ISSN: 1412-7075
DEWAN REDAKSI:
Pengarah:
Rektor UNSIQ Wonosobo
Pemimpin Redaksi:
Nurul Mubin, M.S.I
Redaktur Ahli:
Dr. H. Zamaksyari Dhofier, MA
KH. Mukhotob Hamzah, MM
Drs. Zainal Sukawi, MA
Dr. Phil. Sahiron Syamsudin, MA
Drs. Abdul Kholiq, MA
Drs. Mahfudz, MA
Drs. Akhsin Wijaya, Alhafidz, M.Ag
Drs. Arifin Shidiq, M.Pd.I
Drs. Samsul Munir, Amin, MA
Dr. H. Asyhar Kholil, MA
Perwajahan:
Agung Istiadi Pustaka Prisma
Distributor:
Adi Suwondo, M.Kom
Hafin Hafiyati, S.S
Penerbit:
Pusat Penelitian, Penerbitan & Pengabdian Masyarakat (P3M)
Universitas Sains Al-Quran Wonosobo
Jl. Raya Kalibeber Km. 03 Mojotengah, Wonosobo, Jawa Tengah
Tlp. (0286) 321873. Fax: (0286) 324160.
email redaksi ; jihadil_akbar@yahoo.com
ii
ISSN: 1412-7075
Pengantar Redaksi
Kajian keislaman (Islamic Studies) belakangan menjadi populer
bagi masyarakat muslim dunia dan juga Indonesia. Tampaknya
fenomena ini merupakan imbas dari semakin meningkatnya kesadaran
beragama umat Islam yang ditandai dengan berbagai aktivitas
keagamaan yang diwujudkan dalam bentuk Majlis dzikir, majlis
pengajian, pelatihan-pelatihan pembangunan spiritual dan aktivitas
kajian pemikiran keislaman yang tidak saja berkembang dikalangan
akademisi tetapi juga di kalangan masyarakat secara umum.
Semangat dan fenomena meningkatnya kesadaran beragama baik
ranah aktivitas ibadah dan ranah keilmuwan ini tidak lepas dari
semakin berkembangnya berbagai isu fundamentalisme Islam yang
kini berbuah model gerakan (harakah) Islam radikal. Rentetan panjang
tentang pemikiran dan gerakan Islam radikal diberbagai wilayah ini
menuntut umat Islam untuk mengambil peran-peran strategis untuk
mengkaji secara mendalam tentang pesan inti agama dalam ranah
sosial, politik dan budaya, agar Islam dapat memposisikan diri sebagai
pemandu dalam percaturan global.
Isu radikalisasi Islam seakan memutar balik jarum jam potret
kemunduran Islam. Kebangkitan Islam dan kejayaan Islam yang
pernah diraih pada masa abad ke-emasan intelektualisme Islam, dimana
Islam mampu berdampingan dan mampu mendialogkan berbagai
persoalan politik, sosial dan budaya. Bahkan Islam menjadi bagian
dari solusi problem global bukan sebaliknya pemicu masalah-masalah
global. Tuduhan-tuduhan miring atas berbagai corak pemikiran dan
gerakan Islam semakin meneguhkan eksistensi Islam dimata dunia,
terutama ketika berhadapan dengan dinamika perkembangan global
yang didominasi oleh dunia Barat.
Beragamnya corak pemikiran keagamaan yang berkembang dalam
sejarah Islam di dunia dan khususnya di Indonesiadari Islam yang
bercorak sufistik, tradisionalis, revivalis dan modernis hingga neoiii
iv
ISSN: 1412-7075
Daftar Isi
AYAT MAKKIAH-MADANIAH DALAM AL-QURAN
Wahyudi Jafar, S.Ag .......................................................................... 1
SIHIR AYAT POLIGAMI
Abdul Wahab Saleem ........................................................................ 13
SKETSA PENDIDIKAN ISLAM MASA AWAL
Drs. Abdul Majid. M.Pd. .................................................................. 29
PEMIKIRAN HAMKA TENTANG TASAWUF MODERN
Asep Daud Kosasih ........................................................................... 39
ISLAM DAN DEMOKRASI
Samsul Munir .................................................................................. 53
EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM KONTEMPORER
Mahfudz Junaedi .............................................................................. 65
TEOLOGI MULTIKULTURAL
Upaya Membumikan Dimensi Transendental
Di tengah Keragaman Suku, Budaya Dan Agama
Nurul Mubin, M.S.I. ........................................................................ 89
FILSAFAT PROFETIK MENURUT SEYYED HOSSEIN NASR
Khusnul Khotimah .......................................................................... 109
vi
AYAT MAKKIAH-MADANIAH
DALAM AL-QURAN
Wahyudi Jafar, S.Ag
Penulis adalah alumni Program Pendidikan Kader Ulama (PPKU) Ulumul
Quran dan Tafsir, Magister Studi Islam, UNSIQ Wonosobo
Abstraksi:
Persoalan Makki-Madani dalam ulumul Quran termasuk persoalan
yang sangat penting. Urgensi permasalahan tersebut terlihat dalam
kitab-kitab tafsir dan ulumul Quran hampir semuanya, kalau bukan
semua, menjadikan salah satu pembahasan utama bahkan paling awal
dibahas setelah pengertian al-Quran. Meski pembahasannya sangat
sederhana, tidak sekompleks dengan tema-tema ilmu-ilmu al-Quran
yang lain, tapi sebenarnya ia sangat urgen untuk diketahui. Karena
dengan mengetahuinya, seorang mufassir atau orang yang mengkaji
al-Quran akan mendapat petunjuk dengan kemampuan memetakan ayat
naskh-mansukh. Karenanya, wawasan Makki-Madani menjadi dasar atau
starting poin menuju pembahasan nasikh-mansukh, tanpa mengetahuinya maka persoalan nasikh-mansukh juga akan kabur. Hal ini menjadi
salah satu alasan kenapa ia menjadi tema yang didahulukan daripada
tema-tema yang lain.
Pendahuluan
Persoalan Makki dan Madani menarik untuk dikaji karena tidak
adanya riwayat langsung dari Rasulullah Saw., melainkan para ulama
hanya bersandar pada riwayat sahabat dan tabiin tentang klasifikasi
ayat Makki-Madani. Bahkan tidak jarang ulama hanya bersandarkan
pada ijtihadi dalam pengklasifikasian. Namun, tidak berarti bahwa
persoalan itu semuanya ijtihadi. Cukup menjadi pegangan dari riwayat
sahabat yang melihat langsung cara penurunan wahyu.
1
Teori Makki-Madani
Abul Qasim al-Hasan bin Muhammad bin Habib an-Naisabuuri
dalam bukunya at-Tanbih al fadli Ulumil Quran bahwa Diantara
ilmu-ilmu yang paling mulia adalah ilmu tentang nuzulul quran dan
daerahnya, urutan turunnya di Mekkah dan di Madinah, tentang yang
diturunkan di Mekkah tetapi hukumnya madani dan sebaliknya, dan
tentang yang diturunkan di Juhfah, di Baitul Makdis, Taif, atau
Hudaibiyah, di waktu siang, diturunkan secara bersama-sama, atau
diturunkan secara sendiri-sendiri, ayat-ayat madaniah dari surah-surah
al-Makkiah, ayat-ayat Makkiah dalam surah Madaniah; yang dibawa
dari Mekkah ke Madinah dan yang dibawa dari Madinah ke Mekkah;
yang dibawa dari Madinah ke Abesinia, yang diturunkan secara global dan yang telah dijelaskan, serta yang diperselisihkan sehingga
sebagian orang mengatakan Madani dan sebagian mengatakan Makki.
Itu semua ada duapuluh lima macam. Orang yang tidak mengetahuinya dan tak dapat membeda-bedakannya, ia tidak berhak berbicara
tentang Quran1.
Statement di atas menunjukkan pentingnya mengetahui ayat
Makki dan Madani sebagai salah satu alat yang membantu dalam
memahami maksud ayat tertentu. Tidak mengherankan kemudian jika
pembahasan tersebut menjadi pembahasan yang didahulukan daripada
pembahasan ilmu-ilmu al-Quran yang lain. Dengan demikian, AnNaisaburi di atas secara tegas mengatakan bahwa seseorang tidak
berhak berbicara al-Quran kecuali telah mengetahui persoalan MakkiMadani. Kemudian Manna Al-Kattan merinci poin per poin
1
Jalaluddin As-Suyuti: al-itqan fi ulum al-quran, tahqiq oleh Markaz ad-dirasat al-Quraniyah,
juz. I tnp. thn. hal. 43-44.
Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Quran terj, Mabahis fi Ulumil Quran oleh Mudzakit
As. (Bogor, Pustaka Litera Antar NUsa cet. 8, 2004) hal. 73.
Az-Zarkasyi; Al-Burhan Fi Ulumil Quran, ditahqiq Muhammad Abu Fadl Ibrahim, Juz I,
Kairo, dar. At-Turast, tnp. thn. hal. 187.
M. Hadi Marifat, Sejarah Al-Quran, ter. dari Tarikh al-Quran oleh Thoha Musawa, (Jakarta,
Al-Huda, cet. I, 2007), hal. 68-70. lihat, as-Suyuti, al-Itqanjuz. hlm 23.
5
6
ayat itu Madani, dan apabila dalam surah Madinah terdapat ayat yang
sifatnya Makkiah maka ia ayat Makkiah.
Kriteria-kriteria di atas hanyalah ciri-ciri umum, belum final.
Mengabsolutkan satu kriteria Makki-Madani menurut Nasr Hamid
Abu Zaid akan menyusahkan kita, meski secara pribadi dia mendukung pendapat mayoritas tentang Makki-Madani; yaitu ditinjau dari
segi waktu hijrah, ayat yang turun sebelum Hijrah maka ia Makki,
dan Madani adalah yang turun setelahnya, baik turun di Makkah
ataupun di Madinah, pada tahun penaklukan (Makkah) atau haji wada,
atau dalam perjalan8. Karenanya, kriteria klasifikasi seharusnya didasarkan pada realitas, pada satu sisi, dan pada teks pada sisi lain. Karena
teks bergerak bersama realitas yang pada akhirnya mempengaruhi isi
dan strukturnya. Hal ini sesuai dengan realitas dalam al-Quran bahwa
ayat Makki struktur ayatnya pendek-pendek dan dengan penuh ijaz
dan balaghat tinggi, karena pada saat itu ia berkomunikasi dengan
orang Makki yaang secara watak terkenal keras kepala, dan mahil
dalam balaghat. Ayat yang pendek dengan penuh ijaz karena karena
sebagai tahaddi pada penyair-penyair orang Musyrik sehingga ayatayat Makki juga biasanya dimulai dengan huruf muqataah. Masih
menurut Nasr Hamid, pada fase indzar yaitu Makki, ayat al-Quran
benar-benar memakai metode dakwah yang melihat objek yang
didakwahi. Kebanyakan ayat Makki menggunakan kata-kata persuasif,
sedangkan pada Fase Risalah atau Madani ayat al-Quran cenderung
panjang-panjang karena memang objek dakwahnya berbeda dan lebih
pada transformasi informasi dan lebih banyak terkait dengan hukum
Islam syariah islamiah daripada persoalan akidah9.
atas juga memberikan data bahwa kriteria-kriteria ulama tentang ciriciri khas Makki-Madani, seperti yang akan dibahas, hanyalah ciri-ciri
umum.
Secara pribadi dengan melihat ragam macam pendapat dalam
kriteria Makki-Madani, maka pendapat yang paling bisa diterima adalah
yang melandaskan pada riwayat yang sahih dari sahabat dan tabiin.
Merekalah yang paling berhak dan mengetahui persoalan tersebut
karena mereka hidup dan menyaksikan langsung bagaimana, apa, dan
dimana sebuah ayat turun. Sebagaimana Ibnu Masud mengatakan
bahwa Demi Allah tiada Tuhan kecuali Dia, tidak ada ayat al-Quran
turun kecuali saya tahu dimana turun, dan kepada siapa turun, jika saya
tahu ada seorang yang lebih tahu daripada saya tentang al-Quran yang
bisa dicapai oleh unta niscaya akan saya datangi12". Qadi Abu Bakar Ibnu
Tayyib al-Baqalani dalam al-intisar, menegaskan bahwa pengetahuan
tentang Makki dan Madani tidak ada suatu keterangan yang datang
dari Rasulullah, akan tetapi semua mengacu pada hafalan para sahabat
dan tabii13.
CirikhasMadaniyah:
1. Setiap surah yang berisi kewajiban atau had (sanksi) adalah Madani.
2. Setiap surah yang didalamnya disebutkan orang-orang munafik
adalah Madani, kecuali surah al-Angkabut adalah Makki.
3. Setiap surah yang didalamnya terdapat dialog dengan ahli Kitab
adalah madani.
Ini adalah dari segi ketentuan; sedang dari segi tema dan gaya
bahasa dapat disingkat sebagai berikut:
1. Menjelaskan ibadah, muamalah, kekeluargaan, warisan, jihad,
hubungan sosial, hubungan internasional, baik di waktu damai
maupun perang, kaidah hukum dan perundang-undangan.
2. Seruan terhadap Ahli Kitab, dari kalangan Yahudi dan Nasrani,
ajakan masuk Islam, penjelasan terhadap penyimpangan mereka
terhadap kitab-kitab Allah.
3. Menyingkap perilaku orang munafik.
4. Suku kata dan ayat-ayatnya panjang-panjang dengan gaya bahasa
yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan sasarannya14.
14
FaedahMengetahuiMakki-Madani
Mempelajari dan mengetahui ilmu mengenai Makki dan Madani
dapat memberi faedah yang besar, antaranya:
1. Sebagai alat bantu penafsiran al-Quran, sebab pengetahuan tentang tempat turunnya ayat dapat membantu memahami ayat
tersebut dan penafsirannya yang benar, sekalipun yang menjadi
pegangan adalah pengertian umum lafaz, bukan sebab yang khusus.
Dan dengan itu pula para penafsir dapat membedakan antara ayat
yang nasikh dan mansukh bila ada ayat yang kontradiktif. dengan
pastinya, bahwa ayat Makkiah dihapus oleh ayat Madaniah yang
turun belakangan.
2. Dengan gaya bahasa Quran yang memiliki karakteristik gaya
bahasa Makki dan Madani sangat tepat memanfaatkannya untuk
menyeru menuju jalan Allah.
3. Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat Quran, sebab
turunnya wahyu kepada Rasulullah sejalan dengan sejarah dawah,
baik priode Mekah maupun priode Medinah15.
Pada faedah point pertama yaitu membantu mengetahui ayat
nasikh-mansukh hal itu berseberangan dengan seorang pemikir asal
Sudan yang bernama Mahmoud Mohamed Taha (w. 1985 M). Ia
mengatakan bahwa ayat-ayat al-Quran dapat dibagi menjadi dua
bagian yaitu ayat-ayat makiyyah yang merupakan ayat-ayat dasar (ayat
al-ushul) dan ayat-ayat madaniyyah yang merupakan ayat-ayat cabang
(ayat al-furu). Melalui konsep naskhnya yang sangat kontradiktif
dengan pendapat para ulama terdahulu. Dengan radikalnya mengatakan bahwa ayat-ayat Madaniyyah dinasakh oleh ayat-ayat makiyyah.
Dan secara otomatis ayat-ayat madaniyyah tidak terpakai untuk zaman
modern ini dan yang diberlakukan adalah ayat-ayat makiyyah. Alasan
Mahmoud adalah bahwa syariah Islam itu berevolusi jadi yang cocok
syariat itu didasarkan pada ayat-ayat makiyyah. Selama ini menurut
Mahmoud bahwa Syariat Islam banyak didasarkan kepada ayat-ayat
madaniyyah karena memang ayat-ayat madaniyyah inilah yang secara
rinci hal-hal praktis pedoman hidup umat Islam. Sementara ayat-ayat
makiyyah berisi prinsip-prinsip umum ajaran Islam. Dengan demikian
15
Syariat Islam menjadi akomodatif dan fleksibel menghadapi masalahmasalah yang muncul16.
Kesimpulan
Dari kajian yang sederhana kiranya kita bisa mengambil beberapa
intisari atau beberapa kesimpulan. Kesimpulan ini sesungguhnya
hanya sebagai hasil pembacaan penulis dalam kajian sederhana.
Diantara kesimpulan itu adalah konsep makki dan madani adalah
sebuah kajian yang masih perlu dikaji dan didiskusikan di zaman
sekarang bagaimana pun juga dia ini adalah bagian dari prasyarat
pembelajaran atau studi tafsir dan kajian hukum Islam. Betapa tidak
ketika seorang mujtahid atau mufasir ketika menetapkan suatu ijtihad
maka telaah akan konsep makki dan madani adalah sebuah pertimbangan yang signifikan.
Disamping itu pula diskusi tentang perbedaan perspektif para
ulama tentang makki dan madani suatu hal yang sangat wajar dalam
dunia akademik dan intelektual, pandangan para orinetalis tentang
maki dan madani tentang keterpengaruhan budaya Arab memang
secara metodologi sangat akurat untuk dipertimbangkan, tapi lagilagi dalam kajian seperti ini memang perlu adanya usaha yang besar
dalam mengungkap kembali validitas data.
Daftar Pustaka
Al-Bagha, Mushtafa Diib, al-Waadih fi Ulum al-Quran, (Dimaski, Dar.
Ulum alInsaniah, cet. II,1998)
Adz-Zahabi, Muhammad Husain, buhuts fi Ulum at-Tafsir, wal- fiqh,
wad awah, (Kairo, Dar. Hadist, cet. I, 2005)
Abu Zaid, Nast Hamid, Tekstualitas Al-Quran; Kritik Terhadap Ulumul
Quran, terj. Mafhumum An-Nash Dirasah fi Ulum AlQuran oleh Khoirun Nahdliyin, (Yogyakarta, cet. IV, LKiS,
2005)
16
Agus Muh. Najib, Evolusi Syariah, Ihktiar Mahmoud Moehamed Taha Bagi Pembentukan
Hukum Islam Kontemporer (Yogyakarta, Nawesea, cet. I, 2007), hlm.5-6.
10
11
12
Abstraksi:
Masalah poligami sampai saat ini masih saja menjadi masalah yang
sangat urgen untuk dibahas dan dikaji, dan itu semua tidak lepas
karena adanya pro-kontra dan saling klaim atas duduk perkaranya, ada
sebagian yang lebih menganalisa dari ranah dalil al-Quran, ada yang
lebih tertarik mengkajinya dari ranah realitas sosial, politik atau bahkan
budaya.
Tulisan yang sangat sederhana ini hanya akan mengurai sedikit
duduk perkara dan elastisitas pemahaman penafsiran tentang poligami
sehingga tidak terjebak pada nuansa hitam-putih ketetapan undangundang maupun penetapan hukum serta terbebas dari kubangan
pemahaman yang hanya satu perspektif.
A. Pendahuluan:
Pada prinsipnya bahwa Tuhan tidak akan meleset ketika membatasi poligami hanya- sampai empat wanita, karena banyak data
statistik yang menunjukkan bahwasanya terdapat keterpautan jumlah
antara laki-laki dan perempuan usia kawin meskipun masalah keterpautan ini masih juga diperdebatkan-. Tentunya banyak alasan lain
yang menjadikan praktik poligami ini tidak dihapus oleh Islam.
Berikut ini penulis akan memaparkan analisis yang sederhana
tentang hal tersebut agar dari beberapa pemetaan pemahaman yang
tercantum dalam tulisan sederhana ini menjadikan kita menjadi lebih
bijak dalam menanggapi hal-hal yang menyangkut masalah praktik
13
14
b. Sekilas sejarah
Poligami sebenarnya sama sekali bukan realitas baru dalam
sejarah peradaban, sebagai contoh sederhana bahwa kita sampai
saat ini masih lekat dengan riwayat yang diterangkan dalam kitab
taurat bahwa nabi Sulaiman memiliki 1000 orang istri, 700 orang
istri dari golongan merdeka dan 300 orang dari golongan budak,
begitu juga dengan nabi Daud yang memiliki 100 istri3. Peraturan
perkawinan model poligami juga telah jauh dikenal sebelum Islam
baik yang terjadi di kalangan masyarakat yang berperadaban tinggi
maupun rendah,4 dalam hal ini seorang laki-laki diperbolehkan
(tentu oleh budaya dan kepercayaan mereka) mengawini lebih dari
seorang wanita, taruhlah misalnya di Cina dimana seorang lakilaki berhak mengawini seorang atau beberapa orang wanita jika
istri yang pertama ternyata mandul dan tidak bisa memberinya
keturunan, tetapi dalam kasus ini istri pertama menjadi ratu dari
istri-istri yang lain. Kemudian di India dimana praktik poligami
biasanya terjadi di kalangan kerajaan dan konglomerat, dalam kasus
ini biasanya motifnya adalah karena istri yang pertama mandul atau
emosional. Ada juga yang terjadi pada masyarakat Mesir kuno
dan ini yang menarik- dimana poligami dianggap hal yang wajar
asalkan calon suami mau berjanji akan membayar uang yang
banyak kepada istri pertama apabila nanti suami menginginkan
untuk menikah lagi. Bahkan bangsa Timur kuno seperti Siria,
Babylonia dan Madyan memiliki anggapan bahwa praktik poligami
merupakan hal yang suci karena raja-raja mereka yang nota-benenya adalah orang suci juga melakukan poligami. Praktik poligami
juga terjadi pada masyarakat Arab pra-Islam5 dimana seorang laki3
4
15
laki berhak menikahi sejumlah wanita yang dikehendaki tanpa ikatan maupun syarat apapun, sebagaimana yang ada dalam riwayat
bahwa Ghilan bin Salamah ats-tsaqafi sebelum masuk Islam dia
memiliki 10 orang istri, Naufal bin Muawiyah memiliki 5 orang
istri, begitu juga dengan Tsabit bin Qais yang sebelum masuk Islam memiliki 8 orang istri, kenyataan semacam ini memang sudah
lama terbangun dalam sejarah peradaban manusia terutama dalam
masyarakat yang berbudaya dan berperadaban tinggi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa praktik poligami
secara umum telah dikenal pada berbagai bangsa sebelum Islam
tanpa batasan maupun ikatan, bahkan bagi pemeluk agama Nasrani
khususnya, praktik poligami ini bahkan diakui gereja hingga abad
ke-16 Masehi6. Sampai saat ini praktik poligami dengan segala macam dimensinya masih tetap ada dalam berbagai bangsa dan masyarakat tak terkecuali pada masyarakat muslim yang justru menanggapi praktik poligami ini dengan pandangan yang sangat beragam
karena adanya semacam keterpengaruhan besar terhadap ayat-ayat
yang oleh sebagian orang atau bahkan ulama dianggap sebagai pelegitimasi praktik poligami meskipun sebagian yang lain menolak
pendapat itu.
tertunjuk tidak bisa mengelak). Perkawinan al-Maqtu (seorang laki-laki mengawini istri
bapak kandungnya setelah bapak kandungnya itu meninggal dunia). Perkawinan Badal (seorang
suami tukar-menukar istri mereka tanpa bercerai terlebih dahulu). Perkawinan Syighar (seorang
mengawinkan anak perempuan atau saudara perempuannya kepada seseorang tanpa membayar
mahar). Perkawinan Khadan (seorang laki-laki bergaul dengan seorang wanita layaknya suami
istri dan kumpul dalam satu rumah tanpa ada ikatan perkawinan atau kumpul kebo). Perkawinan Baghaya (sekelompok laki-laki menggauli seorang wanita yang tuna susila setelah wanita
tadi hamil dan melahirkan anak maka wanita tadi menisbatkan anaknya pada laki-laki yang
lebih mirip wajahnya). Tentang bentuk-bentuk perkawinan semacam ini juga diterangkan
dalam shohih bukhori sebagaimana riwayat Aisyah Ummul Mukminin (lihat misalnya Quraish
Shihab, Wawasan al-Quran, hlm. 193).
Ibid, hlm 35
16
Artinya; Apabila kamu takut untuk tidak dapat berlaku adil terhadap
perempuan yatim (yang kamu kawini) maka kawinilah perempuan-perempuan
(lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Dan kemudian jika kamu
takut untuk tidak dapat berlaku adil maka kawinilah seorang saja, atau budakbudakmu, yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berlaku aniaya.
Tentang Jumlah
Yang hampir menjadi kesepakatan diantara para ulama tentang
berapa jumlah istri dalam praktik poligami adalah empat orang, tetapi
paling tidak menurut DR. Musfir al-Jahrani ada tiga pendapat7 yang
berbeda tentang penafsiran ayat di atas yang berkaitan dengan masalah
jumlah. Yaitu;
Kelompok pertama yang menafsirkan bahwa keberadaan huruf
wawu pada lafaz matsna, watsulatsa, warubaa adalah wawu jama
yang berarti deret atau tambah dari 2 + 3 + 4 = 9.
7
Ibid, hlm.53-54. akan tetapi keterangan tentang tiga pendapat ini merupakan pendapat atau
penafsiran lain selain yang sudah menjadi ijma bagi mayoritas ulama yag menyatakan bahwa
batas maksimal jumlah istri yang diperbolehkan dalam praktik poligami adalah empat orang,
dan beliau sendiri memilih pendapat jumhurul ulama ini dengan mengatakan bahwa tiga
pendapat yang telah diterangkan itu merupakan pendapat yang keliru, beliau juga mengatakan
bahwa keberadaan huruf wawudalam kalimat matsna, atsulatsa, warubaa adalah berfungsi
littakhyir (memilih) dan bukan wawu jama.
17
Kelompok kedua yang menafsirkan ayat yang sama dengan bolehnya laki-laki menikahi wanita sebanyak delapan belas orang dengan
alasan bahwa lafaz mufrad yang diulang-ulang dengan huruf wawu
di antara kalimat matsna, watsulatsa, warubaa adalah deret tambah
dari 2 + 2 + 3 + 3 + 4 + 4 = 18.
Kelompok ketiga yang menafsirkan ayat yang sama dengan bolehnya laki-laki untuk memadu istri dalam jumlah yang tak terbatas
(berapa saja), mereka beralasan;
1. Ungkapan ma thaba lakum minannisai yang biasa diartikan
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi adalah mencakup
makna yang umum, sedangkan kalimat matsna, watsulatsa,
warubaa.. merupakan kalimat hitungan yang diulang-ulang tanpa
kesudahan. Jadi cakupannya sangat umum dan tidak menunjukkan
tentang batasan jumlah.
2. Sama juga seperti milkul yamin (budak) yang juga tidak dibatasi
jumlah.
3. Ternyata hadits Nabi yang menerangkan mengenai batasan jumlah
ini merupakan hadits ahad (riwayat perseorangan) dimana hadits
ahad tidak bisa digunakan untuk menasakh ayat al-Quran.
Sementara M. Quraish Shihab menerangkan bahwa ayat di atas
justru menjadi dasar bahwa ada larangan untuk menghimpun dalam
saat yang sama lebih dari empat orang istri sebagaimana yang terjadi
atas Sailan bin Umayyah yang saat itu memiliki sepuluh orang istri
supaya memilih empat saja dan menceraikan selebihnya. Adapun
tentang penyebutan jumlah dua, tiga atau empat adalah dalam rangka
tuntutan berlaku adil kepada anak-anak yatim yang kaya lagi cantik
yang dikawini (sesuai dengan penafsiran beliau dimana konteks ayat
ini turun adalah menyangkut sebagian orang yang ingin mengawini
anak-anak yatim yang kaya lagi cantik yang berada dalam tanggungannya tetapi mereka tidak ingin memberinya maskawin yang sesuai serta
tidak memperlakukannya secara adil). Beliau menjelaskan bahwa
redaksi penyebutan jumlah ini mirip dengan ucapan yang melarang
orang lain untuk memakan makanan tertentu dan untuk menguatkan
larangan itu dia mengatakan jika anda khawatir sakit bila makan
makanan ini, maka habiskan saja makanan selainnya yang ada dihadapan
anda selama anda tidak khawatir sakit. Yang tentu saja perintah untuk
18
menghabiskan makanan yang lain hanya untuk sekadar untuk menekankan larangan memakan makanan tertentu itu.8
Keterangan M. Quraish Shihab ini juga senada dengan apa yang
ditulis oleh Ibnu Abi Hatim Al-Razi menyitir perkataan Ibnu Abbas
bahwa dibatasinya laki-laki mengawini hanya empat wanita dalam
waktu yang bersamaan adalah erat kaitannya dengan keadilan terhadap yatama dalam konteks turunnya ayat ini.9 Kemudian imam asSyafii memberikan beberapa catatan tentang jumlah empat ini, yaitu
bahwa khitob ayat ini adalah khusus bagi ahrar (orang yang merdeka, tidak mamalik atau abd), dengan alasan bahwa ahrar lebih memiliki kapabilitas dalam masalah nafkah, dan pasti lebih mampu secara
ekonomi, dengan begitu maka sangat kecil kemungkinan untuk
berbuat aniaya.10
Sementara yang lebih menarik adalah penafsiran yang disampaikan oleh Muhammad Syahrur, dengan teorinya Syahrur menawarkan
dua persyaratan bagi pelaku poligami yaitu syarat kammiyyah (kuantitas) menyangkut batasan jumlah perempuan yang hendak di poligami yakni batas minimal dua dan batas maksimal empat. Hal ini karena
tidak mungkin seorang suami hanya menikahi setengah istri, dan itu
pun belum cukup, masih ada syarat lain yaitu syarat nawiyyah (kualitas) yang menyangkut kualitas orang yang melakukan poligami yaitu
harus ada kekhawatiran untuk tidak dapat berbuat adil kepada anakanak yatimnya, pelaku poligami harus dapat berusaha untuk dapat
berlaku adil sementara batasan lain yaitu istri pertama boleh perawan
boleh janda tetapi istri kedua, ketiga dan keempat harus janda yang
memiliki anak yatim.11
Sebenarnya hikmah apa yang terkandung dalam penentuan jumlah yang empat ini, terkadang memang hal ini menjadi pertanyaan
dikalangan awam. Memang tentang masalah ini terdapat beberapa
pandangan diantaranya adalah ada yang mengatakan bahwa hal itu
mungkin berkaitan dengan adaptasi dari empat musim, ada juga yang
M.Quraish Shihab,Wawasan Al-Quran, Tafsir MaudhuI atas Pelbagai Persoalan Umat, (Mizan,
Bandung, 2001), hlm 199-200
9
Ibnu Abi Hatim Al-Razi, Tafsir al-Quran al-Azhim, hlm.859
10
Tafsir Imam as-SyafiI Jilid 2, hlm. 514-518
11
Abdul Mustaqim, Konsep Poligami Menurut Muhammad Syahrur,dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu alQuran dan Hadits, vol. 8, no. 1. Januari 2007, hlm 53-54
8
19
menyimpulkan karena jumlah laki-laki dan perempuan adalah 1 banding 4. Yang lainnya berpendapat karena kalangan laki-laki mencoba
menghimpun berbagai jenis wanita, ada yang tinggi, pendek, kurus,
atau gemuk dalam soal bentuk tubuh. Ada yang memahami dari jenis
kulit wanita yaitu ada yang putih, pirang, hitam manis, atau kuning
langsat. Ada juga yang ingin menghimpun wanita yang beragama
kuat, berparas cantik, memiliki banyak harta, dan yang memiliki keturunan bangsawan (sebagaimana yang diserukan dalam memilih istri).
Sampai-sampai ada yang memahami bahwa masalah jumlah empat
itu sesuai dengan siklus bulanan wanita yang memiliki kebiasaan haid.
Tetapi apapun yang terjadi dengan alasan-alasan di atas, toh semua
itu hanyalah merupakan pemahaman ijtihadiyyah yang bisa benar dan
bisa juga salah. Hanya Allahlah yang maha Tahu.
Bagaimanapun bentuk penafsiran tentang jumlah yang telah
ditawarkan di atas ternyata memang tidak ada satupun yang secara
tegas melarang poligami kecuali hanya pesan moral yang diselipkan
sebagai motivasi bahwa monogamy adalah menempati posisi yang
lebih aman.
Tentang Adil
Masalah keadilan yang secara eksplisit dipahami sebagai syarat
diperbolehkannya poligami juga menjadi perdebatan pemahaman
tersendiri, hal ini memang terkait erat dengan pernyataan wa in
khiftum an laa tadiluu fawahidatan aw maa malakat aimanukum (jika
kamu takut tidak dapat berlaku adil maka kawinilah seorang saja atau
budak yang kamu miliki), sehingga pertanyaan yang sering muncul
adalah bentuk keadilam yang seperti apa yang diharapkan dalam
masalah ini?
Ada sebagian yang memahami bahwa maksud adil terhadap istri
adalah sekadar apa yang dapat dilakukan seseorang untuk berlaku
adil, misalnya dalam hal membagi waktu, nafkah, pakaian, dan tempat
tinggal. Adapun yang tidak dapat dilakukan oleh seseorang seperti
melebihkan cintanya kepada salah seorang istri maka tidak termasuk
dosa.12
12
H.S.A Al-hamdani, Risalah Nikah, terj. Agus Salim (Jakarta; Pustaka Amani, 2002) hlm. 38
20
21
22
24
25
26
Penutup.
Poligami atau lebih tepatnya poligini dengan berbagai macam
persyaratan yang melingkupinya apabila dibandingkan dengan
perzinahan, pelecehan seksual, komunisme seksual dan penyimpangan-penyimpangan seksual yang lain merupakan hal yang paling bisa
dianggap solusi dan paling bisa ditoleransi keberadaannya. Sehingga
27
dalam satu kondisi poligami bisa dijadikan solusi alternatif, akan tetapi
dalam kondisi tertentu pula monogami adalah hal yang prinsip dalam
pernikahan. Dan pastinya kondisi ini menyangkut analisa dan kajian
baik yang bersifat sosiologis, psikhis, ekonomis, maupun politis.
Dengan demikian, elastisitas pemahaman ataupun elastisitas
tafsir poligami adalah sebuah keniscayaan. Sehingga tidak terjebak
dalam nuansa hitam-putih hukum atau tidak memandang suatu
masalah hanya dari satu perspektif.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mustaqim, Konsep Poligami Menurut Muhammad Syahrur, dalam
Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Quran dan Hadits, vol. 8, no. 1.
Januari 2007
Abdur Rahman Ibn Muhammad ibn Idris al-Razi ibn Abi Hatim, Tafsir
al-Quran al-Azhim (Riyadh; Maktabah Nizar Musthafa alBaz, 1997)
Abraham Silo Wilar, POLIGINI NABI, Kajian Kritis-Teologis Terhadap
Pemikiran Ali Syariati dan Fatimah Mernissi (Yogjakarta:
Pustaka Rihlah, 2006)
DR.Ahmad ibn Musthafa al-Farran, Tafsir Imam as-SyafiI Jilid 2
(Riyadh; Daar Tadammuriyyah, 2006)
Dr.Muhammad al-Habsy, Al marah baina al-syariah wa-al-hilah
(Damaskus; Daar al- Tajdid, 2002)
Dr. Musfir Husain al-Jahrani, Poligami dari berbagai Persepsi, terj.
Muh.Suten Ritonga, (Jakarta, Gema Insani Press, 2002)
Fatimah Mernissi, Beyond The Veil, Seks dan Kekuasaan. terj. Masyhur
Abadi (Surabaya; Alfikr, 1997)
H.S.A Alhamdani, Risalah Nikah, terj. Agus Salim (Jakarta; Pustaka
Amani, 2002)
Murtadha Muthahhari, Duduk Perkara Poligami, terj. M. Hashem
(Jakarta; PT Serambi Ilmu Semesta, 2007),
M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhui atas Pelbagai
Persoalan Umat, (Mizan, Bandung, 2001)
28
Abstraksi:
Potret pendidikan Islam dari masa ke masa selalu menunjukkkan
dinamika yang unik, maju dalam banyak hal dan juga dinilai mundur
dalam beberapa hal. Di tengah berbagai problema yang dihadapi umat
manusia, pendidikan Islam selalu menjadi pusat perhatian, pusat
gugatan dan sekaligus pusat kajian, tidak hanya pada ranah paradigma,
nilai-nilai, konstribusi dan faktor kesejarahan.
Tulisan ini akan membahas tentang bagaimana gambaran awal
pendidikan Islam yang telah nyata berkonstribusi dalam menciptakan
peradaban besar berbagai bangsa di dunia. Tulisan ini secara spesifik
akan mengkaji tentang potret pendidikan Islam pada masa-masa awal.
A. Pendahuluan
Sejarah masa awal pendidikan Islam tidak dapat dipisahkan dengan
sejarah awal Islam lahir dan berkembang di tanah Arab. Dimana
kelahiran Islam saat itu secara sosiologis, bangsa Arab -khususnya
masyarakat Makkah- mengalami perkembangan ekonomi yang cukup
tinggi dengan hadirnya orang-orang non-jazirah Arab di Kota Mekkah
untuk berdagang menjual dan memasarkan hasil pertanian mereka.
Dengan adanya pasar yang cukup ramai tersebut, masyarakat Makkah
mendapatkan dinamika atau progres kehidupan yang luar biasa.
Sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Arab yang demikian,
Allah SWT memberikan wahyu kepada Rasulullah Muhammad SAW,
yang diabadikan dalam QS. Quraish (106): 1-2.
29
Kondisi sosial yang demikian, dapat memberikan gambaran bahwa bangsa Arab -masa pra dan awal Islam- telah memiliki pengetahuan
dan peradaban terutama dalam bidang perdagangan atau ekonomi.
Karena Makkah pada waktu (akan) munculnya Islam telah menjadi
sebuah kota yang multi fungsi, yakni: sebagai pusat bisnis dan niaga
internasional, tempat transit (jawa: menginap) bagi para kafilah dagang
yang berasal dari luar Makkah serta adanya KABAH sebagai pusat
peribadatan berbagai suku di Jazirah Arab. Fungsi lain bagi Makkah
adalah pusat seni-budaya, karena berbagai suku di jazirah Arabia biasa
melakukan pekan raya sastra, khususnya di pasar Ukadz tempat
berlomba puisi dan pidato antar berbagai suku.2
B. Pembahasan
Kondisi masyarakat yang maju dalam bidang ekonomi dan kesusastraan, pada masa awal kehadiran Islam, belum diimbangi dengan
kemajuan dalam bidang pendidikan. Hal ini dapat dilihat masih sedikitnya bangsa Arab yang memiliki kemampuan membaca dan menulis.
Bahkan mereka belum mengenal kertas, sebagai kertas yang dikenal
sekarang. Perkataan al-waraq (daun) yang lazim pula dipakaikan
dengan arti kertas di masa itu, hanyalah dipakaikan pada daun kayu
saja.3
Adapun kata al-qirthas yang daripadanya terambil kata-kata
Indonesia kertas dipakaikan oleh mereka hanyalah kepada bendabenda (bahan-bahan) yang mereka pergunakan untuk ditulis, yaitu:
kulit binatang, batu yang tipis dan licin, pelepah tamar (korma), tulang1
2
3
Orang Quraisy biasa mengadakan perjalanan terutama untuk berdagang ke negeri Syam pada
musim panas dan ke negeri Yaman pada musim dingin. Dalam perjalanan itu mereka mendapat
jaminan keamanan dari penguasa-penguasa dari negeri-negeri yang dilaluinya. Ini adalah
suatu nikmat yang amat besar dari Tuhan mereka. Oleh karena itu sewajarnyalah mereka
menyembah Allah yang telah memberikan nikmat itu kepada mereka.
Syauqi Dhoif, Tarikh al-Adab al-Arabi al-Jahili, Mesir, Darul Maarif, t.t. 38.
Al-Quran dan Terjemahnya, Mujamma Al-Malik Al-Fahd li Thibaat Al-Mushhaf Asy-Syarif
Medinah Munawwarah, P.O. BOX 6262, Kerajaan Saudi Arabia, 1418 H., hal. 18.
30
31
Fazlur Rahman, Terjemah Ahsin Muhammad, Islam, Cet. IV, PUSTAKA, Bandung, 2000, hal.
263.
32
Pada proses awal pembelajaran tulis baca al-Quran, dianjurkan oleh Nabi kepada para sahabat untuk menghafal dan membaca
33
34
C. SIMPULAN
Pendidikan pada masa awal Islam dipengaruhi oleh kondisi sosial
masyarakat Arab ketika itu. Yakni masyarakat yang meskipun sudah
memiliki kemampuan ekonomi (makmur), berbudaya, dan multikulturalisme. Namun sebagian besar bangsa Arab masih buta huruf atau
belum bisa membaca dan menulis. Karena itu, pendidikan yang diutamakan adalah pendidikan membaca dan menulis. Guru-gurunya pada
tahap awal yang mengajarkan membaca dan menulis, sebagian besar
adalah orang-orang non-muslim (Yahudi dan Kristen).7
Adapun materi kurikulum yang utama adalah Tauhid. Meskipun
dalam petunjuk al-Quran, materi pendidikan Islam sudah lebih
banyak. Sebagaimana yang diisyaratkan dalam QS. Luqman (31): 1219 yaitu; tauhid, shalat, adab dalam masyarakat, adab dalam lingkungan
keluarga, kesehatan, dan kepribadian.
Untuk alat/media dan sumber belajar yang utama berpusat pada
figur Nabi sebagai insan kamil, yang memberikan teladan, sehingga
dapat dijadikan teladan oleh para sahabat dan keseluruhan umat
manusia.
7
37
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Terjemahnya, Mujamma Al-Malik Al-Fahd li Thibaat
Al-Mushhaf Asy-Syarif Medinah Munawwarah, P.O. BOX 6262,
Kerajaan Saudi Arabia, 1418 H., hal. 18.
ArmaI, Arif, Sejarah Pertumbhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan
Islam Klasik, Bandung, Penerbit Angkas, 2005.
Dhoif, Syauqi, Tarikh al-Adab al-Arabi fi al-Ashri al-Jahili, Mesir, Darul
Maarif, t.t., 2008.
Fazlur Rahman, terjemah Ahsin Mushtofa, Islam, Cet. IV, Bandung,
PUSTAKA, 2000.
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, PT. Hidakarya Agung,
1992.
Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Kencana, 2008.
Salabi, Ahmad, Tarikh al-Tsaqofah al-Arobiyah, Mesir: Darul Maarif,
Juz. I. t.t.
Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, Cet.9,
2008.
38
Abstraksi:
Pada masyarakat yang mengikuti pola peradaban Barat yang sekuler,
solusi yang ditawarkan untuk mengatasi problem kejiwaan dilakukan
dengan pendekatan psikologi untuk mencapai kesehatan mental (mental
health). Sedangkan pada masyarakat Islam yang pada awal sejarahnya
tidak mengenal problem psikologis seperti itu, maka solusi yang ditawarkan lebih bersifat religious spiritual, yakni dengan pendekatan tasawuf. Makalah ini akan membahas tentang persoalan tasawuf menurut
Hamka. Persoalannya, tasawuf telah tergelincir dari agama dengan gaya
hidup mengasingkan diri dari aktivitas dunia dan dengan pakaian sufinya
karam di dalam khalwat, melakukan ritualitas tertentu, serta tidak peduli
apa-apa, karena merasa lezat di dalam kesunyian diri. Pemikiran Hamka
yang akan dibahas dalam makalah ini berusaha mengembalikan tasawuf
ke pangkalnya sehingga dapat dijadikan sebagai solusi dalam menghadapi
problem kejiwaan masyarakat modern.
I. PENDAHULUAN
Manusia memiliki potensi untuk berhubungan dengan dua
dunia, yaitu dunia material dan dunia spiritual. Itu sebabnya manusia
mampu menangkap hukum-hukum alam di balik gejala-gejala fisik
yang diamatinya, tetapi juga mampu menyadap isyarat-isyarat gaib
dari alam yang lebih luas lagi. Bila satu potensi dikembangkan luar
biasa, sedangkan potensi lain dimatikan, maka manusia akan mengalami ketimpangan, ibarat makhluk bermata satu. Fenomena seperti
39
itu dialami oleh manusia modern. Mereka menafikan potensi ruhaniahnya, sehingga mereka menghadapi persoalan makna hidup.1
Persoalan makna hidup yang dialami oleh manusia modern disebabkan karena mereka sangat berlebihan dalam segi material kehidupan. Definisi sukses dalam perbendaharaan kata manusia modern
hampir-hampir identik hanya dengan keberhasilan mewujudkan
angan-angan dalam bidang kehidupan material. Ukuran sukses dan
tidak sukses kebanyakan terbatas hanya kepada seberapa jauh seseorang menampilkan dirinya secara lahiriah dalam kehidupan material. Dalam waktu yang bersamaan, mereka mengabaikan kesuksesan
ruhaniah, yang sebenarnya built in dalam dirinya. Pengabaian kesuksesan ruhaniah inilah yang berimplikasi pada kegersangan spiritual
di kalangan manusia modern. Oleh karena itu, menurut Haidar Bagir,
wajar jika manusia modern memiliki kerinduan pada kesejukan dan
kedamaian jiwa.2
Pada masyarakat yang mengikuti pola peradaban Barat yang sekuler, solusi yang ditawarkan untuk mengatasi problem kejiwaan tersebut dilakukan dengan pendekatan psikologi, dalam hal ini kesehatan
mental (mental health). Sedangkan pada masyarakat Islam yang pada
awal sejarahnya tidak mengenal problem psikologis seperti itu, maka
solusi yang ditawarkan lebih bersifat religius spiritual, yakni dengan
pendekatan tasawuf. Namun demikian, menurut Hamka, persoalannya tasawuf telah tergelincir dari agama dengan hidup mengasingkan
diri dari aktivitas dunia dan dengan pakaian sufinya karam di dalam
khalwat, melakukan ritualitas tertentu, serta tidak peduli apa-apa, karena merasa lezat di dalam kesunyian diri.3 Pemikiran Hamka dalam
mengembalikan tasawuf ke pangkalnya sehingga dapat dijadikan sebagai solusi dalam menghadapi problem kejiwaan masyarakat modern
dituangkan dalam karyanya yang berjudul Tasawuf Modern
40
Ahmad Hakim dan M. Thalhah, Politik Bermoral Agama: Tafsir Politik HAMKA,(Yogyakarta:
UII Press, 2005), hlm. 25.
H. Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. DR. Hamka, (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1981), hlm. 1
Sahiron Syamsuddin, Hamkas Political Thought As Expressed in His Tafsir Al-Azhar, (Jakarta:
PERMIKA Montreal dan LPMI, 1997), hlm. 245.
Hamka, Tasawuf Moderen, hlm. xvii. Lihat juga, Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir alAzhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), hlm. 36.
41
Pakualaman Yogjakarta. Dari berbagai kursus tersebut Hamka mengenal secara dekat pemahaman pergerakan politik Syarikat Islam dan
pergerakan sosial Muhammadiyah. Setelah beberapa lama di
Yogyakarta, Hamka berangkat ke Pekalongan untuk menemui gurunya sekaligus suami kakaknya, yaitu A.R. Sutan Mansyur, yang pada
waktu itu menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah Cabang
Pekalongan. Di kota ini dia berkenalan dengan Citrosuarno, Mas
Ranuwiharjo, Mas Usman, dan Mohammad Roem. Baru pada Juli
1925 Hamka kembali ke Padang Panjang.8
Pada bulan Februari 1927 Hamka berangkat ke Mekkah. Namun
tidak begitu lama, setelah sempat bekerja pada sebuah percetakan di
sana, pada bulan Juli 1927 dia pulang ke tanah air.9 Pada tanggal 5
April 1929 Hamka menikahi Siti Raham. Pada waktu itu dia baru berusia 21 tahun, sedangkan istrinya berusia 15 tahun.10 Setelah pernikahannya, Hamka mengaktifkan diri sebagai pengurus Muhammadiyah.
Kiprah Hamka di organisasi itu diawali sebagai pengurus Cabang
Padang. Pada tahun 1934 ia diangkat menjadi anggota tetap Majlis
Konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah. Pada konggres
Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto tahun 1953, Hamka terpilih
menjadi anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Tetapi pada konggres berikutnya ia tidak bersedia lagi untuk duduk menjadi anggota
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, karena faktor kesehatannya yang
semakin berkurang. Sejak konggres di Makasar tahun 1971 ia ditetapkan menjadi penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah sampai akhir
hayatnya.11
Di samping sebagai aktifis organisasi keagamaan, Hamka juga
merupakan figur terkemuka dalam perjuangan revolusioner merebut
kemerdekaan di Sumatera Barat dari tahun 1945 sampai 1949. Pada
tahun 1950, ia pindah ke Jakarta dan diangkat menjadi pejabat tinggi
Depag ketika menterinya K.H. Wahid Hasyim. Dia diserahi tugas
mengajar di beberapa perguruan tinggi Islam di Jakarta, Universitas
Muhammadiyah di Padang Panjang, Universitas Muslim Indonesia
Makasar, dan Universitas Islam Sumatera Utara. 12 Di samping
H. Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya, hlm. 2
Sahiron Syamsuddin, Hamkas Political Thought, hlm. 2
10
H. Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya, hlm. 3
11
Ibid, hlm.3-4; Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam, hlm. 44-48
8
9
42
43
ketahuilah, saya sebagai ulama tidak dapat dibeli. Dua bulan sebelum
wafatnya, Hamka mengundurkan diri dari jabatan tersebut. Hal itu
disebabkan oleh masalah perayaan Natal yang dilakukan bersama
dengan penganut agama lainnya, termasuk umat Islam. MUI di bawah
pimpinan Hamka telah mengeluarkan fatwa haram hukumnya bagi
seorang muslim mengikuti perayaan Natal. Fatwa tersebut mendapat
kecaman dari Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara dan
meminta agar MUI mencabutnya.16
Hamka dikenal sebagai seorang otodidak yang sangat tinggi. Ia
belajar sendiri tentang buku-buku yang menurutnya penting. Ilmuilmu seperti falsafah, kesusasteraan, sejarah, sosiologi dan politik
ditelaahnya dengan bermodal pendidikan yang pernah diterimanya.
Berkat kemampuan membacanya yang luas meyebabkan ia mempunyai banyak akses keilmuan. Dibanding pemikir Islam modernis lain
di Indonesia, Hamka mempunyai kelebihan menyatakan pikiran dalam
ungkapan-ungkapan modern dan kontemporer. Oleh karena itu ia
berhasil menjalin komunikasi intelektual dengan kalangan terpelajar
tanpa canggung dan tanpa hambatan.17 Komunikasi tersebut diwujudkan selain lewat ceramah diberbagai kegiatan juga lewat tulisan dalam
bentuk artikel dan buku.
Hamka dikenal sebagai seorang penulis yang sangat produktif.
Jumlah tulisannya dalam bentuk buku mencapai hingga 118 buah.
Buku-buku tersebut isinya bervariasi dan dapat dikelompokan ke dalam
tiga bidang ilmu, yaitu bidang sastra, bidang keagamaan, serta bidang
sosial-politik-kebudayaan.18 Sebagai penghargaan terhadap kemampuan Hamka di bidang keilmuan, dua perguruan tinggi menganugerahkan kepadanya gelar doctor honoris causa dan profesor, yaitu Universitas Al-Azhar Mesir pada tanggal 28 Februari 1959 dan Universitas Kebangsaan Malaysia pada tanggal 8 Juni 1974.19
Pada tanggal 24 Juli 1981, sembari dikelilingi oleh istri, putranya,
Afif Amrullah, dan beberapa teman dekatnya, Hamka wafat dalam
usia 73 tahun.20
Ahmad Hakim dan M. Thalhah, Politik Bermoral Agama, hlm. 29.
Sulaeman Al-Kumayi, Kearifan Spiritual dari Hamka, hlm. 22.
18
Ahmad Hakim dan M. Thalhah, Politik Bermoral Agama, hlm. 33-34.
19
Sulaeman Al-Kumayi, Kearifan Spiritual dari Hamka, hlm. 23.
20
Ahmad Hakim dan M. Thalhah, Politik Bermoral Agama, hlm. 29.
16
17
44
Buku Tasawuf Modern berisi pemikiran Hamka tentang bagaimana seharusnya membangun kehidupan yang bahagia sebagaimana
yang diinginkan oleh Islam. Di dalamnya banyak dikutip pikiran dan
Abdurrahman Wahid, Benarkah Buya Hamka seorang Besar?: Sebuah Pengantar dalam Nasir
Tamara, Buntaran Sanusi, dan Vincent Djauhari (Penyunting), Hamka di mata Umat, (Jakarta:
Sinar Harapan, 1983), hlm. 30.
22
Hamka, Tasawuf Moderen, hlm. v-viii
23
Ibid, hlm. vii-viii
21
45
46
47
48
49
50
IV.Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan:
1. Pemikiran Hamka tentang Tasawuf Modern merupakan pemahaman tasawuf yang didasarkan pada fondasi aqdah yang bersih dari
praktik-praktik dan amalan-amalan lain yang bertentangan dengan
syariat Islam.
2. Tasawuf Modern model Hamka dimaksudkan meletakkan tasawuf
kepada relnya, dengan menegakkan kembali maksud semula tasawuf, yakni guna membersihkan jiwa, mendidik, dan memperhalus
perasaan, menghidupkan hati dalam menyembah Tuhan dan
mempertinggi derajat budi pekerti
3. Konsep-konsep tasawuf yang diterangkan Hamka dikategorikan
Neo-Sufisme, yaitu tasawuf kontemporer yang sangat dinamis
dengan kehidupan modern yang didasarkan pada ajaran Islam.
Baginya, hidup di era modern tidak menjauhkan seseorang kepada
Allah. Bahkan ajaran Allah, yaitu Islam dapat menjadi solusi dalam
menghadapi problem kejiwaan masyarakat modern.
Wallahu alam bish-showab.
46
47
51
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hakim dan M. Thalhah, Politik Bermoral Agama: Tafsir Politik
HAMKA,(Yogyakarta: UII Press, 2005)
Ahmad Najib Burhani (ed), Manusia Modern Mendamba Allah: Renungan
Tasawuf Positif (Jakarta: IMAN & Hikmah, 2002)
A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2000)
Fazlur Rahman, Islam (Bandung: Pustaka, 1984)
Floriberta Aning S, 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia, (Tangerang:
Penerbit Narasi)
Hamka, Tasawuf Moderen, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996)
H.Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. DR. Hamka, (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1981)
Jalaludin Rakhmat, Renungan-renungan Sufistik: Membuka Tirai
Kegaiban (Bandung: Mizan, 2000)
Mohammad Damami, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka
(Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2000)
M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensi, dan Perilaku Politik Bangsa:
Risalah Cendekiawan Muslim (Baandung: Mizan, 1993)
Nasir Tamara, Buntaran Sanusi, dan Vincent Djauhari (Penyunting),
Hamka di mata Umat, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983)
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan
Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina,
1995)
Sahiron Syamsuddin, Hamkas Political Thought As Expressed in His Tafsir
Al-Azhar, (Jakarta: PERMIKA Montreal dan LPMI, 1997)
Sulaeman Al-Kumayi, Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym,
(Semarang: Pustaka Nuun, 2004)
Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1990)
52
Abstraksi:
Dilihat basis empiriknya, agama dan demokrasi memang berbeda.
Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari pergumulan
pemikiran manusia. Dengan demikian agama memiliki dialeketikanya
sendiri. Namun begitu tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi. Dalam perspektif Islam elemen-elemen
demokrasi meliputi: syura, musawah, adalah, amanah, masuliyyah dan
hurriyyah.
Islam menaruh perhatian yang serius terhadap aplikasi kristalisasi
nilai-nilai demokrasi. Sebagai rahmatan lilalamin, Islam memiliki tujuan
yang terakumulasi dalam lima prinsip universal (kulliatul khams); yakni
menjamin kebebasan beragama (hifdz al-din), memelihara nyawa (hifdz
al-nafs), menjaga keturunan dan profesi (hifdz al-nasl wa al-irdl), menjamin
kebebasan berekspresi dan berspikir (hifdz al-aql), dan memelihara harta
benda (hifdz al-mal). Kelima prinsip tersebut, dewasa ini sangat relevan
dengan prinsip-prinsip HAM yang menjadi pilar demokrasi. Tulisan ini
berusaha membahas tentang bagaimana pemahaman tentang demokrasi
dan bagaimana Islam memandang demokrasi. Adakah perspektif yang
saling mendukung atau saling berlawanan antara Islam dengan demokrasi. Oleh karena pendekatan dalam kajian makalah ini mengunakan
berbagai pendekatan, yakni pendekatan normatif, pendekatan sejarah
dan pendekatan yang relevan.
A. Pendahuluan
Secara etimologis demokrasi terdiri dari dua kata yang berasal
dari bahasa Yunani yaitu demos yang berarti rakyat atau penduduk
53
suatu tempat cratein atau cratus yang berarti kekuasaan dan kedudukan, jadi secara istilah demokrasi adalah keadaan negara dimana
dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada ditangan rakyat,
kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat
berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.
Demokrasi secara sederhana dapat diartikan sebagai pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Sistem ini menuntut partisipasi
langsung warga suatu bangsa untuk menentukan roda pemerintahan1.
Rakyat sebagai pemilik kedaulatan, selain memiliki kewajiban, juga
mempunyai hak. Hal ini bertolak belakang dengan sistem monarchiabsolut yang menjadi trend sistem pemerintahan pra-abad ke-18.
Diskursus demokrasi mulai berkembang pada apad ke-17 dan
18 Masehi. Kehadirannya sebagai respon atas absolutism raja-raja dan
kaum feodal kala itu. Gap antara kelas atas (penguasa) dengan kelas
bawah (rakyat) menghendaki adanya gagasan persamaan derajat (almusawah), suatu perlakuan yang sama di hadapan hukum, penegakan
keadilan dengan tanpa pandang bulu (aladalah) kebebasan berekspresi
(al-huriyyah). Kulminasi dari ide-ide tersebut terealisasikan pada peristiwa Revolusi Perancis di akhir abad ke-182. Hasilnya ortodoksi gereja
yang dikooptasi para raja semakin lama semakin mencair, sampai
akhirnya terwujud tatanan masyarakat yang demokratis.
Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hakhak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan
persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul idiomidiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia), dan seterusnya.
Dalam tradisi Barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa
rakyat seharusnya menjadi pemerintah bagi dirinya sendiri, dan
wakil rakyat seharusnya menjadi pengendali yang bertanggung jawab
atas tugasnya. Karena alasan inilah maka lembaga legislatif di dunia
Barat menganggap sebagai pioner dan garda depan demokrasi. Lembaga legislatif benar-benar menjadi wakil rakyat dan berfungsi sebagai
agen rakyat yang aspiratif dan distributif. Keberadaan wakil rakyat
didasarkan atas pertimbangan, bahwa tidak mungkin semua rakyat
1
54
Kebangkitan Perancis itu sebenarnya bermula dari upaya para filosuf alumni Cordova (para
mahasiswa Ibnu Rusyd) yang selalu mengadakan kajian kritis, rasional dan obyektif. Pengaruh
pemikiran Ibnu Rusyd (Averros) (1120-1198 M) sangat besar terhadap pemikiran di Eropa,
sehingga memunculkan Averroisme yang menuntut kebebasan berpikir. Pengaruh Averroisme
yang begitu besar melahirkan gerakan reformasi pada abad ke-16 M, dan rasionalisme pada
abad ke-17, bahkan renaissance di Eropa. Baca, Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam,
Jakarta: Amzah, Cetakan ke-2, 2010, hlm 177.
55
yang dikategorikan sebagai bagian terpenting dalam penegakan demokrasi, dan hubungannya dengan realitas demokrasi dalam negara yang
berbasis mayoritas Islam.
Islam menaruh perhatian yang serius terhadap aplikasi kristalisasi
nilai-nilai demokrasi. Sebagai rahmatan lilalamin, Islam memiliki tujuan
yang terakumulasi dalam lima prinsip universal (kulliatul khams); yakni
menjamin kebebasan beragama (hifdz al-din), memelihara nyawa (hifdz
al-nafs), menjaga keturunan dan profesi (hifdz al-nasl wa al-irdl), menjamin kebebasan berekspresi dan berpikir (hifdz al-aql), dan memelihara
harta benda (hifdz al-mal). Kelima prinsip tersebut, dewasa ini sangat
relevan dengan prinsip-prinsip HAM yang menjadi pilar demokrasi.3
Dilihat basis empiriknya, agama dan demokrasi memang berbeda.
Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari pergumulan pemikiran manusia. Dengan demikian agama memiliki dialektikannya sendiri. Namun begitu tidak ada halangan bagi agama untuk
berdampingan dengan demokrasi.
Dalam perspektif Islam elemen-elemen demokrasi meliputi:
syura, musawah, adalah, amanah, masuliyyah dan hurriyyah.
Pertama, Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Quran.
Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura (42): 38 dan Ali Imran (3):
159.
Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siradj, MA, Islam Kebangsaan Fiqh Demokratik Kaum Santri, Jakarta:
Pustaka Ciganjur, 1999, hlm 77.
56
159. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam
urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya. (QS: Ali Imran (3): 159)
Menurut Yusuf al-Qardhawi, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat
dari beberapa hal, misalnya:Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang
untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka.
Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian
juga dengan Islam, Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh
makmum di belakangnya.
57
Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siradj, MA, Islam Kebangsaan, hlm 68.
60
F. Penutup
Dalam kenyataannya di Negara-negara Islam, misalnya Saudi
Arabia, Libya, Aljazair, Mesir, Yaman, Brunai Darussalam, dan Negaranegara Islam lain memang bisa dikatakan sebagai Negara non demokrasi, karena demokrasi sulit ditegakkan di Negara-negara tersebut.
Sulit menemukan realitas Negara Islam yang menegakkan demokrasi
modern pada masa sekarang.
Apakah dengan demikian Islam sesuai dengan demokrasi?Kalau
menurut hemat penulis, jika Islam dipahami sebagai suatu ajaran atau
suatu doktrin maka sebenarnya nilai-nilai ajaran atau doktrin Islam
sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Contohnya adalah ajaran-ajaran
63
KEPUSTAKAAN
Azra Azyumardi, 2000. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat
Madani, Jakarta: TIM ICCE UIN.
Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah,
Cetakan ke-2, 2010.
_________, Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Islam, Jakarta: Amzah,
2008.
Beyer, Peter, Religion and Globalzation, Sage Publication, 1994.
Hasan, Muhammad Tholhah, Prospek Islam Dalam Menghadapai
Tantangan Zaman, Jakarta: Lantabora Press, 2003.
Siradj, Said Aqiel, Islam Kebangsaan, Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999.
Wahid, Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, Jakarta: The Wahid Institute, 2007.
Zuli Qodir, Syariah Demokratik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
64
EPISTEMOLOGI HUKUM
ISLAM KONTEMPORER
Mahfudz Junaedi
Penulis adalah Wakil Direktur Program Pascasarjana Universitas Sains AlQuran (UNSIQ) Wonosobo dan Mahasiswa Program Doktor (S3) PPs UIN
Sunan Kalijaga Yogjakarta
Abstraksi:
Epistemologi yang digunakan dalam tulisan makalah ini, seperti
yang sering dipahami banyak kalangan, adalah sebuah cabang ilmu
filsafat yang secara khusus mengkaji teori ilmu pengetahuan (hukum
Islam), yang meliputi kajian tentang hakikat ilmu, sumber-sumber ilmu
(sources og knowledge), metode (method), dan uji kebenaran suatu ilmu
pengethuan (verifikasi). Sedangkan hukum Islam, adalah mencakup
semua aspek dan secara integral dari cakupan istilah dan pengertian
dari syariah, fiqh, dan ushul al-fiqh sebagai metode dalam melakukan istimbath (ijtihad) sehingga menghasilkan hukum Islam (fiqh) yang
meliputi hampir semua aspek kehidupan umat manusia, maupun halhal yang masuk kategori habl min Allah (hubungan umat manusia dengan
Allah).
A. Pendahuluan
Perjalanan perkembangan hukum Islam tidak hanya terjadi pada
masa awal-awal Islam, tetapi dinamika dan pembaruan hukum Islam
masih berlanjut sampai sekarang ini. Salah salah faktor yang memungkinkan terjadinya pembaruan hukum Islam adalah pengaruh kemajuan dan pluralitas sosial-budaya dan politik dalam sebuah masyarakat
dan negara. Semenjak umat Islam memasuki dunia modern seiring
dengan munculnya masalah-masalah baru yang ditimbulkan oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi para pemikir hukum
Islam berpendapat bahwa memegangi doktrin dari satu mazhab hukum
65
Awal munculnya pemikiran hukum Islam pada masa modern ini, menurut Abdul Wahhab
Khallaf dimulai pada akhir abad 13 H di Turki Usmani dan kemudian di Mesir. Abd al-Wahhab
Khallaf, Khulashah Tarikh at-Tasyri al-Islamiy (Jakarta: al-Majlis al-Ala al-Indunisi li ad-Dawah
al-Islamiyyah, 1968), hlm. 103-105.
Agus Moh. Najib, Evolusi Syariah: Ikhtiar Mahmoud Taha bagi Pembentukan Hukum Islam
Kontemporer, (Yogjakarta, Pesantren Nawasea Press, 2007), hlm. 4
66
A. Qodri A.Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum
Umum (Yogjakarta: Gema Media, 2002). Hlm., 32-33
Pendapat yang menyebutkan bahwa As-Syafii sebagai pendiri ilmu ushul al-fiqh adalah
berkembang di kalangan pengikut mazhab Asy-Syafii, sedangkan dikalangan pengikut mazhab
Hanafi, Syabani, dan Abu Yusuf justru cenderung memperoalkan hal tersebut dan telah
memberikan kontribusi yang cukup besar dalam pengembangan ilmu ushul al-fiqh, jauh sebelum
rumusan ilmu ushul al-fiqh dikembangkan oleh Asy-Syafii. Pendapat ini hanyalah dalam
penyusunan ilmu ushul al-fiqh mana yang lebih sistematis sebagai rujukan dalam melakukan
67
istimabth (Ijtihad) hukum Islam. Farouq Abu Zaid, Hukum Islam Antara tradisonalis dan
Modernis (Jakarta, P3M, 1986), hlm, 1-10
Kelompok yang ahli dalam ilmu ushul al-fiqh. Kecenderungan kelompok ini mengutamakan
akan daripada wahyu. Dalam ilmu ushul al-fiqh, tradisi berpikir ini telah dipelopori oleh
Umar, Abu Hanifah, Rasyid Ridla, Muhammad Abduh, Ahmad Khan, dan Ali Abd al-Raziq.
Leonard Binder, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies (London; The University of Chicago Press, 1988), hlm., 24-25; Hasan At-Turabi, Fiqh Demokratis; Dari Tradisionalisme
Kolektif Menuju Modernisme Populis, terj. Abdul Haris dan Zaimul Am (Bandung: Arasy, 2003),
hlm. 51-73
Satria Effendi M, Ijitihad Sepanjang Sejarah Hukum Islam: Memposisikan K.H. Ali Yafie,
dalam Jamal D. Rahmad, (ed), Wacana Baru Fiqih Sosial: 70 Tahun KH. Ali Yafie (Bandung:
Mizan, 1997), hlm. 154; Asy-Syafii mengatakan bahwa tekslah yang harus dijadikan pedoman
(baca; al-qiyas), bukan istihsan (atau maslahah) yang merupakan produk akal. Muhammad bin
Idri Asy-SyafiI, Ar-Risalah, Ahmad Muhammad Sakir (ed.) (Bairut: Dar al-Fikr, t.th.), hlm.
507.
68
69
70
71
2. Fiqh
Secara harfiah, kata fiqh berarti paham yang mendalam. Bila
kata paham dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriah,
maka fiqh berarti paham yang menyampaikan ilmu lahir kepada
ilmu batin. Karena itu, dapat disebutkan bahwa fiqh tentang sesuatu
17
Mengutif pendapat An-Naim menyitir pendapat Taha, berpendapat: Isi (pesan) al-Quran
dan Sunnah melahirkan dua level, yang pertama merupakan periode awal di Makkah, dan
bagian berikutnya periode Madinah Pesan, Makkah sebenarnya merupakan pesan abadi dan
fundamental dalam Islam, yang menekankan (pemeliharaan) martabat seluruh umat manusia
tanpa membedakan jenis kelamin, keyakinan keagamaan, ras, dan lainnya.
72
3. Hukum Islam
Secara etimologis maupun terminologis, istilah hukum Islam
adalah mencakup berbagai persoalan hidup manusia, baik yang
menyangkut urusan dunia maupun urusan akhirat. Sumber utama
hukum Islam adalah wahyu ilahi dan akal manusia. Identitas ganda
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa Raya, 1990),
hlm. 15
19
A. Qodri A. Azizy, Ekletisisme Hukum Nasional .., hlm. 2-3
18
73
74
Sunnah al-Mutawatirah.22 Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa hukum Islam yang berarti an-nushush al-muqaddasah yang
meminjam istilah Iskandar Usman adalah pesan Islam yang abadi
dan fundamental (the eternal and fundamental massage of Islam),
sedangkan hukum Islam yang bukan an-nushush al-muqaddasah
adalah produk interpretasi (penafsiran) para ahli hukum Islam.
Dalam hal penafsiran banyak dipengaruhi pada paradigma, sudut
pandang, serta kondisi sosio-kultural pada saat para ahli hukum
Islam melakukan interpretasi atas teks al-Quran dan Sunnah.
Maka hukum Islam mencakup semua persoalan termasuk
masalah keyakinan, ibadah (ritual), etika dan hukum itu sendiri,
urusan yang menyangkut dunia maupun urusan akhirat. Sumber
utama hukum Islam adalah wahyu ilahi dan akal manusia. Identitas
ganda hukum Islam ini terlihat dalam dua penunjukan bahasa
Arabnya, syariah dan fiqh. Penggunaan istilah syariah dan fiqh ini
dalam praktiknya selalu dianggap sama, karena sama-sama mengatur hukum tentang perbuatan manusia yang telah memenuhi
syarat sebagai taklif.
75
76
Demikian juga kegiatan keilmuan dalam bidang ijtihad hukum Islam dapat berkembang sesuai dengan perkembangan situasi dan
kondisi dalam menetapkan sumber, teknik/metode dan aplikasinya,
baik dalam teori hukum Islam (ushul al-fiqh) maupun hukum Islam (fiqh).
Kalangan ulama tradisional telah memunculkan pembahasan
seputar tiga hal, yaitu aspek sumber, metode dan aplikasi dengan
pendekatan pada penekanan problem yang lebih tekstual-partikularteosentris ketimbang realitas-empiris-rasional. Bahwa sumber hukum
Islam adalah teks al-Quran sebagai sumber pertama dan Sunnah
sebagai sumber kedua, khususnyanya terhadap teks rinci dan jelas
sebagai pijakan dasar di dalam menghadapi teks yang umum28.
Ulama tradisional dalam mengkaji dan melakukan istimbath (mengeluarkan hukum Islam) dengan cara menggunakan keumuman
teks (al-Quran dan Sunnah), tetapi selama teks yang amm itu
tidak ada yang mengkhususkan.
Konsep qathi al-dilalah dan zhanni al-dilalah yakni pembatasan
atas teks (ayat) yang rinci dan jelas tidak memerlukan penafsiran
dan atau ijtihad lagi, sedangkan teks (ayat) yang bersifat umum
seperti ayat-ayat yang diasumsikan zhanni al-dilalahnya diperlukan
ijtihad. Kalau ruang lingkup ijtihad dibatasi pada teks rinci dan
jelas, sehingga pada perkembangan berikutnya tidak ada keterbukaan dalam melakukan ijtihad untuk menjawab persoalan-persoalan
baru dan kontemporer. Maka dalam bangunan pemahaman dan
paradigma ijtihad kontemporer perlu menempatkan al-Quran
sebagai, Pertama: Shalih li Kulli Zaman wa Makan, sehingga prinsipprinsip universal al-Quran akan senantiasa relevan untuk setiap
waktu dan tempat (shalih li kulli zaman wa makan). Asumsi ini
membawa implikasi bahwa problem-problem sosial keagamaan di
era kontemporer tetap akan dapat dijawab oleh al-Quran dengan
cara melakukan kontekstualisasi penafsiran al-Quran secara terus
Jujun S. Suriasumantri, Tentang Hakikat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi, dalam Jujun S.
Suriasumantri (peny), Ilmu dalam Perspektif., hlm. 9
28
Contoh dalam membicarakan tentang keadilan dalam masalah waris, maka konsep keadilan
yang dimaksud adalah berdasarkan teks al-Quran (QS. An-Nisa [4]: 11), meskipun keadilan
bersifat universal sebagai pesan permanennya, maka ketika berbicara tentang kewarisan,
konsep keadilannya berdasarkan pada teks (ayat) yang universal.
27
77
menerus, seiring dengan semangat dan tuntutan problem kontemporer. Pada sisi lain, al-Quran sebagai petunjuk dan sumber hukum Islam tidak hanya diperuntukkan bagi masyarakat Arab saja,
tetapi bagi orang-orang sekarang dan untuk dimasa yang akan
datang, sehingga prinsip-prinsip universal al-Quran dapat dijadikan pijakan untuk menjawab tuntutan perkembangan zaman yang
bersifat temporaldan partikular.
Dengan adanya kodifikasi al-Quran maka teks kitab suci ini
menjadi korpus tertutup dan terbatas (teks yang statis dan konteks
yang dinamis). Padahal, problem umat manusia begitu kompleks
dan tidak terbatas. Maka untuk mengantarkan hukum Islam dapat
diterakan dalam situasi dan kondisi yang ada diperlukan ijtihad
dan penafsiran al-Quran ke dalam konteks partikular era kontemporer yang sesuai dengan semangat zamannya. Dalam hal ini Fazlur
Rahman menegaskan bahwa ayat-ayat al-Quran yang diturunkan
pada waktu tertentu dalam sejarah dengan keadaan umum dan
khusus yang menyertainya - seringkali menggunakan ungkapanungkapan yang sesuai dengan situasi yang mengelilinginya. Menurut ayat-ayat tersebut tidak dapat direduksi atau dibatasi oleh situasi
historis pada saat ia diwahyukan. Oleh karena ini, Rahman kemudian mengajukan model hermeneutika double movement.29
Kedua, memposisikan al-Quran sebagai kitab petunjuk,
menurut Muhammad Abduh, produk-produk tafsir masa lalu telah
kehilangan fungsinya sebagai kitab petunjuk bagi umat manusia
dan tidak lebih sekadar pemaparan atas berbagai pendapat para
ulama yang saling berbeda dan pada akhirnya menjauhan dari
tujuan diturunkannya al-Quran sebagai petunjuk bagi umat
manusia (hudan li an-nas).30 Kecuali beberapa kitab tafsir yang baik
dan dapat dipercaya.31 Tafsir harus berfugsi menjadikan al-Quran
sebagai sumber pentunjuk (mashdar al-hidayah), bukan untuk
membela ideologi tertentu dan beberapa mufassir kontemporer
Lebih lanjut baca Fazlur Rahman, Islam and Modernity, hlm. 4-9; double movement dimaksudkan
adalah seseorang dalam memahami atau menafsirkan Al-Quran disamping dapat menangkap
makna teks, juga harus memperhatikan situasi sosio-historis masa lalu di saat teks itu turun,
untuk kemudian di tarik lagi ke dalam situasi sekarang ini.
30
Muhammad Abduh, Fatihah al-Kitab (Kairo: Kitab al-Tahrir, 1382 H), hlm. 13
31
Seperti ktab tafsir karya az-Zamakhsyari, ath-Thabari, al-Asfihani, dan al-Qurthubi
29
78
2. Hermeneutika
Meminjam pemikiran Fazlur Rahman dalam menggunakan
dua alat analisis hukum Islam untuk menghadapi perkembangan
dan perubahan masa modern, yaitu: Pertama, critrical history adalah
sebuah pendekatan yang pada prinsipnya bertujuan menemukan
fakta-fakta objektif secara utuh dan mencari nilai-nilai tertentu yang
terkandung di dalamnya. Yang ditekankan metode ini adalah
pengungkapan nilai-nilai yang terkandung dalam sejumlah data
sejarah, bukan peristiwa sejarah itu sendiri.32 Kedua, hermeneutika,
khususnya hermeneutika Betti, yang berpendapat bahwa proses
penciptaan yang asal, bentuk-bentuk pemahaman atau penafsiran
32
Akan tetapi, kalau data sejarah hanya dipaparkan kronologisnya saja, maka model teori itu
dinamakan pendekatan kesejarahan. Metode historis kritis ini juga berbeda dengan metode
sosio-historis. Sekalipun kedua metode tersebut sama-sama berusaha menjawab pertanyaan
mengapa. Metode pertama mencari jawabannya pada nilai-nilai yang dominan dalam datadata sejarah, sedangkan metode yang kedua mencarikan jawabannya pada konteks dan latar
belakang peristiwa sejarah tersebut. Namun, kedua metode itu sangatlah penting yang mana
metode sosio-historis berperan mengantarkan kepada metode historiis-kritis; Ghufron A.
Masadi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta:
Rajawali Press, 1997), hlm. 62-63.
79
terhadap karya tulis harus dibawa kembali pada pikiran yang menciptakannya, sebagai satau kesatuan yang koheren, dan dihidupkan
kembali dalam pikiran subjek yang menafsirkan karya tulis.33
Hermeneutika34 sebagai metodologi dalam memahami dan menafsirkan al-Quran merupakan bagian terpenting dalam epistemologi hukum Islam kontemporer.35 Terkait dengan hal ini, Roger
Trigg menyatakan bahwa hermeneutika merupakan suatu mode
penafsiran terhadap teks tradisional (klasik), di mana suatu permasalahan harus selalu diarahkan supaya teks selalu dapat dipahami
dalamn konteks kekinian yang situasinya berbeda36. Nuansa
hermeneutik yang menonjol dalam paradigma tafsir kontemporer
meniscayakan bahwa setiap teks (baca; penafsiran) perlu dicurigai;
ada kepentingan atau ideologi apa dibalik penafsiran teks tersebut.
Model pendekatan37 hermeneutika menjadi menu alternatif
dalam memahami dan menafsirkan al-Quran pada era kontemporer sekarang ini, sehingga metode hermeneutika sebagai bagian
dari rekonstruksi atas pendekatan pemahaman atau dalam melakukan istimbath hukum Islam dianggap memadani dan mampu
menjawab persoalan-persoalan hukum Islam kontemporer. Maka
konsekuensi dari digunakannya model pembacaan dan pemahaman
menggunakan hermeneutika dalam menafsirkan al-Quran tidak
hanya mengandalkan perangkat keilmuan klasik seperti yang
digunakan oleh para ulama fiqh (fuqaha) dan mufassir dahulu,
seperti ilmu nahwu-sharaf, ushul fiqh, dan balaghah, tetapi diperMasadi A. Ghufron, Pemikiran Fazlur Rahman., hlm. 70
Hermeneutika sebagai metode memiliki fokus kajian pada teori umum tentang interpretasi
sebagai metodologi dalam ilmu-ilmu sosial (geisteswissenschaften). Penggunaan hermeneutika
sebagai metode ini ditekankan pada upaya pencapaian objektivitas. Dalam kategori
hermeneutika metode ini yang paling mendekati adalah hermeneutika F. Schleiermacher,
Wilhelm Dilthey, dan Emilio Betti.
35
Jika era klasik lebih menekankan pada praktik eksegetik yang cenderung linier-atomistic dalam
menafsirkan Al-Quran, serta menjadikan kitab suci tersebut sebagai subjek maka tidak
demikian halnya pada era modern dan kontemporer. Paradigma pemahaman dan penafsiran
Al-Quran pada era kontemporer cenderung bernuansa hermeneutik dan lebih menekankan
pada aspek epistemologi-metodologis.
36
Dikutif dari Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, (Jakarta: Paramadina, 1996)
hlm, 161.
37
Ada bebeapa model pendekatan hermeneutik, antara lain: 1) hermeneutika metode
dikembangkan oleh F. Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, dan Emilio Betti; 2) hermeneutika
filosofis yang dianut oleh Martin Heidegger, Gadamer; 3) hermeneutika kritis yang
dikembangkan oleh Nietzsche, Jurgen Habermas
33
34
80
81
82
84
E. Penutup
Sebagai akhir dari pembahasan makalah dengan judul epistemologi hukum Islam kontemporer, sehingga yang dapat disimpulkan
dari uraian tersebut di atas adalah sebagai berikut:
1. Hukum Islam yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah harus mampu menjawab problema-problema masyarakat modern atau
kontemporer dengan cara selalu melakukan pengkajian dengan
menggunakan pendekatan multidisipliner sesuai dengan paradigma perkembangan ilmu pengetahuan yang berkembangan saat ini.
2. Al-Quran sebagai teks yang berfungsi sebagai petunjuk bagi
manusia harus tetap aktual, yakni shalih li kulli zaman wa makan
yang tidak terbatas pada ruang dan waktu tertentu, tetapi akan
bersifat universal pada semua masyarakat di masa kini, esok dan
yang akan datang. Meskipun ada keterbatasan teks pada sisi lain
perkembangan dinamika masyarakat yang terus berkembang, perlu
dilakukan pemahaman dan penafsiran dengan menggunakan
pendekatan-pendekatan keilmuan atau interdisipliner dan
interkoneksi.
3. Menggunakan hermeneutika double movement sebagaimana yang
digagas oleh Fazlur Rahman sebagai upaya membaca al-Quran
sebagai teks masa lalu dengan memperhatikan konteks sosiohistoris untuk mencari makna otentik (original maening) dan nilainilai ideal moral, lalu kembali ke masa sekarang untuk melakukan
kontekstualisasi terhadap pesan-pesan universal dan eternal alQuran tersebut yang hendak diaplikasikan di era kekinian.
85
DAFTAR PUSTAKA
A Qodri Azizy, 2002, Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi Antara
Hukum Islam dan Hukum Umum, Yogjakarta: Gema Media.
Abdullah Ahmad an-Naim, 1994, Dekonstruksi Syariah. Terj.
Amiruddin ar-Rani, Yogjakarta: LKiS
Abdul Mustaqim, 2003, Madzahibut Tafsir; Peta Metodologi Penafsiran
Al-Quran dari Klasik hingga Kontemporer, Ygjakarta: Nun
Pustaka.
, 2010, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogjakarta: LKiS
Agus Moh. Najib, 2007, Evolusi Syariah; Ikhtiar Mahmoud Mohamed
Taha Bagi Pembentukan Hukum Islam Kontemporer, Yogjakarta,
Pesantren Nawesea Press.
Amin Abdullah, 2002. Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul
Fiqh dan Dampaknya pada Fiqh Kontemporer, dalam Ainur
Rofiq. Madzhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh
Kontemporer, Yogjakarta: Ar-Ruzz Press
, 1994, Falsafah Kalam di Era Posmodernisme, Yogjakarta:
Pustaka pelajar.
, (ed.) dkk, 2000, Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi,
Yogjakarta: Sunan Kalijaga
Ali Nurdin, 2006, Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal
dalam Al-Quran, Jakarta: Erlangga.
Fathurrahman Djamil, 1999, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu.
Fazlur Rahman, 1982, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago: University of Chicaqo Press.
, 1984, Islam. Terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka.
Ghufron A. Masudi, 1997, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi
Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: PT. Grafido Persada.
Hasan Hanafi, 2007, Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat, Terj. Yudian
Wahyudi, Yogjakarta, Nawesea English Pesantren.
86
87
88
TEOLOGI MULTIKULTURAL
UPAYA MEMBUMIKAN DIMENSI TRANSENDENTAL
DITENGAH KERAGAMAN SUKU, BUDAYA DAN
AGAMA
Nurul Mubin, M.S.I
(Dosen dan Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
(P2M) UNSIQ Wonosobo. Kini sedang mengikuti Program Doktor UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta)
Abstraksi:
Setiap agama memiliki nilai-nilai yang khas yang hanya dimiliki
pada masing-masing agama. Dalam agama terdapat nilai yang bersifat
partikular dan nilai-nilai yang bersifat universal. Dalam konteks teologi
misalnya, keimanan, keyakinan dan kepercayaan adalah sesutu yang
bersifat profan dan partikular yang berbeda antara satu agama dengan
dengan agama yang lain. Keyakinan Islam tentang Tuhannya sangat
berbeda dengan keyakinan (teologi) Yahudi dan Nashrani. Meskipun
didalamnya juga terdapat nilai yang bersifat universal seperti halnya
nilai-nilai tentang kemanusiaan (humanity value).
Dalam perkembangannya, teologi tidak saja berbicara pada ranah
aqidah, Ibadah dan muamalah, akan tetapi juga merambah pada ranah
kajian-kajian antroposentrisme, dimana manusia menjadi bagian
terpenting dalam pemahaman teologi. Tulisan ini akan membahas
bagaimana teologi yang bersifat profan berbicara pada tema-tema yang
bersifat publik.
Pendahuluan:
Teologi menempati posisi yang penting dalam agama manapun.
Kajian tentang teologi ditempatkan sebagai kajian yang fundamental
yang disebutkan oleh beberapa pengkaji agama sebagai jantungnya
agama. Agama yang hadir sebagai sistem kepercayaan, sistem
89
Prof. Dr. HM. Amin Abdullah dalam Kesadaran: Sebuah Gerakan Interest Minimalization
Dalam Meredakan Konflik Sosial (pengantar) dalam buku M. Ainul Yaqin, M.Ed, dalam
Multikultural, Cross-cultural Understanding Untuk Demokrasi dan Keadilan, Pilar Media,
Yogyakarta, 2005. Hal. XIV.
91
Dr. H. Muhtarom. M.H. Reproduksi Ulama di Era Globalisasi, Resistensi Tradisional Islam, Pustaka
Pelajar, cet 1 Yogyakarta, 2005, hal. 29
Prof. Dr. Iman Suprayogo, Drs. Tobroni, Msi, Metode Penelitian Sosial Agama, Rosda, Bandung,
hal. 61
92
Selanjutnya metode yang digunakan adalah metode Strukturalisme Transendental, sebagai sebuah metode untuk menerapkan
ajaran Islam dalam transformasi sosial, sebagaimana yang diperkenalkan oleh Kuntowijoyo. Metode ini diperkenalkan oleh Kuntowijoyo
sebagai sebuah metode membangun perspektif al-Quran dalam
memahami realitas khususnya problem epistemologis.
Menurut Kuntowijoyo, dalam epistemologi Islam wahyu itu
sangat penting, berbeda dengan cabang-cabang epistemologi Barat
seperti Rasionalisme dan Empirisme yang menganggap sumber
pengetahuan hanya berasal dari akal dan observasi saja.4 Teologi
Multikultural sebagai sebuah gagasan yang bisa digali lebih dalam
dengan metode dan pendekatan-pendekatan tersebut, karena teologi
merupakan ilmu yang berbasis pada Tuhan dan Multikultural adalah
sebagai sebuah realitas sosial yang memiliki hubungan yang erat ketika
dijelaskan secara teologis.
Untuk mencapai pengetahuan yang lengkap tentang teologi
multikultural, penulis akan mengawali pembahasan makalah ini
dengan terlebih dahulu mendeskripsikan pengertian teologi. Teologi
secara harfiah berasal dari theos yang berarti Tuhan, dan Logos
yang berarti ilmu.5 Secara bahasa teologi adalah ilmu tentang ketuhanan, sementara itu secara terminologi, teologi adalah ilmu yang
membahas tentang Tuhan dengan segala hal yang terkait dengan-Nya,
hubungan manusia dengan Tuhan, dan hubungan Tuhan dengan
manusia.6
Istilah teologi tidak berasal dari khazanah Islam, melainkan dari
tradisi Nasrani. Teologi mengunakan metode transenden dimana cara
pandang teologi tidak lain untuk membantu menganalisis terhadap
masalah ketuhanan dengan mengunakan norma-norma agama dan
simbol keagamaan yang ada. Teologi bukanlah suatu ilmu yang berdiri
sendiri karena menyangkut berbagai hal diantaranya adalah aktivitas
mental, aktivitas sosial dan perilaku sehingga teologi akan besar
pengaruhnya terhadap cara pandang dan tindakan seseorang dalam
kehidupan sehari-hari.
4
5
6
M. Fahmi, Islam Transendental, Menelusuri Jejak-jejak Pemikiran Islam Kuntowijoyo, Pilar Media,
Yogyakarta, 2005 hal. 88
Ahmad Hanafi, Pengantar Theology Islam, Cet. V Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1989, hal. 11
Amsal Bachtiar, Filsafat Agama Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997. Hal. 18
93
Ahmad Suaedy, Akar Multikulturalisme dalam Al-Quran, dalam www, The Wahid Institut.com,
Kamis 10 Maret 2005
95
96
97
Dalam konteks Indonesia, kemunculan wacana multikulturalisme sebenarnya sudah ada sejak negara ini berdiri. Bhineka Tunggal
Ika adalah semboyan filosofis yang menjadi spirit pembentukan Indonesia. Wacana ini kemudian tenggelam dalam tiga dasawarsa lebih,
sehingga nyaris wacana ini menjadi usang dan tidak masuk di dalam
perdebatan akademik manapun. Meskipun jargon itu semakin gampang diucapkan tetapi semakin jauh dan semakin sulit untuk diimplementasikan. Karena pada level sosial, justru yang dikembangkan adalah kebijakan monokulturalisme (penunggalan atau penyeragaman
budaya) melalui pendekatan asimilasionisme (minoritas membaur
dalam mayoritas)11 yang akhirnya meledak dan berkecamuk dalam
konflik benturan antar budaya yang terjadi dimana-mana.
Dalam konteks Arab pra Islam, realitas yang majemuk itu sudah
muncul dan sesekali berdampingan dan juga berbenturan. Kemajemukan antar suku, Qabilah dan sistem Bani yang tidak lain sebagai
sistem yang kuat dan mengakar yang dipertahankan di tengah
masyarakat.
Selain itu heterogenitas kultural dan struktural serta sistem keyakinan juga sangat plural di tengah masyarakat Arab pra Islam. Sistem
kepercayaan paganisme, Nasrani, Yahudi, Majusi, adalah beberapa
agama yang dianut oleh mereka. Selain juga terdapat komunitas
penyembah matahari, bulan, bintang dan malaikat, yang sering dikenal
dengan istilah Ashobirin. Sementara kelompok penyembah cahaya dan
kegelapan disebut kelompok Zindiq. Sementara kelompok al-Dahriyah
adalah kelompok yang menyakini bahwa dunia adalah alam realitas
yang hakiki, dan menganggap tidak ada lagi kehidupan yang lain,
selain kehidupan itu. Istilah al-Dahriyah disebut dalam al-Quran
untuk menegaskan ciri kelompok ini, yang kalau kita sebut sekarang
mirip dengan aliran materialisme dan ateisme.12 Realitas ini menunjukkan bahwa secara alamiah multikulturalisme sudah ada dari zaman
ke zaman.
Keberadaan berbagai agama dan sistem kepercayaan tersebut
merupakan cermin tumbuhnya pluralisme dan heterogenitas masyara11
12
Melani Budianta, Multikulturalisme dan Penguatan Civil Society, INCIS, Jakarta; 2003 hal 85
Nurul Hak, Kajian Sosio Historis Masyarakat Arab Klasik, Jurnal Penelitian Agama Puslit IAIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta; Nomer 26 Tahun IX September-Desember 2000, hal 40.
98
Ibid. Hal 32
Ibid, hal 32
99
Melani Budianta, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural, INCIS, Jakarta; 2003. Hal. 92
100
agama, usia, profesi dan seterusnya. Dengan demikian orientasi, loyalitas dan acuan budaya yang menentukan perilaku seseorang bersifat
majemuk dan komplek. 2). Identitas budaya bukan merupakan suatu
esensi melainkan suatu konstruksi sosial yang terwujud dari sosialisasi dari berbagai arah. Dengan demikian, identitas budaya merupakan
sesuatu yang negosiasi terus menerus kekuatan dari dalam diri, suatu
peluang bagi aktor untuk memilih dan menentukan acuan-acuan dan
gambaran diri, dan kekuatan dari luar untuk memaksa atau membuat
kategori-kategori atas diri yang bersangkutan berdasarkan acuanacuan yang disosialisasikan dalam masyarakat luas.16
Ayat di atas bagi penulis sangat jelas, bukan hanya cara al-Quran
mengungkapkan realitas plural dan multikultural umat manusia di
dunia ini, tetapi lebih-lebih pada sikap al-Quran terhadap realitas plural dan multikultural itu sendiri. Perhatikanlah mukhottob atau lawan
16
17
Ibid, hal 95
QS. al-Hujuraat(49):13
101
bicara Tuhan di situ. Bukan hanya umat Islam tetapi umat manusia,
Hai manusia! Dan perhatikan pula akhir ayat tersebut, bahwa mereka
atau individu yang paling mulia bukanlah suku Arab, Aria, Eropa,
Kulit Putih atau kulit Hitam, melainkan mereka yang paling bertaqwa
kepada Tuhannya.
Kalau kita melihat dan merenungi ayat ini sebenarnya kita sudah
tidak bisa berkata-kata lagi. Sudah terlalu jelas apa yang dimaui alQuran yang sudah seharusnya menjadi pedoman bagi kehidupan
umat Islam di mana pun, dan tentu saja umat-umat beragama lainnya.
Teologi multikultural hadir dalam rangka mengoptimalkan peran
agama sebagai faktor integrasi dan pemersatu. Al-Quran, misalnya,
memuat banyak sekali ayat yang bisa dijadikan asas untuk menghormati dan melakukan rekonsiliasi di antara sesama manusia. Dalam
tulisan ini dapat dikemukkan contoh sebagai berikut;.
Pertama, al-Quran menyatakan bahwa; dulu manusia adalah
umat yang satu. (setelah timbul perselisihan) maka Allah mengutus
para Nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.
Dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk
memberikan keputusan diantara manusia tentang perkara yang
mereka perselisihkan.
Tidak berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah
memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal
yang mereka perselisihkan itu dengan kehendakNya. Dan Allah selalu memberi
petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki kepada jalan yang lurus,18
Dengan ayat ini, al-Quran menegaskan konsep kemanusiaaan
universal Islam yang mengajarkan bahwa umat manusia pada mulanya
adalah satu. Perselisihan terjadi disebabkan oleh timbulnya berbagai
vested interest masing-masing kelompok manusia. Yang masing-masing mereka mengadakan penafsiran yang berbeda tentang suatu
hakikat kebenaran menurut vested interest-nya.
Kedua, meskipun asal mereka adalah satu, pola hidupnya menganut hukum tentang kemajemukan, antara lain karena Allah menetap18
102
Tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semua, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa
yang telah kamu perselisihkan itu.
Sehingga dari kedua ayat diatas dapat saya tarik kesimpulan bahwa; betapapun perbuatan yang terjadi pada manusia di bumi ini, namun
hakikat kemanusiaan akan tetap dan tidak akan berubah. Yaitu fitrahnya yang hanif, sebagai wujud perjanjian primordial (azali) antara
Tuhan dan Manusia sendiri. Responsi atau timbal balik manusia kepada ajaran tentang kemanusiaan universal adalah kelanjutan dan eksistensialisme dari perjanjian primordial itu dalam hidup di dunia ini.
Dari penjelasan beberapa ayat tersebut, jelaslah bahwa dalam pandangan Islam, multikultural adalah sunatullah yang tidak bisa dipungkiri. Justru dalam dalam multikulural itulah terdapat nilai-nilai penting
dalam membangunan kesadaran Iman. Sebagaimana tertuang dalam
al-Quran yang artinya sebagai berikut:
Da diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya, adalah menciptakan langit dan
bumi yang berlainan bahasa dan kulitmu. Sesungguhnya pada demikian itu
terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengetahui. 19
103
Selain itu, kajian secara teologis juga ditunjukkan dalam ayatayat al-Quran tersebut yang berkenaan dengan multikulturalisme,
Islam juga memberikan beberapa prinsip yang berhubungan dengan
multikulturalisme ini. Diantaranya adalah; 1) Prinsip egalitarianisme
(al-musawat) yang memandang manusia memiliki derajat yang sama.20
Pada ayat ini secara teologis menjelaskan bahwa harkat dan martabat
manusia ditentukan oleh kualitas ketaatannya kepada sang pencipta.
Penyetaraan derajat sesama manusia ini akan menghilangkan jurang
pemisah diantara manusia. 2). Prinsip keadilan (al-adalah). Prinsip
ini akan semakin meneguhkan keberadaan manusia dalam kehidupan
ini untuk senantiasa bertindak adil kepada sesama manusia meskipun
berbeda kultur, agama, ras dan latar belajar sosialnya. (3) Prinsip toleransi (tasamuh). Sikap ini adalah sikap untuk menghargai atas perbedaan pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan yang berbeda atau
bertentangan dengan pendirian sendiri. (4) Prinsip saling menghormati, kerjasama dan pertemanan. (5) Prinsip ko-eksistensi damai (al
taayusy al-silmi). Prinsip ini merupakan dasar hubungan antar manusia sesuai dengan arti generik Islam itu sendiri, yaitu damai. (6) Dialog yang aktif dan konstruktif transformatif (mujadalat bil al-hasan).21
QS. al-Hujurat; 13
Ngainun Naim, Teologi Kerukunan, Mencari Titik Temu Dalam Keragaman, Teras, Yogyakarta,
2001, hal 53-55
104
Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris (English-speaking countries), yang dimulai di Kanada
pada tahun 1971. Kebijakan ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar
anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan sebagai konsensus
sosial di antara elit. Namun beberapa tahun belakangan, sejumlah
negara Eropa, terutama Belanda dan Denmark, mulai mengubah kebijakan mereka ke arah kebijakan monokulturalisme. Pengubahan
kebijakan tersebut juga mulai menjadi subyek debat di Britania Raya
dam Jerman, dan beberapa negara lainnya.
Adalah Samuel P. Huntuington (1993) yang meramalkan bahwa
sebenarnya konflik antar peradaban di masa depan tidak lagi disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik dan ideologi, tetapi justru dipicu
oleh masalah masalah suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
Konflik tersebut menjadi gejala terkuat yang menandai runtuhnya
polarisasi ideologi dunia kedalam komunisme dan kapitalisme. Bersamaan dengan runtuhnya struktur politik negara-negara Eropa Timur.
Ramalan ini sebenarnya telah didukung oleh peristiwa sejarah yang
terjadi pada era 1980-an yaitu terjadinya perang etnik di kawasan
Balkan, di Yugoslavia pasca pemerintahan Josep Broz Tito: Keragaman,
yang disatu sisi merupakan kekayaan dan kekuatan, berbalik menjadi
sumber perpecahan ketika pemimpin yang mengikatnya lengser.
Ramalan Hantington tersebut diperkuat dengan alasannya
mengapa di masa depan mendatang akan terjadi benturan antarperadaban. Antara lain adalah:
Pertama, perbedaan antara peradaban tidak hanya riil, tetapi juga
mendasar. Kedua, Dunia sekarang semakin menyempiti interaksi
antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. Ketiga,
proses modernisasi ekonomi dan sosial dunia membuat orang atau
masyarakat tercerabut dari identitas lokal mereka yang sudah berakar,
di samping memperlemah negara-negara sebagai sumber identitas
mereka. Keempat, timbulnya kesadaran peradaban dimungkinkan
karena peran ganda Barat. Disatu sisi Barat berada di puncak kekuatan.
Di sisi lain mungkin ini akibat dari posisi Barat tersebut, kembalinya
fenomena asal, sedang berlangsung diantara peradaban-peradaban
Non-Barat. Kelima, karakteristik dan perbedaan budaya kurang bisa
106
menyatu dan karena itu kurang bisa berkompromi dibanding karakteristik dan perbedaan politik dan ekonomi.
Akan tetapi asumsi tersebut tidak mutlak menjadi sebab utama
terjadinya sebuah perpecahan. Misalnya, setelah berakhirnya Perang
Dingin, kecenderungan yang terjadi bukanlah pengelompokan masyarakat ke dalam entitas tertinggi, yaitu pengelompokan peradaban, tetapi
perpecahan menuju entitas yang lebih kecil lagi, yaitu berdasarkan
suku dan etnisitas. Hal ini jelas sekali terlihat pada disintegrasi Uni
Soviet yang secara ironis justru disatukan oleh dasar budaya dan peradaban yang sama. Dan lain lagi, persoalan perpecahan antara Jerman
Barat dan Jerman Timur yang kembali bersatu karena persamaan suku
dan kebudayaan. Dan multikulturalisme justru menjadi sebuah
pemersatu yang kokoh.
Dalam konteks Indonesia, multikulturalisme yang tercermin dalam semangat Bhineka Tunggal Ika justru telah terbukti kuat melampaui zaman hingga 7 abad lamanya dalam bingkai Pancasila yang lahir
dari semangat teologis pada masa awal pembentukan dasar negara
pada sila pertama pancasila.
Perdebatan tentang sila pertama dari pancasila yang pada mulanya
terdapat kalimat Ketuhanan yang berdasarkan Syariat Islam menunjukkan adanya perdebatan teologis yang cukup runyam hingga
akhirnya berubah menjadi Ketuhanan yang maha Esa. Semangat
teologi multikultural pada pengalaman pembentukan bangsa ini sudah
tercermin dari para pendiri bangsa ini.
Tetapi berbicara tentang prospek masa depan multikultural di
Indonesia, merupakan tantangan yang besar. Gugatan-gugatan untuk
kembali kepada dasar negara dengan pemberlakuan Syariat Islam
adalah sebuah keinginan sejumlah kelompok yang secara masif akan
menganggu proses pembangunan peradaban multikultur yang sudah
terbina ratusan tahun silam.
Artinya, tantangan ke depan semakin kuat, karena realitas yang
plural dan multikultur oleh beberapa kalangan dianggap sebagai
ancaman karena adanya agenda setting dari bangsa lain yang akan
menguasainya. Kecurigaan ini tentu saja beralasan, tetapi apriori
terhadap realitas multikultural adalah sesuatu yang menghambat
pembentukan bangsa yang lebih beradabad dimasa yang akan datang.
107
Daftar Pustaka
Prof. Dr. HM. Amin Abdullah dalam Kesadaran: Sebuah Gerakan Interest Minimalization Dalam Meredakan Konflik Sosial (pengantar) dalam buku M. Ainul Yaqin, M.Ed, dalam Multikultural,
Cross-cultural Understanding Untuk Demokrasi dan Keadilan,
Pilar Media, Yogyakarta, 2005.
Dr. H. Muhtarom. M.H. Reproduksi Ulama di Era Globalisasi, Resistensi
Tradisional Islam, Pustaka Pelajar, cet 1 Yogyakarta, 2005.
Prof. Dr. Iman Suprayogo, Drs. Tobroni, Msi, Metode Penelitian Sosial
Agama, Rosda, Bandung
M. Fahmi, Islam Transendental, Menelusuri Jejak-jejak Pemikiran Islam
Kuntowijoyo, Pilar Media, Yogyakarta, 2005.
Ahmad Hanafi, Pengantar Theology Islam, Cet. V Pustaka Al-Husna,
Jakarta, 1989.
Amsal Bachtiar, Filsafat Agama Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997.
Ahmad Suaedy, Akar Multikulturalisme dalam Al-Quran, dalam www,
The Wahid Institut.com.
M. Ainul Yaqin, M.Ed, Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, Pilar Media, Yogyakarta;
2005,
Putra Pratama, Multikulturalisme, Akhlaq, Budi Pekerti dan Masayarakat,
Jakarta; 2008 dalam http://my.opera.com/Putra%20Pratama/
blog/show.dml/2743875http://my.opera.com/Putra%20
Pratama/blog/show.dml
Priyo Darmanto, Kamus Indonesia Inggris, Arkola, Surabaya, 2007.
Melani Budianta, Multikulturalisme dan Penguatan Civil Society, INCIS,
Jakarta; 2003
Nurul Hak, Kajian Sosio Historis Masyarakat Arab Klasik, Jurnal Penelitian Agama Puslit IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta; Nomer
26 Tahun IX September-Desember 2000
Zakiyudin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural,
Erlangga, Jakarta; 2005
Ngainun Naim, Teologi Kerukunan Mencari Titik Temu dalam Keragaman,
Teras, Yogyakarta, 2011
108
Abstrak
Filsafat profetik oleh Nars diidentikkan dengan filsafat Islam, ia
merupakan bentuk kearifan dalam dunia Islam, yang memberi gema
tersendiri khususnya tentang hakikat wujud (metafisika) ke dalam
filsafat Yunani yang bersumber dari al-Quran dan al-hadits. Sebagai
filsafat tradisional filsafat Islam didasarkan pada akal supra individualistik
daripada opini individualistik. Filsafat ini menafaskan suatu semesta
religius dalam makna kitab suci dan kerasulan yang mendominasi
cakrawala. Filsafat ini didasarkan pada kecerdasan sebagai fakultas yang
secara adikodrati alamiah dalam diri manusia yang mengarah kepada
kebenaran-kebenaran sebagaimana yang diwahyukan, melalui semua
obyek yang dipadukan dengan Yang Esa, di mana selalu memperhatikan
isu-isu sentral tentang harmoni antara akal dan wahyu. Sebab itu filsafat
ini kaya tidak hanya pada filsafat religius dan etika, tetapi juga dalam
filsafat alam dan matematika serta seni. Kendatipun banyak kalangan
yang mempertanyakan apakah filsafat merupakan bagian dari khasanah
intelektual Islam, atau merupakan peradaban Barat yang ditransmisikan
dalam Islam, namun para tokoh telah membuktikan jati diri filsafat
Islam melalui sintesa antara pemikiran Islam dan Yunani.
A. Pendahuluan
Jika membicarakan wacana filsafat profetik maka akan teringat
pembahasan profetik yang dinisbatkan pada gagasan dari para tokoh
yang secara tidak langsung membahas tentang ilmu keislaman profetik
antara lain:
1. Konsep teologi profetik Suhermanto Jafar yang melandasi bahwa
agama-agama dengan kreatifitas kenabiannya menghendaki
109
terjadinya keseimbangan di setiap lini eksistensi manifestasi manusia. Kebekuan-kebekuan atau tembok pengetahuan yang tertutup
satu sama lain sejatinya memeiliki sinergitas yang saling melengkapi kebenaran Tuhan.1
2. Konsep etika profetik Muhammad Iqbal yang menyatakan bahwa
Nabi adalah seorang manusia pilihan yang sadar sepenuhnya
dengan tanggungjawab sosial. Kembalinya sang Nabi dari nabi
adalah kreatif. Sehebat apapun pengalaman spiritual yang dijalankan
seorang Nabi tidak pernah terlena, ia datang dengan membawa
cita-cita perubahan dan semangat revolusioner.2
3. Konsep Ilmu Sosial Profetik (ISP) dan sastra profetik Kuntowijoyo,
yang terdapat tiga pilar yaituhumanisasi, liberasi dan tranendensi.
Humanisasi artinya memanusiakan manusia, menghilangkan
kebendaan, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia. Liberasi artinya dalam konteks ilmu yang didasari nilai-nilai
luhur transcendental. Jika nilai-nilai liberatif dalam teologi pembebasan dipahami dalam konteks ajaran teologis, maka nilai-nilai
liberatif dalam ilmu sosial profetik dipahami dan didudukkan dalam
konteks ilmu sosial yang memiliki tanggung jawab profetik unuk
membebaskan manusia dari kekejaman, kemiskinan, pemerasan
kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni
kesadaran palsu. Transendensi merupakan dasar dari dari dua
unsurnya yang lain. Transendensi hendak menjadikan nilai-nilai
transcendental (keimanan) sebagai bagian penting dari proses
membangun peradaban. Transendensi menempatkan agama (nilainilai Islam) pada kedudukan yang sangat sentral.3
Beberapa konsep dan teori di atas mendasari gagasan filsafat
profetik dengan asumsi bahwa fenomena sekularisasi yang melanda
terhadap keilmuan tidak terkecuali terhadap filsafat telah menjadikan filsafat lari dari jangkauan spiritualitasnya.4. Barat sebagai
penguasa ilmu pengetahuan telah melepaskan ilmu dari persoalan1
2
3
4
110
persoalan di dalam kerangka metafisik. Ia telah menundukan dirinya pada sains dan filsafat dan berinteraksi secara total, sehingga
dalam pembahasan filsafat tidak ada lagi filsafat alam, kenabian
dan ketuhanan.5 Dalam hal inilah diperlukan kajian tentang filsafat
yang menyeimbangkan antara kekuatan spiritualitas dan materialitas, menyeimbangkan antara unsur fisik dan metafisik sehingga
dapat menemukan dimensi spiritual dalam berfilsafat. Itulah yang
kemudian diasumsikan sebagai filsafat profetik Dalam hal ini akan
dibahas filsafat profetik Seyyed Hosssein Nasr.
111
10
112
1. Filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada qua maujudmaujud (asyya al-maujudah bi ma hiya mujudah)
2. Filsafat adalah pengetahuan tentang yang ilahiyah dan insaniyah
3. Filsafat mencari perlindungan dalam kematian, maksudnya cinta
pada kematian
4. Filsafat adalah upaya menjadi seperti Tuhan dalam kadar kemampuan manusia
5. Filsafat adalah seni (shinaah) tentang seni-seni dan ilmu (ilm)
tentang ilmu-ilmu.
6. Filsafat adalah prasyarat bagi hikmah.13
Sementara itu tentang filsafat Islam menurut Nars merupakan
bentuk kearifan dalam dunia Islam, yang memberi gema tersendiri
khususnya tentang hakikat wujud (metafisika) ke dalam filsafat
Yunani yang bersumber dari al-Quran dan al-hadits.14 Sebagai filsafat
tradisional filsafat Islam didasarkan pada akal supra individualistik
daripada opini individualistik. Filsafat ini menapaskan suatu semesta
religious dalam makna kitab suci dan kerosulan mendominasi cakrawala. Karena itu filsafat ini merupakan profetik apapun yang menjadi
subyek kepeduliannya. Sesuai dengan Islam filsafat ini didasarkan pada
kecerdasan sebagai fakultas yang secara adikodrati alamiah dalam diri
manusia yang mengarah kepada kebenaran-kebenaran seperti yang
diwahyukan, hampir semua obyek dipadukan dengan Yang Esa, memperhatikan isu-isu sentral tentang harmoni antara akal dan wahyu.
Sebab itu filsafat ini kaya tidak hanya pada filsafat religius dan etika,
tetapi juga dalam filsafat alam dan matematika serta seni.15 Kendatipun
banyak kalangan yang mempertanyakan apakah filsafat merupakan
bagian dari khasanah intelektual Islam, atau merupakan peradaban
Barat yang ditransmisikan dalam Islam, namun para tokoh telah
membuktikan jati diri filsafat Islam melalui sintesa antara pemikiran
Islam dan Yunani.
Seyyed Hosein Nasr, Makna dan Konsep Filsafat dalam Islam dalam Seyyed Hosein Nasr dan
Oliver Leaman (ed), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam: Buku Pertama, (Bandung: Mizan,
2003), hlm. 30.
14
Seyyed Hosein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, terj. Ach. Maimun Syamsuddin,
(Yogkakarta: IRCISoD, 2006), hlm. 8.
15
Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, ter. Lukman Hakim,(Pustaka:
Bandung, 1987), hlm 135-136
13
113
16
Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern,hlm. 20-21.
114
115
(jism) yang bisa dibagi serta memiliki panjang lebar dan luas, karena
itu mungkin elemen-elemen semesta ini terbagi menjadi tiga unsur
tersebut dalam wilayah kosmik.20 Sementara kajian kosmologinya
mengikuti platonisme yang mendasar pada distingsi berusaha
menunjukkan bagaimana yang banyak itu dilahirkan dari Yang Satu
(ex uno non fit nisi unum) atau inteleksi tuhanlah (akal pertama)
penciptaan itu terjadi, yang pada saat bersamaan transenden dalam
kaitannya dengan seluruh keragaman (multiplicity). Sedangkan proses
penciptaan, atau manifestasi, terkait erat dengan fungsi dan signifikan
malaikat sebagai alat yang mewujudkan tindakan penciptaan sebagai
akal pertama yang disetarakan dengan malaikat disusul akal yang kedua
yaitu jiwa dan tubuh akal langit pertama. Dan melalui kontemplasi akal
pertamalah melahirkan akal selanjutnya sampai kesepuluh terpancar
illuminasi dan penciptaan Tuhan.21Namun, agama dan wahyu Ibnu Sina
terungkap pada misinya yang memiliki dua aspek utama, yaitu: pertama,
mengarahkan jiwa manusia menuju kebahagiaan abadi dengan
keimanan terhadap eksistensi tuhan; kedua, agama mengarahkan pada
aspek-aspek praktis sebagai tindakan ritual. Aspek di atas, mengakhiri
filsafat Perepatetik Ibnu Sina yang ditafsirkan pada katedral kosmik
dalam realisasi spiritual yang disebut filsafat Timur. Pemikiran Ibnu
Sina banyak diwarnai filosof Yunani dan mentransformasikannya pada
ajaran agama, ilmu pengetahuan dan filsafat Islam.
Filsafat Islam kemudian mengalami masa transisi dari peripatetik
menuju Isyraqi. Kritik terhadap Ibnu Sina pada Abad 6H/12H oleh
Syihabuddin al-Suhrawardi menimbulkan filsafat peripatetik mulai
menurun pamornya dan didirikan sebuah perspektif baru dengan
madzhab Illuminasi (al-Isyraq).22 Dimulai ketika teologi al-Asyariyah
mulai didukung oleh lingkungan pejabat pemerintah, begitu juga
serangan Ghazali sangat keras terhadap para filosof dalam pembatasan
kekuasaan rasionalistik dan menjadikan sufisme bisa diterima dikalangan masyarakat..23 Sumber doktrin Isyraqi Suhrawardi meliputi
sufisme (Hallaj dan al-Ghazali) dan beberapa bagian filsafat peripatetik
Ibnu Sina, yang ia kritik sebagai dasar penting atas doktrin-doktri alSeyyed Hosein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, .hlm.53 - 58
Seyyed Hosein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, .hlm.59 - 62
22
Seyyed Hossein Nasr, Islam, Tradisi di Tengah .. hlm. 135.
23
Seyyed Hosein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, .hlm. 97 - 101
20
21
116
Seyyed Hosein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, .hlm. 112-117
117
118
eksistensi manusia sejak awal adalah milik Tuhan, dan manusia semulanya tidak memiliki eksistensi. Jadi semua eksistensi merupakan
pancaran Wujud Tuhan yang mutlak.
Tidak hanya itu filsafat Islam dengan ruh spiritual pada perkembangannya juga menjadi cikal bakal munculnya sains-sains Islam.
Kaum muslim mengawinkan matematika Yunani dan matematika
India dan atas itu lalu mengembangkan geometri, menformulasikan
al-jabar, membangun trigonometri-bidang dan sferikal dan teori bilangan, yang memperluas definisi bilangan hingga mencakup bilangan
irrasional. Mereka menerima bilangan Sanskrit lalu mengembangkannya ke dalam bentuk bilangan Arab sehingga merubah aritmatika di
Eropa Abad Tengah. Para sains Islam bermunculan sebut saja alKhayyam dengan al-Jabarnya, Ghiyatsuddin Jamsyid Kasyani dengan
pecahan desimalnya.27
Dalam astronomi, kaum muslim termotivasi untuk mencari arah
kiblat dan memperhitungkan waktu untuk sholat lima waktu. Awalnya
mereka menguasai karya astronomi India dan Iran sebelum berkenalan dengan ptolomeus kemudian mereka mensintesanya untuk menjadi
kekhasan astronomi Islam. Al-Biruni sebagi tokoh astronomi Islam
dengan bukunya yang terkenal Masudic Canon-Nya. Perkembangan
ilmu astronomi pun meluas sehingga berkembang astronomi observasional, astronomi matematikal dan astronomi ptolomaik yang dikaitkan
dengan tokoh Nashirudin Thusi dan Quthbuddin Syirazi.
Di bidang yang lain diantaranya fisika, tealah dibangun filsafat
alam dari atomisme oleh Muhammad Ibnu Zakariyya al-Razi, Optika
dan pencahayaan oleh Ibnu Haisyam. Ilmu kedokteran juga merupakan
refleksi dari pengembangan sains Islam dari tangan dingin tokohtokoh muslim yang antara lain dikenal dengan Ibnu Sina, Ibnu Zuhr
serta Ibnu Nafis. Kajian atas botani juga tidak luput dari para tokoh
muslim. Dalam hal ini Masudi telah menulus sejarah kealaman, alIdrisi membuat peta-peta.
Munculnya pemikiran yang profetik dalam diri para tokoh muslim
dilandasi oleh sebuah kesadaran spiritual yang telah dibangun berdasarkan pendidikan dimana nilai-nilai abadi dan kebenaran doktrinal
27
119
E. Kesucian Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil kreatifitas daya pikir manusia.
Secara essensial ia berhubungan antara wujud pengetahuan dan kebahagiaan. Namun seiring dengan perjalanan waktu ketika manusia berhubungan dengan makrokosmos dan mikrokosmos pada akhirnya
pengetahuan terpisah dari wujud dan kebahagiaan. Pengetahuan pada
akhirnya lebih dekat kepada kompleksitas eksternal dan terdesakralisasi, khususnya di antara segmen-segmen ras manusia yang telah
dicampuri oleh modernisasi.28
Menurut Nasr pengetahuan semestinya tidak dipisahkan dari
kesuciannya, karena substansi pengetahuan adalah realitas tertinggi.
Intelegensia yang merupakan instrumen pengetahuan dalam diri
manusia adalah berkah terhadap kemungkinan mengetahui Yang
Absolut. Ia bagaikan cahaya yang memancar dari dan kembali kepada
Yang Absolut, dan ia sendiri merupakan bukti terbaik tentang Realitas
yang absolute dan tidak terbatas. Visi unitif terletak di pusat wujudnya
sebagaimana juga penempatan dasar intelegensinya, pengetahuan
senantiasa memiliki akses kepada Yang Suci, dan pengetahuan Yang
Suci menandakan sebagai jalan tertinggi penyatuan dengan Realitas
dimana pengetahuan, wujud dan kebahagiaan disatukan. Intelegensi
manusia dan mengakibatkan kesukaran dan rintangan dalam jiwa
manusia yang mencegah dari pemanfaatan secara penuh, menandakan
pusat teofani Cahaya Ilahi dan berarti akses Terhadap Realitas awal.
Intelegensi ini dapat mengetahui Realitas Tertinggi sebagai Imanen,
sebagai Diri Tertinggi yang mendasari semua selubung subyektivitas
dan berbagai diri atau menempatkan kesadaran dalam dirinya.29
Bagi Nasr kesadaran merupakan bukti keunggulan spirit atau
kesadaran Ilahiyah, di mana kesadaran manusia direfleksikan dan
dibangkitkan. Setiap kecenderungan alamiah intelegensi manusia
Seyyed Hosein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, terj. Suharsono (Yagyakarta: Center for International Islamic Studies (CIIS), 1997), hlm. 1.
29
Seyyed Hosein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian hlm 3
28
120
121
F. Kesimpulan
Filfat profetik merupakan kajian yang bermaksud membumikan
kembali ajaran Nabi sebagai revolusioner dan pencerah kepada kebenaran hakiki, setelah sekian lama terlupakan akibat dominasi dan
sekularisasi Barat. Wujud ajaran tersebut melalui Filsafat Islam yang
memiliki bentuk kearifan tersendiri dalam dunia Islam. Ia memberi
gaung hakikat wujud (metafisika) ke dalam filsafat Yunani yang bersumber dari al-Quran dan al-hadits. Ia adalah filsafat tradisional yang
mendasarkan pada akal supra individualistik daripada opini individualistik, sehingga makna kenabian dapat ditampakkan. Sebuah
pemikiran yang tidak saja mengemukakan penalaran akan tetapi
kemampuan mengenal Tuhan dengan Iluminasi/Isyraqiyah. Atas dasar
itu filsafat ini merupakan profetik karena didasarkan pada kecerdasan
sebagai fakultas yang secara adikodrati alamiah dalam diri manusia
yang mengarah kepada kebenaran-kebenaran seperti yang diwahyukan,
melalui semua obyek yang dipadukan dengan Yang Esa, serta memperhatikan isu-isu sentral tentang harmoni antara akal dan wahyu.
Munculnya pemikiran profetik telah membuat kesadaran spiritual para filosof muslim untuk mengembangkan objek kajian dan
pemikirannya dalam berbagai filsafat dan sains dalam menghadapi
tantangan zaman.
31
122
DAFTAR PUSTAKA
A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004.
http.www.mail.archive.com/filsafat@yahoo.com, diambil tanggal 3
Oktober 2011
Kuntowijiyo, Menuju Ilmu Sosial profetik, dalam Republika,, 8 Agustus
1997.
M. Iqbal, Membangun Kembali Alam Pikiran Islam, terj. Osman Raliby,
Jakarta: Bulan Bintang, 1966
Seyyed Hossein Nasr, Antara Tuhan, Manusia dan Alam, Jembatan
Filosofis dan Religius Menuju Puncak Spiritual, terj. Ali Noer
Zaman, Yogyakarta: IRCIoD, 1984
, Makna dan Konsep Filsafat dalam Islam dalam Seyyed
Hosein Nasr dan Oliver Leaman (ed), Ensiklopedi Tematis
Filsafat Islam: Buku Pertama, Bandung: Mizan, 2003
, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, terj. Ach. Maimun
Syamsuddin, Yogkakarta: IRCISoD, 2006
http://www.cis-ca.org/voices/k/kalin-bio.htm, Nasr, 11 Oktober
2011
, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, ter. Lukman
Hakim, Pustaka: Bandung, 1987.
, Kemunculan dan Perkembangan Sufisme Persia dalam
Warisan Sufi, terj. Gafna Raizha Wahyudi, Yogyakarta:
Pustaka Sufi 1999.
, Pengetahuan dan Kesucian, terj. Suharsono,Yagyakarta:
Center for International Islamic Studies (CIIS), 1997
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004
123
124
PEDOMAN PENULISAN
Adapun pedoman penulisan dalam Jurnal ini, baik dalam bentuk
artikel maupun telaah buku adalah sebagai berikut:
SUBSTANSI TULISAN
1. Tulisan orisinil (hak intelektual penulis) dan belum pernah
diterbitkan/dipublikasikan.
2. Topik tulisan aktual dan sesuai dengan lingkup kajian jurnal.
TEKNIS PENULISAN
1. Jumlah halaman antara 15-20 halaman untuk artikel dan 5-7
halaman untuk telaah buku, ukuran kertas A4, spasi 1,5, font Times
New Roman size 12.
2. Tulisan artikel harus menyertakan abstrak (berbahasa Inggris dan/
atau Arab), 150-200 kata dan 5 keywords (5 kata kunci)
3. Penulis menyerahkan naskah asli dalam bentuk hard file dan soft
file.
4. Semua tulisan menggunakan metode penulisan ilmiah dengan
catatan kaki (footnote) dan mencantumkan daftar pustaka (bibliography) di belakang tulisan.
Dalam daftar pustaka, aturan penulisan nama pengarang dibedakan sebagai berikut:
Nama-nama asia ditulis lengkap apa adanya, tanpa ada perubahan.
Contohnya: Muhammad Thahir bin Asyur, Maqshid asy-Syarah,
(Cairo: Dar as-Salm, 2006).
Nama-nama Eropa, Amerika, atau Australia, ditulis nama familinya
(last name) terlebih dahulu. Contohnya: Giddens, Anthony,
Kapitalisme dan Teori Sosial Modern; Suatu Analisis Karya Tulis Marx,
Durkheim dan Max Weber, terjemahan Soeheba Kramadibrata
(Jakarta: UI Press, 1986).
125
LAIN-LAIN
1. Tulisan dapat dikirim ke: jurnalislamindonesia@yahoo.com dengan
menyertakan biodata penulis.
2. Setiap tulisan yang masuk akan dinilai oleh Tim Redaksi dan dibaca
oleh Mitra Bestari (yang kompeten sesuai dengan bidangnya).
3. Dewan Redaksi dapat menyingkat dan memperbaiki tulisan yang
akan dimuat tanpa mengubah maksud dan isi tulisan.
4. Naskah tulisan yang belum dapat diterbitkan akan diberi
pemberitahuan melalui email.
126