Anda di halaman 1dari 12

Shahih ibn hibban

dan shahih ibn


KHuzaimah
Dosen Pengampu Mata Kuliah Kajian Kitab
Hadits: Bapak Sofyan Effendi, M.A.
Oleh Kelompok 3 – 4A IAT:
Amalia Husna Islamy (20211356)
Annisa Rahman Rahayaan (20211363)
Devira Mutaharah (20211386)
A. Biografi Imam ibn
hibban
Imam Ibn Hibban memiliki nasab lengkap yaitu Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Hibban
bin Mu'adz bin Ma'bad bin Sahid bin Hadiyyah bin Murroh bin Sa'd bin Yazid bin Murroh Zaid bin
Abdullah bin Darim bin Hanzhalah bin Malik bin Zaid Manat bin Tamim al-Tamimi al-Busti. Imam
Ibn Hibban lahir di desa Busti, Afghanistan pada tahun 270 H dan wafat pada tahun 354 H
dimakamkan di Lashkar Gah, Afghanistan. Imam Ibn Hibban dilahirkan di tengah-tengah keluarga
yang sangat kental dengan nuansa religius, sehingga beliau menjadi seorang Muslim yang taat
beribadah. Sejak kecil beliau sudah menguasai berbagai disiplin keilmuan Islam di berbagai bidang,
seperti fiqih, tafsir, akhlak, sejarah dan hadits. Ibn Hibban menekuni pelajaran hadits tanpa
mengabaikan bidang keilmuan lainnya. Beliau mulai menuntut ilmu di atas tahun 300 H, dan menemui
para masyaikh pada masanya di negeri-negeri mereka dan juga ulama-ulama senior untuk
mendapatkan sanad yang lebih tinggi, perjalanan beliau mencakup Sijistan, Harah, Marwa, Sinj,
Sughd, Bukhara, Basrah, Kuffah, Naisabur, Damaskus, Beirut, Mesir, dan lain-lain. Jumlah
keseluruhan guru-guru beliau dalam perjalanan menuntut ilmu mencapai dua ribu.
Di antara guru-guru beliau yang terdapat dalam kitabnya Shahih Ibn Hibban, yaitu Hasan bin
Sufyan Asyaibani, Abu Abbas Muhammad bin Hasan al-Asqolani, Abu Ishaq Imron bin Musa bin
Mujasyi al-Jurjani, dan lain-lain. Banyak dari murid-murid Ibnu Hibban yang mengambil Hadits
darinya, dan mereka datang dari segala penjuru. Berikut adalah nama-nama murid beliau, diantaranya
yaitu Abu Abdullah Hakim an-Naisaburi (penulis kitab al-Mustadrak 'ala shahihain), Abu Hasan Ali bin
Umar bin Ahmad bin Mahdi Ad-Daruquthni (salah satu imam yang terkenal dengan hafalan,
pemahaman, kewara'annya juga pengarang kitab as-Sunan dan al-Illal), selain itu ada juga Abu Abdillah
Muhammad bin Ishaq bin Mandah, Abu Umar Muhammad bin ahmad al-Nuqati, dan masih banyak lagi.
Diantara karya-karya Ibn Hibban yaitu At-Taqasim wa Al-Anwa`, Al-Hidayah ila ‘Ilm As-Sunan, ‘Ilal
Auham At-Tawarikh (10 jilid), ‘Ilal Hadits Az-Zuhri (20 jilid), ‘Ilal Hadits Malik (10 jilid), Ma Khalafa
Fihi Ats-Tsauri Syu’bah (3 jilid), Ma Infarada Fihi Ahlu Al-Madinah min as-Sunan (10 jilid), Ma
Infarada Fihi Ahlu Makkah min as-Sunan (10 jilid), Ma ‘Inda Syu’bah ‘an Qatadah wa Laisa ‘inda Sa’id
‘an Qatadah (2 jilid), Ghara’ib Ak-Akhbar (20 jilid), dan masih banyak lagi. Kitab Shahih Ibnu Hibban
di tahqiq oleh Amir Ala'uddin al-Farisi dengan diberi judul al-Ihsan Taqrib Shahih Ibn Hibban. Karena
penilaian shahih pada hadits-hadits ini berdasarkan kepada Ibn Hibban dalam menilai tsiqah orang yang
tertutup, sesuai dengan metode yang ditetapkan dan disyaratkan dalam penilaian hadits itu. Itu sebabnya
penahqiq juga melakukan kajian ulang terhadap sanad dengan tujuan mengetahui sejauh mana
kesesuaiannya dengan syarat hadits shahih menurut jumhul ulama. Penilaian para ulama mengenai
Imam Ibn Hibban diantaranya yaitu Ibnu al-Shalah, memberi komentar terhadap metodologi Ibnu
Hibban ketika mengomentari kitab Mustadrak al-Hakim, dia (al-Hakim, 321-405 H) terlalu
memudahkan persyaratan hadits shahih, dan menyahihkan sebuah hadits. Dan yang mendekatinya dalam
hukum adalah Ibnu Hibban al-Busti rahimahumallah
B. Kitab SHAHIH IBN HIBBAN
Sebelum menjadi kitab yang berjudul Shahih Ibnu Hibban yang dikenal saat ini, judul asli dari kitab
ini ialah At-Taqasim wa Al-Anwa. Dalam penamaan kitab ini, Imam Ibnu Hibban mengikuti gurunya
yaitu Ibnu Khuzaimah, dan juga lebih di kenal dengan judul Al-Ihsan fi Taqrib Shahih Ibni Hibban.
Dapat diketahui bahwa dahulu naskah kitab ini pertama terbit pada akhir abad ke-8. Penerbitan kitab
tersebut dari Dar Al-Kutub Al-Mishriyah. Pada naskah tersebut, tidak terdapat nama dan tanggal
penyalinan, kitab tersebut berjumlah sembilan jilid. Kitab Shahih Imam Ibnu Hibban memuat kira-kira
7448 hadits. Terdapat sekitar 4801 hadits yang sama-sama dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dan Bukhari-
Muslim atau salah satunya. Sisanya kira-kira 1647 hadits yang tidak terdapat dalam kitab Shahih
Bukhari-Muslim yang dikeluarkan oleh Ibnu Hibban bersama dengan Malik, Abdul Razaq, Ahmad dan
pengarang kitab sunan. Ada pula hadits-hadits yang hanya dikeluarkan oleh Ibnu Hibban saja. Dalam
menata kitabnya, Ibnu Hibban menerapkan sebuah metode asing yang dihasilkan oleh daya nalarnya
yang diwarnai dengan kemampuan untuk menyusun dan berkreasi, serta diprogram dengan ilmu ushul
dan ilmu kalam. Setiap qism mencakup nau’ (jenis-jenis) dan setiap nau’ mencakup hadits-hadits.
Maksudnya dalam hal ini ialah adalah mengikuti penataan al-Qur’an, sebab setiap al-Qur’an terdiri dari
juz-juz. Setiap juz mencakup surah-surah. Dan setiap surah mencakup ayat-ayat.
Imam Ibn Hibban berkata dalam mukaddimah kitabnya, “Adapun syarat kami dalam menukilkan sunnah-sunnah yang kami
letakkan dalam kitab ini adalah kami tidak berhujjah di dalamnya melainkan dengan hadits yang disepakati oleh setiap syaikh dari
para perawinya dalam lima perkara yaitu adil dalam agama dengan tertutupnya aib, jujur dalam meriwayatkan hadits dengan tolak
ukur yang dikenal dengannya, berakal dengan apa yang dia sampaikan di hadits, mengetahui makna-makna yang samar dalam
hadits yang dia riwayatkan, dan haditsnya terhindar dari tadlis”.

Beberapa ulama yang memberikan komentar terhadap metode penyahihan Ibn Hibban, diantaranya yaitu:
1. Al-Sakhawi, komentar beliau bisa kita jumpai tatkala beliau memberi syarah terhadap perkataan al-Iraqi, beliau
mengatakan “Perkataan al-Iraqi (yaitu, Ibn Hibban mendekati al-Hakim) adalah dalam hal terlalu mudah dalam menyahihkan
hadits. Hal ini menurut penelitian terhadap hadis-hadisnya juga.
2. Al-Suyuthi Berbeda dengan ulama lain yang umumnya memberikan catatan kritis terhadap metodologi penyahihan Ibn
Hibban, Imam Suyuthi justru memberikan dukungan atas metodenya, beliau berkata: “Apa yang disebutkan berupa tuduhan
Tasahul (sikap bermudah-mudahan) yang dilakukan Ibn Hibban adalah tidak benar. Karena puncak masalahnya adalah bahwa
beliau menamakan hadits hasan kedalam hadits sahih. Jika penisbatannya terhadap perilaku tasahul ditinjau karena adanya hadits
hasan dalam kitabnya, maka ini hanyalah perbedaan istilah semata. Dan jika ditinjau dari mudahnya persyaratan beliau terhadap
hadits shahih, maka sebenarnya beliau mengeluarkan hadits yang perawinya tsiqah dan bukan mudallis yang mendengar dari
syeikhnya, dan muridnya mendengar darinya langsung, dan hadis tersebut tidak mursal dan munqathi”.
C. Biografi Imam Ibn
Khuzaimah
Imam Ibn Khuzaimah memiliki nama lengkap Abu Bakar Muhammad Ibn Ishaq Ibn Khuzaimah al-
Naysaburi. Beliau lahir pada bulan Shafar tahun 223 H di Naysabur, Iran. Imam Ibn Khuzaimah adalah
seorang imam yang sangat ahli di Naisabur dan mujtahid yang sangat popular dalam bidang hadits. Beliau
digelari al-imam al-a’immah (imam dari segala imam), Imam Ibn Khuzaimah wafat di usia 88 tahun pada
malam Sabtu tanggal 2 Dzulqa’dah 311 H, jenazah Ibnu Khuzaimah dishalati oleh putranya sendiri, yaitu
Abu Nashr bersama dengan segenap kaum muslimin. Pada awalnya jenazah beliau dimakamkan di kamar
rumahnya, kemudian kamar tersebut dijadikan sebagai kuburan.
Imam Ibn Khuzaimah dikenal sebagai orang yang sangat baik, beliau dikenal sebagai orang yang
berani menyampaikan kebenaran, kritik, dan koreksi sekalipun terhadap penguasa, terutama jika berkaitan
dengan penyampaian hadits yang keliru. Ibn Khuzaimah juga dikenal memiliki kecerdasan dan daya hafal
yang luar biasa, beliau juga orang yang sangat dermawan dan suka bersedekah.
Menurut jumhur ulama, Imam Ibn Khuzaimah dalam kriteria penerimaan sebuah hadits mengikuti
madzhab yang dikembangkan ‘Abd al-Rahman ibn al-Mahdi dan Ahmad ibn Hanbal. Madzhab tersebut akan
toleran atau longgar (tasamuh) dalam menilai rijal untuk hadits yang berkaitan dengan ganjaran, siksaan, dan
fadhilah. Sedangkan jika hadits yang berkaitan dengan hukum dan masalah halal haram, mereka ketat
(tasyaddud).
Semangat belajar sudah dimiliki Ibn Khuzaimah sejak kecil, beliau memiliki keinginan
yang sangat besar untuk belajar kepada salah seorang ulama besar hadits bernama Ibn
Qutaybah. Namun, ayahnya melarang dan menyuruh Ibn Khuzaymah untuk mempelajari al-
Qur’an terlebih dahulu. Setelah mengkhatamkan dan mempelajari al-Qur’an, Ibn Khuzaimah
pun memulai perantauannya dengan pergi ke Marwa. Dikota Marwa Ibn Khuzaimah bertemu
dengan Muhammad bin Hisham yang nantinya menjadi perantara pertemuannya dengan Ibn
Qutaybah. Ibn Khuzaimah di usianya yang baru 17 tahun sudah mendatangi beberapa kota yang
beliau jadikan lahan untuk menuntut ilmu, diantaranya Irak, Syam, Mekkah, Madinah, dan
Mesir.
Ibn Khuzaimah banyak belajar kepada para ulama. Guru-Gurunya antara lain yaitu Ishaq
bin Rahawayh, Muhammad bin Humaid, Mahmud bin Ghayalan, Ali bin Hujrin, Ziyad bin
Ayub, Muhammad bin Mihran al-Jammal, Yusuf bin Wadih al-Hashimi, Muhammad bin Bashar,
Muhammad bin Yahya, Nasr bin, Ali, Muhammad bin Abdillah al-Makhrami, ‘Amr bin Ali dan
masih banyak lagi. Ibn Khuzaimah juga sering bertukar posisi pada guru dan murid dengan
ulama hadits lainnya. Murid sekaligus gurunya yang terkenal salah satunya adalah al-Bukhari
dan al-Muslim, kedua ulama ini tersohor pernah mengambil riwayat dari Ibn Khuzaimah, dan
sebaliknya. Beberapa murid Ibn Khuzaimah lainnya yaitu Ibrahim bin Abi Thalib, Muhammad
bin Abdullah bin Abdul Hakam, Abu Hamid bin Al-Sharqi, Abu Ali al-Husain bin Muhammad
al-Naysaburi, Abu Hatim al-Busthi, dan masih banyak lagi.
Abu ‘Abd al-Hakim menyebutkan karya tulis Imam Ibn Khuzaimah mencapai lebih dari 140
buah. Namun yang jelas eksistensinya sampai sekarang hanya dua, yaitu al-Tauhid dan Shahih.
Muhammad Musthafa al-Azhami menyatakan 35 kitab yang pernah disebutkan dalam kitab al-
Tauhid dan Shahih, diantaranya yaitu al Asyribah, al Imamah, al Ahwal, al Iman, al Iman wa al
Nuzur, al Birr wa al Silah, al Buyu’, al Tafsir, al Taubah, al Tawakkal, Zikr Na’im al Jannah, al
Shadaqat min kitabihi al Kabir, al Salat al Kabir, al Shalah, al Shiyam, al Tibb wa al Raqa, al Zihar,
al Fitan, al Qadr, al kabir, al Libas, Ma’ani al-Qur’an, al Manasik, al Washaya, dan al Qira’ah Khalfa
al Iman.
Penilaian para ulama mengenai Imam Ibn Khuzaimah diantaranya yaitu Abu Tahir
Muhammad bin Fadl (cucu Ibn Khuzaimah) mengatakan bahwa kakeknya suka bekerja keras serta
suka memberi uang dan pakaian kepada pencinta ilmu, meskipun sesungguhnya yang dimilikinya itu
sangat terbatas, Al-Hakim mengatakan bahwa Ibn Khuzaimah sering melakukan dakwah secara
besar-besaran di Bustan yang dihadiri oleh banyak orang, baik kaya maupun miskin, Al-Daruqutni,
mengatakan bahwa Ibn Khuzaimah adalah seorang pakar hadits yang sangat terpercaya dan sulit
mencari bandingannya, Ibnu Abi Hatim memberikan komentar bahwa Ibn Khuzaimah adalah orang
yang sangat mumpuni, dan masih banyak lagi.
D. Kitab Shahih Ibn Khuzaimah
Secara umum, banyak sekali model penyusunan kitab yang dikenal dalam ilmu hadits. Sahih Ibn
Khuzaymah, kalau dilihat dari kacamata sistematika penyusunannya tergolong dalam kitab-kitab sunan.
Penyusunan dan isinya adalah hadits-hadits fiqih, namun beliau termasuk salah satu penulis yang
memastikan hadits-hadits yang tercantum dalam kitabnya adalah hadits shahih. Dalam bagian ini,
karakteristik umum yang dimaksud adalah sistematika penyusunan dan metode penulisan hadits yang
digunakan oleh Ibn Khuzaimah, sistematika dan pola penulisan Shahih Ibn Khuzaymah cukup berbeda
dan terlihat lebih sistematis dari beberapa kitab shahih lainnya.
Jumlah keseluruhan hadits yang tercantum dalam Shahih Ibn Khuzaymah adalah 3079 hadits.
Hadits-hadits tersebut tersusun secara sistematis dalam skema penyusunan kitab, tema besar, dan sub
tema. Seluruh haditnya adalah hadits hukum yang hanya membahas persoalan-persoalan ibadah saja.
Sedangkan tema lainnya seperti mu’amalah dan munakahah, tidak menjadi materi pembahasan
didalamnya. Ini salah satu yang menjadi titik perbedaan antara Shahih Ibn Khuzaymah dan Shahih al-
Bukhari. Kitab Shahih Ibn Khuzaymah memakan banyak halaman karena penjelasan fiqhi yang cukup
panjang atas hadits-hadits yang ada.
Kitab Shahih Ibn Khuzaymah tidak mengikuti sistematika penyusunan sebagaimana yang
dilakukan oleh al-Bukhari dan al-Muslim yang menggunakan sistematika non-fiqih, yakni
sistematika penyusunan yang biasanya diawali dengan bab bad’i al-wahyi. Akan tetapi, Ibn
Khuzaimah dalam Shahihnya menggunakan sistematika yang lumrah digunakan dalam kitab
sunan, yaitu sistematika penyusunan yang berdasar pada bab-bab fiqih. Ada 3 langkah klasifikasi
yang digunakan Ibn Khuzaimah dalam sistematika penyusunan pembahasan Shahihnya, yaitu
kitab, jumma al-abwab, dan bab. Metode penulisan yang digunakan dalam Shahih Ibn Khuzaymah
adalah imla’. Hal ini menurut Muhammad Musthafa Azami dapat dilihat dari seringnya Ibn
Khuzaymah menggunakan lafadz “amlaytu” dalam kitab at-Tauhid. Meskipun tidak secara eksplisit
mencantumkan keshahihan hadits dalam kitabnya, tetapi penekanan Ibn Khuzaimah jelas pada
ittishal as-sanad dan al-‘adl, namun hal ini bukan berarti menyampingkan kriteria yang lainnya.
Sejumlah ulama memberikan pendapat dan komentar terhadap kitab Shahih Ibn Khuzaymah,
diantaranya yaitu Ibnu Hibban mengatakan bahwa beliau tidak menjumpai seorang pun di muka
bumi ini yang sangat bagus menyusu kitabnya selain Muhammad bin Ishaq (Ibn Khuzaimah)
karena lafal-lafal haditsnya terpelihara keshahihan dan tambahan-tambahan haditsnya, sehingga
seolah-olah semua hadits ada disana. Ibnu Katsir menilai bahwa Shahih Ibn Khuzaymah lebih baik
dari pada al-Mustadrak karya al-Hakim, mengingat sanad-sanad dan matan-matan haditsnya
ditempatkan secara tepat. As-Suyuthi memberikan komentar bahwa Shahih Ibn Khuzaymah
tingkatannya lebih tinggi dari Shahih Ibn Hibban karena lebih selektif, berhenti pada hadits shahih
dan sedikit membicarakan isna, dan masih banyak lagi komentar dari beberapa ulama lainnya.
SEKIAN
DAN
TERIMA
KASIH

Anda mungkin juga menyukai