Anda di halaman 1dari 132

Nomor: 09 Tahun VII, Januari Maret 2012

ISSN: 1412-7075

DEWAN REDAKSI:
Pengarah:
Rektor UNSIQ Wonosobo
Pemimpin Redaksi:
Nurul Mubin, M.S.I
Redaktur Ahli:
Dr. H. Zamaksyari Dhofier, MA
KH. Mukhotob Hamzah, MM
Drs. Zainal Sukawi, MA
Dr. Phil. Sahiron Syamsudin, MA
Drs. Abdul Kholiq, MA
Drs. Mahfudz, MA
Drs. Akhsin Wijaya, Alhafidz, M.Ag
Drs. Arifin Shidiq, M.Pd.I
Drs. Samsul Munir, Amin, MA
Dr. H. Asyhar Kholil, MA
Perwajahan:
Agung Istiadi Pustaka Prisma
Distributor:
Adi Suwondo, M.Kom
Hafin Hafiyati, S.S
Penerbit:
Pusat Penelitian, Penerbitan & Pengabdian Masyarakat (P3M)
Universitas Sains Al-Quran Wonosobo
Jl. Raya Kalibeber Km. 03 Mojotengah, Wonosobo, Jawa Tengah
Tlp. (0286) 321873. Fax: (0286) 324160.
email redaksi ; jihadil_akbar@yahoo.com

ii

Nomor: 09 Tahun VII, Januari Maret 2012

ISSN: 1412-7075

Pengantar Redaksi
Kajian keislaman (Islamic Studies) belakangan menjadi populer
bagi masyarakat muslim dunia dan juga Indonesia. Tampaknya
fenomena ini merupakan imbas dari semakin meningkatnya kesadaran
beragama umat Islam yang ditandai dengan berbagai aktivitas
keagamaan yang diwujudkan dalam bentuk Majlis dzikir, majlis
pengajian, pelatihan-pelatihan pembangunan spiritual dan aktivitas
kajian pemikiran keislaman yang tidak saja berkembang dikalangan
akademisi tetapi juga di kalangan masyarakat secara umum.
Semangat dan fenomena meningkatnya kesadaran beragama baik
ranah aktivitas ibadah dan ranah keilmuwan ini tidak lepas dari
semakin berkembangnya berbagai isu fundamentalisme Islam yang
kini berbuah model gerakan (harakah) Islam radikal. Rentetan panjang
tentang pemikiran dan gerakan Islam radikal diberbagai wilayah ini
menuntut umat Islam untuk mengambil peran-peran strategis untuk
mengkaji secara mendalam tentang pesan inti agama dalam ranah
sosial, politik dan budaya, agar Islam dapat memposisikan diri sebagai
pemandu dalam percaturan global.
Isu radikalisasi Islam seakan memutar balik jarum jam potret
kemunduran Islam. Kebangkitan Islam dan kejayaan Islam yang
pernah diraih pada masa abad ke-emasan intelektualisme Islam, dimana
Islam mampu berdampingan dan mampu mendialogkan berbagai
persoalan politik, sosial dan budaya. Bahkan Islam menjadi bagian
dari solusi problem global bukan sebaliknya pemicu masalah-masalah
global. Tuduhan-tuduhan miring atas berbagai corak pemikiran dan
gerakan Islam semakin meneguhkan eksistensi Islam dimata dunia,
terutama ketika berhadapan dengan dinamika perkembangan global
yang didominasi oleh dunia Barat.
Beragamnya corak pemikiran keagamaan yang berkembang dalam
sejarah Islam di dunia dan khususnya di Indonesiadari Islam yang
bercorak sufistik, tradisionalis, revivalis dan modernis hingga neoiii

modernisdengan jelas memperteguh kekayaan khazanah keislaman


negeri ini. Kenyataan ini semakin membuktikan beragamnya pengaruh
yang masuk ke dalam wacana Islam yang berkembang di belahan dunia
dan khususnya Nusantara ini. Dalam perspektif sejarah perkembangan
intelektual, hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran visi
dan orientasi di dalam corak pemahaman keagamaan di kalangan
Muslim Indonesia.
Pola pergeseran tersebut, bisa dimulai dari penjelasan Martin van
Bruinessen, seorang sarjana Belanda yang ahli dalam kajian Islam di
Indonesia, bahwa pada masa-masa awal berkembangnya Islam di
Nusantara sejak abad ke-13 M corak Islam yang berkembang adalah
Islam yang bernuansa sufistik. Bentuk Islam yang seperti itu juga
mempengaruhi para pemikir-pemikir Islam pada masa tersebut hingga
sekarang ini.
Pada Manarul Quran edisi ini tema yang diusung adalah
dinamika pemikiran Islam Indonesia. Sejumlah artikel menarik
disajikan dalam edisi ini, diantaranya adalah artikel pemikiran
keislaman yang ditulis Mahfudz Junaidi mencoba menelaah epistemologi hukum Islam, kemudian tulisan Samsul Munir Amin tentang
Islam dan demokrasi. Artikel selanjutnya oleh Nurul Mubin tentang
teologi multikultural dalam konteks sejarah dan implementasi nilainilainya di Indonesia, kemudian juga dilengkapi dengan artikel
pemikiran tasawuf kontemporer oleh Asep Dawud Kosasih yang
mengkaji pemikiran Buya Hamka tentang tasawuf modern. Selain itu,
dalam edisi ini juga disajikan pemikiran filsafat yang ditulis oleh
Khusnul Khotimah tentang filsafat profetik menurut Seyyed Hossein
Nasr, kemudian juga dilengkapi dengan bahasan tentang pendidikan
Islam oleh Abdul Majid tentang sketsa masa awal pendidikan Islam,
kemudian bahasan tentang kajian Al-Quram dan tafsir oleh Abdul
Wahab Saleem tentang sihir ayat poligami dan artikel tentang ayat
Makkiyah Madaniyyah dalam Al-Quran oleh Wahyudi Jafar.
Akhirnya redaktur berharap, semoga terbitnya Manarul Quran
edisi ini akan turut serta mewarnai dan meramaikan belantara
pemikiran dan kajian keislaman di Indonesia. Sebelum diakhiri,
disampaikan kepada pembaca bahwa Manarul Quran akan terbit
empat kali dalam satu tahun, dan untuk diketahui pembaca sekalian
bahwa tema Manarul Quran edisi mendatang adalah Islam Lokal.
Kami mengundang pembaca sekalian untuk berpartisipasi dalam tema
ini.
Salam
Redaktur

iv

Nomor: 09 Tahun VII, Januari Maret 2012

ISSN: 1412-7075

Daftar Isi
AYAT MAKKIAH-MADANIAH DALAM AL-QURAN
Wahyudi Jafar, S.Ag .......................................................................... 1
SIHIR AYAT POLIGAMI
Abdul Wahab Saleem ........................................................................ 13
SKETSA PENDIDIKAN ISLAM MASA AWAL
Drs. Abdul Majid. M.Pd. .................................................................. 29
PEMIKIRAN HAMKA TENTANG TASAWUF MODERN
Asep Daud Kosasih ........................................................................... 39
ISLAM DAN DEMOKRASI
Samsul Munir .................................................................................. 53
EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM KONTEMPORER
Mahfudz Junaedi .............................................................................. 65
TEOLOGI MULTIKULTURAL
Upaya Membumikan Dimensi Transendental
Di tengah Keragaman Suku, Budaya Dan Agama
Nurul Mubin, M.S.I. ........................................................................ 89
FILSAFAT PROFETIK MENURUT SEYYED HOSSEIN NASR
Khusnul Khotimah .......................................................................... 109

vi

AYAT MAKKIAH-MADANIAH
DALAM AL-QURAN
Wahyudi Jafar, S.Ag
Penulis adalah alumni Program Pendidikan Kader Ulama (PPKU) Ulumul
Quran dan Tafsir, Magister Studi Islam, UNSIQ Wonosobo

Abstraksi:
Persoalan Makki-Madani dalam ulumul Quran termasuk persoalan
yang sangat penting. Urgensi permasalahan tersebut terlihat dalam
kitab-kitab tafsir dan ulumul Quran hampir semuanya, kalau bukan
semua, menjadikan salah satu pembahasan utama bahkan paling awal
dibahas setelah pengertian al-Quran. Meski pembahasannya sangat
sederhana, tidak sekompleks dengan tema-tema ilmu-ilmu al-Quran
yang lain, tapi sebenarnya ia sangat urgen untuk diketahui. Karena
dengan mengetahuinya, seorang mufassir atau orang yang mengkaji
al-Quran akan mendapat petunjuk dengan kemampuan memetakan ayat
naskh-mansukh. Karenanya, wawasan Makki-Madani menjadi dasar atau
starting poin menuju pembahasan nasikh-mansukh, tanpa mengetahuinya maka persoalan nasikh-mansukh juga akan kabur. Hal ini menjadi
salah satu alasan kenapa ia menjadi tema yang didahulukan daripada
tema-tema yang lain.

Kata Kunci: Al-Quran, Makiyah, Madaniyah, Nasihk-mansukh,

Pendahuluan
Persoalan Makki dan Madani menarik untuk dikaji karena tidak
adanya riwayat langsung dari Rasulullah Saw., melainkan para ulama
hanya bersandar pada riwayat sahabat dan tabiin tentang klasifikasi
ayat Makki-Madani. Bahkan tidak jarang ulama hanya bersandarkan
pada ijtihadi dalam pengklasifikasian. Namun, tidak berarti bahwa
persoalan itu semuanya ijtihadi. Cukup menjadi pegangan dari riwayat
sahabat yang melihat langsung cara penurunan wahyu.
1

Di samping itu, semakin menjadi penting untuk dicermati


persoalan ini setelah munculnya tuduhan-tuduhan orientalis terkait
dengan ayat Makki-Madani sebagai indikasi bahwa al-Quran
terpengaruh oleh budaya dan lingkungan, yang pada akhirnya akan
mengatakan bahwa al-Quran adalah non-ilahi. Persoalan-persoalan
tersebut, dalam makalah sederhana ini akan dibahas secara sederhana
pula dengan mencoba melakukan pendekatan deskriftif-analisis,
dengan harapan bahwa melalui tulisan ini menjadi pengantar sekaligus
gambaran umum tentang Makki-Madani.

Teori Makki-Madani
Abul Qasim al-Hasan bin Muhammad bin Habib an-Naisabuuri
dalam bukunya at-Tanbih al fadli Ulumil Quran bahwa Diantara
ilmu-ilmu yang paling mulia adalah ilmu tentang nuzulul quran dan
daerahnya, urutan turunnya di Mekkah dan di Madinah, tentang yang
diturunkan di Mekkah tetapi hukumnya madani dan sebaliknya, dan
tentang yang diturunkan di Juhfah, di Baitul Makdis, Taif, atau
Hudaibiyah, di waktu siang, diturunkan secara bersama-sama, atau
diturunkan secara sendiri-sendiri, ayat-ayat madaniah dari surah-surah
al-Makkiah, ayat-ayat Makkiah dalam surah Madaniah; yang dibawa
dari Mekkah ke Madinah dan yang dibawa dari Madinah ke Mekkah;
yang dibawa dari Madinah ke Abesinia, yang diturunkan secara global dan yang telah dijelaskan, serta yang diperselisihkan sehingga
sebagian orang mengatakan Madani dan sebagian mengatakan Makki.
Itu semua ada duapuluh lima macam. Orang yang tidak mengetahuinya dan tak dapat membeda-bedakannya, ia tidak berhak berbicara
tentang Quran1.
Statement di atas menunjukkan pentingnya mengetahui ayat
Makki dan Madani sebagai salah satu alat yang membantu dalam
memahami maksud ayat tertentu. Tidak mengherankan kemudian jika
pembahasan tersebut menjadi pembahasan yang didahulukan daripada
pembahasan ilmu-ilmu al-Quran yang lain. Dengan demikian, AnNaisaburi di atas secara tegas mengatakan bahwa seseorang tidak
berhak berbicara al-Quran kecuali telah mengetahui persoalan MakkiMadani. Kemudian Manna Al-Kattan merinci poin per poin
1

Jalaluddin As-Suyuti: al-itqan fi ulum al-quran, tahqiq oleh Markaz ad-dirasat al-Quraniyah,
juz. I tnp. thn. hal. 43-44.

Wahyudi Jafar, S.Ag - Ayat Makkah-Madaniah dalam Al-Quran

pembahasan tersebut sebagai berikut: 1) ayat yang turun di Mekkah


2) yang turun di Madinah; 3) yang diperselisihkan; 4) ayat-ayat
Makkiah dalam surah Madaniah; 5) ayat Madaniah dalam surah
Makkiah; 6) yang diturunkan di Mekkah sedang hukumnya di
Madinah; 7) yang diturunkan di Madinah sedang hukumnya di
Mekkah; 8) yang serupa dengan yang diturunkan di Mekkah (makki)
dalam kelompok madani; 9) yang serupa diturunkan di Madinah
(madani) dengan kelompok Makki; 10) yang dibawa dari Mekkah ke
Madinah; 11) yang dibawa dari Madinah ke Mekkah; 12) yang turun
waktu malam dan siang; 13) yang turun musim panas dan dingin;
14) yang turun waktu menetap dan dalam perjalanan2.

Tolak Ukur Makki-Madani


Dalam hal ini Az-Zarkasyi telah mengklasifikasi beberapa
pendapat tentang definisi ayat-ayat Makki-Madani. Menurutnya, ada
tiga pendapat dalam persoalan istilah Makki-Madani; a) Ayat Makki
adalah ayat yang turun di Mekkah, sedangkan Ayat Madani adalah
apa yang turun di Madinah; b) Ayat Makki, pendapat Mayoritas, adalah
apa yang turun sebelum hijrah meski turun di Madinah, sedangkan
ayat Madini adalah ayat yang turun setelah hijrah meski turun di
Mekkah; c) terakhir adalah jika ayat itu dirujukan kepada penduduk
Mekkah maka ia Makki, sedangkan jika Mukhatabnya penduduk
Madinah maka ia ayat Madani3.
Klasifikasi di atas mempunyai konsekuensi tertentu. Misalnya
pendapat pertama bahwa Makki dan Madani ditinjau dari segi tempat.
Maka ayat yang turun di Mekkah adalah Makkiah meski ayat tersebut
turun setelah Hijrah, sebaliknya ayat yang turun di Madinah maka ia
adalah madani. Karenanya menurut Hadi Marifah bahwa ayat turun
selain di Mekkah dan Madinah bukan Makki ataupun Madani dengan
mengutip satu riwayat yang dinukil oleh Jalaluddin Suyuthi bahwa
Rasulullah Saw. bersabda Ayat al-Quran diturunkan dalam tiga
tempat: Mekkah, Madinah dan Syam4.
2

Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Quran terj, Mabahis fi Ulumil Quran oleh Mudzakit
As. (Bogor, Pustaka Litera Antar NUsa cet. 8, 2004) hal. 73.
Az-Zarkasyi; Al-Burhan Fi Ulumil Quran, ditahqiq Muhammad Abu Fadl Ibrahim, Juz I,
Kairo, dar. At-Turast, tnp. thn. hal. 187.
M. Hadi Marifat, Sejarah Al-Quran, ter. dari Tarikh al-Quran oleh Thoha Musawa, (Jakarta,
Al-Huda, cet. I, 2007), hal. 68-70. lihat, as-Suyuti, al-Itqanjuz. hlm 23.

Sedangkan konsekuensi pendapat ke dua yang melihat dari segi


zaman turunnya sebuah ayat; makkiah adalah yang turun sebelum
hijrah sedangkan Madaniah adalah yang turun sesudah hijrah, yaitu
ayat-ayat yang diturunkan kepada Rasulullah Saw. ketika masih diperjalanan, meski telah keluar di Mekkah, tapi belum masuk Madinah
maka dianggap sebagai Makkiah. Seperti (QS. al-Qashash: 85)
sesungguhnya yang mewajibkan atasmu al-Qur`an, benar-benar akan
mengembalikan kamu ke tempat kembali Beda halnya dengan poin ke
tiga yang melihat dari segi isi. Dimana sebuah ayat apakah Makki
atau Madani dilihat dari kontennya, jika berbicara tentang orang kafir
maka ia Makki, sedangkan jika membahas orang beriman maka ia
adalah Madani. Hal itu sesuai dengan riwayat Abdullah bin Mas`ud
bahwa setiap surah yang didalamnya terdapat kata-kata wahai
Manusia adalah Makkiah. Setiap surah yang di dalamnya terdapat
hai orang-orang beriman adalah Madaniah5.
Namun, tolak ukur di atas jika berdiri sendiri tidak bisa menjadi
sebagai tolak ukur universal karena misalnya, dalam surah Madaniah
seperti al-Baqarah juga terdapat kata-kata Wahai manusia... Sehingga ketiga tolak ukur di atas harus digabungkan dengan ditambah lagi
dengan dua metode lainnya sebagaimana yang dikatakan oleh AlAllamah Burhanuddin Ibrahim bin Umar bin Ibrahim Ju`bari6 yaitu
cara sama`i dan Qiyasi. Hal itu senada dengan ulasan Manna AlQattan yang mengatakan bahwa ada dua sandaran dalam mendeteksi
satu ayat, apakah Makkiah atau Madaniah? yaitu; sima`inaqli (pendengaran seperti apa adanya dan Qiyasi ijtihadi (kias hasil ijtihad)7.
Menurutnya bahwa cara pertama ini yang mendominasi dalam kitabkitab asbabul nuzul. Metode ini juga bersandar pada riwayat sahih
dari para sahabat yang menyaksikan langsung bagaimana dan dimana
ayat turun, serta para tabi`in yang menerima langsung dari sahabat.
Sedangkan cara qiyas ijtihadi adalah cara yang bersandar pada ijtihad
bukan pada riwayat. Cara ini hanya melihat sifat sebuah ayat. Apabila
dalam surah al-Makkiah ada sebuah ayat yang sifatnya Madani maka

5
6

Lihat Az-Zarkasyi hal. 187.


M. Hadi Marifat, Sejarah Al-Quran, ter. dariTarikh Al-Quran olehThohaMusawa, (Jakarta,
Al-Huda, cet. I, 2007), hal. 68-70.
Manna al-Qattan, Op.cit. 82.

Wahyudi Jafar, S.Ag - Ayat Makkah-Madaniah dalam Al-Quran

ayat itu Madani, dan apabila dalam surah Madinah terdapat ayat yang
sifatnya Makkiah maka ia ayat Makkiah.
Kriteria-kriteria di atas hanyalah ciri-ciri umum, belum final.
Mengabsolutkan satu kriteria Makki-Madani menurut Nasr Hamid
Abu Zaid akan menyusahkan kita, meski secara pribadi dia mendukung pendapat mayoritas tentang Makki-Madani; yaitu ditinjau dari
segi waktu hijrah, ayat yang turun sebelum Hijrah maka ia Makki,
dan Madani adalah yang turun setelahnya, baik turun di Makkah
ataupun di Madinah, pada tahun penaklukan (Makkah) atau haji wada,
atau dalam perjalan8. Karenanya, kriteria klasifikasi seharusnya didasarkan pada realitas, pada satu sisi, dan pada teks pada sisi lain. Karena
teks bergerak bersama realitas yang pada akhirnya mempengaruhi isi
dan strukturnya. Hal ini sesuai dengan realitas dalam al-Quran bahwa
ayat Makki struktur ayatnya pendek-pendek dan dengan penuh ijaz
dan balaghat tinggi, karena pada saat itu ia berkomunikasi dengan
orang Makki yaang secara watak terkenal keras kepala, dan mahil
dalam balaghat. Ayat yang pendek dengan penuh ijaz karena karena
sebagai tahaddi pada penyair-penyair orang Musyrik sehingga ayatayat Makki juga biasanya dimulai dengan huruf muqataah. Masih
menurut Nasr Hamid, pada fase indzar yaitu Makki, ayat al-Quran
benar-benar memakai metode dakwah yang melihat objek yang
didakwahi. Kebanyakan ayat Makki menggunakan kata-kata persuasif,
sedangkan pada Fase Risalah atau Madani ayat al-Quran cenderung
panjang-panjang karena memang objek dakwahnya berbeda dan lebih
pada transformasi informasi dan lebih banyak terkait dengan hukum
Islam syariah islamiah daripada persoalan akidah9.

Makki-Madani; Indikasi Al-Quran Non-Ilahi?


Dari gambaran di atas, persoalan Makki-Madani kemudian
membuka peluang kepada orientalis10 menuduh bahwa al-Quran non
Ilahiah, karena terpengaruh oleh lingkungan. Tuduhan ini kemudian
dijawab oleh Hadi Marifah bahwa kita harus membedakan antara alNast Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Quran; Kritik Terhadap Ulumul Quran, terj. Mafhumum
An-Nash Dirasah fi Ulum Al-Quran oleh Khoirun Nahdliyin, (Yogyakarta, cet. IV, LKiS,
2005), hlm. 90. disadur dari As-Suyuti, Al-ItQanJuz, I, hlm. 9.
9
Nasr Hamid, Ibid. hlm 91-93
10
lihat juga, Muhammad Husain Adz-Zahabi, buhuts fi Ulum at-Tafsir, wal- fiqh, wad awah,
(Kairo, Dar. Hadist, cet. I, 2005), hlm. 346-350.
8

Quran terpengaruhi oleh lingkungan atau budaya dengan al-Quran


dalam berdakwah melihat objek dakwahnya. Dalam bahwa dakwah,
yukhatibun nasa bi qadri ukulihim. Siapa pun ingin mengubah lingkungan maka pertama kali harus lebih dahulu memperhatikan fenomena
yang terjadi dalam lingkungan. Dengan demikian ia dengan mudah
berbicara sesuai dengan akal mereka, dan pada akhirnya dakwahnya
akan mudah diterima. Tidak berlawanan dengan kultur yang sudah
mendarah daging. Untuk lebih jelasnya saya akan mengutip langsung
keraguan dan tuduhan Orientalis terkait dengan al-Quran non-Ilahi:
yaitu bahwa metode yang digunakan surah-surah Makkiah adalah
kekerasan, tekanan dan cibiran. Sedangkan surah Madaniah adalah
lemah lembut. Dua karakter yang belawanan ini menjadikan alQuran, menurut mereka, terpengaruhi oleh peristiwa-peristiwa, dan
ketidakindependenan al-Quran.
Hadi Marifah dan Muhammad Husain Ad-Zhahabi telah menjawab tuduhan ini dengan membuktikan bahwa sebenarnya ciri ancaman dan kata yang keras dalam al-Quran tidak hanya dikhususkan
pada surah-surah Makkiah. Metode tekanan, kekerasan juga terdapat
dalam surah Madaniah. Menurutnya, siapa pun yang keras kepala
maka al-Quran menggunakan dengan nada ancaman yang keras, baik
itu dalam surah Makkiah ataupun Madaniah. Hal itu terlihat dalam
al-Quran surah al-Baqarah yang Madaniah Orang-orang yang makan
riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
setan lantaran tekanan penyakit gila (al-Baqarah: 275). Kerasnya nadanada ayat di atas dalam rangka menyikapi orang-orang munafik dan
para ahli kitab yang keras kepala. Bahkan menurutnya, surah alBaqarah ayat yang termasuk turun terakhir di Madinah disinyalir
sebagai surah yang paling keras nadanya.
Disisi lain, banyak sekali surah-surah Makkiah yang lemah
lembut. Seperti surah Az-Zumar Ayat 53 Wahai hamba-hambaku yang
telah berlebih-lebihan (berbuat dzalim) kepada dirinya sendiri, janganlah
kalian semua berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun
lagi Maha Pengasih. Ayat Makkiah tersebut nadanya sangat lembut
meski termasuk ayat Makkiah. Dengan indikasi tersebut, Hadi
Ma`rifah menyimpulkan bahwa al-Qur`an tidak terpengaruhi oleh
lingkungan dan dependen dari peristiwa11. Selain itu, kenyataan di
6

Wahyudi Jafar, S.Ag - Ayat Makkah-Madaniah dalam Al-Quran

atas juga memberikan data bahwa kriteria-kriteria ulama tentang ciriciri khas Makki-Madani, seperti yang akan dibahas, hanyalah ciri-ciri
umum.
Secara pribadi dengan melihat ragam macam pendapat dalam
kriteria Makki-Madani, maka pendapat yang paling bisa diterima adalah
yang melandaskan pada riwayat yang sahih dari sahabat dan tabiin.
Merekalah yang paling berhak dan mengetahui persoalan tersebut
karena mereka hidup dan menyaksikan langsung bagaimana, apa, dan
dimana sebuah ayat turun. Sebagaimana Ibnu Masud mengatakan
bahwa Demi Allah tiada Tuhan kecuali Dia, tidak ada ayat al-Quran
turun kecuali saya tahu dimana turun, dan kepada siapa turun, jika saya
tahu ada seorang yang lebih tahu daripada saya tentang al-Quran yang
bisa dicapai oleh unta niscaya akan saya datangi12". Qadi Abu Bakar Ibnu
Tayyib al-Baqalani dalam al-intisar, menegaskan bahwa pengetahuan
tentang Makki dan Madani tidak ada suatu keterangan yang datang
dari Rasulullah, akan tetapi semua mengacu pada hafalan para sahabat
dan tabii13.

Ciri khas Makkiyah:


1. Surah yang didalamnya mengandung sajdah
2. Surah yang mengandung lafal kalla, berarti Makki. Terdapat separuh
terakhir dari al-Quran. Dan disebutkan sebanyak 33 kali dalam
15 surah.
3. Surah yang mengandung yaayyuhannas dan tidak mengandung
yaayyuhallazinaamanu, berarti Makki, kecuali surah al-Hajj yang
pada akhirnya ya ayyuhallazina amanurwasjudu -kau. Namun
sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat tersebut adalah
Makki.
4. Surah yang mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu,
adalah Makki, kecuali surah al-Baqarah.
5. Setiap Surah yang menceritakan kisah Adam dan Iblis, adalah
Makki kecuali surah al-Baqarah.
Hadi Marifah, Op.Cit., Sejarah al-Quran, hlm. 72-74.
Dr. Mushtafa Diib Al-Bagha, al-Waadih fi Ulum al-Quran, (Dimaski, Dar. Ulumal `Insaniah,
cet. II, 1998), hlm. 65. Lihat As-Suyuti, Al-Itqan, Op.Cit. hlm. 27
13
Manna Al-Qattan, Op.cit., hlm. 82
11
12

6. Setiap Surah yang yang dibuka dengan huruf singkatan seperti:


Alif Lam Mim, Alif Lam Ra, Ha Mim dan lain-lain adalah Makki
kecuali Surah Baqarah dan Ali Imran. Sedang Surah Rad masih
diperselisihkan.
Ini adalah dari segi ketentuan, sedang dari segi tema dan gaya
bahasa dapat diringkas sebagai berikut:
1. Ajakan kepada ketauhidan dan ibadah hanya kepada Allah, pembuktian risalah, kebangkitan dan pembalasan, neraka, surga.
2. Peletakan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan akhlak
mulia dan terbentuknya suatu masyarakat.
3. Menyebutkan kisah para nabi dan umat terdahulu.
4. Suku katanya pendek-pendek disertai kata-kata yang mengesankan
sekali.

CirikhasMadaniyah:
1. Setiap surah yang berisi kewajiban atau had (sanksi) adalah Madani.
2. Setiap surah yang didalamnya disebutkan orang-orang munafik
adalah Madani, kecuali surah al-Angkabut adalah Makki.
3. Setiap surah yang didalamnya terdapat dialog dengan ahli Kitab
adalah madani.
Ini adalah dari segi ketentuan; sedang dari segi tema dan gaya
bahasa dapat disingkat sebagai berikut:
1. Menjelaskan ibadah, muamalah, kekeluargaan, warisan, jihad,
hubungan sosial, hubungan internasional, baik di waktu damai
maupun perang, kaidah hukum dan perundang-undangan.
2. Seruan terhadap Ahli Kitab, dari kalangan Yahudi dan Nasrani,
ajakan masuk Islam, penjelasan terhadap penyimpangan mereka
terhadap kitab-kitab Allah.
3. Menyingkap perilaku orang munafik.
4. Suku kata dan ayat-ayatnya panjang-panjang dengan gaya bahasa
yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan sasarannya14.
14

Manna Al-Qattan, Op.Cit., hlm. 86-88.

Wahyudi Jafar, S.Ag - Ayat Makkah-Madaniah dalam Al-Quran

FaedahMengetahuiMakki-Madani
Mempelajari dan mengetahui ilmu mengenai Makki dan Madani
dapat memberi faedah yang besar, antaranya:
1. Sebagai alat bantu penafsiran al-Quran, sebab pengetahuan tentang tempat turunnya ayat dapat membantu memahami ayat
tersebut dan penafsirannya yang benar, sekalipun yang menjadi
pegangan adalah pengertian umum lafaz, bukan sebab yang khusus.
Dan dengan itu pula para penafsir dapat membedakan antara ayat
yang nasikh dan mansukh bila ada ayat yang kontradiktif. dengan
pastinya, bahwa ayat Makkiah dihapus oleh ayat Madaniah yang
turun belakangan.
2. Dengan gaya bahasa Quran yang memiliki karakteristik gaya
bahasa Makki dan Madani sangat tepat memanfaatkannya untuk
menyeru menuju jalan Allah.
3. Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat Quran, sebab
turunnya wahyu kepada Rasulullah sejalan dengan sejarah dawah,
baik priode Mekah maupun priode Medinah15.
Pada faedah point pertama yaitu membantu mengetahui ayat
nasikh-mansukh hal itu berseberangan dengan seorang pemikir asal
Sudan yang bernama Mahmoud Mohamed Taha (w. 1985 M). Ia
mengatakan bahwa ayat-ayat al-Quran dapat dibagi menjadi dua
bagian yaitu ayat-ayat makiyyah yang merupakan ayat-ayat dasar (ayat
al-ushul) dan ayat-ayat madaniyyah yang merupakan ayat-ayat cabang
(ayat al-furu). Melalui konsep naskhnya yang sangat kontradiktif
dengan pendapat para ulama terdahulu. Dengan radikalnya mengatakan bahwa ayat-ayat Madaniyyah dinasakh oleh ayat-ayat makiyyah.
Dan secara otomatis ayat-ayat madaniyyah tidak terpakai untuk zaman
modern ini dan yang diberlakukan adalah ayat-ayat makiyyah. Alasan
Mahmoud adalah bahwa syariah Islam itu berevolusi jadi yang cocok
syariat itu didasarkan pada ayat-ayat makiyyah. Selama ini menurut
Mahmoud bahwa Syariat Islam banyak didasarkan kepada ayat-ayat
madaniyyah karena memang ayat-ayat madaniyyah inilah yang secara
rinci hal-hal praktis pedoman hidup umat Islam. Sementara ayat-ayat
makiyyah berisi prinsip-prinsip umum ajaran Islam. Dengan demikian
15

Manna Al-Qattan, Op.Cit., hlm. 81-82

Syariat Islam menjadi akomodatif dan fleksibel menghadapi masalahmasalah yang muncul16.

Kesimpulan
Dari kajian yang sederhana kiranya kita bisa mengambil beberapa
intisari atau beberapa kesimpulan. Kesimpulan ini sesungguhnya
hanya sebagai hasil pembacaan penulis dalam kajian sederhana.
Diantara kesimpulan itu adalah konsep makki dan madani adalah
sebuah kajian yang masih perlu dikaji dan didiskusikan di zaman
sekarang bagaimana pun juga dia ini adalah bagian dari prasyarat
pembelajaran atau studi tafsir dan kajian hukum Islam. Betapa tidak
ketika seorang mujtahid atau mufasir ketika menetapkan suatu ijtihad
maka telaah akan konsep makki dan madani adalah sebuah pertimbangan yang signifikan.
Disamping itu pula diskusi tentang perbedaan perspektif para
ulama tentang makki dan madani suatu hal yang sangat wajar dalam
dunia akademik dan intelektual, pandangan para orinetalis tentang
maki dan madani tentang keterpengaruhan budaya Arab memang
secara metodologi sangat akurat untuk dipertimbangkan, tapi lagilagi dalam kajian seperti ini memang perlu adanya usaha yang besar
dalam mengungkap kembali validitas data.

Daftar Pustaka
Al-Bagha, Mushtafa Diib, al-Waadih fi Ulum al-Quran, (Dimaski, Dar.
Ulum alInsaniah, cet. II,1998)
Adz-Zahabi, Muhammad Husain, buhuts fi Ulum at-Tafsir, wal- fiqh,
wad awah, (Kairo, Dar. Hadist, cet. I, 2005)
Abu Zaid, Nast Hamid, Tekstualitas Al-Quran; Kritik Terhadap Ulumul
Quran, terj. Mafhumum An-Nash Dirasah fi Ulum AlQuran oleh Khoirun Nahdliyin, (Yogyakarta, cet. IV, LKiS,
2005)

16

Agus Muh. Najib, Evolusi Syariah, Ihktiar Mahmoud Moehamed Taha Bagi Pembentukan
Hukum Islam Kontemporer (Yogyakarta, Nawesea, cet. I, 2007), hlm.5-6.

10

Wahyudi Jafar, S.Ag - Ayat Makkah-Madaniah dalam Al-Quran

Az-Zarkasyi; Al-Burhan Fi Ulumil Quran, ditahqiq Muhammad Abu


Fadl Ibrahim, Juz I, (Kairo, dar. At-Turast, tnp. thn)
Al-Qattan, Manna Khalil, Studi Ilmu-ilmu Quran terj, Mabahis fi Ulumil
Quran oleh Mudzakit As. (Bogor, Pustaka Litera Antar NUsa
cet. 8, 2004)
As Suyuti, Jalaluddin: al-itqan fi ulum al-quran, tahqiq oleh Markaz
ad-dirasat al-quraniyah, juz. I tnp. thn.
Marifat, M. Hadi, Sejarah Al-Quran, ter. dari Tarikh Al-Quran oleh
Thoha Musawa, (Jakarta, Al-Huda, cet. I, 2007)
Najib, AgusMuh., Evolusi Syariah, Ihktiar Mahmoud Moehamed Taha Bagi
Pemebentukan Hukum Islam Kontemporer (Yogyakarta,
Nawesea, cet. I, 2007).

11

12

SIHIR AYAT POLIGAMI


Abdul Wahab Saleem
Penulis adalah alumni Program Pendidikan Kader Ulama (PPKU) Ulumul
Quran dan Tafsir, Magister Studi Islam, UNSIQ Wonosobo

Abstraksi:
Masalah poligami sampai saat ini masih saja menjadi masalah yang
sangat urgen untuk dibahas dan dikaji, dan itu semua tidak lepas
karena adanya pro-kontra dan saling klaim atas duduk perkaranya, ada
sebagian yang lebih menganalisa dari ranah dalil al-Quran, ada yang
lebih tertarik mengkajinya dari ranah realitas sosial, politik atau bahkan
budaya.
Tulisan yang sangat sederhana ini hanya akan mengurai sedikit
duduk perkara dan elastisitas pemahaman penafsiran tentang poligami
sehingga tidak terjebak pada nuansa hitam-putih ketetapan undangundang maupun penetapan hukum serta terbebas dari kubangan
pemahaman yang hanya satu perspektif.

Kata Kunci: Ayat, Poligami, Poligini, Poliandri, Penafsiran.

A. Pendahuluan:
Pada prinsipnya bahwa Tuhan tidak akan meleset ketika membatasi poligami hanya- sampai empat wanita, karena banyak data
statistik yang menunjukkan bahwasanya terdapat keterpautan jumlah
antara laki-laki dan perempuan usia kawin meskipun masalah keterpautan ini masih juga diperdebatkan-. Tentunya banyak alasan lain
yang menjadikan praktik poligami ini tidak dihapus oleh Islam.
Berikut ini penulis akan memaparkan analisis yang sederhana
tentang hal tersebut agar dari beberapa pemetaan pemahaman yang
tercantum dalam tulisan sederhana ini menjadikan kita menjadi lebih
bijak dalam menanggapi hal-hal yang menyangkut masalah praktik
13

poligami sekaligus diharapkan poligami dijadikan sebagai salah satu


solusi alternatif dari berbagai problem sosial bukan malah keberadaan
poligami menjadi masalah sosial baru karena pemahaman akan poligami dan segala dimensinya yang kurang komprehensif.

Sekilas Tentang Poligami


a. Definisi
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, poligami diartikan sebagai suatu sistem perkawinan dimana seorang pria diperbolehkan
mempunyai istri lebih dari satu oraang dalam waktu yang bersamaan,1 sehingga dalam hal ini sebenarnya poligami tidak beda pengertian dengan poligini yang sebenarnya bahkan lebih tepat meskipun istilah poligami lebih populer, saya katakan poligini lebih tepat
karena dalam kajian tentang taadduduz zaujat poligami merupakan kata yang musytarak antara laki-laki dan perempuan. Istilahistilah yang terkait dengan praktik perkawinan ini sebenarnya
berasal dari khazanah bahasa Yunani2 yang dalam hal ini sebenarnya terdapat beberapa istilah antara lain
a.1. Poligami (Poly: banyak, Gami: nikah), istilah ini dikenakan
bagi kegiatan manusia yang melakukan banyak nikah baik lakilaki maupun perempuana.2. Poligini (Poly: banyak, Gini: perempuan), istilah ini
dikenakan bagi kegiatan seorang pria yang melakukan praktik nikah
dengan banyak wanita.
a.3. Poliandri (Poly: banyak, Andros: pria), istilah ini dikenakan
bagi kegiatan seorang wanita yang melakukan praktik pernikahan
dengan banyak pria.
a.4. Eksogami (Ekso: keluar [dari], bukan, mantan, Gami:
nikah), istilah ini dikenakan bagi kegiatan seorang lelaki yang menikahi istri dari luar marganya sendiri.
a.5. Endogami (Endo: dalam, Gami: nikah), istilah ini dikenakan
bagi kegiatan seorang lelaki yang menikahi istri dari dalam marganya
sendiri, atau sekelompok, sesuku dengan ketentuan adat.
1
2

Kamus Besar Bahasa Indonesia.


Abraham Silo Wilar, Poligini Nabi; Kajian Kritis-Teologis Terhadap Pemikiran Ali Syariati dan
Fatimah Mernissi (Yogjakarta: Pustaka Rihlah, 2006), 3

14

Abdul Wahab Saleem - Sihir Ayat Poligami

b. Sekilas sejarah
Poligami sebenarnya sama sekali bukan realitas baru dalam
sejarah peradaban, sebagai contoh sederhana bahwa kita sampai
saat ini masih lekat dengan riwayat yang diterangkan dalam kitab
taurat bahwa nabi Sulaiman memiliki 1000 orang istri, 700 orang
istri dari golongan merdeka dan 300 orang dari golongan budak,
begitu juga dengan nabi Daud yang memiliki 100 istri3. Peraturan
perkawinan model poligami juga telah jauh dikenal sebelum Islam
baik yang terjadi di kalangan masyarakat yang berperadaban tinggi
maupun rendah,4 dalam hal ini seorang laki-laki diperbolehkan
(tentu oleh budaya dan kepercayaan mereka) mengawini lebih dari
seorang wanita, taruhlah misalnya di Cina dimana seorang lakilaki berhak mengawini seorang atau beberapa orang wanita jika
istri yang pertama ternyata mandul dan tidak bisa memberinya
keturunan, tetapi dalam kasus ini istri pertama menjadi ratu dari
istri-istri yang lain. Kemudian di India dimana praktik poligami
biasanya terjadi di kalangan kerajaan dan konglomerat, dalam kasus
ini biasanya motifnya adalah karena istri yang pertama mandul atau
emosional. Ada juga yang terjadi pada masyarakat Mesir kuno
dan ini yang menarik- dimana poligami dianggap hal yang wajar
asalkan calon suami mau berjanji akan membayar uang yang
banyak kepada istri pertama apabila nanti suami menginginkan
untuk menikah lagi. Bahkan bangsa Timur kuno seperti Siria,
Babylonia dan Madyan memiliki anggapan bahwa praktik poligami
merupakan hal yang suci karena raja-raja mereka yang nota-benenya adalah orang suci juga melakukan poligami. Praktik poligami
juga terjadi pada masyarakat Arab pra-Islam5 dimana seorang laki3
4

Dr. Muhammad al-Habsy, Al marah baina al-syariah wa-al-hilah, hlm. 111


Dr. Musfir Husain al-Jahrani, Poligami dari berbagai Persepsi, Terj. Muh. Suten Ritonga, (Jakarta,
Gema Insani Press, 2002) hlm. 34-35
Ibid, hlm. 36, Perlu dicatat juga bahwa ada beberapa bentuk perkawinan yang terjadi pada
masyarakat Arab pra Islam seperti perkawinan istibdha (di sini seorang suami meminta
istrinya melayani seseorang yang terkenal dengan kemuliaan, keberanian, dan kecerdasannya.
Selama itu suami tidak menggauli istrinya untuk beberapa saat sampai jelas kehamilannya,
tujuannya adalah agar mendapatkan anak yang memiliki sifat seperti sifat yang dimiliki oleh
lelaki yang menggauli istrinya tadi). Perkawinan ar-Rahtun (beberapa orang menggauli seorang
wanita yang mereka kehendaki dan setelah wanita itu hamil dan melahirkan anak laki-laki
maka wanita tadi memanggil semua lelaki yang telah menggaulinya tadi untuk berkumpul di
rumahnya, dan tidak ada yang boleh absen, setelah semuanya hadir maka si wanita tadi
menunjuk salah satu dari mereka untuk menjadi bapak biologis dari si anak dan siapa yang

15

laki berhak menikahi sejumlah wanita yang dikehendaki tanpa ikatan maupun syarat apapun, sebagaimana yang ada dalam riwayat
bahwa Ghilan bin Salamah ats-tsaqafi sebelum masuk Islam dia
memiliki 10 orang istri, Naufal bin Muawiyah memiliki 5 orang
istri, begitu juga dengan Tsabit bin Qais yang sebelum masuk Islam memiliki 8 orang istri, kenyataan semacam ini memang sudah
lama terbangun dalam sejarah peradaban manusia terutama dalam
masyarakat yang berbudaya dan berperadaban tinggi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa praktik poligami
secara umum telah dikenal pada berbagai bangsa sebelum Islam
tanpa batasan maupun ikatan, bahkan bagi pemeluk agama Nasrani
khususnya, praktik poligami ini bahkan diakui gereja hingga abad
ke-16 Masehi6. Sampai saat ini praktik poligami dengan segala macam dimensinya masih tetap ada dalam berbagai bangsa dan masyarakat tak terkecuali pada masyarakat muslim yang justru menanggapi praktik poligami ini dengan pandangan yang sangat beragam
karena adanya semacam keterpengaruhan besar terhadap ayat-ayat
yang oleh sebagian orang atau bahkan ulama dianggap sebagai pelegitimasi praktik poligami meskipun sebagian yang lain menolak
pendapat itu.

B. Ayat-ayat Poligami Ragam Penafsiran.


Ayat yang selama ini dipercaya manjur oleh sebagian kalangan
(pasti tidak sebagian yang lain) sebagai pelegitimasi poligami adalah
QS. An-Nisa ayat; 3;

tertunjuk tidak bisa mengelak). Perkawinan al-Maqtu (seorang laki-laki mengawini istri
bapak kandungnya setelah bapak kandungnya itu meninggal dunia). Perkawinan Badal (seorang
suami tukar-menukar istri mereka tanpa bercerai terlebih dahulu). Perkawinan Syighar (seorang
mengawinkan anak perempuan atau saudara perempuannya kepada seseorang tanpa membayar
mahar). Perkawinan Khadan (seorang laki-laki bergaul dengan seorang wanita layaknya suami
istri dan kumpul dalam satu rumah tanpa ada ikatan perkawinan atau kumpul kebo). Perkawinan Baghaya (sekelompok laki-laki menggauli seorang wanita yang tuna susila setelah wanita
tadi hamil dan melahirkan anak maka wanita tadi menisbatkan anaknya pada laki-laki yang
lebih mirip wajahnya). Tentang bentuk-bentuk perkawinan semacam ini juga diterangkan
dalam shohih bukhori sebagaimana riwayat Aisyah Ummul Mukminin (lihat misalnya Quraish
Shihab, Wawasan al-Quran, hlm. 193).
Ibid, hlm 35

16

Abdul Wahab Saleem - Sihir Ayat Poligami

Artinya; Apabila kamu takut untuk tidak dapat berlaku adil terhadap
perempuan yatim (yang kamu kawini) maka kawinilah perempuan-perempuan
(lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Dan kemudian jika kamu
takut untuk tidak dapat berlaku adil maka kawinilah seorang saja, atau budakbudakmu, yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berlaku aniaya.

Berbagai macam penafsiran datang berramai-ramai gara-gara ayat


yang super ini, dari berbagai aspek dan tinjauan analisis, baik yang
berkenaan dengan bagaimana pemaknaan thaba, berapa batas jumlah
yang dimaksud yang kemudian disangkut-pautkan dengan makna
adanya huruf wawu di dalam deretan ayat itu yang memisah antar
jumlah yang disebut, bagaimana konteks saat ayat itu turun sehingga
menentukan pesan dan nilai apa yang terkandung didalamnya, apakah
titik tolaknya pada nilai adil atau pada nilai boleh, sampai pada
analisa masalah apakah istri-istri itu harus janda dan memiliki anak
yatim (bagi yang menganalisa bahwa konteks ayat tersebut seperti
itu) ataukah boleh semuanya perawan atau lajang, dan lain sebagainya.

Tentang Jumlah
Yang hampir menjadi kesepakatan diantara para ulama tentang
berapa jumlah istri dalam praktik poligami adalah empat orang, tetapi
paling tidak menurut DR. Musfir al-Jahrani ada tiga pendapat7 yang
berbeda tentang penafsiran ayat di atas yang berkaitan dengan masalah
jumlah. Yaitu;
Kelompok pertama yang menafsirkan bahwa keberadaan huruf
wawu pada lafaz matsna, watsulatsa, warubaa adalah wawu jama
yang berarti deret atau tambah dari 2 + 3 + 4 = 9.
7

Ibid, hlm.53-54. akan tetapi keterangan tentang tiga pendapat ini merupakan pendapat atau
penafsiran lain selain yang sudah menjadi ijma bagi mayoritas ulama yag menyatakan bahwa
batas maksimal jumlah istri yang diperbolehkan dalam praktik poligami adalah empat orang,
dan beliau sendiri memilih pendapat jumhurul ulama ini dengan mengatakan bahwa tiga
pendapat yang telah diterangkan itu merupakan pendapat yang keliru, beliau juga mengatakan
bahwa keberadaan huruf wawudalam kalimat matsna, atsulatsa, warubaa adalah berfungsi
littakhyir (memilih) dan bukan wawu jama.

17

Kelompok kedua yang menafsirkan ayat yang sama dengan bolehnya laki-laki menikahi wanita sebanyak delapan belas orang dengan
alasan bahwa lafaz mufrad yang diulang-ulang dengan huruf wawu
di antara kalimat matsna, watsulatsa, warubaa adalah deret tambah
dari 2 + 2 + 3 + 3 + 4 + 4 = 18.
Kelompok ketiga yang menafsirkan ayat yang sama dengan bolehnya laki-laki untuk memadu istri dalam jumlah yang tak terbatas
(berapa saja), mereka beralasan;
1. Ungkapan ma thaba lakum minannisai yang biasa diartikan
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi adalah mencakup
makna yang umum, sedangkan kalimat matsna, watsulatsa,
warubaa.. merupakan kalimat hitungan yang diulang-ulang tanpa
kesudahan. Jadi cakupannya sangat umum dan tidak menunjukkan
tentang batasan jumlah.
2. Sama juga seperti milkul yamin (budak) yang juga tidak dibatasi
jumlah.
3. Ternyata hadits Nabi yang menerangkan mengenai batasan jumlah
ini merupakan hadits ahad (riwayat perseorangan) dimana hadits
ahad tidak bisa digunakan untuk menasakh ayat al-Quran.
Sementara M. Quraish Shihab menerangkan bahwa ayat di atas
justru menjadi dasar bahwa ada larangan untuk menghimpun dalam
saat yang sama lebih dari empat orang istri sebagaimana yang terjadi
atas Sailan bin Umayyah yang saat itu memiliki sepuluh orang istri
supaya memilih empat saja dan menceraikan selebihnya. Adapun
tentang penyebutan jumlah dua, tiga atau empat adalah dalam rangka
tuntutan berlaku adil kepada anak-anak yatim yang kaya lagi cantik
yang dikawini (sesuai dengan penafsiran beliau dimana konteks ayat
ini turun adalah menyangkut sebagian orang yang ingin mengawini
anak-anak yatim yang kaya lagi cantik yang berada dalam tanggungannya tetapi mereka tidak ingin memberinya maskawin yang sesuai serta
tidak memperlakukannya secara adil). Beliau menjelaskan bahwa
redaksi penyebutan jumlah ini mirip dengan ucapan yang melarang
orang lain untuk memakan makanan tertentu dan untuk menguatkan
larangan itu dia mengatakan jika anda khawatir sakit bila makan
makanan ini, maka habiskan saja makanan selainnya yang ada dihadapan
anda selama anda tidak khawatir sakit. Yang tentu saja perintah untuk
18

Abdul Wahab Saleem - Sihir Ayat Poligami

menghabiskan makanan yang lain hanya untuk sekadar untuk menekankan larangan memakan makanan tertentu itu.8
Keterangan M. Quraish Shihab ini juga senada dengan apa yang
ditulis oleh Ibnu Abi Hatim Al-Razi menyitir perkataan Ibnu Abbas
bahwa dibatasinya laki-laki mengawini hanya empat wanita dalam
waktu yang bersamaan adalah erat kaitannya dengan keadilan terhadap yatama dalam konteks turunnya ayat ini.9 Kemudian imam asSyafii memberikan beberapa catatan tentang jumlah empat ini, yaitu
bahwa khitob ayat ini adalah khusus bagi ahrar (orang yang merdeka, tidak mamalik atau abd), dengan alasan bahwa ahrar lebih memiliki kapabilitas dalam masalah nafkah, dan pasti lebih mampu secara
ekonomi, dengan begitu maka sangat kecil kemungkinan untuk
berbuat aniaya.10
Sementara yang lebih menarik adalah penafsiran yang disampaikan oleh Muhammad Syahrur, dengan teorinya Syahrur menawarkan
dua persyaratan bagi pelaku poligami yaitu syarat kammiyyah (kuantitas) menyangkut batasan jumlah perempuan yang hendak di poligami yakni batas minimal dua dan batas maksimal empat. Hal ini karena
tidak mungkin seorang suami hanya menikahi setengah istri, dan itu
pun belum cukup, masih ada syarat lain yaitu syarat nawiyyah (kualitas) yang menyangkut kualitas orang yang melakukan poligami yaitu
harus ada kekhawatiran untuk tidak dapat berbuat adil kepada anakanak yatimnya, pelaku poligami harus dapat berusaha untuk dapat
berlaku adil sementara batasan lain yaitu istri pertama boleh perawan
boleh janda tetapi istri kedua, ketiga dan keempat harus janda yang
memiliki anak yatim.11
Sebenarnya hikmah apa yang terkandung dalam penentuan jumlah yang empat ini, terkadang memang hal ini menjadi pertanyaan
dikalangan awam. Memang tentang masalah ini terdapat beberapa
pandangan diantaranya adalah ada yang mengatakan bahwa hal itu
mungkin berkaitan dengan adaptasi dari empat musim, ada juga yang
M.Quraish Shihab,Wawasan Al-Quran, Tafsir MaudhuI atas Pelbagai Persoalan Umat, (Mizan,
Bandung, 2001), hlm 199-200
9
Ibnu Abi Hatim Al-Razi, Tafsir al-Quran al-Azhim, hlm.859
10
Tafsir Imam as-SyafiI Jilid 2, hlm. 514-518
11
Abdul Mustaqim, Konsep Poligami Menurut Muhammad Syahrur,dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu alQuran dan Hadits, vol. 8, no. 1. Januari 2007, hlm 53-54
8

19

menyimpulkan karena jumlah laki-laki dan perempuan adalah 1 banding 4. Yang lainnya berpendapat karena kalangan laki-laki mencoba
menghimpun berbagai jenis wanita, ada yang tinggi, pendek, kurus,
atau gemuk dalam soal bentuk tubuh. Ada yang memahami dari jenis
kulit wanita yaitu ada yang putih, pirang, hitam manis, atau kuning
langsat. Ada juga yang ingin menghimpun wanita yang beragama
kuat, berparas cantik, memiliki banyak harta, dan yang memiliki keturunan bangsawan (sebagaimana yang diserukan dalam memilih istri).
Sampai-sampai ada yang memahami bahwa masalah jumlah empat
itu sesuai dengan siklus bulanan wanita yang memiliki kebiasaan haid.
Tetapi apapun yang terjadi dengan alasan-alasan di atas, toh semua
itu hanyalah merupakan pemahaman ijtihadiyyah yang bisa benar dan
bisa juga salah. Hanya Allahlah yang maha Tahu.
Bagaimanapun bentuk penafsiran tentang jumlah yang telah
ditawarkan di atas ternyata memang tidak ada satupun yang secara
tegas melarang poligami kecuali hanya pesan moral yang diselipkan
sebagai motivasi bahwa monogamy adalah menempati posisi yang
lebih aman.

Tentang Adil
Masalah keadilan yang secara eksplisit dipahami sebagai syarat
diperbolehkannya poligami juga menjadi perdebatan pemahaman
tersendiri, hal ini memang terkait erat dengan pernyataan wa in
khiftum an laa tadiluu fawahidatan aw maa malakat aimanukum (jika
kamu takut tidak dapat berlaku adil maka kawinilah seorang saja atau
budak yang kamu miliki), sehingga pertanyaan yang sering muncul
adalah bentuk keadilam yang seperti apa yang diharapkan dalam
masalah ini?
Ada sebagian yang memahami bahwa maksud adil terhadap istri
adalah sekadar apa yang dapat dilakukan seseorang untuk berlaku
adil, misalnya dalam hal membagi waktu, nafkah, pakaian, dan tempat
tinggal. Adapun yang tidak dapat dilakukan oleh seseorang seperti
melebihkan cintanya kepada salah seorang istri maka tidak termasuk
dosa.12

12

H.S.A Al-hamdani, Risalah Nikah, terj. Agus Salim (Jakarta; Pustaka Amani, 2002) hlm. 38

20

Abdul Wahab Saleem - Sihir Ayat Poligami

M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa keadilan merupakan


syarat diperbolehkannya poligami dengan mengaitkannya dengan ayat;

Artinya; Kamu sekali-kali tidak dapat berlaku adil diantara istri-istrimu,


walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu
selalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatun-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri
(dari kecurangan), maka sesunguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang (An-Nisaa. 129).

Menurut beliau bahwa keadilan yang dimaksud ayat ini adalah


keadilan dibidang immaterial (cinta). Itu sebabnya hati yang berpoligami dilarang memperturutkan hatinya dan berkelebihan dalam kecenderungan kepada yang di cintai.13 Jadi pemahaman ini secara otomatis
menampik pemahaman yang mengatakan bahwa ayat di atas adalah
bukti larangan poligami.
Dr. Musfir al-Jahrani menerangkan bahwa ada sebagian kalangan
yang berusaha menjadikan ayat-ayat dalam QS. An-Nisa; 3 dan 129
adalah merupakan ayat-ayat yang melarang praktik poligami karena
satu sisi poligami disyaratkan harus bisa berbuat adil sementara sisi
lain mengatakan bahwa keadilan adalah hal tidak mungkin. Tetapi
beliau mengatakan bahwa pemahaman seperti itu keliru, karena syariat
Allah tidak mungkin membolehkan satu pekerjaan dalam satu ayat
tertentu dan mengharamkannya dalam ayat lain. Sehingga beliau juga
memahami bahwa tuntutan adil yang diharapkan pada ayat pertama
adalah mencakup adil dalam hal yang berkaitan dengan kebutuhankebutuhan lahiriyah atau nyata. Adapun adil yang kebanyakan suami
tidak mampu adalah keadilan menyangkut rasa cinta atau perasaan
sayang, karena sangat dimungkinkan antara istri yang satu dengan
istri yang lain terdapat perbedaan dimensi perasaan, sebagimana
Rasulullah orang yang paling mengetahui tentang agama dan yang
13

M. Quraish Shihab, Op.Cit. hlm. 201

21

paling berhasrat melaksanakan keadilan terhadap istri-istrinya- saja


lebih mencintai Aisyah dibanding istri-istri yang lain.14
Jadi, seberapa ragamnya penafsiran tentang adil di sini, tetapi
muaranya tetap pada nilai moral yang tersembunyi dibalik konteks
ayat itu, yaitu monogamy lebih aman dan poligami berposisi sebagai
solusi alternatif bagi pemecahan problem sosial dan keberadaannya
bukan malah menimbulkan problem baru.

C. Fleksibilitas Penafsiran Ayat-Ayat Poligami.


Penulis disini hanya ingin menekankan bahwa pada prinsipnya
poligami adalah boleh, tetapi kebolehan ini kemudian seharusnya
menjadi ajang penafsiran yang sangat elastis bukan kaku.
Pertama kali yang ingin penulis ungkap disini bahwa praktik
poligami sudah terjadi sejak pra-Islam atau pra-Muhammad terutama
di kalangan bangsa-bangsa yang beradab (bukan suku liar) baik di
kalangan Yahudi, bangsa Iran zaman sassania, Persia, imperium
Romawi maupun beberapa bangsa lainnya yang rata-rata melakukan
praktik poligami tanpa aturan dan batas. Maka jelaslah bahwa Islam
bukanlah yang memperkenalkan praktik poligami dan yang mengawalinya, justru sebaliknya bahwa Islam telah meletakkan batasan-batasan
atasnya meskipun tidak menghapusnya secara total. Sehingga aneh
apabila di abad pertengahan terdapat propaganda yang dilancarkan
terhadap Islam yang mengatakan bahwa Islamlah yang memperkenalkan poligami dan poligami ini dituduh sebagai fondasi Islam, karena
praktik ini dianggap sebagai penyebab cepatnya penyebaran Islam
sekaligus penyebab kemunduran dunia Timur.15
Pensyariatan poligami yang awalnya merupakan pemberian
solusi alternatif atas masalah-masalah sosial- sebenarnya memang
tidak hanya terbatas dengan pertimbangan jumlah dan kemampuan
berbuat adil saja, tetapi lebih kompleks dari itu, penulis memahami
Dr. Musfir al-Jahrani, Op.Cit, hlm. 58-59. Di sana juga dijelaskan bahwa Rasulullah saw
pernah berdoa mohon pengertian dari Allah karena kecenderungan beliau lebih mencintai
Aisyah di banding istri-itri yang lain (Ya Allah inilah bagianku yang mampu aku laksanakan,
janganlah mencelaku tentang yang Engkau miliki tapi tidak aku miliki [keadilan bercinta]).
Lihat juga misalnya H.S.A. Al-Hamdani, Risalah Nikah, 39
15
Murtadha Muthahhari, Duduk Perkara Poligami,terj. M. Hashem (Jakarta; PT Serambi Ilmu
Semesta, 2007), Hlm. 17-27
14

22

Abdul Wahab Saleem - Sihir Ayat Poligami

bahwa ayat yang dianggap sebagai ayat poligami sebenarnya adalah


ayat motivasi bagaimana kita bisa menjadi orang yang kaya dan banyak
harta, bagaimana kita mau berbagi dengan sesama, bagaimana kita
membangun kebahagiaan dunia akhirat, dan bagaimana kita termotivasi untuk berlaku adil. Dan itu semua dimotivasikan dengan imingiming pernikahan (untuk tidak menyebut wanita), karena pernikahan
merupakan satu-satunya langkah yang paling mendapat toleransi
untuk terbentuknya sebuah keluarga, dan keluarga merupakan
miniatur masyarakat. Jadi, konsep berbagi, konsep pemerataan, konsep
kebahagiaan, dan juga konsep keadilan paling tidak dipelajari penerapannya dalam lingkungan keluarga terlebih dahulu, sehingga semakin
banyak anggota keluarga yang dimiliki maka semakin kompleks pula
dinamika yang muncul. Dan di sinilah kita kita diuji kapabilitas dan
moralitas kita untuk selanjutnya dilanjutkan ke ranah yang lebih luas.
Sementara selama ini penafsiran yang ada hanya berbicara seputar
yang menolak dan yang mendukung dengan berbagai argumentasi
yang berwarna-warni, tetapi harus tegas dikatakan di sini bahwa poligami adalah elastis, adapun kadar elastisitasnya adalah bisa juga
wajib, bisa juga sunnah, bisa juga makruh dan bisa juga haram..
Kita tidak boleh hanya terpaku pada ayat yang hanya kita pahami
secara kaku sehingga terjebak pada pembicaraan hitam putih kulit
tanpa mempertimbangkan konteksnya, begitu juga ketika memahami
konteks juga tidak boleh hanya satu perspektif sehingga terperangkap
dalam sebuah idol interpretasi.
Mereka yang terjebak dalam hitam-putih teks akan mengatakan
bahwa poligami adalah sunnah Nabi dan ketentuan syariah Allah
yang sudah qathi tertera dalam nash al-Quran dan mereka akan
mati-matian membela pemahaman teks tersebut sebagai alasan
legalisasi praktik poligami.
Kemudian yang terjebak dalam pandangan bahwa poligami adalah
ajang pemuasan dorongan seksual meski dengan diberi embel-embel
kata halal karena sudah dalam ikatan pernikahan, mereka seakanakan belum rela akan kondisi wanita yang diposisikan sebagai subordinate, karena wanita dan laki-laki memiliki hak yamg sama dalam
segala segi kehidupan, dan wanita juga banyak yang lebih kaya dari
laki-laki, banyak yang lebih bisa adil daripada laki-laki, sementara
23

banyak juga laki-laki duda yang terlantar di mana-mana, sehingga


alasan apapun yang menjadi argumentasi pembolehan poligami untuk
laki-laki toh bisa diterapkan juga pada wanita, kenapa laki-laki boleh
melakukan poligami tetapi wanita tidak diperbolehkan poliandri?
Begitu juga mereka yang menganalisa bahwa poligami merupakan
suatu solusi alternatif untuk memecahkan problem sosial mereka akan
mengatakan bahwa dalam kondisi tertentu maka praktik poligami akan
menjadi hal yang wajib begitu pula dalam kondisi tertentu poligami
akan menjadi hal yang haram. Dan masih banyak lagi aneka pemahaman tentang dinamika praktik poligami ini disertai berbagai macam
argumentasi yang menguatkan atau bahkan melemahkan pemahaman
tersebut.
Sebagai misal, Fatimah Mernissi16 memahami bahwa terdapat
keanehan yang kemudian perlu digarisbawahi dalam ayat yang selama
ini di pahami oleh banyak orang sebagai dalil yang melegalisasi praktik
poligami yaitu QS. An-nisa; 03, yaitu bahwa satu-satunya syarat yang
membatasi hak seorang laki-laki untuk melakukan praktik poligami
adalah adanya sebuah kekhawatiran untuk tidak dapat berbuat adil.
Dia mengatakan bahwa itu adalah merupakan sebuah perasaan yang
sangat subjektif dan sulit ditentukan secara hukum.17
Sebagai penentang praktik poligami, Fatimah berpendapat bahwa
al-Quran tidak menetapkan suatu justifikasi (pembenaran) terhadap
poligami dengan berdasar pada QS. An-nisa; 129. Dia juga memahami
bahwa poligami merupakan ajang pemuasan atau pemenuhan terhadap dorongan seksual laki-laki dan merupakan suatu cara untuk merendahkan derajat dan martabat kaum wanita sebagaimana kalimat
yang ia sitir dari kata mutiara Maroko Rendahkan martabat seorang
wanita dengan memasukkan wanita lain ke dalam rumah.18
Merupakan sebuah kewajaran apabila Mernissi memberontak
praktik poligami dengan berbagai argumentasi yang sangat mendasar,
Fatimah Mernissi adalah tokoh feminis asal Maroko yang ahli dalam bidang politik dan
sosiologi, yang juga sangat produktif menulis beberapa karya tentang HAM, demokrasi
maupun posisi perempuan dan tafsir feminis baik berupa artikel maupun buku. (Lihat misalnya
Abraham Silo Wilar, Poligini 84-96s)
17
Fatimah Mernissi, Beyond The Veil, Seks dan Kekuasaan. Terj. Masyhur Abadi (Surabaya; Al-fikr,
1997), hlm. 110
18
Ibid, hlm. 110-112
16

24

Abdul Wahab Saleem - Sihir Ayat Poligami

karena Mernissi pernah mengalami kekecewaan sejarah yang akhirnya


membentuk kepribadiannya. Fatimah Mernissi lahir di Maroko sebelah
Barat daya Madrid yang merupakan ibukota kaum kristiani, di sini dia
telah merasakan sebuah perbenturan budaya, ia lahir di tengah situasi
yang serba kacau karena kaum Kristen maupun kaum perempuan
menolak batas-batas suci yang terdapat di Maroko.19 Dalam perkembangannya Mernissi sebagai seorang perempuan pemberontak yang
kritis terhadap produk undang-undang Maroko yang masih mensubordinatkan kaum perempuan.20
Mernissi juga terlahir sebagai cucu dari seorang nenek yang juga
merupakan selir, sebagaimana pengakuannya sendiri bahwa neneknya
dulu diculik di daerah Chaonia, kemudian dijual di Fez. Yang selanjutnya melahirkan ibunya sebagai seorang selir dari seorang anggota
borjuis kota yang banyak memiliki tanah.21 Sejak kecil, Mernissi selalu
diajari oleh ibunya supaya tidak terlalu menjadi penurut serta berani
belajar berteriak dan memprotes sebagaimana dia belajar berjalan dan
berbicara, dan tidak hanya itu, ibunya juga selalu menanamkan sebuah
penolakan terhadap superioritas laki-laki dan menganggapnya sebagai
omong kosong dan bertentangan dengan Islam.22 Sehingga diakui
atau tidak bahwa relasi Mernissi dengan ibunya ini telah menanamkan
sebuah investasi bawah sadarnya tentang kesetaraan laki-laki dan
perempuan, dan investasi bawah sadar ini mendapatkan afirmasi di
dalam kehidupan Mernissi lewat pengenangan dia atas memori
kolektif kaum muslim terhadap kaum perempuan.23
Berbeda dengan Mernissi adalah Murtadha Muthahhari yang
lebih memahami bahwa Islam membenarkan poligami dan tidak
menghapuskannya tetapi tetap dalam kondisi, batas serta restriksi
bagaimana poligami itu diizinkan. Beliau mengatakan bahwa dengan
diperbolehkannya praktik poligami dalam Islam bukan berarti untuk
merendahkan derajat kaum wanita akan tetapi justru memberikan
pembaktian yang besar baginya. Beliau juga mengungkapkan apabila
terjadi kasus kelebihan porsi jumlah wanita atas pria dalam usia kawin
Abraham Silo Wilar, Op.Cit, hlm. 88
Fatimah Mernissi, Op.Cit, hlm 110
21
Ibid, hlm.113
22
Abraham, Op.Cit, hlm. 90
23
Ibid, hlm. 107
19
20

25

dan membutuhkan perkawinan, yang sejak dahulu, sekarang, dan


yang akan datang selalu ada dan poligami tidak diperkenankan maka
justru kaum wanita akan menjadi alat permainan yang paling rendah
dari kaum pria.24
Muthahhari membeberkan dan juga telah mengkaji secara jelas
alasan mengapa dia berpendapat seperti itu, terutama yang berkenaan
dengan perbandingan jumlah wanita dan pria usia kawin, mungkin
jumlah kelahiran antara pria dan wanita bisa sama atau bahkan lebih
banyak pria, akan tetapi dalam usia kawin selalu lebih banyak pria,
dan hal ini hampir terdapat diseluruh dunia.
Muthahhari mencontohkan berdasarkan data statistik yang dikeluarkan oleh PBB bahwa jumlah total penduduk Korea adalah
26.277.635 yang terdiri atas 13.145.289 pria dan 13.132.346 wanita,
jadi di sini jumlah pria lebih banyak 12.943 melebihi jumlah wanita,
perbandingan ini secara seragam bertahan dalam usia 19 tahun ke
bawah, akan tetapi lain halnya dengan usia 20 sampai dengan 24
tahun, proporsinya berubah yaitu jumlah pria dalam kelompok ini
adalah 1.083.364 sedangkan jumlah wanita mencapai 1.110.051.
Begitu pula yang terjadi di Republik Soviet dan Negara-negara lainnya
bahkan di Amerika Serikat.25
Masih banyak lagi analisa yang dikemukakan oleh Murtadha
Muthahhari termasuk data yang didapatkannya dari surat kabar
Etelaat edisi Desember 195426 dalam sebuah artikel yang berjudul
Dari Setiap Sepuluh Anak Inggris, Satu Anak Haram seorang pejabat
kedokteran London yaitu Dr. ZA Scott melaporkan bahwa dari setiap
sepuluh anak yang lahir, satu diantaranya tidak sah, dan kondisi
semacam ini diprediksi akan semakin meningkat pada tahun-tahun
berikutnya.27
Murtadha Muthahhari, Op.Cit, hlm.150-154. Bahkan dia menjelaskan bahwa pria-pria modern yang menolak poligami ternyata lebih disebabkan karena mereka tidak suka formalitas,
yang berbentuk pernikahan, nafkah, mahar dan sebagainya. Akan tetapi mereka justru
melampiaskan nafsu serta cinta mereka dengan jalan perselingkuhan atau berganti-ganti
pasangan secara bebas tetapi di luar pernikahan sebagaimana yang dilakukan oleh Moise
Tshombe dan Bertrand Russel.
25
Ibid, hlm 72-78
26
Mohon maaf karena penulis belum dapat menyajikan data statistik yang paling terkini tentang
hal-hal yang berkaitan dengan perbandingan jumlah pria-wanita usia kawin maupun jumlah
anak haram yang terlahir. Baik di Indonesia maupun di Negara yang lain.
27
Ibid. hlm. 91-92
24

26

Abdul Wahab Saleem - Sihir Ayat Poligami

Dengan demikian, baik pemahaman penafsiran Mernissi maupun


Murtadha Muthahhari atau bahka Shahrur sebenarnya bisa diterapkan
dalam kondisi tertentu. Sehingga elastisitas pemahaman akan duduk
perkara praktik poligami itu jelas.
Misalnya di Indonesia, praktik poligami justru seharusnya dijadikan sebagai solusi alternatif dari maraknya kasus pelecehan seksual,
perzinahan, komunisme seksual, atau apapun sebutannya. Atau bahkan digunakan sebagai kampanye anti AIDS bukan malah mengkampanyekan kondomisasi yang justru seakan-akan didalamnya terkandung pesan legalisasi perzinahan meskipun dalam kerangka meminimalisasi ataupun tujuan penyelamatan. Dan yang lebih aneh lagi bahkan banyak yang mempermasalahkan para tokoh agama atau tokoh
masyarakat (yang sudah barang tentu memahami dan memiliki alasan
kuat) yang berpoligami, tetapi kalau artis (padahal sama-sama publik
figur) yang melakukan poligami justru menjadi hiburan dan tontonan
yang sangat menarik bagi mereka (tanpa menyadari bahwa mereka
telah tereksploitasi oleh media dan kapitalisme). Lebih mengherankan
lagi masalah poligami sangat ditentang keras apapun alasannya, akan
tetapi masalah perselingkuhan, kumpul kebo, dan komunisme seksual
justru sedikit sekali ada yang bicara lantang untuk menentangnya,
bahkan masalah besar ini hanya dianggap sebagai masalah sosial biasa
dengan alasan paling selamat mengkambing hitamkan zaman.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa penempatan ulang masalah
sesuai dengan proporsinya, kemudian elastisitas pemahaman dan
penafsiran sesuai dengan konteks maslahah yang sesuai dengan nash
menjadi hal yang niscaya dalam memahami berbagai macam persoalan
sosial sekaligus memberi solusi alternatif atasnya, sebagaimana
poligami yang seharusnya dikaji secara elastis dan ditempatkan pada
muara solusi bukan pada muara problem.

Penutup.
Poligami atau lebih tepatnya poligini dengan berbagai macam
persyaratan yang melingkupinya apabila dibandingkan dengan
perzinahan, pelecehan seksual, komunisme seksual dan penyimpangan-penyimpangan seksual yang lain merupakan hal yang paling bisa
dianggap solusi dan paling bisa ditoleransi keberadaannya. Sehingga
27

dalam satu kondisi poligami bisa dijadikan solusi alternatif, akan tetapi
dalam kondisi tertentu pula monogami adalah hal yang prinsip dalam
pernikahan. Dan pastinya kondisi ini menyangkut analisa dan kajian
baik yang bersifat sosiologis, psikhis, ekonomis, maupun politis.
Dengan demikian, elastisitas pemahaman ataupun elastisitas
tafsir poligami adalah sebuah keniscayaan. Sehingga tidak terjebak
dalam nuansa hitam-putih hukum atau tidak memandang suatu
masalah hanya dari satu perspektif.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mustaqim, Konsep Poligami Menurut Muhammad Syahrur, dalam
Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Quran dan Hadits, vol. 8, no. 1.
Januari 2007
Abdur Rahman Ibn Muhammad ibn Idris al-Razi ibn Abi Hatim, Tafsir
al-Quran al-Azhim (Riyadh; Maktabah Nizar Musthafa alBaz, 1997)
Abraham Silo Wilar, POLIGINI NABI, Kajian Kritis-Teologis Terhadap
Pemikiran Ali Syariati dan Fatimah Mernissi (Yogjakarta:
Pustaka Rihlah, 2006)
DR.Ahmad ibn Musthafa al-Farran, Tafsir Imam as-SyafiI Jilid 2
(Riyadh; Daar Tadammuriyyah, 2006)
Dr.Muhammad al-Habsy, Al marah baina al-syariah wa-al-hilah
(Damaskus; Daar al- Tajdid, 2002)
Dr. Musfir Husain al-Jahrani, Poligami dari berbagai Persepsi, terj.
Muh.Suten Ritonga, (Jakarta, Gema Insani Press, 2002)
Fatimah Mernissi, Beyond The Veil, Seks dan Kekuasaan. terj. Masyhur
Abadi (Surabaya; Alfikr, 1997)
H.S.A Alhamdani, Risalah Nikah, terj. Agus Salim (Jakarta; Pustaka
Amani, 2002)
Murtadha Muthahhari, Duduk Perkara Poligami, terj. M. Hashem
(Jakarta; PT Serambi Ilmu Semesta, 2007),
M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhui atas Pelbagai
Persoalan Umat, (Mizan, Bandung, 2001)
28

SKETSA PENDIDIKAN ISLAM


MASA AWAL
Drs. Abdul Majid. M.Pd.
Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UNSIQ Wonosobo

Abstraksi:
Potret pendidikan Islam dari masa ke masa selalu menunjukkkan
dinamika yang unik, maju dalam banyak hal dan juga dinilai mundur
dalam beberapa hal. Di tengah berbagai problema yang dihadapi umat
manusia, pendidikan Islam selalu menjadi pusat perhatian, pusat
gugatan dan sekaligus pusat kajian, tidak hanya pada ranah paradigma,
nilai-nilai, konstribusi dan faktor kesejarahan.
Tulisan ini akan membahas tentang bagaimana gambaran awal
pendidikan Islam yang telah nyata berkonstribusi dalam menciptakan
peradaban besar berbagai bangsa di dunia. Tulisan ini secara spesifik
akan mengkaji tentang potret pendidikan Islam pada masa-masa awal.

Kata Kunci: Sejarah, Pendidikan Islam,

A. Pendahuluan
Sejarah masa awal pendidikan Islam tidak dapat dipisahkan dengan
sejarah awal Islam lahir dan berkembang di tanah Arab. Dimana
kelahiran Islam saat itu secara sosiologis, bangsa Arab -khususnya
masyarakat Makkah- mengalami perkembangan ekonomi yang cukup
tinggi dengan hadirnya orang-orang non-jazirah Arab di Kota Mekkah
untuk berdagang menjual dan memasarkan hasil pertanian mereka.
Dengan adanya pasar yang cukup ramai tersebut, masyarakat Makkah
mendapatkan dinamika atau progres kehidupan yang luar biasa.
Sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Arab yang demikian,
Allah SWT memberikan wahyu kepada Rasulullah Muhammad SAW,
yang diabadikan dalam QS. Quraish (106): 1-2.
29

1. karena kebiasaan orang-orang Quraisy,


2. (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas1

Kondisi sosial yang demikian, dapat memberikan gambaran bahwa bangsa Arab -masa pra dan awal Islam- telah memiliki pengetahuan
dan peradaban terutama dalam bidang perdagangan atau ekonomi.
Karena Makkah pada waktu (akan) munculnya Islam telah menjadi
sebuah kota yang multi fungsi, yakni: sebagai pusat bisnis dan niaga
internasional, tempat transit (jawa: menginap) bagi para kafilah dagang
yang berasal dari luar Makkah serta adanya KABAH sebagai pusat
peribadatan berbagai suku di Jazirah Arab. Fungsi lain bagi Makkah
adalah pusat seni-budaya, karena berbagai suku di jazirah Arabia biasa
melakukan pekan raya sastra, khususnya di pasar Ukadz tempat
berlomba puisi dan pidato antar berbagai suku.2

B. Pembahasan
Kondisi masyarakat yang maju dalam bidang ekonomi dan kesusastraan, pada masa awal kehadiran Islam, belum diimbangi dengan
kemajuan dalam bidang pendidikan. Hal ini dapat dilihat masih sedikitnya bangsa Arab yang memiliki kemampuan membaca dan menulis.
Bahkan mereka belum mengenal kertas, sebagai kertas yang dikenal
sekarang. Perkataan al-waraq (daun) yang lazim pula dipakaikan
dengan arti kertas di masa itu, hanyalah dipakaikan pada daun kayu
saja.3
Adapun kata al-qirthas yang daripadanya terambil kata-kata
Indonesia kertas dipakaikan oleh mereka hanyalah kepada bendabenda (bahan-bahan) yang mereka pergunakan untuk ditulis, yaitu:
kulit binatang, batu yang tipis dan licin, pelepah tamar (korma), tulang1

2
3

Orang Quraisy biasa mengadakan perjalanan terutama untuk berdagang ke negeri Syam pada
musim panas dan ke negeri Yaman pada musim dingin. Dalam perjalanan itu mereka mendapat
jaminan keamanan dari penguasa-penguasa dari negeri-negeri yang dilaluinya. Ini adalah
suatu nikmat yang amat besar dari Tuhan mereka. Oleh karena itu sewajarnyalah mereka
menyembah Allah yang telah memberikan nikmat itu kepada mereka.
Syauqi Dhoif, Tarikh al-Adab al-Arabi al-Jahili, Mesir, Darul Maarif, t.t. 38.
Al-Quran dan Terjemahnya, Mujamma Al-Malik Al-Fahd li Thibaat Al-Mushhaf Asy-Syarif
Medinah Munawwarah, P.O. BOX 6262, Kerajaan Saudi Arabia, 1418 H., hal. 18.

30

Drs. Abdul Majid. M.Pd. - Sketsa Pendidikan Islam Masa Awal

tulang binatang dan seterusnya. Padanan kata lain yang mempunyai


arti kertas pada masa awal Islam adalah al-kaqhid yang berasal dari
bahasa Persia setelah ditaklukkan oleh Islam. Karena itu, kata alkaqhid ini pada masa Nabi belum dikenal.
Sedangkan kitab atau buku tentang apapun, juga belum ada pada
mereka. Kata-kata kitab dimasa Nabi hanyalah berarti: sepotong
kulit, batu, atau tulang dan sebagainya yang telah tertulis, seperti kata
kitab dalam QS. An-Naml (27): 28 sebagai berikut:

Pergilah dengan (membawa) suratku ini, lalu jatuhkan kepada mereka,


kemudian berpalinglah dari mereka, lalu perhatikanlah apa yang mereka
bicarakan

Makna dari Ayat di atas juga sebagai penjelasan dari kutub


(jama kitab) yang dikirimkan oleh Nabi kepada raja-raja di masanya,
untuk menyeru mereka kepada Islam.
Sebab itu pulalah, maka di waktu al-Quranul Karim dibukukan
pada masa Khulafaur Rasyidin (Utsman bin Affan ra.), bermacammacamlah pendapat sahabat tentang nama yang harus diberikan.
Akhirnya mereka sepakat menamainya Al-Mushhaf (ism maf ul dari
ashafa dan kata ashafa artinya mengumpulkan (shuhuf), jama dari
shahifah artinya lembaran-lembaran yang telah tertulis.
Meskipun mayoritas bangsa Arab di masa awal kehadiran Islam
masih buta huruf (belum bisa membaca dan menulis), tetapi mereka
memiliki ingatan yang sangat kuat. Hal ini dapat diperhatikan dari
pegangan mereka dalam memelihara dan meriwayatkan syair-syair
dari pujangga-pujangga dan penyair mereka, ansab (silsilah keturunan) mereka, peperangan-peperangan yang terjadi pada mereka, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dan kehidupan mereka
setiap hari dan lain sebagainya, adalah dari hafalan-hafalan mereka
semata-mata.4
Namun menurut Fazlur Rahman dalam bukunya Islam, mengatakan bahwa keterampilan membaca dan menulis bangsa Arab

Ibid, hal. 19.

31

meningkat dengan hadirnya Islam. Dikatakannya, pada tahap-tahap


awal setelah tersebarnya Islam, guru-guru pada lembaga-lembaga
pengajaran dasar (kuttab) terutama sekali adalah orang-orang nonmuslim, khususnya Yahudi dan Kristen. Namun setelah kedatangan
Islam, perubahan besar terjadi. Karena, di samping penguasaan keterampilam membaca dan menulis bangsa Arab meningkat, Islam juga
pertama kalinya memberikan instrumen pendidikan tertentu yang
berbudayakan agama, yaitu al-Quran dan ajaran-ajaran Nabi.5
Kemudian, untuk membahas pendidikan masa awal Islam tersebut, penulis melakukan kajian historis-sosiologis dengan pendekatan
deduktif - komparatif. Pendekatan deduktif-komparatif itu, misalnya
memperbandingkan model, konsep, kurikulum, pendidik dan peserta
didik, alat/media, lingkungan, dan evaluasi pendidikan sekarang (2011)
dengan pendidikan pada masa awal Islam (di era Rasulullah). Adapun
komparasi itu terbatas pada pokok-pokok masalah dalam pendidikan
sebagai berikut:
1. Tujuan Pendidikan
Pada masa awal Islam, tujuan pendidikan yang utama adalah
mencetak sahabat dan umat yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan yang menciptakan manusia, agar menjadi khalifah fil ardh
yang membawa rahmat, kedamaian dan kesejahteraan.
Hal ini dapat dicermati dari wahyu Allah SWT yang pertama
kali diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad SAW, sebagai
ajaran yang berlaku kepada diri pribadi Muhammad dan seluruh
umat manusia. Ajaran wahyu pertama (awalan) adalah perintah
membaca. Manusia diminta membaca asal-usul kejadiannya.
Setelah itu, harus mengingat bahwa asal-usul kejadian manusia
adalah ada yang menciptakan. Maka membaca (belajar) apapun,
bermula membaca diri sendiri, manusia sebagai makhluk, harus selalu
mengingat (menyebut) Yang Menciptakan (Al-Khaliq). Sebagaimana firman Allah QS. Al-Alaq (96): 1-2.

Fazlur Rahman, Terjemah Ahsin Muhammad, Islam, Cet. IV, PUSTAKA, Bandung, 2000, hal.
263.

32

Drs. Abdul Majid. M.Pd. - Sketsa Pendidikan Islam Masa Awal

1). bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,


2). Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.

Tujuan pendidikan yang demikian itu, bermakna dan jauh ke


depan, dimana manusia diajarkan agar terus membaca (belajar)
apapun dan kapanpun dalam hidup dan kehidupannya, dengan
tetap memiliki keyakinan penuh terhadap Tuhan Yang Menciptakan
semua makhluk, termasuk umat manusia. Makna lain berikutnya,
manusia memiliki kesadaran diri dengan asal-usulnya agar memahami hidup dan kehidupan manusia lain -bahkan makhluk ciptaan
Allah yang lain- agar mendapatkan perhatian sebagaimana dirinya.
Manusia hidup bukan hanya untuk hidup dalam menghidupi diri
sendiri. Tetapi manusia hidup sejatinya, di samping mempertahankan hidupnya, juga memperhatikan kehidupan makhluk dan manusia lain. Inilah manusia yang mengerti dirinya, sehingga ia mengerti
selalu akan adanya Tuhan Yang Maha Menciptakan semua
makhluk.
Konsep pendidikan yang demikian menunjukkan bahwa Islam sejak masa awal berdirinya merumuskan adanya Life Long Education (pendidikan sepanjang hayat). Pendidikan yang humanis.
Pendidikan yang memberdayakan hidup dan kehidupan.
2. Kurikulum Pendidikan
Isi atau materi kurikulum pada masa awal Islam antara lain
adalah: tulis dan baca al-Quran. Pernyataan tersebut dapat diperhatikan QS. Al-Alaq (96): 3-5 sebagai berikut:

3). Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,


4). yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam[1589],
5). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.

Pada proses awal pembelajaran tulis baca al-Quran, dianjurkan oleh Nabi kepada para sahabat untuk menghafal dan membaca
33

Ayat-ayat al-Quran. Dan sebagian diwajibkannya untuk dibaca pada


saat sholat.
Berikutnya, setiap kali ayat-ayat al-Quran diturunkan, Nabi
memerintahkan kepada para sahabat untuk menghafalkannya dan
menuliskannya di batu, kulit binatang, pelepah kurma, dan apa
saja yang bisa disusun, dalam sesuatu surat. Nabi menjelaskan
tertib urutan ayat-ayat itu, Nabi mengadakan peraturan, hanya alQuran saja yang dituliskan. Selain ayat-ayat al-Quran, Hadits atau
pelajaran-pelajaran yang mereka dengar dari Nabi, tidak boleh
dituliskan. Larangan ini dengan maksud supaya al-Quran al-Karim
terpelihara, tidak tercampur dengan yang lain-lain yang juga di
dengar dari Nabi.
Kemudian berdasarkan tema atau topik dari materi kurikulum
inti pada masa awal Islam yang terutama adalah Tauhid. Di mana
berdasarkan periodisasi dari tempat dan waktu diturunkan wahyu,
yakni: periode pertama, Makkiyah (+ 13 tahun/610-622 M) Nabi
lebih banyak mengajarkan tentang keimanan dan ketakwaan.
Sedangkan pada periode kedua, Madaniyah (+ 10 tahun/622-632
M) Nabi mengajarkan beberapa materi kurikulum, antara lain:
Tauhid, ibadah Sholat, adab di masyarakat, adab dalam keluarga, amar
maruf nahi munkar, dan kepribadian.
Materi-materi kurikulum pendidikan pada masa awal Islam
itu ditunjukkan, misalnya dalam al-Quran Surat Luqman (31):
12-19.6
12. dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu:
Bersyukurlah kepada Allah. dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah),
maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang
tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
13. dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia
memberi pelajaran kepadanya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan
Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman
yang besar.
14. dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun[1180]. bersyukurlah
kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
6

Al-Quran dan Terjemahnya, Loc.cit., hal. 654-655.

34

Drs. Abdul Majid. M.Pd. - Sketsa Pendidikan Islam Masa Awal

15. dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku


sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu
mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan
ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah
kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
16. (Luqman berkata): Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu
perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di
dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya).
Sesungguhnya Allah Maha Halus[1181] lagi Maha Mengetahui.
17. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan
yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah
terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk
hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
18. dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena
sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri.
19. dan sederhanalah kamu dalam berjalan [1182] dan lunakkanlah
suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
[1180] Maksudnya: Selambat-lambat waktu menyapih ialah setelah anak
berumur dua tahun.
[1181] Yang dimaksud dengan Allah Maha Halus ialah ilmu Allah
itu meliputi segala sesuatu bagaimana kecilnya.
[1182] Maksudnya: ketika kamu berjalan, janganlah terlampau cepat
dan jangan pula terlalu lambat.

3. Strategi dan Metode Pembelajaran


Untuk menyampaikan materi-materi pengetahuan dan keilmuan di atas, Nabi sering menggunakan strategi tatap muka langsung.
Sementara itu, metode yang digunakan adalah: ceramah/khithobah
untuk menyampaikan wahyu/ayat-ayat al-Quran yang diturunkan
kepadanya secara langsung. Selain itu, metode pembelajaran yang
dilakukan Nabi adalah metode hafalan. Khususnya hafalan dengan
repetition (ulangan). Tujuannya untuk mempermudah dan mempertebal ingatan dari ayat-ayat al-Quran yang telah dihafalkan sebelumnya. Strategi pembelajaran berikutnya, yang masih terus dikembangkan dan diadopsi sampai sekarang adalah uswatun hasanah
(memberikan keteladanan), dengan metode pembiasaan melakukan
yang baik bahkan terbaik. Contoh penerapan dalam proses pendi35

dikan model ini -lebih sering- dilakukan pada masalah-masalah


kemasyarakatan dan pemerintahan. Misalnya; 1) Nabi memberikan
teladan dalam beberapa medan pertempuran membela agama Allah. Memimpin pasukan muslimin secara langsung, dan berada di
garis depan medan pertempuran bersama para sahabat. 2) Nabi
memberikan teladan dalam penegakan hukum. Seringkali dalam
permasalahan sosial/kemasyarakatan bangsa Arab, Nabi membantu mencarikan dan atau langsung memberi solusi. Dalam hal
ini, terkenal pernyataan beliau .seandainya anakku Fatimah terbukti
melakukan pencurian, sungguh akan aku potong tangannya dengan
tanganku sendiri. 3) di kesempatan lain, Nabi juga memberikan teladan untuk kasih sayang kepada sesama. Bagaimana, seorang kafir
setiap harinya mengganggu kegiatan ibadah dan kehidupan Nabi,
ketika suatu hari trouble maker itu tidak tampak mengganggunya,
Nabi -dengan penuh perhatian- bertanya kepada sahabat-sahabatnya. Ketika para sahabat menjawab orang tersebut sedang sakit,
Nabi langsung mengajak salah satu sahabatnya untuk menjenguk
orang kafir yang sedang sakit tersebut.
Metode lain yang digunakan Nabi adalah musyawarah (diskusi/
seminar). Misalnya dalam masalah kebijakan bernegara, sehingga
muncul perundangan-undangan yang dapat melindungi warga
bangsa atau rakyat madinah. Misalnya; adanya perjanjian Hudaibiyah
dan piagam Madinah. Perundangan-undangan ini muncul adalah
dari hasil musyawarah untuk mufakat dengan tujuan utamanya
masyarakat nyaman, tenteram, damai, sejahtera.
4. Alat/Media dan Sumber Belajar
Pada masa awal pendidikan Islam di era Rasul Muhammad
SAW, alat/media yang paling utama adalah pribadi Rasul sebagai
figure sentral. Selain itu, Masjid di era Rasul juga menjadi alat/
media belajar terpenting dalam pendidikan Islam di masa awal.
Karena selain digunakan sebagai tempat ibadah mahdhah yang diwajibkan secara langsung dan tersendiri sebagai kewajiban hamba
dengan Tuhannya. Masjid juga sebagai tempat untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang muncul di masyarakat. Baik
dalam urusan rumah tangga, sosial kemasyarakatan, sampai kepada
urusan beragama dan bernegara.
36

Drs. Abdul Majid. M.Pd. - Sketsa Pendidikan Islam Masa Awal

Fungsi masjid sebagai alat/media utama dalam pendidikan di


masa awa Islam ini, dapat ditunjukkan dalam sejarah Islam saat
Rasulullah hijrah ke Madinah bersama para sahabat, di tengah
perjalanan, Nabi meminta untuk membangun Masjid Quba, yang
masjid tersebut dapat dijadikan prasasti pertama, Nabi mengajarkan
keimanan dan ketakwaan, kepribadian serta kemasyarakatan.
5. Sistem Evaluasi Pendidikan
Sistem evaluasi pendidikan yang dilakukan Nabi adalah praktis
dan langsung. Dimana Nabi selalu melakukan untuk mengecek
langsung hafalan ayat-ayat al-Quran dari para sahabatnya hampir
di setiap forum. Demikian pertanyaan dan pernyataan untuk
sahabat-sahabat tertentu yang ditunjuk Nabi sebagai penulis ayatayat al-Quran. Seringkali Sahabat Zaid bin Tsabit, Ali bin abi Thalib,
Abdullah bin Abbas dicek (dievaluasi) hafalannya, untuk kemudian
diminta menuliskannya.

C. SIMPULAN
Pendidikan pada masa awal Islam dipengaruhi oleh kondisi sosial
masyarakat Arab ketika itu. Yakni masyarakat yang meskipun sudah
memiliki kemampuan ekonomi (makmur), berbudaya, dan multikulturalisme. Namun sebagian besar bangsa Arab masih buta huruf atau
belum bisa membaca dan menulis. Karena itu, pendidikan yang diutamakan adalah pendidikan membaca dan menulis. Guru-gurunya pada
tahap awal yang mengajarkan membaca dan menulis, sebagian besar
adalah orang-orang non-muslim (Yahudi dan Kristen).7
Adapun materi kurikulum yang utama adalah Tauhid. Meskipun
dalam petunjuk al-Quran, materi pendidikan Islam sudah lebih
banyak. Sebagaimana yang diisyaratkan dalam QS. Luqman (31): 1219 yaitu; tauhid, shalat, adab dalam masyarakat, adab dalam lingkungan
keluarga, kesehatan, dan kepribadian.
Untuk alat/media dan sumber belajar yang utama berpusat pada
figur Nabi sebagai insan kamil, yang memberikan teladan, sehingga
dapat dijadikan teladan oleh para sahabat dan keseluruhan umat
manusia.
7

Fazlur Rahmman, Loc.cit., hal. 263.

37

Sehingga pendidikan masa awal Islam (di era Rasulullah) dapat


dikatakan sebagai dasar-dasar atau fondasi pendidikan modern pada
zamannya bahkan dapat dikatakan melewati zamannya. Karena
pendidikan Islam oleh Rasulullah bertujuan bukan hanya untuk
kepentingan manusia hidup di dunia, tetapi sampai akhirat.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Terjemahnya, Mujamma Al-Malik Al-Fahd li Thibaat
Al-Mushhaf Asy-Syarif Medinah Munawwarah, P.O. BOX 6262,
Kerajaan Saudi Arabia, 1418 H., hal. 18.
ArmaI, Arif, Sejarah Pertumbhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan
Islam Klasik, Bandung, Penerbit Angkas, 2005.
Dhoif, Syauqi, Tarikh al-Adab al-Arabi fi al-Ashri al-Jahili, Mesir, Darul
Maarif, t.t., 2008.
Fazlur Rahman, terjemah Ahsin Mushtofa, Islam, Cet. IV, Bandung,
PUSTAKA, 2000.
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, PT. Hidakarya Agung,
1992.
Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Kencana, 2008.
Salabi, Ahmad, Tarikh al-Tsaqofah al-Arobiyah, Mesir: Darul Maarif,
Juz. I. t.t.
Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, Cet.9,
2008.

38

PEMIKIRAN HAMKA TENTANG


TASAWUF MODERN
Asep Daud Kosasih
Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhamadiyah
Purwokerto dan mahasiswa Program Doktor Program Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Abstraksi:
Pada masyarakat yang mengikuti pola peradaban Barat yang sekuler,
solusi yang ditawarkan untuk mengatasi problem kejiwaan dilakukan
dengan pendekatan psikologi untuk mencapai kesehatan mental (mental
health). Sedangkan pada masyarakat Islam yang pada awal sejarahnya
tidak mengenal problem psikologis seperti itu, maka solusi yang ditawarkan lebih bersifat religious spiritual, yakni dengan pendekatan tasawuf. Makalah ini akan membahas tentang persoalan tasawuf menurut
Hamka. Persoalannya, tasawuf telah tergelincir dari agama dengan gaya
hidup mengasingkan diri dari aktivitas dunia dan dengan pakaian sufinya
karam di dalam khalwat, melakukan ritualitas tertentu, serta tidak peduli
apa-apa, karena merasa lezat di dalam kesunyian diri. Pemikiran Hamka
yang akan dibahas dalam makalah ini berusaha mengembalikan tasawuf
ke pangkalnya sehingga dapat dijadikan sebagai solusi dalam menghadapi
problem kejiwaan masyarakat modern.

Kata Kunci: Tasawuf Modern, Hamka, Sufi, Pemikiran

I. PENDAHULUAN
Manusia memiliki potensi untuk berhubungan dengan dua
dunia, yaitu dunia material dan dunia spiritual. Itu sebabnya manusia
mampu menangkap hukum-hukum alam di balik gejala-gejala fisik
yang diamatinya, tetapi juga mampu menyadap isyarat-isyarat gaib
dari alam yang lebih luas lagi. Bila satu potensi dikembangkan luar
biasa, sedangkan potensi lain dimatikan, maka manusia akan mengalami ketimpangan, ibarat makhluk bermata satu. Fenomena seperti
39

itu dialami oleh manusia modern. Mereka menafikan potensi ruhaniahnya, sehingga mereka menghadapi persoalan makna hidup.1
Persoalan makna hidup yang dialami oleh manusia modern disebabkan karena mereka sangat berlebihan dalam segi material kehidupan. Definisi sukses dalam perbendaharaan kata manusia modern
hampir-hampir identik hanya dengan keberhasilan mewujudkan
angan-angan dalam bidang kehidupan material. Ukuran sukses dan
tidak sukses kebanyakan terbatas hanya kepada seberapa jauh seseorang menampilkan dirinya secara lahiriah dalam kehidupan material. Dalam waktu yang bersamaan, mereka mengabaikan kesuksesan
ruhaniah, yang sebenarnya built in dalam dirinya. Pengabaian kesuksesan ruhaniah inilah yang berimplikasi pada kegersangan spiritual
di kalangan manusia modern. Oleh karena itu, menurut Haidar Bagir,
wajar jika manusia modern memiliki kerinduan pada kesejukan dan
kedamaian jiwa.2
Pada masyarakat yang mengikuti pola peradaban Barat yang sekuler, solusi yang ditawarkan untuk mengatasi problem kejiwaan tersebut dilakukan dengan pendekatan psikologi, dalam hal ini kesehatan
mental (mental health). Sedangkan pada masyarakat Islam yang pada
awal sejarahnya tidak mengenal problem psikologis seperti itu, maka
solusi yang ditawarkan lebih bersifat religius spiritual, yakni dengan
pendekatan tasawuf. Namun demikian, menurut Hamka, persoalannya tasawuf telah tergelincir dari agama dengan hidup mengasingkan
diri dari aktivitas dunia dan dengan pakaian sufinya karam di dalam
khalwat, melakukan ritualitas tertentu, serta tidak peduli apa-apa, karena merasa lezat di dalam kesunyian diri.3 Pemikiran Hamka dalam
mengembalikan tasawuf ke pangkalnya sehingga dapat dijadikan sebagai solusi dalam menghadapi problem kejiwaan masyarakat modern
dituangkan dalam karyanya yang berjudul Tasawuf Modern

Jalaludin Rakhmat, Renungan-renungan Sufistik: Membuka Tirai Kegaiban (Bandung: Mizan,


2000), hlm. 35.
Haidar Bagir, Manusia Modern Mendamba Allah dalam Ahmad Najib Burhani (ed), Manusia
Modern Mendamba Allah: Renungan Tasawuf Positif (Jakarta: IIMAN & Hikmah, 2002), hlm.
xii.
Hamka, Tasawuf Moderen,(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996), hlm. 2- 4

40

Asep Daud Kosasih - Pemikiran Hamka tentang Tasawuf Modern

II. RIWAYAT HIDUP HAMKA


Nama lengkap Hamka adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah.
Ia dilahirkan di desa Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat pada
tanggal 16 Februari 1908 Miladiyah bertepatan dengan tanggal 14
Muharram 1320 Hijriyah.4 Dalam sejarah nasional, daerah tersebut
merupakan tempat di mana banyak dilahirkan tokoh-tokoh politik,
ekonomi, pendidikan dan pergerakan Islam seperti Mohammad Natsir,
A.R Sutan Mansyur, Rasuna Said, dan lain-lain.
Nama panggilan Hamka sewaktu kecil adalah Abdul Malik. Ayahnya bernama Haji Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul, seorang
ulama Islam terkenal, penganut dan penyebar faham pembaharuan
Islam di Minangkabau.5 Hamka mengawali masa pendidikan di bawah
bimbingan langsung ayahnya. Ia mulai mempelajari al-Quran dari
orang tuanya hingga usia enam tahun, yang ketika itu berpindah rumah dari Maninjau ke Padang Panjang pada tahun 1914. Setahun kemudian, ketika Hamka berusia tujuh tahun ayahnya memasukkannya
ke sekolah umum (public school) yang pembelajarannya dilaksanakan
pada pagi hari. Pada waktu sore hari, Hamka menjalani pendidikan
agama di sekolah diniyah (the diniyah school), sebuah sekolah agama
yang menggunakan sistem pendidikan modern.6
Sejak tahun 1916 sampai tahun 1923, Hamka menimba ilmu di
Thawalib School di Parabek dari tahun 1916 hingga 1923. Guru-gurunya
waktu itu adalah Syeikh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul
Hamid dan Zainudin Labai. Kondisi Padang Panjang waktu itu ramai
dikunjungi oleh para penuntut ilmu dari berbagai daerah.7
Ketika berusia 16 tahun, Hamka hijrah ke Yogyakarta pada tahun
1924. Di kota ini ia berinteraksi dengan beberapa tokoh pergerakan
Islam modern seperti H. Oemar Said Tjokroaminoto, Ki Bagus
Hadikusumo, R.M Soerjopranoto, dan KH Fakhrudin. Mereka sering
mengadakan kursus-kursus pergerakan di gedung Abadi Dharmo
4

Ahmad Hakim dan M. Thalhah, Politik Bermoral Agama: Tafsir Politik HAMKA,(Yogyakarta:
UII Press, 2005), hlm. 25.
H. Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. DR. Hamka, (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1981), hlm. 1
Sahiron Syamsuddin, Hamkas Political Thought As Expressed in His Tafsir Al-Azhar, (Jakarta:
PERMIKA Montreal dan LPMI, 1997), hlm. 245.
Hamka, Tasawuf Moderen, hlm. xvii. Lihat juga, Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir alAzhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), hlm. 36.

41

Pakualaman Yogjakarta. Dari berbagai kursus tersebut Hamka mengenal secara dekat pemahaman pergerakan politik Syarikat Islam dan
pergerakan sosial Muhammadiyah. Setelah beberapa lama di
Yogyakarta, Hamka berangkat ke Pekalongan untuk menemui gurunya sekaligus suami kakaknya, yaitu A.R. Sutan Mansyur, yang pada
waktu itu menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah Cabang
Pekalongan. Di kota ini dia berkenalan dengan Citrosuarno, Mas
Ranuwiharjo, Mas Usman, dan Mohammad Roem. Baru pada Juli
1925 Hamka kembali ke Padang Panjang.8
Pada bulan Februari 1927 Hamka berangkat ke Mekkah. Namun
tidak begitu lama, setelah sempat bekerja pada sebuah percetakan di
sana, pada bulan Juli 1927 dia pulang ke tanah air.9 Pada tanggal 5
April 1929 Hamka menikahi Siti Raham. Pada waktu itu dia baru berusia 21 tahun, sedangkan istrinya berusia 15 tahun.10 Setelah pernikahannya, Hamka mengaktifkan diri sebagai pengurus Muhammadiyah.
Kiprah Hamka di organisasi itu diawali sebagai pengurus Cabang
Padang. Pada tahun 1934 ia diangkat menjadi anggota tetap Majlis
Konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah. Pada konggres
Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto tahun 1953, Hamka terpilih
menjadi anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Tetapi pada konggres berikutnya ia tidak bersedia lagi untuk duduk menjadi anggota
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, karena faktor kesehatannya yang
semakin berkurang. Sejak konggres di Makasar tahun 1971 ia ditetapkan menjadi penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah sampai akhir
hayatnya.11
Di samping sebagai aktifis organisasi keagamaan, Hamka juga
merupakan figur terkemuka dalam perjuangan revolusioner merebut
kemerdekaan di Sumatera Barat dari tahun 1945 sampai 1949. Pada
tahun 1950, ia pindah ke Jakarta dan diangkat menjadi pejabat tinggi
Depag ketika menterinya K.H. Wahid Hasyim. Dia diserahi tugas
mengajar di beberapa perguruan tinggi Islam di Jakarta, Universitas
Muhammadiyah di Padang Panjang, Universitas Muslim Indonesia
Makasar, dan Universitas Islam Sumatera Utara. 12 Di samping
H. Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya, hlm. 2
Sahiron Syamsuddin, Hamkas Political Thought, hlm. 2
10
H. Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya, hlm. 3
11
Ibid, hlm.3-4; Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam, hlm. 44-48
8
9

42

Asep Daud Kosasih - Pemikiran Hamka tentang Tasawuf Modern

mengajar, Hamka memanfaatkan sebagian besar waktunya dengan


menulis dan menyunting serta menerbitkan majalah Panji Masyarakat
dan Gema Islam.13 Dia juga menjadi penulis di majalah Pembela Islam
Bandung. Lewat majalah yang terakhir, Hamka berkenalan dengan
tokoh-tokoh Persatuan Islam seperti Mohammad Natsir, dan Ahmad
Hasan.
Pada tahun 1955, Hamka terpilih menjadi anggota konstituante
mewakili daerah pemilihan Jawa Tengah untuk Partai Masyumi. Di
dalam sidang-sidang konstituante, Hamka menjadi sosok yang paling keras menentang kebijakan Demokrasi Terpimpin yang akan diterapkan Soekarno. Walaupun demikian, kritikan tersebut tidak digubrisnya. Bahkan Soekarno kemudian membubarkan Konstituante pada
tahun 1959 sebagai awal diberlakukannya sistem Demokrasi Terpimpin
dalam ketatanegaraan Indonesia.14
Setelah Konstituante dibubarkan dan Masyumi membubarkan
diri pada 1960, Hamka memusatkan kegiatannya dalam dakwah melalui talim, tabligh, dan menjadi imam masjid agung Al Azhar Kebayoran
Jakarta. Pada tahun 1964 masa rezim Soekarno, Hamka ditangkap
dan dimasukkan ke penjara atas tuduhan melanggar Penpres Anti
Subversif tanpa melalui proses pengadilan terlebih dahulu. Sebelumnya
telah ditangkap pula rekan-rekannya seperti; Mohammad Natsir,
Syafrudin Prawiranegara, Syahrir, Mohammad Roem, Prawoto, Yunan
Nasution dan Isa Anshori pada tahun 1962 karena dituduh sebagai
pemberontak PRRI. Selama dalam tahanan Hamka menulis tafsir alQuran yang dikenal dengan Tafsir Al-Azhar. Setelah rezim Soekarno
tumbang, pada masa pemerintahan Orde Baru Hamka dibebaskan pada
tanggal 23 Mei 1966.15
Pada tahun 1975, Hamka dipilih sebagai ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia). Kemudian terpilih kembali pada periode kedua tahun
1980, dengan salah satu ungkapannya yang terkenal Kalau saya
diminta menjadi ketua Majelis Ulama, saya terima. Akan tetapi
Sulaeman Al-Kumayi, Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym, (Semarang: Pustaka Nuun,
2004), hlm. 27.
13
Ahmad Hakim dan M. Thalhah, Politik Bermoral Agama, hlm. 27-28; H. Rusydi Hamka,
Pribadi dan Martabat Buya, hlm. 5.
14
Floriberta Aning S, 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia, (Tangerang: Penerbit Narasi), hlm. 80
15
Ibid; H. Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya, hlm. 5.
12

43

ketahuilah, saya sebagai ulama tidak dapat dibeli. Dua bulan sebelum
wafatnya, Hamka mengundurkan diri dari jabatan tersebut. Hal itu
disebabkan oleh masalah perayaan Natal yang dilakukan bersama
dengan penganut agama lainnya, termasuk umat Islam. MUI di bawah
pimpinan Hamka telah mengeluarkan fatwa haram hukumnya bagi
seorang muslim mengikuti perayaan Natal. Fatwa tersebut mendapat
kecaman dari Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara dan
meminta agar MUI mencabutnya.16
Hamka dikenal sebagai seorang otodidak yang sangat tinggi. Ia
belajar sendiri tentang buku-buku yang menurutnya penting. Ilmuilmu seperti falsafah, kesusasteraan, sejarah, sosiologi dan politik
ditelaahnya dengan bermodal pendidikan yang pernah diterimanya.
Berkat kemampuan membacanya yang luas meyebabkan ia mempunyai banyak akses keilmuan. Dibanding pemikir Islam modernis lain
di Indonesia, Hamka mempunyai kelebihan menyatakan pikiran dalam
ungkapan-ungkapan modern dan kontemporer. Oleh karena itu ia
berhasil menjalin komunikasi intelektual dengan kalangan terpelajar
tanpa canggung dan tanpa hambatan.17 Komunikasi tersebut diwujudkan selain lewat ceramah diberbagai kegiatan juga lewat tulisan dalam
bentuk artikel dan buku.
Hamka dikenal sebagai seorang penulis yang sangat produktif.
Jumlah tulisannya dalam bentuk buku mencapai hingga 118 buah.
Buku-buku tersebut isinya bervariasi dan dapat dikelompokan ke dalam
tiga bidang ilmu, yaitu bidang sastra, bidang keagamaan, serta bidang
sosial-politik-kebudayaan.18 Sebagai penghargaan terhadap kemampuan Hamka di bidang keilmuan, dua perguruan tinggi menganugerahkan kepadanya gelar doctor honoris causa dan profesor, yaitu Universitas Al-Azhar Mesir pada tanggal 28 Februari 1959 dan Universitas Kebangsaan Malaysia pada tanggal 8 Juni 1974.19
Pada tanggal 24 Juli 1981, sembari dikelilingi oleh istri, putranya,
Afif Amrullah, dan beberapa teman dekatnya, Hamka wafat dalam
usia 73 tahun.20
Ahmad Hakim dan M. Thalhah, Politik Bermoral Agama, hlm. 29.
Sulaeman Al-Kumayi, Kearifan Spiritual dari Hamka, hlm. 22.
18
Ahmad Hakim dan M. Thalhah, Politik Bermoral Agama, hlm. 33-34.
19
Sulaeman Al-Kumayi, Kearifan Spiritual dari Hamka, hlm. 23.
20
Ahmad Hakim dan M. Thalhah, Politik Bermoral Agama, hlm. 29.
16
17

44

Asep Daud Kosasih - Pemikiran Hamka tentang Tasawuf Modern

III. Pemikiran Hamka tentang Tasawuf Modern


Menurut Abdurrahman Wahid, salah satu sumbangan terbesar
Hamka, diluar Tafsir Al-Azhar, adalah bukunya yang berjudul Tasawuf Moderen. Di dalam buku itu Hamka dinilai berhasil mendudukan
kembali beberapa aspek ilmiah yang tadinya hilang dari perhatian
sebagian kelompok muslim dalam pengetahuan tentang agama mereka, yaitu tentang tasawuf.21
Tasawuf Modern berasal dari tulisan-tulisan Hamka yang
pernah dituangkan olehnya di dalam salah satu rubrik pada majalah
Pedoman Masyarakat dengan judul Bahagia. Adapun penamaan
buku ini menjadi Tasawuf Modern dikarenakan rubrik yang telah
terlanjur melekat di hati pembaca itu bernama rubrik Tasawuf Modern. Tulisan ini mulai disusun pada tahun 1937 dan berakhir pada
nomor ke 43 pada tahun 1938, baru kemudian dibukukan atas permintaan sahabat Hamka yang bernama Oei Ceng Hein, salah seorang
mubaligh terkenal di Bintuhan.
Sebagaimana tertera pada Pendahuluan Cetakan Ke I buku itu,
Hamka memberikan keterangan tentang mengapa rubrik yang dipakai
di dalam menuangkan tulisannya itu bernama Tasawuf Modern. Menurutnya, meskipun tulisan yang ia tuangkan juga merujuk pada bukubuku tasawuf (klasik), akan tetapi hal itu dimaksudkan untuk mengetengahkan ilmu tasawuf yang telah dipermodern.22 Di dalam catatan
pendahuluan buku itu disebutkan;
Meletakkan rubrik Tasawuf Modern itupun menjadi bukti
bahwasannya kita juga mencintai hidup di dalam tasawuf, yaitu tasawuf
yang diartikan dengan kehendak memperbaiki budi dan men-shifakan
(membersikan) bathin. Kita beri keterangan yang modern, meskipun
asalnya terdapat dari buku-buku tasawuf juga. Jadi Tasawuf Modern itu
kita maksudkan ialah keterangan ilmu tasawuf yang dipermodern.23

Buku Tasawuf Modern berisi pemikiran Hamka tentang bagaimana seharusnya membangun kehidupan yang bahagia sebagaimana
yang diinginkan oleh Islam. Di dalamnya banyak dikutip pikiran dan
Abdurrahman Wahid, Benarkah Buya Hamka seorang Besar?: Sebuah Pengantar dalam Nasir
Tamara, Buntaran Sanusi, dan Vincent Djauhari (Penyunting), Hamka di mata Umat, (Jakarta:
Sinar Harapan, 1983), hlm. 30.
22
Hamka, Tasawuf Moderen, hlm. v-viii
23
Ibid, hlm. vii-viii
21

45

pendapat-pendapat dari banyak sumber, antara lain dari tokoh-tokoh


filsafat Timur dan Barat serta tokoh-tokoh tasawuf yang isinya kemudian dibandingkan dengan barometer al-Quran dan as-Sunnah. Diantara buku-buku rujukan yang digunakan Hamka untuk mengetengahkan pemikirannya adalah; Ihy Ulmuddn, Arban f ushluddn,
Bidyah, Al-Hidyah, Minhjul Abidn, Tahdzbul Akhlq, Tafsir
Muhammad Abduh, Raddu ala Dahriyn, Adbud Dunya wad Dn,
Riydushlihn, kumpulan majalah Azhar, beberapa risalah Ibnu Sina
dan lain-lain. Semua buku-buku itu dijadikan Hamka sebagai penguat
argumentasi yang dibangunnya, dengan terkadang menambahkan
beberapa point analisa pribadinya.24
Sistematika Tasawuf Modern disusun ke dalam beberapa Bab.
Sebelum masuk pembahasan, pada bagian pendahuluan Hamka
menulis sebuah sub judul dengan nama Pengantar Tasawuf. Bagian
ini dimaksudkan Hamka untuk memberikan gambaran sekilas
mengenai pokok-pokok tasawuf yang menjadi pemahaman dan inti
dawah yang dilakukannya selama ini dengan membawa istilah
tasawuf moderen.25 Setelah itu Hamka menguraikan pemikirannya
ke dalam dua belas bagian pembahasan secara berturut-turut meliputi
pembahasan tentang bahagia, bahagia dan agama, bahagia dan utama,
kesehatan jiwa dan badan, harta benda dan bahagia, qanaah, tawakal,
bahagia yang dirasai Rasulullah SAW, hubungan ridha dengan
keindahan alam, tangga bahagia, celaka, dan munajat.
Pada bagian pertama, Hamka memaparkan pendapat para tokoh
Barat dan Timur tentang arti bahagia yang mereka pahami dan rasakan,
termasuk di dalamnya Hamka membandingkan dengan kebahagiaan
yang di alami oleh Rasulullah. Tokoh-tokoh yang diangkat Hamka
dalam bagian ini adalah; Aristoteles, Hendrik Ibsen, Thomas Hardy,
Leo Tolstoy, Bertrand Russel, George Bernard Shaw, Ibnu Khaldun,
Abu Bakar Ar Razi, dan Imam al Ghozali.26
Pada bagian kedua, yaitu Bahagia dan Agama, Hamka menerangkan tentang kewajiban untuk menjadikan agama sebagai kerangka
kehidupan manusia, dan mencari kebenaran serta kebahagiaan melalui
Ibid, hlm. vi
Ibid, hlm.1-8.
26
Ibid, hlm. 8-47
24
25

46

Asep Daud Kosasih - Pemikiran Hamka tentang Tasawuf Modern

kerangka pokoknya yaitu; al-Quran dan as-Sunnah. Di dalam bagian


ini dibicarakan juga masalah itikad, yakin, perbedaan yakin dan itikad,
al-Iman, iman mutlak, iman kurang dan iman bertambah, iman dan
cobaan, arti agama, inyat ilahi, apakah perlunya iman kepada Allah,
bahaya mengingkari Tuhan, perlombaan beragama, keterangan itikad
yang tiga, tiga sifat yang timbul karena beragama, agama dan pengetahuan, terbuka pintu memahamkan agama, Islam dan kemajuan.27
Pada bagian ketiga, Bahagia dan Utama, dibahas beberapa permasalahan berkenaan konsep Islam dalam upaya mengolah (manajemen)
diri dari setiap keadaan yang dialami. Di antaranya dikupas tentang;
bagaimana memerangi atau mensikapi hawa nafsu, hawa dan akal,
ikhlas, ikhlas dan nasihat.28
Pada bagian keempat, Kesehatan Jiwa dan Badan, Hamka berbicara mengenai masalah kesehatan jiwa secara lebih tajam dan kesehatan badan yang menunjang kebutuhan jiwa. Di dalamnya dibicarakan beberapa sub pembahasan diantaranya: urgensi memelihara
kesehatan jiwa, mengobati jiwa, dampak atau akibat sifat-sifat yang
ditimbulkan karena sifat tahawwur dan jubun, beberapa sifat yang
buruk, penyakit takut, takut mati, peringatan mati, obat duka cita,
kepedihan penanggungan bathin, dan hikmat.29
Pada bagian kelima, Harta Benda dan Bahagia, dibahas permasalahan harta benda dan aspek-aspek yang terkait dengan kebahagiaan
yang disebabkan keberadaan harta benda yang dimiliki manusia. Aspek
tersebut di antaranya; kekuasaan harta, harta baik dan buruk, kewajiban terhadap harta, sumber harta, sekadar yang perlu.30
Sementara itu pada bagian keenam, 31 ketujuh,32 kedelapan,33 dan
ke sembilan,34 Hamka membahas agak terperinci tentang makna
qanah, tawakkul, serta kebahagiaan yang dirasakan oleh Rasulullah,
ridha, dan hubungannya dengan keindahan alam.
Ibid, hlm. 48-116
Ibid, hlm. 117-141
29
Ibid, hlm. 142-198
30
Ibid, hlm. 199-230
31
Ibid, hlm. 231-244
32
Ibid, hlm. 245-259
33
Ibid, hlm. 260-266
34
Ibid, hlm. 267-275
27
28

47

Pada bagian kesepuluh, Hamka kembali mengulas mengenai


makna bahagia dengan menukil pendapat para tokoh filsafat seperti
Bertrand Russel, Amin Al Raihany, Al Anisah Mai.35 Untuk melengkapi
pemahaman pembaca mengenai makna bahagia, pada bagian kesebelas
Hamka menjelaskan mengenai makna celaka, sebagai kebalikan dari
bahagia.36
Pembahasan Hamka tentang Tasawuf Modern diakhiri dengan
bagian kedua belas mengenai munajat. Pada bagian ini walaupun isinya
merupakan munajat penulis, tetapi memberi isyarat kepada pembaca
tentang pentingnya doa bagi manusia dalam merengkuh kebahagiaan
kepada Allah, sebab Allah itulah sumber dan pemilik kebahagiaan.37
Menyimak pemikiran Hamka di dalam Tasawuf Modern, sebagaimana diuraikan di atas, Hamka berpandangan, bahwa keberadaan
tasawuf dalam Islam memang menjadi perdebatan di kalangan para
ulama dan ahli ilmu. Mereka terbagi menjadi golongan yang menolak
dan menerima tasawuf. Bagi yang menolak beranggapan, bahwa
tasawuf dapat mengotori kemurnian Islam. Adapun bagi golongan
yang menerima beranggapan bahwa tasawuf adalah ilmu yang bersumber dari Islam itu sendiri. Meskipun Hamka menggunakan istilah
tasawuf, akan tetapi tasawuf yang dikemukakan Hamka bukanlah
tasawuf sebagaimana yang dipahami kebanyakan orang. Tasawuf yang
dikembangkan Hamka adalah tasawuf yang memiliki basis pada koridor
syariat agama (Tasawwf Masyr). Oleh sebab itulah, di dalam penilaian Hamka, tasawuf tidaklah memiliki sumber lain melainkan bersumberkan murni dari Islam. Hamka sangat menekankan keharusan
setiap individu untuk melakukan pelaksanaan tasawuf agar tercapai
budi pekerti yang baik sebagaimana kesepakatan Hamka atas definisi
tasawuf yang diuraikan oleh al Junaid yaitu; Keluar dari budi pekerti
yang tercela, dan masuk kepada budi pekerti yang terpuji.38
Hamka mendasarkan konsep tasawufnya itu pada kerangka
agama di bawah fondasi aqdah yang bersih dari praktik-praktik syirik,
dan amalan-amalan lain yang bertentangan dengan syariat. Sebab
Hamka benar-benar menyadari bahwa tasawuf yang telah menjadi
Ibid, hlm. 276-304
Ibid, hlm. 305-317
37
Ibid, hlm. 318-321
38
Ibid, hlm.3-4.
35
36

48

Asep Daud Kosasih - Pemikiran Hamka tentang Tasawuf Modern

aliran tersendiri itu, pada perjalanannya mendapatkan pencemaran


dari pandangan hidup lain, dan tak jarang bagi para pelakunya terjerumus pada praktik-praktik yang tidak disyariatkan oleh Islam, seperti
mengkultuskan guru, pemimpin, dan lain-lain. Kebiasaan mengkultuskan tokoh ini tidak saja dilakukan ketika sang tokoh masih hidup,
bahkan setelah dia meninggal sikap mengkultuskannya semakin
mengental. Mitologi terhadap tokoh-tokoh ini melahirkan kebiasaan
memuja kuburan. Itu sebabnya Hamka menulis Tasawuf Modern,
yang menurut pengamatan Dawam Rahardjo bertujuan meletakkan
tasawuf kepada relnya, dengan menegakkan kembali maksud semula
tasawuf, yakni guna membersihkan jiwa, mendidik, dan memperhalus
perasaan, menghidupkan hati dalam menyembah Tuhan dan mempertinggi derajat budi pekerti.39
Untuk menimbulkan persepsi yang berbeda di kalangan khalayak
ramai tentang tasawuf, Hamka kemudian memunculkan istilah tasawuf modern. Penggunaan istilah tasawuf yang diimbuhi dengan kata
modern, sebenarnya merupakan suatu terobosan yang rentan kritik.
Hal itu mengingat ketokohan Hamka yang lahir dari pergerakan kaum
modernis yang berafiliasi dalam gerakan Muhammadiyah. Di dalam
gerakan keagamaannya, organisasi ini berusaha memurnikan Islam
di Indonesia dari praktik-praktik khurafat tradisional yang tidak
Islami.40 Oleh karenanya, Mohammad Damami, mencoba mendudukan kepentingan Hamka dalam mengetengahkan konsep tasawuf
modernnya bahwa, istilah tasawuf modern merupakan lawan terhadap istilah tasawuf tradisional. Di mana tasawuf yang ditawarkan
Hamka berdasar pada prinsip tauhid, bukan pencarian pengalaman
mukasyafah. Jalan tasawufnya dibangun lewat sikap zuhd yang dapat
dirasakan melalui peribadatan resmi. Penghayatan tasawufnya berupa
pengamalan taqwa yang dinamis, bukan keinginan untuk bersatu
dengan Tuhan (Ittihad), dan refleksi tasawufnya berupa penampakan
semakin tingginya semangat dan nilai kepekaan sosial-religius (sosial
keagamaan), bukan karena ingin mendapatkan karmah (kekeramatan) yang bersifat magis, metafisis dan yang sebangsanya.41
M. Dawam Rahardjo, Intelektua, Intelegensi, dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan
Muslim (Baandung: Mizan, 1993), hlm. 205.
40
Sulaeman Al-Kumayi, Kearifan Spiritual dari Hamka, hlm. 56
41
Mohammad Damami, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka (Yogyakarta: Fajar Pustaka,
2000), hlm. 243
39

49

Berdasarkan hal itu, maka konsep dasar pemikiran tasawuf yang


ditawarkan Hamka adalah sufisme yang berorientasi ke depan yang
ditandai dengan mekanisme dari sebuah sistem ketasawufan yang
unsur-unsurnya meliputi prinsip tauhid (menjaga kedekatan dengan
Tuhan), memanfaatkan peribadatan sebagai media bertasawuf, dalam
arti di samping melaksanakan perintah agama juga mencari hikmah
yang berupa sikap positif terhadap hidup dalam wujud memiliki etos
sosial yang tinggi.42
Menurut Nurcholish Madjid, kehadiran Hamka dengan Tasawuf
Modernnya, menandai babak baru dasar-dasar sufisme baru di Indonesia. Hal itu memberi petunjuk adanya apresiasi Hamka terhadap
penghayatan esoteris Islam. Lebih dari itu, Hamka memberikan peringatan bahwa esoterisme itu harus tetap terkendalikan oleh ajaranajaran standar syariah. Dengan demikian, Hamka masih tetap dalam
garis kontinuitas dengan pemikiran Imam Al-Ghazali. Akan tetapi
bedanya dengan Al-Ghazali, Hamka menghendaki suatu penghayatan
keagamaan esoterik yang mendalam tetapi tidak dengan melakukan
pengasingan diri atau uzlah, melainkan tetap aktif melibatkan diri
dalam masyarakat.43
Mengacu pada hasil penelitian A. Rivay Siregar tentang perkembangan tasawuf dari Sufisme Klasik sampai Neo-Sufisme, substansi
pemikiran Hamka mengenai Tasawuf Modern dapat dipetakan ke
dalam kelompok Neo-Sufisme.44 Hal ini didasarkan pada inti pemikirannya yang menampilkan pemahaman dan pengamalan tasawuf kontemporer dengan pendekatan yang sangat intens antara spiritualitas
sufisme dengan konsep-konsep syariah.45 Demikian juga dalam hal
tujuan, terdapat kesamaan antara tujuan Tasawuf Modern Hamka
dengan tujuan Neo-Sufisme, yaitu penekanan yang lebih intens pada
penguatan iman sesuai dengan prinsip-prinsip akidah Islam, dan
Ibid, hlm. 243-244
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam
Dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 92.
44
Neo-Sufisme adalah tipe tasawuf yang terintegrasi dengan syariah. Istilah ini pertama kali
dikemukakan oleh Fazlur Rahman di dalam karyanya Islam. Menurut Fazlur Rahman, tokoh
perintis Neo-Sufisme adalah Ibn Taimiyah yang kemudian diteruskan oleh muridnya, Ibn
Qoyyim. Lihat, Fazlur Rahman, Islam (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 193-194; 285-286.
45
A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2000), hlm. 247-258.
42
43

50

Asep Daud Kosasih - Pemikiran Hamka tentang Tasawuf Modern

penilaian terhadap kehidupan duniawi sama pentingnya dengan


kehidupan ukhrawi.46
Walaupun Hamka sangat apresiatif, bahkan pengamal tasawuf,
tetapi ia tidak pernah berafiliasi ke aliran tarekat manapun. Ia juga
tidak pernah membuat aliran tarekat tersendiri, sebagaimana lazimnya
dalam dunia tarekat. Sebab menurut Hamka, semua orang bisa menjadi sufi, dan untuk menjadi sufi tidak perlu memakai pakaian tertentu,
bendera tertentu, dan cara tertentu, selain cara yang dicontohkan
Rasulullah.47

IV.Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan:
1. Pemikiran Hamka tentang Tasawuf Modern merupakan pemahaman tasawuf yang didasarkan pada fondasi aqdah yang bersih dari
praktik-praktik dan amalan-amalan lain yang bertentangan dengan
syariat Islam.
2. Tasawuf Modern model Hamka dimaksudkan meletakkan tasawuf
kepada relnya, dengan menegakkan kembali maksud semula tasawuf, yakni guna membersihkan jiwa, mendidik, dan memperhalus
perasaan, menghidupkan hati dalam menyembah Tuhan dan
mempertinggi derajat budi pekerti
3. Konsep-konsep tasawuf yang diterangkan Hamka dikategorikan
Neo-Sufisme, yaitu tasawuf kontemporer yang sangat dinamis
dengan kehidupan modern yang didasarkan pada ajaran Islam.
Baginya, hidup di era modern tidak menjauhkan seseorang kepada
Allah. Bahkan ajaran Allah, yaitu Islam dapat menjadi solusi dalam
menghadapi problem kejiwaan masyarakat modern.
Wallahu alam bish-showab.

46
47

Ibid, hlm. 251; Fazlur Rahman, Islam, hlm. 195.


Hamka, Tasawuf Moderen, hlm. 4

51

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hakim dan M. Thalhah, Politik Bermoral Agama: Tafsir Politik
HAMKA,(Yogyakarta: UII Press, 2005)
Ahmad Najib Burhani (ed), Manusia Modern Mendamba Allah: Renungan
Tasawuf Positif (Jakarta: IMAN & Hikmah, 2002)
A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2000)
Fazlur Rahman, Islam (Bandung: Pustaka, 1984)
Floriberta Aning S, 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia, (Tangerang:
Penerbit Narasi)
Hamka, Tasawuf Moderen, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996)
H.Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. DR. Hamka, (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1981)
Jalaludin Rakhmat, Renungan-renungan Sufistik: Membuka Tirai
Kegaiban (Bandung: Mizan, 2000)
Mohammad Damami, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka
(Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2000)
M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensi, dan Perilaku Politik Bangsa:
Risalah Cendekiawan Muslim (Baandung: Mizan, 1993)
Nasir Tamara, Buntaran Sanusi, dan Vincent Djauhari (Penyunting),
Hamka di mata Umat, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983)
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan
Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina,
1995)
Sahiron Syamsuddin, Hamkas Political Thought As Expressed in His Tafsir
Al-Azhar, (Jakarta: PERMIKA Montreal dan LPMI, 1997)
Sulaeman Al-Kumayi, Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym,
(Semarang: Pustaka Nuun, 2004)
Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1990)

52

ISLAM DAN DEMOKRASI


Samsul Munir
Penulis adalah Dekan dan Lektor Kepala pada Program Studi Komunikasi
dan Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Komunikasi dan Sosial Politik,
Universitas Sains Al-Quran (UNSIQ) Jawa Tengah di Wonosobo. Saat ini
sedang menyelesaikan Program Doktor (S3) di Islamic Studies IAIN
Walisongo Semarang.

Abstraksi:
Dilihat basis empiriknya, agama dan demokrasi memang berbeda.
Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari pergumulan
pemikiran manusia. Dengan demikian agama memiliki dialeketikanya
sendiri. Namun begitu tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi. Dalam perspektif Islam elemen-elemen
demokrasi meliputi: syura, musawah, adalah, amanah, masuliyyah dan
hurriyyah.
Islam menaruh perhatian yang serius terhadap aplikasi kristalisasi
nilai-nilai demokrasi. Sebagai rahmatan lilalamin, Islam memiliki tujuan
yang terakumulasi dalam lima prinsip universal (kulliatul khams); yakni
menjamin kebebasan beragama (hifdz al-din), memelihara nyawa (hifdz
al-nafs), menjaga keturunan dan profesi (hifdz al-nasl wa al-irdl), menjamin
kebebasan berekspresi dan berspikir (hifdz al-aql), dan memelihara harta
benda (hifdz al-mal). Kelima prinsip tersebut, dewasa ini sangat relevan
dengan prinsip-prinsip HAM yang menjadi pilar demokrasi. Tulisan ini
berusaha membahas tentang bagaimana pemahaman tentang demokrasi
dan bagaimana Islam memandang demokrasi. Adakah perspektif yang
saling mendukung atau saling berlawanan antara Islam dengan demokrasi. Oleh karena pendekatan dalam kajian makalah ini mengunakan
berbagai pendekatan, yakni pendekatan normatif, pendekatan sejarah
dan pendekatan yang relevan.

Kata Kunci: Islam, Demokrasi, Barat,

A. Pendahuluan
Secara etimologis demokrasi terdiri dari dua kata yang berasal
dari bahasa Yunani yaitu demos yang berarti rakyat atau penduduk
53

suatu tempat cratein atau cratus yang berarti kekuasaan dan kedudukan, jadi secara istilah demokrasi adalah keadaan negara dimana
dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada ditangan rakyat,
kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat
berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.
Demokrasi secara sederhana dapat diartikan sebagai pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Sistem ini menuntut partisipasi
langsung warga suatu bangsa untuk menentukan roda pemerintahan1.
Rakyat sebagai pemilik kedaulatan, selain memiliki kewajiban, juga
mempunyai hak. Hal ini bertolak belakang dengan sistem monarchiabsolut yang menjadi trend sistem pemerintahan pra-abad ke-18.
Diskursus demokrasi mulai berkembang pada apad ke-17 dan
18 Masehi. Kehadirannya sebagai respon atas absolutism raja-raja dan
kaum feodal kala itu. Gap antara kelas atas (penguasa) dengan kelas
bawah (rakyat) menghendaki adanya gagasan persamaan derajat (almusawah), suatu perlakuan yang sama di hadapan hukum, penegakan
keadilan dengan tanpa pandang bulu (aladalah) kebebasan berekspresi
(al-huriyyah). Kulminasi dari ide-ide tersebut terealisasikan pada peristiwa Revolusi Perancis di akhir abad ke-182. Hasilnya ortodoksi gereja
yang dikooptasi para raja semakin lama semakin mencair, sampai
akhirnya terwujud tatanan masyarakat yang demokratis.
Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hakhak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan
persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul idiomidiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia), dan seterusnya.
Dalam tradisi Barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa
rakyat seharusnya menjadi pemerintah bagi dirinya sendiri, dan
wakil rakyat seharusnya menjadi pengendali yang bertanggung jawab
atas tugasnya. Karena alasan inilah maka lembaga legislatif di dunia
Barat menganggap sebagai pioner dan garda depan demokrasi. Lembaga legislatif benar-benar menjadi wakil rakyat dan berfungsi sebagai
agen rakyat yang aspiratif dan distributif. Keberadaan wakil rakyat
didasarkan atas pertimbangan, bahwa tidak mungkin semua rakyat
1

Menurut Benyamin Franklin, demokrasi adalah sebuah tatanan negara/pemerintahan yang


bersumber dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.

54

Samsul Munir - Islam dan Demokrasi

dalam suatu negara mengambil keputusan karena jumlahnya yang


terlalu besar. Oleh sebab itu kemudian dibentuk dewan perwakilan.
Di sini lantas prinsip amanah dan tanggung jawab (credible and accountable) menjadi keharusan bagi setiap anggota dewan. Sehingga
jika ada tindakan pemerintah yang cenderung mengabaikan hak-hak
sipil dan hak politik rakyat, maka harus segera ditegur. Itulah perlunya
perwakilan rakyat yang kuat untuk menjadi penyeimbang dan kontrol
pemerintah.
Secara normatif, Islam menekankan pentingnya ditegakkan amar
maruf nahi munkar bagi semua orang, baik sebagai individu, anggota
masyarakat maupun sebagai pemimpin negara. Doktrin tersebut merupakan prinsip Islam yang harus ditegakkan dimana pun dan kapan
saja, supaya terwujud masyarakat yang aman dan sejahtera.
Antara agama dan demokrasi memang terdapat hal-hal yang
membedakannya. Demokrasi menyamakan derajat dan kedudukan
semua warga Negara di muka undang-undang, dengan tidak memandang asal-usul etnis, agama, jenis kelamin dan bahasa ibu. Sedangkan
tiap agama tentu lebih dahulu cenderung untuk mencari perbedaan
atas dasar hal tersebut di atas, minimal perbedaan agama dan
keyakinan.

B. Prinsip-Prinsip Demokrasi Dalam Islam


Bagaimanakah konsep demokrasi Islam itu sesungguhnya? Jika
secara normatif Islam memiliki konsep demokrasi yang tercermin
dalam prinsip dan idiom-idiom demokrasi, bagaimana realitas empirik
politik Islam di negara-negara Muslim? Bagaimana dengan pengalaman
demokrasi di negara-negara Islam? Benarkah Samuel P. Huntington
dan F. Fukuyama, yang menyatakan bahwa realitas empirik masyarakat
Islam tidak compatible dengan demokrasi? Tulisan ini ingin mengkaji
demokrasi dalam perspektif Islam dari aspek elemen-elemen pokok
2

Kebangkitan Perancis itu sebenarnya bermula dari upaya para filosuf alumni Cordova (para
mahasiswa Ibnu Rusyd) yang selalu mengadakan kajian kritis, rasional dan obyektif. Pengaruh
pemikiran Ibnu Rusyd (Averros) (1120-1198 M) sangat besar terhadap pemikiran di Eropa,
sehingga memunculkan Averroisme yang menuntut kebebasan berpikir. Pengaruh Averroisme
yang begitu besar melahirkan gerakan reformasi pada abad ke-16 M, dan rasionalisme pada
abad ke-17, bahkan renaissance di Eropa. Baca, Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam,
Jakarta: Amzah, Cetakan ke-2, 2010, hlm 177.

55

yang dikategorikan sebagai bagian terpenting dalam penegakan demokrasi, dan hubungannya dengan realitas demokrasi dalam negara yang
berbasis mayoritas Islam.
Islam menaruh perhatian yang serius terhadap aplikasi kristalisasi
nilai-nilai demokrasi. Sebagai rahmatan lilalamin, Islam memiliki tujuan
yang terakumulasi dalam lima prinsip universal (kulliatul khams); yakni
menjamin kebebasan beragama (hifdz al-din), memelihara nyawa (hifdz
al-nafs), menjaga keturunan dan profesi (hifdz al-nasl wa al-irdl), menjamin kebebasan berekspresi dan berpikir (hifdz al-aql), dan memelihara
harta benda (hifdz al-mal). Kelima prinsip tersebut, dewasa ini sangat
relevan dengan prinsip-prinsip HAM yang menjadi pilar demokrasi.3
Dilihat basis empiriknya, agama dan demokrasi memang berbeda.
Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari pergumulan pemikiran manusia. Dengan demikian agama memiliki dialektikannya sendiri. Namun begitu tidak ada halangan bagi agama untuk
berdampingan dengan demokrasi.
Dalam perspektif Islam elemen-elemen demokrasi meliputi:
syura, musawah, adalah, amanah, masuliyyah dan hurriyyah.
Pertama, Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Quran.
Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura (42): 38 dan Ali Imran (3):
159.

38. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya


dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat
antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan
kepada mereka. (QS: As-Syura (42): 38)

Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siradj, MA, Islam Kebangsaan Fiqh Demokratik Kaum Santri, Jakarta:
Pustaka Ciganjur, 1999, hlm 77.

56

Samsul Munir - Islam dan Demokrasi

159. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam
urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya. (QS: Ali Imran (3): 159)

Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal


sebagai pelaksana syura adalah ahl halli wa-laqdi pada zaman khulafaur-rasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim formatur yang bertugas memilih kepala negara atau khalifah. Musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan dan tanggung jawab bersama di
dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, maka
setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi
tanggung jawab bersama. Sikap musyawarah juga merupakan bentuk
dari pemberian penghargaan terhadap orang lain karena pendapatpendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama4.
Kedua, al-adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan
hukum termasuk rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan
harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak boleh kolusi dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah Swt dalam beberapa ayat-Nya, antara lain
dalam surat an-Nahl: 90; QS. as-Syura: 15; al-Maidah: 8; dan an-Nisa:
58. Betapa prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat diperlukan,
sehingga ada ungkapan yang ekstrim berbunyi: Negara yang berkeadilan akan lestari kendati ia negara kafir, sebaliknya negara yang zalim
akan hancur meski ia negara (yang mengatasnamakan) Islam.

Menurut Yusuf al-Qardhawi, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat
dari beberapa hal, misalnya:Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang
untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka.
Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian
juga dengan Islam, Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh
makmum di belakangnya.

57

Ketiga, al-Musawah adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang


merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap
rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam
suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas
rakyat.
Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi
yang diberi wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan
yang jujur dan adil untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan
dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh sebab itu pemerintah
memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat demikian juga
kepada Tuhan. Dengan begitu pemerintah harus amanah, memiliki
sikap dan perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan adil. Sebagian ulama
memahami al-musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip alsyura dan al-adalah. Diantara dalil al-Quran yang sering digunakan
dalam hal ini adalah surat al-Hujurat:13, sementara dalil sunnah-nya
cukup banyak antara lain tercakup dalam khutbah wada dan sabda
Nabi kepada keluarga Bani Hasyim.
Keempat, al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang
diberikan seseorang kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan
atau amanah tersebut harus dijaga dengan baik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh
rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan
penuh rasa tanggung jawab. Persoalan amanah ini terkait dengan sikap
adil seperti ditegaskan Allah Swt dalam surat an-Nisa:58.
Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa diminta, dan orang yang menerima jabatan seharusnya
merasa prihatin bukan malah bersyukur atas jabatan tersebut. Demikianlah etika Islam dalam menerima jabatan.
Kelima, al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Kekuasaan dan
jabatan itu adalah amanah yang harus diwaspadai, bukan nikmat yang
harus disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin
atau penguasa harus dipenuhi. Dan kekuasaan sebagai amanah ini
mememiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus dipertenggungjawabkan di depan Tuhan.
58

Samsul Munir - Islam dan Demokrasi

Menurut Ibn Taimiyyah, bahwa penguasa merupakan wakil


Tuhan dalam mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat
manusia dalam mengatur dirinya. Dengan dihayatinya prinsip
pertanggung jawaban (al-masuliyyah) ini diharapkan masing-masing
orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat luas. Dengan demikian, pemimpin/penguasa tidak ditempatkan
pada posisi sebagai sayyid al-ummah (penguasa umat), melainkan sebagai khadim al-ummah (pelayan umat). Dengan demikian, kemaslahatan
umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau
umat ditinggalkan.
Keenam, al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk
mengekspresikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan
cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam
rangka al-amr bi-l-maruf wa an-nahy an al-munkar, maka tidak ada
alasan bagi penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani
melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah
tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat, maka kezaliman akan
semakin merajalela.
Jika suatu negara konsisten dengan penegakan prinsip-prinsip
atau elemen-elemen demokrasi di atas, maka pemerintahan akan mendapat legitimasi dari rakyat. Dengan demikian maka roda pemerintahan
akan berjalan dengan stabil. Penegakan keadilan, persamaan hak dan
pertanggungjawaban pemerintahan kepada rakyat sebagai pilar-pilar
demokrasi merupakan interpretasi real dari nilai-nilai agama.

C. Demokrasi Dalam Realitas di Kalangan Umat


Islam
Watak ajaran Islam sebagaimana banyak dipahami orang adalah
inklusif dan demokratis. Oleh sebab itu doktrin ajaran ini memerlukan
aktualisasi dalam kehidupan konkret di masyarakat.
Dalam soal kepemimpinan (Al-Imamah) misalnya, konsep dalam
kaidah ushul fiqh dikenal dengan, Tasharuful imam manuthun
bimashlahatir raiyyah. (Political will penguasa itu haruslah selaras
59

dengan kemaslahatan publik). Ini salah satu konsep demokrasi dalam


Islam berkaitan dengan political will penguasa.
Dalam hal pembagian kekuasaan sistem Imamah, dalam Islam
tidaklah mendapatkan rincian yang jelas. Hal ini berbeda dengan
kerangka demokrasi yang membagi suatu kekuasaan Negara dalam
tiga institusi (Trias Politica, as-sulthah al-tsalats), yaitu kekuasaan legislative (as-Sulthah at-tasyriiyyah), eksekutif (as-sulthah at-tanfidziyyah),
dan yudikatif (as-sulthah al-qadhaiyyah).5
Konsep-konsep Islam tentang demokrasi sebenarnya telah ada
dalam ajaran-ajaran Islam. Akan tetapi dalam realitas kehidupan di
kalangan umat Islam, penegakan demokrasi masih sangat minim.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana realitas demokrasi di dunia Islam dalam sejarahnya?
Dalam realitas sejarah Islam memang ada pemerintahan otoriter
yang dibungkus dengan baju Islam seperti pada praktik-praktik yang
dilakukan oleh sebagian penguasa Bani Umayyah dan Abbasiyyah.
Tetapi itu bukan alasan untuk melegitimasi bahwa Islam agama yang
tidak demokratis. Karena sebelum itu juga ada eksperimen demokratisasi dalam sejarah Islam, yaitu pada masa Nabi dan khulafaurrasyidin. Pemerintahan Khulafaurrasyidin merupakan implementasi dan
aplikasi dari nilai-nilai demokrasi dalam sistem pemerintahan Islam.
Memang harus diakui, karena kepentingan dan untuk melanggengkan status quo raja-raja Islam, demokrasi sering dijadikan tumbal.
Di beberapa bagian negara Arab misalnya, Islam seolah-olah mengesankan pemerintahan raja-raja otoriter. Tetapi realitas seperti itu
ternyata juga dialami oleh pemeluk agama lain. Gereja Katolik misalnya,
bersikap acuh-tak acuh ketika terjadi revolusi Perancis. Karena sikap
tersebut kemudian Katolik disebut sebagai tidak demokratis. Hal yang
sama ternyata juga dialami oleh agama Kristen Protestan, dimana pada
awal munculnya, dengan reformasi Martin Luther, Kristen memihak
elit ekonomi, sehingga merugikan posisi kaum tani dan buruh. Tak
mengherankan kalau Kristen pun disebut tidak demokratis.
Melihat kenyataan sejarah yang dialami oleh elit agama-agama
di atas, maka tesis Huntington dan Fukuyama yang mengatakan,
5

Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siradj, MA, Islam Kebangsaan, hlm 68.

60

Samsul Munir - Islam dan Demokrasi

bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak kompatibel dengan


demokrasi adalah tidak benar. Bahkan Huntington mengidentikkan
demokrasi dengan the Western Christian Connection. Inilah memang,
betapa sulitnya menegakkan demokrasi, yang di dalamnya menyangkut soal: persamaan hak, pemberian kebebasan bersuara, penegakan
musyawarah, keadilan, amanah dan tanggung jawab. Sulitnya menegakkan praktik demokratisasi dalam suatu negara oleh penguasa di
atas, seiring dengan kompleksitas problem dan tantangan yang dihadapinya, dan lebih dari itu adalah menyangkut komitmen dan moralitas
sang penguasa itu sendiri. Dengan demikian, memperhatikan relasi
antara agama dan demokrasi dalam sebuah komunitas sosial
menyangkut banyak variabel, termasuk variabel independen nonagama.

D. Pandangan Tentang Islam dan Demokrasi


Bagaimana Islam memandang masalah demokrasi, memang
tidaklah satu kata dalam pandangan kaum muslimin. Ada beberapa
persepsi yang berbeda mengenai Islam dan demokrasi. Memang
terdapat pandangan bahwa sebenarnya Islam telah meletakkan dasardasar demokrasi dalam bermasyarakat dan bernegara. Akan tetapi di
kalangan kaum muslimin terdapat beberapa pandangan yang berbeda
dalam memahami Islam dan demokrasi tersebut. Menurut John L.
Esposito dan James P. Piscatory bahwa secara umum terdapat tiga
kelompok pemikiran tentang Islam dan demokrasi.
1. Islam dan demokrasi adalah dua sistem politik yang berbeda. Islam tidak bisa disubordinirkan dengan demokrasi, Islam merupakan
sistem politik yang self-sufficient. Hubungan keduanya bersifat
mutually exclusive. Islam dipandang sebagai sistem dan demokrasi
adalah dua hal yang berbeda, karena itu demokrasi sebagai konsep
barat tidak tepat untuk dijadikan sebagai acuan dalam hidup
bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Sementara Islam sebagai
agama yang khaffah (sempurna) yang tidak hanya mengatur
persoalan teologi (akidah), dan ibadah, melainkan mengatur segala
aspek kehidupan umat manusia. (Tokohnya yaitu; Sayyid Qutb).
2. Islam berbeda dengan demokrasi apabila demokrasi didefinisikan
secara prosedural seperti dipahami dan dipraktikkan di negara61

negara maju (barat) sedangkan Islam merupakan sistem politik


demokratis kalau demokrasi didefinisikan secara subtantif yakni
kedaulatan ditangan rakyat dan negara merupakan terjemahan dan
kedaulatan rakyat ini. Dengan demikian dalam pandangan kelompok ini demokrasi adalah konsep yang sejalan dengan Islam setelah
diadakan penyesuaian penafsiran terhadap konsep demokrasi itu
sendiri. (Tokohnya yaitu Al-Maududi, di Indonesia diwakili oleh
Moh. Natsir).
3. Islam adalah sistem nilai yang membenarkan dan mendukung
sistem politik demokrasi seperti yang dipraktikkan negara-negara
maju. Di Indonesia, pandangan yang ketiga tampaknya yang lebih
dominan karena demokrasi sudah menjadi bagian integral sistem
pemerintahan Indonesia dan negara-negara muslim lainnya.
(Tokohnya yaitu Amien Rais, Munawir Syadzali, Abdurrahman
Wahid).

E. Perkembangan Demokrasi Di Dunia Islam


Demokrasi di kalangan dunia Islam, dengan melihat realitas yan
ada bisa dikatakan berkembang sangat lambat. Rentang sejarah
umat Islam, setelah masa khulafaur-rasyidin khususnya dalam
sistem pemerintahan, penegakan demokrasi tidak kita temukan. Pada
saat-saat ini realitas keadaan di negara-negara berpenduduk muslim
secara mayoritas juga sulit ditemukan penegakan demokrasi. Bahkan
di beberapa negara Islam dan yang mayoritas berpenduduk muslim,
demokrasi sepertinya sulit dilaksanakan, karena beberapa negara
tersebut justru tidak mencerminkan bentuk negara yang demokrasi,
sehingga pertumbuhan demokrasi di kalangan kaum muslimin sangat
lambat. Ada beberapa alasan teoritis yang bisa menjelaskan tentang
lambatnya pertumbuhan dan perkembangan demokrasi di dunia Islam.
Pemahaman doktrinal menghambat praktik demokrasi, teori ini
dikembangkan oleh Ellie Khudourie bahwa:
1. Gagasan demokrasi masih cukup asing dalam mind-set Islam. Hal
ini disebabkan oleh kebanyakan kaum muslim yang cenderung
memahami demokrasi sebagai sesuatu yang bertentangan dengan
Islam, untuk mengatasi hal ini perlu dikembangkan upaya liberali62

Samsul Munir - Islam dan Demokrasi

sasi pemahaman keagamaan dalam rangka mencari konsensus dan


sistentis antara pemahaman doktrin Islam dengan teori-teori modern seperti demokrasi dan kebebasan.
2. Persoalan kultur. Persoalan kultur politik ditengarai yang paling
bertanggung jawab kenapa sulit membangun demokrasi di negaranegara muslim, termasuk Indonesia. Sebab, ditilik secara doctrinal, pada dasarnya hampir tidak dijumpai hambatan teologis
dikalangan tokoh-tokoh partai, ormas ataupun gerakan Islam yang
memperhadapkan demokrasi vis a vis Islam, bahkan ada kecenderungan untuk menambah tugas (misi) baru yaitu merekonsiliasi
perbedaan-perbedaan antara berbagai teori politik modern dengan
doktrin Islam. Islam dan demokrasi seharusnya berpikir bagaimana
keduanya saling memperkuat (mutually reinforeing).
3. Lambatnya pertumbuhan demokrasi di dunia Islam tak ada
hubungan dengan teologi maupun kultur, melainkan lebih terkait
dengan sifat alamiah demokrasi itu sendiri. Untuk membangun
demokrasi diperlukan kesungguhan, kesabaran dan di atas
segalanya adalah waktu. Jhon Esposito dan O. Voll adalah tokoh
yang tetap optimis terhadap masa depan demokrasi di dunia Islam. Terlepas dari itu semua, tak diragukan lagi, pengalaman empirik
demokrasi dalam sejarah Islam memang sangat terbatas. Dengan
menggunakan parameter, pengalaman empirik demokrasi hanya
bisa ditemukan selama pemerintahan Rasulullah sendiri dan masa
para sahabatnya.

F. Penutup
Dalam kenyataannya di Negara-negara Islam, misalnya Saudi
Arabia, Libya, Aljazair, Mesir, Yaman, Brunai Darussalam, dan Negaranegara Islam lain memang bisa dikatakan sebagai Negara non demokrasi, karena demokrasi sulit ditegakkan di Negara-negara tersebut.
Sulit menemukan realitas Negara Islam yang menegakkan demokrasi
modern pada masa sekarang.
Apakah dengan demikian Islam sesuai dengan demokrasi?Kalau
menurut hemat penulis, jika Islam dipahami sebagai suatu ajaran atau
suatu doktrin maka sebenarnya nilai-nilai ajaran atau doktrin Islam
sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Contohnya adalah ajaran-ajaran
63

Islam mengenai demokrasi seperti: syura, musawah, adalah, amanah,


masuliyyah dan hurriyyah. Dalam sejarah Islam, masa pemerintahan
Rasulullah saw, dan Khulafaur Rasyidin adalah sistem pemerintahan
yang menegakkan nilai-nilai demokrasi dalam pemerintahannya.
Akan tetapi jika melihat realitas penguasa dan sistem pemerintahan di beberapa Negara Islam pada saat ini memang sulit untuk dikatakan bahwa Negara-negara yang mendasarkan Islam sebagai bentuk
negaranya sesuai dengan demokrasi. Maka tidak bisa disalahkan sepenuhnya manakala kita merujuk thesis Samuel P. Huntington dan F.
Fukuyama yang menyatakan bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak compatible dengan demokrasi. Walaupun tidak menutup
kemungkinan pada saatnya mungkin akan terwujud alam demokrasi
dalam dunia Islam.

KEPUSTAKAAN
Azra Azyumardi, 2000. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat
Madani, Jakarta: TIM ICCE UIN.
Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah,
Cetakan ke-2, 2010.
_________, Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Islam, Jakarta: Amzah,
2008.
Beyer, Peter, Religion and Globalzation, Sage Publication, 1994.
Hasan, Muhammad Tholhah, Prospek Islam Dalam Menghadapai
Tantangan Zaman, Jakarta: Lantabora Press, 2003.
Siradj, Said Aqiel, Islam Kebangsaan, Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999.
Wahid, Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, Jakarta: The Wahid Institute, 2007.
Zuli Qodir, Syariah Demokratik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

64

EPISTEMOLOGI HUKUM
ISLAM KONTEMPORER
Mahfudz Junaedi
Penulis adalah Wakil Direktur Program Pascasarjana Universitas Sains AlQuran (UNSIQ) Wonosobo dan Mahasiswa Program Doktor (S3) PPs UIN
Sunan Kalijaga Yogjakarta

Abstraksi:
Epistemologi yang digunakan dalam tulisan makalah ini, seperti
yang sering dipahami banyak kalangan, adalah sebuah cabang ilmu
filsafat yang secara khusus mengkaji teori ilmu pengetahuan (hukum
Islam), yang meliputi kajian tentang hakikat ilmu, sumber-sumber ilmu
(sources og knowledge), metode (method), dan uji kebenaran suatu ilmu
pengethuan (verifikasi). Sedangkan hukum Islam, adalah mencakup
semua aspek dan secara integral dari cakupan istilah dan pengertian
dari syariah, fiqh, dan ushul al-fiqh sebagai metode dalam melakukan istimbath (ijtihad) sehingga menghasilkan hukum Islam (fiqh) yang
meliputi hampir semua aspek kehidupan umat manusia, maupun halhal yang masuk kategori habl min Allah (hubungan umat manusia dengan
Allah).

Kata Kunci: Epistemologi, Hukum Islam, Syariah, Fiqh.

A. Pendahuluan
Perjalanan perkembangan hukum Islam tidak hanya terjadi pada
masa awal-awal Islam, tetapi dinamika dan pembaruan hukum Islam
masih berlanjut sampai sekarang ini. Salah salah faktor yang memungkinkan terjadinya pembaruan hukum Islam adalah pengaruh kemajuan dan pluralitas sosial-budaya dan politik dalam sebuah masyarakat
dan negara. Semenjak umat Islam memasuki dunia modern seiring
dengan munculnya masalah-masalah baru yang ditimbulkan oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi para pemikir hukum
Islam berpendapat bahwa memegangi doktrin dari satu mazhab hukum
65

saja tidak lagi memadahi. Karena itu kemudian mereka melakukan


takhayyur dalam menjawab suatu masalah hukum yang dihadapi, yaitu
proses seleksi terhadap pendapat-pendapat ulama dari berbagai
mazhab untuk mendapatkan jawaban yang paling sesuai dengan konteks zaman. Namun demikian, takhayyur bukan ijtihad, tetapi sebagai
proses awal umat Islam meninggalkan masa jumud dan fanatik
mazhab yang hampir delapan setengah abad (dari pertengahan abad
4 H sampai dengan akhir abad 13 H).1
Langkah yang agak maju dari proses takhayyur adalah melakukan
interpretasi khusus terhadap perintah-perintah tertentu dalam alQuran dan Sunnah Nabi sebagai antisipasi dalam jawaban terhadap
dinamika dan perkembangan masyarakat modern. Interpretasi
terhadap ayat-ayat al-Quran dan Sunnah Nabi pada dasarnya hanyalah
quasi-ijtihad, karena belum menggunakan metode, pendekatan yang
sistematis dan konsisten. Prinsip takhayyur dan quasi-ijtihad berusaha
untuk menghasilkan ketetapan hukum yang sesuai dengan kebutuhan
zaman modern, namun keduanya tidak ditopang oleh metodologi yang
sistematis dan terpadu,2 sehingga sering menimbulkan inkonsistensi
penalaran dan memberi kesan oportunis yang merupakan hanya sifat
sementara atau tumbal sulam bagi masalah hukum Islam yang
dibutuhkan oleh masyarakat.
Tawaran metodologi dari berbagai ulama dan para pemikir hukum
Islam yang berbeda dari metodologi ulama klasik baru muncul pasca
Muhammad Abduh (w. 1905 M). Atas pengaruh pemikiran
Muhammad Abduh yang rasional dan liberal yang kemudian muncul
tawaran-tawaran metodologi baru yang berusaha menggali hukum
Islam dari sumber-sumbernya (al-Quran dan as-Sunnah) untuk
menyesuaikan dengan dinamika dan perkembangan kemajuan zaman.
Perumusan tafsir dan kajian terhadap al-Quran selalu mengalami
perkembangan yang dinamis seiring dengan ekselerasi perkembangan
kondisi sosial-budaya dan peradaban manusia. Hal ini terbukti dengan
munculnya karya-karya tafsir, mulai dari yang klasik hingga kontem1

Awal munculnya pemikiran hukum Islam pada masa modern ini, menurut Abdul Wahhab
Khallaf dimulai pada akhir abad 13 H di Turki Usmani dan kemudian di Mesir. Abd al-Wahhab
Khallaf, Khulashah Tarikh at-Tasyri al-Islamiy (Jakarta: al-Majlis al-Ala al-Indunisi li ad-Dawah
al-Islamiyyah, 1968), hlm. 103-105.
Agus Moh. Najib, Evolusi Syariah: Ikhtiar Mahmoud Taha bagi Pembentukan Hukum Islam
Kontemporer, (Yogjakarta, Pesantren Nawasea Press, 2007), hlm. 4

66

Mahfudz Junaedi - Epistemologi Hukum Islam Kontemporer

porer, dengan berbagai corak, metode, dan pendekatan yang digunakan.


Beberapa tawaran metodologi baru dalam mengkaji al-Quran
terutama dari kelompok Liberalisme Religius yang lebih menekankan
pada hubungan dialektis antara perintah-perintah teks wahyu dan
realitas masyarakat modern; pendekatan yang digunakan adalah
memahami wahyu baik dari sisi teks maupun konteksnya. Hubungan
antara teks wahyu dan masyarakat modern tidak disusun melalui
interpretasi literalis, melainkan melalui interpretasi terhadap jiwa dan
pesan universal yang dikandung oleh teks wahyu. Tawaran beberapa
metodologi dalam melakukan istimbath hukum Islam sebagai pengejawantahan dari pembaruan hukum Islam akan menambah semakin
terbukanya hukum Islam dalam memberikan solusi-solusi pemecahan
masalah hukum Islam para era-global sekarang ini.
Kalau dicermati secara historis pembentukan hukum Islam (fiqh)
banyak dipengaruhi oleh kondisi ruang/tempat dan kondisi umat Islam dengan mengambil contoh wilayah yang sekaligus dianggap
sebagai mazhab, yakni Hijaz, Kufah, dan Mesir, maka jelas sekali peran
dan pengaruhnya elemen-elemen sosial-budaya dan politik terhadap
para fuqaha (para ahli hukum Islam) dalam merumuskan dan melakukan istimbath hukum Islam. Mereka sering kali merumuskan tafsiran
ayat-ayat al-Quan dan Sunnah dalam konteks sosial budaya, ekonomi
dan politik.3 Meskipun demikian, rumusan sistematika tafsiran itu
dalam teori hukum Islam (Ushul Fiqh) baru muncul sejak Asy-Syafii
(w. 204/820) dengan karyanya Ar-Risallah, yang menawarkan teori
qiyas. Perkembangan berikutnya, pembaruan hukum Islam dirumuskan oleh Al-Ghazali (w. 505/1111) yang mengembangkan teori
mashlahah, yang kemudian dilanjutkan oleh Asy-Syathibi (w. 90/1138).
Demikian juga muhammad Abduh (w.1903) sebagai saah satu
pembaru (awal modern) telah merekonstruksi rasionalisme klasik.4
3

A. Qodri A.Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum
Umum (Yogjakarta: Gema Media, 2002). Hlm., 32-33
Pendapat yang menyebutkan bahwa As-Syafii sebagai pendiri ilmu ushul al-fiqh adalah
berkembang di kalangan pengikut mazhab Asy-Syafii, sedangkan dikalangan pengikut mazhab
Hanafi, Syabani, dan Abu Yusuf justru cenderung memperoalkan hal tersebut dan telah
memberikan kontribusi yang cukup besar dalam pengembangan ilmu ushul al-fiqh, jauh sebelum
rumusan ilmu ushul al-fiqh dikembangkan oleh Asy-Syafii. Pendapat ini hanyalah dalam
penyusunan ilmu ushul al-fiqh mana yang lebih sistematis sebagai rujukan dalam melakukan

67

Pembaruan hukum Islam tersebut terus dikembangkan dan


sekaligus telah mendorong para pemikir muslim kontemporer, seperti
Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Abdullah Ahmed an-Naim,
Hassan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Nash Hamid Abu Zaid, dan
Muhammad Syahrur untuk mendekonstruksikan dan sekaligus
merekonstruksi metodologi hukum Islam dan menafsirkan kembali alQuran yang lebih sesuai dengan tantangan dan tuntutan zaman. Adapun
untuk mengurai kembali dalam gerakan pembaruan hukum Islam dapat
dikelompokkan menjadi dua kelompok: Pertama, yakni kelompok yang
menganut paham legal theorists5 yang berpendapat bahwa untuk membenahi ketertinggalan hukum Islam dan untuk menyesuaikan dengan
keadaan aktual harus membuka pintu ijtihad secara bebas tanpa terikat
dengan aturan yang lebih dikenal di kalangan para mujtahid tradisional.
Kelompok ini menghendaki perubahan total, dan tidak peduli teks itu
adalah al-Quran ataupun as-Sunnah. Untuk sampai kepada maksud
tersebut, mereka sering kali menciptakan berbagai kaidah-kaidah baru.
Akan tetapi, upaya penafsirannya sering dianggap sesat walaupun telah
memunculkan corak baru dalam pemikiran hukum Islam karena telah
mampu memberikan tawaran yang meyakinkan, baik dari segi sumber,
metode maupun aplikasinya.6
Kedua, kelompok ahli hukum Islam yang menempatkan teks alQuran dan as-Sunnah sebagai pijakan utama dalam menemukan
segala aktivitas kehidupannya. Ketentuan-ketentuan teks al-Quran
dan as-Sunnah yang jelas dan rinci dan kitab-kitab karya ahli hukum
Islam tradisional diterima tanpa dilakukan interpretasi ulang. Karena

istimabth (Ijtihad) hukum Islam. Farouq Abu Zaid, Hukum Islam Antara tradisonalis dan
Modernis (Jakarta, P3M, 1986), hlm, 1-10
Kelompok yang ahli dalam ilmu ushul al-fiqh. Kecenderungan kelompok ini mengutamakan
akan daripada wahyu. Dalam ilmu ushul al-fiqh, tradisi berpikir ini telah dipelopori oleh
Umar, Abu Hanifah, Rasyid Ridla, Muhammad Abduh, Ahmad Khan, dan Ali Abd al-Raziq.
Leonard Binder, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies (London; The University of Chicago Press, 1988), hlm., 24-25; Hasan At-Turabi, Fiqh Demokratis; Dari Tradisionalisme
Kolektif Menuju Modernisme Populis, terj. Abdul Haris dan Zaimul Am (Bandung: Arasy, 2003),
hlm. 51-73
Satria Effendi M, Ijitihad Sepanjang Sejarah Hukum Islam: Memposisikan K.H. Ali Yafie,
dalam Jamal D. Rahmad, (ed), Wacana Baru Fiqih Sosial: 70 Tahun KH. Ali Yafie (Bandung:
Mizan, 1997), hlm. 154; Asy-Syafii mengatakan bahwa tekslah yang harus dijadikan pedoman
(baca; al-qiyas), bukan istihsan (atau maslahah) yang merupakan produk akal. Muhammad bin
Idri Asy-SyafiI, Ar-Risalah, Ahmad Muhammad Sakir (ed.) (Bairut: Dar al-Fikr, t.th.), hlm.
507.

68

Mahfudz Junaedi - Epistemologi Hukum Islam Kontemporer

cara berpikirnya tekstual dan ukuran kebenarannya hanya disesuaikan


dengan kehendak Allah (Will of God), kelompok ini dikategorikan sebagai pemikir tekstual-teosentris atau tekstual-tradisional. Cara
berpikir inilah yang diyakini tidak akan mampu memberikan solusi
yang memadai dalam menjawab realitas konkret saat ini.7
Berangkat dari latar belakangan pemikiran di atas, penulis hendak
memetakan kembali pemikiran-pemikiran hukum Islam kontemporer
dalam rangka menemukan kembali epistemologi hukum Islam kontemporer dalam menjawab persoalan-persoalan modern, sehingga cara
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dalam rangka menemukan
kebenaran hukum Islam yang sesuai dengan realitas kekinian

B. Epistemologi, Pendekatan dan Metode Kajian.


Istilah epistemologi yang digunakan dalam tulisan makalah ini,
seperti yang sering dipahami banyak kalangan, adalah sebuah cabang
ilmu filsafat yang secara khusus mengkaji teori ilmu pengetahuan
(hukum Islam), yang meliputi kajian tentang hakikat ilmu, sumbersumber ilmu (sources og knowledge), metode (method), dan uji kebenaran suatu ilmu pengetahuan (verifikasi).8 Sedangkan hukum Islam,
adalah mencakup semua aspek dan secara integral dari cakupan istilah
dan pengertian dari syariah, fiqh, dan ushul al-fiqh sebagai metode dalam melakukan istimbath (ijtihad) sehingga menghasilkan hukum
Islam (fiqh) yang meliputi hampir semua aspek kehidupan umat manusia, maupun hal-hal yang masuk kategori habl min Allah (hubungan
umat manusia dengan Allah).9
Menurut Noel J. Coulson,10 hukum Islam terbagi menjadi dua
bagian: hukum Tuhan (divine law) dan hukum para faqih (jurist law).
Dalam kelompok ini garis utama ulama tradisional yang telah menyusun metodologi untuk
menafsirkan al-Quran dan as-Sunnah. Dan ulama pertama yang meletakkan dasar metodologi
pembacaan teks adalah Asy-Syafii melalui kitabnya, Ar-Risalah. Bangunan ushul al-fiqh ini
mencapai fase kematangannya dari para pengikutnya. Sebab, teori interpretasi hukum ini
memiliki kesamaan dengan teori interpretasi para ahli hukum Islam (fuqaha/mujtahid)
tradisional, walaupun mereka juga telah menerapkan teori nasikh dan mansukh, dan
membedakan teks alQuran dan as-Sunnah yang qathi dengan yang zahnni, serta amm dengan
yang khashsh.
8
Lhat Paul Edward (ed.), The Encyclopedia f Phiosophy, II, (New York: Mac-millan Publishing
Co. 1972), hlm. 6; Harold H. Titus, dkk., Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang
1984), hlm. 87-188.
9
A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional ., hlm. 1-4
10
Coulson, Conflicts and Tensions.., hlm. 3
7

69

Yang pertama berkaitan dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan


oleh Allah dan bersifat absolute, sedangkan yang kedua adalah hukumhukum yang diperoleh dari hasil pemahaman manusia yang bersifat
historis dan tidak sakral.11 Dengan demikian, epistemologi hukum
Islam pada dasarnya meliputi pembahasan sumber pengambilan
hukum, metode yang digunakan untuk mencetuskan atau menghasilkan hukum, dan aplikasinya dengan tujuan mentransformasikan
ketentuan-ketentuan teks al-Quran dan as-Sunnah menjadi sebuah
sistem norma-norma yang dapat ditegakkan di masa kini. Adapun
upaya transformatif ini dilakukan dengan menggunakan teori-teori
ilmu pengetahuan (kontemporer) yang telah berkembang dan dikembangkan oleh para pemikir Islam, termasuk teori dari hermeneutika
fenomnologi.
Sedangkan istilah kontemporer dalam pembahasan tulisan ini
berarti era masa kini, zaman sekarang, atau yang bersifat kekinian.
Kontemporer lahir dari modernitas sehingga istilah modern dan
kontemporer, meskipun merujuk pada dua era, keduanya tidak memiliki penggalan waktu yang pasti.12 Adapun batasan pemikiran kontemporer (terutama di dunia Arab) dimulai pada tahun 1967, yakni sejak
kekalahan dunia Arab oleh Israel. Saat itu pula Arab mulai sadar akan
dirinya, lalu muncul berbagai kritik diri (an-naqd adz-dzati) di sanasini untuk melakukan reformasi diri, antara lain dengan menjelaskan
faktor-faktor penyebab kekalahannya atas Israel.13
Berdasarkan uraian di atas pendekatan dan metode kajian terhadap epistemologi hukum Islam kontemporer adalah menjelaskan secara komparatif tentang hakikat hukum Islam, serta bagaimana metode
dan hasil (validitas) ijtihad hukum Islam yang muncul di era kontemporer. Jadi problem inti dalam penulisan makalah ini adalah masalah
pemberian makna, produksi makna, dan keabsahan dalam melakukan
ijtihad dan penafsiran (hermeneutika) terhadap al-Quran dan asSunnah.
Menurut Mohammed Arkoun, ajaran Islam terbagi dua bagian: at-Turast dengan T besar yang
dianggap sakral, wahyu Allah, absolute, dan at-turast dengan t kecil yang tidak sakral dan
bersifat historis karena produk sejarah manusia. Mohammed Arkoun, Al-Fikr al-Islami Quraah
Ilmiyyah, terj, Hasyim Shaleh (Bairut: Markaz al-Inma al-Qaumi, 1987) hlm., 17 dan 18.
12
AS. Hornby, Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English, (Britain: Oxford University Press, 1987), hlm. 184.
13
Issa J. Boulatta, Trends and Issues in Contemporary Thought,(T.tp.: SUNY, 1990), hlm. x
11

70

Mahfudz Junaedi - Epistemologi Hukum Islam Kontemporer

C. Konsep Syariah, Fiqh dan Hukum Islam


1. Syariah
Kata syariah semula mempunyai arti jalan kepada sumber
air atau lembah yang menurun menuju air secara harfiah, kata
syaraa berarti menggambar jalan yang jelas menuju kepada sumber air. Dalam penggunaan yang bersifat keagamaan, kata ini
berarti jalan kehidupan yang baik, yakni nilai-nilai keagamaan
yang dinyatakan secara fungsional dan dalam makna yang konkret,
yang bertujuan mengarahkan perilaku kehidupan manusia.14 Sedangkan istilah, syariah mempunyai beberapa pengertian: Pertama, syariah menurut Mahmut Syaltut, adalah hukum-hukum dan
aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah yang ditujukan bagi
segenap hamba-Nya untuk diikuti.15 Kedua, syariah menurut
Muhammd Said ash-Ashmawi, pada awalnya berarti jalan Allah
(the way of God). Pengertian itu mencakup aturan-aturan hukum
yang diwahyukan dalam al-Quran dan aturan-aturan yang termuat
dalam Hadits, dan selanjutnya tafsir, pendapat, ijtihad, fatwa ulama,
serta keputusan hakim. Ketiga, syariah, menurut Amir Syarifuddin,
adalah hukum atau aturan hukum yang ditetapkan Allah yang
menyangkut tingkah laku manusia. Pengertian ini dibedakan
dengan tasyri yang berarti penetapan hukum atau aturan tersebut.16
Dan Keempat, Syariah, menurut An-Naim merupakan hasil
penafsiran yang berjalan, baik secara lambat, gradual maupun
spontan terhadap al-Quran, dan juga hasil pengumpulan, verifikasi dan penafsiran terhada Sunnah selama masa tiga abad pertama
Islam.
Dari beberapa definisi tersebut, pengertian syariah memiliki
makna yang luas seluas makna agama. Namun perkembangan lebih
lanjut, syariah lalu lebih menyempit pada hal-hal yang menyangkut
Kata syariah mencul dalam beberapa ayat al-Quran seperti pada surat al-Maidah: 48; asySyura: 13 dan al-Jasiyah: 18 yang mengandung arti jalan yang jelas yang membawa kepada
kemenangan. Fazlur Rahman, Islam (Garden City: Anchor Books, 1968), hlm. 117; Amir
Syarifuddin, Pengertian da Sumber Hukum Islam, dalam Ismail Muhammad Syah, et.al.
(peny.), Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 11-12.
15
Mohammad Syaltut, Al-Islam: Akidah wa Syariah (terj) Bustami A. Gani, B. Hamdany Ali
(Jakarta: Bulan Bintang, 1968), hlm. 21
16
Amir Syarifuddin, Pengertian dan Sumber Hukum Islam, dalam Ismail Muhammad Syah
(et.al.), Filsafat Hukum Islam., hlm. 13.
14

71

aturan-aturan praktis, materi hukum, yang sudah pasti tiap-tiap


agama memiliki syariah yang berbeda-beda, dan biasanya berkaitan
dengan kewajiban, perintah dan larangan. Dalam arti yang seperti
ini, syariah adalah sebuah ketentuan hukum yang terdapat di dalam
al-Quran dan Sunnah, atau sebuah ketentan hukum yang merupakan hasil interpretasi para ahli hukum Islam terhadap al-Quran
dan Sunnah, baik yang berhubungan dengan Allah maupun dengan
sesama manusia, baik persoalan keagamaan maupun keduniaan.
Pergeseran eksistensi syariah sebagai hukum-hukum ketetapan
Allah sebagaimana yang terdapat dalam al-Quran dan Sunnah
yang bersifat pokok, universal yang tidak terbatas pada ruang dan
waktu, menjadi hukum yang temporer, rinci yang hanya mengatur
tentang perbuatan wajib, larangan, sunnah, makrum, dan muban
(al-Afalul al-khamsah). Akan mengurangi hakikat syariah sebagai
hukum yang bersifat universal.
Memahami makna syariah sebagaimana yang dikemukakan
oleh An-Naim memiliki kesamaan dengan pandangan R.S. Khare
yang mengatakan bahwa syariah dalah formulasi hukum yang
berjalan dalam waktu lama. Di samping itu, pandangan An-Naim
juga memiliki kesamaan dengan pandangan dengan Ash-Ashmawi
yang memasukkan unsur tafsir, ijtihad, fatwa ulama, dan keputusan-keputusan hakim dalam wacana syariah.17 Maka dalam konteks
ini, syariah merupakan hasil pemahaman tentang Islam yang dipengaruhi kondisi historis tertentu. Pemahaman pemikir modernis
saat ini juga mungkin dan bisa dibenarkan dalam perspektif Islam
sebagaimana halnya rumusan pemikiran tradisional tentang syariah
yang telah diterima dan diakui di masa lampau.

2. Fiqh
Secara harfiah, kata fiqh berarti paham yang mendalam. Bila
kata paham dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriah,
maka fiqh berarti paham yang menyampaikan ilmu lahir kepada
ilmu batin. Karena itu, dapat disebutkan bahwa fiqh tentang sesuatu
17

Mengutif pendapat An-Naim menyitir pendapat Taha, berpendapat: Isi (pesan) al-Quran
dan Sunnah melahirkan dua level, yang pertama merupakan periode awal di Makkah, dan
bagian berikutnya periode Madinah Pesan, Makkah sebenarnya merupakan pesan abadi dan
fundamental dalam Islam, yang menekankan (pemeliharaan) martabat seluruh umat manusia
tanpa membedakan jenis kelamin, keyakinan keagamaan, ras, dan lainnya.

72

Mahfudz Junaedi - Epistemologi Hukum Islam Kontemporer

berarti mengetahui batinnya sampai pada kedalamannya.18 Fiqhu


(paham) itu tidak sama pengertiannya dengan ilmu walaupun
timbangan lafadz-nya adalah sama. Paham adalah pikiran yang baik
dari segi kesiapannya menangka sesuatu yang dituntut walaupun
belum menjadi ilmu. Ilmu bukanlah dalam bentuk yang zhanni
dalam dirinya.
A. Qodri A. Azizy juga menyebutkan bahwa fiqh berarti paham (understanding) yang menjadi kebalikan dari, dan sekaligus
menjadi suplemen terhadap ilm (menerima pelajaran) terhadap
al-Quran dan Sunnah. ilm diartikan dengan menerima pelajaran,
karena proses memperolehnya melalui riwayat penerimaan, seperti
menerima esensi al-Quran atau Sunnah. Penerimaan ini tidak
melalui pemikiran atau pemahaman, namun melalui riwayat. Ini
berbeda dengan memberi hukum terhadap suatu kasus dengan
cara menafsirkan al-Quran dan Sunnah.19 Dari beberapa istilah
fiqh yang dikemukakan oleh para pemikiran Islam, ulama dan
sarjana Islam, yang pada intinya, fiqh merupakan sebuah disiplin
ilmu yang membicarakan suatu pengetahuan hukum Islam.
Sedangkan sebuah displin, ia adalah produk pengetahuan fuqaha
(para ahli hukum Islam) atau mujtahid yang didalamnya diandaikan
adanya proses teoritik untuk menuju produk akhir. Maka fiqh
sebagai hasil ijtihad dalam cara memperoleh dan hasilnya memiliki
dua kemungkinan yaitu: benar dan salah karena fiqh merupakan hasil pemahaman yang mendalam (ijtihad) yang tidak dapat
dilepaskan dari teks dan konteks pada saat teks tersebut dipahami
(ijtihad) disesuaikan dengan sosio-kultural, dinamika dan perkembangan masyarakat pada saat fiqh tersebut ditetapkan sebagai
yurisprodensi hukum Islam.

3. Hukum Islam
Secara etimologis maupun terminologis, istilah hukum Islam
adalah mencakup berbagai persoalan hidup manusia, baik yang
menyangkut urusan dunia maupun urusan akhirat. Sumber utama
hukum Islam adalah wahyu ilahi dan akal manusia. Identitas ganda
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa Raya, 1990),
hlm. 15
19
A. Qodri A. Azizy, Ekletisisme Hukum Nasional .., hlm. 2-3
18

73

hukum Islam ini terlihat dalam dua penunjukan bahasa Arabnya,


syariah dan fiqh. Syariah memiliki keterkaitan yang lebih besar
dengan wahyu ilahi, sedangkan fiqh merupakan produk akal
manusia atau pengetahuan tentang ketentuan praktis syariah yang
diambil dari al-Quran dan Sunnah. Dengan demikian, hukum Islam dapat dikategorikan menjadi dua bagian: Pertama, ketentuanketentuan (hukum) Islam yang jelas dan rinci, seperti masalah
ibadah, pernikahan, ketentuan warisan, dan seterusnya. Bagian
ini merupakan wilayah syariah. Kedua, ketentuan-ketentuan Islam
yang diformulasikan melalui penguraian akal. Bagian ini merupakan
wilayah fiqh.
Beberapa pandangan berpendapat, bahwa hukum Islam baik
dalam al-Quran dan literatur hukum dalam Islam, kata hukum
Islam tidak dijumpai sama sekali, karena istilah hukum diartikan
sebagai sebuah kumpulan aturan, baik berupa hasil pengundangan
formal maupun dari kebiasaan, yang masa sebuah negara atau
masyarakat mengaku terikat sebagai anggota atau subjeknya.20
Kalau pengertian hukum tersebut dihubungkan dengan Islam,
maka hukum Islam adalah sejumlah aturan yang bersumber pada
wahyu dan Sunnah Rasul baik yang langsung maupun yang tidak
langsung yang mengatur tingkah laku manusia yang diakui dan
diyakini serta harus dikerjakan oleh umat Islam.21 Di samping itu,
hukum Islam juga harus memiliki kekuatan untuk mengatur, baik
secara politis maupun sosial, sehingga peran negara memiliki
kompetensi dalam menegakkan aturan tersebut.
Hal tersebut menunjukkan bahwa hukum Islam bisa diklasifikasikan menjadi dua tingkatan: Pertama, hukum Islam yang berarti
al-nushush al-muqaddasah (tek-teks suci) dalam al-Quran dan Sunnah
al-Mutawatirah (Sunnah Mutawatir). Kedua, hukum Islam yang
merupakan produk penafsiran seseorang terhadap an-nushush almuqaddasah (teks-teks suci) yang terdapat dalam al-Quran dan
20
21

Faturrahman Djail, Filsafat Hukum Islam , hlm. 12.


Hukum Islam sebagai koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syariah atas
kebutuhan masyarakat; M. Hasbi ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1975) hlm. 44; kata hukum Islam merupakan terjemahan dari term Islamic law yang berasal
dari pemikir hukum Barat yan disejajarkan dengan istilah Roman Law, dan umumnya para
sarjana Barat non-Muslim menggunakan sebagai terjemahan dari fiqh atau fiqh Islam; Djamil,
Filsafat Hukum Islam., hlm. 11.

74

Mahfudz Junaedi - Epistemologi Hukum Islam Kontemporer

Sunnah al-Mutawatirah.22 Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa hukum Islam yang berarti an-nushush al-muqaddasah yang
meminjam istilah Iskandar Usman adalah pesan Islam yang abadi
dan fundamental (the eternal and fundamental massage of Islam),
sedangkan hukum Islam yang bukan an-nushush al-muqaddasah
adalah produk interpretasi (penafsiran) para ahli hukum Islam.
Dalam hal penafsiran banyak dipengaruhi pada paradigma, sudut
pandang, serta kondisi sosio-kultural pada saat para ahli hukum
Islam melakukan interpretasi atas teks al-Quran dan Sunnah.
Maka hukum Islam mencakup semua persoalan termasuk
masalah keyakinan, ibadah (ritual), etika dan hukum itu sendiri,
urusan yang menyangkut dunia maupun urusan akhirat. Sumber
utama hukum Islam adalah wahyu ilahi dan akal manusia. Identitas
ganda hukum Islam ini terlihat dalam dua penunjukan bahasa
Arabnya, syariah dan fiqh. Penggunaan istilah syariah dan fiqh ini
dalam praktiknya selalu dianggap sama, karena sama-sama mengatur hukum tentang perbuatan manusia yang telah memenuhi
syarat sebagai taklif.

D. Epistemologi Hukum Islam Kontemporer


Sebagaimana telah dijelaskan di depan, bahwa pembahasan
epistemologi terhadap hukum Islam (fiqh) adalah tentang struktur
ilmu pengetahuan (hukum Islam) yang menelaah aspek sumber (alQuran, as-Sunnah), metode dan aplikasinya. Untuk itu, ilmu pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari sebuah paradigma dalam setiap
disiplin ilmu diniscayakan adanya asumsi metodologis23, sehingga teori
dan sains bergantung pada paradigmanya. Demikian juga perkembangan sebuah ilmu sangat dipengaruhi oleh perkembangan sebuah
paradigma. Ilmu-ilmu sosial, termasuk di dalamnya hukum Islam (alfiqh) yang dikembangkan proses ijtihad24 di era modern atau kontemporer, dengan menggunakan metodologi (ushul al-fiqh) sebagai bentuk
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam.., hlm., 103-104
Asumsi inilah yang akan dipergunakan dalam analisisnya, menurut Thomas Kuhn,
sebagaimana dikutif oleh Ian Barbour. Sehingga istilah paradigma (paradigm) sebenarnya
berasal dari bahasa Yunani: paradigma dapat diartikan sebagai cara memandang sesuatu,
totalitas premis-premis dan metodologis yang menentukan suatu suatu ilmiah.
24
Menurut Al-Syirazi: menemukan hukum Islam yang caranya dengan ijtihad, dan ijtihad
meupakan salah satu topik yang tidak pernah dilewatkan dalam ilmu ushul al-fiqh.
22
23

75

penemuan hukum Islam yang sesuai dengan konteksnya. Al-Quran


sebagai sumber hukum Islam dan teks atau ayat al-Quran yang terbatas dengan konteks yang tidak terbatas selalu dilakukan upaya oleh
mujtahid atau mufassir sehingga proses menemukan hukum Islam dan/
atau tafsir merupakan sebuah proses yang tidak pernah selesai sampai
hari kiamat. Proses menemukan (istimbath) hukum Islam atau ijitihad,
baik sebagai produk maupun proses ijtihad terus berkembang seiring
dengan perkembangan dan perubahan zaman. Demikian pula, proses
ijtihad melalui penafsiran al-Quran diupayakan terus berkembang seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan perkembangan
paradigma ilmu pengetahuan untuk menemukan kebenaran sebagaimana yang diisyaratkan oleh Allah melalui al-Quran. Ada beberapa
konstruk dalam melakukan ijtihad dalam rangka menemukan hukum
Islam (fiqh) dan tafsir al-Quran pada era kontemporer ini, antara lain:

1. Ijtihad dan Metode Tafsir Kontemporer.


Epistemologi sebagai cara memperoleh pengetahuan hukum
Islam memiliki fokus pembahasan tentang aspek sumber, metode
dan aplikasi.25 Jujun S. Suriasumantri mengatakan bahwa epistemologi atau teori pengetahuan membahas secara mendalam seluruh proses yang terlihat dalam usaha manusia untuk memperoleh
pengetahuan. Karena ilmu merupakan sebagian dari pengetahuan,
yaitu pengetahuan yang memiliki karakter tertentu, maka ilmu juga
dapat disebut pengetahuan keilmuan. Sehingga istilah yang digunakan adalah science (ilmu) untuk membedakannya dengan knowledge (pengetahuan).26
Dari segi pengetahuan, ilmu lebih bersifat kegiatan daripada
sekadar produk yang siap dikonsumsi. Kata sifat keilmuan lebih
mencerminkan hakikat ilmu daripada istilah ilmu sebagai kata
benda. Kegiatan ilmu adalah dinamis, demokratis dan tidak statis
walaupun biasanya memiliki aksentuasi pada persoalan empiris.27
Yusdani, Kata Penganar Penerjemah, dalam Taha Jabir al-Alwani, Metodologi Hukum Islam.., hlm. xiv-xv: maka istilah Epistemologi sebagai cabang ilmu filsafat yang secara
khusus mengkaji teori ilmu pengetahuan, yang meliputi kajian tentang hakikat ilmu, sumbersumber ilmu (sources of knowledge), metode (method), dan uji kebenaran suatu ilmu pengetahuan
(verifikasi).
26
Jujun S. Suriasumantri, Tentang Hakikat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi, dalam Jujun S.
Suriasumantri (peny), Ilmu dalam Perspektif., hlm. 9; Syamsul Anwar, Pengembangan
Metode Penelitian Hukum Islam dalam Ainurrofiq (ed.), Mazhab Jogja., hlm. 152
25

76

Mahfudz Junaedi - Epistemologi Hukum Islam Kontemporer

Demikian juga kegiatan keilmuan dalam bidang ijtihad hukum Islam dapat berkembang sesuai dengan perkembangan situasi dan
kondisi dalam menetapkan sumber, teknik/metode dan aplikasinya,
baik dalam teori hukum Islam (ushul al-fiqh) maupun hukum Islam (fiqh).
Kalangan ulama tradisional telah memunculkan pembahasan
seputar tiga hal, yaitu aspek sumber, metode dan aplikasi dengan
pendekatan pada penekanan problem yang lebih tekstual-partikularteosentris ketimbang realitas-empiris-rasional. Bahwa sumber hukum
Islam adalah teks al-Quran sebagai sumber pertama dan Sunnah
sebagai sumber kedua, khususnyanya terhadap teks rinci dan jelas
sebagai pijakan dasar di dalam menghadapi teks yang umum28.
Ulama tradisional dalam mengkaji dan melakukan istimbath (mengeluarkan hukum Islam) dengan cara menggunakan keumuman
teks (al-Quran dan Sunnah), tetapi selama teks yang amm itu
tidak ada yang mengkhususkan.
Konsep qathi al-dilalah dan zhanni al-dilalah yakni pembatasan
atas teks (ayat) yang rinci dan jelas tidak memerlukan penafsiran
dan atau ijtihad lagi, sedangkan teks (ayat) yang bersifat umum
seperti ayat-ayat yang diasumsikan zhanni al-dilalahnya diperlukan
ijtihad. Kalau ruang lingkup ijtihad dibatasi pada teks rinci dan
jelas, sehingga pada perkembangan berikutnya tidak ada keterbukaan dalam melakukan ijtihad untuk menjawab persoalan-persoalan
baru dan kontemporer. Maka dalam bangunan pemahaman dan
paradigma ijtihad kontemporer perlu menempatkan al-Quran
sebagai, Pertama: Shalih li Kulli Zaman wa Makan, sehingga prinsipprinsip universal al-Quran akan senantiasa relevan untuk setiap
waktu dan tempat (shalih li kulli zaman wa makan). Asumsi ini
membawa implikasi bahwa problem-problem sosial keagamaan di
era kontemporer tetap akan dapat dijawab oleh al-Quran dengan
cara melakukan kontekstualisasi penafsiran al-Quran secara terus
Jujun S. Suriasumantri, Tentang Hakikat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi, dalam Jujun S.
Suriasumantri (peny), Ilmu dalam Perspektif., hlm. 9
28
Contoh dalam membicarakan tentang keadilan dalam masalah waris, maka konsep keadilan
yang dimaksud adalah berdasarkan teks al-Quran (QS. An-Nisa [4]: 11), meskipun keadilan
bersifat universal sebagai pesan permanennya, maka ketika berbicara tentang kewarisan,
konsep keadilannya berdasarkan pada teks (ayat) yang universal.
27

77

menerus, seiring dengan semangat dan tuntutan problem kontemporer. Pada sisi lain, al-Quran sebagai petunjuk dan sumber hukum Islam tidak hanya diperuntukkan bagi masyarakat Arab saja,
tetapi bagi orang-orang sekarang dan untuk dimasa yang akan
datang, sehingga prinsip-prinsip universal al-Quran dapat dijadikan pijakan untuk menjawab tuntutan perkembangan zaman yang
bersifat temporaldan partikular.
Dengan adanya kodifikasi al-Quran maka teks kitab suci ini
menjadi korpus tertutup dan terbatas (teks yang statis dan konteks
yang dinamis). Padahal, problem umat manusia begitu kompleks
dan tidak terbatas. Maka untuk mengantarkan hukum Islam dapat
diterakan dalam situasi dan kondisi yang ada diperlukan ijtihad
dan penafsiran al-Quran ke dalam konteks partikular era kontemporer yang sesuai dengan semangat zamannya. Dalam hal ini Fazlur
Rahman menegaskan bahwa ayat-ayat al-Quran yang diturunkan
pada waktu tertentu dalam sejarah dengan keadaan umum dan
khusus yang menyertainya - seringkali menggunakan ungkapanungkapan yang sesuai dengan situasi yang mengelilinginya. Menurut ayat-ayat tersebut tidak dapat direduksi atau dibatasi oleh situasi
historis pada saat ia diwahyukan. Oleh karena ini, Rahman kemudian mengajukan model hermeneutika double movement.29
Kedua, memposisikan al-Quran sebagai kitab petunjuk,
menurut Muhammad Abduh, produk-produk tafsir masa lalu telah
kehilangan fungsinya sebagai kitab petunjuk bagi umat manusia
dan tidak lebih sekadar pemaparan atas berbagai pendapat para
ulama yang saling berbeda dan pada akhirnya menjauhan dari
tujuan diturunkannya al-Quran sebagai petunjuk bagi umat
manusia (hudan li an-nas).30 Kecuali beberapa kitab tafsir yang baik
dan dapat dipercaya.31 Tafsir harus berfugsi menjadikan al-Quran
sebagai sumber pentunjuk (mashdar al-hidayah), bukan untuk
membela ideologi tertentu dan beberapa mufassir kontemporer
Lebih lanjut baca Fazlur Rahman, Islam and Modernity, hlm. 4-9; double movement dimaksudkan
adalah seseorang dalam memahami atau menafsirkan Al-Quran disamping dapat menangkap
makna teks, juga harus memperhatikan situasi sosio-historis masa lalu di saat teks itu turun,
untuk kemudian di tarik lagi ke dalam situasi sekarang ini.
30
Muhammad Abduh, Fatihah al-Kitab (Kairo: Kitab al-Tahrir, 1382 H), hlm. 13
31
Seperti ktab tafsir karya az-Zamakhsyari, ath-Thabari, al-Asfihani, dan al-Qurthubi
29

78

Mahfudz Junaedi - Epistemologi Hukum Islam Kontemporer

sedikit banyak telah terpengaruh oleh gagasan Abdul dalam hal


keinginannya untuk mengembalikan al-Quran sebagai petunjuk.
Ketiga, bahwa secara normatif al-Quran diyakini memiliki
kebenaran mutlak, namun kebenaran produk ijtihad berupa fiqh
maupun penafsiran al-Quran bersifat relatif dan tentatif. Sebab
ketika melakukan ijtihad atau menafsirkan al-Quran tidak dapat
dilepaskan dari situasi, kondisi, dan problem sosial yang dihadapinya, sehingga ada jarak antara al-Quran dan penafsirnya. Sehingga
tidak jarang hasil ijtihad ulama fiqh banyak dipengaruhi oleh situasi
subjektif, problem sosial, kultur, budaya dan adat istiadat setempat.
Oleh karena itu, hasil ijtihad (fiqh) atau hasil penafsiran tidak hanya
memproduksi makna pemahaman baru dan atau memproduksi
makna baru teks. Meskipun teks itu tunggal, tetapi jika dibaca,
dipahami dan ditafsirkan oleh banyak pembaca maka hasilnya pun
bisa bervariasi. Dengan demikian hasil ijtihad maupun penafsiran
al-Quran bersifat relatif dan tentatif, akan membuka peluang untuk
melakukan rekonstruksi pemahaman dan penafsiran al-Quran
sesuai dengan konteks dan perkembangan zaman.

2. Hermeneutika
Meminjam pemikiran Fazlur Rahman dalam menggunakan
dua alat analisis hukum Islam untuk menghadapi perkembangan
dan perubahan masa modern, yaitu: Pertama, critrical history adalah
sebuah pendekatan yang pada prinsipnya bertujuan menemukan
fakta-fakta objektif secara utuh dan mencari nilai-nilai tertentu yang
terkandung di dalamnya. Yang ditekankan metode ini adalah
pengungkapan nilai-nilai yang terkandung dalam sejumlah data
sejarah, bukan peristiwa sejarah itu sendiri.32 Kedua, hermeneutika,
khususnya hermeneutika Betti, yang berpendapat bahwa proses
penciptaan yang asal, bentuk-bentuk pemahaman atau penafsiran
32

Akan tetapi, kalau data sejarah hanya dipaparkan kronologisnya saja, maka model teori itu
dinamakan pendekatan kesejarahan. Metode historis kritis ini juga berbeda dengan metode
sosio-historis. Sekalipun kedua metode tersebut sama-sama berusaha menjawab pertanyaan
mengapa. Metode pertama mencari jawabannya pada nilai-nilai yang dominan dalam datadata sejarah, sedangkan metode yang kedua mencarikan jawabannya pada konteks dan latar
belakang peristiwa sejarah tersebut. Namun, kedua metode itu sangatlah penting yang mana
metode sosio-historis berperan mengantarkan kepada metode historiis-kritis; Ghufron A.
Masadi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta:
Rajawali Press, 1997), hlm. 62-63.

79

terhadap karya tulis harus dibawa kembali pada pikiran yang menciptakannya, sebagai satau kesatuan yang koheren, dan dihidupkan
kembali dalam pikiran subjek yang menafsirkan karya tulis.33
Hermeneutika34 sebagai metodologi dalam memahami dan menafsirkan al-Quran merupakan bagian terpenting dalam epistemologi hukum Islam kontemporer.35 Terkait dengan hal ini, Roger
Trigg menyatakan bahwa hermeneutika merupakan suatu mode
penafsiran terhadap teks tradisional (klasik), di mana suatu permasalahan harus selalu diarahkan supaya teks selalu dapat dipahami
dalamn konteks kekinian yang situasinya berbeda36. Nuansa
hermeneutik yang menonjol dalam paradigma tafsir kontemporer
meniscayakan bahwa setiap teks (baca; penafsiran) perlu dicurigai;
ada kepentingan atau ideologi apa dibalik penafsiran teks tersebut.
Model pendekatan37 hermeneutika menjadi menu alternatif
dalam memahami dan menafsirkan al-Quran pada era kontemporer sekarang ini, sehingga metode hermeneutika sebagai bagian
dari rekonstruksi atas pendekatan pemahaman atau dalam melakukan istimbath hukum Islam dianggap memadani dan mampu
menjawab persoalan-persoalan hukum Islam kontemporer. Maka
konsekuensi dari digunakannya model pembacaan dan pemahaman
menggunakan hermeneutika dalam menafsirkan al-Quran tidak
hanya mengandalkan perangkat keilmuan klasik seperti yang
digunakan oleh para ulama fiqh (fuqaha) dan mufassir dahulu,
seperti ilmu nahwu-sharaf, ushul fiqh, dan balaghah, tetapi diperMasadi A. Ghufron, Pemikiran Fazlur Rahman., hlm. 70
Hermeneutika sebagai metode memiliki fokus kajian pada teori umum tentang interpretasi
sebagai metodologi dalam ilmu-ilmu sosial (geisteswissenschaften). Penggunaan hermeneutika
sebagai metode ini ditekankan pada upaya pencapaian objektivitas. Dalam kategori
hermeneutika metode ini yang paling mendekati adalah hermeneutika F. Schleiermacher,
Wilhelm Dilthey, dan Emilio Betti.
35
Jika era klasik lebih menekankan pada praktik eksegetik yang cenderung linier-atomistic dalam
menafsirkan Al-Quran, serta menjadikan kitab suci tersebut sebagai subjek maka tidak
demikian halnya pada era modern dan kontemporer. Paradigma pemahaman dan penafsiran
Al-Quran pada era kontemporer cenderung bernuansa hermeneutik dan lebih menekankan
pada aspek epistemologi-metodologis.
36
Dikutif dari Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, (Jakarta: Paramadina, 1996)
hlm, 161.
37
Ada bebeapa model pendekatan hermeneutik, antara lain: 1) hermeneutika metode
dikembangkan oleh F. Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, dan Emilio Betti; 2) hermeneutika
filosofis yang dianut oleh Martin Heidegger, Gadamer; 3) hermeneutika kritis yang
dikembangkan oleh Nietzsche, Jurgen Habermas
33
34

80

Mahfudz Junaedi - Epistemologi Hukum Islam Kontemporer

lukan juga perangkat ilmu-ilmu lain, seperti sosiologi, antropologi,


filsafat ilmu, dan sejarah. Dengan demikian meminjam istilah Amin
Abdullah paradigma interkoneksi-integrasi antara disiplin
keilmuan dalam memahami dan menafsirkan al-Quran menjadikan suatu hal yang niscaya.
Meski demikian, metode hermeneutika yang dikembangkan
oleh para ahli hukum Islam dan mufassir kontemporer sebenarnya
tidaklah tunggal, melainkan beragam. Keberagaman ini muncul
bukan hanya karena semakin terbukanya umat Islam terhadap
gagasan-gagasan yang berasal dari luar, melainkan juga karena
adanya dinamika dan kesadaran para ahli hukum Islam dan
mufassir akan kekurangan-kekurangan metode dan pendekatan
yang selama ini telah ada. Dengan kentalnya nuansa hermeneutik
maka peran teks pengarang, dan pembaca menjadi berimbang
sehingga kesewenang-wenangan dan pemaksanaan penafsiran
relatif dapat dihindari. Dengan demikian, meminjam istilah Abou
el-Fadl, otoritarianisme lebih otoritatif, tidak otoriter dan juga tidak
despotic.38 Inilah satu implikasi dari digunakannya metode hermeneutika dalam memahami teks al-Quran maupun teks-teks
lainnya.
Dalam tradisi pemahaman dan penafsiran al-Quran yang
menggunakan metode hermeneutika selalu terjadi dialog komunikatif yang berimbang antara dunia teks (the world of text), dunia
penulis (the world of outher), dan dunia pembaca (the world of
reader). Artinya, antara teks, konteks, dan kontekstualisasi selalu
berdiaektika secara sirkular. Paradigma hermneutika selalu melihat
teks secara kritis dan memosisikan sebagai sesuatu yang harus
dibaca secara produktif, bukan hanya reproduktif-repetitif. Inilah
yang oleh Nashr Hamid disebut dengan harakah banduliyah (gerak
pendulum), di mana seorang faqih dan mufassir berangkat dari
realitas (al-waqi) untuk mengungkap apa yang ditunjukkan oleh
teks (dalalah an-nashsh) masa lalu, untuk kemudian kembali untuk
membangun signifikansi (maghza).39
Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan; Seri Fiqh Otoriter ke Fiqh Otoritatif, terj. Cecep Lukma
Yasin, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004). Hlm. 62-63
39
Nashr Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khithab ad-Diniy, (Kairo: Sina li an Nasyr, 1994), hlm. 144
38

81

Dilihat dari sisi sumber pemahaman dan penafsiran di era


kontemporer bersumber ada teks al-Quran, akal (ijtihad), dan realitas empiris. Secara paradigmatik, posisi teks, akal, dan realitas ini
berposisi sebagai objek dan subjek sekaligus. Ketiganya selalu berdialektik secara sirkular dan triadic. Ada peran yang berimbang
antara teks, pengarang, dan pembaca. Paradigma yang dipakai
dalam memandang teks, akal, dan realitas adalah paradigma
fungsional bukan paradigma struktural yang cenderung saling
menghegemoni satu sama lain.
Posisi teks, akal, dan realitas dalam paradigma pemahaman
dan tafsir kontemorer bisa digambarkan sebagai berikut:
PARADIGMA FUNGSIONAL

Hal ini berbeda dengan model paradigma pemahaman dan tasir


klasik-tradisional yang pada umumnya cenderung bersifat struktural dalam memosisikan teks, akal, dan realitas. Sebagi perbandingan, posisi teks, akal, dan realitas dalam paradigma pemahaman
hukum Islam dan tafsir klasik-tradisional dapat digambarkan
sebagai berikut:
PARADIGMA FUNGSIONAL

82

Mahfudz Junaedi - Epistemologi Hukum Islam Kontemporer

Paradigma struktural ini bersifat deduktif, berbeda dengan


paradigma fungsional yang bersifat dialektik. Paradigma fungsional
ini mengasumsikan bahwa sebuah pemahaman dan penafsiran
harus terus menerus dilakukan dan tidak pernah mengenal titik
final atau selesai.

3. Kontekstual dan Berorientasi pada Spirit Al-Quran


Salah satu epistemologi hukum Islam kontemporer adalah
sifatnya yang kontekstual dan berorientasi pada semangat alQuran. Hal ini dilakukan dngan cara mengembangkan dan bahkan
tidak segan-segan mengganti metode dan paradigma pemahaman
dan penafsiran cara lama. Jika metode lama menggunakan metode
analitik yang bersifat atomistik dan parsial maka tidak halnya
dengan para ahli hukum Islam dan mufaasir kontemporer dengan
menggunakan metode tematik (mawdhuiy). Menggunakan pendekatan interdisipliner dengan memanfaatkan perangkat keilmuan
modern, seperti filsafat bahasa, semantik, semiotik, antropologi,
sosiologi dan sains.
Ada diktum yang menjadi jargon para ahli hukum dan
muafassir kontemporer berbunyi: al-Quran itu abadi, namun
penyajiannya selalu kontekstual sehingga meskipun itu turun di
Arab dan menggunakan bahasa Arab, tetapi ia berlaku universal,
melampaui waktu dan tempat yang dialami manusia. Dengan
demikian, para ahli hukum Islam dan mufassir kontemporer
menegaskan bahwa nilai universal yang dimaksud adalah nilai
kebebasan (al-hurriyah), kemanusiaan (humanistic), keadilan (aladalah), dan kesetaaan (al-musawah). Nilai-nilai inilah yang
ditekankan oleh al-Quran melalui berbagai ayatnya. Jika ayat-ayat
al-Quran itu dipahami secara literal, parsial dan sepotong-sepotong
tentu saja nilai-nilai universal ini mustahil bisa ditemukan, dan
dimensi humanistik al-Quran pun menjadi terabaikan. Sehingga
konstruksi epistemologi hukum Islam kontemporer menempatkan
tujuan syariah (maqashid asy-syariah) sebagai pesan moral yang
ada di balik ungkapan literal atau ungkapan harfiah sebagaimana
yang disampaikan al-Quran harus pahami.
Untuk dapat menangkap pesan moral yang terkandung dalam
ayat-ayat al-Quran, Fazlur Rahman mengusulkan pentingnya
83

mengkaji situasi dan kondisi historis yang melarbelakangi turunnya


ayat-ayat al-Quran, baik berupa asbab an-nuzul maupun situasi
sosial, politik, ekonomi, budaya, dan juga peradaban masyarakat pada
saat al-Quran diturunkan. Lebih lanjut, menurut Rahman, ayatayat al-Quran adalah pernyataan moral, religius, dan sosial Tuhan
yang merespon apa yang terjadi dalam masyarakat. Ideal moral inilah
yang harus dijadikan acuan dalam memahami ayat-ayat al-Quran,
sehingga berbagai problem kontemporer dapat dijawab dengan
menggunakan pendekatan double movement. Ada dua langkah yang
harus ditempuh, yakni: Pertama, memahami makna suatu ayat
dengan mengkaji situasi atau problem historis yang muncul ketika
itu, di mana pernyataan ayat tersebut merupakan jawabannya. Kedua,
menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik dan menyatakannya
sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral
sosial umum. Setelah mengetahui apa yang terjadi ideal moral dari
suatu ayat maka kita bisa menjawab problem kontemporer dengan
pesan moral yang terdapat dalam ayat tersebut.40

4. Reformulasi Metode Ijtihad Era Kontemporer.


Ada beberapa metode ijtihad yang telah diformulasikan oleh
para mujtahid dan metode-metode ijtihad tersebut selalu diperdebatkan tentang legalitasnya dalam melakukan istimbath (ijtihad)
hukum Islam (fiqh) untuk dilakukan rekonstruksi sesuai dengan
paradigma dan perkembangan ilmu pengetahuan, antara lain: Pertama, formulasi konsep Makkiyah dan Madaniyah yang memberikan
karakteristik sebagai respons aktual terhadap keadaan riil Nabi dan
respons jangka panjang yang kebenaran dan fungsinya bisa diketahui pada masa depan. Kedua, konsep formulasi Nasikh dan Mansukh
yang secara kebahasaan menimbulkan interpretasi yang berbedabeda sehinga maksud dan tujuan dalam penandaan terhadap ayatayat yang telah di nasakh maupun di mansukh perlu dipertegas.
Ketiga, konsep mashlahah dan istihsan, dan Keempat, konsep ijma
di mana konsep ijma sebagaimana yang konsepkan oleh ulama
fiqh tradisional memiliki definisi yang berbeda sehingga dalam
konteks masyarakat kontemporer sekarang ini batasan ijma tidak
dapat dikontektualisasikan.
40

Fazlur Rahman, Islam and Modernity, hlm. 5-6

84

Mahfudz Junaedi - Epistemologi Hukum Islam Kontemporer

Reformulasi ulang terhadap konsep-konsep motode ijtihad


yang telah ditetapkan oleh para ahli hukum Islam (faquha) dijadikan
sebagai bagian dalam menjawab terhadap problema-problema
kontemporer yang sekarang lebih kompleks. Sementara ini, metodemetode ijtihad klasik sering dijadikan sebagai dokma atau sebagai
produk dari masa lalu dan di masa sekarang produk-produk tersebut
sudah tidak dapat diberlakukan karena situasi dan perkembangan
umat Islam telah berubah.

E. Penutup
Sebagai akhir dari pembahasan makalah dengan judul epistemologi hukum Islam kontemporer, sehingga yang dapat disimpulkan
dari uraian tersebut di atas adalah sebagai berikut:
1. Hukum Islam yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah harus mampu menjawab problema-problema masyarakat modern atau
kontemporer dengan cara selalu melakukan pengkajian dengan
menggunakan pendekatan multidisipliner sesuai dengan paradigma perkembangan ilmu pengetahuan yang berkembangan saat ini.
2. Al-Quran sebagai teks yang berfungsi sebagai petunjuk bagi
manusia harus tetap aktual, yakni shalih li kulli zaman wa makan
yang tidak terbatas pada ruang dan waktu tertentu, tetapi akan
bersifat universal pada semua masyarakat di masa kini, esok dan
yang akan datang. Meskipun ada keterbatasan teks pada sisi lain
perkembangan dinamika masyarakat yang terus berkembang, perlu
dilakukan pemahaman dan penafsiran dengan menggunakan
pendekatan-pendekatan keilmuan atau interdisipliner dan
interkoneksi.
3. Menggunakan hermeneutika double movement sebagaimana yang
digagas oleh Fazlur Rahman sebagai upaya membaca al-Quran
sebagai teks masa lalu dengan memperhatikan konteks sosiohistoris untuk mencari makna otentik (original maening) dan nilainilai ideal moral, lalu kembali ke masa sekarang untuk melakukan
kontekstualisasi terhadap pesan-pesan universal dan eternal alQuran tersebut yang hendak diaplikasikan di era kekinian.

85

DAFTAR PUSTAKA
A Qodri Azizy, 2002, Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi Antara
Hukum Islam dan Hukum Umum, Yogjakarta: Gema Media.
Abdullah Ahmad an-Naim, 1994, Dekonstruksi Syariah. Terj.
Amiruddin ar-Rani, Yogjakarta: LKiS
Abdul Mustaqim, 2003, Madzahibut Tafsir; Peta Metodologi Penafsiran
Al-Quran dari Klasik hingga Kontemporer, Ygjakarta: Nun
Pustaka.
, 2010, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogjakarta: LKiS
Agus Moh. Najib, 2007, Evolusi Syariah; Ikhtiar Mahmoud Mohamed
Taha Bagi Pembentukan Hukum Islam Kontemporer, Yogjakarta,
Pesantren Nawesea Press.
Amin Abdullah, 2002. Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul
Fiqh dan Dampaknya pada Fiqh Kontemporer, dalam Ainur
Rofiq. Madzhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh
Kontemporer, Yogjakarta: Ar-Ruzz Press
, 1994, Falsafah Kalam di Era Posmodernisme, Yogjakarta:
Pustaka pelajar.
, (ed.) dkk, 2000, Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi,
Yogjakarta: Sunan Kalijaga
Ali Nurdin, 2006, Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal
dalam Al-Quran, Jakarta: Erlangga.
Fathurrahman Djamil, 1999, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu.
Fazlur Rahman, 1982, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago: University of Chicaqo Press.
, 1984, Islam. Terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka.
Ghufron A. Masudi, 1997, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi
Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: PT. Grafido Persada.
Hasan Hanafi, 2007, Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat, Terj. Yudian
Wahyudi, Yogjakarta, Nawesea English Pesantren.
86

Mahfudz Junaedi - Epistemologi Hukum Islam Kontemporer

Komaruddin Hidayat, 1996, Memahami Bahasa Agama, Jakarta:


Paramadina.
Muhyar Fanani, 2010, Fiqh Madani: Konstruksi Hukum Islam di Dunia
Modern, Yogjakarta: LKiS.
Moh. Dahlan, 2009, Abdullah Ahmed an-Naim: Epistemologi Hukum Islam, Yogjakarta: Pustaka Pelajar
Muhammad Arkoum, 1997, Berbagai Pembacaan A-Quran. Terj.
Machasin, Jakarta; INIS.
, 1994, Nalar Islam dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan
dan Jalan Baru. Ter. Rahayu S. Hidayat, Jakarta INIS.
Muhammad Syahrur, 2007, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, Terj. Sahiron Syamsuddin, Yogjakarta;
Sukses Offset.
Nasr Hamid Abu-Zayd, 1997, Imam Syafii: Moderatisme Eklektisisme
Arabisme. Terj. Khoiron Nahdliyin, Yogkarta: LKiS
Sahiron Syamsuddin, 2009, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul
Quran, Yogjakarta, Pesantren Nawesea Press.
, 2003, HermeneutikaAl-Quran Mazhab Yogja, Yogjakarta:
Penerbit Islamika.
Yudian Wahyudi, 2006, Ushul Fikih Versus Hermeneutika: Membaca Islam dari Kanada dan Amerika, Yogjakarta, Nawesea English
Pesantren.

87

88

TEOLOGI MULTIKULTURAL
UPAYA MEMBUMIKAN DIMENSI TRANSENDENTAL
DITENGAH KERAGAMAN SUKU, BUDAYA DAN
AGAMA
Nurul Mubin, M.S.I
(Dosen dan Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
(P2M) UNSIQ Wonosobo. Kini sedang mengikuti Program Doktor UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta)

Abstraksi:
Setiap agama memiliki nilai-nilai yang khas yang hanya dimiliki
pada masing-masing agama. Dalam agama terdapat nilai yang bersifat
partikular dan nilai-nilai yang bersifat universal. Dalam konteks teologi
misalnya, keimanan, keyakinan dan kepercayaan adalah sesutu yang
bersifat profan dan partikular yang berbeda antara satu agama dengan
dengan agama yang lain. Keyakinan Islam tentang Tuhannya sangat
berbeda dengan keyakinan (teologi) Yahudi dan Nashrani. Meskipun
didalamnya juga terdapat nilai yang bersifat universal seperti halnya
nilai-nilai tentang kemanusiaan (humanity value).
Dalam perkembangannya, teologi tidak saja berbicara pada ranah
aqidah, Ibadah dan muamalah, akan tetapi juga merambah pada ranah
kajian-kajian antroposentrisme, dimana manusia menjadi bagian
terpenting dalam pemahaman teologi. Tulisan ini akan membahas
bagaimana teologi yang bersifat profan berbicara pada tema-tema yang
bersifat publik.

Kata Kunci: Teologi Multikultural, Pluralisme, Transendental,

Pendahuluan:
Teologi menempati posisi yang penting dalam agama manapun.
Kajian tentang teologi ditempatkan sebagai kajian yang fundamental
yang disebutkan oleh beberapa pengkaji agama sebagai jantungnya
agama. Agama yang hadir sebagai sistem kepercayaan, sistem
89

keimanan dan sistem penyembahan adalah bukti keberadaan teologi


yang sangat dominan dalam agama. Seakan menjadi kesepakatan
bahwa agama tanpa teologi tidak jauh berbeda dengan budaya yang
tidak memiliki korelasi dengan keberadaan sang pencipta, meskipun
dalam budaya terdapat beragam upacara pemujaan kepada Tuhan,
tetapi sesungguhnya budaya adalah ekspresi dari makna teologi yang
sebenarnya.
Konsep tentang teologi dalam agama-agama adalah konsep yang
paling fundamental yang secara historis menjadi sesuatu yang utama
dan terpenting dari semua konsep teologi dalam agama-agama. Pada
beberapa abad pertama munculnya teologi dalam masyarakat Arab
pra Islam menunjukkan bahwa sistem teologi sudah cukup menyejarah dan sangat bervarian. Setiap suku pada masyarakat Arab pra Islam memiliki sistem teologi yang beragam.
Teologi pada dasarnya adalah fenomena eksistensi personal,
profan dan langsung berhubungan dengan Tuhan, sehingga teologi
seringkali dipersepsikan sebagai sesuatu yang tidak ilmiah dan tidak
masuk akal.
Teologi sebagai suatu nilai-nilai agama yang bersifat partikul yang
hanya diyakini, di imani hanya oleh intern penganut agama, perseoalan
teologi tidak memungkinkan terjadinya pertemuan antar pemeluk
agama yang berbeda. Tetapi tidak berarti sesuatu yang bersifat partikular dalam agama menjadi suatu agama tertutup sama sekali dengan
dunia luar yang tidak menyakini keyakinan pertikular tersebut. Dalam
konteks inilah nilai yang bersifat universal diperlukan untuk memungkinkan keyakinan dan agama yang berbeda untuk saling bertemu dan
berdialog antar satu dengan yang lain.
Teologi lebih populer diposisikan sebagai kajian yang berada dalam
ranah teosentrisme, dimana Tuhan sebagai sumber kajian dan sumber
kebenaran segala sesuatu, sehingga teologi merupakan cakrawala
yang berada diawang-awang yang bersifat abstrak, dimana dimensi
syariat dan wahyu sangat dominan didalamnya. Berbeda halnya
dengan antroposentrisme, dimana manusia adalah obyek kajian utama
dengan segala fenomenanya.
Mendiskusikan Teologi multikultural sebenarnya usaha untuk
menghubungkan dimensi yang bersifat profan dan berorientasi wahyu
90

Nurul Mubin, M.S.I - Teologi Multikultural

dengan dimensi sosial dan antropologi yang lebih membumi. Dengan


kata lain, kajian tentang teosentrisme sama sekali berhubungan
dengan budaya, sosial, perilaku dan adat kebiasaan, tetapi sama sekali
tidak bisa dipisahkan dengan wilayah teologis yang bersumber dari
kitab suci agama-agama.
Wacana multikulturalisme inilah yang disebut sebagai nilai universal yang memungkinkan antar agama dan keyakinan untuk
berbicara segala sesuatu dalam bingkai universalitas, bukan sesuatu
yang partikular dan eksklusif. Wacana multikulturalisme sebenarnya
tidak berpretensi menghilangkan nilai-nilai partikular dari agama
karena upaya seperti itu merupakan hal yang imposible.1 terlebih jika
kita mengamati realitas sosial yang sudah terbentuk sebagaimana
aslinya dalam bingkai beragam perbedaan-perbedaan agama, sosial,
budaya dan politik tersebut, yang tidak jarang memicu konflik sosial
yang sangat laten dan turun temurun. Maka wacana tentang teologi
multikultural adalah sesuatu yang niscaya untuk diperbincangkan
untuk menghadirkan sebuah solusi ditengah semakin kuatnya rivalitas masyarakat dalam berbagai kepentingan.
Sejak reformasi tahun 1998, wacana Teologi Multikulturalisme
menjadi wacana yang tidak saja dikonsumsi oleh kalangan akademisi
semata. Masyarakat non akademik, pengambil kebijakan dan pelaku
ekonomi juga terlibat secara intens dalam perkembangan wacana tersebut. Untuk membahas makalah tentang Teologi Multikultural ini
perlu metode penelitian dan pendekatan yang komprehensif agar bisa
mendapatkan kajian yang utuh dan saling berkaitan, sehingga kajian
tentang multikultural ini tidak terjebak pada mono wacana yang cenderung sempit dan tidak obyektif. Oleh karena itu, dalam pembahasan
makalah ini, penulis mengunakan metode penelitian dengan sejumlah
pendekatan diantaranya:
Pertama: Pendekatan dengan melakukan interpretasi secara
normatif- religius. Normatif merupakan aturan atau ketentuan yang
mengikat warga kelompok dalam masyarakat, dipakai sebagai panduan,
tatanan dan kendalian tingkah laku yang sesuai dan diterima. Peneli1

Prof. Dr. HM. Amin Abdullah dalam Kesadaran: Sebuah Gerakan Interest Minimalization
Dalam Meredakan Konflik Sosial (pengantar) dalam buku M. Ainul Yaqin, M.Ed, dalam
Multikultural, Cross-cultural Understanding Untuk Demokrasi dan Keadilan, Pilar Media,
Yogyakarta, 2005. Hal. XIV.

91

tian dengan pendekatan ini bertujuan untuk meneliti dan mengkaji


segala sesuatu yang menjadi pokok kajian menuju suatu pemekaran
makna untuk mencapai suatu kesimpulan melalui nuansa tradisi.2
Pendekatan ini digunakan mengingat wacana tentang Teologi
Multikultural disatu sisi adalah wacana yang bersifat normatif teologis
sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa ayat-ayat al-Quran
tentang gambaran masyarakat multikultural yang tertuang dalam kata
ummatan wahidatan umat yang satu, meskipun berlatar belakang
suku dan agama yang berbeda.
Pendekatan ini akan membantu terhadap berbagai potret tindakan
sosial yang di bentuk oleh sistem sosial, normatif yang ada pada agama
tertentu, demikian juga dengan berbagai tindakan yang mengarahkan
pada kebiasaan dan tradisi-tradisi yang mengakar yang selalu mengiringi
pelaksanaan kehidupan sosial dan agama dalam komunitas tertentu.
Kedua: Pendekatan untuk melakukan interpretasi sosiologi agama
dan antropologis. Pendekatan dan interpretasi ini digunakan untuk
memahami realitas sosial kehidupan masyarakat dewasa ini dan sekaligus pola relasi yang ada pada masyarakat guna menemukan suatu
yang nyata dan jelas serta sesuatu yang tidak tampak di permukaan
guna menemukan kebenaran data, informasi dan fenomena masyarakat Multikultural.
Pendekatan sosiologi agama dan antropologis ini sebagai studi
tentang interrelasi dari agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk
relasi yang ada pada mereka. Anggapan para sosiolog bisa jadi benar,
bahwa dorongan-dorongan, gagasan-gagasan dan kelembagaan agama
mempengaruhi, dan sebaliknya dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan
sosial.3 Sementara pendekatan dan interpretasi secara antropologis
berkaitan dengan soal upacara keagamaan, kepercayaan, tindakan dan
kebiasaan. Pendekatan antropologis pada awalnya digunakan dalam
masyarakat primitif atau masyarakat sebelum mengenal tulisan tetapi
pendekatan ini kini banyak digunakan juga karena antropologi
memandang agama sebagai fenomone kultural.
2

Dr. H. Muhtarom. M.H. Reproduksi Ulama di Era Globalisasi, Resistensi Tradisional Islam, Pustaka
Pelajar, cet 1 Yogyakarta, 2005, hal. 29
Prof. Dr. Iman Suprayogo, Drs. Tobroni, Msi, Metode Penelitian Sosial Agama, Rosda, Bandung,
hal. 61

92

Nurul Mubin, M.S.I - Teologi Multikultural

Selanjutnya metode yang digunakan adalah metode Strukturalisme Transendental, sebagai sebuah metode untuk menerapkan
ajaran Islam dalam transformasi sosial, sebagaimana yang diperkenalkan oleh Kuntowijoyo. Metode ini diperkenalkan oleh Kuntowijoyo
sebagai sebuah metode membangun perspektif al-Quran dalam
memahami realitas khususnya problem epistemologis.
Menurut Kuntowijoyo, dalam epistemologi Islam wahyu itu
sangat penting, berbeda dengan cabang-cabang epistemologi Barat
seperti Rasionalisme dan Empirisme yang menganggap sumber
pengetahuan hanya berasal dari akal dan observasi saja.4 Teologi
Multikultural sebagai sebuah gagasan yang bisa digali lebih dalam
dengan metode dan pendekatan-pendekatan tersebut, karena teologi
merupakan ilmu yang berbasis pada Tuhan dan Multikultural adalah
sebagai sebuah realitas sosial yang memiliki hubungan yang erat ketika
dijelaskan secara teologis.
Untuk mencapai pengetahuan yang lengkap tentang teologi
multikultural, penulis akan mengawali pembahasan makalah ini
dengan terlebih dahulu mendeskripsikan pengertian teologi. Teologi
secara harfiah berasal dari theos yang berarti Tuhan, dan Logos
yang berarti ilmu.5 Secara bahasa teologi adalah ilmu tentang ketuhanan, sementara itu secara terminologi, teologi adalah ilmu yang
membahas tentang Tuhan dengan segala hal yang terkait dengan-Nya,
hubungan manusia dengan Tuhan, dan hubungan Tuhan dengan
manusia.6
Istilah teologi tidak berasal dari khazanah Islam, melainkan dari
tradisi Nasrani. Teologi mengunakan metode transenden dimana cara
pandang teologi tidak lain untuk membantu menganalisis terhadap
masalah ketuhanan dengan mengunakan norma-norma agama dan
simbol keagamaan yang ada. Teologi bukanlah suatu ilmu yang berdiri
sendiri karena menyangkut berbagai hal diantaranya adalah aktivitas
mental, aktivitas sosial dan perilaku sehingga teologi akan besar
pengaruhnya terhadap cara pandang dan tindakan seseorang dalam
kehidupan sehari-hari.
4

5
6

M. Fahmi, Islam Transendental, Menelusuri Jejak-jejak Pemikiran Islam Kuntowijoyo, Pilar Media,
Yogyakarta, 2005 hal. 88
Ahmad Hanafi, Pengantar Theology Islam, Cet. V Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1989, hal. 11
Amsal Bachtiar, Filsafat Agama Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997. Hal. 18

93

Teologi Multikulturalisme merupakan wacana yang berkembang


seiring dengan perkembangan ilmu filsafat di belahan dunia khususnya di Barat. Wacana Teologi Multikulturalisme muncul seiring dengan
semakin gencarnya gerakan globalisasi yang sangat gencar dilakukan
oleh negara-negara maju di dunia. Terlepas dari sikap pro dan kontra
terhadap wacana tersebut, tetapi tidak sedikit kalangan menuduh
Baratlah yang menjadi pemicu dibalik wacana tersebut. Wacana
multikultural oleh beberapa pengkritiknya dianggap sebagai cara Barat
dalam rangka menundukkan negara-negara penentangnya, karena
dengan wacana ini memungkinkan terjadinya pertemuan antar kebudayaan dalam percaturan global. Antar suku, agama dan negara saling
menunjukkan identitas kulturalnya dihadapan negara lain.
Beberapa tokoh menyebutkan bahwa multikultural adalah proyek
negara Barat dalam menghadapi sejumlah momentum penting dalam
tata kehidupan global. Menurut Petter Wilson, multikultural muncul
karena kegagalan pemimpin di dalam mempersatukan orang Negro
dengan orang Kulit Putih. Dari sini dapat diambil sebuah sintesa
bahwa konsep multikultural Petter Wilson semata-mata merupakan
kegagalan dalam mempersatukan kelompok etnis tertentu. Kemudian
problem penghambatan proses integrasi budaya ini berujung kepada
gagalnya atau salahnya perspektif tentang sebuah kesatuan budaya
(Unikultural). Yang seharusnya tidak berarti kemajemukan harus
dipaksakan untuk menjadi satu, akan tetapi perbedaan itu haruslah
menjadi kekuatan yang kompleks untuk bersatu dan berjalan bersama,
tanpa adanya konflik. Adanya sebuah konsesus Neo Liberal yaitu
datang berdasarkan pada kepentingan ekonomi liberalisme. Juga
menjadi faktor penghambat sebuah integrasi bangsa.
Oleh karena itulah, Menurut Kenan Malik (1998), multikulturalisme merupakan produk dari kegagalan politik di negara Barat pada
tahun 1960-an. Kemudian gagalnya perang Dingin tahun 1989,
gagalnya dunia Marxisme kemudian gagalnya gerakan LSM di Asia
Tenggara yang menemukan konsep multikultural yang sebenarnya.
Jalan keluar dari semua itu menurutnya adalah sebuah keadilan yang
masih berpegang pada keanekaragaman budaya yang sejati yang
memungkinkan untuk saling bertegur sapa antar satu budaya dengan
budaya yang lain.
94

Nurul Mubin, M.S.I - Teologi Multikultural

Multikulturalisme adalah realitas yang sudah ada dalam sejarah


umat manusia. Dalam konteks sejarah masyarakat Arab pra Islam,
multikulturalisme yang dibingkai dalam keragaman sistem teologi,
keragaman suku, budaya dan bahasa adalah wujud nyata dari multikulturalisme tersebut. Karena, multikulturalisme menjadi bagian dari
realitas sosial masyarakat saat itu. Ini berarti, multikulturalisme merupakan bagian tak terpisahkan dari realitas sosial kehidupan manusia.
Dari masa yang sangat dini, multikulturalisme telah ada dan selalu
mendampingi sejarah sosial mereka. Di Indonesia misalnya, multikulturalisme telah dijadikan acuan oleh para pendiri bangsa untuk mendesain apa yang disebut kebudayaan bangsa, seperti terungkap dalam
penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: kebudayaan bangsa
(Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah. Sebab itu,
mengingkari multikulturalisme berarti mengingkari realitas sosial
Indonesia yang sudah ada.7
Sebagaimana uraian di atas, maka teologi multikultural adalah
sebuah konstruksi teologis yang berperan besar dalam kehidupan
antar suku, antar umat beragama. Teologi multikultural dapat diartikan sebagai pemahaman keagamaan yang menghargai terhadap
kemajemukan budaya (kultur).
Oleh karena itu, penulis mengajukan pertanyaan untuk menggali
jawaban seputar persoalan berikut: A) Mengapa teologi multikultural
muncul dan bagaimana catatan sejarah tentang hal tersebut? B).
Adakah akar-akar teologis yang menjelaskan hal tersebut? C).
Bagaimana prospek Teologi Multikultural di tengah masyarakat Indonesia? Ketiga pertanyaan ini patut penulis ajukan untuk memperoleh jawaban pada aspek dasar-dasar teologis tentang konsep multikultural yang terkandung dalam kitab-kitab suci agama-agama dan
sekaligus menggali mengapa teologi multikultur ini muncul dan
bagaimana prospeknya dimasa yang akan datang.

Catatan Sejarah Munculnya Wacana Multikultural.


Multikultural berasal dari dua suku kata, yakni; multi yang
berarti banyak dan Kultur yang memiliki kesamaan makna dengan
7

Ahmad Suaedy, Akar Multikulturalisme dalam Al-Quran, dalam www, The Wahid Institut.com,
Kamis 10 Maret 2005

95

budaya. Meskipun tidak sama pemaknaan kultur dengan budaya,


pemaknaan kultur dengan budaya adalah pemaknaan yang menyempitkan substansi yang sebenarnya, tetapi kata kultur sangat familiar
untuk mengambarkan makna budaya. EB. Taylor (1832-1917) dan
L.H. Morgan (1818-1881) menyebutkan bahwa kultur adalah sebuah
budaya yangg universal bagi manusia dalam berbagai macam tingkatan yang dianut oleh seluruh anggota masyarakat. Demikian juga
dengan pendapat sosilog Emile Durkheim (1858-1917) yang menyebutkan bahwa kultur adalah sekelompok masyarakat yang menganut
sekumpulan simbol-simbol yang mengikat di dalam sebuah masyarakat untuk diterapkan.
Pendapat kedua tokoh tersebut berbeda dengan pendapat Leslie
White (1900-1975) yang menyebutkan kultur sebagai cara bagi manusia untuk beradaptasi dengan lingkungannya dan membuat hidupnya
terjamin. Sementara Clifford Geertz (1926) berpendapat bahwa sebuah
cara yang dilakukan oleh semua anggota dalam sebuah kelompok
masyarakat untuk memahami siapa diri mereka dan untuk memberi
arti bagi kehidupan mereka.
Begitu banyaknya pemaknaan tentang kultur (sebelum terlampau
jauh membicarakan multikultural), membuat kita harus menguraikan
terlebih dahulu tentang karakteristik kultur terlebih dahulu. Conrad
P. Kottak (1989) sebagaimana dikutip oleh M. Ainul Yaqin (2005)
menguraikan beberapa karakteristim kultur, diantaranya; kultur
adalah sesuatu yang general dan sekaligus spesifik. General artinya
setiap manusia di dunia ini memiliki kultur, sedangkan spesifik artinya
setiap kultur dalam kelompok masyarakat adalah bervariasi antara satu
dengan yang lain. Kultur adalah sesuatu yang dipelajari, kultur adalah
suatu simbol, kultur juga dimaknai sebagai sesuatu yang dilakukan
bersama-sama dan menjadi atribut bagi individu sebagai anggota dari
kelompok masyarakat, kultur adalah sesuatu yang bersifat adaptif.8
Dari beberapa definisi makna kultur di atas, bisa diambil intisari
bahwa kultur merupakan sesuatu yang dimiliki oleh sebuah komunitas yang berlaku dan megikat semua komponen didalamnya, maka
multikulturalisme adalah jawaban untuk bertemunya antar kultur
8

M. Ainul Yaqin, M.Ed, Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi


dan Keadilan, Pilar Media, Yogyakarta; 2005, hal. 6-9

96

Nurul Mubin, M.S.I - Teologi Multikultural

yang beragam dalam bingkai saling menghargai satu budaya dengan


budaya yang berbeda.
Sementara multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang
ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari
berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik
yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering
digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat
yang berbeda dalam suatu negara.9 Multikulturalisme berasal dari dua
kata; multi (banyak/beragam) dan kultural (budaya atau kebudayaan),
yang secara etimologi berarti keberagaman budaya.10 Budaya yang
mesti dipahami, adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan
mesti dipahami sebagai semua dialektika manusia terhadap kehidupannya. Dialektika ini akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah,
pemikiran, budaya verbal, bahasa dan lain-lain.
Konsep tentang mutikulturalisme, sebagaimana konsep ilmuilmu sosial dan kemanusiaan yang tidak bebas nilai (value free), tidak
luput dari pengayaan maupun penyesuaian ketika dikaji untuk diterapkan. Demikian pula ketika konsep ini masuk ke Indonesia, yang dikenal
dengan sosok keberagamannya. Muncul konsep multikulturalisme
yang dikaitkan dengan agama, yakni multikulturalisme religius yang
menekankan tidak terpisahnya agama dari negara, tidak mentolerir
adanya paham, budaya, dan orang-orang yang atheis (Harahap, 2008).
Dalam konteks ini, multukulturalisme dipandangnya sebagai pengayaan terhadap konsep kerukunan umat beragama yang dikembangkan
secara nasional.
Multikulturalisme boleh dikatakan sebagai sikap dan perlakuan
berdasarkan persamaan dan kesederajatan terhadap realitas plural dan
keberbagaian. Berbeda dengan pluralisme dan keberbagaian, misalnya,
yang lebih cenderung terbatas pada pengakuan atas realitas tersebut,
multikulturalisme lebih dari sekadar pengakuan dan -mungkin penerimaan terhadap kelompok lain, melainkan multikulturalisme adalah
sikap dan perlakuan kesederajatan atas pluralitas dan keberbedaan.
Putra Pratama, Multikulturalisme, Akhlaq, Budi Pekerti dan Masayarakat, Jakarta; 2008 dalam
http://my.opera.com/Putra%20Pratama/blog/show.dml/2743875http://my.opera.com/
Putra%20Pratama/blog/show.dml
10
Priyo Darmanto, Kamus Indonesia Inggris, Arkola, Surabaya, 2007. Hal. 327
9

97

Dalam konteks Indonesia, kemunculan wacana multikulturalisme sebenarnya sudah ada sejak negara ini berdiri. Bhineka Tunggal
Ika adalah semboyan filosofis yang menjadi spirit pembentukan Indonesia. Wacana ini kemudian tenggelam dalam tiga dasawarsa lebih,
sehingga nyaris wacana ini menjadi usang dan tidak masuk di dalam
perdebatan akademik manapun. Meskipun jargon itu semakin gampang diucapkan tetapi semakin jauh dan semakin sulit untuk diimplementasikan. Karena pada level sosial, justru yang dikembangkan adalah kebijakan monokulturalisme (penunggalan atau penyeragaman
budaya) melalui pendekatan asimilasionisme (minoritas membaur
dalam mayoritas)11 yang akhirnya meledak dan berkecamuk dalam
konflik benturan antar budaya yang terjadi dimana-mana.
Dalam konteks Arab pra Islam, realitas yang majemuk itu sudah
muncul dan sesekali berdampingan dan juga berbenturan. Kemajemukan antar suku, Qabilah dan sistem Bani yang tidak lain sebagai
sistem yang kuat dan mengakar yang dipertahankan di tengah
masyarakat.
Selain itu heterogenitas kultural dan struktural serta sistem keyakinan juga sangat plural di tengah masyarakat Arab pra Islam. Sistem
kepercayaan paganisme, Nasrani, Yahudi, Majusi, adalah beberapa
agama yang dianut oleh mereka. Selain juga terdapat komunitas
penyembah matahari, bulan, bintang dan malaikat, yang sering dikenal
dengan istilah Ashobirin. Sementara kelompok penyembah cahaya dan
kegelapan disebut kelompok Zindiq. Sementara kelompok al-Dahriyah
adalah kelompok yang menyakini bahwa dunia adalah alam realitas
yang hakiki, dan menganggap tidak ada lagi kehidupan yang lain,
selain kehidupan itu. Istilah al-Dahriyah disebut dalam al-Quran
untuk menegaskan ciri kelompok ini, yang kalau kita sebut sekarang
mirip dengan aliran materialisme dan ateisme.12 Realitas ini menunjukkan bahwa secara alamiah multikulturalisme sudah ada dari zaman
ke zaman.
Keberadaan berbagai agama dan sistem kepercayaan tersebut
merupakan cermin tumbuhnya pluralisme dan heterogenitas masyara11
12

Melani Budianta, Multikulturalisme dan Penguatan Civil Society, INCIS, Jakarta; 2003 hal 85
Nurul Hak, Kajian Sosio Historis Masyarakat Arab Klasik, Jurnal Penelitian Agama Puslit IAIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta; Nomer 26 Tahun IX September-Desember 2000, hal 40.

98

Nurul Mubin, M.S.I - Teologi Multikultural

kat Arab pra Islam. Pluralisme masyarakat Arab pra-Islam tercermin


minimal dari dua aspek sosio kultural dan sosio religius. Secara sosiokultural, masyarakat Arab pra Islam ditandai oleh polisegmentasi suku
dan qobilah yang tersebar luas di semenanjung jazirah Arab. Sedangkan secara sosio religius, pluralisme dan heterogenitas masyarakat
pra Islam (Jahiliyah) ditandai oleh banyak dan beragamnya sistem
kepercayaan dan agama masyarakat Arab pra Islam.13
Sistem kesukuan atau tribalisme merupakan sistem politik yang
inheren (menyatu) dan sekaligus menjadi prototype dalam kehidupan
masyarakat Arab pra Islam. Dari sistem kesukuan ini menimbulkan
deriviasi struktur sosial; stratifikasi sosial dan sistem perbudakan atau
hamba sahaya (abid). Stratifikasi sosial membangun suatu sistem
sosial yang hirarkis yang mengklasifikasi masyarakat Arab pra Islam
struktur kelas, berdasarkan asal-usul keturunan (nasab) dan kesamaan
darah, kesamaan wilayah (teritorial), serta banyaknya harta kekayaan.
Ketiga aspek ini biasanya menyatu dalam kelompok suku yang tinggi
struktur sosialnya yang berasal dari golongan terpilih bangsawan dan
para saudagar dagang.14
Selain itu, heterogenitas yang paling menonjol pada masayarakat
Arab pra Islam, baik dalam bidang sosial, agama, ekonomi dengan
keragaman suku yang ada yang juga memberikan pengaruh pada corak
keragaman dialek (lahjah). Karena dialek ini tidak saja digunakan
sebagai sarana komunikasi tetapi juga sebagai identitas yang membedakan dengan suku yang lain, sayangnya keragaman ini tidak diimbangi dengan sikap yang terbuka (inklusif) yang berujung ketegangan
antar suku. Hal ini yang mengesankan bahwa pluralitas tersebut
justru semakin meneguhkan eksistensi setiap suku dihadapan suku
yang lain.
Pada sisi lain terdapat fenomena masyarakat Arab pra Islam dalam
konteks kehidupan politik dan masalah Ashobiyah (solidaritas dan
fanatisme kesukuan). Sistem tribalisme merupakan sistem politik
Islam yang sangat primordial, eksklusif, dan paternalistik yang
dibangun atas dasar kesamaan darah dan keturunan (asal-usul nasab),
kekayaan dan wilayah. Sistem ini mengelompokkan komunitas
13
14

Ibid. Hal 32
Ibid, hal 32

99

masyarakat Arab pra Islam kedalam polisegmentasi suku, marga dan


ikatan kekerabatan keluarga seperti bani, di bawah seorang pemimpin
atau kepala suku (Syaikh al-Qobilah).
Dalam konteks Amerika, untuk digunakan sebagai contoh dalam
makalah ini, di Amerika berkembang serangkaian konsep mulai dari
melting pot sampai multikulturalisme. Sejak Columbus menemukan
benua Amerika, berbagai macam bangsa telah menempati benua itu.
Penduduk yang sudah berada di sana sebelum bangsa-bangsa Eropa
membentuk koloni-koloni mereka di Amerika Utara. Tetapi bagi bangsa
Anglo-Sakson yang menyebarkan koloni di abad ke-17, tanah di
Negeri Baru itu adalah kawasan tak bertuan dan bangsa-bangsa yang
ditemui adalah bangsa-bangsa primitif yang merupakan bagian dari
alam yang harus di taklukkan.
Dalam perkembangannya, kedatangan kaum imigran dari berbagai pelosok Eropa Barat dan Timur ke wilayyah yang dikuasai oleh
bangsa Anglo-sakson tersebut muncul konsep yang dikenal dengan
sebutan melting pot.15 Konsep inilah yang dikemudian hari memicu
munculnya konsep Cultural Pluralism yang membedakan antara ruang
publik yang homogen, tempat semua warga bersosialisasi dan berpartisipasi dalam politik dan ruang privat yang penuh dengan keragaman
budaya berdasarkan latar-belakang masing-masing warga.
Diberbagai bangsa, fenomena multikultural muncul dalam perwujudan yang berbeda. Di Indonesia fenomena ini sebagai fenomena
yang cukup kaya dan berkembang dengan baik, meskipun dalam panggung sejarah, Indonesia juga memiliki noda hitam terhadap ancaman
perpecahan akibat dari realitas yang multikultural tetapi disikapi
dengan cara pandang yang monokultural. Maka muncullah politik
identitas yang cenderung menonjolkan identitas suku, agama dan
rasnya sendiri.
Oleh karena itu, dalam konteks multikulturalisme perlu mengunakan pendekatan post-strukturalisme sebagai cara pandang yang
mengacu pada dua hal, yakni; 1). Identitas budaya seseorang dalam
komunitas budaya tertentu tidaklah tunggal, melainkan majemuk,
merupakan persilangan merupakan etnisitas atau ras, kelas atau posisi
sosial ekonomi, jenis kelamin dan ideologi gender, orientasi seksual,
15

Melani Budianta, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural, INCIS, Jakarta; 2003. Hal. 92

100

Nurul Mubin, M.S.I - Teologi Multikultural

agama, usia, profesi dan seterusnya. Dengan demikian orientasi, loyalitas dan acuan budaya yang menentukan perilaku seseorang bersifat
majemuk dan komplek. 2). Identitas budaya bukan merupakan suatu
esensi melainkan suatu konstruksi sosial yang terwujud dari sosialisasi dari berbagai arah. Dengan demikian, identitas budaya merupakan
sesuatu yang negosiasi terus menerus kekuatan dari dalam diri, suatu
peluang bagi aktor untuk memilih dan menentukan acuan-acuan dan
gambaran diri, dan kekuatan dari luar untuk memaksa atau membuat
kategori-kategori atas diri yang bersangkutan berdasarkan acuanacuan yang disosialisasikan dalam masyarakat luas.16

Akar-akar Teologi Multikultural


Jika dirunut dari akar teologisnya, multikulturalisme dapat
ditemukan dalam beberapa penjelasan yang tertuang di dalam beberapa
ayat al-Quran, diantaranya adalah terdapat dalam Q.S. al-Hujurat ayat
13. Di sana dikatakan, Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan
tanpa membeda-bedakan derajatnya. Tuhan juga menjadikan umat
manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa, dan berkelompok-kelompok. Semua dipandang sama oleh Tuhan. Tujuannya cuma satu: li
taarafu (untuk saling mengenal satu sama lain secara baik).
Ayat di atas, tidak hanya mengisyaratkan bagaimana al-Quran
memotret realitas perbedaan suku, agama, bahasa, dan lain sebagainya.
Tapi juga bagaimana sikap al-Quran terhadap pluralitas atau keragaman itu sendiri, yakni bahwa manusia tidak dibedakan berdasarkan jenis
kelamin, suku, bangsa, dan seterusnya. Yang membedakan mereka
adalah kadar ketakwaannya kepada Tuhan.
Hai Manusia, Sesungguhnya telah Ku-ciptakan kalian sebagai laki-laki
dan perempuan, dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu
di depan Allah adalah mereka yang paling bertakwa.17

Ayat di atas bagi penulis sangat jelas, bukan hanya cara al-Quran
mengungkapkan realitas plural dan multikultural umat manusia di
dunia ini, tetapi lebih-lebih pada sikap al-Quran terhadap realitas plural dan multikultural itu sendiri. Perhatikanlah mukhottob atau lawan
16
17

Ibid, hal 95
QS. al-Hujuraat(49):13

101

bicara Tuhan di situ. Bukan hanya umat Islam tetapi umat manusia,
Hai manusia! Dan perhatikan pula akhir ayat tersebut, bahwa mereka
atau individu yang paling mulia bukanlah suku Arab, Aria, Eropa,
Kulit Putih atau kulit Hitam, melainkan mereka yang paling bertaqwa
kepada Tuhannya.
Kalau kita melihat dan merenungi ayat ini sebenarnya kita sudah
tidak bisa berkata-kata lagi. Sudah terlalu jelas apa yang dimaui alQuran yang sudah seharusnya menjadi pedoman bagi kehidupan
umat Islam di mana pun, dan tentu saja umat-umat beragama lainnya.
Teologi multikultural hadir dalam rangka mengoptimalkan peran
agama sebagai faktor integrasi dan pemersatu. Al-Quran, misalnya,
memuat banyak sekali ayat yang bisa dijadikan asas untuk menghormati dan melakukan rekonsiliasi di antara sesama manusia. Dalam
tulisan ini dapat dikemukkan contoh sebagai berikut;.
Pertama, al-Quran menyatakan bahwa; dulu manusia adalah
umat yang satu. (setelah timbul perselisihan) maka Allah mengutus
para Nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.
Dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk
memberikan keputusan diantara manusia tentang perkara yang
mereka perselisihkan.
Tidak berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah
memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal
yang mereka perselisihkan itu dengan kehendakNya. Dan Allah selalu memberi
petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki kepada jalan yang lurus,18
Dengan ayat ini, al-Quran menegaskan konsep kemanusiaaan
universal Islam yang mengajarkan bahwa umat manusia pada mulanya
adalah satu. Perselisihan terjadi disebabkan oleh timbulnya berbagai
vested interest masing-masing kelompok manusia. Yang masing-masing mereka mengadakan penafsiran yang berbeda tentang suatu
hakikat kebenaran menurut vested interest-nya.
Kedua, meskipun asal mereka adalah satu, pola hidupnya menganut hukum tentang kemajemukan, antara lain karena Allah menetap18

Q.s. al-Baqarah: 213

102

Nurul Mubin, M.S.I - Teologi Multikultural

kan jalan dan pedoman hidup yang berbeda-beda untuk berbagai


golongan manusia. Perbedaan itu seharusnya tidak menjadi sebab
perselisihan dan permusuhan, melainkan pangkal tolak bagi perlombaan untuk melakukan berbagai kebaikan. Al-Quran menyebutkan;
.. Untuk tiap-tiap manusia diantara kamu, Kami berikan jalan dan
pedoman hidup. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikannya
satu umat saja.

Tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semua, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa
yang telah kamu perselisihkan itu.
Sehingga dari kedua ayat diatas dapat saya tarik kesimpulan bahwa; betapapun perbuatan yang terjadi pada manusia di bumi ini, namun
hakikat kemanusiaan akan tetap dan tidak akan berubah. Yaitu fitrahnya yang hanif, sebagai wujud perjanjian primordial (azali) antara
Tuhan dan Manusia sendiri. Responsi atau timbal balik manusia kepada ajaran tentang kemanusiaan universal adalah kelanjutan dan eksistensialisme dari perjanjian primordial itu dalam hidup di dunia ini.
Dari penjelasan beberapa ayat tersebut, jelaslah bahwa dalam pandangan Islam, multikultural adalah sunatullah yang tidak bisa dipungkiri. Justru dalam dalam multikulural itulah terdapat nilai-nilai penting
dalam membangunan kesadaran Iman. Sebagaimana tertuang dalam
al-Quran yang artinya sebagai berikut:
Da diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya, adalah menciptakan langit dan
bumi yang berlainan bahasa dan kulitmu. Sesungguhnya pada demikian itu
terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengetahui. 19

Selain itu, kita juga harus membutuhkan sebuah artikulasi atau


penjabaran suatu visi dari dalam yang baru tentang manusia. Sekarang
menjadi suatu keharusan bahwa semua agama harus mengambil
bagian. Sekurang-kurangnya untuk sebagian dari sebuah visi dari dalam, sebuah konsep manusia mengenai dirinya sendiri, sesama,
bahkan dengan orang yang menyatakan dirinya tidak beragama
sekalipun.
19

Baca. QS. al-Rum: 22

103

Selain itu, kajian secara teologis juga ditunjukkan dalam ayatayat al-Quran tersebut yang berkenaan dengan multikulturalisme,
Islam juga memberikan beberapa prinsip yang berhubungan dengan
multikulturalisme ini. Diantaranya adalah; 1) Prinsip egalitarianisme
(al-musawat) yang memandang manusia memiliki derajat yang sama.20
Pada ayat ini secara teologis menjelaskan bahwa harkat dan martabat
manusia ditentukan oleh kualitas ketaatannya kepada sang pencipta.
Penyetaraan derajat sesama manusia ini akan menghilangkan jurang
pemisah diantara manusia. 2). Prinsip keadilan (al-adalah). Prinsip
ini akan semakin meneguhkan keberadaan manusia dalam kehidupan
ini untuk senantiasa bertindak adil kepada sesama manusia meskipun
berbeda kultur, agama, ras dan latar belajar sosialnya. (3) Prinsip toleransi (tasamuh). Sikap ini adalah sikap untuk menghargai atas perbedaan pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan yang berbeda atau
bertentangan dengan pendirian sendiri. (4) Prinsip saling menghormati, kerjasama dan pertemanan. (5) Prinsip ko-eksistensi damai (al
taayusy al-silmi). Prinsip ini merupakan dasar hubungan antar manusia sesuai dengan arti generik Islam itu sendiri, yaitu damai. (6) Dialog yang aktif dan konstruktif transformatif (mujadalat bil al-hasan).21

Prospek Teologi Multukultural di Tengah


Masyarakat Indonesia.
Multikultur merupakan sebuah realitas sejarah yang tidak bisa
dipungkiri, secara teologis jelas sekali bahwa multikultural, multi
agama dan realitas kemajemukan sosial, ekonomi, budaya, politik dan
peradaban adalah sesuatu secara teologis digaris oleh Tuhan. Pemahaman ini dapat dianalisis secara normatif religius, dimana dengan
turunnya beberapa ayat-ayat al-Quran sebagai guide manusia untuk
menjawab tantangan al-Quran tentang bagaimana seharusnya umat
manusia menghadapi realitas sosial yang majemuk dalam segala
aspeknya. Sebagaimana dalam pesan al-Quran agar manusia saling
mengenal satu dengan yang lain, mengenal satu suku dengan suku
yang berbeda, yang pada tingkat tertentu saling mengenal itu tidak
20
21

QS. al-Hujurat; 13
Ngainun Naim, Teologi Kerukunan, Mencari Titik Temu Dalam Keragaman, Teras, Yogyakarta,
2001, hal 53-55

104

Nurul Mubin, M.S.I - Teologi Multikultural

saja terletak pada pengetahuan seseorang akan keberadaan orang lain


yang berbeda dengan dirinya melainkan juga memahami dan sekaligus
bersikap menghargai atas kenyataan yang plural tersebut.
Sekadar mengetahui bahwa orang lain berbeda dalam banyak
aspek, budaya, sosial, ekonomi, politik dan sebagainya dengan dirinya,
baik secara kodrati maupun karena produk konstruksi sosial, tidaklah
cukup. Seseorang butuh pemahaman yang utuh dan sikap yang
dewasa untuk bisa menerima realitas itu sebagai sebuah kesunyataan
yang tidak bisa dipungkiri. Terlalu berpandangan fatalis terhadap realitas multikultural dengan pandangan bahwa multikulturalisme adalah
sesuatu yang telah diciptakan oleh Tuhan yang melangit adalah pandangan yang keliru sama sekali, demikian juga pandangan bahwa
realitas multikultural merupakan sesuatu yang terbangun oleh konstruksi sosial semata-mata, sebagaimana pandangan pada pengagum
empirisme rasionalis yang diwakili ilmuwan Barat juga tidak akan
menemukan realitas sosial yang utuh.
Multikulturalisme sebagaimana dijelaskan di atas mempunyai
peran yang besar dalam pembangunan bangsa. Indonesia sebagai
suatu negara yang berdiri di atas keanekaragaman kebudayaan meniscayakan pentingnya multikulturalisme dalam pembangunan bangsa.
Dengan multikulturalisme ini maka prinsip bhineka tunggal ika
seperti yang tercantum dalam dasar negara akan menjadi terwujud.
Keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia akan
menjadi inspirasi dan potensi bagi pembangunan bangsa sehingga
cita-cita untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur,
dan sejahtera sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dapat tercapai.
Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan
asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa
(nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki
adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah monokultural juga
dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum
terwujud (pre-existing homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah
timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan
yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga
tercipta sebuah kebudayaan baru.
105

Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris (English-speaking countries), yang dimulai di Kanada
pada tahun 1971. Kebijakan ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar
anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan sebagai konsensus
sosial di antara elit. Namun beberapa tahun belakangan, sejumlah
negara Eropa, terutama Belanda dan Denmark, mulai mengubah kebijakan mereka ke arah kebijakan monokulturalisme. Pengubahan
kebijakan tersebut juga mulai menjadi subyek debat di Britania Raya
dam Jerman, dan beberapa negara lainnya.
Adalah Samuel P. Huntuington (1993) yang meramalkan bahwa
sebenarnya konflik antar peradaban di masa depan tidak lagi disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik dan ideologi, tetapi justru dipicu
oleh masalah masalah suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
Konflik tersebut menjadi gejala terkuat yang menandai runtuhnya
polarisasi ideologi dunia kedalam komunisme dan kapitalisme. Bersamaan dengan runtuhnya struktur politik negara-negara Eropa Timur.
Ramalan ini sebenarnya telah didukung oleh peristiwa sejarah yang
terjadi pada era 1980-an yaitu terjadinya perang etnik di kawasan
Balkan, di Yugoslavia pasca pemerintahan Josep Broz Tito: Keragaman,
yang disatu sisi merupakan kekayaan dan kekuatan, berbalik menjadi
sumber perpecahan ketika pemimpin yang mengikatnya lengser.
Ramalan Hantington tersebut diperkuat dengan alasannya
mengapa di masa depan mendatang akan terjadi benturan antarperadaban. Antara lain adalah:
Pertama, perbedaan antara peradaban tidak hanya riil, tetapi juga
mendasar. Kedua, Dunia sekarang semakin menyempiti interaksi
antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. Ketiga,
proses modernisasi ekonomi dan sosial dunia membuat orang atau
masyarakat tercerabut dari identitas lokal mereka yang sudah berakar,
di samping memperlemah negara-negara sebagai sumber identitas
mereka. Keempat, timbulnya kesadaran peradaban dimungkinkan
karena peran ganda Barat. Disatu sisi Barat berada di puncak kekuatan.
Di sisi lain mungkin ini akibat dari posisi Barat tersebut, kembalinya
fenomena asal, sedang berlangsung diantara peradaban-peradaban
Non-Barat. Kelima, karakteristik dan perbedaan budaya kurang bisa

106

Nurul Mubin, M.S.I - Teologi Multikultural

menyatu dan karena itu kurang bisa berkompromi dibanding karakteristik dan perbedaan politik dan ekonomi.
Akan tetapi asumsi tersebut tidak mutlak menjadi sebab utama
terjadinya sebuah perpecahan. Misalnya, setelah berakhirnya Perang
Dingin, kecenderungan yang terjadi bukanlah pengelompokan masyarakat ke dalam entitas tertinggi, yaitu pengelompokan peradaban, tetapi
perpecahan menuju entitas yang lebih kecil lagi, yaitu berdasarkan
suku dan etnisitas. Hal ini jelas sekali terlihat pada disintegrasi Uni
Soviet yang secara ironis justru disatukan oleh dasar budaya dan peradaban yang sama. Dan lain lagi, persoalan perpecahan antara Jerman
Barat dan Jerman Timur yang kembali bersatu karena persamaan suku
dan kebudayaan. Dan multikulturalisme justru menjadi sebuah
pemersatu yang kokoh.
Dalam konteks Indonesia, multikulturalisme yang tercermin dalam semangat Bhineka Tunggal Ika justru telah terbukti kuat melampaui zaman hingga 7 abad lamanya dalam bingkai Pancasila yang lahir
dari semangat teologis pada masa awal pembentukan dasar negara
pada sila pertama pancasila.
Perdebatan tentang sila pertama dari pancasila yang pada mulanya
terdapat kalimat Ketuhanan yang berdasarkan Syariat Islam menunjukkan adanya perdebatan teologis yang cukup runyam hingga
akhirnya berubah menjadi Ketuhanan yang maha Esa. Semangat
teologi multikultural pada pengalaman pembentukan bangsa ini sudah
tercermin dari para pendiri bangsa ini.
Tetapi berbicara tentang prospek masa depan multikultural di
Indonesia, merupakan tantangan yang besar. Gugatan-gugatan untuk
kembali kepada dasar negara dengan pemberlakuan Syariat Islam
adalah sebuah keinginan sejumlah kelompok yang secara masif akan
menganggu proses pembangunan peradaban multikultur yang sudah
terbina ratusan tahun silam.
Artinya, tantangan ke depan semakin kuat, karena realitas yang
plural dan multikultur oleh beberapa kalangan dianggap sebagai
ancaman karena adanya agenda setting dari bangsa lain yang akan
menguasainya. Kecurigaan ini tentu saja beralasan, tetapi apriori
terhadap realitas multikultural adalah sesuatu yang menghambat
pembentukan bangsa yang lebih beradabad dimasa yang akan datang.
107

Daftar Pustaka
Prof. Dr. HM. Amin Abdullah dalam Kesadaran: Sebuah Gerakan Interest Minimalization Dalam Meredakan Konflik Sosial (pengantar) dalam buku M. Ainul Yaqin, M.Ed, dalam Multikultural,
Cross-cultural Understanding Untuk Demokrasi dan Keadilan,
Pilar Media, Yogyakarta, 2005.
Dr. H. Muhtarom. M.H. Reproduksi Ulama di Era Globalisasi, Resistensi
Tradisional Islam, Pustaka Pelajar, cet 1 Yogyakarta, 2005.
Prof. Dr. Iman Suprayogo, Drs. Tobroni, Msi, Metode Penelitian Sosial
Agama, Rosda, Bandung
M. Fahmi, Islam Transendental, Menelusuri Jejak-jejak Pemikiran Islam
Kuntowijoyo, Pilar Media, Yogyakarta, 2005.
Ahmad Hanafi, Pengantar Theology Islam, Cet. V Pustaka Al-Husna,
Jakarta, 1989.
Amsal Bachtiar, Filsafat Agama Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997.
Ahmad Suaedy, Akar Multikulturalisme dalam Al-Quran, dalam www,
The Wahid Institut.com.
M. Ainul Yaqin, M.Ed, Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, Pilar Media, Yogyakarta;
2005,
Putra Pratama, Multikulturalisme, Akhlaq, Budi Pekerti dan Masayarakat,
Jakarta; 2008 dalam http://my.opera.com/Putra%20Pratama/
blog/show.dml/2743875http://my.opera.com/Putra%20
Pratama/blog/show.dml
Priyo Darmanto, Kamus Indonesia Inggris, Arkola, Surabaya, 2007.
Melani Budianta, Multikulturalisme dan Penguatan Civil Society, INCIS,
Jakarta; 2003
Nurul Hak, Kajian Sosio Historis Masyarakat Arab Klasik, Jurnal Penelitian Agama Puslit IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta; Nomer
26 Tahun IX September-Desember 2000
Zakiyudin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural,
Erlangga, Jakarta; 2005
Ngainun Naim, Teologi Kerukunan Mencari Titik Temu dalam Keragaman,
Teras, Yogyakarta, 2011
108

FILSAFAT PROFETIK MENURUT


SEYYED HOSSEIN NASR
Khusnul Khotimah
Dosen Filsafat Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Purwokerto

Abstrak
Filsafat profetik oleh Nars diidentikkan dengan filsafat Islam, ia
merupakan bentuk kearifan dalam dunia Islam, yang memberi gema
tersendiri khususnya tentang hakikat wujud (metafisika) ke dalam
filsafat Yunani yang bersumber dari al-Quran dan al-hadits. Sebagai
filsafat tradisional filsafat Islam didasarkan pada akal supra individualistik
daripada opini individualistik. Filsafat ini menafaskan suatu semesta
religius dalam makna kitab suci dan kerasulan yang mendominasi
cakrawala. Filsafat ini didasarkan pada kecerdasan sebagai fakultas yang
secara adikodrati alamiah dalam diri manusia yang mengarah kepada
kebenaran-kebenaran sebagaimana yang diwahyukan, melalui semua
obyek yang dipadukan dengan Yang Esa, di mana selalu memperhatikan
isu-isu sentral tentang harmoni antara akal dan wahyu. Sebab itu filsafat
ini kaya tidak hanya pada filsafat religius dan etika, tetapi juga dalam
filsafat alam dan matematika serta seni. Kendatipun banyak kalangan
yang mempertanyakan apakah filsafat merupakan bagian dari khasanah
intelektual Islam, atau merupakan peradaban Barat yang ditransmisikan
dalam Islam, namun para tokoh telah membuktikan jati diri filsafat
Islam melalui sintesa antara pemikiran Islam dan Yunani.

Kata Kunci: Filsafat, Profetik,

A. Pendahuluan
Jika membicarakan wacana filsafat profetik maka akan teringat
pembahasan profetik yang dinisbatkan pada gagasan dari para tokoh
yang secara tidak langsung membahas tentang ilmu keislaman profetik
antara lain:
1. Konsep teologi profetik Suhermanto Jafar yang melandasi bahwa
agama-agama dengan kreatifitas kenabiannya menghendaki
109

terjadinya keseimbangan di setiap lini eksistensi manifestasi manusia. Kebekuan-kebekuan atau tembok pengetahuan yang tertutup
satu sama lain sejatinya memeiliki sinergitas yang saling melengkapi kebenaran Tuhan.1
2. Konsep etika profetik Muhammad Iqbal yang menyatakan bahwa
Nabi adalah seorang manusia pilihan yang sadar sepenuhnya
dengan tanggungjawab sosial. Kembalinya sang Nabi dari nabi
adalah kreatif. Sehebat apapun pengalaman spiritual yang dijalankan
seorang Nabi tidak pernah terlena, ia datang dengan membawa
cita-cita perubahan dan semangat revolusioner.2
3. Konsep Ilmu Sosial Profetik (ISP) dan sastra profetik Kuntowijoyo,
yang terdapat tiga pilar yaituhumanisasi, liberasi dan tranendensi.
Humanisasi artinya memanusiakan manusia, menghilangkan
kebendaan, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia. Liberasi artinya dalam konteks ilmu yang didasari nilai-nilai
luhur transcendental. Jika nilai-nilai liberatif dalam teologi pembebasan dipahami dalam konteks ajaran teologis, maka nilai-nilai
liberatif dalam ilmu sosial profetik dipahami dan didudukkan dalam
konteks ilmu sosial yang memiliki tanggung jawab profetik unuk
membebaskan manusia dari kekejaman, kemiskinan, pemerasan
kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni
kesadaran palsu. Transendensi merupakan dasar dari dari dua
unsurnya yang lain. Transendensi hendak menjadikan nilai-nilai
transcendental (keimanan) sebagai bagian penting dari proses
membangun peradaban. Transendensi menempatkan agama (nilainilai Islam) pada kedudukan yang sangat sentral.3
Beberapa konsep dan teori di atas mendasari gagasan filsafat
profetik dengan asumsi bahwa fenomena sekularisasi yang melanda
terhadap keilmuan tidak terkecuali terhadap filsafat telah menjadikan filsafat lari dari jangkauan spiritualitasnya.4. Barat sebagai
penguasa ilmu pengetahuan telah melepaskan ilmu dari persoalan1
2

3
4

http.www.mail.archive.com/filsafat@yahoo.com, diambil tanggal 3 Oktober 2011


M. Iqbal, Membangun Kembali Alam Pikiran Islam, terj. Osman Raliby, (Jakarta: Bulan Bintang,
1966), hlm.20.
http.www.mail.archive.com/filsafat@yahoo.com, diambil tanggal 3 Oktober 2011
Seyyed Hossein Nasr, Antara Tuhan, Manusia dan Alam, Jembatan Filosofis dan Religius Menuju
Puncak Spiritual, terj. aliNoer Zaman, (Yogyakarta: IRCIoD, 1984), hlm. 21.

110

Khusnul Khotimah - Filsafat Profetik Menurut Seyyed Hossein Nasr

persoalan di dalam kerangka metafisik. Ia telah menundukan dirinya pada sains dan filsafat dan berinteraksi secara total, sehingga
dalam pembahasan filsafat tidak ada lagi filsafat alam, kenabian
dan ketuhanan.5 Dalam hal inilah diperlukan kajian tentang filsafat
yang menyeimbangkan antara kekuatan spiritualitas dan materialitas, menyeimbangkan antara unsur fisik dan metafisik sehingga
dapat menemukan dimensi spiritual dalam berfilsafat. Itulah yang
kemudian diasumsikan sebagai filsafat profetik Dalam hal ini akan
dibahas filsafat profetik Seyyed Hosssein Nasr.

B. Biografi Seyyed Hossein Nasr


Seyyed Hossein Nasr dilahirkan di Teheran pada tanggal 7 April
1933 dalam keluarga dokter dan intelektual. Ayahnya Seyyed Vaillah,
adalah seorang tabib di keluarga kerajaan Iran.6 Nama Nasr yang
berarti kemenangan berasal dari julukan Nasr al-aibb (kemenangan
para tabib) yang dianugerahkan raja Persia kepada kakek Nasr. Ia juga
berasal dari keluarga sufi, salah satu leluhurnya adalah Mullah Seyyed
Muhammad Taqi Poshtmashhad, seorang sufi dari Kashan yang
terkenal dan makamnya terletak dekat dengan makam raja Syafawi
Shah Abbis yang masih sering dikunjungi oleh para peziarah hingga
saat ini.7
Pada masa kecil, ia mengikuti sekolah dekat rumahnya. Pendidikan formalnya meliputi kurikulum Persia.Berbagi diskusi dilakukan
dengan ayahnya tentang persoalan-persoalan filsafat dan teologi. Pada
umur 11 tahun ia pergi ke Amerika untuk belajar di Peddie Hightown,
New Jersey dan lulus pada tahun 1950 sebagai murid terbaik. Nasr
mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studinya di MIT di Iran
pada Departemen Ilmu Fisika. Dari sinilah ia mulai menemukan
banyak persoalan metafisika yang tidak terjawab, karenanya ia mulai
ragu apakah fisika akan membawanya pada pemahaman sifat realitas
fisik. 8 Kajian ilmu-ilmu fisika menurutnya tidak dapat memberi
5
6

Seyyed Hossein Nasr, Antara Tuhan, Manusia dan Alam, ..hlm.21


Jane.I.Smith, Seyyed Hossein Nasr, dalam John L. Esposito (ed), Ensiklopedi Dunia Islam,
terj. Eva Y.N., dkk.,(Jakarta: Mizan, 2001), hlm. 159.
http://www.nasrfoundation.org/giffs/biografis.gif, A. Biografy of Seyyed Hossein Nasr, 11
Oktober, 2011, hlm.1
Ibid., hlm. 2.

111

pemahaman tentang realitas fisik maupun metafisika. Lalu dia mulai


mengkaji ilmu humaniora kepada Profesor Giorgio di Santillana Italia.
Ia mulai mengkaji filsafat dan khikmah Yunani Kuno. Kemudian ia
melanjutkan Pascanya di Universitas Harvard. Setelah memperoleh
gelar masternya pada tahun 1956, ia melanjutkan studi Ph.D di bidang
sejarah di Universitas yang sama. `Di Harvard ia juga belajar Filsafat
Islam dari guru-guru Iran. Setelah tamat doktoralnya ia kembali ke
Iran.
Dalam karir yang ia tempuh, ia menjadi lektor kepala jurusan
Filsafat dan Sejarah Sains Fakultas Sastra di Universitas Teheran. Pada
tahun 1968-1972 ia menjadi dekan di fakultas tersebut, dan pada tahun
1972 ia menjadi rektor di Universitas Ayhameher Iran. Sekembalinya
ke Iran ia juga belajar filsafat Islam kepada para ulama dengan menggunakan metode tradisional dan transmisi oral.9
Karya-karya Nasr antara lain Three Muslims Sages, Science and Civilization, Ideals and Realities in Islam, Man and Nature: The Spiritual Crisis
of Modern Man, Islam and Plight of Modern Man, Sufi Essays dan Trancendent Theosophy of Sadr al-Din Shirazi. Kumpulan perkuliahannya juga
diterbitkan dalam buku yaitu Knowledge and the Sacred, Encyclopedia of
World Spirituality dan Islamic Spirituality.10

C. Pemikiran Filsafat Seyyed Hossein Nasr


Istilah filsafat atau falsafah masuk ke dalam bahasa Arab melalui
penerjemahan teks Yunani pada abad ke- 2 H/ke-8 M dank e 3 H/ke9 M. bermula dari penerjemahan teks Yunani saja tanpa melakukan
analisa, seperti dituduhkan Renan, atau dari Neo-Platonisme seperti
dituduhkan Duhem.11 Dalam perkembangannya kegiatan menterjemahkan dibarengi dengan pengkajian kembali materi filsafat dan
dianalisa sehingga filsafat Islam mempunyai karakteristik sendiri yang
bernapaskan al-Quran dan Hadits.12 Seyyed Hossein Nasr memberikan definisi filsafat berdasarkan kajian dari para filosof muslim antara
lain:
http://www.cis-ca.org/voices/k/kalin-bio.htm, Nasr, 11 Oktober 2011
Ibid., hlm. 6.
11
A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. xv.
12
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004),hlm.14.
9

10

112

Khusnul Khotimah - Filsafat Profetik Menurut Seyyed Hossein Nasr

1. Filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada qua maujudmaujud (asyya al-maujudah bi ma hiya mujudah)
2. Filsafat adalah pengetahuan tentang yang ilahiyah dan insaniyah
3. Filsafat mencari perlindungan dalam kematian, maksudnya cinta
pada kematian
4. Filsafat adalah upaya menjadi seperti Tuhan dalam kadar kemampuan manusia
5. Filsafat adalah seni (shinaah) tentang seni-seni dan ilmu (ilm)
tentang ilmu-ilmu.
6. Filsafat adalah prasyarat bagi hikmah.13
Sementara itu tentang filsafat Islam menurut Nars merupakan
bentuk kearifan dalam dunia Islam, yang memberi gema tersendiri
khususnya tentang hakikat wujud (metafisika) ke dalam filsafat
Yunani yang bersumber dari al-Quran dan al-hadits.14 Sebagai filsafat
tradisional filsafat Islam didasarkan pada akal supra individualistik
daripada opini individualistik. Filsafat ini menapaskan suatu semesta
religious dalam makna kitab suci dan kerosulan mendominasi cakrawala. Karena itu filsafat ini merupakan profetik apapun yang menjadi
subyek kepeduliannya. Sesuai dengan Islam filsafat ini didasarkan pada
kecerdasan sebagai fakultas yang secara adikodrati alamiah dalam diri
manusia yang mengarah kepada kebenaran-kebenaran seperti yang
diwahyukan, hampir semua obyek dipadukan dengan Yang Esa, memperhatikan isu-isu sentral tentang harmoni antara akal dan wahyu.
Sebab itu filsafat ini kaya tidak hanya pada filsafat religius dan etika,
tetapi juga dalam filsafat alam dan matematika serta seni.15 Kendatipun
banyak kalangan yang mempertanyakan apakah filsafat merupakan
bagian dari khasanah intelektual Islam, atau merupakan peradaban
Barat yang ditransmisikan dalam Islam, namun para tokoh telah
membuktikan jati diri filsafat Islam melalui sintesa antara pemikiran
Islam dan Yunani.
Seyyed Hosein Nasr, Makna dan Konsep Filsafat dalam Islam dalam Seyyed Hosein Nasr dan
Oliver Leaman (ed), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam: Buku Pertama, (Bandung: Mizan,
2003), hlm. 30.
14
Seyyed Hosein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, terj. Ach. Maimun Syamsuddin,
(Yogkakarta: IRCISoD, 2006), hlm. 8.
15
Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, ter. Lukman Hakim,(Pustaka:
Bandung, 1987), hlm 135-136
13

113

Suhrawardi mengusung perspektif baru dalam filsafat dengan


menggunakan istilah hikmah al-Isyraq daripada falsafah al-isyraq. Bagi
Suhrawardi hikmah dipandang bersifat ilahiyah yang harus direalisasikan secara utuh, bukan hanya secara mental. Tradisi hikmah menggabungkan dan mensyaratkan kesempurnaan daya rasional dengan
kesucian jiwa. Jadi dalam tradisi Islam, filsafat berhubungan dengan
upaya menemukan kebenaran tentang hakikat segala sesuatu serta
menggabungkan pengetahuan mental dengan kesucian dan kesempurnaan wujud. Pengetahuan (hikmah) adalah kekuatan rasional yang
dipadu dengan kekuatan spiritual. Pengetahuan yang bersifat ilahiyyah
ini yang akan menemukan kebenaran hakiki. Pengetahuan (khikmah)
akan menjadi fondasi untuk melakukan revolusi terhadap manusia
ke arah kesempurnaan jiwa (ilahiyyah) dan inilah amanah kenabian
Muhammad (Profetik)

D. Filsafat Profetik: Filsafat Islam Sebagai Khasanah


Intelektulal Islam
Dalam tradisi intelektual Islam, filsafat dihubungkan dengan
hikmah ilahiyah yang menjadi cara pandang para filosof dalam lintasan
sejarah sehingga pemikirannya selalu berkembang.
Sebagai penjelas Seyyed Hosein Nasr memaparkan tentang sejarah filsafat Islam yang dapat dilihat pada perkembangan tradisi
intelektual Islam dengan berkuasanya Dinasti Abbasiyah, di bawah
kekuasaan Harun al-Rasyid, al-Mamun dan al-Mutashin yang sangat
perhatian pada ilmu-ilmu pra Islam pada kurun waktu dua abad (750
1000M). Banyak karya-karya metafisik, filosofis dan ilmiah diterjemahkan ke bahasa Arab antara lain oleh Hunayn Ibn Ishaq (m.873)
beragama Kristen dan Tsabit bin Qurra (m.901) beragama Zoroaster
yang kemudian masuk Islam. Melalui terjemahan merekalah Islam
membentuk dasar-dasar madzhab filsafat dan pengetahuan.16
Hadirnya para tokoh dan filosof Muslim dalam kurun waktu tertentu dan terus berkembang memberi bukti pesatnya pemikiran Islam. Pada Abad ke 3H/9M Al-Kindi sebagai filosof Islam pertama yang
mendirikan filsafat peripatetik dalam Islam, yang mempresentasikan

16

Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern,hlm. 20-21.

114

Khusnul Khotimah - Filsafat Profetik Menurut Seyyed Hossein Nasr

Plato, Aristoteles dan Plotinus dalam konteks dunia Islam.17 Pemikiran


al-Kindi kemudian dikembangkan oleh al-Farabi dan al-Razi. Setelah
mengenyam pendidikan di Bagdad ia mulai mendalami ilmu pengetahuan dan filsafat yang berbahasa Arab dan berupaya memadukannya
dalam perspektif Islam. Al-Kindi memaparkan dalam hal agama, dan
pemikirannya sangat mempengaruhi al-Farabi. Pemikiran Mutazilah
melekat dalam pandangannya yang mengedepankan struktur filosofis
bahwa wujud penciptaan di dunia ini tergantung pada kehendak
Tuhan. Padahal secara nyata, Allah mempunyai sifat kehendak dan
melaksanakan yang wujud dalam suatu realitas (Imanen).18 Pemikiran
al-Farabi sangat dominan terhadap metafisika dan ilmu pengetahuan.
Dalam pemikiran metafisikanya ia banyak terpengaruh oleh Aristoteles.
Filosof Islam lainnya Ibnu Sina yang dikenal di Barat dengan
Avicenna, yang diberi gelar Pangeran Para Dokter. Di samping belajar filsafat ia belajar logika dan matematika, dan yang paling terkenal
dengan ilmu kedokterannya. Perjalanan hidupnya yang berliku karena
arogansi Mahmud al-Ghaznawi membuat hidupnya semakin sulit,
akhirnya ia meninggalkan Bukhara menuju Jurjan kemudian ke
Khurasan. dan akhirnya ke Rain di bawah kekuasaan Bani Buwaihi.
Metafisika Ibnu Sina berkenaan dengan ontologi dan kajian terhadap
wujud. Intinya Hakikat sesuatu (reality) tergantung pada eksistensinya, dan pengetahuan atas sebuah obyek pada puncaknya adalah
pengetahuan terhadap status ontologisnya dalam rangkaian eksistensi
universal yang menentukan seluruh atribut dan kualitasnya.19 Kajiannya tentang eksistensi pada segala sesuatu tidak terlepas dari distingsi
fundamental yang menerangkan kemungkinan. Maka kapanpun orang berfikir eksistensi pasti terdapat 2 aspek berbeda pada kerangka
berfikirnya, yaitu: 1). Esensi atau kuiditasnya, serta 2). Eksistensi. Maka
wujud abadi menurut Ibnu Sina adalah substansi atau aksidensi yang
sesuai dengan kategorinya terbagi menjadi tiga macam: a). Intelek (aql)
sepenuhnya terlepas dari materi dan potensialitas; b). Jiwa (nafs) yang
terlepas dari materi tapi butuh pada tubuh untuk bertindak; c). Tubuh
Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modrn, ter. Lukman
Hakim,(Pustaka: Bandung, 1987), hlm. 134
18
Seyyed Hosein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, .hlm. 31-32
19
Seyyed Hosein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, .hlm.52
17

115

(jism) yang bisa dibagi serta memiliki panjang lebar dan luas, karena
itu mungkin elemen-elemen semesta ini terbagi menjadi tiga unsur
tersebut dalam wilayah kosmik.20 Sementara kajian kosmologinya
mengikuti platonisme yang mendasar pada distingsi berusaha
menunjukkan bagaimana yang banyak itu dilahirkan dari Yang Satu
(ex uno non fit nisi unum) atau inteleksi tuhanlah (akal pertama)
penciptaan itu terjadi, yang pada saat bersamaan transenden dalam
kaitannya dengan seluruh keragaman (multiplicity). Sedangkan proses
penciptaan, atau manifestasi, terkait erat dengan fungsi dan signifikan
malaikat sebagai alat yang mewujudkan tindakan penciptaan sebagai
akal pertama yang disetarakan dengan malaikat disusul akal yang kedua
yaitu jiwa dan tubuh akal langit pertama. Dan melalui kontemplasi akal
pertamalah melahirkan akal selanjutnya sampai kesepuluh terpancar
illuminasi dan penciptaan Tuhan.21Namun, agama dan wahyu Ibnu Sina
terungkap pada misinya yang memiliki dua aspek utama, yaitu: pertama,
mengarahkan jiwa manusia menuju kebahagiaan abadi dengan
keimanan terhadap eksistensi tuhan; kedua, agama mengarahkan pada
aspek-aspek praktis sebagai tindakan ritual. Aspek di atas, mengakhiri
filsafat Perepatetik Ibnu Sina yang ditafsirkan pada katedral kosmik
dalam realisasi spiritual yang disebut filsafat Timur. Pemikiran Ibnu
Sina banyak diwarnai filosof Yunani dan mentransformasikannya pada
ajaran agama, ilmu pengetahuan dan filsafat Islam.
Filsafat Islam kemudian mengalami masa transisi dari peripatetik
menuju Isyraqi. Kritik terhadap Ibnu Sina pada Abad 6H/12H oleh
Syihabuddin al-Suhrawardi menimbulkan filsafat peripatetik mulai
menurun pamornya dan didirikan sebuah perspektif baru dengan
madzhab Illuminasi (al-Isyraq).22 Dimulai ketika teologi al-Asyariyah
mulai didukung oleh lingkungan pejabat pemerintah, begitu juga
serangan Ghazali sangat keras terhadap para filosof dalam pembatasan
kekuasaan rasionalistik dan menjadikan sufisme bisa diterima dikalangan masyarakat..23 Sumber doktrin Isyraqi Suhrawardi meliputi
sufisme (Hallaj dan al-Ghazali) dan beberapa bagian filsafat peripatetik
Ibnu Sina, yang ia kritik sebagai dasar penting atas doktrin-doktri alSeyyed Hosein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, .hlm.53 - 58
Seyyed Hosein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, .hlm.59 - 62
22
Seyyed Hossein Nasr, Islam, Tradisi di Tengah .. hlm. 135.
23
Seyyed Hosein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, .hlm. 97 - 101
20
21

116

Khusnul Khotimah - Filsafat Profetik Menurut Seyyed Hossein Nasr

Isyraqi. Ia mengidentifikasi dirinya dengan sekelompok ahli hikmah


Persia yang memiliki doktrin esoterik didasarkan pada kesatuan Dasar
Ilahiah dan sebagai sosok yang mengangkat tradisi tersembunyi dalam
komunitas Zoroastrian sekaligus penyatu kembali al-hikmah alladunniyah, atau Kebijaksanaan Ilahiah dan kebijaksanaan kuno.
Menurut Suhrawardi makna Isyraqi adalah sintesis dua kebijaksanaan dari permulaan keahlihan berasal, yang terkait erat dengan Hermitisisme. Definisi tersebut menggabungkan Isyraqi dengan periode praAristotelian sebelum filsafat dirasionalisasikan dan ketika intuisi intelektual masih merupakan jalan pencapaian pengetahuan. Sedangkan
kebijaksanaan Isyraqi sendiri berdasarkan diskursif dan intuisi intelektual, melalui latihan formal terhadap pemikiran dan juga pembersihan
jiwa berdasarkan empat kategori, yaitu: 1). Mereka yang mulai merasa
haus atas pengetahuan lalu berusaha mencarinya; 2). Mereka yang
telah memperoleh pengetahuan formal dan menyempurnakan filsafat
diskursif tapi masih asing dengan genosis, seperti Ibnu Sina dan alFarabi; 3). Mereka yang tidak peduli dengan bentuk pengetahuanpengetahuan diskursif, karena telah membersihkan jiwa hingga
mencapai intuisi intelektual dan pencerahan batin (illuminasi), seperti
Hallaj, Bustami dan Tustari; 4). Mereka yang telah menyempurnakan
filsafat diskursif dan juga illuminasi yaitu hakim mutaallih- secara
harfiah teosof, seperti Pythagoras dan Plato. Pada kategori-kategori
ini terdapat hirarki wujud-wujud spiritual yang samawi atau tak terindera, dipuncaknya terdapat kutub atau imam, yang karenanya seluruh
bagian hirarki spiritual bertindak sebagai wakil-wakilnya.24
Berkaitan dengan jiwa menurut Suhrawardi kehidupan manusia
yang tidak akan abadi karena fisiknya akan mangalami kevakuman
dan kematian walaupun jiwanya akan selalu hidup. Oleh sebab itu,
dalam filsafat eskatologinya, ia menerangkan kondisi jiwa setelah
kematian tergantung pada tingkat kemurnian dan pengetahuan yang
telah ia capai, berdasarkan tiga kelompok jiwa: 1). kelompok jiwa yang
mencapai ukuran kemurnian dalam kehidupan, 2). kelompok jiwa
yang digelapkan pada kebodohan dan kejahatan, dan 3). kelompok
jiwa yang telah mencapai kesucian dan illuminasi dalam hidupnya,
yaitu para wali atau para teosof.
24

Seyyed Hosein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, .hlm. 112-117

117

Dalam pemikiran Islam juga berkembang sufisme, suatu


kebenaran hakiki yang terpancar dari hakikat Ilahiyah adalah dengan
sufi. Sufisme memiliki peran terhadap filsafat Islam antara lain untuk
menyeimbangkan bahaya-bahaya praktik nalar murni dengan menekankan kenajikan-kebajikan gnosis qolbu. Efek sufisme terhadap
filsafat pada dasarnya memiliki dua bidang. Pertama, ia berfungsi
melanggengkan, bagi setiap generasi, posibilitas suatu pengalaman
tentang apa yang menjadikan filosof berfilsafat. Kedua, metode spiritual dan disiplin mediatif, sufismelah yang terus menerus membangkitkan kekuatan akal kontemplatif daripada nalar/akal dalam pemikiran
Islam. Metode sufi yang dilakukan tidak melalui rasionasi (penalaran),
melainkan dengan suatu kemampuan mengenal kebenaran secara
langsung melalui iluminasi, tidak berfungsi secara tepat kecuali jika
selubung kealpaan dan nafsu di buang darinya. Tujuan sufisme adalah
menyatukan pengalaman filosofis kaum filosof dengan pengalaman
batin kaum mistikus, dan menjadikan akal mampu berfungsi tanpa
wahyu.25
Salah satu tokohnya adalah Ibnu Arabi yang ajarannya menjelaskan kesatuan doktrin dan metode pada ajarannya. Bahwa sufisme bagi
Ibnu Arabi merupakan sebuah jalan realisasi spiritual dan pencapaian
kesucian. Sedangkan gnosis merupakan aspek wahyu dalam Islam
yang pada dasarnya bagian dari jantung dan dimensi batin atau esoterik
dalam diri manusia. Realitas doktrin-doktrin sufisme, berdasarkan
Wahyu yang terkait erat dengan ruh (spirit) dan bentuk lahir (from),
maka tokoh utamanya yang paling awal dan sempurna adalah Nabi
Muhammad, setelahnya diwakili esoterisme Islam, Ali bin Abi
Thalib.26 Sosok Ibnu Arabi sangat erat dengan doktrin-doktrin kosmologis dan metafisik serta psikologis dan antropologis yang lengkap
dari dimensi monumental yang pertama kali tampak pada Sufisme.
Pada ajaran IbnuArabi, doktrin dan metode merupakan dua kaki yang
harus dikoordinasikan agar bisa memanjat gunung spiritual yang
dapat mengantarkan penyatuan dengan tuhan yang merupakan hasil
dari manusia kepada keindahan tuhan. Dengan menyadari bahwa
Seyyed Hosein Nasr, Kemunculan dan Perkembangan Sufisme Persia dalam Warisan Sufi, terj.
Gafna Raizha Wahyudi, (Yogyakarta: Pustaka Sufi 1999), hlm. 54.
26
Seyyed Hosein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, .hlm. 145 -146
25

118

Khusnul Khotimah - Filsafat Profetik Menurut Seyyed Hossein Nasr

eksistensi manusia sejak awal adalah milik Tuhan, dan manusia semulanya tidak memiliki eksistensi. Jadi semua eksistensi merupakan
pancaran Wujud Tuhan yang mutlak.
Tidak hanya itu filsafat Islam dengan ruh spiritual pada perkembangannya juga menjadi cikal bakal munculnya sains-sains Islam.
Kaum muslim mengawinkan matematika Yunani dan matematika
India dan atas itu lalu mengembangkan geometri, menformulasikan
al-jabar, membangun trigonometri-bidang dan sferikal dan teori bilangan, yang memperluas definisi bilangan hingga mencakup bilangan
irrasional. Mereka menerima bilangan Sanskrit lalu mengembangkannya ke dalam bentuk bilangan Arab sehingga merubah aritmatika di
Eropa Abad Tengah. Para sains Islam bermunculan sebut saja alKhayyam dengan al-Jabarnya, Ghiyatsuddin Jamsyid Kasyani dengan
pecahan desimalnya.27
Dalam astronomi, kaum muslim termotivasi untuk mencari arah
kiblat dan memperhitungkan waktu untuk sholat lima waktu. Awalnya
mereka menguasai karya astronomi India dan Iran sebelum berkenalan dengan ptolomeus kemudian mereka mensintesanya untuk menjadi
kekhasan astronomi Islam. Al-Biruni sebagi tokoh astronomi Islam
dengan bukunya yang terkenal Masudic Canon-Nya. Perkembangan
ilmu astronomi pun meluas sehingga berkembang astronomi observasional, astronomi matematikal dan astronomi ptolomaik yang dikaitkan
dengan tokoh Nashirudin Thusi dan Quthbuddin Syirazi.
Di bidang yang lain diantaranya fisika, tealah dibangun filsafat
alam dari atomisme oleh Muhammad Ibnu Zakariyya al-Razi, Optika
dan pencahayaan oleh Ibnu Haisyam. Ilmu kedokteran juga merupakan
refleksi dari pengembangan sains Islam dari tangan dingin tokohtokoh muslim yang antara lain dikenal dengan Ibnu Sina, Ibnu Zuhr
serta Ibnu Nafis. Kajian atas botani juga tidak luput dari para tokoh
muslim. Dalam hal ini Masudi telah menulus sejarah kealaman, alIdrisi membuat peta-peta.
Munculnya pemikiran yang profetik dalam diri para tokoh muslim
dilandasi oleh sebuah kesadaran spiritual yang telah dibangun berdasarkan pendidikan dimana nilai-nilai abadi dan kebenaran doktrinal
27

Seyyed Hossein Nasr, Islam, Tradisi, Di Tengah Kancah Dunia Modern.hlm.137.

119

semestinya mampu melestarikan Islam dalam menghadapi tantangan


dunia dari semua aspek.

E. Kesucian Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil kreatifitas daya pikir manusia.
Secara essensial ia berhubungan antara wujud pengetahuan dan kebahagiaan. Namun seiring dengan perjalanan waktu ketika manusia berhubungan dengan makrokosmos dan mikrokosmos pada akhirnya
pengetahuan terpisah dari wujud dan kebahagiaan. Pengetahuan pada
akhirnya lebih dekat kepada kompleksitas eksternal dan terdesakralisasi, khususnya di antara segmen-segmen ras manusia yang telah
dicampuri oleh modernisasi.28
Menurut Nasr pengetahuan semestinya tidak dipisahkan dari
kesuciannya, karena substansi pengetahuan adalah realitas tertinggi.
Intelegensia yang merupakan instrumen pengetahuan dalam diri
manusia adalah berkah terhadap kemungkinan mengetahui Yang
Absolut. Ia bagaikan cahaya yang memancar dari dan kembali kepada
Yang Absolut, dan ia sendiri merupakan bukti terbaik tentang Realitas
yang absolute dan tidak terbatas. Visi unitif terletak di pusat wujudnya
sebagaimana juga penempatan dasar intelegensinya, pengetahuan
senantiasa memiliki akses kepada Yang Suci, dan pengetahuan Yang
Suci menandakan sebagai jalan tertinggi penyatuan dengan Realitas
dimana pengetahuan, wujud dan kebahagiaan disatukan. Intelegensi
manusia dan mengakibatkan kesukaran dan rintangan dalam jiwa
manusia yang mencegah dari pemanfaatan secara penuh, menandakan
pusat teofani Cahaya Ilahi dan berarti akses Terhadap Realitas awal.
Intelegensi ini dapat mengetahui Realitas Tertinggi sebagai Imanen,
sebagai Diri Tertinggi yang mendasari semua selubung subyektivitas
dan berbagai diri atau menempatkan kesadaran dalam dirinya.29
Bagi Nasr kesadaran merupakan bukti keunggulan spirit atau
kesadaran Ilahiyah, di mana kesadaran manusia direfleksikan dan
dibangkitkan. Setiap kecenderungan alamiah intelegensi manusia

Seyyed Hosein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, terj. Suharsono (Yagyakarta: Center for International Islamic Studies (CIIS), 1997), hlm. 1.
29
Seyyed Hosein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian hlm 3
28

120

Khusnul Khotimah - Filsafat Profetik Menurut Seyyed Hossein Nasr

menghormati wujud pada sebuah tingkat realitas yang lebih tinggi,


bahkan obyek material yang paling besar adalah keunggulan pengetahuan terhadap apa yang diketahui, sebagai raison detre intelegensi
yang mengetahui realitas secara obyektif, penuh dan memadai menurut prinsip-prinsip terkenal orang skolastik abad pertengahan. Manusia adalah makhluk rasional, tetapi kemampuan rasional yang sekaligus
perluasan dan refleksi intelek dapat menjadi kekuatan dan instrumen
setan jika dipisahkan dari intelek dan wahyu yang akan memberikan
kualitas pengetahuan dan kandungan kesuciannya, oleh karena itu
manusia tidak hanya sebagai binatang rasional akan tetapi sebagai
mahluk yang diberkahi dengan suatu intelegensi penuh, berpusat pada
Yang absolute dan diciptakan untuk mengetahui Yang Absolut.
Untuk mengembalikan lagi keadaan manusia pada posisi kemanusiaannya, maka harus kembali kepada fungsi dasar intelegensia,
yaitu kembali kepada realitas yang menjadi essensi semua agama dan
hikmah dan juga mode-mode non sapiensal tentang kesempurnaan,
seperti jalan perbuatan kebajikan dan cinta. Reduksi intelek kepada
penalaran dan pembatasan intelegensi kepada kelicikan dan kecerdikan
dalam dunia modern, tidak hanya menyebabkan pengetahuan suci
menjadi tidak dapat dihubungkan dan bahkan kehilangan makna, tapi
hal ini juga menghancurkan teologi natural yang dihadirkan pada suatu refleksi pengetahuan tentang tatanan suci hikmah atau sapientia,
yang merupakan pusat kesempurnaan makna spiritual dan pembebasan. Dengan kata lain fungsi alamiah intelegensia dapat dikembalikan
lagi dengan mengawinkan penalaran (ratio) pada intelek (intellecus)
sekali lagi, dan menemukan kembali kemungkinan pencapaian pengetahuan suci, termasuk juga kembali kepada apresiasi pentingnya
teologi natural.30
Sebagai akibat dari lenyapnya perspektif hikmah (sapiensial) di
masa modern dan desakralisasi pengetahuan, bukan saja teologi natural menjadi sesuatu yang tidak relevan tetapi logika dan matematika
juga dipisahkan dari keterkaitannya dengan kesucian yang mereka
gunakan sebagai barang unggulan bagi sekularisasi dan profanisasi
pada setiap tindakan dan proses mengetahui. Banyak teolog menempatkan posisi defensif berhadapan dengan sains-sains matematika, tidak
30

Seyyed Hosein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian..hlm. 5

121

menyadari bahwa dalam suatu refleksi intelek yang merupakan jalan


menuju kesucian adalah sebuah sifat suci, tanpa refleksi intelek hukum-hukum logika dan matematika serta semua ilmu psikologis akan
terdegradasi ke dalam sesuatu yang tidak berarti.31

F. Kesimpulan
Filfat profetik merupakan kajian yang bermaksud membumikan
kembali ajaran Nabi sebagai revolusioner dan pencerah kepada kebenaran hakiki, setelah sekian lama terlupakan akibat dominasi dan
sekularisasi Barat. Wujud ajaran tersebut melalui Filsafat Islam yang
memiliki bentuk kearifan tersendiri dalam dunia Islam. Ia memberi
gaung hakikat wujud (metafisika) ke dalam filsafat Yunani yang bersumber dari al-Quran dan al-hadits. Ia adalah filsafat tradisional yang
mendasarkan pada akal supra individualistik daripada opini individualistik, sehingga makna kenabian dapat ditampakkan. Sebuah
pemikiran yang tidak saja mengemukakan penalaran akan tetapi
kemampuan mengenal Tuhan dengan Iluminasi/Isyraqiyah. Atas dasar
itu filsafat ini merupakan profetik karena didasarkan pada kecerdasan
sebagai fakultas yang secara adikodrati alamiah dalam diri manusia
yang mengarah kepada kebenaran-kebenaran seperti yang diwahyukan,
melalui semua obyek yang dipadukan dengan Yang Esa, serta memperhatikan isu-isu sentral tentang harmoni antara akal dan wahyu.
Munculnya pemikiran profetik telah membuat kesadaran spiritual para filosof muslim untuk mengembangkan objek kajian dan
pemikirannya dalam berbagai filsafat dan sains dalam menghadapi
tantangan zaman.

31

Seyyed Hosein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian ..hlm. 6

122

Khusnul Khotimah - Filsafat Profetik Menurut Seyyed Hossein Nasr

DAFTAR PUSTAKA
A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004.
http.www.mail.archive.com/filsafat@yahoo.com, diambil tanggal 3
Oktober 2011
Kuntowijiyo, Menuju Ilmu Sosial profetik, dalam Republika,, 8 Agustus
1997.
M. Iqbal, Membangun Kembali Alam Pikiran Islam, terj. Osman Raliby,
Jakarta: Bulan Bintang, 1966
Seyyed Hossein Nasr, Antara Tuhan, Manusia dan Alam, Jembatan
Filosofis dan Religius Menuju Puncak Spiritual, terj. Ali Noer
Zaman, Yogyakarta: IRCIoD, 1984
, Makna dan Konsep Filsafat dalam Islam dalam Seyyed
Hosein Nasr dan Oliver Leaman (ed), Ensiklopedi Tematis
Filsafat Islam: Buku Pertama, Bandung: Mizan, 2003
, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, terj. Ach. Maimun
Syamsuddin, Yogkakarta: IRCISoD, 2006
http://www.cis-ca.org/voices/k/kalin-bio.htm, Nasr, 11 Oktober
2011
, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, ter. Lukman
Hakim, Pustaka: Bandung, 1987.
, Kemunculan dan Perkembangan Sufisme Persia dalam
Warisan Sufi, terj. Gafna Raizha Wahyudi, Yogyakarta:
Pustaka Sufi 1999.
, Pengetahuan dan Kesucian, terj. Suharsono,Yagyakarta:
Center for International Islamic Studies (CIIS), 1997
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004

123

124

PEDOMAN PENULISAN
Adapun pedoman penulisan dalam Jurnal ini, baik dalam bentuk
artikel maupun telaah buku adalah sebagai berikut:
SUBSTANSI TULISAN
1. Tulisan orisinil (hak intelektual penulis) dan belum pernah
diterbitkan/dipublikasikan.
2. Topik tulisan aktual dan sesuai dengan lingkup kajian jurnal.
TEKNIS PENULISAN
1. Jumlah halaman antara 15-20 halaman untuk artikel dan 5-7
halaman untuk telaah buku, ukuran kertas A4, spasi 1,5, font Times
New Roman size 12.
2. Tulisan artikel harus menyertakan abstrak (berbahasa Inggris dan/
atau Arab), 150-200 kata dan 5 keywords (5 kata kunci)
3. Penulis menyerahkan naskah asli dalam bentuk hard file dan soft
file.
4. Semua tulisan menggunakan metode penulisan ilmiah dengan
catatan kaki (footnote) dan mencantumkan daftar pustaka (bibliography) di belakang tulisan.
Dalam daftar pustaka, aturan penulisan nama pengarang dibedakan sebagai berikut:
Nama-nama asia ditulis lengkap apa adanya, tanpa ada perubahan.
Contohnya: Muhammad Thahir bin Asyur, Maqshid asy-Syarah,
(Cairo: Dar as-Salm, 2006).
Nama-nama Eropa, Amerika, atau Australia, ditulis nama familinya
(last name) terlebih dahulu. Contohnya: Giddens, Anthony,
Kapitalisme dan Teori Sosial Modern; Suatu Analisis Karya Tulis Marx,
Durkheim dan Max Weber, terjemahan Soeheba Kramadibrata
(Jakarta: UI Press, 1986).

125

LAIN-LAIN
1. Tulisan dapat dikirim ke: jurnalislamindonesia@yahoo.com dengan
menyertakan biodata penulis.
2. Setiap tulisan yang masuk akan dinilai oleh Tim Redaksi dan dibaca
oleh Mitra Bestari (yang kompeten sesuai dengan bidangnya).
3. Dewan Redaksi dapat menyingkat dan memperbaiki tulisan yang
akan dimuat tanpa mengubah maksud dan isi tulisan.
4. Naskah tulisan yang belum dapat diterbitkan akan diberi
pemberitahuan melalui email.

126

Anda mungkin juga menyukai