Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH TENTANG

SEJARAH KODIFIKASI HADITS


D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
NAMA: MAULID RAGIL PANGESTU

DOSEN PEMBIMBING : AULIA ADLI,MAg

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

MANDAILING NATAL

2022
PENDAHULUAN

Kodifikasi hadis1 secara massif dimulai sejak diterimanya surat perintah


oleh Abū Bakar b. Muhammad b. Hazm2dari khalifah ‘Umar b. Abdul Azis3 yang
bertuliskan “periksalah dan tulislah semua hadis-hadis Nabi, sunah-sunah yang
sudah dikerjakan, atau hadis dari amrah; karena saya khawatir hal itu akan punah”4
selain itu Khalifah Umar b. Abdul Azis memberikan tugas kepada Ibnu Syihab AlZuhri
(51-124 H/ 671-741 M).5 Penulisan dan pengumpulan hadis pertamakali
menurut jumhur ulama dilakukan oleh Ibnu Syihab al-Zuhri, setelah itu
pengumpulan dan penulisan hadis berkemabang pesat.

Kodifikasi yang dilakukan tidak terbatas pada satu wilayah tertentu,


karena sejak awal para sahabat sudah menyebar diberbagai wilayah.Ali al-
Madini7membagi isnad pada 4 wilayah yaitu Madinah, Makkah, Basrah, dan
Kūfah.8empat wilayah inilah yang menjadi cikal bakal perjalanan para pencari hadis
dalam mengumpulkan hadis. dari empat ditambah dua wilayah penting seperti suriah
dan Mesir9. walaupun tidak dipungkiri dari sekian banyak ulama, ada saja yang tidak
melakukan rihlah ilmiah ketempat yang jauh, seperti halnya Imam Malik tidak sekalipun
keluar dari Madinah kecuali untuk berhaji. Kodifikasi yang dilakukan oleh para ulama,
pada prinsifnya adalah penjagaan terhadap sumber hukum Islam,sehigga dengan
maraknya penerimaan dan periwayatan hadis perlu dilakukan
verifikasi pada semua unsurnya.

TUJUAN PEMBAHASAN

1.Mengetahui pengertian kodifikasi hadits


2.Mengetahui sejarah kodifikasi hadits

RUMUSAN MASALAH

1.Pengertian kodifikasi hadist

2.Sejarah kodifikasi hadits


PEMBAHASAN

1.Pengertian Kodifikasi Hadits


Kata kodifikasi dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah tadwin yang merupakan bentuk masdar
dari dawwana, yudawwinu, tadwiinan yang berarti pembukuan. Pembukuan adalah mengumpulkan
sesuatu yang tertulis dari lembaran-lembaran dan hafalan yang ada di dalam dada, kemudian
menyusunnya hingga menjadi satu kitab.[1] Jadi kodifikasi berbeda dengan menulis, karena menulis
belum tentu disusun menjadi buku, sedangkan kodifikasi tulisan yang telah dibukukan.

2.Sejarah Kodifikasi Hadits

Secara resmi, kodifikasi hadits dilakukan dan dimulai pada masa Dinasti Umayyah yang
dipimpin oleh Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah yang terkenal adil dan wara’ hingga
beliau disebut sebagai khalifah Rasyidin yang ke lima. Beliau menetapkan dan memerintah
ulama-ulama pada masanya untuk melakukan kodifikasi hadits disebabkan karena kesadaran
beliau atas banyaknya para perawi hadits semakin lama banyak yang meninggal. Sehingga
beliau khawatir jika hadits tidak segera dibukukan maka akan hilang dan lenyap.[3] Di bawah
ini akan dijelaskan 7 periode sejarah kodifikasi hadits, sebagai berikut:

Periode pertama adalah periode pada zaman Rasulullah SAW. Pada periode ini dikenal
dengan masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam.[4] Sehingga pada awal-
awal kemajuan Islam Rasulullah SAW melarang para shahabatnya untuk menulis hadits,
karena disamping akan bercampurnya hadits dengan Al-Qur’an juga agar umat Islam lebih
fokus pada Al-Qur’an.[5] Akan tetapi dengan berjalannya waktu tidak sedikit di antara para
shahabat banyak yang berinisiatif menulis hadits-hadits Nabi SAW. Hal tersebut dikarenakan
selain melarang, Rasulullah di lain waktu juga membolehkan para shahabatnya untuk menulis
hadits. Sehingga banyak di antara para shahabat yang memiliki shahifah hadits, di antaranya:
Abdullah bin Amr bin ‘Ash, Jabir bin Abdullah Al-Anshari, Abdullah bin Abi Aufa, Samurah bin
Jundab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, dan Abu Bakar Ash-Shiddiq.[6]

Periode kedua adalah dimulai pada zaman Khulafa Ar-Rasyidin. Pada periode ini dikenal
dengan masa pembatasan atau pengurangan dalam periwayatan hadits Nabi SAW sebagai
bentuk kehati-hatian. Usaha para shahabat dalam membatasi periwayatan hadits dilatar
belakangi oleh rasa khawatir akan terjadinya kekeliruan. Hal ini dikarenakan suasana pada
waktu itu tidak kondusif, bahkan terjadi perpecahan dan fitnah di dalam umat Islam itu
sendiri,[7] di antaranya munculnya nabi palsu, terbunuhnya Umar, Usman, dan Ali, banyak
shahabat yang tidak suka kepada Usman, munculnya Syi’ah, dll. Sehingga para shahabat
sangat berhati-hati dalam menerima kegiatan periwayatan hadits. Para shahabat pada
periode ini meriwayatkan hadits melalui dua cara, yaitu bilafdzi dan bilmakna.[8]

Periode ketiga adalah masa penyebaran hadits ke berbagai wilayah. Periode ini berlangsung
pada masa shahabat kecil/ muda dan tabi’in atau pada masa Dinasti Muawwiyah sampai pada
akhir abad 1 Hijriyah. Pada masa ini wilayah Islam sudah sampai ke Syam (Suriah), Irak,
Mesir, Persia, Samarkand, hingga Spanyol. Bertambahnya wilayah Islam berdampak pada
tersebarnya hadits di dalamnya.[9]

Periode Keempat adalah Periode penulisan dan pembukuan hadits secara resmi. Penulisan
dan pembukuan hadits ini dimulai setelah adanya perintah resmi dari Khalifah Umar bin Abdul
Aziz (717 – 720 M). Perintah resmi tersebut sebagai instruksi langsung dari Umar untuk
seorang Ulama yang bernama Abu Bakar Muhammad Amr bin Hazm (Ibnu Shihab Az-Zuhri)
yang menjabat sebagai Gubernur Madinah agar menuliskan hadits Nabi Muhammad
SAW.[10]

Latar belakang Umar bin Abdul Aziz menginstruksikan agar mengkodifikasi hadist adalah
karena kekhawatiran akan hilangnya hadits seiring meninggalnya para perawi hadits dan
khawatir akan bercampurnya hadits Nabi SAW dengan hadits palsu. Pengkodifikasian hadits
ini berlangsung hingga pemerintahan Bani Abbasiyah tepatnya pada pertengahan awal abad
ke III H.

Pada periode ini banyak melahirkan ulama hadits, seperti Ibnu Juraij (w. 179 H) di Makkah,
Ibnu Shihab Az-Zuhri (w. 124 H), Ali Ishaq (w. 151 H) dan Imam Malik (w. 179 H) di Madinah,
Ar-Rabi’ bin Shihab (w. 160 H) dan Abdurrahman Al-Auza’i (w. 156 H) di Suriah.[11] Selain
itu juga termasuk imam Syafi’i (w. 204 H) di Mesir dan Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) di
Baghdad.[12] Pada periode ini juga menghasilkan karya kitab-kitab hadits, di antaranya Al-
Musnad Imam Syafi’i, Al-Mushanaf Imam Al-Auza’i, dan Al-Muwaththa’ Imam Malik, termasuk
juga Al-Musnad Imam Ahmad. Dan kitab hadits pada periode ini masih bercampur dengan
fatwa shahabat, tabi’in, hingga hadits palsu karena belum ada penyeleksian secara
penuh.[13]

Periode kelima adalah periode pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan. Periode ini
berangsung sekitar pertengah awal abad ke III Hijriyah, atau tepatnya pada masa Dinasti
Abbasiyah yang dipimpin oleh Khalifah Al-Ma’mun sampai Al-Mu’tadir.[14] Periode ini ulama-
ulama mengadakan gerakan penyeleksian, penyaringan, dan pengklasifikasian hadits, yakni
memisahkan hadits yang marfu’ dari hadits mauquf dan maqtu’. Pada periode ini lahirlah kitab
induk hadits (Kutubus Sittah), di antaranya:

1. Al-Jami’ Ash-Shahih karya Imam Al-Bukhari (194 – 252 H)


2. Al-Jami’ Ash-Shahih karya Imam Muslim (204 – 261 H)
3. Sunan Abu Dawud karya Abu Dawud (202 – 261 H)
4. Sunan At-Tirmidzi karya At-Tirmidzi (200 – 279 H)
5. Sunan An-Nasa’i karya An-Nasa’i (215 – 302 H)
6. Sunan Ibnu Majah karya Ibnu Majah (207 – 273 H)[15]

Periode keenam adalah masa pemeliharaan, penerbitan, penambahan, dan penghimpunan.


Periode ini berlangsung 2 setengah abad, mulai dari abad IV sampai pertengahan abad ke
VII Hijriyah, tepatnya pada saat Dinasti Abbasiyah jatuh ke tangan Hulagu Khan pada tahun
656 H. Periode ini tidak jauh berbeda dengan periode kelima, sehingga periode ini juga
melahirkan banyak ulama dan kitab hadits, di antaranya:

1. Sulaiman bin Ahmad At-Thabari, karyanya Al-Mu’jam Al-Kabir, Al-Mu’jam Al-Ausath,


Al-Mu’jam Ash-Shaghir.
2. Abdul Hasan Ali bin Umar bin Ahmad Ad-Daruquthni, karyanya Sunan Daruquthni.
3. Ibnu Huzaimah Muhammad bin Ishaq, karyanya Shahih Ibnu Huzaimah.
4. Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali Al-Baihaqi, karyanya Sunan Al-Kubra.
5. Asy-Syaukani, karyanya Nailul Authar.
6. Muhyiddin Abu Zakaria An-Nawawi, karyanya Riyadhush Shalihin, dll.[16]
Periode Ketujuh adalah periode pensyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan. Pada
periode ini ulama mulai mensistemasi hadits-hadits berdasarkan kehendak penyusun,
memperbaharui kitab-kitab mustkharij dengan cara membagi-bagi hadits menurut kualitasnya.
Para periode ini hanya sedikit ulama hadits yang masih mampu menyampaikan periwayatan
hadits beserta sanadnya secara hapalan yang sempurna, di antaranya ulama yang masih
menyampaikan hadits secara hapalan sempurna adalah Imam Al-Iraqy (w. 806 H), Ibnu Hajar
Al-Asqalani (w. 852 H), As-Sakhawy (w. 902 H).[17] Ketiganya mempunyai hubungan sebagai
guru dan murid.
DAFTAR PUSTAKA

1] Manna’ Al-Qaththan, Mabahis fi ‘Ulum Al-Hadits, (Kairo: Maktabah Wahbah, Cet. ke-II,
1994), hlm. 33.

[2] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: Rajawali Pers, Cet. ke-7, 2010), hlm. 88.

[3] Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Qur’an dan Tafsir,
(Semarang:Pustaka Rizki Putra, 2009), Ed. 3, hlm.78.

[4] Muhajirin, Ulumul Hadits II, (Palembang: NoerFikri Offset, 2016), hlm. 18.

[5] Atang Abdul Hakim, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003),
hlm. 89.

[6] Muhajirin, Ulumul Hadits II, (Palembang: NoerFikri Offset, 2016), hlm. 19.

[7] Atang Abdul Hakim, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003),
hlm. 90.

[8] Muhajirin, Ulumul Hadits II, (Palembang: NoerFikri Offset, 2016), hlm. 20.

[9] Ibid., hlm. 20

[10] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: Rajawali Pers, Cet. ke-7, 2010), hlm. 75.

[11] Ibid., hlm. 91.

[12] Muhajirin, Ulumul Hadits II, (Palembang: NoerFikri Offset, 2016), hlm. 20-21.

[13] Ibid., hlm. 21.

[14] Abudin Nata, Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta: LISK, 2000), hlm. 197.

[15] Muhajirin, Ulumul Hadits II, (Palembang: NoerFikri Offset, 2016), hlm. 21.

[16] Ibid., hlm. 22-23.

[17] Fathur Rahman, Ikhtishar Musthalahul Hadits, (Bandung: Al-Ma’arif, 1974), hlm. 296.

Anda mungkin juga menyukai