Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hadis Nabi diyakini oleh umat Islam sebagai sumber ajaran Islam kedua

setelah al-Qur’an. Sebagai sumber ajaran, tentunya hadis Nabi dipelajari umat

daritingkat yang paling dasar hingga yang paling tinggi, terutama berkaitan

denganberbagai kajian yang berhubungan dengan hadis.1 Selain itu, hadis juga

merupakan salah satu rujukan penting dalam pembentukan hukum Islam sesudah

al-Qur’an. Di samping itu, hadis juga mempunya fungsi sebagai penjelas terhadap

makna yang terkandung di dalam al-Qur’an.2 Kajian terhadap hadis Nabi sampai

saat ini masih menjadi pembahasan yang sangat menarik, faktor utama yang

menjadi pemicu dalam pengkajian hadis Nabi ialah kompleksitas problem yang

ada, baik yang menyangkut dengan otentisitas teks, variasi lafadh (jumlah hadis

bi’l-ma’na), maupun tentang waktu yang cukup panjang antara Nabi dalam

realitas kehidupan sampai masa kodifikasi ke dalam teks hadis.3

Dalam diskursus sejarah perkembangan hadis, abad ke-3 H merupakan

masa kegemilangan dan keemasan dalam pemurnian dan penyempurnaan hadis

Nabi. Langkah pembukuan hadis sebagaimana dijelaskan secara kronologis dapat

dijelaskan bahwa sejak permulaan abad ke-3 H, para ulama hadis telah

mengadakan klasifikasi antara hadis-hadis marfu’, mauquf, dan maqtu. Dengan

demikian, dikatakan bahwa kitab-kitab hadis pada zaman ini sudah banyak

menyumbangkan khazanah yang dapat ditelaah pada era berikutnya atau masa

1
Badri Khaeruman, Ulumul al-Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 5.
2
Al-fatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), h. 1
3
M. Mansyur, dkk, Metode Penelitian Livimg Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Teras
Press, 2007), h. 87-88.

1
2

yang akan datang.4 Pada masa Rasulullah dan khalifah yang ke-4, hadis belum

disusun atau dibukukan. Hal itu dikarenakan kaum muslimin pada masa

Rasulullah dapat langsung bertemu dengan baginda secara langsung untuk

mendapat keterangan dan penjelasan atas apa perkara yang mereka belum ketahui,

baik dalam bagian ibadah ataupun lainnya.5

Kitab hadis karya para mukharrij al-hadith, sangatlah beragam baik dilihat

dari sistematika, metode, topik penghimpunan maupun kualitas hadis yang

terkandung dalam kitab tersebut. Dengan adanya keragaman kitab hadis, terutama

dari segi kualitas hadis yang dikandungnya, maka upaya meneliti validitas

hadishadis yang dikandungnya menjadi sangat urgen untuk dilakukan, agar umat

Islam benar-benar mampu membedakan dan memilah-memilih hadis antara yang

shahih dengan yang tidak shahih.6

Ada pun, pembahasan dalam penulisan makalah ini ialah metode

kesahihan hadis dalam kitab al-Mustadrak ‘Ala al-Sahihaini. Kitab al-Mustadrak

‘Ala al-Sahihaini, merupakan karya dari al-Hakim dalam kajian hadis. Akan

tetapi, al-Hakim tidak menyebutkan secara eksplisit tentang latar belakang

penyusunan kitab karangannya tersebut.7 Sebagai sebuah hasil dari buah

pemikiran, penyusunan kitab al-Mustadrak ‘Ala al-Sahihaini tidak bisa

dilepaskan begitu saja dari konteks sosio-kultural dan politik yang melingkupinya.

Secara implisit, penulisan kitab al-Mustadrak ‘Ala al-Sahihaini berangkat dari

faktor internal dan eksternal, yakni secara internal bahwa al Hakim beransumsi

masih banyak terdapat hadis shahih yang berserakan. Sedangkan secara ekternal.

4
Umi Sumbulah, Studi Sembilan Kitab Hadis Sunni, (Malang: UIN-Maliki Press, 2003),
h. 2-3
5
Mustafa ‘Abdul Rahman, Hadith 40: Terjemahan dan Syarahnya, (Selangor: Dewan
Pustaka Fajar, 1989), h. 7.
6
Umi Sumbulah, Studi Sembilan Kitab Hadis Sunni, h. 1.
7
Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis, (Surabaya: Al-Muna Press, 2013), h. 179
3

Seperti yang telahh dijelaskan di atas. Bahwa, dalam peyusuan kitab al-Mustadrak

‘Ala alSahihaini juga dipegaruhi oleh konteks sosio-kultural dan politik tempat

kitab tersebut disusun.8

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana biografi al-Hakim al-Nasaiburi ?

2. Bagaimana profil kitab al-Mustadrak ‘Ala Shahihain ?

8
Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis, h. 180.
4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi al-Hakim al-Naisaburi

Nama lengkap al-Hakim adalah Abu ‘Abdullah Muhammad bin Abdullah

bin Muhammad bin Hamdun bin Hakam bin Nu’aym bin Bayyi’ al-Dlabbi al-

Thahmani al-Naisaburi. Lahir di Naisaburi pada hari senin 12 Rabi’ul awal 321 H.

Beliau sering disebut dengan Abu Abdullah al-Hakim al-Naisaburi atau Ibnu al-

Bayyi atau al-Hakim Abu Abdullah, untuk menghindari kekeliruan nama al-

Hakim lain yang sama seperti Abu Ahmad al-Hakim, Abu Ali al-Hakim al-Kabir

(guru Abdullah al-Hakim), ataupun khalifah Fatimiyyah di Mesir. Al-Hakim bin

Amrullah.9 Ayah al-Hakim, Abdullah bin Hammad bin Hamdan adalah seorang

pejuang yang dermawan dan ahli ibadah sert sangat loyal terhadap penguasa Bani

Saman yang menguasai daerah Samaniyyah. Dalam catatan sejarah Samaniyyah

pada abad ke 3 H telah melahirkan tokoh-tokoh hadis dengan kenamaan, seperti :

al-Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’i serta Ibnu Majah.10

Al-Hakim al-Nasaiburi mulai menuntut ilmu sejak beliau masih kecil di

bawah bimbingan orangtuanya dan pamannya. Ketika berusia 9 tahun, beliau

mulai belajar hadis, dan saat usianya beranjak 13 tahun, beliau pun menekuni ilmu

ini secara khusus kepada Abu Hatim (w. 342 H/952 H). Al-Hakim melakukan

perjalanan ilmiah yang biasa dikenal dengan rihlah ‘ilmiyyah yang beliau lakukan

adalah untuk memperoleh sanad yang bernilai ‘a>li (tinggi). Ia berulang kali

mengunjungi kota-kota yang menjadi tempat para ahli hadis bermukim untuk

9
M. Abdurrahman, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2003), h. 240.
10
M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis Ijtihad Hakim dalam Menentukan
Status Hadis, (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 29.
5

mendiskusikan hadis yang ditemukannya, sehingga ia yakin akan kebenaran hadis

tersebut.11

Di antara daerah-daerah yang didatangi oleh al-Hakim adalah Irak,

Khurasan, dan Hijaz. Kota-kota tersebut pada masa itu banyak bermukim ulama

dalam berbagai disiplin keilmuan, terutama ahli hadis. Merasa belum cukup

dengan perlawatan intelektualnya ke daerah-daerah tersebut, al-Hakim kembali

melakukan perjalanan untuk kedua kalinya pada tahun 368 H. Bertepatan pada

usia ke 47 tahun. Perjalanan ilmiah seperti ini merupakan tradisi di kalangan ahli

hadis, karena adanya asumsi bahwa ahli hadis yang hanya mengandalkan riwayat

dari ulama kampung halamannya tidak memiliki bobot ilmiah yang tinggi. Di

samping itu, perjalanan ini diperlukan untuk mendiskusikan temuan dan

pandangan pendapatnya tentang hadis dan ilmu hadis. Sebagaimana kitab al-

Mustadrak telah didiskusikan al-Hakim dengan salah seorang gurunya, yaitu al-

Daruquthni yang bermukim di Irak.12

Kemasyhuran al-Hakim di kalangan ahli hadis tidak bisa dilepaskan dari

keterlibatan guru-gurunya yang banyak memberikan kontribusi keilmuan atas

perkembangan intelektualitasnya. Dalam lintas sejarah diungkapkan bahwa al-

Hakim telah berguru kepada kurang lebih 1000 orang. Di antara guru-gurunya

yang berada di berbagai daerah yakni Muhammad bin ‘Ali al-Mudzakir,

Muhammad bin Ya’qub al-A’sham, Muhammad bin Ya’qub al-Syaibani,

Muhammad bin Ahmad al-Balawaih al-Jallab, Abu Ja’far Muhammad bin Ahmad

bin Sa’id al-Razi, Muhammad bin ‘Abdillah Ahmad al-Safar, ‘Ali bin al-Fadhl al-

Suturi, ‘Ali bin ‘Abdillah al-Hakam, Isma’il bin Muhammad al-Razi, Muhammad

bin al-Qaim al-Ataki, Abu Ja’far Muhammad bin ‘Abdullah al-Baghdadi al-Jamal,
11
Rizqa Amelia, “Manhaj al-Hakim al-Naisaburi Dalam al-Mustadrak ‘Ala Shahihain”,
Jurnal Shahih. Vol. 5, no. 2 (Juli-Desember 2022), h. 86.
12
Eko Zulfikar, “Metode Menentukan Keshahihan Hadis: Teori dan Aplikasi al-Hakim
dalam kitab al-Mustadrak ‘Ala Shahihain”, Jurnal Ishlah, Vol. 2, no. 2 (Desember 2020), h. 254.
6

Muhammad bin Muammal al-Majarisi, Muhammad bin Ahmad bin Mahlub, Abu

Hamid Ahmad bin ‘Ali bin Husnawih, al-Hasan bin Ya’qub al-Bukhari, dan al-

Qasim bin Abu al-Qasim al-Yasari.13

Selain berbicara terkait kelahiran dan kronologi perjalanannya dalam

bidang hadis, agaknya perlu juga diketahui kondisi sosiokultural ketika Imam al-

Hakim hidup, hal tersebut memungkinkan berpengaruh dan menjadi latar

belakang penulisan karya-karyanya. Imam al-Hakin hidup dan tumbuh ketika

dunia Islam mengalami gonjang ganjing yang cukup hebat disebabkan

ketidakstabilan politik dan ekonomi yang sering mengganggu kehidupan

masyarakat, bahkan sering mengganggu spirit dan ghirah intelektual. Wilayah-

wilayah Islam yang terbentang luas dari Andalusia disebelah barat Baghdad

sampai ke Transoxiana di sebelah timurnya, terpecah belah dan masing-masing

membentuk dan mendirikan beberapa kekhalifahan. Sebagaimana kita ketahui

bersama, secara historis terdapat sisa-sisa kejayaan kekhalifahan bani Umayah di

Andalusia, kekhalifahan Fatimiyah di Mesir dan kekhalifahan Bani Abbas di

baghdad merupakan bukti historis perpecahan dunia Islam kala itu. Dan kala itu,

Imam al-Hakin hidup di dua kekhalifahan yakni Baghdad dan Mesir yang

mayoritas penduduknya berpaham Sunni, sedangkan para penguasa temporalnya

bermazhab Syi’ah, Mesir dikuasai oleh Syi’ah Sab’iyah dan Baghdad dikuasai

oleh Syi’ah Itsna ‘Asyariyah. Kebanyakan dari penguasa Baghdad yang berteologi

Sunni hanyalah sebagai formalitas saja, namun secara de facto mereka tidak

memiliki kekuasaan apapun untuk merealisasikan berbegai kebijakan yang telah

dibuat. Meskipun, mayoritas masyarakat di kedua kekuasaan tersebut berteologi

Sunni, tetapi karena penguasanya Syi’ah, mau tidak mau para penguasa Syi’ah

tersebut akan melaksanakan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan

13
Eko Zulfikar, “Metode Menentukan Keshahihan Hadis: Teori dan Aplikasi al-Hakim
dalam kitab al-Mustadrak ‘Ala Shahihain”, h. 254.
7

kehendaknya. Pada masa ini, al-Hakin pernh diangkat menjadi pegawai

pemerintah, namun ketika ia diangkat sebagai Hakim di Jurjan, al-Hakim

menolaknya. Pada masa itu pula, dikarekana adanya pertikaian internal yang

terjadi, maka kekuasaan Bani Saman berhasil ditaklukkan oleh Ghaswani. Dan

selanjutnya, penulisan kitab al-Mustadrak ‘ala Shahihain berlangsung pada masa

transisi tersebut, yakni peralihan kekuasaan dan Dinasti Saman ke Dinasti

Ghaznawi yang penguasanya beraliran Syi’ah Ismailiyyah. Menurut beberapa

ulama al-Hakim pernah tertuduh mengikuti alisan Syi’ah, namun ada beberapa

ulama yang membantah tuduhan tersebut.14

Di antara kitab-kitab yang pernah ditulis al-Hakim adalah : Takhrij al-

Shahi>hain, Ta>ri>kh al-Naisa>bu>r, Fadha>il Ima>m al-Sya>fi’iy, Fadha>il

al-Syuyu>kh, Ta>ri>kh ‘Ulama> al-Naisa>bu>r, al-Madkha>l ila ‘Ilm al-

Shahi>h, al-Madkha>l ila al-Ikli>l, al-Muzakkina li Ruwa>t al-Akhba>r, dan al-

Mustadrak ‘ala Shahi>hain. Namun sebaagian besar karya tersebut tidak dapat

ditemukan, di antara hasil karya yang sampai saat ini masih ada adalah al-

Mustadrak ‘Ala Shahi>hain, al-Madkha>l Ila al-Ikli>l, dan Ma’rifah ‘Ulu>m al-

Hadi>ts.15

B. Profil Kitab al-Mustadrak ‘Ala Shahihain

1. Latar Belakang Penyusunan

Al-Hakim tidak menyebutkan secara eksplisit tentang latar belakang

penysusunan kitab al-Mustadrak ‘Ala Shahihain, yang mulai disusun pada tahun

373 H (52 tahun). Namun secara implisit dapat terekam, yakni asumsi al-Hakim

bahwa masih banyak hadis shahih yang berserakan, baik yang belum dicatat oleh

para ulama, maupun yang sudah tercantum dalam beberapa kitab yang hadis yang

14
Rizqa Amelia, “Manhaj al-Hakim al-Naisaburi Dalam al-Mustadrak ‘Ala Shahihain”, h.
84
15
Agusri Fauzan, “Studi Komparatif Teori Ilmu Hadis al-Hakim al-Naisaburiy dan Ibnu
Shalah”, Jurnal El-Afkar, Vol. 7, no. 1 (Januari-Juni 2018), h. 54.
8

ada. Di samping penegasan pengarang Shahi>hain, Bukhari dan Muslim yang

menyatakan bahwa tidak semua hadis shahih telah terangkum dalam kitab

sahihnya. Dua hal tersebut yang mendorong al-Hakim menyusun kitab

berdasarkan kaedah-kaedah ilmiah dalam menentukan keabsahan sanad dan

matan.16

2. Penamaan Kitab

Kitab tulisan al-Hakim dinamakan Mustadrak merupakan salah satu

metode pembukuan hadis, dimana menyusulkan hadis-hadis yang tidak tercantum

dalam suatu kitab hadis yang lain, namun dalam menuliskan hadis-hadis susulan

itu penulis kitab pertama tadi mengikuti persyaratan periwayatan hadis yang

dipakai oleh kitab yang lain. Jadi hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab

mustadrak tidak terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.17

Dengan demikian kandungan hadis dalam al-Mustadrak memiliki

beberapa kemungkinan18:

a. Hadis yang memenuhi kriteria Imam al-Bukhari dan Muslim

Hadis ini biasanya akan diberikan penjelasan di akhir matan hadis dengan

kutipan : “hadza> hadi>s Shahi>h lam yakhruj fi shahi>hain” atau “hadza>

hadi>s shahih ‘ala> syathi syaikha>ni wa lam yakhrujahu”. Contoh dari hadis

ini adalah :

‫لمة عن‬O‫رو عن أبي س‬OO‫د ابن عم‬O‫ا محم‬OO‫اب ثن‬O‫و الوه‬O‫حدثنا على بن حمشاد العدل ثنا أبو المثنى ثنا مسدد ثنا أب‬

.)‫ (أكمل المؤمنين إيمانل أحسنهم خلقا‬: ‫أبي هريرة أن النبن صلي هللا عليه وسلم‬
19
.‫هذا حديث صحيح لم يخرج في الصحيحين‬
16
Nurun Najwah, al-Mustadrak ‘Ala al-Shahihain, yang dikutip dalam buku, Studi Hadis,
(Cet. II; Yogyakarta: Teras, 2009), h. 244.
17
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Cet.V; jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), h. 79.
18
Rizqa Amelia, “Manhaj al-Hakim al-Naisaburi Dalam al-Mustadrak ‘Ala Shahihain”, h.
93-94.
19
Al-Hakim al-Nasaiburi, Mustadrak ‘ala al-Shahihain, Juz. I, (Bairut: Da>r al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1411 H/1990 M), h. 41.
9

b. Hadis yang memenuhi kriteria al-Bukhari saja

Al-Hakim al-Naisaburi menjelaskan hadis yang memenuhi kriteria al-

Bukhari saja dengan ungkapan “hadza> hadi>s shahi>h ‘ala> syarthi al-Bukhari

wa lam yakhrujahu”. Contoh dari hadis ini adalah:

‫رة بن‬OO‫أخبرني الحسن بن حكيم الموزي ثنا أبو الموجه أنبأ عبد هللا أنبأ محمد بن معد الغفاري أبو معن ثنا زه‬

‫نى‬OO‫ القرشي عن أبي صالح مولي عثمان قال سمعت غثمان بن عفان رضي هللا عنه في مسجد الخيف يم‬O‫معبد‬

‫ يوم في سبيل هللا خير من ألف يوم فيما سواه فلينظر‬: ‫و حدثنا أنه سمع رسول هللا صلى هللا عليه و سلم يقول‬
20
.‫ هذا حديث صحيح على شرط البخاري و لم يخرجاه‬.‫كل امرئ لنفسه‬
c. Hadis yang memenuhi kriteria Muslim saja

Hadis yang terdapat dalam kitab ini juga mencantumkan hadis shahih

berdasarkan kriteria Imam Muslim saja. Redaksi yang digunakan untuk

mengindikasikan hadis ini adalah “hadza> hadi>s shahih ‘ala> syarthi Muslim

wa lam yakhrujahu”. Contoh dari hadis ini adalah :

‫م‬OO‫لمة عن عاص‬OO‫اد بن س‬OO‫حدثنا أبو بكر بن إسحاق ثنا أبو المثني معاذ بن المثني ثنا أبو الوليد الطياليس ثنا حم‬

‫تي‬OO‫ اركب ح‬: ‫ا‬OO‫ة قلن‬OO‫انت عقب‬OO‫ان إذا ك‬OO‫ وك‬: ‫ال‬OO‫ ق‬,‫ير‬OO‫ كان يوم بدر كل ثالثة غلي بع‬: ‫عن زر عن غبد هللا قال‬

‫لم و لم‬OO‫رط المس‬OO‫ هذا حديث صحيح علي ش‬.‫ ما أنتما بأقوى مني و ما أنا بأغنى عن ألجر منكم‬: ‫نمشي فيقول‬
21
.‫يخرجاه‬

d. Hadis yang memenuhi kriteria al-Hakim

Selain ketiga jenis hadis yang telah disebutkan sebelumnya, al-Hakim juga

melengkapi kitabnya al-Mustadrak ‘ala Shahihain dengan hadis-hadis yang

menurutnya shahih. Redaksi yang mengindikasikan hal tersebut,”hadza> hadi>s

shahi>h al-isna>d wa lam yakhruja>hu”. Contoh dari hadis ini adalah :

‫ا ابن‬OO‫عيد ثن‬OO‫ا يحي بن س‬OO‫ور ثن‬OO‫حدثنا أبو عمرو عثمان بن أحمد بن السماك ثنا عبد الرحمن بن محمد بن منص‬

‫ه‬OO‫أبي ذئب عن عثمان بن محمد األخنسى عن سعيد المقبرى عن أبي هريرة رضي هللا عنه أن رسول هللا علي‬

.‫ هذا حديث صحيح اإلسناد و لم يخرجاه‬.‫ من جعل قاضيا فكأنما ذبح بعير سكين‬: ‫و سلم قال‬
20
Al-Hakim al-Nasaiburi, Mustadrak ‘ala al-Shahihain, Juz I, h. 86
21
Al-Hakim al-Nasaiburi, Mustadrak ‘ala al-Shahihain, Juz III, h. 25.
10

e. Hadis yang tidak dinilai oleh al-Hakim

Menurut al-Sha’ani sebagaimana yang dikutip dari kitab Taudhih al-Afkar,

bagian hadis yang tidak dinilai oleh al-Hakim disebabkan karena belum sempat

memeriksanya kembali, sebab al-Hakim lebih dulu wafat dan secara langsung

menghentikan proses evaluasi yang digagasnya Dalam hal ini, bahwa semua hadis

yang tercantum dalam al-Mustadrak al-Hakim yang dinilai al-Hakim masih

banyak hadis-hadis yang tidak dievaluasi dan dikoreksi secara detail. 22 Dan al-

Hakim sendiri yang mengakui bahwa hadis-hadis yang dihimpunnya tidak

semuanya mempunyai status yang sama, sebab jika terdapat hadis yang dievaluasi

oleh al-Hakim, dan ternyata hasilnya tidak memenuhi kriteria kesahihan sebuah

hadis juga tidak memenuhi kriteria hadis sahih, al-Hakim menganjurkan agar al-

Mustadrak ditelaah kembali agar menjadi relevan untuk dijadikan rujukan.23

3. Isi Kitab

Kitab ini tersusun dalam 4 jilid besar yang bermuatan 8.690 hadis dan

mencakup 50 bahasan (kitab). Kitab karya al-Hakim ini termasuk kategori kitab

al-Jami’, karena muatan hadisnya terdiri dari berbagai dimensi, aqidah, syariah,

akhlak, tafsir, sirah, dll.

Adapun rincian jumlah hadis dikaitkan dengan temanya adalah : aqidah

251 hadis, ibadah 1277 hadis, hukum halal haram 2519 hadis, takwil mimpi 32

hadis, pengobatan 73 hadis, rasul-rasul 141 hadis, 1218 hadis tentang biografi

sahaba, huru-hara dan peperangan 347 hadis, kegoncangan hari kiamat 911 hadis,

peperangan Nabi dan al-fitan 233 hadis, tafsir 974 hadis, dan fadhail al-Qur’an 70

hadis.

Adapun sistematika kitabnya, mengikuti model yang dipakai oleh al-

Bukhari dan Muslim, dengan membahas berbagai aspek materi dan membaginya

22

23
Nurun Najwah, al-Mustadrak ‘Ala al-Shahihain, h. 253.
11

dalam ke dalam tema-tema tertentu dan sub-subnya. Adapun rinciannya adalah

sebagai berikut :

Jilid I :

a. Kita>b Iman : 287 hadis

b. Kita>b Ilmu : 155 hadis

c. Kita>b Tahara>h : 228 hadis

d. Kita>b Shalat : 352 hadis

e. Kita>b al-Jum’ah : 82 hadis

f. Kita>b Shalat Idain : 29 hadis

g. Kita>b Shalat Witir : 34 hadis

h. Kita>b Shalat Tathawwu’ : 51 hadis

i. Kita>b al-Sahwi : 13 hadis

j. Kita>b Shalat Istisqa’ : 13 hadis

k. Kita>b Shalat Kusuf : 17hadis

l. Kita>b Kauf : 9 hadis

m. Kita>b al-Jana>iz : 162 hadis

n. Kita>b Zakat : 105 hadis

o. Kita>b Siya>m : 77 hadis

p. Kita>b Mana>sik : 192 hadis

q. Kita>b Doa Takbir dan Tahlil : 219 hadis

r. Kita>b Fada>il al-Qur’an : 110 hadis

Jilid II :

a. Kita>b Buyu>’ : 256 hadis

b. Kita>b Jiha>d : 209 hadis

c. Kita>b Qism al-Fa’i : 59 hadis

d. Kita>b Qita>l ahl al-Baghy : 28 hadis


12

e. Kita>b Nika>h : 120 hadis

f. Kita>b Tala>q : 49 hadis

g. Kita>b ‘Itq : 18 hadis

h. Kita>b Maka>tib : 13 hadis

i. Kita>b al-Tafsir : 1129 hadis

j. Kita>b al-Ta>ri>kh : 266 hadis

Jilid III :

a. Kita>b Hijrah : 40 hadis

b. Kita>b al-Maga>zi : 106 hadis

c. Kita>b Ma’rifah al-Saha>bah : 2000 hadis

Jilid IV :

Lanjutan kitab Ma’rifah al-Saha>bah

a. Kita>b Ahka>m : 127 hadis

b. Kita>b At’imah : 128 hadis

c. Kita>b Asyribah : 114 hadis

d. Kita>b al-Birr wa al-Shillah : 114 hadis

e. Kita>b al-Liba>s : 69 hadis

f. Kita>b al-Tibb : 94 hadis

g. Kita>b al-Adahi : 53 hadis

h. Kita>b al-Zabaih : 31 hadis

i. Kita>b al-Taubah wa Ina>bah : 78 hadis

j. Kita>b al-Ada>b : 121 hadis

k. Kita>b al-Aiman wa al-Nuzu>r : 37 hadis

l. Kita>b al-Riqa>q : 104 hadis

m. Kita>b al-Faraid : 76 hadis

n. Kita>b al-Hudu>d : 150 hadis


13

o. Kita>b Ta’bir al-Ru’ya : 95 hadis

p. Kita>b al-Ruqa wa al-Tamaim : 27 hadis

q. Kita>b al-Fitan wa al-Mala>him : 383 hadis

r. Kita>b Mala>him : 128 hadis

s. Kita>b al-Ahwa>l : 128 hadis

C. Kriteria al-Hakim Dalam Menentukan Status Hadis

Bagaimanapun juga harus diakui bahwa seorang ulama hadis memiliki

kriteria ataupun prinsip-prinsip tersendiri dalam menentukan status keshahihan

suatu hadis. Di antara prinsip yang digunakan oleh al-Hakim, yaitu dalam

menentukan kesahihan hadis, al-Hakim menggunakan metode ijtihad. Ijtihad

adalah suatu usaha yang sungguh-sungguh dan mendalam yang dilakukan oleh

individu atau sekelompok untuk mencapai atau memperoleh sesuatu hukum

syariat melalui pemikiran yang sungguh-sungguh berdasarkan dalil naqli al-

Qur’an dan Hadis. Prinsip dasar metode tersebut, sebenarnya bukan hal yang baru

sebab ulama sebelumnya, seperti al-Ramahurmuzy, al-Baghdad, Ibnu al-Asir, dan

lain-lainnya sudah menerapkan sebelumnya.24 Diantara metode yang digunakan

oleh al-Hakim dalam mengetahui status hadis adalah dengan melihat dari; kriteria

kesahihan hadis, klasifikasi hadis, dilihat dari pendekatan status sanad dan matan

dan standarisasi penentuan kesahihan hadis.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Al-Hakim al-Nasaiburi mulai menuntut ilmu sejak beliau masih kecil di

bawah bimbingan orangtuanya dan pamannya. Ketika berusia 9 tahun, beliau


24
Nurun Najwah, al-Mustadrak ‘Ala al-Shahihain, h. 248.
14

mulai belajar hadis, dan saat usianya beranjak 13 tahun, beliau pun menekuni ilmu

ini secara khusus kepada Abu Hatim (w. 342 H/952 H). Al-Hakim melakukan

perjalanan ilmiah yang biasa dikenal dengan rihlah ‘ilmiyyah yang beliau lakukan

adalah untuk memperoleh sanad yang bernilai ‘a>li (tinggi).

Al-Hakim tidak menyebutkan secara eksplisit tentang latar belakang

penysusunan kitab al-Mustadrak ‘Ala Shahihain, yang mulai disusun pada tahun

373 H (52 tahun). Namun secara implisit dapat terekam, yakni asumsi al-Hakim

bahwa masih banyak hadis shahih yang berserakan, baik yang belum dicatat oleh

para ulama, maupun yang sudah tercantum dalam beberapa kitab yang hadis yang

ada. Di samping penegasan pengarang Shahi>hain, Bukhari dan Muslim yang

menyatakan bahwa tidak semua hadis shahih telah terangkum dalam kitab

sahihnya. Dua hal tersebut yang mendorong al-Hakim menyusun kitab

berdasarkan kaedah-kaedah ilmiah dalam menentukan keabsahan sanad dan

matan.

DAFTAS PUSTAKA
Agusri Fauzan, “Studi Komparatif Teori Ilmu Hadis al-Hakim al-Naisaburiy dan
Ibnu Shalah”, Jurnal El-Afkar, Vol. 7, no. 1 (Januari-Juni 2018).

Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015).


15

Al-Hakim al-Nasaiburi, Mustadrak ‘ala al-Shahihain, Juz. I, (Bairut: Da>r al-


Kutub al-‘Ilmiyyah, 1411 H/1990 M).

Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Cet.V; jakarta: Pustaka Firdaus, 2011).

Badri Khaeruman, Ulumul al-Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2010).

Eko Zulfikar, “Metode Menentukan Keshahihan Hadis: Teori dan Aplikasi al-
Hakim dalam kitab al-Mustadrak ‘Ala Shahihain”, Jurnal Ishlah, Vol. 2,
no. 2 (Desember 2020).

M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis Ijtihad Hakim dalam Menentukan


Status Hadis, (Jakarta: Paramadina, 2000).

M. Abdurrahman, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2003).

M. Mansyur, dkk, Metode Penelitian Livimg Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta:


Teras Press, 2007).

Mustafa ‘Abdul Rahman, Hadith 40: Terjemahan dan Syarahnya, (Selangor:


Dewan Pustaka Fajar, 1989).

Nurun Najwah, al-Mustadrak ‘Ala al-Shahihain, yang dikutip dalam buku, Studi
Hadis, (Cet. II; Yogyakarta: Teras, 2009).

Rizqa Amelia, “Manhaj al-Hakim al-Naisaburi Dalam al-Mustadrak ‘Ala


Shahihain”, Jurnal Shahih. Vol. 5, no. 2 (Juli-Desember 2022).

Umi Sumbulah, Studi Sembilan Kitab Hadis Sunni, (Malang: UIN-Maliki Press,
2003).

Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis, (Surabaya: Al-Muna Press, 2013).

Anda mungkin juga menyukai