STUDI HADIS
( Kodifikasi Tadwin Hadis )
Dosen Pengampu
Oleh
SUPRIYO
A. Latar Belakang
hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Quran itu sendiri. Ibarat dua
saudara kandung, Al-Quran dan hadits tidak bisa dipisah-pisahkan, bahkan keduanya mempunyai
keterkaitan yang erat antara satu sama lainnya. merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang
terkandung dalam al-Quran. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan
Kendati demikian, keberadaan al-Hadits dalam proses tadwin (kodifikasi) nya sangat
berbeda dengan al-Quran. Sejarah hadits dan periodesasi penghimpunan nya lebih lama dan
panjang masanya dibandingkan dengan al-Quran. Al-Hadits butuh waktu 3 abad untuk
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah makalah ini akan membahas beberapa
PEMBAHASAN
At Tadwin atau Kodifikasi hadits menurut bahasa adalah pendewanan hadits atau
hadits yang secara resmi didasarkan perintah khalifah dengan melibatkan beberapa personil,
yang ahli dalam masalah ini, bukan yang dilakuan secara peseorangan seperti yang terjadi di
masa-masa sebelumnya. Sebagaimana Al-Quran, hadits juga menalami proses panjang dalam
pembukuannya. Proses pembukuan hadits sebenarnya terlambat sampai seratus tahun lebih
1. Kekuatan hafalan dan kecerdasan mereka sudah dapat diandalkan sehingga mereka tidak
2. Semula adanya larangan dari nabi untuk menulis hadits, seperti terdapat dalam shohih muslim.
Hal itu karena dikhawatirkan sejumlah hadits akan bercampur dengan Al-Quran, sehinggga Al-
Para ahli hadits menyatakan bahwa penulisan hadits telah dimulai sejak Rasulullah saw
masih hidup, kemudian tulisan hadits tersebut disebut dengan shahifah (suhuf) (jamak). Seperti
shahifah as-shadiqah karya Abdullah bin Amr bin As.Shahifah ini sampai kepada kita melalui
kitab kumpulan hadis karya Ahmad bin Hanbal yang berjudul Musnad. Akan tetapi di antara
para ahli hadits berbeda pendapat tentang kebolehan menulis hadis pada saat Nabi saw masih
hidup, yang didasarkan adanya hadis yang membolehkan dan melarang menuliskanya. Hadis
karena ingin menghafalkanya, tetapi orang Quraisy mengkritiknya. Menurut mereka Nabi hanya
manusia biasa yang berbicara dalam keadaan senang dan marah. Hal ini kemudian Abdullah bin
Amr bin As menyampaikan kepada Rasulullah saw yang kemudian bersabda Tulislah (hadis
itu)! Demi Allah, tidak keluar dari Rasul itu kecuali suatu kebenaran(HR Bukhari).
2. Jabir bin Abdillah bin Amr al-Anshari (w 78 H). Ia memiliki catatan hadis dari Rasul SAW
tentang manasik haji. Hadisnya diriwayatkan Muslim. Catatanya dikenal Sahifah Jabir.
3. Abu Hurarirah ad-Dausi (w. 59 H). Ia memiliki catatan yang dikenal dengan Sahifah
4. Abu Syah (Umar bin Saad al-Anmari), seorang penduduk Yamman. Ia meminta Rasul saw
mencatatkan hadis, ketika Rasul berpidato dalam penakklukan Makkah (futuh Makkah).
1. Hadis riwayat Ahmad bin Hanbal yang berbunyi Jangan kamu menuliskan apa-apa yang
datang dariku, siapa yang menuliskan sesuatu dariku selain Al-Quran, maka hapuslah.
2. Riwayat Abu Hurairah ra Rasul saw datang kepada kami sedang kami menulis hadis, lalu
beliau bersabda Apa yang kalian tulis ? Kami menjawab Hadis-hadis yang kami dengar dari
engkau. Beliau berkata Apakah kalian menghendaki kitab selain kitabullah ? Tidaklah sesat
umat sebelum kalian melainkan karena mereka menulis dari kitab-kitab selain kitabullah.
Dari uraian diatas memang nampak pertentangan mengenai kebolehan dan pelarangan
penulisan hadis. Abdul Halim Mahmud, mantan rektor Universitas Al-Azhar Kairo menyatakan
bahwa kedua hadis diatas benar. Mengenai larangan menulis hadis itu bersifat umum sedang
kebolehan menulis hadis bersifat khusus. An-Nawawi dan as-Suyuthi berpendapat bahwa
larangan tersebut adalah bagi yang kuat hafalanya, sehingga tidak khawatir terjadinya campur
aduk Al-Quran dan hadis. Tetapi bagi yang mudah lupa dibolehkan mencatatnya. Hajjar al-
Asqalani mengatakan larangan penulisan hadis adalah karena ada kekhawatiran tercampurnya
antara Al-Quran dengan hadis. Atau juga untuk tidak menuliskan Al-Quran dan hadis dalam
satu shuhuf.
Sejarah Perkembangan hadits terjadi dalam tujuh periode (Menurut Prof. Dr. T.M. Habsi
Ashidiqi ) :
3. Periode ketiga, yakni pada masa sahabat kecil dan tabiin besar
4. Periode keempat, yakni pada masa pembukuan dan pengumpulan hadits (abad ke II H)
5. Periode kelima, yakni pada masa mentashihkan hadits dan qaedah-qaedahnya (abad ke III H)
Masa pengkodifikasian hadits secara resmi terjadi pada periode keempat sekitar abad kedua.
Pengkodifikasian hadits secara resmi terjadi pada abad ke II hijriyah. Ini terjadi pada
masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (thn 99 H-101 H). Beliau adalah salah satu Khalifah dari
Bani Ummayah. Beliau merupakan orang yang pertama berinisiatif untuk melakukan kodifikasi
hadits secara resmi. Beliau mengirim surat edaran kepada para gubernur di daerahnya masing-
masing agar menunjuk ulama di tempat masing-masing untuk menghimpun hadits-hadits Nabi
SAW secara khusus serta menelitinya, untuk menentukan hadits sohih dan hadits yang tidak
sohih.
Motif utama Khalifah umar bin abdul aziz berinisiatif untuk mengkodifikasikan hadits
adalah:
1. Kekhawatiran beliau akan hilngnya dan lenyapnya hadits karena kian lama kian banyak
2. Kemauan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara hadits dari hadits-hadits
maudhu yang dibuat oleh orang-orang yang mempertahankan ideologi golongannya dan
mazhabnya, yang mulai tersiar sejak awal berdirinya kekhalifahan Ali bin Abi Thalib r.a
3. Alasan tidak terdewannya hadits secara resmi di zaman Rosulullah SAW dan khulafaur
Rasyidin karena adanya kekhawatiran bercampur aduknya hadits dengan Al-Quran telah hilang,
disebabkan Al-Quran telah di kumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata di seluruh
pelosok.
Untuk menghasilkan maksud mulia itu, pada tahun 100 H, Khalifah meminta kepada
Gubernur Madinah Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amer ibn Hazmin supaya membukukan
hadits Rasul yang terdapat pada penghafal wanita yang terkenal yaitu : Amrah binti Abdir
Rahman ibn Saad ibn Zurarah ibn Ades, seorang ahli fiqih, murid Sayyidah Aisyah r.a dan
hadits-hadits yang ada pada Al-Qasim Ibnu Muhammad Ibnu Abu Bakar As-Shiddiq, salah
yang ada di bawah kekusaannya supaya berusaha membukukan hadits yang ada pada ulama
yang diam di wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadits
atas kemauan khalifah itu, ialah : Abu Bakar Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Syihab
Az Zuhry, seorang tabiin yang ahli dalam urusan fiqh dan hadits.
Kitab hadits yang di tulis oleh Ibnu Hazm yang merupakan kitab hadits yang pertama
yang ditulis atas perintah Kepala Negara tidak sampai kepada kita, tidak terpelihara dengan
semestinya. Dan kitab itu tidak membukukan seluruh hadits yang ada di Madinah.
Membukukan seluruh hadits yang ada di Madinah itu, dilakukan oleh Imam Muhammad
ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Syihab Az Zuhry, yang memang terkenal sebagai seorang ulama
Kemudian dari itu berlomba-lomblah para ulama besar membukukan hadits atas anjuran
Abu Abbas As Saffah dan anak anaknya dari khalifah-khalifah Bani Abbasiyah. Akan tetapi tak
dapat diketahui lagi, siapakah yang mula-mula membukukan hadits setelah Az Zuhri itu, karena
Para ulama abad ke II membukukan hadits dengan tidak menyaringnya, yakni : mereka
tidak hanya membukukan hadits-hadits saja, fatwa-fatwa sahabat pun dimasukan ke dalam
bukunya itu, bahkan fatwa-fatwa para tabiin juga di masukkan. Semua itu di bukukan bersama-
sama. Maka terdapatlah di dalam kitab-kitab itu hadits-hadits marfu, mauquf, dan maqthu.
Kitab hadits yang menghimpun hadits-hadits nabi saja hanyalah kitab yang di susun oleh
Muhammad ibnu Hazm. Beliau melakukan demikian mengingat adanya intruksi Khalifah Umar
1. Al Muwaththa
3. Mukhtlifatul Hadits
4. As Siratun Nabawiyah
Abad III ini di sebut juga dengan Periode Penyaringan dan Pentashihan. Periode
penyeleksian ini terjadi karena pada abad ke II belum di pisahkan antara hadis mauquf dan
maqtu dan hadis marfu. Hadis yang hasan, dhoif ataupun hadis yang maudhu masih
bercampur dengan yang shahih. Mereka kemudian membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat
untuk menentukan apakah hadis itu shahih atau dhaif. Para perawipun tidak luput dari sasaran
Dalam abad ketiga hijriyah ini memuncaklah usaha pembukuan hadits. Hiduplah
kemauan menghafal hadits, mengumpulkan dan membukukannya, dan mulailah ahli-ahli ilmu
berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari
kota mereka masing-masing. Sebagian kecil saja di antara mereka yang pergi ke kota lain untuk
kepentingan hadits.
Keadaan ini dipecahkan oleh Al Bukhori. Beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah-
daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits. Beliau pergi ke Maru, Naisabur, Rei, Baghdad,
Basrah, Kufah, Makkah, Madinah, Mesir, Damasyik, Qaisariyah, Asqalan dan Himmash.
daerah. Enam belas tahun lamanya terus-menerus Al Bukhari menjelajah untuk menyiapkan
kitab sahihnya.
Pada mula-mula dahulu ulama-ulama islam menerima hadits dari para perawi, lalu
menulis kedalam bukunya dengan tidak mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak
hadits. Maka mereka pun menambah kegiatan untuk mengacau balaukan hadits, yaitu dengan
2. memisahkan hadits-hadits yang sahih dari yang dloif, yakni mentasishkan hadits.
Pentashihhan dan penyaringan hadits atau memisahkan yang sahih dari yang dloif
2. Kitab-kitab Sunan
Untuk menyaring hadits-hadits itu serta membedakan hadits yang shahih dari yang palsu
dan dari yang lemah, Ishaq Ibn Rahawaih, seorang imam hadits yang besar, terdorong untuk
Pekerjaan yang mulia ini, kemudian disempurnakan ole imam al-Bukhary. Al-Bukhry
menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama al-Jami ash-shahih yang membukukan hadits-
hadits yang dianggap shahih saja. Kemudian usaha al-Bukhary ini diikuti pula oleh muridnya
yang sangat alim, yaitu Imam Muslim. Maka dengan jerih payah kedua sarjana besar ini, kita
Sesudah shahih al-Bukhary dan shahih Muslim tersusun, muncul pula beberapa orang
imam lain menuruti jejak kedua pujangga tersebut, seperti Abu Daud (Sunan Abi Daud), At-
Tirmidzy (sunan At-Tirmidzy) dan AnNasay (sunan an-Nasay). Itulah yang kemudian terkenal
dalam kalangan masyarakat ulama dengan kitab-kitab pokok yang lima (al-Ushul al-Khamsah).
Di samping itu Ibnu Majah berupaya menyusun sebuah kitab sunan yakni Sunan Ibnu
Majah. Kitab ini oleh sebagian ulama digolongkan dalam kitab-kitab induk, lalu menjadikan
kitab-kitab induk itu enam buah banyaknya terkenal dengan nama al-Kutub as-Sittah. Di bawah
Untuk mentashhihkan hadits, dibutuhkan pengetahuan yang luas tentang Tarikh Rijal al-
hadits - sejarah perawi hadits -, tanggal lahir dan wafat para perawi, agar dapat diketahui, apakah
dia bertemu dengan orang ia riwayatkan haditsnya atau tidak. Dengan pengetahuan yang
mendalam tentang parawi hadits sejak zaman shahaby hingga zaman al-Bukhary (umpamanya),
dapat diketahui bagaimana tingkat kebenaran dan kepercayaan perawi-perawi itu, nilai-nilai
hafalan mereka, siapa yang benar dapat dipercaya, siapa yang tertutup keadaan, siapa yang dusta,
Al-Bukhary mempunyai dua keistemewaan, yaitu pertama, hafalan yang sungguh kuat
yang jarang kita temukan bandingannya, khususnya dalam bidang hadits. Kedua, keahlian dalam
meneliti keadaan perawi-perawi yang dapat kita lihat dalam kitab tarikhnya yang disususn untuk
Perawi-perawi yang menerima hadits dari tokoh-tokoh hadits, seperti az-Zuhry, tentu
tidak sama semuanya. Ada yang erat dengan az-Zuhry, ada yang tidak. al-Bukhary mensyaratkan
perawi-perawi yang erat hubungannya. Muslim menerima perawi-perawi yang tidak erat
hubungannya, sama dengan menerima perawi-perawi yang erat hubungannya. Mengenai orang-
orang yang bukan tokoh, maka baik Al-Bukhary maupun muslim menerimah riwayatnya asal
saja perawi itu terpercaya, adil tidak banyak khilaf atau keliru.
perhatian adalah al-Bukhary dan Muslim tidak menceritakan sedikitpun dari hadits Imam Abu
Hanifah, padahal al-Bukhary dan muslim itu mendapati sahabat-sahabat kecil dari Abu Hanifah
dan menerimah hadits dari mereka. Juga al-Bukhary dan muslim tidak mentakhrijkan hadits
imam Asy-Syafiy padahal beliau-beliau itu menjumpai sebagian ashabnya. Juga al-Bukhary
tidak mentakhrijkan hadits-hadits ahmad selain dari dua hadits, satu secara taliq, satu lagi secara
nasil dengan perantaraan, padahal al-Bukhary mendapati ahmad dan bergaul dengannya. Muslim
tidak mentakhrijkan dalam shahinya barang satu hadits dari hadits al-Bukhary, padahal muslim
bergaul dengannya dan menuruti jejaknya. Dan tidak meriwayatkan dari hadits ahmad selain dari
30 hadits, ahmad tidak mentakhrijkan dalam musnadnya dari malik dari nafi melalui jalan Asy-
Syafiy padahal sanad ini dipandang paling sah, selain dari empat hadits.
Ulama di samping membukukan hadits dan memisakan hadits dari fatwa-fatwa sahabat
dan tabiin, atau memisahkan yang shahih dari yang dhaif, mereka memberikan pula
syarat-syarat menerimah riwayat, syarat-syarat menolaknya, syarat shahih dan dhaif, serta
Semua itu mereka lakukan untuk memelihara sunnah Rasul dan untuk menetapkan garis
pemisah antara yang shahih dengan yang dhaif, khususnya antara hadits-hadits yang ada asalnya
menerimah hadits sehingga mereka dapat melepaskan sunnah dari tipu daya dan membersikan
dari segala lumpur yang mengotorinya ialah mengisnadkan hadits, memeriksa benar tidaknya
hadits yang diterima kepada para ahli, mengkritik para perawi, membuat ketentuan-ketentuan
kaidah-kaidah maudhu.
d. Mengisnadkan Hadits
Para sahabat sesudah Nabi saw. Wafat, saling mempercayai. Para tabiin dengan tidak
tertugun-tegun menerima hadits yang diriwayatkan kepadanya oleh seorang shahaby. Keadaan
tersebut berjalan sampai timbulnya fitnah yang digerakan oleh Abdullah Ibnu Saba, seorang
yahudi yang bermaksud jahat terhadap Islam. Dia menggerakan ummat untuk menganut paham
tasyayyu (paham memihak kepada Ali dan mempertahan kekhalifaan di tangan Ali dan
keturunannya). Mereka ada yang mengaku keturunan Ali. Sejak itu, timbulnya penyisipan ke
Berkenaan dengan hal itu, mulailah ulama baik dari kalangan sahabat, maupun tabiin
berhati-hati menerima riwayat yang diberikan kepada mereka. Mereka mulai tidak lagi menerima
hadits kecuali yang mereka ketahui jalan datangnya dan keadaan perawi-perawinya dan keadilan
mereka. Ibnu sirin berkata (menurut riwayat Muslim dalam muqaddimah shahihnya), para
sahabat dan tabiin tidak menanyakan tentang hal isnad. Namun, ketika mulai terjadi fitnah,
maka ketika menerima suatu hadits bertanya, siapa yang memberikan hadits itu? sesudah
diketahui sanad, diperiksalah apa sanad itu terjadi dari Ahlus Sunnah. Kalau benar, diambillah
hadits itu. Kalau perawi itu dari golongan ahli bidah, ditolaklah hadits itu. Keadaan ini mulai
Diriwayatkan Muslim dari Mujahid, bahwa Busyair al-adawy datang kepada Ibnu Abbas,
lalu menceritakan hadits kepadanya. Ibnu Abbas tidak memperhatikan hadits-hadits yang di
riwayatkan itu. Maka Busyair bertanya, apakah sebabnya anda tidak mendengarkan hadits-
hadits yang saya riwayatkan? Ibnu Abbas menjawab, Dahulu, apabila mendengar hadits, kami
dan liar, tidaklah kami menerima selain dari yang kami ketahui. Berkenaan dengan ini pula,
Abu Aliyah berkata, kami mendengar hadits-hadits dari seorang sahabat. Kami tidak
senang kalau kami tidak berpayah-payah datang kepada sahabat itu untuk mendengar hadits.
imam-imam hadits. Dengan inayah Allah SWT, banyak para sahabat yang hidup lama. Maka
ketika timbul kedustaan dalam hal hadits, seseorang yang menerima hadits pergi kepada para
Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddimah Shahihnya dari Ibnu Abi Mulaikah:
Saya menulis surat kepada Ibnu Abbas supaya beliau menulis untuk saya sebuah kitab dan
menyembunyikan (yang tidak ada) pada saya. Ibnu Abbas berkata, Seorang anak yang jujur,
saya akan memilih untuknya beberapa hal dan menyembunyikannya (hal-hal yang tidak benar).
Ibnu Mulaikah berkata, maka Ibnu Abbas meminta orang membawakan kepadanya kitab hukum
Ali. Lalu beliau menyalin beberapa urusan dan terkadang-kadang apabila didapatinya yang tidak
benar, berkata, demi Allah, Ali tidak menghukum begini, terkecuali dia sesat.
Untuk memenuhi maksud ini para sahabat dan para tabiin membuat perlawatan dari kota
ke kota, untuk mendengar hadits-hadits dari orang terpercaya.Basyir Ibnu Abdillah al-Hadhramy
berkata, saya berkendaraan dari sebuah kota ke beberapa kota hanya untuk mencari sebuah
hadits.
ataupun Kedustaannya
Inilah sebuah usaha besar yang dilaksanakan ulama untuk membedakan hadits-hadits
yang shahih dari yang tidak dan yang kuat dari yang lemah. Dalam hal ini ulama mengalami
kesulitan yang besar sekali. Mereka mempelajari sejarah perawi, perjalanan hidupnya, dan hal-
hal yang tersembunyi bagi umum dari keaadaan-keadaan para perawi-perawi itu. Mereka dengan
tidak segansegan menerangkan cacat seorang perawi dan memberitakannya kepada umum.
Pernah dikatakan orang kepada Yahya Ibn Said al-Qaththan, Apakah anda tidak takut
pada hari kiamat mereka menjadi seteru anda di hadapan Allah? Yahya menjawab, Saya lebih
suka menjadi seteru mereka daripada menjadi seteru Rasul saw. Rasul akan bertanya, mengapa
Untuk ini ulama telah membuat undang-undang atau kaidah umum untuk menetapkan
orang-orang boleh diterima riwayatnya dan yang tidak. Mereka juga menerangkan mana orang-
orang yang tidak boleh sama sekali diterima haditsnya. Walhasil, lahirlah Ilmu al-Jarh wa at-
kaidah-kaidah untuk membedakannya dengan derajat yang lain. Mereka membagi hadits menjadi
shahih dan dhaif. Mereka membuat kaidah- kaidah untuk mensahihkan suatu hadits dan untuk
men-dhaif-kannya. Dengan perkataan lain, mereka melahirkan ilmu mustalahul hadits, yaitu
ilmu yang menetapkan kaidah-kaidah ilmiah untuk menshahihkan khabar dan kaidah-kaidah
Untuk menyaring hadits, menapis dan memisahkan hadits-hadits yang sahih, hasan dan
dhaif dari maudhu, yang dipandang seburuk-buruk hadist dhaif, mereka menetapkan dasar-
dasar yang harus kita pegang dalam menentukan hadits-hadits maudhu itu. Dengan memahami
tanda-tanda tersebut, dapatlah dengan mudah kita mengetahui tanda-tanda hadits maudhu yang
sudah banyak tersebar dalam masyarakat yang awam oleh golongan yang mempunyai suatu
maksud kemuslihatan.
Di antara tokoh-tokoh hadits yang lahir dalam masa ini ialah Ali Ibn al-Madiny, Abu
Hatim ar-Razy, Muhammad Ibn Jarir ath-Thabary, Muhmmad Ibn Saad, Ishaq Ibn Rahawaih,
Ahmad, al-Bukhary, Muslim, An-Nasay, Abu Daud, At-Tarmidzy, Ibnu Majah, Ibnu Qutaibah,
Ad-Dainury.
4. As-Sunan oleh Imam Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy'at (202-275 H).
(181-255 H).
7. As-Sunan oleh Imam Muhammad bin Yazid bin Majah Ibnu Majah (209 - 273 H).
9. Al-Muntaqa al-Ahkam oleh Imam Abd Hamid bin Jarud (wafat 307 H).
10. Al-Mushannaf oleh Imam Ibn. Abi Syaibah (wafat 235 H).
11. Al-Kitab oleh Muhammad Sa'id bin Manshur (wafat 227 H).
12. Al-Mushannaf oleh Imam Muhammad Sa'id bin Manshur (wafat 227 H).
13. Tandzibul Afsar oleh Imam Muhammad bin Jarir at-Thobari (wafat 310 H).
Dan masih banyak sekali kitab-kitab musnad yang ditulis oleh para ulama abad ini.
D. Kodifikasi Hadist Pada Abad 4 Hijriyah Hingga tahun 656 H
Ulama-ulama hadit dalam abad kedua dan ketiga, digelar mutaqaddimin, yang
mengumpulkan hadits dengan semata-mata berpegang kepada usaha sendiri dan pemeriksaan
sendiri, dengan menemuai para penghafalnya yang tersebar di setiap pelosok dan penjuru negara
Maka setelah abad ketiga berlalu bngkitlah pujangga-pujangga abad keempat. Ahli abad
keempat ini dan seterusnya digelari mutaakhirin. Kebanyakan hadits yang mereka kumpulkan
adalah petikan atau nukilan dari kitab-kitab mutaqaddimin itu, sedikit saja yang dikumpulkan
Para ulama hadits berderajat-derajat kedudukannya. Ada di antara mereka yang dapat
menghafal 100.000 hadits, yang karena itu mereka dinamakan hafidh. Ada yang menghafal
300.000 hadits, dan mendapat nama hujjah, sedangkan yang lebih dari jumlah itu digelari
hakim.
2. Kitab-kitab yang mengumpulkan hadits-hadits shahih yang tidak terdapat dalam kitab-
1. Kitab-kitab Shahih dan sunan disusun dengan dasar membagi kitab-kitab itu kepada beberapa
kitab dan tiap-tiap kitab dibagi kepad beberapa bab : umpamanya bab thaharah, bab wudhu, bab
shalat dan seterusnya. Maka tiap-tiap hadits yang berpautan dengan thaharah dimasukan ke
2. Kitab Musnad disusun menurut nama perawi pertama, perawi yang menerima dari rasul. Maka
segala hadits yang diriwayatkan oleh abu bakar umpamanya, diletakan di bawah nama abu bakar.
3. Ada juga yang menyusun kitabnya secara kamus, memulinya dengan hadits yang berawalan a-
i-u. Kemudian yang berawalan b, demikian seterusnya, seperti kitab Al Jamiush Shaghir
susunan As Sayuthy
1. Mengumpulkan hadits - hadits Bukhori dan Muslim dalam sebuah kitab, seperti dilakukan
oleh Muhammad Ibn Abd Allah Al Jawzaqa dengan kitabnya al _ jami al bayn al shahihain.
2. Mengumpulkan hadits hadits di kitab enam hadits dalam sebuah kitab, dilakukan oleh Ibn al
3. Mengumpulkan hadits hadits dari berbagai kitab ke dalam satu kitab yang dilakukan oleh
Imam Husain Ibn Masud Al Baghawi (516 H) dalam kitabnya mashahib al Sunnah yang
kemudian diseleksi oleh Al Khat Ibn At Thabrizi dengan kitab misykah al masyabih.
Mulai dari masa baghdad diancurkan oleh Hulagu Khan, berpindahlah kegiatan
perkembangan hadits ke Mesir dan India. Dalam masa ini banyaklah kepala-kepala pemerintahan
Disamping itu tak dapat dilupakan usaha ulama-ulama india dalam mengembangkan
kitab-kitab hadits yang berkembang dalam masyarakat ummat islam dengan usaha penerbitan
yang dilakukan oleh ulama-ulama india. Merekalah yang menerbitkan kitab ulumul hadits
karangan Al Hakim. Pada masa akhir-akhir ini berpindah pula kegiatan itu ke daerah kerajaan
saudi arabia.
Jalan-jalan yang ditempuh oleh ulama-ulama dalam masa ini, ialah : menertibkan isi
kitab-kitab hadits, menyaringnya dan menyusun kitab-kitab takhrij, serta membuat kitab-kitab
jami yang umum, kitab-kitab yang mengumpulkan hadits-hadits hukum, mentakhrijkan hadits-
hadits yang terdapat dalam beberapa kitab, mentakhrijkan hadits-hadits yang terkenal dalam
1. Kitab-kitab Zawaid
Dalam periode ini bangunlah ulama mengumpulkan hadits-hadits yang tak terdapat dalam
kitab-kitab yang sebelumnya kedalam sebuah kitab tertentu. Kitab-kitab itu mereka namai, Kitab
Zawaid.
Ulama-ulama hadits dalam periode ini mengumpulkan pula hadits-hadits yang terdapat
dalam bebrapa kitab, kedalam sebuah kitab yang tertentu. Diantara kitab yang merupakan
b. JamiulJawami
1. Az Zahaby
2. Ibnu Saiyidinas
4. Mughlathai
5. Al Asqalani
6. Ad Dimyaty
7. Al Ainy
8. As Sayuti
BAB III
KESIMPULAN
Proses kodifikasi hadits adalah proses pembukuan hadits secara resmi yang dikoordinasi
oleh pemerintah dalam hal ini adalah Khalifah, bukan semata-mata kegiatan penulisan al-Hadits,
karena kegiatan penulisan hadits secara berkesinambungan telah dimulai sejak Rasulullah SAW.
masih hidup. Pada abad 3 ini proses kodifikasi hadits lebih tertumpu pada pentashhihan dan
penyusunan kaidah-kaidah supaya tidak tercampur lagi hadits-hadits shahih dengan yang tidak
shahih. Sehinggakan pada pertengahan abad ke-3, kemauan menghafal hadits, mengumpulkan
Tidak dilakukan kodifikasi hadits secara resmi pada masa Nabi SAW. dikarenakan
adanya kekhawatiran terjadi campur aduk antara Al-quran dan Sunnah, dan supaya kaum
muslimin tidak tersibukkan dengan dengan menuliskan Sunnah sehingga melupakan Al-quran,
Rasulullah SAW. memakruhkan penulisan bagi yang tidak bisa menulis dengan baik atau
bisa mengandalkan hafalan. Dan beliau memperbolehkan bagi yang tidak bisa mengandalkan
hafalan.
Umar bin Abdul Aziz mengkhawatirkan lenyapnya sunnah dan menyusupnya pemalsuan
memerintahkan kepada mereka yang berkuasa di berbagai kawasan Islam untuk memberikan
perhatian serius terhadapnya dan memotifasi ulama agar membentuk kelompok-kelompok kajian
hadits di masjid-masjid masing-masing. Umar bin Abdul Aziz jug melibatkan diri dengan ulama
dalam menangani hal ini. Sebelum wafat, beliau membagi hasil tulisan imam az-Zuhriy ke
berbagai daerah. Umar bin Abdul Aziz jelas memiliki peran yang besar dalam mengemban
Ajaj al-Khatib, Muhammad. 2007. Ushul Al-Hadits, Gaya Media Pratama; Jakarta
Ash-Shiddiqy, Subhi. 1980. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Bulan Bintang; Jakarta
http://multazambahri.blogspot.com/2011/04/sejarah-perkembangan-hadits-masa.htm
Muhamad Mashum Zein, Ulumul Hadist dan Mustholah Hadits, (Jombang : Darul Hikmah,
2008).
, , , : , 1988
Muhammad Mashum Zein, Ulumul Hadits dan Mustholah Hadits, ( Jombang : Darul-Hikmah, April
2008 )