PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sesuai dengan perkembangan hadis, ilmu hadis selalu mengiringinya sejak
masa Rasulullah S.A.W, sekalipun belum dinyatakan sebagai ilmu secara
eksplisit. Ilmu hadis muncul bersamaan dengan mulainya periwayatan hadis yang
disertai dengan tingginya perhatian dan selektivitas sahabat dalam menerima
riwayat yang sampai kepada mereka. Dengan cara yang sangat sederhana, ilmu
hadis berkembang sedemikian rupa seiring dengan berkembangnya masalah yang
dihadapi. Pada masa Nabi SAW masih hidup di tengah-tengah sahabat, hadis
tidak ada persoalan karena jika menghadapi suatu masalah atau skeptis dalam
suatu masalah mereka langsung bertemu dengan beliau untuk mengecek
kebenarannya atau menemui sahabat lain yang dapat dipercaya untuk
mengonfirmasinya. Setelah itu, barulah mereka menerima dan mengamalkan
hadis tersebut.
4
BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah Perkembangan Hadits
(Periodisasi dan Madrasah-madrasah Hadits)
B. Periodesasi Perkembangan Hadis
Periodesasi Perkembangan Hadis Periode perkembangan hadis biasanya dibagi
dalam lima periode, yaitu abad I, abad II, abad III, abad IV – V, abad VI – XIII, abad
XIV – sekarang
1. Periode Abad I H
Periode abad I H ini meliputi zaman Nabi saw, Sahabat Nabi dan zaman
Tabi’in besar (senior) di masa ahir abad I H. Rasulullah membina umatnya selama
23 tahun. Masa ini merupakan masa turunnya wahyu, termasuk masa wurudnya
hadits Nabi saw. Wahyu yang diterima oleh Nabi saw dijelaskan melalui
perkataan, perbuatan, persetujuan dan sikap yang melekat dalam sifat-sifat beliau.
Oleh karena itu apa yang didengar, dilihat, disaksikan dan dirasa (melalui
internalisasi nilai) oleh para sahabat, dijadikan sebagai pedoman bagi amal ibadah
mereka. Dalam hal ini Nabi saw merupakan contoh satu-satunya bagi para sahabat
dan hadits merupakan bagian penting dari wahyu yang diterima Nabi.
2) Memberikan Perintah/Instruksi
Tekanan ini dapat dilihat pada pidato Nabi saw pada saat Haji Wada’:
“Yang hadir di sini hendaklah menyampaikan amanat ini kepada yang tidak
hadir”.
3) Memberi Motivasi Bagi Pengajar dan Penuntut Ilmu;
Nabi saw tidak hanya memeritah dalam mendidik masyarakat, tetapi juga
menjanjikan penghargaan (pahala) yang besar bagi subyek pendidikan. Nabi saw,
bersabda: “Barang siapa menempuh jalan menuju pengetahuan, Allah akan
memudahkan baginya jalan menuju surga.
2. Periode Abad II H
4) Menghimpun pembelaan terhadap kritik dari luar Kritik ini dilontarkan para
ahli ilmu kalam dan lainlain, baik kritik yang ditujukan kepada pribadi perawi
maupun pada matan hadits, lalu dilakukan upaya pembelaan dengan melakukan
bantahan terhadap kritik tersebut. Salah seorang ulama yang melakukan kegiatan
ini adalah Ibnu Qutaibah dengan menyusun kitab “Ta’wilu Mukhtalif al-Hadits fi
Raddi ‘Ala Ada’ al-Hadits’’.
5) Menyusun kitab-kitab hadits berdasarkan tema Kitab hadis lalu memiliki bab-
bab sesuai dengan masalah tertentu. Metode ini dilakukan untuk mempermudah
mencari masalah yang dikandung oleh hadits. Metode ini dikenal dengan istilah
metode Mushannaf. Ulama yang merintis metode ini adalah Imam al-Bukhari,
kemudian diikuti oleh muridnya sendiri yaitu Imam Muslim. Sesudah itu baru
diikuti oleh Abu Dawud, al-Turmudzi dan lain-lain.
Kegiatan ulama abad ini ditujukan kepada pemeliharaan hadits dengan cara
(1) mempelajari (2) menghafal (3) memeriksa dan menyelidiki sanad (4)
menyusun kitab-kitab baru dengan tujuan untuk memelihara, menertibkan
dan menghimpun segala sanad dan matan (5) memberikan syarah dan
komentar hadits-hadits yang sudah dihimpun dalam kitabhadits yang ada.
Di antara kitab-kitab yang tersusun pada abad ini ialah Kitab al-Shahih karya
Ibnu Huzaimah, Al-Anwa’ wa al-Taqsim susunan Ibnu Hibban, dan Al-
Muntaqa karya Ibnu Jarud.
1. Kitab Athraf;
yaitu kitab hadits yang isinya hanya menyebut sebagian-sebagian dari matan
hadits tertentu, kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan yang
bersangkutan. Misalnya Athraf al-Shahihain, karya Ibrahin al-Dimasyqy.
2. Kitab Mustakhraj,
yaitu kitab yang memuat matan hadis yang sama dengan Sahih al-Bukhari
dan Muslim, misalnya, namun menggunakan jalur sanad yang berbeda.
Misalnya Mustakhraj Shahih al-Bukhari karya al-Jurjani.
3. Kitab al-Mustadrak
yaitu kitab yang menghimpun haditshadits yang tidak terdapat dalam Sahih
Bukhari-Muslim, misalnya, namun memenuhi standar syarat kesahihan
keduanya atau salah satunya. Contohnya : Al-Mustadrak ‘ala al-Shahihaini
karya Imam al-Hakim.
4. Kitab Jami’
yaitu kitab yang menghimpun hadits Nabi yang terlah termuat dalam kitab
yang telah ada dalam satu kitab tertentu. Contohnya al-Jami’ Baina al-
Shahihaini karya al-Baghawi.
5. Kitab hadits
Yang menghimpun hadits hadits Nabi berdasar masalah tertentu dari kitab-
kitab yang telah ada, contohnya antara lain Muntaqa al-Akhbar fi al-Ahkam
karya Majduddin Abd. Salam.
6. Kitab Syarah
yaitu kitab yang memberikan komentar atau ulasan terhadap hadits-hadits
dalam kitab tertentu yang sudah ada. Contohnya antara lain Fath al-Bari
Syarah Shahih al-Bukhari karya Ibnu Hajar al-Asqalani.
7. Kitab Mukhtashar
yaitu kitab yang menyederhanakan / meringkas periwayatan hadits yang
sudah terdapat dalam kitab-kitab lain, seperti dengan membuang sanadnya.
Contoh Al-Jami’ al-Shaghir karya Imam al-Syuyuthi.
9. Kitab Tahrij
yaitu kitab yang menjelaskan tentang sumber-sumber asli dari hadits yang
terdapat dalam kitab tertentu, sekaligus juga menjelaskan kualitanya. Di
antara contohnya Kitab Takhrij Ahadits al-Anbiya’ karya Al-Iraqi yang men-
tahkrij hadits-hadits yang ada dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din karya al-Ghazali.
10. Kitab Zawa’id
yaitu kitab yang memuat hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ulama hadits
tertentu tetapi tidak dimuat di dalam kitab hadits yang disusun oleh ulama
lainnya.Contohnya kitab Zawaid al-Sunan al-Kubra karya
Imam al-Baihaqi memuat hadits hadits yang tidak dimuat
dalam al-Kutub al-Sittah.