PEMBAHASAN
Ulumul Hadits adalah istilah ilmu hadits di dalam tradisi Ulama Hadits yang bahasa
Arabnya yaitu ‘Ulum al-Hadits. ‘Ulum al-Hadits ini terdiri atas dua kata, yaitu ‘Ulum dan
al-Hadits. Kata ‘Ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti
“ilmu-ilmu”; sedangkan al-Hadits di kalangan Ulama Hadits berarti “segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW. dari perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat. Dengan
demikian Ulumul Hadits adalah ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan hadits
Nabi SAW.
Sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah sebagian Muhadditsin mulai merintis ilmu ini
dalam garis-garis besarnya saja dan masih berserakan dalam beberapa mushafnya.
Diantara mereka adalah Ali bin Almadani (238 H), Imam Al-Bukhari, Imam Muslim,
Imam At-Turmudzi dan lain-lain.
Adapun perintis pertama yang menyusun ilmu ini secara fak (spesialis) dalam satu kitab
khusus ialah Al-Qandi Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzy (360 H) yang diberi nama
dengan Al-Muhaddisul Fasil Bainar Wari Was Sami’. Kemudian bangkitlah Al-Hakim
Abu Abdilah an-Naisaburi (321-405 H) menyusun kitabnya yang bernama Makrifatu
Ulumil Hadits. Usaha beliau ini diikuti oleh Abu Nadim al-Asfahani (336-430 H) yang
menyusun kitab kaidah periwayatan hadits yang diberi nama Al-Kifayah dan Al-Jam’u
Liadabis Syaikhi Was Sami’ yang berisi tentang tata cara meriwayatkan hadits.
Para sahabat bergaul dan berinteraksi langsung dengan Nabi, sehingga setiap
permasalahan atau hukum dapat ditanyakan langsung kepada Nabi. Para sahabat lebih
fokus dengan menghapal dan mempelajari Al-Qur’an. Rasul pada masa itu secara umum
melarang menuliskan hadits karena takut tercampur baur dengan ayat Al-Qur’an karena
wahyu sedang / masih diturunkan.
Secara umum sahabat masih banyak yang buta huruf sehingga tidak menuliskan hadits,
mereka meriwayatkan hadits mengandalkan hafalan secara lisan. Sebagian kecil sahabat
–yang pandai baca tulis- menuliskan hadits seperti: Abdullah Bin Amr Bin Ash yang
mempunyai catatan hadits dan dikenal sebagai “Shahifah Ash Shadiqah” juga Jabir Bin
Abdullah Al Anshary mempunyai catatan hadits yang dikenal sebagai “Shahifah Jabir”.
Pada event tertentu orang Arab badui ingin fatwa Nabi dituliskan, maka Nabi meluluskan
permintaannya untuk menuliskan haditsnya.
Sebagian sahabat tersebar keluar jazirah Arab karena ikut serta dalam jihad penaklukan
ke daerah Syam, Iraq, Mesir, Persia. Pada daerah taklukan yang baru masuk Islam,
Khalifah Umar menekankan agar mengajarkan Al-Qur’an terlebih dahulu kepada mereka.
Khalifah Abu Bakar meminta kesaksian minimal satu orang bila ada yang meriwayatkan
hadits kepadanya. Khalifah Ali meminta bersumpah orang yang meriwayatkan hadits.
Khalifah Umar melarang sahabat besar keluar dari kota Madinah dan melarang
memperbanyak periwayatan hadits. Setelah Khalifah Umar wafat, sahabat besar keluar
kota Madinah tersebar kedaerah taklukkan untuk mengajarkan agama.
Para sahabat besar telah terpencar keluar dari Madinah. Jabir pergi ke Syam menanyakan
hadits kepada sahabat Abdullah Bin Unais Al Anshary. Abu Ayyub Al Anshary pergi ke
Mesir menemui sahabat Utbah Bin Amir untuk menanyakan hadits. Masa ini sahabat
besar tidak lagi membatasi diri dalam periwayatan hadits, yang banyak meriwayatkan
hadits antara lain :
8. Ibnu Mas’ud
Setelah Khalifah Ali terbunuh, muncul sekte Syiah yang mendukung Ali dan
keturunannya sementara kelompok jumhur (mayoritas) tetap mengakui pemerintahan
Bani Umayah. Sejak saat itu mulai bermunculan hadits palsu yang bertujuan mendukung
masing-masing kelompoknya. Kelompok yang terbanyak membuat hadits palsu adalah
Syiah Rafidah.
Pada waktu Umar Bin Abdul Aziz (Khalifah ke-8 Bani Umayyah) yang naik tahta pada
tahun 99 H berkuasa, beliau dikenal sebagai orang yang adil dan wara’, tergeraklah
hatinya untuk membukukan hadits dengan motif :
1. Beliau khawatir ilmu hadits akan hilang karena belum dibukukan dengan baik.
2. Kemauan beliau untuk menyaring hadits palsu yang sudah mulai banyak beredar.
3. Al-Qur’an sudah dibukukan dalam mushaf, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran
tercampur dengan hadits bila hadits dibukukan.
4. Peperangan dalam penaklukan negeri negeri yang belum Islam dan peperangan antar
sesama kaum Muslimin banyak terjadi, dikhawatirkan ulama hadits berkurang karena
wafat dalam peperangan-peperangan tersebut.
Khalifah Umar menginstruksikan kepada Gubernur Madinah Abu Bakar Bin Muhammad
Bin ‘Amr Bin Hazm (Ibnu Hazm) untuk mengumpulkan hadits yang ada padanya dan
pada tabi’in wanita ‘Amrah Binti ‘Abdur Rahman Bin Sa’ad Bin Zurarah Bin ‘Ades,
murid Aisyah-Ummul Mukminin.
Berdasarkan instruksi resmi Khalifah itu, Ibnu Hazm minta bantuan dan
menginstruksikan kepada Abu Bakar Muhammad Bin Muslim Bin Ubaidillah Bin Syihab
az Zuhry (Ibnu Syihab Az Zuhry) seorang ulama besar dan mufti Hijaz dan Syam untuk
turut membukukan hadits Rasulullah SAW.
Setelah itu penulisan hadits pun marak dan dilakukan oleh banyak ulama abad ke-2 H,
yang terkenal diantaranya :
2. Al Masghazy wal Siyar, hadits sirah nabawiyah karya Muhammad Ibn Ishaq (150
H).
d) Penyaringan hadits sahih oleh imam ahli hadits Ishaq Bin Rahawaih (guru Imam
Bukhari).
g) Penyusunan enam kitab induk hadits (kutubus sittah), yaitu kitab-kitab hadits yang
diakui oleh jumhur ulama sebagai kitab-kitab hadits yang paling tinggi mutunya,
sebagian masih mengandung hadits dhaif tapi ada yang dijelaskan oleh penulisnya dan
dhaifnya pun yang tidak keterlaluan dhaifnya, ke enam kuttubus shittah itu adalah :
1) Sahih Bukhori
2) Sahih Muslim
4) Sunan An Nasa’i
5) Sunan At-Turmudzy
a) Para ulama hadits berlomba-lomba menghafalkan hadits yang sudah tersusun pada
kitab-kitab hadits.
b) Para ulama hadits mengadakan penelitian hadits-hadits yang tercantum pada kitab-
kitab hadits.
c) Ulama hadits menyusun kitab-kitab hadits yang bukan termasuk kuttubus shittah.
3. Periode Klasifikasi dan Sistimasi Susunan Kitab-Kitab Hadits (abad ke-V H s.d
656 H, jatuhnya Baghdad)
h) Menyusun kitab athraf, yaitu kitab yang hanya menyebut sebagian hadits
kemudian mengumpulkan seluruh sanadnya, baik sanad kitab maupun sanad dari
beberapa kitab.
i) Menyusun kitab istikhraj, yaitu mengambil sesuatu hadits dari sahih Bukhori
Muslim umpamanya, lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri, yang lain dari sanad
Bukhari atau Muslim karena tidak memperoleh sanad sendiri.
Mulai dari jatuhnya Baghdad oleh Hulagu Khan dari Mongol tahun 656 H – sekarang ini.
Adapun obyek Ilmu Hadits Dirayah ialah meneliti kelakuan para rawi dan keadaan
marwinya (sanad dan matannya). Dari aspek sanadnya, diteliti tentang ke'adilan dan
kecacatannya, bagaimana mereka menerima dan menyampaikan haditsnya serta sanadnya
bersambung atau tidak. Sedang dari aspek matannya diteliti tentang kejanggalan atau
tidaknya, sehubungan dengan adanya nash-nash lain yang berkaitan dengannya.
Ilmu Riwayatul Hadits ialah ilmu yang memuat segala penukilan yang disandarkan
kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, kehendak, taqrir ataupun berupa
sifatnya.
Adapun yang menjadi obyek Ilmu Hadits Riwayah, ialah membicarakan bagaimana cara
menerima, menyampaikan pada orang lain dan memindahkan atau membukukan dalam
suatu Kitab Hadits. Dalam menyampaikan dan membukukan Hadits, hanya dinukilkan
dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya.
Kegunaan mempelajari ilmu ini adalah untuk menghindari adanya kemungkinan yang
salah dari sumbernya, yaitu Nabi Muhammad Saw. Sebab berita yang beredar pada umat
Islam bisa jadi bukan hadits, melainkan juga ada berita-berita lain yang sumbernya bukan
dari Nabi, atau bahkan sumbernya tidak jelas sama sekali.
Dari ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah di atas kemudian berkembang pula beberapa
cabang ilmu, yakni:
Ialah ilmu yang membahas para perawi hadits, dari sahabat, dari tabi’in, maupun dari
angkatan sesudahnya. dengan ilmu ini kita dapat mengetahui, keadaan para perawi yang
menerima hadits dari Rasulullah dan keadaan perawi yang menerima hadits dari sahabat
dan seterusnya.
Dalam ilmu ini diterangkan tarikh ringkas dari riwayat hidup para perawi, madzhab yang
dipegangi oleh para perawi dan keadaan-keadaan para perawi itu saat menerima hadits.
Ilmu yang menerangkan tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan
tentang penta’dilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang
khusus dan tentang martabat kata-kata itu. Ilmu Jarhi wat Ta’dil dibutuhkan oleh para
ulama hadits karena dengan ilmu ini akan dapat dipisahkan, mana informasi yang benar
yang datang dari Nabi dan mana yang bukan.
Ilmu fannil Mubhamat adalah ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak
disebut dalam matan, atau di dalam sanad.
Di antara yang menyusun kitab ini, Al-Khatib Al Baghdady. Kitab Al Khatib itu diringkas
dan dibersihkan oleh An-Nawawy dalam kitab Al-Isyarat Ila Bayani Asmail Mubhamat.
Yang dimaksudkan dalam ilmu hadits ini adalah bertujuan menjelaskan suatu hadits yang
dalam matannya terdapat lafadz yang pelik, dan yang susah dipahami karena jarang
dipakai, sehingga ilmu ini akan membantu dalam memahami hadits tersebut.
Apabila didapati sesuatu hadits yang maqbul tak ada perlawanan, dinamailah hadits
tersebutmuhkam. Dan jika dilawan oleh hadits yang sederajat, tapi mungkin dikumpulkan
dengan tidak sukar maka hadits itu dinamai muhtaliful hadits. Jika tidak mungkin
dikumpul dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang terkemudian itu
dinamai nasikh dan yang terdahulu dinamaimansukh.
Yaitu ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan antar hadits yang berlawanan
lahirnya. Dikumpulkan itu ada kalanya dengan mentahsikhkan yang ‘amm, atau
mentaqyidkan yang mutlak, atau dengan memandang banyak kali terjadi.
Yaitu ilmu yang menerangkan tentang hadits-hadits yang sudah diubah titiknya
(dinamaimushohaf), dan bentuknya (dinamai muharraf).
Yaitu ilmu yang membicarakan tentang sebab-sebab Nabi menuturkan sabda beliau dan
waktu beliau menuturkan itu.
Yaitu ilmu yang menggabungkan dan memadukan antara hadits yang zhahirnya
bertentangan atau ilmu yang menerangkan ta’wil hadits yang musykil meskipun tidak
bertentangan dengan hadits lain.