Anda di halaman 1dari 10

A.

Konsep Tazkiyatun Nafs (Penyucian Jiwa)


1. Pengertian Tazkiyatun Nafs
Secara bahasa berasal dari dua kata, yaitu tazkiyah yang berarti menyucikan,
membersihkan, serta menumbuhkan, karena itulah sedekah harta dinamakan
zakat, dengan dikeluarkannya hak Allah dari harta itu, ia menjadi suci, bersih.
Dan an nafs itu berarti jiwa.
Tazkiyatun nafs secara istilah maknanya mencakup ;
1. Tathohur, yaitu membersihkan jiwa dari segala penyakit hati dan cacat,
seperti kekufuran, nifaq, kefasikan, bid’ah, syirik, ria, dengki, sombong,
bakhil, ujub, serta mengikuti hawa nafsu.
2. Tahaquq, yaitu merealisasikan kesucian jiwa dengan sikap tauhid dan
cabang-cabangnya seperti ikhlas, zuhud, tawakkal, taqwa, wara syukur dan
sabar.
3. Takhalluq, yaitu berprilaku dengan nama-nama Allah yang indah dan
meneladani sifat-sifat Rosulullah1
Dan tazkiyatun nafs merupakan salah satu misi dakwah Nabi, tujuan dan
tugas beliau yang terpenting adalah menanamkan akhlak yang mulia dan
menyempurnakannya serta menjelaskan keutamaannya. Hal ini tentunya
menunjukkan urgensi, peran penting tazkiyatun nafs dan pengaruh besarnya dalam
mewujudkan masyarakat Islam yang sesuai dengan manhaj kenabian. Hal ini
karena tazkiyatun nafs tidak ada kecuali dengan akhlak yang mulia,
keistiqamahan padanya dan dakwah kepada ketinggian dan indahnya akhlak
tersebut, sehingga dakwah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memperbaiki
akhlak manusia tidak terlepas dari tazkiyatun nafs (pensucian jiwa).

1
Said hawa, tazkiyatun nafs hal .173
Melihat arti pentingnya perkara ini maka para Rasul seluruhnya berdakwah
kepada pensucian jiwa umat manusia. Lihatlah Rasulullah Shalallahu’alaihi
Wasallam diutus untuk mensucikan dan memurnikan jiwa manusia serta
menghilangkan kotoran dan akhlak buruk manusia. Sebagaimana dinyatakan
dengan jelas dalam Al Qur’an, di antaranya adalah firman Allah yang artinya:
“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang
membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan
mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu
apa yang belum kamu ketahui” (QS. Al Baqarah : 151).
Bukankah tazkiyatun nafs ada dengan akhlak mulia dan istiqomah
diatasnya? Demikianlah pentingnya tazkiyatun nafs dalam membentuk
masyarakat Islam yang benar, sehingga menjadi salah satu rukun ajaran dan
dakwah Nabi Ibrahim, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah yang
bermakna “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar
Baitullah beserta Ismail (seraya berdo’a):”Ya Rabb kami terimalah daripada
kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. Ya Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh
kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak-cucu kami umat yang tunduk
patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-
tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah
Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Ya Rabb kami, utuslah untuk
mereka seorang Rasul dari kalangan, yang akan membacakan kepada mereka
ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (al-Qur’an) dan
hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Baqarah : 127-129).
Para Rasul yang lainnya pun demikian, mereka mengajak manusia untuk
mereka dari kesyirikan dan kemaksiatan. Banyak ayat-ayat Al Qur’an yang
menunjukkan perhatian besar para Rasul terhadap ketaqwaan yang berarti juga
menyangkut tazkiyatun nafs, sebab hakekat tazkiyatun nafs adalah takwa. Maka
jelaslah sudah tazkiyatun nafs merupakan dakwahnya para Rasul, bahkan salah
satu rukun dakwah mereka.
2. Pentingnya Tazkiyatun Nafs Dalam Islam
Syeikh Ahmad Farid menuturkan bahwa Ilmu penyucian jiwa itu lebih
penting bagi penuntut ilmu di banding ilmu ilmu ibadah lain. Sebagaimana
pentingnya air bagi ikan dan udara bagi manusia. Hal ini karena ilmu penyucian
jiwa bisa di gunakan :
Pertama, memperbaiki hati, ada yang mengatakan hati yang baik akan
mudah menyerap ilmu, “Sebagaimana tanah yang subur akan mudah ditanami.”
Dan perlu kita ketahui bahwasannya hati itu bisa hidup bisa mati, berkaitan
dengan itu dapat dikelompokan menjadi 3 :
 Hati yang sehat
 Hati yang mati
 Hati yang sakit
a. Hati yang sehat adalah hati yang selamat, hati yang selamat
didefinisikan sebagai hati yang terbebas dari setiap hawa nafsu. Hati
yang tidak pernah beribadah kepada selain Allah dan berhukum
kepada selain Rosulullah. Seluruh ibadahnya ikhlas karena Allah,
semua apa yang dilakukan olehnya untuk Allah.
b. Hati yang mati adalah hati yang tidak mengenal siapa Rabbnya, ia
tidak beribadah kepadanya, enggan menjalankan perintahnya. Hati
yang seperti ini berjalan bersama hawa nafsu. Semua yang ia lakukan
hanya semata karena nafsu.
c. Hati yang sakit adalah hati yang hidup namun mengandung penyakit,
dia memiliki sifat kecintaan kepada Allah, keimanan dan keikhlasan
namun disamping itu ia juga memiliki sifat dengki yaitu iri hati,
sombong, dan berbangga diri.2

Kedua, agar mereka memperbarui taubat kepada Allah setiap pagi dan sore,
sebagian ulama salaf mengatakan, “Barangsiapa yang tidak bertaubat pada pagi
dan sore hari maka ia termasuk orang orang yang dzalim.”

2
Ahmad Farid,Tazkiyatun nafs watarbiyatuha kama yuqorriruhu ulama assalaf hal.26-27
Ketiga, agar penuntut ilmu tidak patah semangat terhadap cobaan yang
menimpanya. Misalnya ada orang yang sangat cerdas dan giat dalam menuntut
ilmu syar’i, namun keistimewaan ini ia dimasuki dengan sifat sombong atau riya
sehingga menyebabkan celaka. Seperti dalam kisah tiga orang yang dipanggang
pertama kali dalam api neraka, disebabkan perbuatan hatinya. Semoga Allah
melindungi kita dari perilaku orang-orang celaka.
Sebagaimana yang disebutkan dalam dalil yang shohih, para ulama
merupakan pewaris para nabi sehingga misi utama mereka adalah ta’lim, tadzkir
dan tazkiyah kepada umat. Namun jarang sekali ketiga hal ini berhimpun pada
seseorang. Ada orang yang piawai dalam mentadzkir, tapi tidak banyak ilmunya,
ada yang berilmu tapi tidak piawai dalam menyampaikan nasihat, ada orang yang
berilmu dan piawai dalam menyampaikan nasihat tetapi tidak mampu melakukan
tazkiyah. Siapa yang memiliki ketiga hal ini, maka ialah pewaris kenabian utuh
karena telah memiliki obat kehidupan.
Dan perlu diingat tujuan dari tazkiyatun nafs adalah muhasabah, yaitu
melakukan intropeksi, koreksi perbaikan terhadap niat, amalan dan sikap kita,
bukan untuk menganggap suci diri dari kesalahan yang mana dilarang tegas oleh
Allah ‘Azza wa Jalla.
Seseorang yang senantiasa bermuhasabah terhadap amalan-amalannya,
melakukan tazkiyah terhadap jiwanya dengan berbagai sarana tazkiyah secara
sempurna dan memadai sekaligus mempelajari, mengkaji, dan mengamalkan yang
diketahuinya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah pasti akan tampak buah pada diri dan
prilakunya, lisannya terjaga dari mengucap yang tidak semestinya, serta tercermin
pada adab dan muamalah yang baik kepada Allah dan sesama manusia.
Dan pentingnya tazkiyatun nafs ini akan semakin jelas kalau kita memahami
bahwa makna takwa yang hakiki adalah pensucian jiwa itu sendiri. Artinya
ketakwaan kepada Allah Ta’ala yang sebenarnya tidak mungkin dicapai kecuali
dengan berusaha menyucikan dan membersihkan jiwa dari kotoran kotoran yang
menghalangi seorang hamba untuk dekat kepada Allah.
Allah Ta’ala menjelaskan hal ini dalam firman-Nya ;
“Dan demi jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang
menyucikan jiwa itu( dengan ketakwaan)dan sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya dengan kefasikan (QS. As-Syams :7-10)
Demikian juga sabda Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam :
“Ya Allah anugerahkanlah kepada jiwaku (dengan ketakwaan) dan
sucikanlah jiwaku dengan dengan ketakwaan itu. Engkaulah sebaik baik yang
mensucikan dan engkaulah yang menjaga serta melindunginya.” (H.R Muslim)
Imam Maimun bin Mihran (seorang ulama tabi’in) berkata, “Seorang hamba
tidak akan mencapai takwa sehingga dia melakukan muhasabatunnafs (intropeksi
diri terhadap keinginan jiwa untuk mencapai kesucian jiwa) yang lebih ketat dari
pada seorang pedagang yang selalu mengawasi sekutu dagangnya (dalam masalah
keuntungan dagang). Oleh karena itu, ada yang mengatakan, jiwa manusia itu
ibarat sekutu dagang yang suka berkhianat. Kalau anda tidak mengawasinya, dia
akan pergi membawa hartamu (sebagaimana jiwa akan pergi membawa
agamamu).
Ketika menerangkan pentingnya tazkiyatun nafs, Imam Ibnul Qoyyim al-
Jauziyah mengatakan, ”Orang-orang yang menempuh jalan (untuk mencari
keridhaan Allah), meskipun metode yang mereka tempuh berbeda-beda, akan
tetapi mereka sepakat mengatakan jiwa manusia adalah penghalang utama bagi
hatinyauntuk sampai kepada keridhaan Allah Ta’ala. Sehingga seorang hamba
tidak akan mencapai kedekatan dengan Allah Ta’ala melainkan dia berusaha
menentang dan menguasai nafsunya (dengan melakukan tazkiyatun nafs).”

3. Metode Tazkiyatun Nafs


Dalam pembahasan yang dimaksud disini adalah berbagai amal yang secara
langsung mempengaruhi jiwa sehingga terbebas dari penyakit-penyakit, mampu
merealisasikan iman dan akhlak Islami jika dilakukan sempurna. Walau secara
umum semua amalan bisa masuk dalam kategori ini, tetapi ada beberapa amalan
yang lebih jelas pengaruhnya pada jiwa dibanding amalan-amalan lainnya.
Diantara amalan amalan tersebut yang paling utama adalah Sholat, zakat,
infaq, puasa, haji, tilawah, Al-Qur’an, dzikir dan tafakkur, mengingat kematian,
muhasabah, muroqobah, amar ma’ruf nahi munkar, jihad serta bersikap tawadhu.
Sholat berikut ruku dan sujudnya akan membersihkan jiwa dari kesombongan
kepada Allah, mengingatkan jika agar selalu istiqomah diatas perintahnya, serta
mencegah perbuatan keji dan munkar. Zakat dan infaq mampu membersihkan
jiwa dari sifat bakhil dan kikir dan menyadarkan manusia bahwa pemilik harta
sesungguhnya adalah Allah Ta’ala. Sementara puasa merupakan pembiasaan jiwa
untuk mengendalikan syahwat perut dan kemaluan.
Membaca Al-Qur’an dapat mengingatkan jiwa terhadap berbagai
kesempurnaan, seorang mukmin akan tumbuh dan bertambah keimananya jika
dibacakan ayat-ayatNya, itulah sebab tilawah merupakan sarana tazkiyah. Dzikir
dan fikir merupakan dua sejoli yang dapat memperdalam imaan dan tauhid dalam
hati manusia dan menerima ayat-ayatNya. Mengingat kematian dapat
menyadarkan manusia atas ketidak berdayaan nya dihadapan Allah dan bahwa
semua manusia akan kembali pada-Nya. Muroqobah dan muhasabah terhadap
jiwa dapat menyegerakan taubat sehingga jiwa manusia terdorong untuk
melakukan perbaikan. Dan tidak ada yang lebih efektif untuk menanamkan
kebaikan selain amar maruf nahi munkar, maka orang yang tidak memerintahkan
kebaikan dan tidak mencegah kemungkaranberhak mendapat laknat dari Allah
sebagaimana bani Israil yang enggan melakukan amar maruf nahi munkar. Jihad
merupakan sarana tazkiyah tertinggi, tidak ada yang mempu melakukannya
kecuali orang yang diberi keutamaan oleh Allah. Orang yang berjihad di jalan
Allah terbebas dari sifat kikir dan takut karena ia mengobarkan jiwa-Nya untuk
Allah, dan mati syahid di jalan-Nya adalah penghapus dosa. Disamping itu semua,
sikap tawadhu akan menjauhkan seseorang dari sifat sombong dan ujub, sekaligus
memperkuat rasa kasih sayang dan lemah lembut kepada sesama.
Namun ketahuilah bahwa sebagian manusia telah tersesat akibat memahami
masalah tazkiyah ini. Sebagian intelektual zaman ini tersesat karena mengatakan,
”Selagi tujuan beribadah adalah tazkiyatun nafs -mereka menggap diri mereka
telah tersucikan-sehingga tidak perlu lagi ibadah. ”Sesungguhnya mereka adalah
orang yang paling bodoh, karena tazkiyatun nafs merupakan proses yang berjalan
terus menerus. Oleh sebab itu, jiwa senantiasa memrlukan kebutuhannya secara terus
menerus dengan berbagai sarana yang telah dibebankan Allah kepada para hamba-
Nya, Dia lebih tahu tentang jiwa. Bila manusia mengurangi ibadah dan sarana
tazkiyah lainnya maka jiwa akan langsung terpuruk.
Allah berfirman ;
“Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmatNya kepada kamu sekalian,
niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan keji dan munkar)
selama lama nya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dia kehendakiNya.” (QS.
An-Nur : 21)3

=====-=============-=========
Mengapa manusia butuh mensucikan jiwa?
Tentunya kita sudah sering mendengar hadist Rasul yang menyatakan, "Setiap kalian adalah
pemimpin dan setiap pemimpin dimintakan tanggung jawab atas kepemimpinannya itu." Jadi
Allah akan meminta pertanggungjawabkan pada diri kita semua, karena setiap orang adalah
pemimpin, minimal memimpin keluarga dan dirinya sendiri.

Jika kita membandingkan dengan hasil survey pada buku di atas, milyuner-milyuner (yang tentu
juga merupakan seorang pemimpin, misalnya pemimpin perusahaan) yang sekuler (dan
kemungkinan besar atheis) saja menempatkan nilai-nilai spiritual pada posisi penting dalam
kehidupannya di dunia, apalagi kita yang tahu bahwa kita pasti diminta pertanggung jawabannya.

Allah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang
bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang
keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS. 66:6)

Abdullah bin Abbas menerangkan bahwa kata pelihara ini berarti "mendidik" diri dan
keluarganya. Ingat doa yang diajarkan Rasul SAW:

"Ya Allah karuniakanlah pada jiwa ini ketakwaan kepada-Mu dan sucikanlah jiwaku, karena
engkaulah pelindung dan pemiliknya."

Tahap Mensucikan Jiwa


1. At-Tathahharu
2. At-Takhaluq
3. Al-Iqtida'

1. At-Tathahharu
Artinya: Mengangkat dan membersihkan jiwa dari segala penyakitnya.

Pembersihan diri ini diawali dengan taubat. Taubat yaitu kembali pada pangkuan dan pelukan
Allah, meninggalkan segala dosa dan maksiat serta berusaha untuk tidak melakukannya lagi. Dan
kemudian memulai hari-hari anda dengan indah yang dihiasi dengan keimanan dan keta'atan.
Diri anda akan terasa ringan dan "plong" apabila anda berhasil mengangkat penyakit-penyakit
hati atau penyakit jiwa/batin.

Apa saja penyakit jiwa?


Kufur, Nifaq. Yaitu ingkar kepada Allah. Bila seseorang ditimpa bencana dan ancaman
kematian, maka ia akan memohon kepada Allah dalam segala posisi saking takutnya, tetapi
setelah bencana itu diangkat oleh Allah, ia lupa bahwa dengan kekuasaan Allahlah hal itu terjadi.
Firman Allah:
“Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring,
duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui
(jalan yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan)
bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang
baik apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS 10:12)
Syirik & Riya’. Syirik : menyekutukan Allah dengan selain Allah. Riya’: syirik kecil, karena
adanya pada diri manusia itu sendiri. Perumpamaan Rasul SAW : “Riya’ itu bagaikan semut
hitam, di atas batu hitam, di dalam hutan belantara yang gelap pada waktu malam hari." Riya’
menyebabkan seluruh amal yang kita kerjakan karena Riya’ akan ditolak oleh Allah. Ingat salah
satu doa yang diajarkan Rasulullah yang termuat dalam Al-Ma’tsurat:“Ya Allah, sesungguhnya
aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu terhadap apa-apa yang aku ketahui. Dan
ampunilah aku terhadap apa-apa yang tidak aku ketahui.”

Hubbud dunya, atau cinta dunia(wahn). Firman Allah:


"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, yaitu
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda pilihan, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di
sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)." (QS 3: 14).
Hasad (kedengkian). Orang yang hasad tidak senang bila orang lain mendapatkan rezeki,
nikmat, dll dari Allah. Rasulullah menasehati kita, “Jauhi sifat hasad, karena tanpa terasa
kebaikan amal kita habis seperti api menghabiskan sepotong kayu.” Ingat kisah seorang sahabat
miskin (seorang buruh panggul) yang dikatakan Rasul SAW sebagai ahli syurga padahal ketika
diselidiki oleh seorang sahabat lain amalan lainnya biasa saja. Ternyata rahasianya adalah bahwa
tiap malam ia berdoa agar terhindar dari sifat hasad dan mendoakan orang lain yang berniat atau
telah melakukan kezaliman atas dirinya untuk diampuni oleh Allah.

Ujub, yaitu kekaguman seseorang terhadap dirinya sendiri. Kekaguman itu bisa
terhadapkekaguman fisiknya (narsisme), ilmu pengetahuan yang dimiliki, dan yang paling
bahaya adalah terhadap amal perbuatannya sendiri. Yang disebut terakhir Allah menggambarkan
dalam surat 49:17 bahwa orang yang ujub merasa telah memberikan ni’mat (rezeki, sedekah)
kepada orang lain dan merasa bangga disebut sebagai yang menyedekahi. Dengan kata lain ia
melakukan amal perbuatannya karena ingin dilihat orang lain. Silakan dicek pula surat 7: 44
(bacaan para penghuni surga ketika masuk surga).

Takabbur, atau sombong. Awal dari takabbur ini adalah sifat ujub. Bermula kagum pada diri
sendiri kemudian ia merendahkan orang lain. Cukup banyak ayat yang menerangkan sifat
takabbur ini. Lihat surat An-Nahl (16) : 22 – 25. Cara untuk menghilangkan sifat ini adalah
banyak berdzikir (kagum pada Allah).

Ittiba’ul Hawa, atau selalu mengikuti hawa nafsu. Orang yang mengikuti hawa nafsu tidak mau
dibatasi. Allah mengijinkan disalurkannya nafsu, tetapi semua ada batasnya. Oleh karena itu
fungsi kajian Tazkiyatun Nafs ini adalah supaya nafsu tersalurkan sesuai porsinya.

Dan masih banyak lagi penyakit-penyakit hati yang nampak maupun tersirat dalam jiwa dan
batih manusia, yang mengakar dalam hati insan. Oleh karena itu, ikuti terus postingan dari
zulfanafdhilla.blogspot.com seputar tazkiyatun nufus di blog ini!.

2. At-Takhalluq
Yaitu memasukkan/menghiasi ke dalam jiwa itu segala sesuatu yang selayaknya berada di dalam
jiwa. Ya, setelah jiwa dibersihkan dan disucikan dengan berbagai cara dengan usaha (juhud) dan
sungguh-sungguh (ijtihad) dan latihan (riyadhah) baik dengan taubat, muhasabah, dan
sebagainya. Kini, jiwa yang sudah mulai bersih dari noda penyakit hati/jiwa/batin itu dihiasi
dengan sesuatu yang selayaknya ada di dalam jiwa, istilahnya kembali pada fitrah manusia dan
selayaknya manusia dengan akhlaq-akhlaq baik (akhlaqul karimah) yang berhubungan dengan
jiwa atau hati Baik itu husnudzhan, sabar, tawadhu'(rendah hati), jujur, amanah, tawakkal, sabar,
tawadhu’, tadharru’, qana’ah, iffah, dan lain-lain sebagainya.

3. Al-Iqtida'
Yaitu meneladani perilaku yang bersumber dari nama-nama Allah (Asma’ul Husna) yang
perilaku Rasul. Allah S.W.T mempunyai 99 nama (asmaul-husna), dari nama-nama yang baik itu
dapat menjadi media kita untuk sadar atau was-was, atau bisa juga disebut media menambah
iman kita. Diantaranya nama Allah itu yaitu Maha Adil, ya dengan nama ini kita tahu Allah itu
maha adil, jadi apapun yang menimpa kita itu adalah adilnya Allah walau akal kita tidak
sanggung melihat hikmahnya. Dengan ini kita akan terjauhi dari sifat Dzhan , yaitu berburuk
sangka kepada Allah.

Kemudian menjadikan sifat-sifat pribadi yang karimah (akhlaqul karimah)-nya rasul pada
kepribadian jiwa kita. Dengan mengamalkan sunnah-sunnah beliau dan menjauhi apa yang
dijauhi oleh beliau.

Jalan Membersihkan Jiwa:


1. Shalat
2. Zakat, infaq
3. Puasa
4. Haji
5. Tilawah Al-Qur’an
6. Dzikir
7. Tafakkur
8. Mengingat Mati dan Pendek Angan-angan
9. Muraqabah, Muhasabah, Mujahadah dan Mu’aqabah
10. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar dan Jihad
11. Pelayanan dan Tawadhu’ (merendahkan hati)
12. Mengetahui pintu-pintu masuk syetan ke dalam jiwa dan menutup jalan-jalannya.
13. Mengetahui berbagai penyakit hati dan kesehatannya berikut cara melepaskannya.

Anda mungkin juga menyukai