NIM : 20005030012
Judul : Sunan Ibnu Majah
A. Pendahuluan
Hadis merupakan sumber kedua hukum Islam setelah Al-Quran. Al-Quran
yang bersifat mujmal itu harus dijelaskan secara terperinci melalui hadis. Hal ini
hukum syariat. Jadi, hadis mempunyai peran yang utama baik secara eksplisit
maupun implisit.
Hubungan antara hadis dan Al-Quran sangat integral, keduanya tidak dapat
dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, karena keduanya berdasarkan wahyu
yang datang dari Allah dan Muhammad SAW untuk disampaikan umatnya, hanya
peyampaian dan periwayatan yang berbeda, maka timbullah hadis yang palsu baik
atas perkataan, perbuatan dan ketetapan nabi dalam membina islam. Keadaan
hadits terus dijaga oleh sahabat. Pada abad ke-3 sampai abad ke-5, hadits-hadits
yang terhormat. Kemunculan para ulama besar seperti Imam al-Bukhari, Imam
Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidhi, al-Nasa’I, Ibnu Majah, dan sejumlah imam
Salah satu ulama hadis yang dibahas penulis dalam makalah ini adalah Ibnu
Majah. Menurut berbagai sumber, kitab Sunan Ibnu Majah masih menjadi
perdebatan ulama, dimana sebagian sepakat jika Kitab Sunan Ibnu Majah
tidak sepakat dan bahkan memasukkan Kitab Muawatta’ atau pun kitab Sunan al-
sunan, tarikh, dan tafsir, serta merupakan hafidz Qazwain1 pada masanya. Beliau
dilahirkan pada tahun 209 H/824 M 2. Meskipun beliau adalah orang yang tersohor
dalam bidang hadits, namun catatan mengenai nasab beliau masih kurang lengkap
bahkan terbilang cukup minim. Dari data yang sedikit tersebut diketahui
1
Kota Qazwain berada di Khurasan, berdekatan dengan ar-Rayy (Teheran).
2
Syamsuddin adz-Dzahabiy, Siyar A’lam an-Nubalaa, (Beirut: Muasasah ar-Risalah, 2011).
Jilid 13, hal. 277.
bernama Yazid yang juga dikenal dengan Majah, dan maula-nya ialah Rabi’ah3
(atau ada juga yang menyebutkan Rib’iy). Ada sedikit perdebatan mengenai nama
Majah, ada yang berpendapat itu adalah laqab Ayahnya, ada juga yang
mengatakan, itu adalah nama kakeknya, yang lain mengatakan itu nama ibunya.
penulisnya bahwa ‘Majah’ adalah nama ibu beliau, hal ini berdasar penulisan
huruf ‘alif’ dalam (– )ابنbukan ‘ ’بنsaja yang menunjukkan garis keturunan.
“Ia adalah seorang tokoh besar yang terpercaya, muttafaq ‘alaih, dijadikan
hadits dan menghafalnya, ia melakukan rihlah ke ‘Iraq, Makkah, Syam, Mesir dan
Khaliliy yaitu ke ‘Irak, Makkah, Syam, Mesir dan Rayy. Selama petualangan
intelektualnya, Ibnu Majah telah banyak menimba ilmu dari banyak guru. Guru-
3
Syamsuddin adz-Dzahabiy, Siyar A’lam an-Nubalaa, (Beirut: Muasasah ar-Risalah, 2011).
Jilid 13, hal. 278.
4
Muhammad ‘Abdurrahman al-Mubarakfuriy, Muqaddimah Tuhfatul Ahwadziy bis Syarhi
Jami’it Tirmidziy, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabiy, tanpa tahun), hal. 165.
5
Syamsuddin adz-Dzahabiy, Siyar A’lam an-Nubalaa, (Beirut: Muasasah ar-Risalah, 2011).
Jilid 13, hal. 279.
1. ‘Aliy bin Muhammad ath-Thanafisiy al-Hafidz (Ibnu Majah banyak
2. Jubarah bin al-Mughallis (beliau termasuk ulama yang menjadi guru Ibnu
100 tahun).
10. Dan banyak yang lainnya, dalam sunan dan karyanya yang lain.6
Sunan Ibni majah, antara lain ia menulis kitab Tafsir al-Qur’an, yaitu sebuah tafsir
Namun sayang, karya ini tetap menjadi makhthuthah atau tidak dicetak, bahkan
ada yang mengatakan karya ini telah hilang. Juga ia menulis kitab Tarikh, yaitu
sebuah tarikh yang menghimpun keterangan para sahabat sampai peristiwa yang
6
Syamsuddin adz-Dzahabiy, Siyar A’lam an-Nubalaa, (Beirut: Muasasah ar-Risalah, 2011).
Jilid 13, hal. 278.
Ibnu Majah wafat pada hari Senin dan dimakamkan keesokan harinya, yang
bertepatan dengan delapan hari sebelum idul fitri pada tahun 273 H/887 M. Beliau
berkomentar tentang pribadi Ibnu Majah, “Dia adalah seorang yang kuat hafalan,
Muhammad bin Yazid bin Majah penulis kitab Sunan yang kesohor, ia adalah
seorang yang masyhur amalan dan ilmunya, juga mendalam dalam penela’ahan
dan ittiba’-nya terhadap sunnah, baik dalam perkara ushul maupun furu’.
merupakan) seorang Hafidz yang terkenal, penyusun kitab Sunan dalam bidang
hadits, ia adalah Imam dalam bidang hadits, (yakni) seorang yang menguasai
berbagai disiplin dalam bidang hadits dan serangkaian yang terkait dengannya.
kitab-kitab syarh yang disusun para ulama sebagai komentar terhadapnya. Akan
tetapi, tidak ditemukan data tentang bagimana ulsan-ulasan dan komentar mereka
dari sisi dan bagian mana yang disyarh oleh para ulama itu. Kitab-kitab syarh
7
Syamsuddin adz-Dzahabiy, Siyar A’lam an-Nubalaa, (Beirut: Muasasah ar-Risalah, 2011).
Jilid 13, hal. 278
8
Umi Sumbulah, Studi 9 Kitab Hadis Sunni. Malang: UIN-Maliki Press, 2013, hal. 106-107
a. Mishbah al-Zujajah ‘ala Sunan ibn Majah karya Jalaluddin ‘Abdurrahman
b. Kifayatul Hajah fi Syarh Sunan ibn Majah karya Abul Hasan bin ‘Abdul
Hadi al-Sindi.
c. Iljah al-Hajah li Syarh Sunan ibn Majah, kitab ini ditulis oleh Syaikh
d. Mishbah al-Zujajah fi Zawaid ibn Majah yang ditulis oleh Ahmad bin Abi
Hasan al-Kankuhi.
karya al-Nu’mani.
keenam kitab syarh di atas dicetak menjadi satu kitab dengan namaSyuruh Sunan
Ibn Majah yang terdiri dari dua jilid besar dan ditahqiq oleh Ra’id bin Shabri bin
Abi ‘Ilfah. Sedangkan karya ulama lainnya yang juga mengulas tentang hadis-
hadis yang termuat dalam Sunan Ibn Majah adalah Syarh al-Dibajah Karya al-
Darimi yang meninggal pada tahun 808 H, yang mana kitab tersebut memuat 15
jilid. Begitu juga kita Syarh Sunan Ibn Majah susunan Ibrahim bin Muhammad
diklasifikasikan dalam jajaran kitab hadis yang enam (al-Kutub al-Sittah) atau
tidak. Hal ini disebabkan oleh berbagai visi dan pandangan ulama yang berbeda di
dalam memberikan penilaian terhadap kualitas hadis yang ada dalam kitab
tersebut. Di samping itu, juga disebabkan oleh karena Ibnu Majah sendiri belum
dalam kitab Sunan-nya. Sehingga kondisi kitab yang demikian ini, cukup menjadi
terhadap hadis. Akan tetapi, lebih merupakan hasil dari perkembangan dan
masuknya sebuah kitab hadis dalam kelompok “al-kutub al-sittah” yang notabene
yang cukup bisa diandalkan, tidak akan menambah atau mengurangi sedikitpun
nilai hadis yang telah terangkum di dalamnya. Hal ini disebabkan oleh karena
setiap hadis yang telah dimuat di dalam kitab-kitab tersebut diuji berdasarkan
kriteria, cara kerja dan kejelian periwayatnya dan bukan bertitik tolak dari prestise
pembukunya11.
Ibnu Majah ke dalam al-Kutub al-Sittah adalah Ibnu Tahrir al-Maqdisi yang
10
Umi Sumbulah, Studi 9 Kitab Hadis Sunni. Malang: UIN-Maliki Press, 2013, hal. 108
11
Umi Sumbulah, Studi 9 Kitab Hadis Sunni. Malang: UIN-Maliki Press, 2013, hal. 108
kemudian diikuti jejaknya oleh al-Hafidz ‘Abdul Ghani al-Maqdisi yang
karena di dalam kitab Sunan Ibnu Majah tersebut banyak memuat zawaid, yang
tidak termuat di dalam kitab-kitab lainnya meskipun ada beberapa ulama yang
nampaknya mereka masih ada kemungkinan berasal dari Nabi. Oleh karena itu,
mereka –dan mayoritas ahli hadis- tetap berpegang pada prinsip tersebut12.
tersebut terdiri dari 428 hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang dapat
dipercaya dan sahih sanadnya, 199 hadis sanadnya bernilai hasan, 613 mempunyai
sanad yang da’if, 99 hadis memiliki sanad yang lemah, munkar dan
al-Suyuti dan al-Busyairi al-Misri (w. 840 H.) dalam kitabnya al-Misbah al
hasan, da’if dan maudu. Kenyataan tersebut menafikan tuduhan al-Mizzi yang
mengatakan bahwa semua hadis yang diriwayatkan dari Ibn Majah adalah da’if13.
Sebagian ulama yang lain ada yang berpendapat bahwa yang lebih patut
Malik atau bahkan Kitab al-Muntaqa karya Ibnu Jarud yang layak menduduki
peringkat ke-enam dari kitab hadis yang standard yang enam itu. Ulama yang
12
Umi Sumbulah, Studi 9 Kitab Hadis Sunni. Malang: UIN-Maliki Press, 2013, hal. 109
13
Muhammad Khoirul Zamzami, Makalah Ibn Majah, diakses dari
http://kzamzami.wordpress.com/2013/03/05/makalah-ibnu-majah.html, pada tanggal 7 mei
2020.
Saqasti dan Ibnu al-Athir. Bagaimana pun adanya, perbedaan pendapat ulama
tersebut terhadap kualitas hadis itu disebabkan oleh karena kriteria penilaian dan
point of view yang berbeda pula. Sehingga boleh jadi zawaid maaupun hadis-hadis
lainnya yang dimuat Ibnu Majah di dalam sunan-nya itu, Ibnu Majah sendiri
namun tidak terlalu parah tingkat ke-dhaif-annya. Oleh karena itu, meskipun
terdapat beberapa ulama yang menilai hadis-hadis yang termuat di dalam Sunan
Ibnu Majah itu mayoritas dhaif –utamanya hadis-hadis zawaidnya-- kita tidak
patut bersikap apriori terhadapnya. Seharusnya kondisi yang demikian ini, justru
mejadi motivasi bagi kita untuk berupaya mengkajinya lebih jauh lagi. Karena
bagaimana pun juga, meskipun kitab itu telah menjadi “barang jadi”, namun
14
Umi Sumbulah, Studi 9 Kitab Hadis Sunni. Malang: UIN-Maliki Press, 2013, hal. 109-110