Beberapa ulama yang memberikan komentar terhadap metode penyahihan Ibn Hibban, diantaranya yaitu:
1. Al-Sakhawi, komentar beliau bisa kita jumpai tatkala beliau memberi syarah terhadap perkataan al-Iraqi, beliau
mengatakan “Perkataan al-Iraqi (yaitu, Ibn Hibban mendekati al-Hakim) adalah dalam hal terlalu mudah dalam menyahihkan
hadits. Hal ini menurut penelitian terhadap hadis-hadisnya juga.
2. Al-Suyuthi Berbeda dengan ulama lain yang umumnya memberikan catatan kritis terhadap metodologi penyahihan Ibn
Hibban, Imam Suyuthi justru memberikan dukungan atas metodenya, beliau berkata: “Apa yang disebutkan berupa tuduhan
Tasahul (sikap bermudah-mudahan) yang dilakukan Ibn Hibban adalah tidak benar. Karena puncak masalahnya adalah bahwa
beliau menamakan hadits hasan kedalam hadits sahih. Jika penisbatannya terhadap perilaku tasahul ditinjau karena adanya hadits
hasan dalam kitabnya, maka ini hanyalah perbedaan istilah semata. Dan jika ditinjau dari mudahnya persyaratan beliau terhadap
hadits shahih, maka sebenarnya beliau mengeluarkan hadits yang perawinya tsiqah dan bukan mudallis yang mendengar dari
syeikhnya, dan muridnya mendengar darinya langsung, dan hadis tersebut tidak mursal dan munqathi”.
C. Biografi Imam Ibn
Khuzaimah
Imam Ibn Khuzaimah memiliki nama lengkap Abu Bakar Muhammad Ibn Ishaq Ibn Khuzaimah al-
Naysaburi. Beliau lahir pada bulan Shafar tahun 223 H di Naysabur, Iran. Imam Ibn Khuzaimah adalah
seorang imam yang sangat ahli di Naisabur dan mujtahid yang sangat popular dalam bidang hadits. Beliau
digelari al-imam al-a’immah (imam dari segala imam), Imam Ibn Khuzaimah wafat di usia 88 tahun pada
malam Sabtu tanggal 2 Dzulqa’dah 311 H, jenazah Ibnu Khuzaimah dishalati oleh putranya sendiri, yaitu
Abu Nashr bersama dengan segenap kaum muslimin. Pada awalnya jenazah beliau dimakamkan di kamar
rumahnya, kemudian kamar tersebut dijadikan sebagai kuburan.
Imam Ibn Khuzaimah dikenal sebagai orang yang sangat baik, beliau dikenal sebagai orang yang
berani menyampaikan kebenaran, kritik, dan koreksi sekalipun terhadap penguasa, terutama jika berkaitan
dengan penyampaian hadits yang keliru. Ibn Khuzaimah juga dikenal memiliki kecerdasan dan daya hafal
yang luar biasa, beliau juga orang yang sangat dermawan dan suka bersedekah.
Menurut jumhur ulama, Imam Ibn Khuzaimah dalam kriteria penerimaan sebuah hadits mengikuti
madzhab yang dikembangkan ‘Abd al-Rahman ibn al-Mahdi dan Ahmad ibn Hanbal. Madzhab tersebut akan
toleran atau longgar (tasamuh) dalam menilai rijal untuk hadits yang berkaitan dengan ganjaran, siksaan, dan
fadhilah. Sedangkan jika hadits yang berkaitan dengan hukum dan masalah halal haram, mereka ketat
(tasyaddud).
Semangat belajar sudah dimiliki Ibn Khuzaimah sejak kecil, beliau memiliki keinginan
yang sangat besar untuk belajar kepada salah seorang ulama besar hadits bernama Ibn
Qutaybah. Namun, ayahnya melarang dan menyuruh Ibn Khuzaymah untuk mempelajari al-
Qur’an terlebih dahulu. Setelah mengkhatamkan dan mempelajari al-Qur’an, Ibn Khuzaimah
pun memulai perantauannya dengan pergi ke Marwa. Dikota Marwa Ibn Khuzaimah bertemu
dengan Muhammad bin Hisham yang nantinya menjadi perantara pertemuannya dengan Ibn
Qutaybah. Ibn Khuzaimah di usianya yang baru 17 tahun sudah mendatangi beberapa kota yang
beliau jadikan lahan untuk menuntut ilmu, diantaranya Irak, Syam, Mekkah, Madinah, dan
Mesir.
Ibn Khuzaimah banyak belajar kepada para ulama. Guru-Gurunya antara lain yaitu Ishaq
bin Rahawayh, Muhammad bin Humaid, Mahmud bin Ghayalan, Ali bin Hujrin, Ziyad bin
Ayub, Muhammad bin Mihran al-Jammal, Yusuf bin Wadih al-Hashimi, Muhammad bin Bashar,
Muhammad bin Yahya, Nasr bin, Ali, Muhammad bin Abdillah al-Makhrami, ‘Amr bin Ali dan
masih banyak lagi. Ibn Khuzaimah juga sering bertukar posisi pada guru dan murid dengan
ulama hadits lainnya. Murid sekaligus gurunya yang terkenal salah satunya adalah al-Bukhari
dan al-Muslim, kedua ulama ini tersohor pernah mengambil riwayat dari Ibn Khuzaimah, dan
sebaliknya. Beberapa murid Ibn Khuzaimah lainnya yaitu Ibrahim bin Abi Thalib, Muhammad
bin Abdullah bin Abdul Hakam, Abu Hamid bin Al-Sharqi, Abu Ali al-Husain bin Muhammad
al-Naysaburi, Abu Hatim al-Busthi, dan masih banyak lagi.
Abu ‘Abd al-Hakim menyebutkan karya tulis Imam Ibn Khuzaimah mencapai lebih dari 140
buah. Namun yang jelas eksistensinya sampai sekarang hanya dua, yaitu al-Tauhid dan Shahih.
Muhammad Musthafa al-Azhami menyatakan 35 kitab yang pernah disebutkan dalam kitab al-
Tauhid dan Shahih, diantaranya yaitu al Asyribah, al Imamah, al Ahwal, al Iman, al Iman wa al
Nuzur, al Birr wa al Silah, al Buyu’, al Tafsir, al Taubah, al Tawakkal, Zikr Na’im al Jannah, al
Shadaqat min kitabihi al Kabir, al Salat al Kabir, al Shalah, al Shiyam, al Tibb wa al Raqa, al Zihar,
al Fitan, al Qadr, al kabir, al Libas, Ma’ani al-Qur’an, al Manasik, al Washaya, dan al Qira’ah Khalfa
al Iman.
Penilaian para ulama mengenai Imam Ibn Khuzaimah diantaranya yaitu Abu Tahir
Muhammad bin Fadl (cucu Ibn Khuzaimah) mengatakan bahwa kakeknya suka bekerja keras serta
suka memberi uang dan pakaian kepada pencinta ilmu, meskipun sesungguhnya yang dimilikinya itu
sangat terbatas, Al-Hakim mengatakan bahwa Ibn Khuzaimah sering melakukan dakwah secara
besar-besaran di Bustan yang dihadiri oleh banyak orang, baik kaya maupun miskin, Al-Daruqutni,
mengatakan bahwa Ibn Khuzaimah adalah seorang pakar hadits yang sangat terpercaya dan sulit
mencari bandingannya, Ibnu Abi Hatim memberikan komentar bahwa Ibn Khuzaimah adalah orang
yang sangat mumpuni, dan masih banyak lagi.
D. Kitab Shahih Ibn Khuzaimah
Secara umum, banyak sekali model penyusunan kitab yang dikenal dalam ilmu hadits. Sahih Ibn
Khuzaymah, kalau dilihat dari kacamata sistematika penyusunannya tergolong dalam kitab-kitab sunan.
Penyusunan dan isinya adalah hadits-hadits fiqih, namun beliau termasuk salah satu penulis yang
memastikan hadits-hadits yang tercantum dalam kitabnya adalah hadits shahih. Dalam bagian ini,
karakteristik umum yang dimaksud adalah sistematika penyusunan dan metode penulisan hadits yang
digunakan oleh Ibn Khuzaimah, sistematika dan pola penulisan Shahih Ibn Khuzaymah cukup berbeda
dan terlihat lebih sistematis dari beberapa kitab shahih lainnya.
Jumlah keseluruhan hadits yang tercantum dalam Shahih Ibn Khuzaymah adalah 3079 hadits.
Hadits-hadits tersebut tersusun secara sistematis dalam skema penyusunan kitab, tema besar, dan sub
tema. Seluruh haditnya adalah hadits hukum yang hanya membahas persoalan-persoalan ibadah saja.
Sedangkan tema lainnya seperti mu’amalah dan munakahah, tidak menjadi materi pembahasan
didalamnya. Ini salah satu yang menjadi titik perbedaan antara Shahih Ibn Khuzaymah dan Shahih al-
Bukhari. Kitab Shahih Ibn Khuzaymah memakan banyak halaman karena penjelasan fiqhi yang cukup
panjang atas hadits-hadits yang ada.
Kitab Shahih Ibn Khuzaymah tidak mengikuti sistematika penyusunan sebagaimana yang
dilakukan oleh al-Bukhari dan al-Muslim yang menggunakan sistematika non-fiqih, yakni
sistematika penyusunan yang biasanya diawali dengan bab bad’i al-wahyi. Akan tetapi, Ibn
Khuzaimah dalam Shahihnya menggunakan sistematika yang lumrah digunakan dalam kitab
sunan, yaitu sistematika penyusunan yang berdasar pada bab-bab fiqih. Ada 3 langkah klasifikasi
yang digunakan Ibn Khuzaimah dalam sistematika penyusunan pembahasan Shahihnya, yaitu
kitab, jumma al-abwab, dan bab. Metode penulisan yang digunakan dalam Shahih Ibn Khuzaymah
adalah imla’. Hal ini menurut Muhammad Musthafa Azami dapat dilihat dari seringnya Ibn
Khuzaymah menggunakan lafadz “amlaytu” dalam kitab at-Tauhid. Meskipun tidak secara eksplisit
mencantumkan keshahihan hadits dalam kitabnya, tetapi penekanan Ibn Khuzaimah jelas pada
ittishal as-sanad dan al-‘adl, namun hal ini bukan berarti menyampingkan kriteria yang lainnya.
Sejumlah ulama memberikan pendapat dan komentar terhadap kitab Shahih Ibn Khuzaymah,
diantaranya yaitu Ibnu Hibban mengatakan bahwa beliau tidak menjumpai seorang pun di muka
bumi ini yang sangat bagus menyusu kitabnya selain Muhammad bin Ishaq (Ibn Khuzaimah)
karena lafal-lafal haditsnya terpelihara keshahihan dan tambahan-tambahan haditsnya, sehingga
seolah-olah semua hadits ada disana. Ibnu Katsir menilai bahwa Shahih Ibn Khuzaymah lebih baik
dari pada al-Mustadrak karya al-Hakim, mengingat sanad-sanad dan matan-matan haditsnya
ditempatkan secara tepat. As-Suyuthi memberikan komentar bahwa Shahih Ibn Khuzaymah
tingkatannya lebih tinggi dari Shahih Ibn Hibban karena lebih selektif, berhenti pada hadits shahih
dan sedikit membicarakan isna, dan masih banyak lagi komentar dari beberapa ulama lainnya.
SEKIAN
DAN
TERIMA
KASIH