Anda di halaman 1dari 14

Rijalul Hadis dan Jarh wa Ta’dil

Makalah Ini Disusun guna Memenuhi Tugas Mata kuliah Hadits

Dosen Pengampu :
Miftakhussurur

Disusun Oleh:
1. Maliyya Marisa 23030160179
2. Winarsih 23030160153
3. Alvin Dwi Nugroho 23030160181

TADRIS BAHASA INGGRIS


FAKULTAS TARBIYAN DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap hadist mengandung 2 bagian yaitu teks ( Matn ) hadist itu sendiri dan
matan transmisi atau isnadnya yang menyebutkan nama-nama riwayat rowinya para
prasejarah klasik maupun modern sependapat bahwa mula-mula hadist muncul tanpa
dukungan isnad pada masa sahabat ( periode periwayatan hadits ) sampai lebih kurang
pengantian abad ke 11/ 7 M. Sekitar masa ini pulalah hhadist muncul secara besar-
besaran ketiak ilmumpengetahuan formal yang tertulis mulai di rintis baru pada abad
99 H- 101 H Umar bin Abdul Aziz mempunyai ide untuk membukukan hadist dengan
jalan memrintahkan semua ulama’ di seluruh dunia untuk menggumpulkan hadist-
hadist Rasul yang menurut anggapan mereka sama, pembukuan hadist pada periode
ini dilakukan dengan cara mengemukakan riwayat-riwayat di sertai dengan sanadnya
sehingga memungkinkan untuk mengetahui mutu hadist yang di riwayatkan baik
shohih maupun dhoif dengan cara meneliti sanadnya denag bantuan ilmu lain yang
bermacam-macam.
Ilmu Rijalul Hadist merupakan salah satu cabang besar yang tumbuh dari
hadist riwayah dan Diroyah dengan ilmu ini dapat membantu kita untuk mengetahui
keadaan para perowi yang menerima hadist dari Rasulullah dengan keadaan rowi
yang menerima hadist dari sahabat dan seterusnya. Denag mengetahui keadaan para
perowi yang menjadi sanad, dan memudahkn kita menilai kualitas suatu hadist maka
bias di simpulkan bahwa ilmu Rijalul Hadis merupakan separuh dari ilmu hadist.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Rija Al-Hadist?
2. Apa itu Jarh wa Ta’dil?
3. Apa hubungan ilmu Jarh wa Ta’dil dan Ilmu Rija Al-Hadits?
BAB II

PEMBAHASAN

1. Ilmu Rija Al-Hadist


Menurut bahasa, Rijal artinya para kaum pria. Dimaksudkan disini yaitu ilmu
yang membicarakan tentang tokoh atau orang yang membawa hadist, semenjak dari
nabi sampai dengan periwayat terakhir (penulis kitab hadis). Hal yang terpenting di
dalam ilmu Rijal Al Hadis adalah sejarah kehidupan para tokoh tersebut, meliputi
masa kelahiran dan wafat mereka, negeri asal, negeri mana saja tokoh-tokoh itu
mengembara dan dalam jangka berapa lama, kepada siapa saja mereka memperoleh
hadis dan kepada siapa saja mereka menyampaikan hadist. Ada beberapa istilah untuk
menyebut ilmu yang membicarakan persoalan ini. Ada yang menyebut ilmu Tarikh,
ada yang menyebut Tarikh Al Ruwat, ada juga yang menyebutnya Ilmu Tarikh Al
Ruwat.
Ilmu ini muncul bersamaan dengan kebutuhan para ulama periwayatan hadist.
Dan merebaknya, setelah timbulnya hadist palsu. Tampaknya, setelah hadis palsu itu
bermunculan, maka para ulama merasa berkepentingan menelusuri jati diri pembawa
hadis dan guru-guru yang menyampaikan hadis kepadanya.
Ilmu Rijalul Hadits adalah ilmu yang membahas hal ikhwal dan sejarah para
rawi dari kalangan sahabat, tabi’in, dan atba’ at-tabi’in.
Ulama hadits mendefinisikan ilmu rijalul hadits yaitu ilmu yang membahas
para rawi hadits, baik dari kalangan sahabat, tabi’in, mauun dari generasi-generasi
sesudahnya. 1Dalam penjelasan lain disebutkan ilmu rijalul hadits adalah ilmu untuk
mengetahui para perawi hadits dalam kapasitas mereka dalam perawi hadits.2
Secara sederhana, penulis dapat menyimpulkan bahwa ilmu rijalul hadits
merupakan ilmu yang membahas tentang kehidupan dan atau sejarah hidup para
periwayat hadits dari semua generasi pada setiap thabaqahnya.
Ilmu ini mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam ranah kajian ilmu
hadits karena kajian ilmu hadits pada dasarnya terletak pada dua hal, yaitu: matan dan
sanad. Ilmu rijalul hadits menempati tempat yang khusus mempelajari persoalan-
ersoalan sekitar sanad maka mengetahui keadaan rawi yang menjadi sanad merupakan
separuh pengetahuan.

1
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 153.
2
Sohari Sahrani, et al., Ulumul Hadits…, h. 125.
Ulama yang pertama kali memperkenalkan dan mempelajari secara serius ilmu
ini ialah Bukhari, ‘Izzad Bin Ibn al-atsir atau yang lebih dikenal dengan Ibn Al-Atsir
(630 H). karya yang terkenal dari disiplin ilmu ini adalah Al-Isti’ab fi Ma’rifah Al-
ashab karya Ibnu Abdul Bar (w. 463 H), Al-Ishabah fi Tamyiz as-Sahabah, Tahzib at-
Tahzib karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, dan Tahzib al-Kamal karya Abdul Hajjaj Yusuf
bin Az-Zakki Al-Mizzi (w. 742 H).3
Ada beberapa cara yang dicoba oleh para ulama untuk menyusun buku riwayat
hidup para periwayat :
1. Kitab yang disusun berdasarkan generasi (thabaqath) seperti:
a) Kitab al-thabaqath al-kubra
karya Abu Abdillah Muhammmad ibn Sa’ad Katib al – Waqidi (168-230H).
Kitab ini memuat biografi para sahabat, tabi’in dan orang-orang sesudah
b) Thabaqat al-Riwayat
karya Muhammad ibn Ahmad al-Dzahabi (w. 746H/1348M).
c) Kitab Tadzkirat al – Huffazh
Karya Muhammad ibn Ahmad al-Dzahabi (w. 746H/1348M)
2. Kitab yang disusun secara umum berdasarkan huruf abjad agar mudah
menggunakanya, seperti al-Tarikh al Kabir Karya Al-Imam Muhammad ibn
Isma’il al Bukhari (194-256 H). Kata al – Bukhari, “Nama-nama ini saya susun
berdasarkan huruf abjad. Hanya saja, saya mulai dari nama Muhammad karena
kemuliaan nama Muhammad SAW kemudian nama-nama selain Muhammad yang
berdasarkan urutan abjad
3. Di samping itu ada yang membahas biografi para sahabat Nabi,seperti;
a. Al-Isti’ab fi Ma’rifat al Ashab
Karya Ibn ‘Abdil Barr (w. 463 H/1071 M). Di antara kitab tentang biografi
sahabat, kitab ini tenggolong besar kalau bukan yang terbesar. Tidak kurang
dari 3500 orang sahabat dipaparkan biografinya dalam kitab ini.
b. Usud al-Ghabah fi Ma’rifat al-Shahabah
karya ‘Izzudin ibnu Atsir (w. 630H/1232 M). Penulisnya telah mencurahkan
segala kemampuanya untuk mewujudkan karya besar dan bagus ini. Biografi
sahabat sebanyak 7554 dimasukkan disini, disusun berdasarkan urutan abjad.
c. Al-Ishabah fi Tamyiz al Shahabah

3
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits…, h. 112.
karya Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852H/1449 M).
4. Kitab-kitab yang membicarakan para periwayat enam kitab (Shahih al – Bukhari,
Shahih Muslim, Sunan al- Turmudzi, sunan Abi Daud, Sunan al-Nasa’i, Sunan Ibn
Majah) antara lain;
Al-Kamal fi Asma al-Rijal karya Abdul Ghani al – Maqdisi (w. 600 H/102M).
Kitab ini diringkas oleh Abul Hajjaj Yusuf ibn al-Zaki al-Mizzi (w. 742 H) dengan
nama kitab Tahdzib al kamal. Kemudian ada yang meringkasnya lagi dengan nama
Tahdzib. Setidaknya ada dua orang yang menulis kitab yang judulnya sama,
disebut terakhir ini, yaitu Muhammad ibn Ahmad al- Dzahabi (w. 748H/1348 M)
dan ibn Hajar al-Asqalani (w. 852H/1449 M). Kitab ini pun diringkas oleh ibn
Hajar al- Asqalani dengan Taqrib al –Tahdzib.
5. Kitab yang menyebutkan riwayat hidup para periwayat sepuluh kitab hadist (enam
kitab ditambah al-Muwattha’ Malik, Musnad al-syafii, Musnad Ahmad dan
Musnad yang berisi hadist riwayat imam Abu Hanifah himpunan al-Husein ibn
Muhammad ibn Khurs) yaitu Al-Tadzikirah bi Rijal al-Asyarah
6. Kitab yang membicarakan para periwayat yang kualitasnya diragukan, seperti Al-
Kamil fi Dhu’afa al Rijal karya Abu Ahmad Abdullah ibn ‘Adi al Jurjani (w. 365
H). Mizan al-I’tidal fi Naqd al –Rijal karya Al-Dzahabi, dan lisan al-Mizan karya
ibn Hajar al –Asqalani.
7. Kitab Riwayat hidup para periwayat yang menerangkan nama samaran, seperti
kitab Nazhat al-Albab fi al-Alqab.
Dan masih banyak lagi jenis kitab riwayat hidup para periwayat seperti Kitab
Tarikh yang dikaitkan dengan negari tertentu, seperti Baghdad, Damaskus, Naisabur,
dan lain-lain. Dengan menggunakan kitab-kitab diatas peneliti hadist akan mendapat
bantuan menguak nilai mata rantai sanad sebuah hadist.

2. Jarh wa Ta’dil
Di dalam ilmu hadits, penyelidikan terhadap para rawi itu merupakan suatu
kewajiban dalam rangka memelihara kemurnian sunnah Nabi yang didasarkan pada
kaedah ajaran Islam. Dasar daripada penyelidikan ini adalah adanya beberapa ayat di
Dalam Al-Quran yang menginspirasi kegiatan penyelidikan ini, misalnya: Surat al-
Hujurat ayat 6
Artinya: “Hai orang-orang mukmin, jika datang kepadamu orang fasiq dengan
membawa berita maka selidikilah. Mungkin kamu dapat mendatangkan musibah
kepada kaum karena ketidak-tahuan, akhirnya kamu menyesal karena perbuatanmu.”
A. Jarh
“Jarh” menurut bahasa, artinya: melukai atau cacat. Sedangkan menurut
istilah ilmu Hadits, ialah: “menunjukkan atau membayangkan kelemahan, celaan,
atau cacat seorang rawi, atau melemahkan dia, maupun semua itu benar ada pada
diri si rawi atau tidak”. Istilah “al-Jarh” digunakan untuk menunjukkan “sifat
jelek” yang melekat pada periwayat hadis, seperti, pelupa, pembohong, dan
sebagainya. Apabila sifat itu dapat dikemukakan maka dikatakan bahwa
periwayat tersebut cacat. Hadis yang dibawa oleh periwayat semacam ini ditolak,
dan hadisnya dinilai lemah (dha’if).
1) Pembagian-pembagian Jarh
a) Jarh yang tidak beralasan
Tiap-tiap jarh yang ditujukan kepada seorang rawi, hendaklah ada
alasannya, dari perbuatan atau omongan si rawi, atau dari jalan lain.
‘Ulama yang menjarh seorang rawi dengan tidak menyebut alasannya,
tentu bagi ‘ulama itu ada alasannya sendiri, dan belum tentu jadi alasan
bagi orang lain. Oleh sebab itu, maka jarh tersebut dianggap masih gelap
bagi kita. Jadi jarh tersebut belum dapat diterima untuk melemahkan si
rawi.
Contoh : Dawud bin ‘Abdirrahman al- ‘Aththar Abu Sulaiman al-
Makki; Kata Ibnu Hajar: “Tidak shah dari Ibni Ma’in bahwa ia pernah
melemahkan Dawud”. Bahkan tersebut dalam kitab Khulashah Tah-
dzibil-Kamal, Ibnu Ma’in anggap dia kepercayaan.
Dari contoh tersebut, dapat kita ambil pelajaran, bahwa apabila dalam
satu kitab tersebut “Imam anu melemahkan rawi anu” sedang tidak ada
orang lain mencela si rawi itu, hendaklah kita susul keterangan tentang
imam itu melemahkannya.
b) Jarh yang tidak diterangkan sebabnya
Jarh yang tidak diterangkan sebabnya itu, seperti seorang berkata:
“Si anu lemah”, “Si anu tidak kuat” dan lain-lain yang seumpamanya,
dengan tidak disebut atau diketahui sebab si rawi dianggap lemah atau
tidak kuat. Maka ini tidak dapat diterima karena gelap.
Mungkin juga, orang yang menganggap seseorang rawi lemah,
bilamana ia nyatakan sebabnya, tidaklah menjadi catatan yang
sebenarnya atas si rawi itu.
Contoh: ‘Abdul-Malik bin Shubbah al-Misma’I al-Bashri: ada
orang meriwaytkanb, bahwa al-Khalili pernah berkata: “Adalah ‘Abdul-
Malik tertuduh “mencuri” “Hadits”. Kata Ibnu Hajar: “Ini satu jarh yang
tidak terang”. Dikatakan tidak terang, karena al-Khalili tidak tunjukkan
jalan tuduhannya.
Yazid bin Abi Maryam ad-Dimisyqi: tentang dirinya, ad-
Daraquthni berkata: “Dia tidak kuat”. Ibnu Hajar berkata: “Ini satu jarh
yang tidak diterangkan sebabnya”. Bahkan Yazid itu dianggap
kepercayaan oleh Ibnu Ma’in, Duhaim dan lain-lain.
Dari kedua contoh tersebut, dapat kita tarik kesimpulan bahwa,
semata-mata sebutan “dia lemah”, “dia tidak kuat”, dengan tidak
diterangkan sebabnya, atau tidak bisa diketahui sebabnya, belumlah rawi
tersebut teranggap lemah, atau tidak kuat.
c) Jarh yang disebut sebabnya
Tiap-tiap celaan dan catatan atas diri seseorang rawi pastilah ada
sebabnya. Para ulama dalam menjarh rawi-rawi menggunakan sebab-
sebab yang bertingkat. Dengan sebab-sebab itulah, dapat digunakan
untuk mengukur drajat kelemahan si rawi.
Berikut adalah sifat yang menyebabkan seorang rawi dianggap
lemah, sehingga riwayatnya tidak boleh diterima:
 Dusta
 Salah
 Lupa/lalai
 Dungu
 Menyalahi
 Fisq
 Tidak dikenal
 Buruk hafalan
 Talqin
 Kehilangan kitab
 Ikh-tilath
 Tad-lis
 Bukan ahli
 Bersendiri dalam meriwayatkan
 Mempermudah

Jarh itu ada yang boleh diakui dan ada yang tertolak. Jarh yang mesti
ditolak, timbulnya karena beberapa sebab dan hal yang sebenarnya tidak
patut dijadikan alasan menjarh. Imam Daqiqul-‘Id berkata : “Jalan yang
menyebabkan orang-orang dahulu menjarh seseorang rawi itu, ada lima:

 Karena hawa nafsu, dan karena suatu maksud


 Karena berlainan kepercayaan
 Karena berselisihan antara tashawwuf dan ahli zhahir
 Karena omongan yang terbit karena tidak tahu tingkatan ilmu-ilmu
 Berpegang dengan samar-samar serta tidak ada wara’
2) Tingkatan-tingkatan al-Jarh
Pertama, tingkatan para perawi yang dikomentari para ulama dengan
ungkapan-ungkapan seperti fihi maqal (ada yang diperbincangkan dalam
dirinya), fihi adna maqal (apa yang diperbiincangkan adalah sesuatu yang
paling rendah), laysa bi al-matin (tidak kuat), laysa bi hujjah (tidak bisa
dipakai hujjah), laysa bi al-hafidz (bukan orang hafidz), dan lain-lain.
Kedua, tingkatan yang lebih buruk dari tingkatan atasnya. Yakni para
perawi yang dikomentari para ulama dengan ungkapan-ungkapan seperti la
yuhtaju bihi (ia tidak dibuthkan), mudhtarib al-hadits (haditsnya kacau), lahu
ma yunkaru (haditsnya diingkari para ulama), haditsuhu munkar (haditsnya
munkar), lahu munakir (ia punya hadits-hadits munkar), dhaif (lemah), atau
munkar menurut selain al-Bukhari, sebab al-Bukhari sendiri pernah berkata,
“Setiap perawi yang aku komentari sebagai munkirul hadits, maka tidak halal
meriwayatkan hadits darinya.
Ketiga, tingkatan yang lebih buruk dari tingkatan di atasnya, yakni
para perawi yang dikomentari para ulama dengan ungkapan-ungkapan seperti
fulan rudda haditsuhu (ia ditolak haditsnya), mardud al hadits (haditsmya
ditolak), dhaif jiddan (sangat lemah), la yuktab haditsuhu (haditsnya tidak
boleh ditulis), mathruh al-hadist (hadits yang diriwayatkannya harus
dibuang), mathruh (dibuang), dan lain-lain.
Keempat, tingkatan yang lebih buruk dari tingkatan di atasnya, yakni
para perawi yang dikomentari para ulama dengan ungkapan-ungkapan seperti
fulan yasyriq al-hadits (ia telah mencuri hadis), muttaham bi al-kidzb
(dituduh sebagai seorang pendusta), muttaham bi al-wadh’ (dituduh sebagai
seorang pemalsu), saqith (perawi yang gugur), dzahib al-hadist (hadistnya
hilang), halik (perawi yang binasa), dan lain-lain.
Kelima, tingakatn yang lebih buruk dari atasnya, ykni para perawi
yang dikomentari para ulama dengan ungkapan-ungkapan, seperti Dajjal (si
dajjal), kadzdzab (tukang bohong), wadhdha’ (tukang pemalsu hadits), dan
lainnya.
Keenam, tingkatan yang lebih buruk lagi, yakni para perawii yang
dikomentari dengan ungkapan-ungkapan hiperbolis (mubalaghah), seperti
akdzab al-nas (manusia paling dusta), ilayhi munaha al-kidzb (dialah puncak
kebohongan), mamba’ al-khidzb (sumber kebohongan), dan lain sebagainya.
B. At-Ta’- dil
“Ta’dil”, menurut bahasa, artinya: meluruskan, membetulkan,
membersihkan. Sedangkan “Ta’dil”, menurut must-thalah Hadits, ialah:
“menunjukkan atau membayangkan kebaikan atau kelurusan seorang rawi,
maupun semua itu benar ada pada diri rawi atau tidak. Istilah ini digunakan untuk
menunjukkan sifat baik yang melekat pada periwayat, seperti, kuat hafalan,
terpercaya, cermat, dan lain sebagainya. Orang yang mampunyai penilaian seperti
ini disebut ‘adil, sehingga hadis yang dibawanya diterima dan dinyatakan sebagai
hadis shahih.
1) Tingkatan-tingkatan ta’dil
Tingkat pertama, yakni para sahabat. Di sini terdapat jargon yang
cukup terkenal: kullu sahabat ‘udul (semua sahabat adalah adil).
Tingkat kedua, yakni tingkatan orang-orang yang direkomendasikan
para ulama dengan menggunakan ungkapan-ungkapan yang hiperbolis,
missalnya awtsaqu al-nas (manusia paling tsiqqah), adhbath al-nas (manusia
paling cerdas), ilayhi muntaha al-tatsbit (dialah puncak kesahhahihan), dan
lain-lain.
Tingkatan ketiga, yakni tingkatan orang-orang yang dipuji para ulama
dengan ungkapan ganda yang berbeda, misalnya tsabat harbefizh (kuat lagi
hafal) tsiqqah tsabat (tsiqqah lagi kuat), dan lain-lain. Atau dengan satu
ungkapan yang diulang, misalnya tsiqqatu tsiqqah, dan lain-lain.
Tingkatan keempat, yakni tingkatan orang-orang yang dipuji para
ulama dengan memakai satu ungkapan yang menunjukkan bahwa orang yang
bersangkutan adalah tsiqqah, misalnya dengan kata-kata tsabat, hujjah,
dhabit, qawi, dan lain-lain.
Tingkatan kelima, yakni tingkatan orang-orang yang dikomentari para
ulama dengan ungkapan-ungkapan seperti shuduq (jujur), khiyar al-khalaq
(orang pilihan), dan lain sebagainya.
C. Hal-hal yang Disyariatkan dan Tidak Disyariatkan dalam Jarh wa Ta’dil.
Dalam tradisi ilmu hadits, seorang yang hendak melakukan jarh maupun
ta’dil harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
1. Ia harus seorang yang alim, wara’, bertakwa, dan jujur
2. Harus mengetahui sebab-sebab seseorang di-jarh maupub di-ta’dil
3. Harus menguasai bahasa dan percakapan orang Arab dengan baik, tidak
meletakkan kalimat di luar maknanya, sehingga terhindar dari melakukan
jarh dengan kalimat yang bukan kalimat jarh.

Sebaliknya, hal-hal yang tidak diisyaratkan untuk men-jarh atau men-ta’dil


seseorang, yaitu:

1. Tidak diisyaratkan harus laki-laki atau wanita.


2. Tidak diisyaratkan harus merdeka.
3. Sebagian ulama menyatakan, jarh maupun ta’dil hanya bisa diterima dengan
kesaksian dua orang atau lebih. Namun sebagian yang lain menerima jarh
dan ta’dil dari satu orang saja, karena banyaknya jumlah tidaklah
diisyaratkan dalam diterima atau ditolaknya sebuah riwayat.

D. Pertentangan antara Jarh dan Ta’dil


Apabila ada seorang perawi yang dinilai positif (di-ta’dil) oleh sebagian
ulama, sementara ulama yang lain memberinya catatan negatif (di-jarh), maka
dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat yang secara garis besar dapat
dibedakan menjadi dua kelompok besar.
Satu kelompok ulama berpendapat bahwa ta’dil yang jumlahnya banyak
harus lebih didahulukan di atas jarh yang sedikit. Jadi bagi kelompok ini, jumlah
menjadi faktor penentu dan sangat penting. Alasannya jumlah yang banyak
tentunya akan saling menguatkan dan kita harus menghargai perkataan mereka.
Dan ini disebut dengan kaidah al-ta’dil muqaddimun ‘ala al-jarh (pujian lebih
didahulukan ketimbang celaan).
Pendapat yang dipandang shahih oleh Ibnu Shalah, al- Razi, al-Atmidi, dan
lain-lain adalah bahwa jarh harus lebih didahulukan daripada ta’dil, secara
mutlak, walaupun yang menta’dil lebih banyak jumlahnya. Demikian pula yang
dikutip al-Khathib al-Baghdadi dari jumhur ‘ulama. Alasannya karena pihak yang
men-jarh mempunyai pengetahuan yang tidak diketahui oleh pihak yang
menta’dil.
Dengan kata lain, pihak yang men-jarh bisa menerangkan cacat perawi yang
tidak diketahui oleh pihak yang menta’dil. Inilah yang disebut dengan kaidah al-
jarh muqaddimun ‘ala al-ta’dil (kritik harus didahulukan daripada pujian).
Pendapat ini didukung oleh Hasbi Ash Shiddiedy dalam bukunya yang berjudul
Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis.4
3. Hubungan Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil dan Ilmu Rijalul Hadits
Dari pembahasan diatas, penulis dapat menarik kesimpulan tentang hubungan
kedua ilmu tersebut bahawa antara Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil dengan Ilmu Rijalul
Hadits merupakan cabang ilmu hadits yang sama pentingnya dalam menentukan
kebenaran suatu hadits serta saling berkaitan satu dengan yang lainnya, bahkan bisa
dikatan ilmu al-jarh wa at-ta’dil merupakan bagian dari ilmu rijalul hadits, begitupun
sebaliknya. Hal ini dapat dilihat dari kesamaan pembahasannya yaitu tentang
periwayat hadits yang masuk dalam sanad hadits, meskipun ada sedikit perbedaan
terhadap objek pembahasannya yaitu :
1. Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil menunjukkan tindakan secara aktif untuk mengetahuai
secara mendalam tentang kecacatan-kecacatan yang terdapat dalam diri
periwayat.

4
M.Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah…hlm.374.
2. Sedangkan Ilmu Rijalul Hadits tidak menunjukkan tindakan yang secara aktif
untuk mengetahui kecacatan yang ada pada diri periwayat hadits, akan tetapi
lebih membahas tentang biaografi dan kebiasaan yang senantiasa dilakukan oleh
periwayat dalam segala aktifitasnya.
BAB III

KESIMPULAN

Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil merupakan cabang-cabang ilmu hadits yang membahas


tentang para periwayat hadits, supaya dapat diketahui cacat dan tidaknya, adil dan
tidaknya seorang periwayat hadits, sehingga dapat diterima riwayatnya atau bahkan
ditolak riwayatnya secara keseluruhan.

Ilmu Rijalul Hadits yaitu ilmu yang membahas para rawi hadits, baik dari kalangan
sahabat, tabi’in, mauun dari generasi-generasi sesudahnya. Dengan kata lain Ilmu
Rijalul Hadits merupakan ilmu yang membahas tentang kehidupan dan atau sejarah
hidup para periwayat hadits dari semua generasi pada setiap thabaqahnya.

hubungan antara Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil dengan Ilmu Rijalul Hadits merupakan
cabang ilmu hadits yang sama pentingnya dalam menentukan kebenaran suatu hadits
serta saling berkaitan satu dengan yang lainnya, bahkan bisa dikatan ilmu al-jarh wa at-
ta’dil merupakan bagian dari ilmu rijalul hadits, begitupun sebaliknya. Hal ini dapat
dilihat dari kesamaan pembahasannya yaitu tentang periwayat hadits yang masuk dalam
sanad hadits.
Daftar pustaka

Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: Bulan


Bintang, 1987.
Kamus Arab : Arab-Indonesia, Indonesia-Arab, Surabaya: Apollo.
Sahrani, Sohari, dkk., (ed.), Ulumul Hadits, Banten: IAIN SMH Banten, 2009.
Soetari, Ending, Ilmu Hadits: Kajian Diriwayah dan Dirayah, Bandung: Mimbar
Pustaka, 2005.
Solahudin , M. Agus, dkk., (ed.) Ulumul Hadis, editor: Drs. Maman Abd. Djaliel,
M.Ag., Bandung: Pustaka Setia, 2015, cetakan kedua.
https://muhibbin99.blogspot.com/2018/01/makalah-ilmu-al-jarh-wa-at-tadil-dan.html;
diakses pada 24/03/2019; pukul; 16:48.

Anda mungkin juga menyukai