Kebangkitan dan Perkembangan Awal Sufisme - Permulaan Kelembagaan Sufisme - Jalan Sufi -
Munculnya Sufisme Ortodoks -Theosofi Sufi.
JALAN SUFI
Sufisme tidak bisa tinggal puas dengan kesalehan dan seruan cintanya terus menerus, Sekali
pandangan umumnya telah memperoleh pengikut dan antara anggota-anggota ortodoksi yang
terpandang, maka segera ia mengembangkan metodologi jalan batinnya, jalan spiritual' menuju
Tuhan. Dzunnun al-Misri (w. 245 H/859 M), yang pada umumnya dianggap telah berjasa oleh
kaum Sufi atas usahanya mengklasifikasikan ’tahap-tahap' perkembangan spiritual, benar-benar
telah dituduh menyelewengkan ajaran agama di Baghdad, pada tahun 240 H/854 M.
Doktrin mengenai tahapan-tahapan atau 'stasiun-stasiun' (maqaamat) jalan Sufi ini pada
umumnya dinyatakan dalam ter minologi religio-moral, yang dipinjam seluruhnya dari al-Qur'an
(biasanya mencakup istilah-istilah seperti 'taubat', 'abstinensi', 'sabar', 'syukur', 'tawakkal', dan
'ridha' (dalam kehendak Tuhan). Ia juga memperinci sebuah teori ’keadaan-keadaan’ (abwal)
yang bersifat psiko-gnostik yang dilewati oleh seorang Sufi. Pada pertengahan abad ke-3 H/9 M
perkembangan ini telah mencapai kepastian, dan mengarah kepada doktrin 'peleburan' atau
'anihilasi (fanaa’), yakni bergantinya sifat manusiawi dengan sifat Ketuhanan. Doktrin ini secara
tradisi dihubungkan dengan nama tokoh Sufi terkenal, Abu Yazid al-Bisthami (w. 260/874 M)
kepada siapa dinisbatkan ucapan-ucapan ekstatik seperti "Terpujilah aku', 'alangkah besar
keagunganku', 'Akulah Tuhanmu', dan 'panjiku adalah lebih tinggi daripada panji
Muhamammad’.
Dengan munculnya doktrin Sufi mengenai jalan spiritual, muncullah problema tujuan akhir Sufi
yang didefinisikan dalam batasan-batasan (fana') manusia ke dalam sifat-sifat dan kualitas-
kualitas Ketuhanan. Dalam sebuah kitab yang ditulis oleh Sufi al-Hakim al-Tirmidzi (258 H/898
M), seorang Sufi dan sistemator Sufisme yang terbesar abad ke-3 H/9 M. dibahas persoalan-
persoalan seperti : 'siapa yang berhak memegang gelar penutup para wali?", "bagaimana
hubungan wali dengan seorang Nabi?' dan sebagainya.
Kewalian juga membawa serta doktrin tentang suatu hirarki wali-wali 'penjaga', yang mungkin
sekali merupakan doktrin Sufi yang yang pararel dengan doktrin Syi'ah tentang Imam. Ajaran ini
bermula pada abad ke-3 H/9 M, tetapi menjadi bagian tetap dari doktrin Sufi pada abad
berikutnya. Menurut doktrin ini, dunia tetap terjaga keutuhannya berkat adanya struktur hierarkis
wali-wali ghaib yang terdiri dari berbagai tingkatan. Sebuah tempat khusus dalam hirarki para
wali ditempati oleh seorang tokoh ghaib yang disebut al-Khadir atau al-Khidr (harfiyah, 'Hijau')
yang, seperti halnya Phoenix, tetapi awet muda dan hidup abadi dan bertugas utama
menunjukkan jalan kepada orang-orang yang tersesat di padang belantara (baik dalam arti fisik
maupun spiritual).
Demikianlah tentang alam ghaib Sufisme. Dalam dunia nyata, para Sufi, atau lebih tepat
mereka yang dianggap mempunyai ke dudukan sebagai wali, memiliki mukjizat-mukjizat atau
anugerah anugerah khusus dari Tuhan (karaamaat) yang merupakan tanda dari kewalian mereka.
Sejak abad ke-4 H/10 M dan 5 H/11 M hingga seterusnya, muncullah suatu doktrin yang baru,
yang sama sekali bertentangan dengan semangat ortodoksi Islam, namun demikian menjadi ayat
pertama dalam konstitusi Sufisme, sementara mengemukakan dirinya dalam bentuk yang
terorganisir. Pada abad ke-3 H/9 M dalam tubuh Sufi telah dimulai usaha-usaha untuk
merentangkan jembatan di atas jurang yang memisahkan antara Islam ortodoks, dan Sufisme,
dan menjaga Sufisme agar tetap berada dalam batas-batas yang wajar. Kita telah mempelajari
kasus al-Muhasibi. Setelah dia muncullah al-Kharraz (w. 286 H/899 M) dan tokoh kritik yang
besar dalam Sufisme yang awal serta perumus Sufisme ortodoks, Junaid dari Baghdad (w. 298
H/911 M) yang dikatakan sebagai murid al-Muhasibi.