Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN BACAAN

MANUSIA DAN MASYARAKAT INDONESIA BAB I-III

Kelompok Jeans :

Additya Anshori (1706984360)


Nataya alifa (1706060954)
Putu Aditya Baskara (1706062700)
Rifqi Ayu Everina (1706984354)

Manusia Berbicara

Manusia biasanya akan berbicara untuk mengisyaratkan sesuatu. Manusia


biasanya mengisyaratkan sesuatu dengan membuat tanda – tanda, baik tanda vokal
maupun tanda lainnya, untuk mengemukakan isi pemikiran atau perasaannya. Adapun
berbicara adalah cara manusia menyampaikan isyarat tersebut dengan mengeluarkan
dan membentuk suara – suara dengan perantara Laryngo-buccal. Adapun manusia
biasanya mendahulukan kemampuan untuk berbicara dikarenakan oleh beberapa hal.
Hal pertama disebabkan karena berbicara merupakan gejala yang sudah sangat dikenal
dengan baik dan jelas oleh setiap manusia, sehingga manusia lainpun dengan mudah
dapat mempelajari hal tersebut pula. Berbicara juga sangat sering ditemui di dalam
kehidupan sehari – hari, baik itu merupakan interaksi dengan orang lain maupun
interaksi dengan diri sendiri. Berbicara juga merupakan hal yang mengisi eksistensi dari
manusia itu sendiri, banyak filsuf meneliti tentang daya bicara seorang manusia. Pada
akhirnya berbicara juga dapat menggambarkan keseluruhan manusia.

Dalam sebuah pembicaraan tentunya terdapat beberapa unsur – unsur lain


didalamnya, seperti kata yang menjadi dasar sebuah pembicaraan, percakapan yang
merupakan kata – kata yang dirangkai sehingga membentuk sebuah makna tersendiri,
dan bahasa yang merupakan sistem dari percakapan itu sendiri.

Perilaku mengisyaratkan sesuatu tentunya bukan sesuatu yang hanya terjadi


pada manusia, tapi juga terjadi pada mahkluk lainnya. Tapi manusia tentunya memiliki
keunggulan yang tidak dimiliki oleh mahkluk lainnya. Pertama, bahasa yang digunakan
oleh binatang merupakan sesuatu yang diberikan bersamaan dengan kelahirannya dan
bukan merupakan hasil dari sebuah pembelajaran. Sedangkan pada manusia, bahasa
yang dimilikinya adalah hasil dari sebuah pembelajaran, yang mana mebuat bayi
manusia memerlukan seseorang untuk mengajarinya berbicara. Perbedaan lain dari
bahasa yang dimiliki oleh manusia dan binatang ini adalah bahwa bahasa manusiawi
dapat berkembang tanpa batas dibandingkan bahasa yang dimiliki oleh hewan. Hal ini
disebabkan oleh kemampuan manusia untuk berpikir. Jika binatang biasanya bereaksi
dengan sinyal – sinyal, manusia biasanya akan menanggapi tanda – tanda. Artinya
binatang hanya dapat bereaksi dengan insting mereka sendiri dan manusia akan menilai
dan mengolah informasi dari tanda – tanda yang mereka dapat dan menanggapinya
sesuai dengan situasi.

Manusia, seperti yang dijelaskan diatas, merupakan mahluk yang dapat berpikir,
sehingga umumnya manusia akan berbicara secara sadar dan bebas. Manusia yang
berbicara harusnya dapat terbuka terhadap dunia dan hadir pada orang – orang lain. Hal
ini berarti pembicaraan manusia itu menunjukkan bahwa ia sebagai seorang manusia
hadir di dalam dunia dan tampil di tengah orang – orang lain yang mendiami dunia
tersebut. Selain itu, dengan berbicara, manusia menunjukkan dirinya sebagai sesuatu
yang hidup. Dimana dengan berbicara mereka telah menempatkan diri mereka dibawah
pengaruh budaya dari mereka yang mengajarkan bahasa. Yang mana hal ini juga berarti
berada di dalam suatu tradisi kebudayaan, menerima suatu cara tertentu untuk
mengamati dunia dan merasakannya. Selanjutnya, dengan berbicara, itu
mengindikasikan bahwa manusia dapat mengetahui sesuatu dan memiliki sebuah
afektivitas. Karena dengan berbicara, tentunya seorang manusia membicarakan sesuatu
yang ia ketahui dan sesuatu yang ia sukai. Dengan berbicara pula, manusia dapat
dianggap memiliki badan dan roh. Badan yang disebutkan disini adalah badan fisik dari
manusia itu sendiri yang dilengkapi dengan anggota tubuhnya dan organ tubuh yang
lengkap dan berfungsi. Dan roh yang disebutkan disi adalah sesuatu yang membuat
badan tersebut menjiwai segala sesuatu yang ia bicarakan dan isyaratkan.

Pada akhirnya, berbicara dan mengisyaratkan sesuatu bukan hanya ekspresi kita
untuk mengemukakan atau menunjukkan suatu hal, tapi juga menunjukkan bahwa kita
adalah seorang manusia.
Manusia sebagai Makhluk Hidup

1. Kegiatan-kegiatan sebagai Ciri Khas Makhluk Hidup

Kegiatan sebagai ciri khas makhluk hidup adalah asimilasi. Makhluk


hidup berkembang dan mengembangkan diri dengan mengubah apa yang
dimakan dan dicerna menjadi substansinya sendiri. Selain hal itu, makhluk
hidup dapat memulihkan lukanya sendiri. Hal lainnya adalah
mereproduksikan dirinya yaitu membuat dalam dirinya bibit yang akan
menjadi suatu makhluk hidup baru. Lebih lanjut lagi, makhluk hidup dapat
bereaksi atas pengaruh yang diterimanya dan beradaptasi secara terus-
menerus. Makhluk hidup juga memiliki tujuan bagi hidupnya sendiri dan
tidak seperti mesin yang tujuannya telah ditentukan oleh realitas lain.

2. Kodrat Makhluk Hidup

Makhluk hidup secara esensial adalah sesuatu yang menyempurnakan


dirinya sendiri (otoperfektif), karenanya makhluk hidup perlu kesatuan
substansial, yaitu kesatuan yang dinamis dan menstrukturkan yang juga
merupakan sesuatu yang interior dan natural. Kesatuan substansial
mengakibatkan ia mencoba dan merealisasikan idenya, yaitu sesuatu yang
menyangkut subjektifitas (“aku”). Makhluk hidup memiliki dua unsur esensial
yaitu badan dan jiwa yang tergabung menjadi satu substansi walaupun mereka
berbeda dan dari kodrat yang berlainan. Definisi yang paling umum mengenai
makhluk hidup adalah suatu substansi natural yang terbentuk dari badan dan
jiwa, dari keseluruhan yang berorgan dan kesatuan fundamental, dari suatu
struktur inderawi dan subjektifitas metainderawi.

3. Jiwa Makhluk Hidup

Pemikir Yunani menemukan konsepsi yang melihat jiwa bukan sebagai


suatu elemen dari organisme, tetapi keseimbangan harmonis dari organisme itu,
keseluruhan kegiatan “sinergis” yang hanya mampu dilakukan makhluk hidup.
Badan adalah kecapi, jiwa adalah nyanyian dari kecapi itu (teori jiwa harmoni).
Menurut Plato jiwa adalah aspek pertama yang lebih unggul daripada badan
secara total (terutama jiwa manusia), jiwa tidak hanya menjadi prinsip hidup
tumbuh-tumbuhan dan hewani, tetapi juga prinsip kesadaran, interioritas,
pemikiran dan kebebasan. Jiwa merupakan suatu substansi yang esensinya
melebihi badan (dualisme). Aristoteles mengungkapkan bahwa setiap makhluk
hidup adalah sesuatu yang satu, merupakan satu substansi saja (monis).
Akibatnya, jiwa bukanlah substansi, dia tidak bisa bereksistensi terpisah dari
badan, dan dia bukanlah makhluk hidup yang lengkap. Filsuf kontemporer
kurang suka membicarakan badan dan jiwa. Mereka lebih suka menggaris
bawahi kesatuan tingkah laku manusiawi, dan mengatakan manusia pertama-
tama adalah suatu badan.

4. Realitas Jiwa
Zaman sekarang, kehidupan dapat dibuat di laboratium. Hal ini
membuktikan pendapat beberapa orang bahwa makhluk hidup hanya tersusun
dari unsur-unsur inderawi dan fisik. Terhadap itu, terdapat perbedaan besar
antara membuat jaringan yang hidup karena operasi vital elementer, dan
membuat suatu makhluk hidup otonom yang bertindak dari dan untuk dirinya
sendiri.
Badan hidup tidak dapat bersifat objektif semata-mata, tidak dapat
direduksikan kepada apa yang bisa diobservasikan. Namun, harus memiliki sifat
subjektif dan mempunyai interioritas. Menurut Dr. Jean Lhermine, “Meskipun
otak bisa dibandingkan dengan sebuah mesin yang terdiri dari semua alat
elektronik yang paling sempurna dan dari sakelar-sakelar yang paling teratur,
namun masih memerlukan suatu ‘operator’.”
Oleh karena itu, meskipun jiwa tidak dapat dilihat ataupun
diverifikasikan dengan pancaindera, jiwa dianggap sebagai suatu senyata badan
karena seringkali dituntut agar makhluk hidup dapat dimengerti sebagaimana
adanya.
5. Karakter Spesifik Badan Manusia
Badan manusiawi bukan hanya suatu objek atau subjektivitas semata-
mata, namun didefinisikan sebagai hubungan erat antara dunia dan
partisipasinya dengan jiwa dan keakuan. Badan tidak hanya berada di luar
intimitas kita secara total, tetapi juga tidak sama secara sempurna dengan
keakuan kita yang paling dalam.
Seperti semua badan, badan manusia menduduki suatu tempat di dunia,
mempunyai bentuk material yang dapat dihitung dan diukur, dan terikat pada
perubahan dan waktu. Ciri khas yang membedakan badan manusia dengan
badan hewan adalah posisi tegak dan tangan, yang disebut sebagai alat dari
segala alat oleh Aristoteles. Manusia juga dilengkapi dengan suatu sistem saraf
dan sebuah otak yang jauh lebih kompleks dan memiliki susunan asimetris, jadi
diferensial.
Walaupun badan manusia tidak bisa direduksikan kepada eksterioritas
dan objektivitas, badan bukanlah apa yang terdapat dalam interioritas manusia
yang paling dalam. Juga bukan yang paling radikal dalam subyektivitas
manusia.
Kesimpulan: Makhluk Hidup Mengatasi Batas-batas “Kebertubuhannya”
Makhluk yang bertubuh, dikarakterisasikan melalui dispersi, kepasifan, dan
keterbatasan. Akan tetapi, makhluk hidup menguasai, sampai batas tertentu,
ketiga ketidaksempurnaan tersebut.
Makhluk hidup yang selalu berusaha untuk mempertahankan
kesatuannya menyebabkan dia menjadi suatu individu. Dalam banyak hal,
makhluk hidup dikuasai oleh kepasifan. Salah satu contohnya adalah makhluk
hidup tidak memilih, namun menerima eksistensinya. Walaupun begitu, manusia
sebagai makhluk hidup secara esensial adalah sesuatu yang menyempurnakan
dirinya sendiri (otoperfektif).

Strategi Kebudayaan

a. Perkembangan kebudayaan dewasa ini

Kebudayaan merupakan hasil dari kegiatan dan karya manusia. Pokok


persoalan yang dibicarakan (dengan sebuah kata yang cukup sukar) dinamakan
“pengelolaan konsep kebudayaan” atau “peralatan konsep kebudayaan”.
Maksudnya ialah filsafat kebudayaan bukan lagi suatu tujuan tersendiri,
melainkan sebuah alat atau sarana: merenungkan tentang kebudayaan bukan
merupakan suatu usaha teoritis, melainkan menyediakan sarana-sarana yang
dapat membantu memaparkan suatu strategi kebudayaan . kebudayaan meliputi
segala manifestasi dari kehidupan manusia yang berbudi luhur dan yang bersifat
rohani, seperti misalnya: agama, kesenian, filsafat, ilmu pengetahuan, dan lain-
lain. Dewasa ini kebudayaan diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap
orang dan setiap kelompok; berlainan dengan hewan-hewan maka manusia tidak
hidup begitu saja di tengah-tengah alam, melainkan selalu mengubah alam itu.
Kebudayaan kini dihubungkan dengan kegiatan manusia yang membuat alat-alat
dan senjata-senjata. Jadi, konsep kebudayaan diperluas dan didinamisasi.

Sebuah bagan perkembangan kebudayaan bukan saja melukiskan


kebudayaan modern secara deskriptif, tapi justru akan membuka jalan untuk
menilai kebudayaan secara kritis, artinya: bagan itu merupakan sebuah alat guna
mengoreksi arah riwayat perkembangan. Seorang filsuf Jerman, Immanuel Kant,
sudah menulis, bahwa ciri khas kebudayaan terdapat dalam kemampuan
manusia mengajar dirinya sendiri. Kebudayaan sebagai ketegangan antara
imanensi dan transendensi dapat dipandang sebagai ciri khas dari kehidupan
manusia seluruhnya. Hidup manusia berlangsung di tengah-tengah arus proses-
proses kehidupan (imanensi), tetapi selalu muncul juga dari alam untuk
mengubah dan menilai alam itu sendiri (transendensi). Hukum-hukum
kebudayaan tidak ditaati secara mutlak seperti suaatu keharusan fisik; manusia
bahkan bisa melawan atau tidak menghiraukannya.

Kebudayaan dewasa ini dipengaruhi oleh suatu perkembangan yang


pesat, dan manusia modern sadar akan hal ini. Kesadaran ini merupakan suatu
kepekaan yang mendorong manusia agar dia secara kritis menilai kebudayaan
yang sedang berlangsung.

b. Bagan tiga tahap

Ada tiga tahapan dalam bagan ini, yaitu: tahap mitis, tahap ontologis dan
tahap fungsionil. Yang dimaksud tahap mitis ialah sikap manusia yang
merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib disekitarnya, yaitu
kekuatan dewa-dewa seperti dalam mitologi-mitologi yang dinamakan bangsa
primitif.
Tahap kedua adalah tahap ontologis yaitu sikap manusia yang tidak lagi
dalam kepungan kekuasaan mitis, melainkan yang secara bebas ingin meneliti
segala hal. Manusia mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dulu
dirasakan sebagai kepungan. Ontologi berkembang dalam lingkungan
kebudayaan kuno yang sangat dipengaruhi oleh filsafat dan ilmu pengetahuan.

Tahap ketiga atau fungsionil adalah sikap dan pikiran yang makin
nampak dalam manusia modern. Tidak begitu terpesona oleh lingkungannya
(sikap mitis) dan tidak lagi mengambil jarak terhadap obyek penelitiannya
(sikap ontologis).

c. Fungsi bagan kebudayaan

Strategi-strategi yang mengatur hubungan antara manusia dengan


kekuasaan-kekuasaan itu kaya akan gambaran-gambaran dan gagasan-gagasan.
Itulah sebabnya mengapa semuanya itu perlu disederhanakan dan dipetakan
menurut sebuah skema sederhana. Peta kebudayaan itu disini dinamakan sebagai
sebuah bagan kebudayaan. Fungsi bagan kebudayaan ini bukanlah menyebut
gejala satu per satu, melainkan menyediakan sekedar orientasi. Dan itu demi
suatu aturan kebudayaan. Dalam dunia ilmu pengetahuan bagan serupa itu
menghimpun beberapa unsur.

SUMBER :
Reader Manusia Masyarakat Indonesia bab I-III oleh Louis Leahy dan C.A van Peursen.

Anda mungkin juga menyukai