Anda di halaman 1dari 3

Periode pertama ialah Asru al-Wahyu wa al-Takwin atau masa diturunkannya wahyu dan penyampaian

hadis oleh Rasulullah saw. Penyampaian hadis oleh Rasulullah, sebagaimana telah kita ketahui,
dilakukan tidak hanya secara lisan namun juga melalui perbuatan-perbuatan beliau. Pada masa ini
sahabat menerima hadis dengan cara menghafalkan, dan menulis saat memiliki kesempatan untuk
melakukannya. Penulisan hadis pada masa awal perkembangan hadis sangat terbatas mengingat bahwa
terdapat pelarangan mengenai penulisan Hadis, sebelum kemudian diperbolehkan oleh Rasulullah saw.

Setelah Rasulullah saw. wafat dan bersamaaan dengan dimulainya kepemimpian Khulafaur Rasyidin
perkembangan Hadis memasuki periode kedua. Periode ini dinamakan dengan Tastabut wa al-Iqlal min
al-Riwayah, yaitu pematerian dan pembatasan/penyedikitan riwayat. Bersamaan dengan meluasnya
penyebaran Islam, maka turut menyebar pula hadis-hadis Rasulullah saw. Kemudian untuk mencegah
dan mengurangi hal-hal yang tidak diinginkan, maka periwayatan hadis-pun tidak dapt dilakukan secara
sembarangan. Penyebaran yang luas bisa menjadi faktor adanya perbedaan periwayatan atau bahkan
kedustaan yang mengatasnamakan nabi dengan kedok hadis.

Periode selanjutnya-pun dimulai bersamaan juga dengan berakhirnya masa Khulafaur Rasyidin. Pada
periode ini hadis sudah menyebar ke berbagai wilayah bahkan hingga ke Afrika, maka dari itu ia
dinamakan dengan Intisyaru Al-Riwayah. Masa ini memiliki rentang waktu dari berakhirnya kekuasaan
Khulafaur Rasyidin hingga berdirinya Daulah Umayyah, atau semenjak masa Sahabat Kecil hingga masa
Tabi’in.

Setelah masa penyebaran, dimulailah periode yang sangat penting yaitu Asru al-Kitabah wa al-Tadwin
atau penulisan dan pengkodifikasian/pembukuan. Pada masa ini marak terjadi pembukuan hadis
sebagaimana kitab-kitab hadis yang kita temui pada hari ini. Salah satu karya tertua yang dapat kita
temui hingga hari ini ialah Al-Muwattha’ karya Imam Malik bin Anas. Masa kodifikasi hadis merupakan
titik balik dari perkembangan hadis baik dari segi periwayatan dan penyebaran hadis dan juga kajian-
kajian mengenai hadis itu sendiri.

Pasca kodifikasi, kemudian dimulailah masa penyaringan, pemeliharaan, dan penyempurnaan atau Asru
al-Tajrid wa al-Tashih wa al-Tanqih. Periode ini berlangsung selama abad ke-3 Hijriah. Pada periode ini
hadis-hadis yang sudah dikodifikasi kemudian di-filter mengenai mana yang merupakan hadis dari nabi
dan mana yang bukan, melalui masa inilah kita dapat mengenal kitab-kitab hadis yang mu’tabarah.

Periode selanjutnya ialah masa al-Tahdzib wa al-Tartib wa al-Istidrak atau masa pembersihan,
penyusunan, dan penambahan. Sejak awal abad ke-4 Hijriah, fokus dari studi hadis, atau karya-karya
hadis dialihkan kepada penertiban kitab-kitab serta hadis-hadis itu sendiri. Maka dari itu dapat ditemui
karya-karya dalam bidang hadis bercorak tematis ataupun yang bersifat komentar atas kitab hadis yang
sudah disusun sebelumnya.

Periode terakhir, yaitu periode ke-7 ialah periode syarah, penghimpunan, dan peng-takhrij-an atau Asru
al-Syarh wa al-Jam’u wa al-Takhrij. Pada masa ini dapat dikatakan hadis dan ilmu hadis sudah dalam
posisi yang matang dan periode ini masih berjalan hingga masa kini.

Namun demikian, terkait masa yang sedang berjalan mungkin perlu menjadi pertimbangan pula bahwa
saat ini hadis telah memasuki periode baru, yaitu periode digitalisasi. Namun, tentu hal ini masih belum
menjadi hal yang berlaku secara formil, dan juga kebutuhan akan memasukkan unsur yang demikian
dalam periodisasi-pun masih memerlukan pembahasan lanjutan.

Tahap-tahap Persebaran Hadis

Hadis yang merupakan sumber kedua ajaran Islam setelah Alquran, melalui proses perkembangan. Ada
beberapa tahap yang berkaiatan dengan diseminasi hadis. Periode pertama adalah masa wahyu dan
pembentukan hukum serta dasar-dasarnya. Pada masa ini, Muhammad hidup di tengah masyarakat.

Ketika itu Muhammad memerintahkan sahabatnya menuliskan setiap wahyu yang turun. Secara
bersamaan, ia melarang menulis hadis. Tujuannya agar semua potensi diarahkan pada Alquran. Namun,
keinginan para sahabat mencatat hadis tak bisa dibendung. Hal ini disebutkan oleh Anas bin Malik:
"Ketika kami berada di sisi Nabi, kami simak hadisnya dan ketika bubar, kami mendiskusikan hadis
tersebut hingga kami menghafalnya."

Kala itu, hadis diterima para sahabat ada yang secara langsung, yaitu melalui majelis pengajian serta
karena respons terhadap perilaku umat yang membutuhkan penjelasan.

Ada juga hadis yang diterima secara tak langsung. Biasanya hal itu diakibatkan oleh beberapa hal seperti
kesibukan yang dialami sahabat, tempat tinggal sahabat yang jauh, atau perasaan malu untuk bertanya
langsung kepada Nabi Muhammad. Contoh dari hal ini adalah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan
Muslim dari Aisyah.

Hadis itu berisi tentang jawaban pertanyaan seorang perempuan mengenai bagaimana membersihkan
diri dari haid.

Lalu, periode kedua. Ini dikenal pula sebagai periode membatasi hadis dan menyedikitkan riwayat, yaitu
pada masa empat khalifah, Abu Bakar as-Sidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi
Thalib.
Permasalahan yang sangat menarik perhatian di masa itu adalah soal ketatanegaraan dan
kepemimpinan umat. Dua soal selain penyebaran Islam. Situasi politik dan perpecahan berimbas pada
penyebaran hadis. Maka itu, Abu Bakar dan Umar mengingatkan kepada umat Islam untuk mencermati
hadis yang mereka terima.

Adapun periode ketiga disebut juga penyebaran riwayat ke kota-kota yang berlangsung pada era
sahabat kecil dan tabiin besar. Ini terkait dengan penaklukan tentara Islam terhadap Suriah, Irak, Mesir,
Persia, Samarkand, serta Spanyol yang menyebabkan mereka menyebar ke wilayah baru itu untuk
mengajarkan Islam.

Pada perkembangan selanjutnya, seorang sahabat yang mendengar sebuah riwayat yang belum pernah
didengarnya, akan berkunjung ke wilayah seorang sahabat yang disebut meriwayatkan hadis itu. Dalam
riwayat Bukhari, Ahmad, dan at-Tabari serta al-Baihaki disebutkan, Jabir pernah pergi ke Suriah dengan
maksud seperti di atas.

Periode keempat dinamakan periode penulisan dan kodifikasi secara resmi yang berlangsung dari masa
Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 Masehi). Semuanya bermula dari keprihatinan Khalifah karena
semakin berkurangnya penghafal hadis karena meninggal dunia.

Dia mengirimkan surat kepada gubernur-gubernurnya untuk menuliskan hadis yang berasal dari
penghafal dan ulama di tempatnya masing-masing. Kebijakan ini tercatat sebagai kodifikasi pertama
hadis secara resmi. Dan, Abu Bakar Muhammad bin Syihab az-Zuhri merupakan ulama besar pertama
yang membukukan hadis.

Periode kelima adalah pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan. Hal ini berhubungan dengan
upaya membedakan antara hadis dan fatwa para sahabat serta adanya fenomena pemalsuan hadis.

Periode keenam dinamakan pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan. Para ulama
hadis pada masa ini, berlomba menghafal sebanyak-banyaknya hadis yang sudah dikodifikasi. Hingga
kemudian muncul bermacam-macam gelar keahlian dalam ilmu hadis, seperti al-Hakim dan al-Hafiz.
Mereka juga fokus pada perbaikan susunan kitab hadis dan mengumpulkan hadis pada kitab
sebelumnya ke dalam kitab yang lebih besar.

Periode ketujuh, aktivitasnya melanjutkan periode sebelumnya. Penghancuran Baghdad, Irak, sebagai
pusat pemerintahan Abbasiyah oleh Hulagu Khan menggeser kegiatan di bidang hadis ke Mesir dan
India. Cara penyampaian hadis pun berbeda. Kadang-kadang berupa pemberian izin oleh seorang guru
kepada murid untuk meriwayatkan hadis dari guru itu yang dinamakan dengan ijazah.

Anda mungkin juga menyukai