Anda di halaman 1dari 7

Perkembangan Hadits Pada Abad III Hijriah

Abad ketiga Hijriah disebut dengan Asrut Tajridi wat Tashhili wat Tanqihi atau puncak usaha
pembukuan hadits[64]. Sesudah kitab-kitab Ibnu Juraij, kitab Muwaththa’ Imam Malik
tersebar dalam masyarakat dan disambut dengan gembira, kemauan menghafal hadits,
mengumpul, dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu
berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari
hadits.

Pada awalnya, ulama hanya mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat di kotanya masing-
masing. Hanya sebagian kecil di antara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan
pengumpulan hadits. Keadaan ini diubah oleh Al-Bukhari. Beliaulah yang mula-mula
meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits. Beliau pergi ke Maru,
Naisabur, Rei, Baghdad, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qusariyah,
`Asqalani, dan Himsh. Imam Bukhari membuat terebosan dengan mengumpulkan hadits
yang tersebar di berbagai daerah. Enam tahun lamanya Al-Bukhari terus menjelajah untuk
menyiapkan kitab Shahih-nya.

Para ulama pada mulanya menerima hadits dari para rawi lalu menulis ke dalam kitabnya,
tanpa mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak memerhatikan sahih-tidaknya.
Namun, setelah terjadinya pemalsuan hadits dan adanya upaya dari orang-orang zindiq
untuk mengacaukan hadits, para ulama pun melakukan hal-hal berikut.

a. Membahas keadaan para perawi dari berbagai segi, baik dari segi keadilan, tempat
kediaman, masa, dan lain-lain.

b. Memisahkan hadits-hadits yang sahih dari hadits yang dha’if yakni dengan men-tashih-
kan hadits

Ulama hadits yang mula-mula menyaring dan membedakan hadits-hadits yang sahih dari
yang palsu dan yang lemah adalah Ishaq ibn Rahawaih, seorang imam hadits yang sangat
termasyhur. Pekerjaan yang mulia ini kemudian diselenggarakan dengan sempurna oleh Al-
Imam Al-Bukhari. Al-Bukhari menyusun kitab-kitabnya yang terkenal dengan nama Al-
Jamius Shahil. Di dalam kitabnya, ia hanya membukukan hadits-hadits yang dianggap sahih.
Kemudian, usaha Al-Bukhari ini diikuti oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim.

Sesudah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, bermunculan imam lain yang mengikuti jejak
Bukhari dan Muslim, di antaranya Abu Dawud, At-Tirmidzi,dan An-Nasa’i. Mereka
menyusun kitab-kitab hadits yang dikenal dengan Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan
Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi, dan Sunan An-Nasa’i. Kitab-kitab itu kemudian dikenal di
kalangan masyarakat dengan judul Al-Ushul Al-Khamsah.

Di samping itu, Ibnu Majah menyusun Sunan-nya. Kitab Sunan ini kemudian digolongkan
oleh para ulama ke dalam kitab-kitab induk sehingga kitab-kitab induk itu menjadi sebuah,
yang kemudian dikenal dengan nama Al-Kutub Al-Sittah.

Tokoh-tokoh hadits yang lahir dalam masa ini antara lain[65]:

1. Ali Ibnul Madany 8. Imam Muslim


2. Abu Hatim Ar-Razy 9. An-Nasa’i
3. Muhammad Ibn Jarir Ath- Thabari 10. Abu Dawud
4. Muhammad Ibn Sa’ad 11. At-Tirmidzi
5. Ishaq Ibnu Rahawaih 12. Ibnu Majah
6. Ahmad bin Hanbal 13. Ibnu Qutaibah Ad-Dainuri
7. Imam Al-Bukhari

6. Perkembangan Hadits Pada Abad IV hingga Tahun 656 H

Periode keenam ini dimulai dari abad IV hingga tahun 656 H, yaitu pada masa `Abasiyyah
angkatan kedua. Periode ini dinamakan Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-
jam’i Al-Khash (masa pemeliharaan, penertiban, penambahan dan penghimpunan).[66]

Ulama-ulama hadits yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3, digelari Mutaqaddimin, yang
mengumpulkan hadits dengan semata-mata berpegang pada usaha sendiri dan pemeriksaan
sendiri, dengan menemui para penghafalnya yang tersebar di setiap pelosok dan penjuru
negara Arab, Parsi, dan lain-lainnya.
Setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pujangga abad keempat. Para ulama abad keempat ini
dan seterusnya digelari `Mutaakhirin’. Kebanyakan hadits yang mereka kumpulkan adalah
petikan atau nukilan dari kitab-kitab Mutaqaddimin, hanya sedikit yang dikumpulkan dari
usaha mencari sendiri kepada para penghapalnya.

Pada periode ini muncul kitab-kitab sahih yang tidak terdapat dalam kitab sahih pada abad
ketiga. Kitab-kitab itu antara lain:

a. Ash-Shahih, susunan Ibnu Khuzaimah

b. At-Taqsim wa Anwa’, susunan Ibnu Hibban

c. Al-Mustadrak, susunan Al-Hakim

d. Ash-Shalih, susunan Abu `Awanah

e. Al-Muntaqa, susunan Ibnu Jarud

f. Al-Mukhtarah, susunan Muhammad Ibn Abdul Wahid Al-Maqdisy.[67]

Di antara usaha-usaha ulama hadits yang terpenting dalam periode ini adalah:

a. Mengumpulkan Hadits Al-Bukhari/Muslim dalam sebuah kitab.

Di antara kitab yang mengumpulkan hadits-hadits Al-Bukhari dan Muslim adalah Kitab Al
Fami’ Bain Ash-Shahihani oleh Ismail Ibn Ahmad yang terkenal dengan nama Ibnu Al-Furat
(414 H), Muhammad Ibn Nashr Al-Humaidy (488 H); Al-Baghawi oleh Muhammad Ibn Abdul
Haq Al-Asybily (582 H).

b. Mengumpulkan hadits-hadits dalam kitab enam.

Di antara kitab yang mengumpulkan hadits-hadits kitab enam, adalah Tajridu As-Shihah oleh
Razin Mu’awiyah, Al-Fami’ oleh Abdul Haqq Ibn Abdul Ar-Rahman Asy-Asybily, yang terkenal
dengan nama Ibnul Kharrat (582 H).

c. Mengumpukan hadits-hadits yang terdapat dalam berbagai kitab.


Di antara kitab-kitab yang mengumpulkan hadits-hadits dari berbagai kitab adalah: (1)
Mashabih As-Sunnah oleh Al-Imam Husain Ibn Mas’ud Al-Baghawi (516 H); (2) Yami’ul
Masanid wal Alqab, oleh Abdur Rahman ibn Ali Al-Jauzy (597 H); (3) Bakrul Asanid, oleh Al-
Hafidh Al-Hasan Ibn Ahmad Al-Samarqandy (49I H).

d. Mengumpulkan hadits-hadits hukum dan menyusun kitab-kitab ‘Athraf[68].

7. Perkembangan Hadits Pada Periode Ketujuh (656 H-Sekarang)

Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abbasiyah ke XVII Al-Mu’tashim (w.
656 H.) sampai sekarang. Periode ini dinamakan Ashru Asy-Sarhi wa Al–Jami’ wa At-Takhriji
wa Al-Bahtsi ‘an Az-Zawaaid, yaitu masa pensyarahan, penghimpunan, pen-tahrij-an, dan
pembahasan[69]. Usaha-usaha yang dilakukan oleh ulama dalam masa ini adalah
menerbitkan isi kitab-kitab hadits, menyaringnya, dan menyusun kitab enam kitab tahrij,
serta membuat kitab-kitab syarh dan mukhtashar.

Pada periode ini disusun Kitab-kitab Zawa’id, yaitu usaha mengumpulkan hadits yang
terdapat dalam kitab yang sebelumnya ke dalam sebuah kitab tertentu, di antaranya Kitab
Zawa’id susunan Ibnu Majah, Kitab Zawa’id As-Sunan Al-Kubra disusun oleh Al-Bushiry, dan
masih banyak lagi kitab zawa’id yang lain.

Di samping itu, para ulama hadits pada periode ini mengumpulkan hadits-hadits yang
terdapat dalam beberapa kitab ke dalam sebuah kitab tertentu, di antaranya adalah Kitab
Fami’ Al-Masanid wa As-Sunan Al-Hadi li Aqwami Sanan, karangan Al-Hafidz Ibnu Katsir, dan
fami’ul fawami susunan Al-Hafidz As-Suyuthi (911 H).

Banyak kitab dalam berbagai ilmu yang mengandung hadits-hadits yang tidak disebut
perawinya dan pen-takhrij-nya. Sebagian ulama pada masa ini berusaha menerangkan
tempat-tempat pengambilan hadits-hadits itu dan nilai-nilainya dalam sebuah kitab yang
tertentu, di antaranya Takhrij Hadits Tafsir Al-Kasysyaf karangan Al-Zailai’i (762), Al-Kafi
Asy-Syafi fi Tahrij Ahadits Al-Kasyasyaf oleh Ibnu Hajar Al-`Asqalani, dan masih banyak lagi
kitab takhrij lain.
Sebagaimana periode keenam, periode ketujuh ini pun muncul ulama-ulama hadits yang
menyusun kitab-kitab Athraf, di antaranya Ithaf Al-Maharah bi Athraf Al- Asyrah oleh Ibnu
Hajar Al-`Astqalani, Athraf Al-Musnad Al-Mu’tali bi Athraf Al-Musnad Al-Hanbali oleh Ibnu
Hajar, dan masih banyak lagi kitab Athraf yang lainnya.

Tokoh-tokoh hadits yang terkenal pada masa ini adalah: Adz-Dzahaby (748 H), Ibnu
Sayyidinnas (734 H), Ibnu Daqiq Al-`Ied, Muglathai (862 H), Al-Asqalany (852 H), Ad-Dimyaty
(705 H), Al-`Ainy (855 H), As-Suyuthi (911 H), Az-Zarkasy (794 H), Al-Mizzy (742 H), Al-`Alay
(761 H), Ibnu Katsir (774 H), Az-Zaily (762 H), Ibnu Rajab (795 H), Ibnu Mulaqqin (804 H), Al-
Bulqiny (805 H), Al-`Iraqy (w. 806 H), Al-Haitsamy (807 H), dan Abu Zurah (826 H).[70]

Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadits
dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari
generasi ke generasi. Adapun T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy membagi sejarah perkembangan
hadits dalam tujuh periode, antara lain:

a. Masa Rasulullah Saw.

Masa ini disebut dengan ‘Ashr Al-Wahyi wa At-taqwin’ (masa turunnya wahyu dan
pembentukan masyarakat Islam). Pada masa ini, hadits belum mendapat pelayanan dan
perhatian sepenuhnya seperti Al-Qur’an. Rasulullah Saw hanya mengizinkan untuk
menghafalkan saja, tidak diperkenankan ditulis seperti halnya Al-Qur’an.

b. Masa Khulafaur Rasyidin

Masa ini disebut dengan ‘Ash-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah’ (masa membatasi
dan menyedikitkan riwayat). Pada masa ini, para sahabat memfokuskan kepada kitab Allah
(Al-Qur’an) dan memeliharanya dalam lembaran-lembaran mushaf, dan dalam hati mereka.
Sedangkan hadits hanya sebatas melalui jalan periwayatan, baik periwayatan lafzhi
(redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul Saw) dan maknawi (maknanya saja).

c. Masa pasca era Khulafaur Rasyidin hingga abad pertama Hijriyah

Masa ini disebut dengan ‘Ashr Intisyar al-Riwayah’ (masa berkembang dan meluasnya
periwayatan hadits). Para sahabat kecil dan tabi’in yang ingin mengetahui hadits-hadits Nabi
Saw diharuskan berangkat ke seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah untuk menanyakan
hadits kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar di wilayah tersebut. Dengan
demikian, pada masa ini, di samping tersebarnya periwayatan hadits ke pelosok-pelosok
daerah Jazirah Arab, perlawatan untuk mencari hadits pun menjadi ramai. Pada periode ini
pula mulai muncul usaha pemalsuan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab karena
motif politik.
d. Masa abad kedua Hijriyah

Masa ini disebut dengan ‘Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin’ (masa penulisan dan pembukuan).
Maksudnya, penulisan dan pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau
atas inisiatif pemerintah. Pemerintah yang dimaksud ialah pada masa pemerintahan
Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz pada tahun 101 H. Pada masa ini pula muncul para ulama yang
membukukan hadits pertama kali, seperti Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab Az-
Zuhri, kemudian Imam Malik dengan kitab Al-Muwaththa’-nya, dan lain-lain.

e. Masa abad ketiga Hijriyah

Masa ini disebut dengan ‘Asrut Tajridi wat Tashhili wat Tanqihi’ (puncak usaha pembukuan
hadits). Pada masa ini banyak bermunculan para ulama yang pergi ke kota lain untuk
kepentingan pencarian dan pengumpulan hadits. Para ahli hadits yang dimaksud ialah
seperti Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah, yang
mereka semua dijuluki Al-Ushul Al-Khamsah. Mereka tidak hanya membukukan hadits, tapi
juga melakukan upaya-upaya seperti menyeleksi hadits dengan memerhatikan sahih-
tidaknya hadits, dan membahas keadaan para perawi hadits.

f. Masa abad keempat hingga tahun 656 Hijriyah

Masa ini disebut dengan Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-jam’i Al-Khash
(masa pemeliharaan, penertiban, penambahan dan penghimpunan). Beberapa usaha ulama
hadits yang terpenting dalam periode ini adalah mengumpulkan hadits Bukhari Muslim
dalam sebuah kitab, mengumpulkan hadits-hadits dalam kitab enam, dan mengumpulkan
hadits-hadits hukum.

g. Masa tahun 656 H hingga Sekarang

Masa ini disebut dengan Ashru Asy-Sarhi wa Al–Jami’ wa At-Takhriji wa Al-Bahtsi ‘an Az-
Zawaaid, yaitu masa pensyarahan, penghimpunan, pen-tahrij-an, dan pembahasan. Usaha-
usaha yang dilakukan pada masa ini adalah menerbitkan isi kitab-kitab hadits dan
menyaringnya dalam enam kitab tahrij, kitab-kitab mukhtashar, dan syarh.
Mempelajari hadits tentu tidak terlepas dari peran Nabi Muhammad Saw sebagai contoh
dan suri tauladan bagi umatnya. Hadits diketahui telah ada sejak awal perkembangan Islam
yang sudah pasti merupakan realitas yang tidak dapat diragukan lagi. Sesungguhnya wajar
sekali jika kaum muslimin (terutama para sahabat r.a.) memperhatikan apa saja yang
dilakukan ataupun yang diucapkan oleh beliau, terutama sekali yang berkaitan dengan
fatwa-fatwa keagamaan. Orang-orang Arab yang suka menghafal dan syair-syair dari para
penyair mereka, ramalan-ramalan dari peramal mereka, dan pernyataan-pernyataan dari
para hakim, tidak mungkin lengah untuk mengisahkan kembali perbuatan-perbuatan dan
ucapan-ucapan dari seorang yang mereka akui sebagai seorang Rasul Allah.

Di samping sebagai utusan Allah, Nabi adalah panutan dan tokoh masyarakat. Selanjutnya
dalam kapasitasnya sebagai apa saja (Rasul, pemimpin masyarakat, panglima perang, kepala
rumah tanggal, maupun teman), maka tingkah laku, ucapan dan petunjuknya disebut
sebagai ajaran Islam. Beliau sendiri sadar sepenuhnya bahwa agama yang dibawanya harus
disampaikan dan terwujud secara konkret dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu
dalam setiap kesempatan, Nabi berupaya berdialog maupun berdiskusi dengan para sahabat
dalam memenuhi haknya untuk lebih mendalami ajaran Islam.

Anda mungkin juga menyukai