epistemologi yang digunakan dalam tulisan makalah ini, seperti
yang sering dipahami banyak kalangan, adalah sebuah cabang ilmu
filsafat yang secara khusus mengkaji teori ilmu pengetahuan (hukum
Islam), yang meliputi kajian tentang hakikat ilmu, sumber-sumber ilmu
(sources og knowledge), metode (method), dan uji kebenaran suatu ilmu
pengethuan (verifikasi). Sedangkan “hukum Islam”, adalah mencakup
semua aspek dan secara integral dari cakupan istilah dan pengertian
dari “syari’ah”, “fiqh”, dan “ushul al-fiqh” sebagai metode dalam melaku-
kan istimbath (ijtihad) sehingga menghasilkan hukum Islam (fiqh) yang
meliputi hampir semua aspek kehidupan umat manusia, maupun hal-
hal yang masuk kategori habl min Allah (hubungan umat manusia dengan
Allah).
A. Pendahuluan
Perjalanan perkembangan hukum Islam tidak hanya terjadi pada
masa awal-awal Islam, tetapi dinamika dan pembaruan hukum Islam
masih berlanjut sampai sekarang ini. Salah salah faktor yang memung-
kinkan terjadinya pembaruan hukum Islam adalah pengaruh kema-
juan dan pluralitas sosial-budaya dan politik dalam sebuah masyarakat
dan negara. Semenjak umat Islam memasuki dunia modern – seiring
dengan munculnya masalah-masalah baru yang ditimbulkan oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi – para pemikir hukum
Islam berpendapat bahwa memegangi doktrin dari satu mazhab hukum
65
saja tidak lagi memadahi. Karena itu kemudian mereka melakukan
takhayyur dalam menjawab suatu masalah hukum yang dihadapi, yaitu
proses seleksi terhadap pendapat-pendapat ulama dari berbagai
mazhab untuk mendapatkan jawaban yang paling sesuai dengan kon-
teks zaman. Namun demikian, takhayyur bukan ijtihad, tetapi sebagai
proses awal umat Islam meninggalkan masa jumud dan fanatik
mazhab yang hampir delapan setengah abad (dari pertengahan abad
4 H sampai dengan akhir abad 13 H).1
Langkah yang agak maju dari proses takhayyur adalah melakukan
interpretasi khusus terhadap perintah-perintah tertentu dalam al-
Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai antisipasi dalam jawaban terhadap
dinamika dan perkembangan masyarakat modern. Interpretasi
terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi pada dasarnya hanyalah
quasi-ijtihad, karena belum menggunakan metode, pendekatan yang
sistematis dan konsisten. Prinsip takhayyur dan quasi-ijtihad berusaha
untuk menghasilkan ketetapan hukum yang sesuai dengan kebutuhan
zaman modern, namun keduanya tidak ditopang oleh metodologi yang
sistematis dan terpadu,2 sehingga sering menimbulkan inkonsistensi
penalaran dan memberi kesan oportunis yang merupakan hanya sifat
sementara atau tumbal sulam bagi masalah hukum Islam yang
dibutuhkan oleh masyarakat.
Tawaran metodologi dari berbagai ulama dan para pemikir hukum
Islam yang berbeda dari metodologi ulama klasik baru muncul pasca
Muhammad Abduh (w. 1905 M). Atas pengaruh pemikiran
Muhammad Abduh yang rasional dan liberal yang kemudian muncul
tawaran-tawaran metodologi baru yang berusaha menggali hukum
Islam dari sumber-sumbernya (al-Qur’an dan as-Sunnah) untuk
menyesuaikan dengan dinamika dan perkembangan kemajuan zaman.
Perumusan tafsir dan kajian terhadap al-Qur’an selalu mengalami
perkembangan yang dinamis seiring dengan ekselerasi perkembangan
kondisi sosial-budaya dan peradaban manusia. Hal ini terbukti dengan
munculnya karya-karya tafsir, mulai dari yang klasik hingga kontem-
1
Awal munculnya pemikiran hukum Islam pada masa modern ini, menurut Abdul Wahhab
Khallaf dimulai pada akhir abad 13 H di Turki Usmani dan kemudian di Mesir. Abd al-Wahhab
Khallaf, Khulashah Tarikh at-Tasyri’ al-Islamiy (Jakarta: al-Majlis al-A’la al-Indunisi li ad-Da’wah
al-Islamiyyah, 1968), hlm. 103-105.
2
Agus Moh. Najib, Evolusi Syari’ah: Ikhtiar Mahmoud Taha bagi Pembentukan Hukum Islam
Kontemporer, (Yogjakarta, Pesantren Nawasea Press, 2007), hlm. 4
66
Mahfudz Junaedi - Epistemologi Hukum Islam Kontemporer
3
A. Qodri A.Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum
Umum (Yogjakarta: Gema Media, 2002). Hlm., 32-33
4
Pendapat yang menyebutkan bahwa As-Syafi’i sebagai pendiri ilmu ushul al-fiqh adalah
berkembang di kalangan pengikut mazhab Asy-Syafi’i, sedangkan dikalangan pengikut mazhab
Hanafi, Syabani, dan Abu Yusuf justru cenderung memperoalkan hal tersebut dan telah
memberikan kontribusi yang cukup besar dalam pengembangan ilmu ushul al-fiqh, jauh sebelum
rumusan ilmu ushul al-fiqh dikembangkan oleh Asy-Syafi’i. Pendapat ini hanyalah dalam
penyusunan ilmu ushul al-fiqh mana yang lebih sistematis sebagai rujukan dalam melakukan
67
Pembaruan hukum Islam tersebut terus dikembangkan dan
sekaligus telah mendorong para pemikir muslim kontemporer, seperti
Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Abdullah Ahmed an-Na’im,
Hassan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Nash Hamid Abu Zaid, dan
Muhammad Syahrur untuk mendekonstruksikan dan sekaligus
merekonstruksi metodologi hukum Islam dan menafsirkan kembali al-
Qur’an yang lebih sesuai dengan tantangan dan tuntutan zaman. Adapun
untuk mengurai kembali dalam gerakan pembaruan hukum Islam dapat
dikelompokkan menjadi dua kelompok: Pertama, yakni kelompok yang
menganut paham legal theorists5 yang berpendapat bahwa untuk mem-
benahi ketertinggalan hukum Islam dan untuk menyesuaikan dengan
keadaan aktual harus membuka pintu ijtihad secara bebas tanpa terikat
dengan aturan yang lebih dikenal di kalangan para mujtahid tradisional.
Kelompok ini menghendaki perubahan total, dan tidak peduli teks itu
adalah al-Qur’an ataupun as-Sunnah. Untuk sampai kepada maksud
tersebut, mereka sering kali menciptakan berbagai kaidah-kaidah baru.
Akan tetapi, upaya penafsirannya sering dianggap sesat – walaupun telah
memunculkan corak baru dalam pemikiran hukum Islam – karena telah
mampu memberikan tawaran yang meyakinkan, baik dari segi sumber,
metode maupun aplikasinya.6
Kedua, kelompok ahli hukum Islam yang menempatkan teks al-
Qur’an dan as-Sunnah sebagai pijakan utama dalam menemukan
segala aktivitas kehidupannya. Ketentuan-ketentuan teks al-Qur’an
dan as-Sunnah yang jelas dan rinci dan kitab-kitab karya ahli hukum
Islam tradisional diterima tanpa dilakukan interpretasi ulang. Karena
istimabth (Ijtihad) hukum Islam. Farouq Abu Zaid, Hukum Islam Antara tradisonalis dan
Modernis (Jakarta, P3M, 1986), hlm, 1-10
5
Kelompok yang ahli dalam ilmu ushul al-fiqh. Kecenderungan kelompok ini mengutamakan
akan daripada wahyu. Dalam ilmu ushul al-fiqh, tradisi berpikir ini telah dipelopori oleh
‘Umar, Abu Hanifah, Rasyid Ridla, Muhammad ‘Abduh, Ahmad Khan, dan ‘Ali ‘Abd al-Raziq.
Leonard Binder, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies (London; The Univer-
sity of Chicago Press, 1988), hlm., 24-25; Hasan At-Turabi, Fiqh Demokratis; Dari Tradisionalisme
Kolektif Menuju Modernisme Populis, terj. Abdul Haris dan Zaimul Am (Bandung: Arasy, 2003),
hlm. 51-73
6
Satria Effendi M, “Ijitihad Sepanjang Sejarah Hukum Islam: Memposisikan K.H. Ali Yafie”,
dalam Jamal D. Rahmad, (ed), Wacana Baru Fiqih Sosial: 70 Tahun KH. Ali Yafie (Bandung:
Mizan, 1997), hlm. 154; Asy-Syafi’i mengatakan bahwa tekslah yang harus dijadikan pedoman
(baca; al-qiyas), bukan istihsan (atau maslahah) yang merupakan produk akal. Muhammad bin
Idri Asy-Syafi’I, Ar-Risalah, Ahmad Muhammad Sakir (ed.) (Bairut: Dar al-Fikr, t.th.), hlm.
507.
68
Mahfudz Junaedi - Epistemologi Hukum Islam Kontemporer
69
Yang pertama berkaitan dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan
oleh Allah dan bersifat absolute, sedangkan yang kedua adalah hukum-
hukum yang diperoleh dari hasil pemahaman manusia yang bersifat
historis dan tidak sakral.11 Dengan demikian, epistemologi hukum
Islam pada dasarnya meliputi pembahasan “sumber pengambilan
hukum, metode yang digunakan untuk mencetuskan atau menghasil-
kan hukum, dan aplikasinya dengan tujuan mentransformasikan
ketentuan-ketentuan teks al-Qur’an dan as-Sunnah menjadi sebuah
sistem norma-norma yang dapat ditegakkan di masa kini. Adapun
upaya transformatif ini dilakukan dengan menggunakan teori-teori
ilmu pengetahuan (kontemporer) yang telah berkembang dan dikem-
bangkan oleh para pemikir Islam, termasuk teori dari hermeneutika
fenomnologi.
Sedangkan istilah kontemporer dalam pembahasan tulisan ini
berarti era masa kini, zaman sekarang, atau yang bersifat kekinian.
Kontemporer lahir dari modernitas sehingga istilah modern dan
kontemporer, meskipun merujuk pada dua era, keduanya tidak memi-
liki penggalan waktu yang pasti.12 Adapun batasan pemikiran kontem-
porer (terutama di dunia Arab) dimulai pada tahun 1967, yakni sejak
kekalahan dunia Arab oleh Israel. Saat itu pula Arab mulai sadar akan
dirinya, lalu muncul berbagai kritik diri (an-naqd adz-dzati) di sana-
sini untuk melakukan reformasi diri, antara lain dengan menjelaskan
faktor-faktor penyebab kekalahannya atas Israel.13
Berdasarkan uraian di atas pendekatan dan metode kajian terha-
dap epistemologi hukum Islam kontemporer adalah menjelaskan seca-
ra komparatif tentang hakikat hukum Islam, serta bagaimana metode
dan hasil (validitas) ijtihad hukum Islam yang muncul di era kontem-
porer. Jadi problem inti dalam penulisan makalah ini adalah masalah
pemberian makna, produksi makna, dan keabsahan dalam melakukan
ijtihad dan penafsiran (hermeneutika) terhadap al-Qur’an dan as-
Sunnah.
11
Menurut Mohammed Arkoun, ajaran Islam terbagi dua bagian: at-Turast dengan T besar yang
dianggap sakral, wahyu Allah, absolute, dan at-turast dengan t kecil yang tidak sakral dan
bersifat historis karena produk sejarah manusia. Mohammed Arkoun, Al-Fikr al-Islami Qura’ah
‘Ilmiyyah, terj, Hasyim Shaleh (Bairut: Markaz al-Inma al-Qaumi, 1987) hlm., 17 dan 18.
12
AS. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (Britain: Oxford Univer-
sity Press, 1987), hlm. 184.
13
Issa J. Boulatta, Trends and Issues in Contemporary Thought,(T.tp.: SUNY, 1990), hlm. x
70
Mahfudz Junaedi - Epistemologi Hukum Islam Kontemporer
14
Kata syari’ah mencul dalam beberapa ayat al-Qur’an seperti pada surat al-Ma’’idah: 48; asy-
Syura: 13 dan al-Jasiyah: 18 yang mengandung arti jalan yang jelas yang membawa kepada
kemenangan. Fazlur Rahman, Islam (Garden City: Anchor Books, 1968), hlm. 117; Amir
Syarifuddin, “Pengertian da Sumber Hukum Islam”, dalam Ismail Muhammad Syah, et.al.
(peny.), Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 11-12.
15
Mohammad Syaltut, Al-Islam: ‘Akidah wa Syari’ah (terj) Bustami A. Gani, B. Hamdany Ali
(Jakarta: Bulan Bintang, 1968), hlm. 21
16
Amir Syarifuddin, “Pengertian dan Sumber Hukum Islam”, dalam Ismail Muhammad Syah
(et.al.), Filsafat Hukum Islam…., hlm. 13.
71
aturan-aturan praktis, materi hukum, yang sudah pasti tiap-tiap
agama memiliki syari’ah yang berbeda-beda, dan biasanya berkaitan
dengan kewajiban, perintah dan larangan. Dalam arti yang seperti
ini, syari’ah adalah sebuah ketentuan hukum yang terdapat di dalam
al-Qur’an dan Sunnah, atau sebuah ketentan hukum yang meru-
pakan hasil interpretasi para ahli hukum Islam terhadap al-Qur’an
dan Sunnah, baik yang berhubungan dengan Allah maupun dengan
sesama manusia, baik persoalan keagamaan maupun keduniaan.
Pergeseran eksistensi syari’ah sebagai hukum-hukum ketetapan
Allah sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah
yang bersifat pokok, universal yang tidak terbatas pada ruang dan
waktu, menjadi hukum yang temporer, rinci yang hanya mengatur
tentang perbuatan wajib, larangan, sunnah, makrum, dan muban
(al-‘Af’alul al-khamsah). Akan mengurangi hakikat syari’ah sebagai
hukum yang bersifat universal.
Memahami makna syari’ah sebagaimana yang dikemukakan
oleh An-Na’im memiliki kesamaan dengan pandangan R.S. Khare
yang mengatakan bahwa syari’ah dalah formulasi hukum yang
berjalan dalam waktu lama. Di samping itu, pandangan An-Na’im
juga memiliki kesamaan dengan pandangan dengan Ash-‘Ashmawi
yang memasukkan unsur tafsir, ijtihad, fatwa ulama, dan keputus-
an-keputusan hakim dalam wacana syari’ah.17 Maka dalam konteks
ini, syari’ah merupakan hasil pemahaman tentang Islam yang di-
pengaruhi kondisi historis tertentu. Pemahaman pemikir modernis
saat ini juga mungkin dan bisa dibenarkan dalam perspektif Islam
sebagaimana halnya rumusan pemikiran tradisional tentang syar’iah
yang telah diterima dan diakui di masa lampau.
2. Fiqh
Secara harfiah, kata fiqh berarti “paham yang mendalam”. Bila
kata paham dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriah,
maka fiqh berarti paham yang menyampaikan ilmu lahir kepada
ilmu batin. Karena itu, dapat disebutkan bahwa fiqh tentang sesuatu
17
Mengutif pendapat An-Na’im menyitir pendapat Taha, berpendapat: “Isi (pesan) al-Qur’an
dan Sunnah melahirkan dua level, yang pertama merupakan periode awal di Makkah, dan
bagian berikutnya periode Madinah … Pesan, Makkah sebenarnya merupakan pesan abadi dan
fundamental dalam Islam, yang menekankan (pemeliharaan) martabat seluruh umat manusia
tanpa membedakan jenis kelamin, keyakinan keagamaan, ras, dan lainnya.
72
Mahfudz Junaedi - Epistemologi Hukum Islam Kontemporer
3. Hukum Islam
Secara etimologis maupun terminologis, istilah hukum Islam
adalah mencakup berbagai persoalan hidup manusia, baik yang
menyangkut urusan dunia maupun urusan akhirat. Sumber utama
hukum Islam adalah wahyu ilahi dan akal manusia. Identitas ganda
18
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa Raya, 1990),
hlm. 15
19
A. Qodri A. Azizy, Ekletisisme Hukum Nasional ….., hlm. 2-3
73
hukum Islam ini terlihat dalam dua penunjukan bahasa Arabnya,
syari’ah dan fiqh. Syari’ah memiliki keterkaitan yang lebih besar
dengan wahyu ilahi, sedangkan fiqh merupakan produk akal
manusia atau pengetahuan tentang ketentuan praktis syari’ah yang
diambil dari al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian, hukum Is-
lam dapat dikategorikan menjadi dua bagian: Pertama, ketentuan-
ketentuan (hukum) Islam yang jelas dan rinci, seperti masalah
ibadah, pernikahan, ketentuan warisan, dan seterusnya. Bagian
ini merupakan wilayah syari’ah. Kedua, ketentuan-ketentuan Islam
yang diformulasikan melalui penguraian akal. Bagian ini merupakan
wilayah fiqh.
Beberapa pandangan berpendapat, bahwa hukum Islam baik
dalam al-Qur’an dan literatur hukum dalam Islam, kata hukum
Islam tidak dijumpai sama sekali, karena istilah hukum diartikan
sebagai sebuah kumpulan aturan, baik berupa hasil pengundangan
formal maupun dari kebiasaan, yang masa sebuah negara atau
masyarakat mengaku terikat sebagai anggota atau subjeknya.20
Kalau pengertian hukum tersebut dihubungkan dengan Islam,
maka “hukum Islam” adalah sejumlah aturan yang bersumber pada
wahyu dan Sunnah Rasul – baik yang langsung maupun yang tidak
langsung – yang mengatur tingkah laku manusia yang diakui dan
diyakini serta harus dikerjakan oleh umat Islam.21 Di samping itu,
hukum Islam juga harus memiliki kekuatan untuk mengatur, baik
secara politis maupun sosial, sehingga peran negara memiliki
kompetensi dalam menegakkan aturan tersebut.
Hal tersebut menunjukkan bahwa hukum Islam bisa diklasifi-
kasikan menjadi dua tingkatan: Pertama, hukum Islam yang berarti
al-nushush al-muqaddasah (tek-teks suci) dalam al-Qur’an dan Sunnah
al-Mutawatirah (Sunnah Mutawatir). Kedua, hukum Islam yang
merupakan produk penafsiran seseorang terhadap an-nushush al-
muqaddasah (teks-teks suci) yang terdapat dalam al-Qur’an dan
20
Faturrahman Djail, Filsafat Hukum Islam ……, hlm. 12.
21
Hukum Islam sebagai koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syari’ah atas
kebutuhan masyarakat; M. Hasbi ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1975) hlm. 44; kata hukum Islam merupakan terjemahan dari term “Islamic law” yang berasal
dari pemikir hukum Barat yan disejajarkan dengan istilah Roman Law, dan umumnya para
sarjana Barat non-Muslim menggunakan sebagai terjemahan dari fiqh atau fiqh Islam; Djamil,
Filsafat Hukum Islam…., hlm. 11.
74
Mahfudz Junaedi - Epistemologi Hukum Islam Kontemporer
75
penemuan hukum Islam yang sesuai dengan konteksnya. Al-Qur’an
sebagai sumber hukum Islam dan teks atau ayat al-Qur’an yang terba-
tas dengan konteks yang tidak terbatas selalu dilakukan upaya oleh
mujtahid atau mufassir sehingga proses menemukan hukum Islam dan/
atau tafsir merupakan sebuah proses yang tidak pernah selesai sampai
hari kiamat. Proses menemukan (istimbath) hukum Islam atau ijitihad,
baik sebagai produk maupun proses ijtihad terus berkembang seiring
dengan perkembangan dan perubahan zaman. Demikian pula, proses
ijtihad melalui penafsiran al-Qur’an diupayakan terus berkembang se-
iring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan perkembangan
paradigma ilmu pengetahuan untuk menemukan kebenaran sebagai-
mana yang diisyaratkan oleh Allah melalui al-Qur’an. Ada beberapa
konstruk dalam melakukan ijtihad dalam rangka menemukan hukum
Islam (fiqh) dan tafsir al-Qur’an pada era kontemporer ini, antara lain:
76
Mahfudz Junaedi - Epistemologi Hukum Islam Kontemporer
27
Jujun S. Suriasumantri, “Tentang Hakikat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi”, dalam Jujun S.
Suriasumantri (peny), Ilmu dalam Perspektif…., hlm. 9
28
Contoh dalam membicarakan tentang keadilan dalam masalah waris, maka konsep keadilan
yang dimaksud adalah berdasarkan teks al-Qur’an (QS. An-Nisa’ [4]: 11), meskipun keadilan
bersifat universal sebagai pesan permanennya, maka ketika berbicara tentang kewarisan,
konsep keadilannya berdasarkan pada teks (ayat) yang universal.
77
menerus, seiring dengan semangat dan tuntutan problem kontem-
porer. Pada sisi lain, al-Qur’an sebagai petunjuk dan sumber hu-
kum Islam tidak hanya diperuntukkan bagi masyarakat Arab saja,
tetapi bagi orang-orang sekarang dan untuk dimasa yang akan
datang, sehingga prinsip-prinsip universal al-Qur’an dapat dijadi-
kan pijakan untuk menjawab tuntutan perkembangan zaman yang
bersifat temporaldan partikular.
Dengan adanya kodifikasi al-Qur’an maka teks kitab suci ini
menjadi korpus tertutup dan terbatas (teks yang statis dan konteks
yang dinamis). Padahal, problem umat manusia begitu kompleks
dan tidak terbatas. Maka untuk mengantarkan hukum Islam dapat
diterakan dalam situasi dan kondisi yang ada diperlukan ijtihad
dan penafsiran al-Qur’an ke dalam konteks partikular era kontem-
porer yang sesuai dengan semangat zamannya. Dalam hal ini Fazlur
Rahman menegaskan bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan
pada waktu tertentu dalam sejarah – dengan keadaan umum dan
khusus yang menyertainya - seringkali menggunakan ungkapan-
ungkapan yang sesuai dengan situasi yang mengelilinginya. Menu-
rut ayat-ayat tersebut tidak dapat direduksi atau dibatasi oleh situasi
historis pada saat ia diwahyukan. Oleh karena ini, Rahman kemu-
dian mengajukan model hermeneutika double movement.29
Kedua, memposisikan al-Qur’an sebagai kitab petunjuk,
menurut Muhammad Abduh, produk-produk tafsir masa lalu telah
kehilangan fungsinya sebagai kitab petunjuk bagi umat manusia
dan tidak lebih sekadar pemaparan atas berbagai pendapat para
ulama yang saling berbeda dan pada akhirnya menjauhan dari
tujuan diturunkannya al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat
manusia (hudan li an-nas).30 Kecuali beberapa kitab tafsir yang baik
dan dapat dipercaya.31 Tafsir harus berfugsi menjadikan al-Qur’an
sebagai sumber pentunjuk (mashdar al-hidayah), bukan untuk
membela ideologi tertentu dan beberapa mufassir kontemporer
29
Lebih lanjut baca Fazlur Rahman, Islam and Modernity, hlm. 4-9; double movement dimaksudkan
adalah seseorang dalam memahami atau menafsirkan Al-Qur’an disamping dapat menangkap
makna teks, juga harus memperhatikan situasi sosio-historis masa lalu di saat teks itu turun,
untuk kemudian di tarik lagi ke dalam situasi sekarang ini.
30
Muhammad ‘Abduh, Fatihah al-Kitab (Kairo: Kitab al-Tahrir, 1382 H), hlm. 13
31
Seperti ktab tafsir karya az-Zamakhsyari, ath-Thabari, al-Asfihani, dan al-Qurthubi
78
Mahfudz Junaedi - Epistemologi Hukum Islam Kontemporer
2. Hermeneutika
Meminjam pemikiran Fazlur Rahman dalam menggunakan
dua alat analisis hukum Islam untuk menghadapi perkembangan
dan perubahan masa modern, yaitu: Pertama, critrical history adalah
sebuah pendekatan yang pada prinsipnya bertujuan menemukan
fakta-fakta objektif secara utuh dan mencari nilai-nilai tertentu yang
terkandung di dalamnya. Yang ditekankan metode ini adalah
pengungkapan nilai-nilai yang terkandung dalam sejumlah data
sejarah, bukan peristiwa sejarah itu sendiri.32 Kedua, hermeneutika,
khususnya hermeneutika Betti, yang berpendapat bahwa proses
penciptaan yang asal, bentuk-bentuk pemahaman atau penafsiran
32
Akan tetapi, kalau data sejarah hanya dipaparkan kronologisnya saja, maka model teori itu
dinamakan pendekatan kesejarahan. Metode historis kritis ini juga berbeda dengan metode
sosio-historis. Sekalipun kedua metode tersebut sama-sama berusaha menjawab pertanyaan
mengapa. Metode pertama mencari jawabannya pada nilai-nilai yang dominan dalam data-
data sejarah, sedangkan metode yang kedua mencarikan jawabannya pada konteks dan latar
belakang peristiwa sejarah tersebut. Namun, kedua metode itu sangatlah penting yang mana
metode sosio-historis berperan mengantarkan kepada metode historiis-kritis; Ghufron A.
Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta:
Rajawali Press, 1997), hlm. 62-63.
79
terhadap karya tulis harus dibawa kembali pada pikiran yang men-
ciptakannya, sebagai satau kesatuan yang koheren, dan dihidupkan
kembali dalam pikiran subjek yang menafsirkan karya tulis.33
Hermeneutika34 sebagai metodologi dalam memahami dan me-
nafsirkan al-Qur’an merupakan bagian terpenting dalam epistemo-
logi hukum Islam kontemporer.35 Terkait dengan hal ini, Roger
Trigg menyatakan bahwa hermeneutika merupakan suatu mode
penafsiran terhadap teks tradisional (klasik), di mana suatu perma-
salahan harus selalu diarahkan supaya teks selalu dapat dipahami
dalamn konteks kekinian yang situasinya berbeda36. Nuansa
hermeneutik yang menonjol dalam paradigma tafsir kontemporer
meniscayakan bahwa setiap teks (baca; penafsiran) perlu dicurigai;
ada kepentingan atau ideologi apa dibalik penafsiran teks tersebut.
Model pendekatan37 hermeneutika menjadi menu alternatif
dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an pada era kontem-
porer sekarang ini, sehingga metode hermeneutika sebagai bagian
dari rekonstruksi atas pendekatan pemahaman atau dalam melaku-
kan istimbath hukum Islam dianggap memadani dan mampu
menjawab persoalan-persoalan hukum Islam kontemporer. Maka
konsekuensi dari digunakannya model pembacaan dan pemahaman
menggunakan hermeneutika dalam menafsirkan al-Qur’an tidak
hanya mengandalkan perangkat keilmuan klasik seperti yang
digunakan oleh para ulama fiqh (fuqaha’) dan mufassir dahulu,
seperti ilmu nahwu-sharaf, ushul fiqh, dan balaghah, tetapi diper-
33
Mas’adi A. Ghufron, Pemikiran Fazlur Rahman…., hlm. 70
34
Hermeneutika sebagai metode memiliki fokus kajian pada teori umum tentang interpretasi
sebagai metodologi dalam ilmu-ilmu sosial (geisteswissenschaften). Penggunaan hermeneutika
sebagai metode ini ditekankan pada upaya pencapaian objektivitas. Dalam kategori
hermeneutika metode ini yang paling mendekati adalah hermeneutika F. Schleiermacher,
Wilhelm Dilthey, dan Emilio Betti.
35
Jika era klasik lebih menekankan pada praktik eksegetik yang cenderung linier-atomistic dalam
menafsirkan Al-Qur’an, serta menjadikan kitab suci tersebut sebagai subjek maka tidak
demikian halnya pada era modern dan kontemporer. Paradigma pemahaman dan penafsiran
Al-Qur’an pada era kontemporer cenderung bernuansa hermeneutik dan lebih menekankan
pada aspek epistemologi-metodologis.
36
Dikutif dari Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, (Jakarta: Paramadina, 1996)
hlm, 161.
37
Ada bebeapa model pendekatan hermeneutik, antara lain: 1) hermeneutika metode
dikembangkan oleh F. Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, dan Emilio Betti; 2) hermeneutika
filosofis yang dianut oleh Martin Heidegger, Gadamer; 3) hermeneutika kritis yang
dikembangkan oleh Nietzsche, Jurgen Habermas
80
Mahfudz Junaedi - Epistemologi Hukum Islam Kontemporer
38
Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan; Seri Fiqh Otoriter ke Fiqh Otoritatif, terj. Cecep Lukma
Yasin, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004). Hlm. 62-63
39
Nashr Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khithab ad-Diniy, (Kairo: Sina li an Nasyr, 1994), hlm. 144
81
Dilihat dari sisi sumber pemahaman dan penafsiran di era
kontemporer bersumber ada teks al-Qur’an, akal (ijtihad), dan reali-
tas empiris. Secara paradigmatik, posisi teks, akal, dan realitas ini
berposisi sebagai objek dan subjek sekaligus. Ketiganya selalu ber-
dialektik secara sirkular dan triadic. Ada peran yang berimbang
antara teks, pengarang, dan pembaca. Paradigma yang dipakai
dalam memandang teks, akal, dan realitas adalah paradigma
fungsional bukan paradigma struktural yang cenderung saling
menghegemoni satu sama lain.
Posisi teks, akal, dan realitas dalam paradigma pemahaman
dan tafsir kontemorer bisa digambarkan sebagai berikut:
PARADIGMA FUNGSIONAL
82
Mahfudz Junaedi - Epistemologi Hukum Islam Kontemporer
83
mengkaji situasi dan kondisi historis yang melarbelakangi turunnya
ayat-ayat al-Qur’an, baik berupa asbab an-nuzul maupun situasi
sosial, politik, ekonomi, budaya, dan juga peradaban masyarakat pada
saat al-Qur’an diturunkan. Lebih lanjut, menurut Rahman, ayat-
ayat al-Quran adalah pernyataan moral, religius, dan sosial Tuhan
yang merespon apa yang terjadi dalam masyarakat. Ideal moral inilah
yang harus dijadikan acuan dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an,
sehingga berbagai problem kontemporer dapat dijawab dengan
menggunakan pendekatan double movement. Ada dua langkah yang
harus ditempuh, yakni: Pertama, memahami makna suatu ayat
dengan mengkaji situasi atau problem historis yang muncul ketika
itu, di mana pernyataan ayat tersebut merupakan jawabannya. Kedua,
menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik dan menyatakannya
sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral
sosial umum. Setelah mengetahui apa yang terjadi “ideal moral” dari
suatu ayat maka kita bisa menjawab problem kontemporer dengan
pesan moral yang terdapat dalam ayat tersebut.40
84
Mahfudz Junaedi - Epistemologi Hukum Islam Kontemporer
E. Penutup
Sebagai akhir dari pembahasan makalah dengan judul episte-
mologi hukum Islam kontemporer, sehingga yang dapat disimpulkan
dari uraian tersebut di atas adalah sebagai berikut:
1. Hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah ha-
rus mampu menjawab problema-problema masyarakat modern atau
kontemporer dengan cara selalu melakukan pengkajian dengan
menggunakan pendekatan multidisipliner sesuai dengan paradig-
ma perkembangan ilmu pengetahuan yang berkembangan saat ini.
2. Al-Qur’an sebagai teks yang berfungsi sebagai petunjuk bagi
manusia harus tetap aktual, yakni shalih li kulli zaman wa makan
yang tidak terbatas pada ruang dan waktu tertentu, tetapi akan
bersifat universal pada semua masyarakat di masa kini, esok dan
yang akan datang. Meskipun ada keterbatasan teks pada sisi lain
perkembangan dinamika masyarakat yang terus berkembang, perlu
dilakukan pemahaman dan penafsiran dengan menggunakan
pendekatan-pendekatan keilmuan atau interdisipliner dan
interkoneksi.
3. Menggunakan hermeneutika double movement sebagaimana yang
digagas oleh Fazlur Rahman sebagai upaya membaca al-Qur’an
sebagai teks masa lalu dengan memperhatikan konteks sosio-
historis untuk mencari makna otentik (original maening) dan nilai-
nilai ideal moral, lalu kembali ke masa sekarang untuk melakukan
kontekstualisasi terhadap pesan-pesan universal dan eternal al-
Qur’an tersebut yang hendak diaplikasikan di era kekinian.
85
DAFTAR PUSTAKA
A Qodri Azizy, 2002, Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi Antara
Hukum Islam dan Hukum Umum, Yogjakarta: Gema Media.
Abdullah Ahmad an-Naim, 1994, Dekonstruksi Syari’ah. Terj.
Amiruddin ar-Rani, Yogjakarta: LKiS
Abdul Mustaqim, 2003, Madzahibut Tafsir; Peta Metodologi Penafsiran
Al-Qur’an dari Klasik hingga Kontemporer, Ygjakarta: Nun
Pustaka.
—————, 2010, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogjakarta: LKiS
Agus Moh. Najib, 2007, Evolusi Syari’ah; Ikhtiar Mahmoud Mohamed
Taha Bagi Pembentukan Hukum Islam Kontemporer, Yogjakarta,
Pesantren Nawesea Press.
Amin Abdullah, 2002. “Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul
Fiqh dan Dampaknya pada Fiqh Kontemporer”, dalam Ainur
Rofiq. Madzhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh
Kontemporer, Yogjakarta: Ar-Ruzz Press
—————, 1994, Falsafah Kalam di Era Posmodernisme, Yogjakarta:
Pustaka pelajar.
—————, (ed.) dkk, 2000, Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi,
Yogjakarta: Sunan Kalijaga
Ali Nurdin, 2006, Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal
dalam Al-Quran, Jakarta: Erlangga.
Fathurrahman Djamil, 1999, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu.
Fazlur Rahman, 1982, Islam and Modernity: Transformation of an Intel-
lectual Tradition, Chicago: University of Chicaqo Press.
—————, 1984, Islam. Terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka.
Ghufron A. Mas’udi, 1997, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi
Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: PT. Grafido Persada.
Hasan Hanafi, 2007, Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat, Terj. Yudian
Wahyudi, Yogjakarta, Nawesea English Pesantren.
86
Mahfudz Junaedi - Epistemologi Hukum Islam Kontemporer
87
88
TEOLOGI MULTIKULTURAL
UPAYA MEMBUMIKAN DIMENSI TRANSENDENTAL
DITENGAH KERAGAMAN SUKU, BUDAYA DAN
AGAMA
Nurul Mubin, M.S.I
(Dosen dan Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
(P2M) UNSIQ Wonosobo. Kini sedang mengikuti Program Doktor UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta)
Abstraksi:
Setiap agama memiliki nilai-nilai yang khas yang hanya dimiliki
pada masing-masing agama. Dalam agama terdapat nilai yang bersifat
partikular dan nilai-nilai yang bersifat universal. Dalam konteks teologi
misalnya, keimanan, keyakinan dan kepercayaan adalah sesutu yang
bersifat profan dan partikular yang berbeda antara satu agama dengan
dengan agama yang lain. Keyakinan Islam tentang Tuhannya sangat
berbeda dengan keyakinan (teologi) Yahudi dan Nashrani. Meskipun
didalamnya juga terdapat nilai yang bersifat universal seperti halnya
nilai-nilai tentang kemanusiaan (humanity value).
Dalam perkembangannya, teologi tidak saja berbicara pada ranah
aqidah, Ibadah dan mu’amalah, akan tetapi juga merambah pada ranah
kajian-kajian antroposentrisme, dimana manusia menjadi bagian
terpenting dalam pemahaman teologi. Tulisan ini akan membahas
bagaimana teologi yang bersifat profan berbicara pada tema-tema yang
bersifat publik.
Pendahuluan:
Teologi menempati posisi yang penting dalam agama manapun.
Kajian tentang teologi ditempatkan sebagai kajian yang fundamental
yang disebutkan oleh beberapa pengkaji agama sebagai jantungnya
agama. Agama yang hadir sebagai sistem kepercayaan, sistem
89
keimanan dan sistem penyembahan adalah bukti keberadaan teologi
yang sangat dominan dalam agama. Seakan menjadi kesepakatan
bahwa agama tanpa teologi tidak jauh berbeda dengan budaya yang
tidak memiliki korelasi dengan keberadaan sang pencipta, meskipun
dalam budaya terdapat beragam upacara pemujaan kepada Tuhan,
tetapi sesungguhnya budaya adalah ekspresi dari makna teologi yang
sebenarnya.
Konsep tentang teologi dalam agama-agama adalah konsep yang
paling fundamental yang secara historis menjadi sesuatu yang utama
dan terpenting dari semua konsep teologi dalam agama-agama. Pada
beberapa abad pertama munculnya teologi dalam masyarakat Arab
pra Islam menunjukkan bahwa sistem teologi sudah cukup menyeja-
rah dan sangat bervarian. Setiap suku pada masyarakat Arab pra Is-
lam memiliki sistem teologi yang beragam.
Teologi pada dasarnya adalah fenomena eksistensi personal,
profan dan langsung berhubungan dengan Tuhan, sehingga teologi
seringkali dipersepsikan sebagai sesuatu yang tidak ilmiah dan tidak
masuk akal.
Teologi sebagai suatu nilai-nilai agama yang bersifat partikul yang
hanya diyakini, di imani hanya oleh intern penganut agama, perseoalan
teologi tidak memungkinkan terjadinya pertemuan antar pemeluk
agama yang berbeda. Tetapi tidak berarti sesuatu yang bersifat partiku-
lar dalam agama menjadi suatu agama tertutup sama sekali dengan
dunia luar yang tidak menyakini keyakinan pertikular tersebut. Dalam
konteks inilah nilai yang bersifat universal diperlukan untuk memung-
kinkan keyakinan dan agama yang berbeda untuk saling bertemu dan
berdialog antar satu dengan yang lain.
Teologi lebih populer diposisikan sebagai kajian yang berada dalam
ranah teosentrisme, dimana Tuhan sebagai sumber kajian dan sumber
kebenaran segala sesuatu, sehingga teologi merupakan cakrawala
yang berada diawang-awang yang bersifat abstrak, dimana dimensi
syari’at dan wahyu sangat dominan didalamnya. Berbeda halnya
dengan antroposentrisme, dimana manusia adalah obyek kajian utama
dengan segala fenomenanya.
Mendiskusikan Teologi multikultural sebenarnya usaha untuk
menghubungkan dimensi yang bersifat profan dan berorientasi wahyu
90
Nurul Mubin, M.S.I - Teologi Multikultural
91
tian dengan pendekatan ini bertujuan untuk meneliti dan mengkaji
segala sesuatu yang menjadi pokok kajian menuju suatu pemekaran
makna untuk mencapai suatu kesimpulan melalui nuansa tradisi.2
Pendekatan ini digunakan mengingat wacana tentang Teologi
Multikultural disatu sisi adalah wacana yang bersifat normatif teologis
sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa ayat-ayat al-Qur’an
tentang gambaran masyarakat multikultural yang tertuang dalam kata
“ummatan wahidatan” umat yang satu, meskipun berlatar belakang
suku dan agama yang berbeda.
Pendekatan ini akan membantu terhadap berbagai potret tindakan
sosial yang di bentuk oleh sistem sosial, normatif yang ada pada agama
tertentu, demikian juga dengan berbagai tindakan yang mengarahkan
pada kebiasaan dan tradisi-tradisi yang mengakar yang selalu mengiringi
pelaksanaan kehidupan sosial dan agama dalam komunitas tertentu.
Kedua: Pendekatan untuk melakukan interpretasi sosiologi agama
dan antropologis. Pendekatan dan interpretasi ini digunakan untuk
memahami realitas sosial kehidupan masyarakat dewasa ini dan sekali-
gus pola relasi yang ada pada masyarakat guna menemukan suatu
yang nyata dan jelas serta sesuatu yang tidak tampak di permukaan
guna menemukan kebenaran data, informasi dan fenomena masyara-
kat Multikultural.
Pendekatan sosiologi agama dan antropologis ini sebagai studi
tentang interrelasi dari agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk
relasi yang ada pada mereka. Anggapan para sosiolog bisa jadi benar,
bahwa dorongan-dorongan, gagasan-gagasan dan kelembagaan agama
mempengaruhi, dan sebaliknya dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan
sosial.3 Sementara pendekatan dan interpretasi secara antropologis
berkaitan dengan soal upacara keagamaan, kepercayaan, tindakan dan
kebiasaan. Pendekatan antropologis pada awalnya digunakan dalam
masyarakat primitif atau masyarakat sebelum mengenal tulisan tetapi
pendekatan ini kini banyak digunakan juga karena antropologi
memandang agama sebagai fenomone kultural.
2
Dr. H. Muhtarom. M.H. Reproduksi Ulama di Era Globalisasi, Resistensi Tradisional Islam, Pustaka
Pelajar, cet 1 Yogyakarta, 2005, hal. 29
3
Prof. Dr. Iman Suprayogo, Drs. Tobroni, Msi, Metode Penelitian Sosial Agama, Rosda, Bandung,
hal. 61
92
Nurul Mubin, M.S.I - Teologi Multikultural
93
Teologi Multikulturalisme merupakan wacana yang berkembang
seiring dengan perkembangan ilmu filsafat di belahan dunia khusus-
nya di Barat. Wacana Teologi Multikulturalisme muncul seiring dengan
semakin gencarnya gerakan globalisasi yang sangat gencar dilakukan
oleh negara-negara maju di dunia. Terlepas dari sikap pro dan kontra
terhadap wacana tersebut, tetapi tidak sedikit kalangan menuduh
Baratlah yang menjadi pemicu dibalik wacana tersebut. Wacana
multikultural oleh beberapa pengkritiknya dianggap sebagai cara Barat
dalam rangka menundukkan negara-negara penentangnya, karena
dengan wacana ini memungkinkan terjadinya pertemuan antar kebu-
dayaan dalam percaturan global. Antar suku, agama dan negara saling
menunjukkan identitas kulturalnya dihadapan negara lain.
Beberapa tokoh menyebutkan bahwa multikultural adalah proyek
negara Barat dalam menghadapi sejumlah momentum penting dalam
tata kehidupan global. Menurut Petter Wilson, multikultural muncul
karena kegagalan pemimpin di dalam mempersatukan orang Negro
dengan orang Kulit Putih”. Dari sini dapat diambil sebuah sintesa
bahwa konsep multikultural Petter Wilson semata-mata merupakan
kegagalan dalam mempersatukan kelompok etnis tertentu. Kemudian
problem penghambatan proses integrasi budaya ini berujung kepada
gagalnya atau salahnya perspektif tentang sebuah kesatuan budaya
(Unikultural). Yang seharusnya tidak berarti kemajemukan harus
dipaksakan untuk menjadi satu, akan tetapi perbedaan itu haruslah
menjadi kekuatan yang kompleks untuk bersatu dan berjalan bersama,
tanpa adanya konflik. Adanya sebuah konsesus Neo Liberal yaitu
datang berdasarkan pada kepentingan ekonomi liberalisme. Juga
menjadi faktor penghambat sebuah integrasi bangsa.
Oleh karena itulah, Menurut Kenan Malik (1998), multikultural-
isme merupakan produk dari kegagalan politik di negara Barat pada
tahun 1960-an. Kemudian gagalnya perang Dingin tahun 1989,
gagalnya dunia Marxisme kemudian gagalnya gerakan LSM di Asia
Tenggara yang menemukan konsep multikultural yang sebenarnya.
Jalan keluar dari semua itu menurutnya adalah sebuah keadilan yang
masih berpegang pada keanekaragaman budaya yang sejati yang
memungkinkan untuk saling bertegur sapa antar satu budaya dengan
budaya yang lain.
94
Nurul Mubin, M.S.I - Teologi Multikultural
7
Ahmad Suaedy, Akar Multikulturalisme dalam Al-Qur’an, dalam www, The Wahid Institut.com,
Kamis 10 Maret 2005
95
‘budaya’. Meskipun tidak sama pemaknaan kultur dengan budaya,
pemaknaan kultur dengan budaya adalah pemaknaan yang menyem-
pitkan substansi yang sebenarnya, tetapi kata kultur sangat familiar
untuk mengambarkan makna budaya. EB. Taylor (1832-1917) dan
L.H. Morgan (1818-1881) menyebutkan bahwa kultur adalah sebuah
budaya yangg universal bagi manusia dalam berbagai macam tingkat-
an yang dianut oleh seluruh anggota masyarakat. Demikian juga
dengan pendapat sosilog Emile Durkheim (1858-1917) yang menye-
butkan bahwa kultur adalah sekelompok masyarakat yang menganut
sekumpulan simbol-simbol yang mengikat di dalam sebuah masyara-
kat untuk diterapkan.
Pendapat kedua tokoh tersebut berbeda dengan pendapat Leslie
White (1900-1975) yang menyebutkan kultur sebagai cara bagi manu-
sia untuk beradaptasi dengan lingkungannya dan membuat hidupnya
terjamin. Sementara Clifford Geertz (1926) berpendapat bahwa sebuah
cara yang dilakukan oleh semua anggota dalam sebuah kelompok
masyarakat untuk memahami siapa diri mereka dan untuk memberi
arti bagi kehidupan mereka.
Begitu banyaknya pemaknaan tentang kultur (sebelum terlampau
jauh membicarakan multikultural), membuat kita harus menguraikan
terlebih dahulu tentang karakteristik kultur terlebih dahulu. Conrad
P. Kottak (1989) sebagaimana dikutip oleh M. Ainul Yaqin (2005)
menguraikan beberapa karakteristim kultur, diantaranya; kultur
adalah sesuatu yang general dan sekaligus spesifik. General artinya
setiap manusia di dunia ini memiliki kultur, sedangkan spesifik artinya
setiap kultur dalam kelompok masyarakat adalah bervariasi antara satu
dengan yang lain. Kultur adalah sesuatu yang dipelajari, kultur adalah
suatu simbol, kultur juga dimaknai sebagai sesuatu yang dilakukan
bersama-sama dan menjadi atribut bagi individu sebagai anggota dari
kelompok masyarakat, kultur adalah sesuatu yang bersifat adaptif.8
Dari beberapa definisi makna kultur di atas, bisa diambil intisari
bahwa kultur merupakan sesuatu yang dimiliki oleh sebuah komu-
nitas yang berlaku dan megikat semua komponen didalamnya, maka
multikulturalisme adalah jawaban untuk bertemunya antar kultur
8
M. Ainul Yaqin, M.Ed, Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi
dan Keadilan, Pilar Media, Yogyakarta; 2005, hal. 6-9
96
Nurul Mubin, M.S.I - Teologi Multikultural
9
Putra Pratama, Multikulturalisme, Akhlaq, Budi Pekerti dan Masayarakat, Jakarta; 2008 dalam
http://my.opera.com/Putra%20Pratama/blog/show.dml/2743875http://my.opera.com/
Putra%20Pratama/blog/show.dml
10
Priyo Darmanto, Kamus Indonesia Inggris, Arkola, Surabaya, 2007. Hal. 327
97
Dalam konteks Indonesia, kemunculan wacana multikultural-
isme sebenarnya sudah ada sejak negara ini berdiri. “Bhineka Tunggal
Ika” adalah semboyan filosofis yang menjadi spirit pembentukan In-
donesia. Wacana ini kemudian tenggelam dalam tiga dasawarsa lebih,
sehingga nyaris wacana ini menjadi usang dan tidak masuk di dalam
perdebatan akademik manapun. Meskipun jargon itu semakin gam-
pang diucapkan tetapi semakin jauh dan semakin sulit untuk diimple-
mentasikan. Karena pada level sosial, justru yang dikembangkan ada-
lah kebijakan monokulturalisme (penunggalan atau penyeragaman
budaya) melalui pendekatan asimilasionisme (minoritas membaur
dalam mayoritas)11 yang akhirnya meledak dan berkecamuk dalam
konflik benturan antar budaya yang terjadi dimana-mana.
Dalam konteks Arab pra Islam, realitas yang majemuk itu sudah
muncul dan sesekali berdampingan dan juga berbenturan. Kemaje-
mukan antar suku, Qabilah dan sistem Bani yang tidak lain sebagai
sistem yang kuat dan mengakar yang dipertahankan di tengah
masyarakat.
Selain itu heterogenitas kultural dan struktural serta sistem keya-
kinan juga sangat plural di tengah masyarakat Arab pra Islam. Sistem
kepercayaan paganisme, Nasrani, Yahudi, Majusi, adalah beberapa
agama yang dianut oleh mereka. Selain juga terdapat komunitas
penyembah matahari, bulan, bintang dan malaikat, yang sering dikenal
dengan istilah Ashobirin. Sementara kelompok penyembah cahaya dan
kegelapan disebut kelompok Zindiq. Sementara kelompok al-Dahriyah
adalah kelompok yang menyakini bahwa dunia adalah alam realitas
yang hakiki, dan menganggap tidak ada lagi kehidupan yang lain,
selain kehidupan itu. Istilah al-Dahriyah disebut dalam al-Qur’an
untuk menegaskan ciri kelompok ini, yang kalau kita sebut sekarang
mirip dengan aliran materialisme dan ateisme.12 Realitas ini menun-
jukkan bahwa secara alamiah multikulturalisme sudah ada dari zaman
ke zaman.
Keberadaan berbagai agama dan sistem kepercayaan tersebut
merupakan cermin tumbuhnya pluralisme dan heterogenitas masyara-
11
Melani Budianta, Multikulturalisme dan Penguatan Civil Society, INCIS, Jakarta; 2003 hal 85
12
Nurul Hak, Kajian Sosio Historis Masyarakat Arab Klasik, Jurnal Penelitian Agama Puslit IAIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta; Nomer 26 Tahun IX September-Desember 2000, hal 40.
98
Nurul Mubin, M.S.I - Teologi Multikultural
13
Ibid. Hal 32
14
Ibid, hal 32
99
masyarakat Arab pra Islam kedalam polisegmentasi suku, marga dan
ikatan kekerabatan keluarga seperti bani, di bawah seorang pemimpin
atau kepala suku (Syaikh al-Qobilah).
Dalam konteks Amerika, untuk digunakan sebagai contoh dalam
makalah ini, di Amerika berkembang serangkaian konsep mulai dari
melting pot sampai multikulturalisme. Sejak Columbus menemukan
benua Amerika, berbagai macam bangsa telah menempati benua itu.
Penduduk yang sudah berada di sana sebelum bangsa-bangsa Eropa
membentuk koloni-koloni mereka di Amerika Utara. Tetapi bagi bangsa
Anglo-Sakson yang menyebarkan koloni di abad ke-17, tanah di
Negeri Baru itu adalah kawasan tak bertuan dan bangsa-bangsa yang
ditemui adalah bangsa-bangsa primitif yang merupakan bagian dari
alam yang harus di taklukkan.
Dalam perkembangannya, kedatangan kaum imigran dari berba-
gai pelosok Eropa Barat dan Timur ke wilayyah yang dikuasai oleh
bangsa Anglo-sakson tersebut muncul konsep yang dikenal dengan
sebutan melting pot.15 Konsep inilah yang dikemudian hari memicu
munculnya konsep Cultural Pluralism yang membedakan antara ruang
publik yang homogen, tempat semua warga bersosialisasi dan berpar-
tisipasi dalam politik dan ruang privat yang penuh dengan keragaman
budaya berdasarkan latar-belakang masing-masing warga.
Diberbagai bangsa, fenomena multikultural muncul dalam per-
wujudan yang berbeda. Di Indonesia fenomena ini sebagai fenomena
yang cukup kaya dan berkembang dengan baik, meskipun dalam pang-
gung sejarah, Indonesia juga memiliki noda hitam terhadap ancaman
perpecahan akibat dari realitas yang multikultural tetapi disikapi
dengan cara pandang yang monokultural. Maka muncullah politik
identitas yang cenderung menonjolkan identitas suku, agama dan
rasnya sendiri.
Oleh karena itu, dalam konteks multikulturalisme perlu mengu-
nakan pendekatan post-strukturalisme sebagai cara pandang yang
mengacu pada dua hal, yakni; 1). Identitas budaya seseorang dalam
komunitas budaya tertentu tidaklah tunggal, melainkan majemuk,
merupakan persilangan merupakan etnisitas atau ras, kelas atau posisi
sosial ekonomi, jenis kelamin dan ideologi gender, orientasi seksual,
15
Melani Budianta, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural, INCIS, Jakarta; 2003. Hal. 92
100
Nurul Mubin, M.S.I - Teologi Multikultural
16
Ibid, hal 95
17
QS. al-Hujuraat(49):13
101
bicara Tuhan di situ. Bukan hanya umat Islam tetapi umat manusia,
Hai manusia! Dan perhatikan pula akhir ayat tersebut, bahwa mereka
atau individu yang paling mulia bukanlah suku Arab, Aria, Eropa,
Kulit Putih atau kulit Hitam, melainkan mereka yang paling bertaqwa
kepada Tuhannya.
Kalau kita melihat dan merenungi ayat ini sebenarnya kita sudah
tidak bisa berkata-kata lagi. Sudah terlalu jelas apa yang dimaui al-
Qur’an yang sudah seharusnya menjadi pedoman bagi kehidupan
umat Islam di mana pun, dan tentu saja umat-umat beragama lainnya.
Teologi multikultural hadir dalam rangka mengoptimalkan peran
agama sebagai faktor integrasi dan pemersatu. Al-Qur’an, misalnya,
memuat banyak sekali ayat yang bisa dijadikan asas untuk menghor-
mati dan melakukan rekonsiliasi di antara sesama manusia. Dalam
tulisan ini dapat dikemukkan contoh sebagai berikut;.
Pertama, al-Qur’an menyatakan bahwa; dulu manusia adalah
umat yang satu. (setelah timbul perselisihan) maka Allah mengutus
para Nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.
Dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk
memberikan keputusan diantara manusia tentang perkara yang
mereka perselisihkan.
“Tidak berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah dida-
tangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterang-
an-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah
memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal
yang mereka perselisihkan itu dengan kehendakNya. Dan Allah selalu memberi
petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki kepada jalan yang lurus,”18
Dengan ayat ini, al-Qur’an menegaskan konsep kemanusiaaan
universal Islam yang mengajarkan bahwa umat manusia pada mulanya
adalah satu. Perselisihan terjadi disebabkan oleh timbulnya berbagai
vested interest masing-masing kelompok manusia. Yang masing-ma-
sing mereka mengadakan penafsiran yang berbeda tentang suatu
hakikat kebenaran menurut vested interest-nya.
Kedua, meskipun asal mereka adalah satu, pola hidupnya menga-
nut hukum tentang kemajemukan, antara lain karena Allah menetap-
18
Q.s. al-Baqarah: 213
102
Nurul Mubin, M.S.I - Teologi Multikultural
19
Baca. QS. al-Rum: 22
103
Selain itu, kajian secara teologis juga ditunjukkan dalam ayat-
ayat al-Qur’an tersebut yang berkenaan dengan multikulturalisme,
Islam juga memberikan beberapa prinsip yang berhubungan dengan
multikulturalisme ini. Diantaranya adalah; 1) Prinsip egalitarianisme
(al-musawat) yang memandang manusia memiliki derajat yang sama.20
Pada ayat ini secara teologis menjelaskan bahwa harkat dan martabat
manusia ditentukan oleh kualitas ketaatannya kepada sang pencipta.
Penyetaraan derajat sesama manusia ini akan menghilangkan jurang
pemisah diantara manusia. 2). Prinsip keadilan (al-‘adalah). Prinsip
ini akan semakin meneguhkan keberadaan manusia dalam kehidupan
ini untuk senantiasa bertindak adil kepada sesama manusia meskipun
berbeda kultur, agama, ras dan latar belajar sosialnya. (3) Prinsip tole-
ransi (tasamuh). Sikap ini adalah sikap untuk menghargai atas perbe-
daan pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan yang berbeda atau
bertentangan dengan pendirian sendiri. (4) Prinsip saling menghor-
mati, kerjasama dan pertemanan. (5) Prinsip ko-eksistensi damai (al
ta’ayusy al-silmi). Prinsip ini merupakan dasar hubungan antar manu-
sia sesuai dengan arti generik Islam itu sendiri, yaitu damai. (6) Dia-
log yang aktif dan konstruktif –transformatif (mujadalat bil –al-hasan).21
20
QS. al-Hujurat; 13
21
Ngainun Naim, Teologi Kerukunan, Mencari Titik Temu Dalam Keragaman, Teras, Yogyakarta,
2001, hal 53-55
104
Nurul Mubin, M.S.I - Teologi Multikultural
105
Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara ber-
bahasa-Inggris (English-speaking countries), yang dimulai di Kanada
pada tahun 1971. Kebijakan ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar
anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan sebagai konsensus
sosial di antara elit. Namun beberapa tahun belakangan, sejumlah
negara Eropa, terutama Belanda dan Denmark, mulai mengubah kebi-
jakan mereka ke arah kebijakan monokulturalisme. Pengubahan
kebijakan tersebut juga mulai menjadi subyek debat di Britania Raya
dam Jerman, dan beberapa negara lainnya.
Adalah Samuel P. Huntuington (1993) yang “meramalkan” bahwa
sebenarnya konflik antar peradaban di masa depan tidak lagi disebab-
kan oleh faktor-faktor ekonomi, politik dan ideologi, tetapi justru dipicu
oleh masalah masalah suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
Konflik tersebut menjadi gejala terkuat yang menandai runtuhnya
polarisasi ideologi dunia kedalam komunisme dan kapitalisme. Bersa-
maan dengan runtuhnya struktur politik negara-negara Eropa Timur.
Ramalan ini sebenarnya telah didukung oleh peristiwa sejarah yang
terjadi pada era 1980-an yaitu terjadinya perang etnik di kawasan
Balkan, di Yugoslavia pasca pemerintahan Josep Broz Tito: Keragaman,
yang disatu sisi merupakan kekayaan dan kekuatan, berbalik menjadi
sumber perpecahan ketika pemimpin yang mengikatnya lengser.
Ramalan Hantington tersebut diperkuat dengan alasannya
mengapa di masa depan mendatang akan terjadi benturan antar-
peradaban. Antara lain adalah:
Pertama, perbedaan antara peradaban tidak hanya riil, tetapi juga
mendasar. Kedua, Dunia sekarang semakin menyempiti interaksi
antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. Ketiga,
proses modernisasi ekonomi dan sosial dunia membuat orang atau
masyarakat tercerabut dari identitas lokal mereka yang sudah berakar,
di samping memperlemah negara-negara sebagai sumber identitas
mereka. Keempat, timbulnya kesadaran peradaban dimungkinkan
karena peran ganda Barat. Disatu sisi Barat berada di puncak kekuatan.
Di sisi lain mungkin ini akibat dari posisi Barat tersebut, kembalinya
fenomena asal, sedang berlangsung diantara peradaban-peradaban
Non-Barat. Kelima, karakteristik dan perbedaan budaya kurang bisa
106
Nurul Mubin, M.S.I - Teologi Multikultural
107
Daftar Pustaka
Prof. Dr. HM. Amin Abdullah dalam Kesadaran: Sebuah Gerakan “In-
terest Minimalization “Dalam Meredakan Konflik Sosial (pengan-
tar) dalam buku M. Ainul Yaqin, M.Ed, dalam “Multikultural,
Cross-cultural Understanding Untuk Demokrasi dan Keadilan,”
Pilar Media, Yogyakarta, 2005.
Dr. H. Muhtarom. M.H. Reproduksi Ulama di Era Globalisasi, Resistensi
Tradisional Islam, Pustaka Pelajar, cet 1 Yogyakarta, 2005.
Prof. Dr. Iman Suprayogo, Drs. Tobroni, Msi, Metode Penelitian Sosial
Agama, Rosda, Bandung
M. Fahmi, Islam Transendental, Menelusuri Jejak-jejak Pemikiran Islam
Kuntowijoyo, Pilar Media, Yogyakarta, 2005.
Ahmad Hanafi, Pengantar Theology Islam, Cet. V Pustaka Al-Husna,
Jakarta, 1989.
Amsal Bachtiar, Filsafat Agama Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997.
Ahmad Suaedy, Akar Multikulturalisme dalam Al-Qur’an, dalam www,
The Wahid Institut.com.
M. Ainul Yaqin, M.Ed, Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Under-
standing untuk Demokrasi dan Keadilan, Pilar Media, Yogyakarta;
2005,
Putra Pratama, Multikulturalisme, Akhlaq, Budi Pekerti dan Masayarakat,
Jakarta; 2008 dalam http://my.opera.com/Putra%20Pratama/
blog/show.dml/2743875http://my.opera.com/Putra%20
Pratama/blog/show.dml
Priyo Darmanto, Kamus Indonesia Inggris, Arkola, Surabaya, 2007.
Melani Budianta, Multikulturalisme dan Penguatan Civil Society, INCIS,
Jakarta; 2003
Nurul Hak, Kajian Sosio Historis Masyarakat Arab Klasik, Jurnal Peneli-
tian Agama Puslit IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta; Nomer
26 Tahun IX September-Desember 2000
Zakiyudin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural,
Erlangga, Jakarta; 2005
Ngainun Naim, Teologi Kerukunan Mencari Titik Temu dalam Keragaman,
Teras, Yogyakarta, 2011
108
FILSAFAT PROFETIK MENURUT
SEYYED HOSSEIN NASR
Khusnul Khotimah
Dosen Filsafat Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Purwokerto
Abstrak
Filsafat profetik oleh Nars diidentikkan dengan filsafat Islam, ia
merupakan bentuk kearifan dalam dunia Islam, yang memberi gema
tersendiri khususnya tentang hakikat wujud (metafisika) ke dalam
filsafat Yunani yang bersumber dari al-Qur’an dan al-hadits. Sebagai
filsafat tradisional filsafat Islam didasarkan pada akal supra individualistik
daripada opini individualistik. Filsafat ini menafaskan suatu semesta
religius dalam makna kitab suci dan kerasulan yang mendominasi
cakrawala. Filsafat ini didasarkan pada kecerdasan sebagai fakultas yang
secara adikodrati alamiah dalam diri manusia yang mengarah kepada
kebenaran-kebenaran sebagaimana yang diwahyukan, melalui semua
obyek yang dipadukan dengan Yang Esa, di mana selalu memperhatikan
isu-isu sentral tentang harmoni antara akal dan wahyu. Sebab itu filsafat
ini kaya tidak hanya pada filsafat religius dan etika, tetapi juga dalam
filsafat alam dan matematika serta seni. Kendatipun banyak kalangan
yang mempertanyakan apakah filsafat merupakan bagian dari khasanah
intelektual Islam, atau merupakan peradaban Barat yang ditransmisikan
dalam Islam, namun para tokoh telah membuktikan jati diri filsafat
Islam melalui sintesa antara pemikiran Islam dan Yunani.
A. Pendahuluan
Jika membicarakan wacana filsafat profetik maka akan teringat
pembahasan profetik yang dinisbatkan pada gagasan dari para tokoh
yang secara tidak langsung membahas tentang ilmu keislaman profetik
antara lain:
1. Konsep teologi profetik Suhermanto Ja’far yang melandasi bahwa
agama-agama dengan kreatifitas kenabiannya menghendaki
109
terjadinya keseimbangan di setiap lini eksistensi manifestasi manu-
sia. Kebekuan-kebekuan atau tembok pengetahuan yang tertutup
satu sama lain sejatinya memeiliki sinergitas yang saling meleng-
kapi kebenaran Tuhan.1
2. Konsep etika profetik Muhammad Iqbal yang menyatakan bahwa
Nabi adalah seorang manusia pilihan yang sadar sepenuhnya
dengan tanggungjawab sosial. Kembalinya sang Nabi dari nabi
adalah kreatif. Sehebat apapun pengalaman spiritual yang dijalankan
seorang Nabi tidak pernah terlena, ia datang dengan membawa
cita-cita perubahan dan semangat revolusioner.2
3. Konsep Ilmu Sosial Profetik (ISP) dan sastra profetik Kuntowijoyo,
yang terdapat tiga pilar yaituhumanisasi, liberasi dan tranendensi.
Humanisasi artinya memanusiakan manusia, menghilangkan
kebendaan, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manu-
sia. Liberasi artinya dalam konteks ilmu yang didasari nilai-nilai
luhur transcendental. Jika nilai-nilai liberatif dalam teologi pembe-
basan dipahami dalam konteks ajaran teologis, maka nilai-nilai
liberatif dalam ilmu sosial profetik dipahami dan didudukkan dalam
konteks ilmu sosial yang memiliki tanggung jawab profetik unuk
membebaskan manusia dari kekejaman, kemiskinan, pemerasan
kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni
kesadaran palsu. Transendensi merupakan dasar dari dari dua
unsurnya yang lain. Transendensi hendak menjadikan nilai-nilai
transcendental (keimanan) sebagai bagian penting dari proses
membangun peradaban. Transendensi menempatkan agama (nilai-
nilai Islam) pada kedudukan yang sangat sentral.3
1
http.www.mail.archive.com/filsafat@yahoo.com, diambil tanggal 3 Oktober 2011
2
M. Iqbal, Membangun Kembali Alam Pikiran Islam, terj. Osman Raliby, (Jakarta: Bulan Bintang,
1966), hlm.20.
3
http.www.mail.archive.com/filsafat@yahoo.com, diambil tanggal 3 Oktober 2011
4
Seyyed Hossein Nasr, Antara Tuhan, Manusia dan Alam, Jembatan Filosofis dan Religius Menuju
Puncak Spiritual, terj. aliNoer Zaman, (Yogyakarta: IRCIoD, 1984), hlm. 21.
110
Khusnul Khotimah - Filsafat Profetik Menurut Seyyed Hossein Nasr
5
Seyyed Hossein Nasr, Antara Tuhan, Manusia dan Alam, ……..hlm.21
6
Jane.I.Smith, “Seyyed Hossein Nasr”, dalam John L. Esposito (ed), Ensiklopedi Dunia Islam,
terj. Eva Y.N., dkk.,(Jakarta: Mizan, 2001), hlm. 159.
7
http://www.nasrfoundation.org/giffs/biografis.gif, A. Biografy of Seyyed Hossein Nasr, 11
Oktober, 2011, hlm.1
8
Ibid., hlm. 2.
111
pemahaman tentang realitas fisik maupun metafisika. Lalu dia mulai
mengkaji ilmu humaniora kepada Profesor Giorgio di Santillana Italia.
Ia mulai mengkaji filsafat dan khikmah Yunani Kuno. Kemudian ia
melanjutkan Pascanya di Universitas Harvard. Setelah memperoleh
gelar masternya pada tahun 1956, ia melanjutkan studi Ph.D di bidang
sejarah di Universitas yang sama. `Di Harvard ia juga belajar Filsafat
Islam dari guru-guru Iran. Setelah tamat doktoralnya ia kembali ke
Iran.
Dalam karir yang ia tempuh, ia menjadi lektor kepala jurusan
Filsafat dan Sejarah Sains Fakultas Sastra di Universitas Teheran. Pada
tahun 1968-1972 ia menjadi dekan di fakultas tersebut, dan pada tahun
1972 ia menjadi rektor di Universitas Ayhameher Iran. Sekembalinya
ke Iran ia juga belajar filsafat Islam kepada para ulama dengan menggu-
nakan metode tradisional dan transmisi oral.9
Karya-karya Nasr antara lain Three Muslims Sages, Science and Civi-
lization, Ideals and Realities in Islam, Man and Nature: The Spiritual Crisis
of Modern Man, Islam and Plight of Modern Man, Sufi Essays dan Trancen-
dent Theosophy of Sadr al-Din Shirazi. Kumpulan perkuliahannya juga
diterbitkan dalam buku yaitu Knowledge and the Sacred, Encyclopedia of
World Spirituality dan Islamic Spirituality.10
9
http://www.cis-ca.org/voices/k/kalin-bio.htm, Nasr, 11 Oktober 2011
10
Ibid., hlm. 6.
11
A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. xv.
12
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004),hlm.14.
112
Khusnul Khotimah - Filsafat Profetik Menurut Seyyed Hossein Nasr
113
Suhrawardi mengusung perspektif baru dalam filsafat dengan
menggunakan istilah hikmah al-Isyraq daripada falsafah al-isyraq. Bagi
Suhrawardi hikmah dipandang bersifat ilahiyah yang harus direalisasi-
kan secara utuh, bukan hanya secara mental. Tradisi hikmah mengga-
bungkan dan mensyaratkan kesempurnaan daya rasional dengan
kesucian jiwa. Jadi dalam tradisi Islam, filsafat berhubungan dengan
upaya menemukan kebenaran tentang hakikat segala sesuatu serta
menggabungkan pengetahuan mental dengan kesucian dan kesempur-
naan wujud. Pengetahuan (hikmah) adalah kekuatan rasional yang
dipadu dengan kekuatan spiritual. Pengetahuan yang bersifat ilahiyyah
ini yang akan menemukan kebenaran hakiki. Pengetahuan (khikmah)
akan menjadi fondasi untuk melakukan revolusi terhadap manusia
ke arah kesempurnaan jiwa (ilahiyyah) dan inilah amanah kenabian
Muhammad (Profetik)
16
Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern,hlm. 20-21.
114
Khusnul Khotimah - Filsafat Profetik Menurut Seyyed Hossein Nasr
17
Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modrn, ter. Lukman
Hakim,(Pustaka: Bandung, 1987), hlm. 134
18
Seyyed Hosein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, …….hlm. 31-32
19
Seyyed Hosein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, …….hlm.52
115
(jism) yang bisa dibagi serta memiliki panjang lebar dan luas, karena
itu mungkin elemen-elemen semesta ini terbagi menjadi tiga unsur
tersebut dalam wilayah kosmik.20 Sementara kajian kosmologinya
mengikuti platonisme yang mendasar pada distingsi berusaha
menunjukkan bagaimana yang banyak itu dilahirkan dari Yang Satu
(ex uno non fit nisi unum) atau inteleksi tuhanlah (akal pertama)
penciptaan itu terjadi, yang pada saat bersamaan transenden dalam
kaitannya dengan seluruh keragaman (multiplicity). Sedangkan proses
penciptaan, atau manifestasi, terkait erat dengan fungsi dan signifikan
malaikat sebagai alat yang mewujudkan tindakan penciptaan sebagai
akal pertama yang disetarakan dengan malaikat disusul akal yang kedua
yaitu jiwa dan tubuh akal langit pertama. Dan melalui kontemplasi akal
pertamalah melahirkan akal selanjutnya sampai kesepuluh terpancar
illuminasi dan penciptaan Tuhan.21Namun, agama dan wahyu Ibnu Sina
terungkap pada misinya yang memiliki dua aspek utama, yaitu: pertama,
mengarahkan jiwa manusia menuju kebahagiaan abadi dengan
keimanan terhadap eksistensi tuhan; kedua, agama mengarahkan pada
aspek-aspek praktis sebagai tindakan ritual. Aspek di atas, mengakhiri
filsafat Perepatetik Ibnu Sina yang ditafsirkan pada katedral kosmik
dalam realisasi spiritual yang disebut filsafat Timur. Pemikiran Ibnu
Sina banyak diwarnai filosof Yunani dan mentransformasikannya pada
ajaran agama, ilmu pengetahuan dan filsafat Islam.
Filsafat Islam kemudian mengalami masa transisi dari peripatetik
menuju Isyraqi. Kritik terhadap Ibnu Sina pada Abad 6H/12H oleh
Syihabuddin al-Suhrawardi menimbulkan filsafat peripatetik mulai
menurun pamornya dan didirikan sebuah perspektif baru dengan
madzhab Illuminasi (al-Isyraq).22 Dimulai ketika teologi al-Asya’riyah
mulai didukung oleh lingkungan pejabat pemerintah, begitu juga
serangan Ghazali sangat keras terhadap para filosof dalam pembatasan
kekuasaan rasionalistik dan menjadikan sufisme bisa diterima dika-
langan masyarakat..23 Sumber doktrin Isyraqi Suhrawardi meliputi
sufisme (Hallaj dan al-Ghazali) dan beberapa bagian filsafat peripatetik
Ibnu Sina, yang ia kritik sebagai dasar penting atas doktrin-doktri al-
20
Seyyed Hosein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, …….hlm.53 - 58
21
Seyyed Hosein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, …….hlm.59 - 62
22
Seyyed Hossein Nasr, Islam, Tradisi di Tengah ….. hlm. 135.
23
Seyyed Hosein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, …….hlm. 97 - 101
116
Khusnul Khotimah - Filsafat Profetik Menurut Seyyed Hossein Nasr
24
Seyyed Hosein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, …….hlm. 112-117
117
Dalam pemikiran Islam juga berkembang sufisme, suatu
kebenaran hakiki yang terpancar dari hakikat Ilahiyah adalah dengan
sufi. Sufisme memiliki peran terhadap filsafat Islam antara lain untuk
menyeimbangkan bahaya-bahaya praktik nalar murni dengan mene-
kankan kenajikan-kebajikan gnosis qolbu. Efek sufisme terhadap
filsafat pada dasarnya memiliki dua bidang. Pertama, ia berfungsi
melanggengkan, bagi setiap generasi, posibilitas suatu pengalaman
tentang apa yang menjadikan filosof berfilsafat. Kedua, metode spiri-
tual dan disiplin mediatif, sufismelah yang terus menerus membang-
kitkan kekuatan akal kontemplatif daripada nalar/akal dalam pemikiran
Islam. Metode sufi yang dilakukan tidak melalui rasionasi (penalaran),
melainkan dengan suatu kemampuan mengenal kebenaran secara
langsung melalui iluminasi, tidak berfungsi secara tepat kecuali jika
selubung kealpaan dan nafsu di buang darinya. Tujuan sufisme adalah
menyatukan pengalaman filosofis kaum filosof dengan pengalaman
batin kaum mistikus, dan menjadikan akal mampu berfungsi tanpa
wahyu.25
Salah satu tokohnya adalah Ibnu Arabi yang ajarannya menjelas-
kan kesatuan doktrin dan metode pada ajarannya. Bahwa sufisme bagi
Ibnu Arabi’ merupakan sebuah jalan realisasi spiritual dan pencapaian
kesucian. Sedangkan gnosis merupakan aspek wahyu dalam Islam
yang pada dasarnya bagian dari jantung dan dimensi batin atau esoterik
dalam diri manusia. Realitas doktrin-doktrin sufisme, berdasarkan
Wahyu yang terkait erat dengan ruh (spirit) dan bentuk lahir (from),
maka tokoh utamanya yang paling awal dan sempurna adalah Nabi
Muhammad, setelahnya diwakili esoterisme Islam, ‘ Ali bin Abi
Thalib.26 Sosok Ibnu ‘Arabi sangat erat dengan doktrin-doktrin kosmo-
logis dan metafisik serta psikologis dan antropologis yang lengkap
dari dimensi monumental yang pertama kali tampak pada Sufisme.
Pada ajaran Ibnu’Arabi, doktrin dan metode merupakan dua kaki yang
harus dikoordinasikan agar bisa memanjat gunung spiritual yang
dapat mengantarkan penyatuan dengan tuhan yang merupakan hasil
dari manusia kepada keindahan tuhan. Dengan menyadari bahwa
25
Seyyed Hosein Nasr, Kemunculan dan Perkembangan Sufisme Persia dalam Warisan Sufi, terj.
Gafna Raizha Wahyudi, (Yogyakarta: Pustaka Sufi 1999), hlm. 54.
26
Seyyed Hosein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, …….hlm. 145 -146
118
Khusnul Khotimah - Filsafat Profetik Menurut Seyyed Hossein Nasr
eksistensi manusia sejak awal adalah milik Tuhan, dan manusia semu-
lanya tidak memiliki eksistensi. Jadi semua eksistensi merupakan
pancaran Wujud Tuhan yang mutlak.
Tidak hanya itu filsafat Islam dengan ruh spiritual pada perkem-
bangannya juga menjadi cikal bakal munculnya sains-sains Islam.
Kaum muslim mengawinkan matematika Yunani dan matematika
India dan atas itu lalu mengembangkan geometri, menformulasikan
al-jabar, membangun trigonometri-bidang dan sferikal dan teori bi-
langan, yang memperluas definisi bilangan hingga mencakup bilangan
irrasional. Mereka menerima bilangan Sanskrit lalu mengembangkan-
nya ke dalam bentuk bilangan Arab sehingga merubah aritmatika di
Eropa Abad Tengah. Para sains Islam bermunculan sebut saja al-
Khayyam dengan al-Jabarnya, Ghiyatsuddin Jamsyid Kasyani dengan
pecahan desimalnya.27
Dalam astronomi, kaum muslim termotivasi untuk mencari arah
kiblat dan memperhitungkan waktu untuk sholat lima waktu. Awalnya
mereka menguasai karya astronomi India dan Iran sebelum berkenal-
an dengan ptolomeus kemudian mereka mensintesanya untuk menjadi
kekhasan astronomi Islam. Al-Biruni sebagi tokoh astronomi Islam
dengan bukunya yang terkenal Mas’udic Canon-Nya. Perkembangan
ilmu astronomi pun meluas sehingga berkembang astronomi observa-
sional, astronomi matematikal dan astronomi ptolomaik yang dikaitkan
dengan tokoh Nashirudin Thusi dan Quthbuddin Syirazi.
Di bidang yang lain diantaranya fisika, tealah dibangun filsafat
alam dari atomisme oleh Muhammad Ibnu Zakariyya al-Razi, Optika
dan pencahayaan oleh Ibnu Haisyam. Ilmu kedokteran juga merupakan
refleksi dari pengembangan sains Islam dari tangan dingin tokoh-
tokoh muslim yang antara lain dikenal dengan Ibnu Sina, Ibnu Zuhr
serta Ibnu Nafis. Kajian atas botani juga tidak luput dari para tokoh
muslim. Dalam hal ini Mas’udi telah menulus sejarah kealaman, al-
Idrisi membuat peta-peta.
Munculnya pemikiran yang profetik dalam diri para tokoh muslim
dilandasi oleh sebuah kesadaran spiritual yang telah dibangun berda-
sarkan pendidikan dimana nilai-nilai abadi dan kebenaran doktrinal
27
Seyyed Hossein Nasr, Islam, Tradisi, Di Tengah Kancah Dunia Modern.hlm.137.
119
semestinya mampu melestarikan Islam dalam menghadapi tantangan
dunia dari semua aspek.
E. Kesucian Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil kreatifitas daya pikir manusia.
Secara essensial ia berhubungan antara wujud pengetahuan dan keba-
hagiaan. Namun seiring dengan perjalanan waktu ketika manusia ber-
hubungan dengan makrokosmos dan mikrokosmos pada akhirnya
pengetahuan terpisah dari wujud dan kebahagiaan. Pengetahuan pada
akhirnya lebih dekat kepada kompleksitas eksternal dan terdesakrali-
sasi, khususnya di antara segmen-segmen ras manusia yang telah
dicampuri oleh modernisasi.28
Menurut Nasr pengetahuan semestinya tidak dipisahkan dari
kesuciannya, karena substansi pengetahuan adalah realitas tertinggi.
Intelegensia yang merupakan instrumen pengetahuan dalam diri
manusia adalah berkah terhadap kemungkinan mengetahui Yang
Absolut. Ia bagaikan cahaya yang memancar dari dan kembali kepada
Yang Absolut, dan ia sendiri merupakan bukti terbaik tentang Realitas
yang absolute dan tidak terbatas. Visi unitif terletak di pusat wujudnya
sebagaimana juga penempatan dasar intelegensinya, pengetahuan
senantiasa memiliki akses kepada Yang Suci, dan pengetahuan Yang
Suci menandakan sebagai jalan tertinggi penyatuan dengan Realitas
dimana pengetahuan, wujud dan kebahagiaan disatukan. Intelegensi
manusia dan mengakibatkan kesukaran dan rintangan dalam jiwa
manusia yang mencegah dari pemanfaatan secara penuh, menandakan
pusat teofani Cahaya Ilahi dan berarti akses Terhadap Realitas awal.
Intelegensi ini dapat mengetahui Realitas Tertinggi sebagai Imanen,
sebagai Diri Tertinggi yang mendasari semua selubung subyektivitas
dan berbagai “diri” atau menempatkan kesadaran dalam dirinya.29
Bagi Nasr kesadaran merupakan bukti keunggulan spirit atau
kesadaran Ilahiyah, di mana kesadaran manusia direfleksikan dan
dibangkitkan. Setiap kecenderungan alamiah intelegensi manusia
28
Seyyed Hosein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, terj. Suharsono (Yagyakarta: Center for Inter-
national Islamic Studies (CIIS), 1997), hlm. 1.
29
Seyyed Hosein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian ……hlm 3
120
Khusnul Khotimah - Filsafat Profetik Menurut Seyyed Hossein Nasr
30
Seyyed Hosein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian…..hlm. 5
121
menyadari bahwa dalam suatu refleksi intelek yang merupakan jalan
menuju kesucian adalah sebuah sifat suci, tanpa refleksi intelek hu-
kum-hukum logika dan matematika serta semua ilmu psikologis akan
terdegradasi ke dalam sesuatu yang tidak berarti.31
F. Kesimpulan
Filfat profetik merupakan kajian yang bermaksud membumikan
kembali ajaran Nabi sebagai revolusioner dan pencerah kepada kebe-
naran hakiki, setelah sekian lama terlupakan akibat dominasi dan
sekularisasi Barat. Wujud ajaran tersebut melalui Filsafat Islam yang
memiliki bentuk kearifan tersendiri dalam dunia Islam. Ia memberi
gaung hakikat wujud (metafisika) ke dalam filsafat Yunani yang ber-
sumber dari al-Qur’an dan al-hadits. Ia adalah filsafat tradisional yang
mendasarkan pada akal supra individualistik daripada opini indivi-
dualistik, sehingga makna kenabian dapat ditampakkan. Sebuah
pemikiran yang tidak saja mengemukakan penalaran akan tetapi
kemampuan mengenal Tuhan dengan Iluminasi/Isyraqiyah. Atas dasar
itu filsafat ini merupakan profetik karena didasarkan pada kecerdasan
sebagai fakultas yang secara adikodrati alamiah dalam diri manusia
yang mengarah kepada kebenaran-kebenaran seperti yang diwahyukan,
melalui semua obyek yang dipadukan dengan Yang Esa, serta memper-
hatikan isu-isu sentral tentang harmoni antara akal dan wahyu.
Munculnya pemikiran profetik telah membuat kesadaran spiri-
tual para filosof muslim untuk mengembangkan objek kajian dan
pemikirannya dalam berbagai filsafat dan sains dalam menghadapi
tantangan zaman.
31
Seyyed Hosein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian …..hlm. 6
122
Khusnul Khotimah - Filsafat Profetik Menurut Seyyed Hossein Nasr
DAFTAR PUSTAKA
123
124
PEDOMAN PENULISAN
SUBSTANSI TULISAN
1. Tulisan orisinil (hak intelektual penulis) dan belum pernah
diterbitkan/dipublikasikan.
2. Topik tulisan aktual dan sesuai dengan lingkup kajian jurnal.
TEKNIS PENULISAN
1. Jumlah halaman antara 15-20 halaman untuk artikel dan 5-7
halaman untuk telaah buku, ukuran kertas A4, spasi 1,5, font Times
New Roman size 12.
2. Tulisan artikel harus menyertakan abstrak (berbahasa Inggris dan/
atau Arab), 150-200 kata dan 5 keywords (5 kata kunci)
3. Penulis menyerahkan naskah asli dalam bentuk hard file dan soft
file.
4. Semua tulisan menggunakan metode penulisan ilmiah dengan
catatan kaki (footnote) dan mencantumkan daftar pustaka (bibliog-
raphy) di belakang tulisan.
125
LAIN-LAIN
1. Tulisan dapat dikirim ke: jurnalislamindonesia@yahoo.com dengan
menyertakan biodata penulis.
2. Setiap tulisan yang masuk akan dinilai oleh Tim Redaksi dan dibaca
oleh Mitra Bestari (yang kompeten sesuai dengan bidangnya).
3. Dewan Redaksi dapat menyingkat dan memperbaiki tulisan yang
akan dimuat tanpa mengubah maksud dan isi tulisan.
4. Naskah tulisan yang belum dapat diterbitkan akan diberi
pemberitahuan melalui email.
126