Anda di halaman 1dari 10

Kelompok 8

1. Eri Muamanatul Islamiyah (2120110063)


2. Oktaviona Talia Sasabila (2120110084)
3. Iqbal Fadlur Rohman (2120110088)

8. DOKTRIN DAN PRAKTEK SUFI

Kebangkitan dan Perkembangan Awal Sufisme - Permulaan Kelembagaan Sufisme - Jalan Sufi -
Munculnya Sufisme Ortodoks -Theosofi Sufi.

KEBANGKITAN DAN PERKEMBANGAN AWAL SUFISME


Kesadaran Kenabian Muhammad saw yang muncul dalam missinya, adalah berdasar pada
pengalaman pengalaman mistik yang sangat pasti, jelas lagi kuat, yang dilukiskan atau
disinggung secara singkat dalam al-Qur'an (17 : 1 ; 53 : 1 - 12 dan 13 - 18, 81; 19 - 25). Adalah
menarik bahwa semua lukisan pengalaman dan pandangan ini termasuk dalam periode
Makiyyah, dalam periode Madaniyyah kita melihat pengungkapan yang progresif dari cita
religio-moral dan pendasaran tata kemasyarakatan dari komunitas Muslim yang baru terbentuk
itu ; tetapi kita hampir-hampir tak menemukan alusi - alusi apapun dalam al-Qur'an tentang
pengalaman-pengalaman batin. Ini sejalan dengan orientasi kesadaran Kenabian di mana
pengalaman spiritual tidak untuk dijadikan tujuan akhir atau dinikmati demi pengalaman itu
sendiri, tetapi terutama untuk memberi arti pada tindakan dalam sejarah. (Dari sudut pandangan
ini, maka klaim kaum Sufi yang belakangan, bahwa dalam mempraktek kan Sufisme, mereka
hanyalah mengikuti jejak spiritual Nabi, sama sekali tidak lucu, bahkan walaupun klaim tersebut
mungkin masih bisa diperdebatkan berdasarkan alasan-alasan historis).
Mereka tentunya menganggap bahwa pengalaman – pengalaman spiritual tersebut adalah ciri
khas utusan Tuhan saja, sedangkan kewajiban mereka hanyalah mempercayai dan melaksanakan
apa yang mereka percayai itu sendiri (yang itu sendiri, sebagaimana telah disaksikan oleh
sejarah, adalah suatu tugas yang maha besar) dengan intesitas iman dan ’kesadaran tujuan’ yang
dalam.
Apa yang secara umum ditanamkan oleh Islam kepada pengikut – pengikutnya yang awal,
dalam tingkatan – tingkatan yang berbeda, adalah perasaan yang mendalam pada
pertanggungjawaban di hadapan pengadilan Tuhan, yang mengangkat perilaku mereka dari alam
duniawi dan kepatuhan yang mekanis kepada hokum, kepada alam kegiatan moral. Kunci dari
kesalehan ini adalah ’takut kepada Tuhan’ atau tanggungjawab kepada cita moral.
Kaum ulama dan kelompok asketis adalah orang – orang yang sama dan identik, dengan variasi
tingkatan dan penekanan pada kesalehan pribadi dan abstinensi (keberpantangan). Proses ini
mendesak agar penguasa menerima, mentaati dan memberlakukan hukum keagamaan Syari’ah
dan tidak menjadikan kehendak dan rancangan mereka sendiri sebagai hukum negara. Bila hal
ini diterima, maka orang – orang saleh itu akan bisa berharap bahwa ruh Islam yang asli akan
hidup dengan sebenar-benarnya. Jadi, kecenderungan pada masa ini, (akhir abad pertama sampai
2 H/ 8 M) adalah murni, dengan pendalaman ’pembatinan’ motivasi etikal. Di antara wakil –
wakil yang sangat terkemuka dari kesalehan etikal ini, yang paling termasyhur adalah al-Hasan
( w. 110 H/728 M) yang tidak hanya memperoleh pengakuan dari orang – orang sezamannya,
terapi juga, setelah wafatnya, memberikan salah satu pengaruh yang sangat kuat dalam seluruh
sejarah spiritual Islam selama berabad – abad. Kedua, dorongan Sufis tak dengan pasti
memperoleh infus dari isolasionisme yang muncul sebagai reaksi yang kuat dan luas terhadap
paham Khawarij dan pertentangan – pertentangan politik yang ditimbulkannya. Isolasionisme
ini, yang dikhotbahkan bahu – membahu dengan Ijma’ dalam literatur Hadist, mengajarkan
orang untuk berlepas tangan tidak hanya dari politik, tapi bahkan juga dari administrasi
pemerintahan dan masalah – masalah umum masyarakat, dan bahkan banyak Hadist yang
menganjurkan orang untuk menyepi ke dalam gua dan meninggalkan masyarakat luas.
Ide ’berserah diri kepada Tuhan’ mempunyai kedudukan yang terkemuka dalam al-Qur’an,
walaupun tidak mengesampingkan, dan tidak bertentangan dengan, karya Tuhan melalui ’sebab
– musabab’. Sufisme merupakan satu – satunya fenomena dari jenisnya dalam perkembangan
awal Islam. Kasus ini, dalam batasan-batasan khususnya sendiri, memiliki persamaan yang nyata
dengan kontroversi theologis yang mula-mula antara kaum Mu'tazillah dengan kaum Hanbali.
Sebagaimana halnya Mu'tazillah mempersandingkan Keadilan Tuhan dengan pengesampingan
Kemahakuasaan-Nya dan secara diametris ditentang oleh kaum Hanbali, maka demikian pula di
sini 'kebatinan' Sufi muncul sebagai tantangan langsung kepada perkembangan politik dan
hukum dalam Islam.
PERMULAAN KELEMBAGAAN SUFISME
Selama dua abad yang pertama, Sufisme tetap merupakan fenomena individual yang spontan
tetapi dengan berkembangnya disiplin formal hukum Islam dan theologi, dan bersama dengan
itu, pemunculan gradual kelas ulama, maka dengan cepat ia berkembang menjadi suatu lembaga
dengan daya tarik massa yang besar. Sementara cara hidup Sufi menjadi dikenal umum sebagai
jenis kehidupan yang telah diakui, istilah Sufi perlahan-lahan lalu menggantikan nama - nama
yang terdahulu, 'zubhad dan nussaak, yang dikenakan terhadap kelas masyarakat ini. Nama 'Sufi'
tampaknya berasal dari kata shuf atau wol, yaitu bahan pakaian kasar yang dipakai oleh orang-
orang tersebut sebagai tanda kepertapaan dan penolakan dunia. Etimologi-etimologi lain
dikemukakan oleh penulis-penulis Islam yang terkemudian, seperti bahwa kata 'Sufi' berasal dari
akar kata shafa', 'menjadi murni', atau dari kata 'shuffah', yakni bagian yang ditinggikan pada
masjid Nabi di Madinah, di mana orang - orang miskin biasa duduk-duduk dan melakukan
peribadatan ; atau juga seperti yang dikemukakan oleh beberapa penulis modern, bahwa kata
'sufi' itu berasal dari perkataan Yunani sophos; tapi yang terakhir ini tidak punya dasar kuat yang
bisa dipercaya.
Permulaan yang paling awal dari organisasi Sufi ditandai oleh kegiatan – kegiatan berkumpul
yang santai dan tidak resmi untuk membicarakan masalah – masalah agama dan melakukan
latihan – latihan spiritual. Kaum Syi'ah selama tengah kedua abad ke-1 H/7 M telah beberapa
waktu lamanya mengembangkan ide tentang 'al-Mahdi yang ditunggu-tunggu', setelah mereka
gagal dalam usaha menguasai jalannya kehidupan politik Islam. Di antara aliran 'ortodoks'
Syi'ah, atau Syi'ah Duabelas, tokoh tersebut diidentikkan dengan "Imam yang bersembunyi' yang
kelak akan membawakan kemenangan bagi kepercayaan politik Syi'ah. Percampuran antara
doktrin Messianik dengan doktrin Kristen tentang Turunnya Yesus yang kedua kalinya adalah
perkembangan yang sudah sewajarnya terjadi. Besarnya perpecahan, antara praktek Sufi dan
ideologi implisitnya di satu pihak dengan sistem ortodoks yang sedang muncul di pihak lain,
maka muncullah kumpulan Hadits yang baru. Untuk membenarkan pendirian mereka, kaum Sufi
merumuskan (yakni secara verbal menciptakan) pernyataan-pernyataan, yang kadang-kadang
sangat penuh khayalan dan secara historis adalah sama sekali khayalan belaka, yang mereka
nisbatkan kepada Nabi.
Sejak dari abad ke-3 H/9 M hingga seterusnya muncullah sejumlah tokoh Sufi ortodoks, yang
dengan praktek dan ajaran mereka mencoba untuk menyatukan ortodoksi dan Sufisme, dan untuk
masa selanjutnya sejarah spiritual sentral Islam dapat dipandang sebagai ketegangan yang terus
menerus antara kedua aliran ini serta usaha-usaha yang progresif ke arah integrasi dan
penyelesaian ketegangan ini.
Tokoh besar pertama dari rangkaian Sufi ortodoks ini adalah Harits al-Muhasibi (w. 243 H/857
M) yang, setelah mengalami konversi moral dari theologi rasional ke Sufisme, lalu mengabdikan
dirinya untuk menegakkan paham agama yang ortodoks dengan di sertai kesadaran dan
kehidupan batin yang mendalam. Seperti al Ghazali, yang muncul dua setengah abad kemudian
(yang tampaknya telah menjadikan al-Muhasibi ini sebagai model), ia mengumpulkan warisan
kesalehan dari para Sufi yang terdahulu. Inti dari ajarannya bukan lah penolakan terhadap
kehidupan lahiriah, tetapi penjagaan yang terus menerus atas kesucian niat dan kritik-diri yang
tak henti hentinya, terutama yang menyangkut penipuan diri, kebanggaan dan menganggap diri
sendiri sebagai saleh.

JALAN SUFI
Sufisme tidak bisa tinggal puas dengan kesalehan dan seruan cintanya terus menerus, Sekali
pandangan umumnya telah memperoleh pengikut dan antara anggota-anggota ortodoksi yang
terpandang, maka segera ia mengembangkan metodologi jalan batinnya, jalan spiritual' menuju
Tuhan. Dzunnun al-Misri (w. 245 H/859 M), yang pada umumnya dianggap telah berjasa oleh
kaum Sufi atas usahanya mengklasifikasikan ’tahap-tahap' perkembangan spiritual, benar-benar
telah dituduh menyelewengkan ajaran agama di Baghdad, pada tahun 240 H/854 M.
Doktrin mengenai tahapan-tahapan atau 'stasiun-stasiun' (maqaamat) jalan Sufi ini pada
umumnya dinyatakan dalam ter minologi religio-moral, yang dipinjam seluruhnya dari al-Qur'an
(biasanya mencakup istilah-istilah seperti 'taubat', 'abstinensi', 'sabar', 'syukur', 'tawakkal', dan
'ridha' (dalam kehendak Tuhan). Ia juga memperinci sebuah teori ’keadaan-keadaan’ (abwal)
yang bersifat psiko-gnostik yang dilewati oleh seorang Sufi. Pada pertengahan abad ke-3 H/9 M
perkembangan ini telah mencapai kepastian, dan mengarah kepada doktrin 'peleburan' atau
'anihilasi (fanaa’), yakni bergantinya sifat manusiawi dengan sifat Ketuhanan. Doktrin ini secara
tradisi dihubungkan dengan nama tokoh Sufi terkenal, Abu Yazid al-Bisthami (w. 260/874 M)
kepada siapa dinisbatkan ucapan-ucapan ekstatik seperti "Terpujilah aku', 'alangkah besar
keagunganku', 'Akulah Tuhanmu', dan 'panjiku adalah lebih tinggi daripada panji
Muhamammad’.
Dengan munculnya doktrin Sufi mengenai jalan spiritual, muncullah problema tujuan akhir Sufi
yang didefinisikan dalam batasan-batasan (fana') manusia ke dalam sifat-sifat dan kualitas-
kualitas Ketuhanan. Dalam sebuah kitab yang ditulis oleh Sufi al-Hakim al-Tirmidzi (258 H/898
M), seorang Sufi dan sistemator Sufisme yang terbesar abad ke-3 H/9 M. dibahas persoalan-
persoalan seperti : 'siapa yang berhak memegang gelar penutup para wali?", "bagaimana
hubungan wali dengan seorang Nabi?' dan sebagainya.
Kewalian juga membawa serta doktrin tentang suatu hirarki wali-wali 'penjaga', yang mungkin
sekali merupakan doktrin Sufi yang yang pararel dengan doktrin Syi'ah tentang Imam. Ajaran ini
bermula pada abad ke-3 H/9 M, tetapi menjadi bagian tetap dari doktrin Sufi pada abad
berikutnya. Menurut doktrin ini, dunia tetap terjaga keutuhannya berkat adanya struktur hierarkis
wali-wali ghaib yang terdiri dari berbagai tingkatan. Sebuah tempat khusus dalam hirarki para
wali ditempati oleh seorang tokoh ghaib yang disebut al-Khadir atau al-Khidr (harfiyah, 'Hijau')
yang, seperti halnya Phoenix, tetapi awet muda dan hidup abadi dan bertugas utama
menunjukkan jalan kepada orang-orang yang tersesat di padang belantara (baik dalam arti fisik
maupun spiritual).
Demikianlah tentang alam ghaib Sufisme. Dalam dunia nyata, para Sufi, atau lebih tepat
mereka yang dianggap mempunyai ke dudukan sebagai wali, memiliki mukjizat-mukjizat atau
anugerah anugerah khusus dari Tuhan (karaamaat) yang merupakan tanda dari kewalian mereka.
Sejak abad ke-4 H/10 M dan 5 H/11 M hingga seterusnya, muncullah suatu doktrin yang baru,
yang sama sekali bertentangan dengan semangat ortodoksi Islam, namun demikian menjadi ayat
pertama dalam konstitusi Sufisme, sementara mengemukakan dirinya dalam bentuk yang
terorganisir. Pada abad ke-3 H/9 M dalam tubuh Sufi telah dimulai usaha-usaha untuk
merentangkan jembatan di atas jurang yang memisahkan antara Islam ortodoks, dan Sufisme,
dan menjaga Sufisme agar tetap berada dalam batas-batas yang wajar. Kita telah mempelajari
kasus al-Muhasibi. Setelah dia muncullah al-Kharraz (w. 286 H/899 M) dan tokoh kritik yang
besar dalam Sufisme yang awal serta perumus Sufisme ortodoks, Junaid dari Baghdad (w. 298
H/911 M) yang dikatakan sebagai murid al-Muhasibi.

MUNCULNYA SUFISME ORTODOKS


Munculnya suatu gerakan pembaharuan Sufi yang bertujuan mengintegrasikan kesadaran
mistik dengan Syari'ah Nabi, bermula dari Sufisme sendiri dan dimulai pada pertengahan kedua
abad ke-3 11/9 M dengan kegiatan tokoh-tokoh seperti al-Kharraz dan Junaid. Al-Kharraz
mengemukakan konsep 'subsistensi atau survival' (kelanggengan, baqa') untuk memperbaiki dan
memperluas doktrin Bisthami tentang 'annihilasi' (fana'). Karena sangat sedikitnya sumber yang
dapat diperoleh, maka tidaklah mudah untuk mengatakan apa yang dimaksudkan sepenuhnya
oleh al-Kharraz dengan konsep 'subsistensi' tersebut, walaupun pada umumnya dikatakan bahwa
yang dimaksudkan olehnya adalah sesuatu yang positif: sementara (fana') memusnahkan
(kekurangan-kekurangan manusiawi), maka dengan (baqa') manusia akan 'terus hidup' atau
'survive' bersama Tuhan. Subsistensi adalah suatu perkembangan spiritual di mana Tuhan
menganugerahi manusia dengan penemuan kembali dirinya.
Doktrin Sufi membuahkan sejumlah besar pasangan-pasangan kategori yang sebagian saling
bertentangan dan sebagian juga saling melengkapi, dengan tujuan untuk mengintegrasikan dan
berlaku adil terhadap kesadaran mistik maupun kesadaran kenabian, pengalaman dan kehidupan
batin dari ruh dengan Syari'ah sebagai suatu lembaga. Perbedaan antara kesadaran mistik dan
kesadaran kenabian menjadi terletak pada kenyataan bahwa sementara kesadaran mistik pada
umumnya cukup merasa puas dengan belahan pertama dari pengalaman yang dilukiskan dalam
setiap kategori-kategori tersebut, maka dalam kesadaran kenabian, kesadaran mistik tersebut
hanyalah sesaat saja dalam keseluruhan pengalaman yang memperlihatkan suatu watak dialektis
antara kedua batasan tersebut.
Seorang Sufi yang termasyhur, Ibnu Khafif (w. 371 H/981 M), kembali kepada theologi al-
Asy'ari dan menjadi pembelanya yang gigih.11). 'Islam adalah pengetahuan tentang Tuhan secara
simplisiter (tanpa bertanya 'mengapa') dan kedudukannya adalah di dada; dan iman adalah
pengetahuan tentang Tuhan dalam Ketuhan an-Nya dan kedudukannya adalah dalam hati yang
berada dalam dada; pengetahuan sejati (ma'rifah, gnosis) adalah pengetahuan tentang Tuhan
dengan sifat-sifat-Nya dan kedudukannya.
Sejak dari awal mula perumusannya di tangan al-Asy'ari, kemungkinan mukjizat-mukjizat non-
kenabian atau tanda-tanda orang saleh, diterima oleh theologi. Doktrin anti Mu'tazillah ini adalah
konsesi besar bagi Sufisme, suatu konsesi yang dipermudah theolog dengan pandangan atomis
mereka tentang alam dan waktu.
Suatu alat yang ampuh dalam keseluruhan pembaharuan yang bersahabat ini adalah hadits-
hadits baru yang diedarkan selama abad ke-3 H/9 M dan 4 H/10 M dengan tujuan ganda untuk
menggalakkan. Pada perempat terakhir abad ke-4 H/10 M sejumlah tokoh menulis buku-buku,
seperti 'Kitab-al-Luma' oleh al-Sarraj dan Pengantar Menuju Jalan para Sufi' oleh al-Kalabadzi
untuk menggalakkan Sufisme moderat dengan struktur ide-ide yang konsisten ortodoks.
Kegiatan ini kemudian diikuti pada tahun 438 H/1047 M oleh buku yang terkenal utusan
(Risalah) al-Qusyairi (w.465 H/1073 M), yang merupakan manifesto sintesa antara Sufisme dan
theologi ortodoks.
Gerakan ini mencapai puncaknya dalam tokoh monumental al-Ghazali, yang terbukti kemudian
adalah tiang utama gerakan tersebut. Dianugerahi dengan pandangan keagamaan yang jarang
terdapat yang berkembang melalui serangkaian krisis dan perjuangan spiritual yang bahkan mem
pengaruhi fisiknya) serta pikiran yang tajam dan perseptif, peng alaman pengalaman mistiknya
membuatnya mampu mengubah rumusan rumusan theologi ortodoks mengenai Kehendak
Tuhan, Kekuasaan dan Kasih-sayang-Nya menjadi suatu realitas pribadi yang hidup dan
bergairah yang berdenyut sampai dalam urat-urat nadinya sendiri , Ia menyeru baik ulama mau
pun Sufi kepada pemikirannya ini dalam bahasa filosofis yang sangat jelas, tajam dan persuasif.
Pengaruh al-Ghazali dalam Islam adalah tak terkirakan besar nya. Ia tidak hanya membangun
kembali Islam ortodoks, dengan menjadikan Sufisme sebagai bagian integral daripadanya, tapi ia
juga merupakan pembaharu Sufisme yang besar, yang membersihkannya dari unsur-unsur yang
tak-islamis dan mengabdikannya kepada paham Islam yang ortodoks. Melalui pengaruh
nya, Sufisme memperoleh restu dari Ijma', atau konsensus masya rakat. Islam memperoleh daya
hidup dan daya tarik populer yang baru yang menyebabkannya tersebar ke daerah-daerah yang
luas di Afrika, Asia Tengah dan India. Akan tetapi, ada dua bahaya yang mengancam sintesa
baru tersebut dari dua arah, bahaya yang pada akhirnya mengubah, hingga ruang lingkup yang
besar, watak Islam antara abad ke-7 H/13 M dan 13 H/ 19 M, dan bertanggungjawab atas banyak
kemerosotan-kemerosotan dalam kepercayaan dan praktek-praktek yang melanda masyarakat
Islam.
THEOSOPI SUFI
Apabila kesalehan asketis yang awal, dengan penekanannya pada interiorisasi motive, adalah
reaksi terhadap perkembangan eksternal hukum, maka selama abad ke-3 H/9 M dan 4 H/10 M
Sufisme mengembangkan suatu doktrin ma'rifah (gnosis), mengenai pengetahuan eksperimental
batin yang secara progresif kemudian dipertentangkannya dengan pengetahuan intelektual (ilm)
theologi yang berkembang pada masa yang sama. Selanjutnya, kaum Sufi mempertentangkan
ma'rifab at-tauhid, 'gnosis kecsa an mereka dengan ilm at-taubid, atau sains tentang keesaan
(Tuhan)', sebagaimana theologi dialektis itu disebut. 'Keesaan Tuhan ini kemudian diubah, dalam
eksperimentalisme Sufi, men jadi 'persatuan' dengan Tuhan (kata tauhid dalam bahasa Arab
berarti 'memandang sesuatu sebagai satu' maupun 'mempersatukan (unifikasi) sesuatu dengan
sesuatu yang lain). Dengan demikian, kaum Sufi segera sampai pada ide, yang sangat mungkin
digalakkan oleh pengaruh dari luar, bahwa hanya Tuhan sajalah yang benar-benar berwujud, dan
dari sini mereka sampai pada doktrin bahwa Tuhan adalah satu-satunya realitas dari segala sesuatu.
Tetapi yang lebih khas di antara doktrin doktrin khusus Sufime tentang kandungan kesadaran mistik,
adalah prinsip pengentahuan ma'rifab (gnostik) dengan sifat kepastibenaran intuitifnya, yang tak
tersalahkan berpagar hak istimewa akan penuturan khusus yang (infallibility). Tentu saja hal ini tidak bisa
diterima dan tak akan diterima para ulama. Karena pada Sufisme gnostik ini keadaannya adalah berbeda
dengan pada masa Sufisme kesalehan yang awal di mana Sufisme semata-mata hanyalah masalah
menekankan kemurnian kesadaran menghadapi perbuatan-perbuatan lahiriah Kini, kaum Sufi mengklaim
sebuah cara yang tak mungkin dikoreksi dalam memperoleh pengetahuan, yang dianggap kebal terhadap
kekeliruan dan lebih jauh lagi, kandungannya sama sekali berbeda dengan pengetahuan intelektual.
Al-Tustari ini jugalah yang diriwayatkan mengatakan: "Aku tidak membicarakan orang-orang yang
berdosa dalam ummar Muhammad, orang-orang jahatnya, pembunuh pembunuhnya pezina-pezina dan
pencuri-pencurinya, tetapi aku berlepas tangan dari mereka yang menyatakan berarakkal kepada Tuhan,
maha dengan-Nya, cinta dan rindu kepada-Nya"). Sungguh, suatu campuran yang aneh dari rasa berdosa
yang ekstrim (yang pengembangan nya menjadi sebuah doktrin telah menyebabkannya mendapat
kemarahan para ulama) dan klaim theosofis yang berani terwujud dalam pribadi tokoh ini. Sebagai
kenyataan, dalam klaim apapun yang menyangkut pengetahuan esoteris, kaum Sufi sedang terkena
pengaruh yang kuat dari konsep-konsep Greco-gnostik dan doktrin doktrin Kristen dan Manikea.
Kecenderungan filosofis ini dipercepat oleh merembesnya ide-ide Neoplatonis tentang emanasi yang
memancarkan daya tarik yang kuat terhadap Sufisme spekulatif. Ide-ide ini dirumuskan dalam sebuah
ensiklopedia yang bersifat populer pada akhir abad ke-4 H/ 10 M oleh kelompok esoterik Isma'ili yang
menamakan dirinya 'Saudara-saudara. Sekemurnian' (Ikhwan ash-Shafa). Karya religio filosofis ini,
'Risalah saudara-saudara yang Murni', yang beredar luas. pada abad ke-5 H/11 M, dan yang nantinya
dijadikan sumber oleh theosofi Isma'ili menyuguhkan kepada pencari-pencari ma'rifah tujuan mi'raj
Neoplatonis atau 'kembali'-nya ruh kepada prinsip wujud yang hakiki dan peleburan yang pertama ke
dalam yang kedua.
Demikianlah ma'rifat Sufi. Ia mengembangkan doktrin khusus tentang hubungan antara Syari'ah dan apa
yang disebut haqiqah.  Banyak Sufi kemudian berpendapat bahwa seorang 'pencari' yang telah sampai
kepada kebenaran mistik ini berarti telah melangkah keluar dari batas-batas Syari'ah - hukum agama yang
tak lagi diperlukannya, yang hanya dimaksudkan untuk orang awam dan 'pencari-pencari' yang masih
pemula saja. Sebahagian lagi bahkan mengatakan bahwa hukum tak usah dilalui sama sekali.
Kalau saja mereka mampu melakukannya, maka ke berhasilan mereka mungkin sekali tidak hanya akan
mampu menghindarkan konflik batin yang gawat dalam Islam, tapi juga akan memperkayanya dengan
kreativitas yang tak ada taranya sebelumnya. Akibat ketidakmampuan ini, sufi-sufi tersebut juga
meninggalkan kesan bahwa mereka hanyalah mempersandingkan dua aliran yang tak dapat didamaikan,
karena sikap munafik dan takut kepada ulama saja.
Namun demikian, Sufisme memancarkan daya tarik yang luar biasa pada pikiran orang banyak dan
selama abad ke-4 H/10 M dan 5H/11M bahkan mampu menarik jumlah yang semakin banyak dari
kelompok intelligensia yang paling pintar. Kaum 'ulama' mencemoohkan pretensi pretensi sufi bahwa
mereka memiliki jalan-jalan kognitif yang tersendiri kepada Tuhan. Para Sufi yang lebih ortodoks
berusaha untuk lebih mendekati para ulama, tetapi para ulama secara keseluruhan tetap tak
tergugah. Sementara itu, bentuk bentuk Sufisme theosofis yang lebih berlebih-lebihan sedang menuju
puncaknya.
Karena itu missi al-Ghazali disambut tidak hanya sebagai pembaharuan atau lebih tepatnya reorientasi
Islam ortodoks, tetapi juga sebagai pembaharuan Sufisme. Penyelidikan filosofis tentang sifat hakiki
Tuhan tidak memberikan hasil apa-apa kepadanya. la pun tidak berpaling kepada Sufisme untuk
memperoleh pengetahuan ini dengan cara lain. Ia tidak menginginkan ataupun mengharapkan untuk
memperoleh pengetahuan mukjizat yang bersifat esoteris atau misterius.
Ini adalah pelajaran yang sangat mengesankan dari seorang mistikus yang besar, salah satu dari
pelajaran-pelajaran yang paling mengesankan, kami kira, dalam seluruh sejarah mistisisme yakni bahwa
mistisisme bukanlah suatu cara untuk memperoleh fakta fakta ekstra mengenai realita, melainkan cara
untuk memandang nya sebagai suatu kesatuan. Lebih lanjut, kesatuan kesadaran mistik disyarati oleh
kandungan faktual , yang ditest dan di transform dengan arti-arti yang baru.
Tetapi kegiatan kritis, sintetis dan pembaharuan al-Ghazali, pada waktu yang sama, ternyata menjadi
titik balik dalam sejarah spiritual Islam, dan memaksa aliran ide-ide di masyarakat Islam ke arah divisi-
divisi dan kombinasi-kombinasi yang baru. Dalam serangan serangan hebat ortodoksi, yang dengan
berhasil dimulai oleh al-Ghazali, filsafat rasional tidaklah mati, tetapi ter desak ke bawah permukaan, dan
melakukan pembalasan dengan penyamaran barunya dalam bentuk Sufisme theosofis di mana ia
mendapatkan tempat yang aman. Dengan demikian, struktur formal metodologi Sufi yang dikemukakan
oleh al-Ghazali sebagaimana yang diterangkan garis besarnya di atas dan diambilalih oleh Sufisme
ortodoks disia-siakan oleh Theosofi baru yang semakin menarik sebagian dari pemikir-pemikir terbaik
Islam zaman pertengahan yang akhir.
Perumusan klasik dari epistemologi Sufi yang baru dikerjakan oleh Ibnu al-Arabibi (W.
638/1240H) 'nabi'-nya mistisisme theosofis Islam. Ia mengkritik para filosof atas pengandalan mereka
yang eksklusif kepada akal, tapi ia juga menasehatkan kelompok-kelom pok keagamaan bahwa tidak
semua doktrin filosofis harus ditolak sebagai kepalsuan. Karya-karya mistik berikutnya dari para Sufi
theosofis penuh dengan kritik terhadap para rasionalis dan cemoohan terhadap akal di hadapan intuis, dan
memberikan kesan bahwa kaum Sufi adalah musuh bebuyutan filsafat.
Akan tetapi, kenyataan yang sebenarnya adalah bahwa oposisi ini hanyalah bersifat metodologis, dan
kurang lebih korespond dengan oposisi al-Ghazali terhadap ulama ortodoks. Sesungguhnya, kita melihat
bahwa filosof filosof yang terkemudian seperti Shadaruddin secara sistematis juga memandang
pengungkapan intuitif sebagai bentuk pengetahuan yang tertinggi dalam kerangka epistemologis mereka.
Demikianlah tantangan epistemologis Sufisme terhadap theolog-theolog ortodoks. Sistemnya yang bagi
para Sufi spekulatif akhirnya menunjang sistem theologi ortodoks, adalah betul-betul monistik dan
pantheistik, yang berlawanan sama sekali dengan ajaran Islam ortodoks.
Sekalipun demikian, kontravensi lama dari masa pra-Ghazali mengenai hubungan wali wali dengan Nabi
menjadi hidup kembali. Tetapi akibat yang lebih jahat dari kedua doktrin tersebut adalah bahwa poasisi
Syari’ah dan tiang bangunanya yang nyata, yakni hokum, dihadapkan pada bahaya yang gawat. Maka,
kesimpulan yang tak terhindarkan adalah ‘Semua adalah Dia’.
Ibnu al-Arabi sendiri mengarang lirik-lirik 'Penafsiran Nafsu'-nya setelah diilhami oleh seorang pelacur
di Makkah. Adam, demikian diajarkannya, sebenarnya adalah wanita yang pertama karena Hawa
dilahirkan dari rusuknya, suatu tindakan yang diulangi oleh Adam kedua, yaitu Maryam, dalam
melahirkan Isa Dalam puisi-puisi Sufi Persia selanjutnya yang berkembang dengan demikian
cemerlangnya, citra-citra asmara dipergunakan dalam realisme yang garang dan banyak penyair yang lalu
menjadi obyek kontroversi soal apakah mereka menyanyikan cinta spiritual ataukah birahi asmara
badani. Pemakaian citra-citra ini menjadi komoditi yang utama dalam puisi Persia, Turki dan Urdu, dan
pesonanya ada lah demikian kuatnya hingga terus menjadi gaya kesusasteraan di negeri-negeri
tersebut, dan hanya pada abad sekarang ini sajalah gaya tersebut ditinggalkan orang.
Latarbelakang inilah terutama yang memberikan lapangan kegiatan bagi Ibnu Taymiyah (lihat
pembahasan sebelumnys, Bab VI) dan murid-muridnya, terutama Ibnu Qayyim, mulai dari abad ke 81/14
M dan selanjutnya. Dia dan alirannya tak henti-hentinya menyerang ritus-ritus Sufi dan praktek-praktek
pemujaan makam serta pengkultusan wali-wali mereka. Akan tetapi apa yang ditegaskan oleh Ibnu
Taymiyah dan alirannya adalah bahwa pengalaman Sufi tidaklah memiliki validitas yang tak tergoyahkan
dan eksklusif, dan bahwa dalam kenyataannya, validitas kandungannya harus diuji dengan rujukan
kepada dunia luar. Jadi, Sufisme mungkin saja bisa menafsirkan dan memberi arti baru kepada Syari'ah
dan wahyu. Doktrin Monisme (doktrin yang menganggap bahwa realitas adalah tak terbagi, organis
meuniversal, dan menganggap bahwa alam dapat diterangkan oleh satu substansi atau satu prinsip semisal
benda, pikiran atau suatu benda yang tunggal atau kekuatan), dan dengan demikian doktrin ini merusak
Syari'ah dan tertib moral. Monisme tidak hanya gagal memenuhi kriteria ini, tetapi bahkan tidak
mengakui kriteria tersebut.
Ajaran Ibnu Taymiyah menimbulkan kritik-kritik yang keras, bahkan dari kalangan ulama, yang sebab
utamanya adalah penolakan nya terhadap penerimaan otorita secara membuta dan, konsekuensinya, juga
kritik-kritiknya yang tak mengenal takut ter hadap hampir semua sekte-sekte Islam, termasuk theologi
ortodoks Asy'ari yang ditolaknya dengan keras sebagai mencanangkan pre determinisme yang anti
Islam. Tetapi pendekatan yang lebih berpengaruh dan mempunyai harapan adalah memperbaharui
Sufisme dari dalam Sufisme itu sendiri. Pada abad-abad pertengahan yang akhir dalam sejarah
Islam, akhirnya adalah merupakan prosedur yang normal untuk menggabungkan Sufisme yang
kontemplatif dan purifikatif dengan disiplin-disiplin ortodoks yang normal, yaitu Hadits, hukum dan
theologi.
Kritik yang berakibat intelektual dan spiritual yang besar ter hadap doktrin monistik Ibnu al-Arabi telah
mulai sejak dini, bahkan di dalam tubuh Sufisme sendiri. " Seorang Sufi yang terkenal, al Samnani , telah
menuduhnya sebagai 'men campuradukkan Tuhan dengan alam' dengan mengidentikkan "Yang Ilahiah'
dengan 'yang manusiawi'. Gerakan ini mencapai puncaknya dalam ajaran Ahmad Sirhindi , seorang teori
tikus terkemuka Sufisme yang telah diperbaharui dari India. Sirhindi seorang Sufi yang mengikuti aliran
Naqsyabandiyyah, menyatakan bahwa pengalaman Kesatuan Wujud, walaupun sebagai suatu pengalaman
adalah ril, namun tidaklah menampilkan tahap terakhir dalam perkembangan sang mistikus Menguatkan
ajaran Ibnu Taymiyah dari sisi Sufi, ia mengajarkan bahwa 'realitas' Sufi, yang umum nya bertentangan
dengan Syari'ah sebenarnya adalah dasar-hidup Syari'ah itu sendiri.
Gerakan Sirhindi mempunyai pengaruh yang sangat besar di "anak benua India dan pada umumnya
berhasil menandingi ke cenderungan-kecenderungan antinomian ( yang m)di kalangan ahli-ahli
Sufi. Sebagian pengaruh inilah yang telah mendorong Maharaja Akbar dari Mughal untuk
memproklamirkan sebuah agama sinkritistik pada abad ke-10 H/16 M dan mencoba memaksakannya
sebagai agama negara, di mana gerakan yang dipimpin Sirhindi merupakan reaksi yang berhasil
terhadapnya Karena itu, gerakan Sufi yang kedua bertujuan mensintesakan kerangka monistik dari
theosofi mistik dengan desakan-desakan moral Syari'ah. Theolog-theolog Sufi ini, dalam tujuan-tujuan
umumnya, bisa dibandingkan, dari sisi Sufi, dengan semangat sin tetis Ibnu Taymiyah di lapangan
skolastik ortodoks, Pengaruh yang nyata dari usaha-usaha ini mengubah karakter theologi Islam dari
corak skolastik tradisionalnya kepada corak yang lebih asli intelektual dan spekulatif.

Anda mungkin juga menyukai