Anda di halaman 1dari 7

TAKHRIJ HADIS TENTANG KEWAJIBAN MENUNTUT

ILMU

DISUSUN OLEH :

HANNIA LUTHFI (0305183167)

DOSEN PENGAMPU : Dr. H. MUHAMMAD ROZALI, MA

UNIVERSITAS NEGERI SUMATERA UTARA MEDAN

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

TAHUN 2018
Pendahuluan

Islam adalah agama yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Ilmu dianggap
sebagai sesuatu yang mulia sehingga Allah SWT meninggikan derajat orang yang
menuntut ilmu. Menuntut ilmu juga merupakan salah satu ibadah yang besar nilainya.
Islam mewajibkan umatnya untuk mencari dan memperkaya dirinya dengan ilmu, hal
ini menunjukkan betapa pentingnya kedudukan ilmu di dalam Islam. Ilmu merupakan
tiang kehidupan, dasar kebangkitan umat, dan sarana mencapai kemajuan baik pada
individu maupun masyarakat.

Namun pada zaman yang serba modern ini, ilmu banyak digunakan untuk hal-
hal yang negatif serta tidak menempatkan ilmu pada tempatnya. Hal ini bisa terjadi
karena ketidakseimbangan antara ilmu agama dan ilmu dunia yang diperoleh, sehingga
banyak beredar pengetahuan yang bisa dikatakan menyimpang dari ajaran agama Islam.
Untuk dapat merealisasikan Islam dibutuhkan ilmu dan mengembangan ilmu juga perlu
diatur oleh agama.

Hadis Tentang Kewajiban Menuntut Ilmu

1. Pengertian Takhrij Hadis


Secara etimologi, takhrij berasal dari kata khuraja yang berarti tampak
dan jelas, yang artinya menampakkan dan memperlihatkan hadis kepada orang
dengan menjelaskan tempat keluarnya. Sementara menurut para ahli hadis,
takhrij artinya menampakkan hadis dengan menyebutkan para perawi isnadnya.

2. Takhrij al-Hadis Tentang Menuntut Ilmu


Hadis ini berdasarkan kitab Sunan Ibnu Majah nomor 220 mengenai
pentingnya menuntut ilmu.
‫ حدثنا كثير بن شنظير عن محمد بن‬. ‫ حدثنا حفص بن سليمان‬. ‫حدثنا هشام بن عمار‬
‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم ( طلب العلم فريضة‬: ‫سيرين عن أنس بن مالك قال‬
) ‫على كل مسلم وواضع العلم عند غير أهله كمقلد الخنازير الجوهر واللؤلؤ والذهب‬

“Hisyam bin Amar menceritakan kepada kami, (dengan berkata) Hafish bin
Sulaiman menceritakan kepada kami. (Ia menyebutkan) Katsir bin Sindzir
meriwayatkan kepada kami. (Ia menyebutkan) dari Muhammad bin Sirin, dari
Anas bin Malik, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda “Menuntut ilmu
hukumnya wajib bagi setiap muslim. Dan orang yang menyerahkan keilmuan
kepada yang bukan ahlinya, seperti orang yang mengalungkan intan, permata,
dan emas di leher babi”.

Dari hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah ini dapat disimpulkan bahwa
menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim, serta tidak untuk memberikan ilmu
kepada orang yang enggan menerimanya, karena orang yang enggan menerima
ilmu tidak akan mau mengamalkan ilmu tersebut dan dikhawatirkan akan
menyalahgunakan ilmu tersebut. Seseorang yang berbicara ilmu kepada orang
yang bukan ahlinya berarti melakukan penganiayaan terhadap ilmu tersebut,
seperti halnya menggantungkan suatu benda yang sangat berharga kepada
binatang yang rendah, seperti babi.

3. I’tibar al-Sanad
I’tibar al-Sanad bertujuan untuk melihat secara keseluruhan jalur sanad
yang diteliti, nama-nama perawi, dan metode periwayatan yang digunakan,
dilihat dari adanya pendukung yang berstatus mutabi’ atau musyahid.
Hadis tentang kewajiban menuntut ilmu yang diriwayatkan oleh Ibnu
Majah ini melibatkan enam orang perawi, yaitu:
a. Anas bin Malik
b. Muhammad bin Sirin
c. Katsir bin Syindzir
d. Hafish bin Sulaiman
e. Hisyam bin Amar
f. Ibnu Majah
Skema sanad hadis:

‫رسول هللا صلى هللا عليه وسله‬

‫أنس بن مالك‬

‫محمد بن سيرين‬

‫كثير بن شنظير‬

‫حفص بن سليمان‬

‫هشام بن عمار‬

‫ابن ماجه‬

Identitas dan Status para perawi (kritik sanad)

1. Anas bin Malik


Nama lengkapnya adalah Anas bin Malik bin Zaid bin al-Nadlar bin
Dlamdlam bin Zaid bin Haram. Ia termasuk seorang sahabat yang banyak
meriwayatkan hadis. Beliau lahir di Makkah dan berdomisili di Basrah,
meninggal pada tahun 92 H. berdasarkan kaidah umum dalam ilmu hadis
bahwa semua sahabat itu adil, maka keadilan dan kedhabitannya dapat
diterima, sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi kredibilktasnya.
Guru beliau antara lain: Nabi Muhammad SAW, Ubay bin Ka’ab, Zaid
bin Arqam, Tsabit bin Qois.
Murid beliau antara lain: Muhammad bin Sirin, Muhammad bin Malik,
Muhammad bin Muslim, dan lain-lain.

2. Muhammad bin Sirin


Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Sirin bin Maula Anas bin
Malik. Beliau salah satu termasuk tabi’in yang menetap dan meninggal di
Basrah pada tahun 110 H.
Guru beliau antara lain: Ibn al-A’la, al Hadlrami, Abu Ubaidah bin
Huzaifah al Yaman, Anas bin Malik.
Murid beliau antar lain: Abu al-‘Amr bin al-A’la bin Ammar, Abu
Ma’an, Katsir bin Syindzir.
Penilaian kritikus hadis terhadapnya seperti yang disampaikan oleh
Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in, Al Ijli, mengatakan bahwa beliau
tsiqah.

3. Katsir bin Sindzir


Nama lengkapnya adalah Katsir bin Sindzir al Maziny. Beliau lahir di
Basrah. Ia termasuk golongan yang tidak pernah bertemu sahabat dan
menempati thabaqat ke-6 dan termasuk tabi’in yang paling muda.
Guru beliau antara lain: Hasan bin Abi Hasan Yasar, ‘Atha’ bin Abi
Rabbah Aslam, Anas bin Sirin, dan Muhammad bin Sirin.
Murid beliau antara lain Said bin Abi Aruwiyah, Hammad bin Zaid, Abd
al Warits bin Said, Aban bin Yazid al Aththar, dan Hafs bin Sulaiman.
Penilaian ulama terhadapnya seperti yang dikatakan ahmad bin Hambal
bahwa beliau shalih al hadits, Ishaq bin Manshur menilainya shalih, Ishaq
bin al Nasa’I menilainya laisa bil qowwiy.

4. Hafsh bin Sulaiman


Nama lengkapnya adalah Hafsh bin Sulaiman al Usdy al Bazaz. Beliau
lahir di Kufah dan wafat pada tahun 180 H. Ia termasuk dalam tingkatan
pertengahan tabi’in (thabaqat 7).
Gurunya antara lain: Sammak bin Harb bin Aus, Katsir bin Zadan dan
Katsir bin Syindzir.
Sedangkan salah satu muridnya adalah Hisyam bin Ammar.
Kualitas periwayatannya dapat dilihat dari penuturan Abdullah bin
ahmad menilainya sholih. Waqi’ bin al Jarrah yang menilainya tsiqoh. Dar
Al Qutni menyatakan dho’if. Ahmad bin Hanbal menyatakan ma bihi ba’s.
Yahya bin Ma’in menyatakan laisa bi tsiqah. Ali bin Madaniy dan Abu
Zur’ah menilai dhaif al hadits.

5. Hisyam bin Ammar


Nama lengkapnya adalah Hisyam bin Ammar bin Nushair bin Maisarah
bin ‘Abban. Beliau lahir di Syam pada tahun 153 H dan wafat di Dujjail
ditahun 245 H. Beliau hidup dimasa tabi’tabiin.
Diantara gurunya adalah Hafsh bin Sulaiman dan diantara muridnya
adalah Abu Daud, Al Nasa’I, Ibnu Majah. Ia termasuk rawi yang dinilai
shuduqun kabir oleh Dar al Qutny. Akan tetapi Ibrahim bin Junaid, al Ijli,
dan Ibnu Hibban menilai tsiqah, Al nasa’I menilai la ba’sa bih.

6. Ibnu Majah
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Yazid Ibn Majah al Rubay’iy
al Qazwaini al Hafidz. Nama Majah adalah laqab ayahnya. Sementara itu, al
Qazwini juga dianggap sebagai nama lain yang dinisbatkan kepada Ibnu
Majah, karena merupakan tempat dimana ia tumbuh dan berkembang.
Sedangkan tempat kelahiran Ibnu Majah tidak ada sumber yang
menjelaskannya. Ia lahir pada tahun 209 H dan wafat dalam usia 74 tahun,
tepatnya pada hari selasa tanggal 22 Ramadhan tahun 273 H.
Guru pertama Ibnu Majah adalah Ali ibn Muhammad al Tanafasy dan
Jubarah al Mughlis. Sejumlah guru yang lain Mus’ab ibn Abdullah al
Zubairi, Abu Bakar ibn Abi Syaibah, Hisyam bin Ammar.
Sedangkan muridnya adalah Muhammad ibn Isa al Abhari, Abu Hasan al
Qattan, Ibn Sibawaih.
Penilaian ulama terhadap Ibnu Majah adalah dalam tingkatan yang baik
dan tinggi. Seperti penilaian al Mizzy bahwa beliau sosok orang yang alim,
seorang pengarang kitab yang bermanfaat dan memiliki pengalaman yang
luas. Abu Ya’la al Khalili menilai bahwa ibn Majah dapat dipercaya, dapat
dijadikan hujjah, banyak mengetahui hadits dan menghafalnya, dan banyak
melakukan perjalanan ilmiah keberbagai kota untuk menulis hadis. Ibnu
Majah adalah pengumpul hadis yang tertuang dalam kitab sunan Ibnu Majah
yang masih ada hingga saat ini, walaupun karya tersebut tergolong sedikit
dibanding ulama yang tergolong pengumpul hadis dalam jajaran
kutubuttis’ah.

Setelah dilakukan penelusuran sanad, dalam hadis yang diriwayatkan


oleh Ibnu Majah ini terdapat penilaian negatif terhadap salah satu periwayat,
yaitu Hafsh bin Sulaiman. Beliau dinilai dho’if oleh ulama kritikus hadis
sehingga hadis tersebut mencapai derajat dho’if.

Penutup

Hadis tentang kewajiban menuntut ilmu yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah ini
digolongkan hadis dho’if karena terdapat satu perawi yang dinilai dho’if pada
sanadnya. Namun tidak menutup kemungkinan hadis ini bisa naik derajatnya menjadi
hadis hasan apabila dilihat dari jalur sanad lainnya ataupun dari segi matan.

Menuntut ilmu itu sendiri diwajibkan dalam Islam. Hadis tentang menuntut ilmu
bukan hanya sekedar perintah wajib menuntut ilmu saja, melainkan juga
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, hendaknya kita
mengambil nilai dari ilmu yang kita miliki dan memahami tujuan dari pendidikan
karena pada dasarnya pendidikan itu untuk memanusiakan manusia dan menjadikan
kehidupan lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai