sehingga fokus pengembangan organisasi dan konten kurikulum berbeda pula. Dalam hal ini
syaodih (2000) mengemukakan dua pendekatan pengembangan kurikulum. Sementara
Beane,dkk.
(1986)
mengelompokkan
kedalam
empat
kelompok
pendekatan
dalam
pengembangan kurikulum. Eiasner dan Vallance (1974) telah mengidentifikasi minimal ada
enam orientasi/pendekatan pengembangan kurikulum. Begitupula dalam pengembangan
kurikulumter(1992) dalam bukunya berjudul Develoving the Curriculum mengemukakan
berbagai model pengembangan kurikulum. seperti uraian berikut ini.
B. Pendekatan Pengembangan Kurikulum
Pendekatan pengembangan kurikulum adalah cara-cara yang dapat ditempuh atau dilakukan
dalam mengembangkan kurikulum. Terkait dengan pendekatan pendekatan kurikulum adalah
cara kerja dengan menerapkan strategi dan metode yang tepat dengan mengikuti langkahlangkah pengembangan yang sistematis untuk menghasilkan kurikulum yang sesuai dengan yang
diharapkan.
Sejarah pengembangan kurikulum telah berkembang dalam bentuk pendekatan yang berbeda.
Hal ini terjadi karena perbedaan pandangan terhadap tujuan yang hendak dicapai sehingga
tekanan atau fokus pengembangan organisasi dan konten kurikulum berbeda pula. Sebagaimana
Syaodih (2000) mengemukakan dua pendapat pengembangan kurikulum, yaitu (1) pendekatan
pengembangan kurikulum berdasarkan sistem pengelolaan, dan (2) pendekatan pengembangan
kurikulum berdasarkan fokus sasaran.
1. Pendekatan pengembangan kurikulum berdasarkan sistem pengelolaan
Dilihat dari pengelolaannya pengembangan dan pelaksanaan kurikulumdibedakan antara
sistem pengelolaan yang terpusat (sentralisasi), dan tersebar (desentralisasi). Kurikulum
pendidikan dasar dan menengah tahun 1968 dan 1975 bersfat sentralisasi. Hanya ada satu macam
kurikulum untuk satu jenis pendidikan di seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat nasional,
seragam, dikembangkan oleh tim pusat, guru-guru tetap mempunyai peranan sebagai
pengembang kurikulum, dalam penjabarannya menjadi rencana tahunan, caturwulan dan satuan
pelajaran tiap pelajaran.
Dalam kurikulum 1984 dan 1994 telah ada muatan lokal sebesar 20%, tetapi karena
sistemnya masih terpusat, model kurikulumnya seragam, dan muatan daerahnya juga masih
sangat kecil, maka kurikulum ini masih bersifat sentralisasi. Dengan adanya kebijakan otonomi
daerah, kemungkinan muatan daerah atau lokalnya akan lebih besar, modelnya lebih beragam
dan sistemnya tidak terpusat lagi, sehinggapengelolaannya menjadi terdesentralisasi. Idealnya
perimbangan muatan nasional dengan daerah antara 30%-40% nasional dan 60%-70% daerah.
Dengan bobot muatan / lokal yang lebih besar berarti pengembangan kurikulum lebih banyak
dilakukan oleh tim pengembang kurikulum yang terdiri atas para ahli kurikulum dan guru-guru
di daerah. Isi kurikulum juga akan lebih banyak diwarnai oleh kekayaan, perkembangan dan
kebutuhan daerah. Model kurikulumnya juga kan lebih beragam sesuai dengan tujuan, funsi dan
isi program pendidikan. Pengembangan kurikulum menjadi lebih berbasis daerah atau
kewilayahan. Kurikulum demikian ada yang menyebutnya society atau community based
curriculum, adapula yang menyebutnya school based curriculum.
2. Pendekatan pengembangan kurikulum berdasarkan fokus sasaran
Berdasarkan fokus sasaran yang ingin dicapai, pengembangan kurikulum dibedakan antara
pendekatan
pada upaya-upaya
aspek-aspek
akhirnya dapat menghasilkan peserta didik yang memiliki kepribadian yang integreted,
yakni individu-individu yang sesuai dan selaras hidupnya dengan lingkungannya atau
mampu hidup dan harmoni dengan lingkungannya.
d. Pendekatan pemecahan masalah kemasyarakatan, pendekatan pengembangan kurikulum
ini pada dasarnya lebih mengarahkan pada upaya-upaya agar peserta didik kelak mampu
menjadi anggota masyarakat yang lebih baik. Pengembangan kurikulumnya menekankan
pada pengembangan kemampuan memecahkan masalah-masalah penting dan mendesak
yang ada di masyarakat, baik masyarakat sekitar maupun lokal, nasional maupun
masyarakat global. Pendekatan pengembangan kurikulum ini banyak digunakan dalam
pendidikan luar sekolah.
e. Pendekatan kemampuan standar, pendekatan pengembangan kurikulum ini lebih
menekankan pada penguasaan kemampuan potensi yang dimiliki peserta didik sesuai
dengan tahap-tahap perkembangannya. Pendekatan kemampuan standar, merupakan
pendekatan pengembangan kurikulum yang memfokuskan pada penguasaan kemampuan
(terutama kemampuan-kemampuan potensial) berdasarkan tahap-tahap perkembangan
peserta didik. Maksudnya bahwa pengembangan kurikulum lebih menekankan pada
upaya menumbuhkembangkan potensi yang da pada peserta didik sesuai dengan tahaptahap perkembangan peserta didik. Seluruh perkembangan anak perkembangan fisik,
emosional, sosial, bahasa dan intelektual. Seperti tahap perkembangan kognitif dan
intelektual individu menurut Jean Piaget, bahwa perkembangan kognitif individu meliputi
tahap senso-motorik
sosial atau isu-isu sosial, dan materi pelajaran merupakan gambaran dari berbagai sumber
yang berkaitan dengan, masalah itu sendiri. Jika topik dari yunit Masa Depan peserta
didik mungkin kembali pada kajian sosial untuk informasi tentang pemerintahan atau
populasi pertumbuhan, pada kajian sosial untuk informasi tentang pemerintahan atau
populasi pertumbuhan, pada ilmu pengetahuan yang tren dalam inlmu teknoligi atau pada
seni berbahasa dengan ide mengenai komukasi. Tujuan utama mengguunakan pendekatan
ini adalah membantu peserta didik mengembangkan kesadaran krusial mengenai isu-isu
sosial dan keterampilan yang mungkin mereka gunakan dimasa depan untuk membantu
memecahkan masalahnya. Pendekatan ini secara khusus populer diantara penganjur
filosofis rekonstruktionist.
d. Emerging-Needs Approach
Cara yang ke empat dalam mengorganisir perencanaan kurikulum fokusnya pada
kebutuhan personal dan sosial yang muncul npada kehidupan peserta didik pada saat
sekarang ini. Sebagai contoh, unit pembelajaran mungkin difokuskan pada kajian yang
berkaitan dengan pemahaman perubahan phisik dihubungkan dengan pubertas,
pengembangan nilai-nilai probadi, dan pemahaman statusnya dalam kelompok. Dalam
kasus ini isu-isu yang dipelajari sungguh-sungguh berhubungan dengan tahap
perkembangan peserta didik. Sebagaimana dalam pendekatan social-problem, informasi
mungkin digambarkan dari berbagai area mata pelajaran, tetapi tidak ada usaha untuk
mengenali perbedaan antar disiplin ilmu. Tujuan utama pendekatan ini adalah untuk
membantu peserta didik mengatasi isu yang hadir di dalam kehidupannya juga
mempersiapkan mereka agar siap untuk menghadapinya masa kini dan masa depan.
Sementara topik atau isu-isu untuk kajiannya mungkin dipersiapkan oleh guru, mungkin
secara spontanitas muncul dari diskusi antara guru dan peserta didik tentang masalahmasalah yang mendesak dalam kehidupan peserta didik. Sesungguhnya pendekataan ini
mendapat dukungan dari filosofis existensial dan pragmatic.
Sejalan dengan pendekatan perkembangan kurikulum, sebagaimana telah diungkapkan di
atas
Eisner
dan
Vallance
(1974)
telah
mengidentifikasikan
minimal
ada
enam
karena itu, isu yang sesungguhnya dalam mempertimbangkan pendekatan kurikulum tidak
berarti yang satu lebih baik, tetapi bagaimana semuanya itu dapat digunakan di sekolah. Dengan
menunjukan isu dalam cara ini, para pendidik akan dihadapkan pada pertanyaan bagaimana
memberikan keseimbangan dalam pengembangan kurikulum.
C. Model-Model Pengembangan Kurikulum
Model pengembangan kurikulum dapat diartikan sebagai suatu cara dalam menunjukan
hubungan antara komponen-komponen utama kurikulum. Komponen utama kurikulum yang
dimaksudkan adalah tujuan, isi, proses dan evaluasi. Dalam mengembangkan kurikulum terdapat
berbagai model yang dikemukakan oleh para ahli kurikulum atau pendidikan, seperti Oliva
(1992) dalam bukunya yang berjudul Develoving the Curriculum mengemukakan beberapa
model perkembangan kurikulum, seperti model Taba, model Saylor, Alexander, dan Lewis,
model Tyler, dan model Aliva. Sementara Miller and Seller (1985) dalam bukunya yang berjudul
Curriculum Perspectives and Pratice mengemukakan beberapa model pengembangan kurikulum,
seperti model Gagne, model Tyler, model Taba, model Robinson, model Weishtein dan Fantini,
serta model Miller Seller. Sedangkan Robert S. Zais (1976) dalam bukunya yang berjudul
Curriculum Principls and Foundations mengemukakan delapan model pengembangan kurikulum.
Dari sekian banyak model pengembangan kurikulum, pada umumnya diberi nama sesuai
dengan nama pembuat model itu sendiri. Disamping itu, terdapat pula pemberian nama model
yang lebih mengacu pada prosedur pengembangan kurikulum itu sendiri.
Di bawah ini dikemukakan beberapa model pengembangan kurikulum, diantaranya adalah
sebagai berikut.
1. Model Tyler
Model Tyler menekankan pada bagaimana merancang suatu kurikulum disesuaikan
dengan tujuan dan misi suatu institusi pendidikan. Menurut Tyle ada empat
pertanyaanyang dianggap fundamental untuk mengembangkan kurikulum. Pertama,
tujuan pendidikan apa yang ingin dicapai? Kedua, pengalaman pendidikan apa yang
dapat diberikan yang memungkinkan dapat untuk tercapai tujuan? Ketiga, bagaimana
pengalaman pendidikan dapat diorganisir secara efektif? Keempat, bagaimana
menetapkan atau mengetahui bahwa tujuan telah dicapai? Secara rinci keempat
pertanyaan tersebut, dikemukakan berikut ini.
a. Tujuan pendidikan apa yang ingin dicapai ?
pengembang
kurikulum
dalam
merumuskan
tujuan
pendidikan,
adalah
mengumpulkan dan menganalisis data yang relevan berkaitan dengan kebutuhan dan
minat peserta didik. Hal ini dapat dilakukan melalui observasi, wawancara, tes, dan
mengajukan pertanyaan. Masyarakat sebagai sumber
pendidikan. Pada langkah kedua ini adalah mengadaka kajian terhadap kehidupan
masyarakat saat kini baik kehidupan masyarakat local, nacional, maupun global atau
kehidupan masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini, para pengembang kurikulum dapat
mengklasifikasikan kehidupan masyarakat dalam berbagai kategori, seperti dilihat dari
kehidupan beragama, pekerjaan, kesehatan, keluarga, rekreasi, tingkat konsumtif, dan
peran kewarganegaraan. Dari kajian terhadap kebutuhan masyarakat tersebut selanjutnya
dibuat daftar tujuan yang relevan untuk setiap area kebutuhan masyarakattersebut. Mata
pelajaran sebagai sumber untuk merumuskan tujuan pendidikan. Pada langkah ketiga
dalam hal ini, para pengembang kurikulum memperluas daftar tujuan pendidikan dengan
menilai berbagai mata pelajaran yang akan diajarkan dan kemudian membuat daftar
tujuan yang diperoleh dari isi dan keterampilan yang berhubungan dengan mata pelajaran
tersebut. Setelah para pengembang kurikulum menyusun daftar tujuan pendidikan yang
berasal dari tiga sumber tersebut, langkah selanjutnya adalah menyaring tujuan tersebut
yang dianggap paling penting dikaitkan dengan faktor filosofis dan psikologis.
b. Pengalaman pendidikan apa yang memungkinkan dapat mencapai tujuan ?
Setelah tujuan ditetapkan, langkah selanjutnya adalah menentukan pengalaman belajar
yang dibutuhkan peserta didik untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tyler
mendefinisikan pengalaman belajar sebagai interaction between the learner and the
external conditions in the environment to which he can react. Pengalaman belajar
(learning experience)
Pengalaman belajar mengacu pada aktivitas peserta didik di dalam proses pembelajaran.
Ada beberapa prinsip dalam menentukan pengalaman belajar peserta didik pertama,
pengalaman belajar peserta didik harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Kedua,
setiap pengalaman belajar harus memuaskan peserta didik. Ketiga, setiap rancangan
pengalaman belajar dapat mencapai beberapa tujuan yang berbeda.
c. Bagaimana pengalaman pendidikan dapat diorganisir secara efektif ?
Mengorganisasikan pengalaman belajar peserta didik pada umumnya dapat dalam bentuk
unit mata pelajaran ataupun dalam bentuk program. Ada dua jenis pengorganisasian
pengalaman belajar, yaitu pengorganisasian secara vertikal dan horizontal. Secara vertikal
apabila menghubungkanpengalaman belajar dalam satu kajian yang sama dalam
tingkat/kelas yang berbeda. Secara horizontal jika menghubungkan pengalaman belajar
dalam tingkat/kelas yang sama ada kriteria dalam mengorganisasi pengalaman belajar ini
yaitu : berkesinambungan, urutan, isi, dan integrasi. Prinsip pertama, artinya pengalaman
belajar yang diberikan harus memiliki kesinambungan dan diperlukan untuk
mengembangkan pengalaman belajar selanjutnya. Prinsip kedua, erat hubungan dengan
kontunuitas, perbedaan dengan prinsip kedua terletak pada tingkat kesulitan dan keluasan
bahasan, artinya setiap pengalaman belajar yang diberikan kepada peserta didik harus
memperhatikan tingkat perkembangan peserta didik. Prinsip ketiga, menghendaki bahwa
suatu pengalaman yang diberikan pada peserta didik harus memiliki fungsi dan
bermanfaat untuk memperoleh pengalaman belajar dalam bidang lain.
d. Bagaimana menetapkan atau mengetahui bahwa tujuan telah dicapai ?
Evaluasi memegang peranan yang sangat penting dalam pengembangan kurikulum,
karena dengan evaluasi dapat ditentukan kurikulum yang digunakan sudah sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai oleh sekolah atau sebaliknya. Ada dua aspek yang perlu
diperhatikan dalam pengembangan evaluasi. Pertama, harus menilai ketercapaian
perubahan tingkah laku peserta didik sesuai dengan tujuan pendidikan. Kedua, evaluasi
sebaiknya menggunakan lebih dari satu alat penilaian dalam suatu waktu tertentu.
Evaluasi pengembangan kurikulum memiliki dua fungsi yaitu, sumatif dan formatif.
Fungsi sumatif berkaitan dengan pengumpulan data tentang ketercapaian tujuan oleh
peserta didik. Fungsi formatif berkaitan dengan pelaksanaan evaluasi untuk melihat
efektivitas proses pembelajaran. Untuk lebih jelasnya, pengembangan kurikulum model
Tyler ini, dapat dilihat pada gambar berikut ini.
2. Model Taba
Model Hilda Taba (1962) lebih menitikberatkan pada bagaimana mengembangkan
kurikulum sebagai suatu proses perbaikan dan penyempurnaan kurikulum. Hilda Taba
menganjurkan gagasan perlunya pendekatan induktif untuk mengembangkan kurikulum.
Guru harus mampu mengembangkan kurikulum sendiri. Dengan kata lain, kurikulum
tidak perlu datang dari atas karena proses pengembangan kurikulum sebagai urutan logis
dari sejumlah langkah yang disebutnya sebagai langkah inquiri dan perencanaan
kurikulum. Taba (Oliva,1992) mengembangkan lima tahap urutan dalam memenuhi
perubahan kurikulum. Kelima tahap yang dimaksud adalah sebagai berikut.
a. Menghasilkan unit-unit percobaan (pilot unit) melalui langkah-langkah berikut.
1) Diagnosis kebutuhan ; pengembangan kurikulum dimulai dengan menentukan kebutuhan
peserta didik, hal ini berkaitan dengan untuk siapa kurikulum dirancang. Taba
mengarahkan para pengembang kurikulum untuk mendiagnose gap defisiensi dan variasi
latar belakang peserta didik.
2) Merumuskan tujuan khusus; setelah mendiagnose kebutuhan peserta didik, langkah
selanjutnya merencanakan tujuan khusus yang ingin dicapai.
3) Memilih isi pelajaran; mata pelajaran atau topik yang menjadi kajian bersumber langsung
dari tujuan yang ingin dicapai. Taba menganjurkan bahwa yang harus dipertimbangkan
dalam pemilihan isi ini tidak hanya sasaran hasil, tetapi juga arti dan kebenaran, tentang
isi yang dipilih.
4) Mengorganisasi isi pelajaran; setelah pemilihan isi tugas selanjutnya memutuskan pada
tingkatan apa dan didalam urutan apa pokok materi akan ditempatkan. Kedewasaan
peserta didik, kesiap-siagaan mereka untuk menghadapi perihal pokok materi, dan
tingkatan prestasi akademis mereka adalah merupakan faktor untuk dipertimbangkan
didalam penempatan isi yang sesuai.
5) Mengorganisasi pengalaman belajar; metodologi atau strategi dimana peserta didik
dilibatkan dengan konten harus dipilih oleh pengembang kurikulum. internalisasi konten
dan aktivitas belajar peserta didik dipilih oleh guru sebagai pengembang kurikulum
dilapangan.
6) Mengorganisasi pengalaman belajar; guru menetapkan bagaimana mengemas aktivitas
belajar dan dalam urutan serta kombinasi yang akan digunakan. Pada langkah ini guru
menyesuaikan strategi bagi para peserta didik tertentu yang merupakan tanggung
jawabnya.
7) Menetapkan apa yang dievaluasi dan alat apa yang akan digunakannya; dalam hal ini
guru harus memutuskan tujuan apa yang telah terpenuhi. Guru harus memilih dari
berbagai tehnik yang paling sesuai untuk menaksir prestasi para peserta didik dan untuk
mentukan apakah tujuan dari kurikulum telah dicapai.
8) Menguji urutan dan keseimbangan isi kurikulum; Taba menasihati para pengembang
kurikulum untuk mencari konsistensi diantara berbagai komponen dari keseluruhan
pembelajaaran,
dan bentuk
ungkapan.
b. Menguji coba unit eksperimen untuk memperoleh data dalam rangka menentukan
validasi dan kelayakan penggunaannya. Maksudnya, apa yang telah direncanakan
langkah selanjutnya adalah melakukan uji coba dalam konteks pembelajaran, yang
kemudian selama proses uji coba tersebut di obsevasi dan di evaluasi sehingga ditemukan
aspek-aspek yang masih harus dikembangkan atau diperbaiki.
c. Merevisi dan mensosialisasikan unit-unit eksperimen berdasarkan data yang diperoleh
dalam uji coba. Maksudnya, apabila terdapat aspek yang masih belum sesuai dengan
harapan pada tahap uji coba, maka langkah selanjutnya adalah melakukan revisi atau
perbaikan, dan hasil revisi ini menjadi bahan untuk sosialisasi terhadap yang
berkepentingan terutama pada para pengembang kurikulum.
d. Mengembangkan keseluruhan kerangka kurikulum. Sejalan dengan hasil revisi maka
langkah selanjutnya melakukan uji validasi sehingga pada akhirnya menghasilkan bentuk
final dalam keseluruhan kerangka kurikulum baik tujuan, isi, proses maupun evaluasi.
e. Implementasi dan diseminasi kurikulum yang telah teruji. Pada tahap ini, model final
kurikulum yang telah melalui proses uji validasi ini disesiminasikan atau disebarluaskan
kepada khalayak terutama kepada para pengembangan kurikulum atau kepada pihakpihak terkait.
3. Model Olivia
Menurut Olivia suatu model kurikulum harus bersifat sederhana, komprehensif dan
sistematik. Langkah yang dikembangkan dalam kurikulum model ini terdiri atas 12
komponen yang satu sama lain saling berkaitan. Kedua belas langkah yang dimaksud
adalah sebagai berikut.
a. Menetapkan dasar filsafat yang digunakan dan pandangan tentang hakikat belajar dengan
mempertimbangkan hasil analisis kebutuhan umum peserta didik dan kebutuhan umum
masyarakat.
b. Menganalisis kebutuhan masyarakat tempat sekolah itu berada, kebutuhan khusus peserta
didik dan urgensi dari disiplin ilmu yang harus diajarkan.
c. Merumuskan tujuan kurikulum yang didasarkan kepada kebutuhan seperti yang
tercantum pada langkah sebelumnya.
d. Merumuskan tujuan khusus kurikulum yang merupakan penjabaran daru tujuan umum
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
kurikulum.
Mengorganisasikan rancangan implementasi kurikulum.
Menjabarkan kurikulum dalam bentuk perumusan, tujuan umum pembelajaran.
Merumuskan tujuan khusus pembelajaran.
Menciptakan dan menyeleksi strategi pembelajaran yang memungkinkan dapat mencapai
tujuan pembelajaran.
Menyeleksi dan menyempurnakan tekhnik penilaian yang akan digunakan.
Mengimplementasikan strategi pembelajaran.
Mengevaluasi pembelajaran.
Mengevaluasi kurikulum
Menurut Olivia, model yang dikembangkan ini dapat digunakan dalam tiga dimensi.
Pertama dapat digunakan dalam penyempurnaan kurikulum sekolah dalam bidang-bidang
khusus. Kedua, untuk membuat keputusan dalam merancang suatu program kurikulum.
Ketiga, untuk mengembangkan program pembelajaran secara lebih khusus.
4. Model Miller-Seller
Dalam model kurikulum yang dikembangkan Miller-Seller, didalamya terdapat lima
komponen, yakni: orientasi, tujuan, model-model pengajaran, penerapan, dan evaluasi.
Kelima komponen kurikulum tersebut dapat digambarkan seperti berikut ini.
Model Pengembangan Miller-Seller
Maksud dari kelima langkah pengembangan kurikulum model ini adalah sebagai berikut:
a. Orientasi, ini mencerminkan suatu pandangan filsafat, psikologis, dan teori belajar, serta
pandangan tentang masyarakat.
b. Tujuan, mengklasifikasikan tujuan kurikulum, yakni: tujuan umum (aims), tujuan
pengembangan (goals), dan tujuan pembelajaran (objective).
c. Model-model pengajaran, ini berkaitan dengan pengalaman belajar. Pada tahap ini,
pengembangan kurikulum harus mengindentifikasikan pengalaman belajar dan strategi
mengajar. Model pengajaran yang dipilih juga harus mengikuti posisi kurikulum. Dalam
6. Model Robinson
Model pengembangan kurikulum ini terkait dengan model inkuri dan pemecahan
masalah, sebagaimana dikemukakan Robinson dkk. Bahwa rancangan kurikulumnya
ditekankan untuk menjamin bahwa program inkuiri dapat dengan mudah dipadukan pada
kurikulum sekolah. Pendekatan ini dimulai dengan tugas-tugas spesifik, yang dikenal
a.
b.
c.
d.
e.
dengan tugas permukaan (surface tasks). Tugas tersebut adalah sebagai berikut:
Mengembangkan pernyataan tujuan umum;
Mengembangkan perangkat tujuan yang dapat dipertahankan;
Mengembangkan deskripsi pertumbuhan;
Mengembangkan tujuan khusus pembelajaran;
Mengurutkan tujuan;
kemudian
memutuskan
pelaksanaanya.
Setelah
mendapatkan
beberapa
Langkah ketiga, pengembangan pengalaman kelompok yang intensif untik kegiatan satu
kelas atau unit pelajaran. Selama lima hari penuh peserta didik ikut serta dalam kegiatan
kelompok, denagn fasilitator para guru atau administrator atau fasilitator dari luar.
Langkah keempat, partisipasi orangtua dalam kegiatan kelompok. Kegiatan ini dapat
dikoodinasikan oleh komite sekolah masing-masing. Atau mungkin ada pengalaman
kegiatan kelompok yang bersifat campuran, kegiatan tersebut merupakan kulminasi dari
semua kegiatan diatas. Metode yang diutamakan Roger adalah sensitivity training,
encounter group, dan training Group (T Group), karena yang lebih penting adalah
aktivitas dan interaksi tidak mementingkan formalitas, rancangan tertulis, data, dan
sebagainya.
11. Model Action-Research yang Sistematis
Model kurikulum ini didasarkan pada asumsi bahwa pengembangan kurikulum
merupakan perubahan sosial. Hal ini mencakup suatu proses yang melibatkan
kepribadian orangtua, peserta didik, guru, struktur sistem sekolah, pola hubungan pribadi
dan kelompok dari sekolah dan masyarakat. Sesuai dengan asumsi tersebut model ini
menekankan pada tiga hal itu: hubungan insani, sekolah dan organisasi masyarakat, serta
wibawa dari pengetahuan profesional. Menurut model ini, para pengembang kurikulum
harus memasukan pandangan dan harapan-harapan masyarakat, dan salah satu cara untuk
mencapai hal itu adalah dengan prosedur action research. Langkah pertama, mengadakan
kajian secara seksama tentang masalah-masalah kurikulum, berupa pengumpulan data
yang bersifat menyeluruh, dan mengidentifikasi fakror-faktor, kekuatan dan kondisi yang
mempengaruhi masalah tersebut. Langkah kedua, implementasi dari keputusan yang
diambil dalam tindakan pertama. Tindakan ini segera diikuti oleh kegiatan pengumpulan
data dan fakta-fakta. Pengumpulan data ini mempunyai beberapa fungsi: (1) menyiapkan
data bagi evalusi tindakan, (2) sebagi bahan pemahaman tentang maslah yang dihadapi,
(3) sebagai bahan umtuk menilai kembali dan mengadakan modifikasi, (4) sebagi bahan
untuk menentukan tindakan yang lebih lanjut.
12. Model Teknologis
Perkembangan bidang teknologi dan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai efisiensidan
efektivitas dalam bisnis, juga mempengaruhi perkembangan model-model kurikulum.
Tumbuh kecenderungan- kecenderungan baru yang berdasarkan atas hal itu, di antaranya
sebagai berikut.
a. The Behavioral Analysis Model, menekankan penguasaan perilaku atau kemampuan.
Suatu perilaku/kemampuan yang kompleks diuraikan menjadi perilaku-perilaku
b.
c.
Pengembangan kurikulum berbasis sekolah, pada tahap pertama perlu melakukan analisis
situasi sekolah dengan mempertimbangkan beberapa hal di antaranya (a) struktur pendukung:
ketentuan administratif di dalam pelaksanaannya baik di dalam maupun diluar sekolah; (b)
sturktur
pengambilan
keputusan:
ketentuan
administratif
di
dalam
sekolah
untuk
mengoptimalkan partisipasi staf; (c) pergerakan akuntabilitas: dampak dari kurikulum untuk
semakin meningkatkan akuntabilitas sekolah; (d) perubahan persepsi atas peran guru,
kemampuan para staf di dalam menyesuaikan peran barunya sebagai pengembang kurikulum
daripada hanya sekedar pelaksana kurikulum; (e) sistem promosi, melalui transfer dan promosi,
dan (f) seorang ahli yang memiliki pengalaman dan pengetahuan di dalam pengembangan
kurikulum.
Dalam mengembangkan kurikulum berbasis sekolah, salah satu tahapannya adalah
melakukan analisis situasi. Ada beberapa faktor utama yang akan terlibat di dalam analisis
situasi. Analisis situasi ini dilakukan sebagai tahap awal pengembangan kurikulum, dan dapat
berlangsung selama pengembangan kurikulum. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam
melakukan analisis situasi terbagi menjadi faktor eksternal yang memperngaruhi sekolah dan
faktor internal yang berada di dalam sekolah itu sendiri.
a. Analisis faktor eksternal
1) Ekspektasi perubahan budaya dan sosial: perubahan sosial nasional budaya dan sosial,
termasuk didalamnya perubahan harapan para orang tua atas keberhasilan peserta didik;
2) Kebijakan sistem pendidikan; berkaitan dengan peraturan yang akan berdampak pada
penerapan pengembangan kurikulum berbasis sekolah serta pengaruhnya pada pengujian
dan penelitian;
3) Perubahan mata materi pelajaran: perubahan isi dan metode sebagai pengaruh dari sosial
budaya atau perubahan pendidikan;
4) Sistem penunjang kontribusi guru yang potensial: ketersediaan dukungan baik secara
institusi maupun secara individual.
5) Sumberdaya: aliran sumberdaya yang masuk sekolah.
b. Analisis faktor internal
1) Peserta didik: karakteristik, kemampuan dan tahap perkembangan peserta didik;
2) Guru: kekuatan dan keterbatasan guru, minat, harapan, perilaku guru, gaya mengajar,
penilaian diri dan perannya di dalam pengembangan kurikulum;
3) Etos sekolah: suasana dan klimat sekolah, yang secara fungsional didukung oleh kepala
sekolah;
4) Sumberdaya material: sarana prasarana, peralatan dan fasilitas, kebijakan yang
berhubungan dengan hal itu;
5) Penerimaan dan pemecahan masalah: ketidakpuasan terhadap kurikulum yang sudah ada.
Sekolah merupakan organisasi yang kompleks, bahkan mungkin saja pada situasi yang sama,
penilaian yang terjadi dapat berbeda-beda. Kenyataan ini merupakan justifikasi bagi analisis
situasi ketika pengembangan kurikulum dilakukan. Di dalam pengembangan kurikulum,
pengetahuan dan kesadaran ini tidak hanya pada saat sebelum dilakukannya penengembangan
kurikulum, tapi juga selama proses pengembangan kurikulum. Pertanyaan-pertanyaan berkenaan
dengan dasar-dasar belajar, dasar-dasar sosial, metode mengajar, keluaran yang diinginkan, dan
dasar-dasar pebelajar harusnya terjawab pada setiap tahapan pengembanngan kurikulum.
Proses pengembangan kurikulum melibatkan para guru di dalam memutuskan pandangan
atas pengetahuan secara filosofi, interpretasi alamiah masyarakat, dan pemilihan pengaruh
kurikulum berdasarkan prinsip psikologis yang relevan. Filosofi menekankan pada pemaknaan
dari konsep yang biasanya menjawab pertanyaan apa artinya? atau bagaimana kita tahu?.
Filosofi berperan di dalam perencanaan kurikulum melalui analisis alamiah pengetahuan
(epistimologi), nilai dari pengetahuan (ethics) dan alamiah dari kualitas mental (filsafat pikiran).
Secara spesifik, kontribusi ketiga hal tersebut sangatlah luas termasuk didalam penetapan tujuan,
penetapan prioritas objektif, penjelasan kegiatan kurikulum, pengirganisasian kurikulum, dan
pendefinisian good life serta fungsi sekolah untuk mencapai good life tersebut.
Psikologi menjelaskan dan memperkirakan perilaku manusia, dan berkontribusi di dalam
perencanaan kurikulum bagi para guru dalam hal alamiah belajar para peserta didik,
pengkondisian belajar dan nilai metode mengajar serta efektivitas belajar mengajar.
Sosiologi menjelaskan analisis pengorganisasian hubungan antar manusia, dan memberikan
kontribusi dalam perencanaan kurikulum dalam hal memprediksikan pertunbuhan sosial, dengan
menyediakan informasi berkaitan dengan latar belakang sosial peserta didik, evaluasi yang
realistik atas peran guru dan sekolah di dalam suatu perubahan sosial, dan meningkatkan
fleksibilitas guru, toleransi dan kesadaran atas metode mendapatkan pengetahuan. Pertimbangan
sistematik atas kontribusi filsafat, psikologi, dan sosiologi seharusnya dapat semakin
menjelaskan apa yang perlu dilakukan dalam meningkatkan kualitas pengembangan kurikulum.
Terkait dengan hasil analisis konteks dan landasan pendidikan yang harus menjadi perhatian
guru dalam pengembangan kurikulum, Laurie Brady (1978) memberikan gambaran proses
pengembangan kurikulum yang memperkenalkan dua model pengembangan kurikulum, yaitu
model objektif dan model interaksi. Dalam memberikan gambaran tentang proses pengembangan
kurikulum, Laurie Badry memberikan pemahaman bahwa model pengembangan kurikulum
dapat diartikan sebagai suatu cara di dalam menunjukkan hubungan antara komponen-komponen
utama kurikulum. Komponen-komponen utama kurikulum yang dimaksudkan adalah tujuan, isi,
metode dan evaluasi. Berikut ini dikemukakan kedua model proses pengembangan kurikulum.
1) Model Objektif
Model objektif pengembangan kurikulum mengacu pada suatu metode dimana
pengembang kurikulumnya meliputi tahapan berikut: (a) mulai dengan merumuskan
tujuan kurikulum; (b) berdasarkan poada tujuan yang sudah dirumuskan, memilih isi
kurikulum dan penyampaiannya, serta (c) mengikuti tahapan sesuai dengan komponenkomponen kurikulum sebagai suatu urutan.
2) Model Interaktif
Model interaktif pengembangan kurikulum mengacu pada suatu metode dimana
pengembang kurikulumnya meliputi tahapan: (a) mulai dari komponen kurikulum mana
saja; (b) mengikuti tahapan apa saja dari komponen kurikulum tersebut; (c)
menginterpretasi komponen kurikulum sebagai interaktif dan progress yang dapat
dimodifikasi; (d) dimungkinkan urutan perencanaan kurikulum berubah agar saling
keterkaitan; (e) bereaksi terhadap situasi belajar untuk membatasi urutan yang perlu
diikuti.
Model objektif dan model interaksi mewakili dua pendekatan utama di dalam perencanaan
kurikulum yang mana masih dapat dilengkapi lebih lanjut. Pada implementasinya, tidak ada
satupun model pengembangan kurikulum yang menjadi satu-satunya model tetapi perlu
disesuaikan dengan situasi dan kondisi dari masing-masing sekolahnya. Hal penting dari suatu
model pengembangan kurikulum adalah seberapa tinggi tingkat efektivitas dan konsistensi dari
setiap komponen kurikulum yang merupakan dasar pengembangan kurikulum yang dilakukan
tersebut. Oleh sebab itu batasan pendayagunaan keempat komponen kurikulum di dalam