Anda di halaman 1dari 7

A.

Ulama Penyusun Kutubus Sittah

1. Imam Bukhari

Kitab Shahih Bukhari ditulis oleh Imam al-Bukhari. Kitab ini memiliki nama lengkap al-Jami' al-
Musnad as-Shahih al-Mukhtasar min Umur Rasulillah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam wa Sunanih
wa Ayyamih.

Kitab ini memuat hadits-hadits tentang hukum, keutamaan amal, etika pergaulan, sejarah, dan
berita tentang kejadian-kejadian di masa mendatang.

Imam Bukhari lahir di Bukhara pada Jumat, 13 Syawal 194 H dengan nama lengkap Abu
Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah al-Ju'fi al-Bukhari.

Sejak usia 10 tahun, Imam Bukhari sudah mulai mengkaji hadits. Lalu, pada usianya yang ke-11
tahun ia sudah berani mengoreksi ulama yang keliru dalam menyampaikan hadits. Hal ini
diceritakan oleh Waraqah Muhammad ibn Abi Hatim al-Warraq.

Ia mengatakan, "al-Bukhari menyampaikan kepadaku, "Saya mendapat ilham untuk menghafal


hadis ketika masih di sekolah dasar." Saya bertanya, "Berapa usiamu pada saat itu?" Ia
menjawab, "Sekitar 10 tahun."

Ketertarikan Imam Bukhari untuk mendalami ilmu hadits sangat besar. Di usia 16 tahun ia telah
menghafal matan hadits kitab Abdullah ibn al-Mubarak dan Waki' ibn al-Jarrah lengkap dengan
sanadnya.

Imam al-Bukhari mendapat gelar Imam al-muhadditsin fi al-hadits atas kepandaiannya dalam
studi hadits. Beberapa guru Imam Bukhari antara lain Yahya ibn Ma'in, Ibn Rahawaih, Ahmad
ibn Hanbal, dan Ali ibn al-Madini. Adapun, murid-muridnya antara lain Imam Muslim, At-
Tirmizi, dan An-Nasa'i.

2. Imam Muslim

Kitab ini disusun oleh Imam Muslim. Kitab yang dikenal dengan Shahih Muslim ini memiliki
judul lengkap al-Jami' al-Musnad as-Sahih al-Mukhtasar min as-Sunan bi Naql al-'Adl 'an al-'Adl
'an Rasulillah SAW.

Imam Muslim juga hanya fokus pada hadits shahih saja layaknya Imam Bukhari. Ia juga
melakukan sistemisasi kitab hadits yang disusunnya.

Penulis Shahih Muslim ini lahir di Naisabur, sebuah kota kecil di Iran bagian timur laut pada
tahun 204 H. Beberapa sumber lain menyebutnya lahir pada 206 H.

Seperti halnya Imam Bukhari, ia tekun mengkaji hadits sejak kecil, tepatnya di usia 12 tahun.
Pada waktu itu ia belajar hadits di Makkah.

1
Imam Muslim banyak menghabiskan waktunya untuk belajar hadits ke berbagai wilayah. Ia
mempelajari hadits dari Yahya ibn Yahya dan Ishaq saat di Khurasan. Kemudian, ia belajar
hadits dari Muhammad ibn Mahran, Abu Ghassan, dan lainnya tatkala di kota Ray.
Saat di Hijaz, ia mengkaji hadis pada Sa'id ibn Mansur dan Abu Mus'ab. Di Irak, ia mempelajari
hadis dari Abdullah ibn Maslamah dan Ahmad ibn Hanbal. Adapun di Mesir, ia belajar dari
Harmalah ibn Yahya, Amir ibn Sawwad dan lainnya.

3. Imam Abu Dawud

Sunan Abu Dawud merupakan kitab hadits yang disusun oleh Abu Dawud. Kitab hadits ini
disusun berdasarkan bab-bab fikih. Sebab, Abu Dawud memang hanya fokus pada hadits-hadits
yang berkaitan dengan fikih dan masalah hukum saja.

Abu Dawud lahir pada 202 H di Sijistan, Basrah, dan dididik dalam lingkungan keluarga yang
agamis. Ia memiliki nama lengkap Abu Dawud Sulaiman ibn al-Asy'as ibn Ishaq ibn Basyir ibn
Syidad ibn Imran al-Azdi as-Sijistani.

Penyusun Sunan Abu Dawud ini mulai melakukan rihlah ilmiyyah yang kala itu menjadi salah
satu syarat dalam menuntut ilmu khususnya hadits, sekitar umur 20 tahun. Perjalanan pertama
yang ia tempuh kala itu ke Baghdad, sebelum akhirnya ke Hijaz, Mesir, Irak, Syam, Khurasan,
Basrah, dan Nasaibur.

Pengetahuan Abu Dawud dalam bidang hadits semakin diakui ketika ia bermukim ke Basrah.
Gubernur setempat kala itu sampai meminta Abu Dawud untuk hijrah ke Basrah dan
menyampaikan ilmunya di sana.

4. Imam At-Tirmidzi

Sunan At-Tirmidzi disusun oleh Imam At-Tirmidzi. Kitab hadits ini memiliki judul asli al-Jami'
al-Mukhtasar min as-Sunan 'an Rasulillah.

Kitab hadits karya Imam At-Tirmidzi disusun pada masa keemasan dalam sejarah perkembangan
hadits, yakni pada abad ke-3 H. Pada masa ini para ulama termasuk Imam Tirmidzi melakukan
penyempurnaan hadits.

Imam At-Tirmidzi memiliki nama lengkap Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah ibn Musa ibn
ad-Dahhak as-Sulami al-Bughi at-Tirmidzi. Ia lahir pada 209 H dan wafat di usianya yang ke-70.

Imam At-Tirmidzi mengalami kebutaan semasa hidupnya. Para ulama berselisih pendapat
mengenai kondisi yang dialami Imam At-Tirmidzi ini, apakah buta ini dialaminya sejak lahir
atau ketika di usia tuanya.

Ia belajar hadits di sejumlah tempat, seperti Hijaz, Khurasan, Irak, dan lainnya. Beberapa
gurunya antara lain Qutaibah ibn Sa'id, Ishaq ibn Rahawaih, Abu Mus'ab az-Zuhri, Muhammad
ibn Ismail al-Bukhari, Muhammad ibn Amr as-Sawwaq, Ismail ibn Musa al-Fazari, Bisyr ibn
Mu'az al-'Aqadi, Qutaibah ibn Sa'id dan lainnya.

2
5. Imam An-Nasa'i

Sunan An-Nasa'i disusun oleh Imam An-Nasa'i. Kitab ini memuat 5761 hadits Nabi Muhammad
SAW. Hadits yang ada dalam kitab ini berkualitas shahih dan tidak terdapat hadis berkualitas
dhaif di dalamnya.

Kitab hadits ini disusun berdasarkan bab-bab fikih. Imam An-Nasa'i hanya mencantumkan
hadits-hadits marfu' (yang bersumber dari Nabi SAW). Hanya sedikit hadits yang bersumber dari
sahabat.

Imam An-Nasai lahir pada 215 H di kota Nasa', salah satu wilayah di Khurasan. Ia memiliki
nama lengkap Ahmad ibn Syu'aib ibn Ali ibn Sinan ibn Bahr ibn Dinar al-Khurasani an-Nasa'i,
dan dijuluki Abu Abd ar-Rahman an-Nasa'i.

Ia telah menghafal Al-Qur'an dan mengkaji ilmu-ilmu agama sejak kecil kepada para gurunya.
Bahkah, ia pernah berguru secara khusus kepada Qutaibah ibn Sa'id al-Baglani al-Balkhi untuk
mendalami ilmu hadits.
Imam An-Nasai melakukan rihlah ilmiyyah untuk belajar ilmu hadits ke Syam, Mesir, Irak, dan
Hijaz sejak usia 15 tahun. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengamalkan ilmunya di
Mesir dan bermukim di sana.

Beberapa gurunya antara lain Ishaq ibn Rahawaih, Hisyam ibn 'Ammar, Ziyad ibn Yahya al-
Hasani, Tamim ibn al-Muntasir, Abu Qudamah Ubaidillah ibn Sa'id, Utbah ibn Abdillah al-
Marwazi, Umar ibn Zurarah, Muhammad ibn Ubaid al-Muharibi, Muhammad ibn al-'Ala' al-
Hamdani, Yusuf ibn Isa az-Zuhri dan lainnya.

6. Imam Ibnu Majah

Sunan Ibnu Majah merupakan kitab hadits yang disusun oleh Ibnu Majah. Hadits yang terdapat
dalam kitab ini merupakan hadits yang maqbul (dapat diterima).

Ibnu Majah memanfaatkan muqaddimah dalam kitabnya untuk menjelaskan hal-hal yang
berkaitan dengan hadits Nabi SAW dan ilmu hadits. Ia menyusun kitab hadits dengan
berorientasi pada pokok bahasan fikih, seperti lima ulama lainnya.

Ibnu Majah lahir pada 209 H dengan nama lengkap Abu Abdillah Muhammad ibn Yazid ibn
Majah ar-Ruba'i al-Qazwaini. Ia rajin mempelajari ilmu agama terutama hadits sejak masih kecil.

Seperti kelima ulama sebelumnya, Ibnu Majah melakukan rihlah ilmiyyah ke sejumlah daerah
untuk belajar hadits langsung dari para guru hadits terkemuka. Di antaranya ke Kufah, Madinah,
Makkah, Basrah, Mesir, dan Syria.

Beberapa guru Ibnu Majah antara lain Mu'ab ibn Abdillah az-Zubairi, Muhammad ibn Abdillah
ibn Namir, Jubarah ibn al-Muglis, Abu Bakr ibn Abi Syaibah, Muhammad ibn Rumh, dan
Hisyam ibn Ammar.

Dari enam kitab hadits tersebut, Shahih Bukhari menempati urutan pertama dalam Kutubus
Sittah yang sering dijadikan pedoman para ulama.

3
B. Empat Ulama Madzhab

1. Hanafi Hanafi

Pendiri madzab hanafi bernama Al-Imam Al-Azham Abu Hanifah, An-Nu’man bin Tsabit bin
Zuwatha Al-Kahfi. Atau sering disebut dengan panggilan Abu Hanifah, beliau adalah orang-
orang Persia yang merdeka (bukan keturunan hamba sahaya). Dilahirkan pada tahun 80 H dan
wafat pada tahun 150 H. Pada mulanya beliau belajar ilmu fiqih selama 18 tahun dari ulama-
ulama fiqih masyhur, salah satunya Ahmad bin Abi Sulaiman yang merupakan murid dari
Ibrahim An-Nakha’i.

Dasar yang digunakan Abu Hanifah yang dijadikan acuan untuk mendirikan madzhab hanafi,
yaitu; 1). Al-Qur’an, 2). As-Sunnah, 3). Al-ijma’, 4). Al-Qiyas, 5). Al-Istihsan. Dan diantara
imam-imam mujtahid mutlak lainnya, Abu Hanifah lah yang paling banyak mempergunakan
qiyas dan istihad.

Awal mula madzhab hanafi berkembang dan dikenal di Mesir, ketika itu ada seorang Qadhi
Hanafi di sana yang bernama Ismail bin Yasa’ Al-Kuhfi dan dialah orang yang mengembangkan
madzhab hanafi di Mesir, terutama selama kerajaan islam berada dalam kekuasaan Khalifah-
Khalifah Abbasiyyah, sehingga berkembanglah madzhab ini secara berangsur-angsur. Hingga
kemudian menyebar luas di Algeria, Tunisia, Syam, Iraq, India, Afganistan, Turkestan,
Kaukasus, Turki, dan Balkan.

2. Imam Maliki

Pendiri madzhab maliki adalah Malik bin Anas, beliau hidup di Madinah antara tahun 710-795.
Semasa hidupnya beliau tidak berhijrah untuk menuntut ilmu, dari kecil beliau menuntut ilmu di
Madinah hingga mengajar juga di Madinah. Beberapa lama juga beliau menjabat pekerjaan
Mufti dan ahli hukum islam, sebelum menjadi Imam besar.

Diantara orang-orang yang mula-mula memperkenalkan kitab-kitab fiqh mazhab Imam Malik di
Mesir ialah, Usman bin Hakam Al-Jazami, Abdurrahman bin Khalid bin Yazid bin Yahya, Ibn
Wahab dan Rasyid bin Sa’ad. Dan diantara yang giat sekali menyiarkannya ialah, Abdurrahman
bin Qasim, Ashad bin Abdul Aziz, Ibnul Hakam dan Haris bin Miskin.

Selanjutnya madzhab mailiki masuk ke andalus oleh Zaid bin Abdurrahman al-Qurtubi pada
zaman pemerintahan Hisyam, hingga banyak ulama-ulama Maliki di sana dan aliran Madzhab
maliki semakin berkembang. Kitab-kitab yang banyak terpakai di Andalus ialah, kitab sesudah
Muwattha, yaitu kitab “Wadhihah” karangan Abdul Malik bin Habib, dan kitab “Atabiyah”
karangan Atabi murid Ibnu Habib.

Setelah itu, Madzhab Maliki semakin menunjukan perkembangannya hingga ke Afrika yang
dikembangkan oleh Sahmun bin sa’id bin Al-Tanukhi. Kitab-kitab yang masyhur pada saat itu
adalah kitab “Asadiyah” yang dikarang oleh Asad bin Furad dan kitab …Tanbih” karangan Abu
Sa’id Al-Baradi’i.

4
3. Imam Syafi’i

Madzhab Syafi’i didirikan oleh Abu Abdullah Muhammad bin Indris as-syafi’i. Beliau wafat
pada tahun 767 M. Selama hidupnya beliau pernah tinggal di Baghdad, Madinah, dan terakhir di
Mesir. Imam Syafi'i adalah seorang Mjitahid yang sangat banyak pengalamannya mengenai cara
menulis Fiqh di Iraq, di Hejaz dan kemudian di Mesir. Mazhab Syafi'i itu terletak diantara dua
paham yang sangat berlainan, yaitu Mazhab Abu Hanifah, yang banyak menggunakan akal, dan
Mazhab Malik bin Anas yang banyak menggunakan nash. Beliau juga disebut sebagai orang
pertama yang membukukan ilmu usul fiqih, karyanya yang temasyhur adalah Al-umm dan Ar-
Risalah.

Dalam sejarah perkembangan madzhab ini, ada beberapa murid Imam Syafi’i yang terkenal,
yaitu; Imam Ahmad Al Ghazali, Ibnu Katsir, Ibnu Majah, An Nawawi, Ibnu Hajar al-Asqalani,
Abu Hasan Al Asy’ari dan Said Nursi.

Sekarang umumnya pemeluk mazhab ini terdapat di Mesir, Palestina, Armenia, Persia, Ceylon,
Indonesia, Cina, Australia, Yaman, Adan, Hadramaut, Philipina, begitu juga di Hejaz, Syam dan
Iraq. Di India terdapat kira-kira satu milyun jiwa pemeluk Mazhab Syafi’i.

4. Imam Hambali

Pendiri Madzhab Hambali adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal
Al-Syaibani atau sering dikenal dengan Imam Ahmad Hambali.
Beliau dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabiul Awal 164 H (780M). Beliau dibesarkan hanya
dengan sang ibu, ayah beliau wafat ketika beliau masih bayi. Sejak kecil beliau sudah
menunjukan ketertarikannya mendalami ilmu pengetahuan hingga pergi ke Basrah, Yaman dan
mesir untuk memperkuat pengetahuannya.

Dasar mazhab Hambali terletak atas empat, yaitu; pertama Nas, kedua fatwa sahabat, ketiga
Hadis (mursal dan dhaif) dan keempat qiyas. Diantara kitab-kitab yang dikarangnya yang
termasyhur ialah “Musnad Ahmad ibn Hanbal”. Murid Imam Ahmad hambali yang terkenal
ialah, Imam Bukhori, Abdul Qodir Al Jailani, Ibnu Qudammah, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qaiyyim Al
jauziyyah, Adz-Dzahabi, dan Muhammad bin Abdul wahab.

Madzhab Hambali merupakan madzhab fiqih dengan pengikut terkonsentrasi di wilyah Teluk
Persia dan negara-negara dengan pengikut terbanyak madzhab hambali adalah Arab Saudi, Unit
Emirat Arab, dan Qatar. Persebaran penganut madzhab ini lebih ke negara-negara timur tengah.

Imam Ahmad hambali wafat di Baghdad pada usia 77 tahun , tepatnya pada tahun 241 H (855
M) pada massa kekhalifahan Al-Wathiq. Sepeninggalan beliau, madzhab hambali berkembang
luas dan menjadi salah satu madzhab yang memiliki banyak penganut.

5
C. Ulama Tafsir

1. Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari


bnu Jarir ath-Thabari (224-310 H/838-923 M) adalah guru besar para ahli tafsir. Ia lahir di
Tabaristan, sebuah kota di Turkmenistan, selatan Laut Kaspia dengan nama lengkap Abu Ja'far
Muhammad bin Jarir ath-Thabari.

Menurut Husein Muhammad dalam buku Ulama-ulama yang Menghabiskan Hari-harinya untuk
Membaca, Menulis, dan Menebarkan Cahaya Ilmu Pengetahuan, Ibnu Jarir ath-Thabari dididik
langsung oleh orang tuanya.

Ayahnya adalah orang yang sangat mencintai ilmu dan menginginkan anaknya menjadi ulama
besar. Oleh karena itu, Ibnu Jarir ath-Thabari sejak kecil sudah diajari dan dibimbing menghafal
al-Qur'an dan ilmu Islam tradisional pada umumnya. Bahkan, ia sudah hafal al-Qur'an saat masih
usia 7 tahun.

Ibnu Jarir ath-Thabari menguasai berbagai keilmuan Islam. Ia dikenal sebagai imam mujtahid
mutlak, ahli tafsir, ahli hadits, sejarawan, ahli fiqih, ahli ushul fiqh, dan ahli bahasa.

Ia telah menulis puluhan buku selama 40 tahun. Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan dan
kegemarannya dalam menulis membuatnya memilih melajang sampai akhir hayatnya.

Abu Hamid al-Isfirayini, seorang ahli fiqh terkemuka mazhab Syafi'i, pernah menganjurkan
kepada para ulama untuk mencari kitab tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari. Jika perlu, katanya, sampai
ke negeri Tiongkok.

Sebagai cendekiawan muslim di bidang ilmu tafsir terkemuka, Ibnu Jarir ath-Thabari begitu
dikagumi oleh banyak ulama. Salah satunya Khatib al-Baghdadi, penulis buku Tarikh al-
Baghdad.

Menurut Khatib al-Baghdadi, Ibnu Jarir ath-Thabari adalah salah satu ulama besar yang
pendapat-pendapatnya menjadi rujukan umat dan masyarakat, karena pengetahuannya yang
mendalam dan luas, serta keluhuran budi pekertinya.

Menurutnya, Ibnu Jarir ath-Thabari memiliki berbagai ilmu pengetahuan yang tidak dimiliki
orang lain pada zamannya.

"Ia hafal al-Qur'an dan memahami isinya dengan sangat baik. Ia seorang ahli fiqh, menguasai
hadits-hadits nabi secara mendalam dan luas pula. Selain itu, ia paham dengan baik pendapat-
pendapat para sahabat nabi dan generasi sesudahnya," kata Khatib al-Baghdadi, seperti dikutip
Husein Muhammad dalam buku Para Ulama dan Intelektual yang Memilih Menjomblo.Selain
menulis kitab tafsir, Ibnu Jarir ath-Thabari juga menulis sejarah para nabi yang berhasil ia
rampungkan pada tahun 303 H. Isinya mulai dari Nabi Adam AS, para raja, hingga bangsa-
bangsa di dunia. Kitab ini ia beri nama Tarikh al-Rusul wa al-Anbiya wa al-Muluk wa al-Umam.

Karya-karya Ibnu Jarir ath-Thabari yang sangat populer lainnya antara lain Jami' al-Bayan an
Ta'wil Ayi al-Qur'an (30 jilid), Tarikh al-Rusul wa al-Anbiya' wa al-Muluk wa al-Umam (8
jilid), Tahdzib al-Atsar, Ikhtilaf al-Ulama al-Anshar, Adab al-Qadhi, dan lainnya.Ibnu Jarir ath-
Thabari wafat tahun 310 H dan dikebumikan di kediamannya. Saat kepergiannya itu, ribuan

6
orang disebut hadir dalam prosesi pemakamannya. Kemudian, selama beberapa bulan
setelahnya, banyak orang berdatangan ke makamnya untuk salat dan mendoakannya.

2. Imam Ibnu Kasir

Ibnu Katsir ialah seorang Mufassir yang pastinya sangat familiar di telinga umat Islam. Nama
asli beliau adalah Imad ad-Din Abu al-Fida Ismail Ibn Amar Ibn Katsir Ibn Zara’ al-Bushra al-
Dimasiqy. Kata “al-Dimasiqy” yang tertera dalam namanya, menunjukkan bahwa beliau terlahir
di kota Damaskus. Tepatnya di daerah Mijdal dalam wilayah Bushra (Basrah). Ia dilahirkan pada
tahun 700 H/1301 M. Ayah Ibnu Katsir merupakan ulama kondang yang terkemuka pada zaman
itu. Namanya Shihab ad-Din Abu Hafsh Amar Ibn Katsir Ibn Dhaw Ibn Zara’ al-Quraisyi. Ayah
Ibn Katsir bermazhab Syafi’i.

Meskipun bermazhab Syafi’i, ia pernah mempelajari secara serius ajaran-ajaran mazhab Hanafi.
Namun, saat ia beranjak ke usia tujuh tahun (ada juga pendapat yang menyebut tiga tahun), ia
ditinggal oleh ayahnya untuk selama-lamanya. Sepeninggal ayahnya, Ibnu Katsir diasuh oleh
kakaknya yang bernama Kamal ad-Din Abd Wahhab di kota yang sama, Damaskus. Sejak saat
itu, Ibnu Katsir memulai karir akademik keilmuannya. Hal yang sangat menguntungkan baginya
ialah, bahwa ia hidup di masa kekuasaan Dinasti Mamluk yang sangat menjunjung tinggi
diskursus ilmu pengetahuan. Terbukti pada masa itu, banyak sekali bertebaran pusat studi Islam
seperti madrasah-madrasah dan masjid-masjid yang berkembang begitu pesat.

Penguasa pusat pemerintahan yang berada di Mesir, kala itu, dan juga penguasa daerah
Damaskus, sangat memiliki concern terhadap perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Momen ini dimanfaatkan Ibnu Katsir untuk berguru ke ulama-ulama besar nan hebat kala itu.
Beberapa di antaranya ialah; Burhan ad-Din al-Fazari, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Baha al-
Din al-Qasimy bin Asakir (w.723), dan Ishaq bin Yahya al-Amidi (w.728 H).

Selain mendalami ilmu tafsir, ia juga mendalami ilmu-ilmu keislaman yang lain seperti hadis,
fikih, dan sejarah. Penguasaan Ibnu Katsir atas ilmu-ilmu keislaman terbukti dari berlimpahnya
karya-karya yang diciptakannya. Dalam bidang sejarah, ia menulis beberapa kitab, antara lain;
al-Bidayah wa al-Nihayah (terdiri dari 14 jilid), al-Fushul fi Sirah al-Rasul, Thabaqat asy-
Syafi’iyyah, Qasas al-Anbiya, dan Manaqib al-Imam al-Syafi’i. Kitab al-Bidayah wa al-
Nihayah-lah yang merupakan karya monumental/Magnum Opus dari sekian banyak kitab sejarah
yang ia ciptakan.

Anda mungkin juga menyukai