Anda di halaman 1dari 10

SEJARAH HADIS PRAKODIFIKASI PRIODE RASUL, SAHABAT , DAN TABIIN

PENDAHULUAN
Dalam diskursus pengetahuan Islam, Al-Quran dan hadismerupakan sumber tekstual yang
paling utama. Pada mulanya kedua sumber ajaran tersebut bukanlah berupa teks, melainkan
hanya berupa “lisan” perkataan atau amalan saja, yang selanjutnya secara bertahap dengan
perjalanan sejarah yang cukup kompleks dan alur yang sangat berliku, kemudian pada
akhirnya menjadi sebuah korpus teks yang tertulis dan disucikan. Hal ini sebagai
konsekwensi dari tradisi Islam yang dalam jangka waktu lama telah menciptakan pola
pengkultusan dari sebuah tradisi lisan dan kultus personal (nabi Muhammad) kepada bentuk
tradisi tulis atau teks yang selanjutnya teks tersebut menjadi pemangku sekaligus pengganti
otoritas (personal) dalam ajaran-ajaran Islam selanjutnya. Meskipun pada dasarnya al-Quran
dan hadis sebagaisumber ajaran berawal dari tradisi lisan yang sama yakni lisan nabi
Muhammad kepada para sahabat yang dalam hal ini keduanya didengarkan, dihafalkan dan
dituliskan, akan tetapidari segi periwayatan selanjutnya keduanya sangat berbeda. Al-Quran
berkembang dalam tradisi lisan (hafalan) dan teks (catatan) yang mutawatir dengan pola
kodifikasi yang berlangsung secara sangat ketat sejak diucapkan oleh nabi sampai wafatnya,
hingga pada akhirnya menjadi mushaf resmi di masa Ustman bin Affan.. Berbeda dengan
hadis yang periwayatannyaberlangsung secara variatif dimana sebagian kecilnya berlangsung
secara mutawatir dan sebagian besarnya berlangsung secara ahad. Maka dari segi
periwayatan, diskursus dan kodifikasihadis sebagai sumber tekstual mendapatkan problem
dan perhatian yang lebih banyak dari pada kitab suci Al-Quran.
Secara umum problem kodifikasi hadis tersebut sangat terlihat dari kondisi
periwayatannya yang pada awalnya hanya berupa tradisi lisan dengan sebaran yang sangat
sedikit, kemudian setelah wafatnya nabi tradisi lisan tersebut terkoodifikasi secara massif
dalam bentuk korpus teks yang sangat banyak. Di sisi yang lain proses koodifakasi tersebut
juga menciptakan problem mendasar dalam penggunaan istilah-istilah yang melingkupinya.
Terdapat beragam istilah yang ditemukan seperti “sunnah”, tradisi, “amal”, atsar, khabar dan
“hadis”, yang dalam khasanah perkembangan pengetahuan muslim sulitmembedakannya
antara satu dengan yang lain, sebab kesemuanya berkalut kelindan mewujud dalam satu
korpus “teks” yang sama yakni “hadis” sebagai sebuah teks.
PEMBAHASAN
1. SEJARAH PRAKODIFIKASI PADA MASA ROSUL

1
kodifikasi secara etimologis berasal dari kata tadwîn. Iamerupakan bentuk mas}dar dari
kata kerja dawwan yang memiliki banyak arti seperti merekam, mencatat, dan
membukukan.Arti kata dawwantergantung pada kata kedua yang disandingkan dengannya.1
Pada periode awal, perkembanganhadist dimulai pada masa Ashr al Wahy wa al Takwin,
yakni masa wahyu turun dari Nabi Muhammad SAW, pada masa ini studi hadist masih
berpusat pada Nabi Muhammad SAW, karena masa inimerupakan masa dimana Nabi SAW
masih ada.2
Di masa lalu, bermula sejak masa Nabi saw dan sahabat, memang terbuka peluanguntuk
membukukan Hadis, tetapi untuk menghindarkan tercampur baurnya dengan al- Qur’an,
maka nanti pada masa tabi’in barulah hadis dibukukan. Puncaknya adalah pada masa
kekhalifahan Abbasiyah, yakni ketika Umar bin Abd al-Azis menjabat gubernur Mesir (65–
85 H), ia menginstruksikan agar hadis-hadis ditulis dan dikodifikasikan dalam suatu kitab. 3
Terdapat pelbagai riwayat penulisan dokumen hadis padamasa kenabian yang tampak
kontradikitif. Ada riwayat yang berasal dari Rasul SAW yang mebolehkan untuk menuliskan
hadis, dan terjadinya kegiatan penulisan Hadis pada masa Rasul dan adapula sahabat yang
meriwayatkan hadis yang mengindikasikan larangan penulisan hadis seperti telah disinggung
di atas. Sehingga, para sarjana muslim protektor yang didasari oleh tendensi menyelamatkan
keotentikan penulisan Alquran, cenderung berpendapat bahwa pada umumnya sahabat
menahan diri dari melakukan penulisan hadis pada masa kenabian dan pemerintahan Khulafa
al-Rasyidin. Hal tersebut karena besarnya keinginan mereka untuk menyelamatkan Alquran
dan sekaligus Sunnah (hadis). Akan tetapi keadaan yang demikian tidak berlangsung lama,
karena illat larangan untuk menuliskan hadis secara bertahap hilang maka semakin banyak
pula para sahabat yang membolehkan penulisan hadis.
Abu Bakar as-Siddiq misalnya, adalah seorang sahabat yangberpendirian tidak
menyebarluaskan hadis tertulis pada masyarakat awam dan membakar hadis-hadis
sebagaimana diriwayatkan oleh anaknya Aisyah . Umar bin Khattab kemudian ditafsirkan
sebagai pelakon utama dan penting yang menyuarakan larangan penulisan hadis pada masa
pemerintahannya. Arbott berasumsi bahwa laporan-laporan tentang Muhammad telah ditulis
selama hidupnya, hanya saja, karena orang-orang muslim di berbagai negeri yang baru

1
Muhammad Subhan Zamzami, Paska Sarjana, and Iain Sunan, ‘Ideologi Dan Politik Dalam Proses Awal
Kodifikasi Hadis’, 03 (2013), 27.
2
Luthfi Maulana, ‘PERIODESASI PERKEMBANGAN STUDI HADITS (Dari Tradisi Lisan/Tulisan Hingga
Berbasis Digital)’, ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 17.1 (2016), 111
<https://doi.org/10.14421/esensia.v17i1.1282>.
3
Risna Mosiba and others, ‘Masa Depan Hadis Dan Ilmu Hadis’, Masa Depan Hadis Dan Ilmu Hadis, 5.2
(2016), 321.

2
ditaklukkan diluar arab kurang mengenal Alquran, khalifah Umar bin Khattab merasa
khawatir apabila perkembangan Islam mengalami nasib yang sama seperti perkembangan
agama yahudi dan kristen, yakni adanya teks suci yang dapat menyaingi, pendistorsi atau
mengubah Alquran.
Baihaqi menukil bahwa Umar berkehendak untuk membukukan Sunnah Nabi kemudian
ia bermusyawarah dengan para sahabat yang lain dan memutuskan agar segera dikodifikasi,
Umar lantas beristikharah selama sebulan dan berkesimpulan untuk mengurungkan niatnya
seraya berkata “ Dulu aku berkehendak untuk membukukan sunan (jamak sunnah Nabi)
namun aku mengingat kaum-kaum sebelum kalian yang menulis beberapa kitab kemudian
berpegang padanya dan meninggalkan kitabnya. Para sahabat lain yang juga melaksanakan
larang penulisan pada masa-masa awal itu di antaranya, adalah Abdullah bin Mas’ud, Ali bin
Abi Thalib, Abu Hurairah, Ibn Abbas, dan Abu Saids’ud, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah,
Ibn Abbas, dan Abu Said Al-Khudri. Akan tetapi, tatkala sebab –sebab larangan penulisan
hadistersebut, yaitu kekhawatiran akan terjadinya percampurbauran antara Alquran dengan
hadis atau dengan yang lainnya telah hilang, maka para sahabat pun mulai mengendorkan
larangan tersebut, dan bahkan di antara mereka ada yang justru melakukan dan menganjurkan
untuk menuliskan hadis yaitu ketika dia melihat pemeliharaan terhadap Alquran telah aman
dan terjamin seiring dengan rangkumnya kodifikasi Alquran, dia pun mulai menuliskan
sebagian hadis Nabi yang selanjutnya dikirimkannyya kepada sebagian pegawainya atau
sahabatnya. Abu Utsman al-Nahdimengatakan, “ketika kami bersama Uthbah ibn Farqad,
Umar menulis kepadanya tentang beberapa permasalahan yang didengarnya dari Rasul SAW,
yang diantaranya adalah mengenai larangan Rasulullah SAW memakai sutera.4
Menurut al-Azami, sahabat telahmulai melakukan pencatatan atas riwayat atau lika-liku
kehidupan Nabi. Ini bisa dibuktikan lewat beberapa karya sahabat masa awal.Abdullah bin
Amr bin al-‘Ash misalnya, terbukti telah mencatat beberapa peristiwa sejarah masa nabi.
Karya ini masih mungkin untuk ditemukan lewat hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Amar
Syu’ayb (w. 118 H). Atau Karya Urwah (w. 93 H) yang dalam bukunya menulis biografi
Nabi dengan menyebutkan nana-nama pendahulunya, yang kemungkinan besar, bahan-
bahannya didapatkan secara tertulis.5

4
Muhammad Abduh and others, ‘Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi Pra Kodifikasi Muhammad
Abduh | 63’, TAHDIS, 6.1 (2015), 68–70.
5
Prodi Ilmu and others, ‘KODIFIKASI HADIS SEJAK MASA AWAL ISLAM HINGGA TERBITNYA KITAB AL-
MUWATTHA ’ Yusran Abstrak I . Pendahuluan . Dalam Diskursus Pengetahuan Islam , Al-Quran Dan Hadis
Merupakan Sumber Tekstual Yang Paling Utama . 1 Pada Mulanya Kedua Sumber Ajaran Tersebut’, 8 (2017),
177.

3
Tidak adanya jaminan otentisitas ini memaksa disiplin ilmu hadis, melalui para
pengkajinya, bersusah payah merumuskan secara swadaya (tanpa kepastian dari Tuhan)
konsep yang bisa menjamin otentisitasnya, seperti rumusan untuk menguji sanad-nya, matan-
nya.6

2. SEJARAH PRAKODIFIPIKASI PADA MASA SAHABAT


Pada masa sahabat, wilayah kekuasan islam bertambah luas.seiring dengan ini masalah
sosial kemasarakatan tumbuh sangat heterogen, sebagai dampak peleburan etnis dan berbagai
macam kebudayaan. Dalam menyelesaikan berbagai masalah yang aktual pada waktu itu,
peran ijtihad dirasa sangat penting, karena tanpa ijtihad, akan banyak masalah yang tidak
diketahui status hukumnya, sementara wahyu (al-Qur’an) dan hadits sudah terhenti. Diantara
sahabat yang terkenal melakukan ijtihad sesudah Rasulullah wafat, ialah Abu Bakar, Umar
bin Khatob, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka'ab, Muaz bin Jabal, Ibnu Abas, dan Ibnu Mas'ud
Umar bin khattab dalam berijtihad seringkalimempertimbangkan kemaslahatan umat, dia
tidak sekedar menerapkan nash secara lahir, sementara tujuan hukum tudakWahyu Abdul
Jafar Ijtihad dalam Bentang Sejarah Prakodifikasi Ushul Fiqhtercapai.
Misalnya, demi kemaslahatan rakyat yang ditaklukan pasukan islam di suatu daerah, ia
menetapkan bahwa tanah di daerah tersebut tidak diambil oleh pasukan islam tetapi dibiarkan
digarap oleh penduduk daerah setempat, dengan syarat setiap panen harus diserahkan sekian
persen kepada pemerintahan islam, Umar bin khattab berpendapat jika rakyat di daerah
tersebut tidak memiliki mata pencaharian yang akibatnya bisa membebani Negara. Ulama
ushul fiqh berpendapat bahwa landasan Umar bin Khatab dalam kasus ini adalah
kemaslahatan.
Sedangkan Ali bin Abi Thalib melakukan ijtihad dengancara qiyas, yaitu mengqiaskan
hukuman orang yang meminum khamer dengan hukuman orang yang melakukan qadf.
Alasanya adalah bahwa seseorang yang yang mabuk karena meminum khamer akan
mengigau, dan apabila ia mengigau maka ucapanya tidak bisa dikontrol, sehinga dapat
menuduh orang berbuat berzina. Hukuman bagi pelaku qadf adalah delapan puluh kali dera.
Oleh sebab itu hukuman bagi orang yang meminum khamer sama dengan hukuman menuduh
zina. Meskipun para Sahabat Nabi SAW dalam berijtihad danberistinbath mengunakan cara
dan sumber rujukan yang satu, terkadang dalam mengambil putusan hukum suatu kasus bisa
berbeda-beda.

6
Nurkholis Hauqola, ‘Hermeneutika Hadis: Upaya Memecah Kebekuan Teks’, Jurnal THEOLOGIA, 24.1
(2013), 261–84 <https://doi.org/10.21580/teo.2013.24.1.324>.

4
Misalnya, Abu Bakar berpendapat bahwa kakek bisa menghalangi (menghijab) saudara-
saudaranya dari hakwaris, dengan alasan bahwa al-Qur'an menamai kakek dengan sebutan
ayah.7
‘Uṡmān bin ‘Affān mengikuti jejak kedua pendahulunya, bahkan ia pernah
tidakmembenarkan periwayatkan suatu hadis dari Nabi saw. bila ia tidak pernah
mendengarkannya pada zaman Abū Bakr dan ‘Umar. ‘Aliy bin Abī Ṭālib selain melakukan
hal yang sama dengan yang dilakukan oleh tiga khalifah sebelumnya, ia menambahkannya
dengan meminta periwayat bersangkutan untuk bersumpah sebagai persyaratan baginya
untuk menerima atau menolak suatu riwayat yang disampaikankepadanya.8
Diantara para sahabat yang memiliki atau telah menulishadits-hadits dalam shahifah,
ialah :
1. Abdullah bin Amr bin Ash Rasulullah memberikan kelonggaran bagi Abdullah bin Amr
bin Ash untuk menulis hadits, karena ia penulis yang baik dan telah banyak menulis hadits
dari beliau. Shahifahnya diberi nama :‫ةفيحصالةقداصال‬tulisan itu merupakan riwayat yang paling
benar dari beliau. Shahifah ini sangat berharga bagi Ibn Amr, sampai-sampaibeliau pernah
berkata, dalam kehidupan ini tak ada yang menyenangkanku, kecuali ash-Shadiqah dan al-
Wahd”.94 Dalam shahifah ini memuat hadits Nabi sebanyak lebih dari 1000 hadits, demikian
kata Ibnu Atsir. Hadits-hadits yang termuat dalam shahifah ash-Shadiqahi ini, sampai
sekarang masih dapat ditemukan melalui kitab musnad yang disusun oleh Imam
Ahmad.Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa Abdullah binAmr bin Ash merupakan
salah satu sahabat Nabi yang rajin menulis hadits.
2. Jabir bin Abdullah Al-Anshary Shahifah-nya dikenal dengan nama ―shahifah Jabir”.Jabir
mendiktekan hadits-hadits yang berasal dalam catatannya itu dalam pengajian yang
dipimpinnya. Qatadah bin Di‘amah al-Sadusy, mengaku telah hafal semua hadits yang
termaktub di dalamnya. Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya telah memuat juga hadits-
hadits yang berasal darii shahifahi Jabir ini, yang berhubungan dengan manasik haji.
3. Abdullah bin Abi Aufa Shahifah-nya dikenal dengan nama ―Shahifah Abdullah bin Abi
Aufa”.Hadits yang terdapat dalam shahifah ini ada yang telah diriwayatkan oleh Imam
Bukhari. Orang-orang banyak membaca shahifah ini, demikian kata Dr.Subhi Shalih.
4. Samurah bin Jundab Shahifah yang ditulis oleh Samurah bin Jundab ini, menurut

7
Wahyu Abdul Jafar, ‘Ijtihad Dalam Bentang Sejarah Prakodifikasi Ushul Fiqh’, Nizam, 4.01 (2014), 53–
54.
8
Microsoft Windows and others, ‘No Title 阪大生のためのアカデミック・ライティング入門’, 10.

5
sebagian ulama, berupa risalah yang dikirimkan Samurah kepada anaknya Sulaiman bin
Samurah bin Jundab.
5. Ali bin Abi Thalib Shahifah-nya berisi hadits-hadits yang berkaitan dengan (a).
hukum diyat (denda), dalam hal ini mencakup tentang hukumnya, jumlahnya dan jenis-
jenisnya. (b). Pembebasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir. (c). larangan
melakukan hukuman qishash terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir.
6. Abdullah bin Abbas Ibnu Abbas, dalam menjelaskan hadits-hadits Nabi, banyak
menggunakan tulisan-tulisan di ‗alwahi‘ yang dibawanya ketempat- tempat pengajaran.
Muridnya yang bernama Sa‘id bin Jubair, selalu mencatat apa
yang dijelaskan oleh Ibnu Abbas. Apabila Sa‘id bin Jubair pada saat mengikuti pelajaran
sedang kehabisan alat tulis untuk tempat menulis / mencatat, maka ia mencatat di bajunya,
atau sepatunya, atau terkadang pada telapak tangannya. Sesampainya di rumah,
Sa‘ib bin Jubair lalu menyalinnya kembali shahifahnya. Dalam kitab ―Tafsir Ibnu Abbas‖,
banyak dijumpai hadits-hadits Nabi yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Hadits-hadits itu
merupakan bahan kuliah yang telah diajarkan oleh Ibnu Abbas kepada para muridnya.9

9
Ulumul II Hadits, Ulumul Hadits, ed. by Haryono, 1st edn (Palembang, 2016).

6
3. SEJARAH PRAKODIPIKASI PADA MASA TABI’IN
Setelah berakhir masa Sahabat, muncul masa Tabi’in.Ijtihad para Sahabat dijadikan suri
teladan oleh generasi penerusnya yang tersebar diberbagai daerah wilayah dan kekuasanya
islam pada waktu itu. Generasi kedua ini terdiri dari murid-murid para sahabat yang dikenal
dengan Tabi’in. Pada masa Tabi’in, kegiatan melakukan ijtihad semakinmeningkat, tetapi
prinsip bermusyawarah dalam menetapkan hukum sudah mulai goyah, karena ulama sudah
terpencar keberbagai kota, yang letaknya berjauhan antara satu dengan yang lainya. Pada
masa itu kedudukan ijtihad sebagai alat alat pengali hukum islam mendapat posisi kokoh.
Para sejarawan menyebut periode tabi’in ini, dengan periode ijtihad dan masa keemasan fiqh
islam. Daerah kekuasaan islam semakin meluas pada periode tabi’in ini yang meliputi
berbagai lapisan umat dengan aneka macam adat istiadat, cara hidup dan kepentinganmasing-
masing, sehinga menimbulkan daerah-daerah lokal dan regional, yang pada giliranya
melahirkan tokoh-tokah besar dengan munculnya mazhab-mazhab.10
Sebagaimana para sahabat, para tabi‟in juga cukup berhati-hati dalamperiwayatan hadis.
Hanya saja beban mereka tidak terlalu berat jika dibanding dengan yang dihadapi para
sahabat. Pada masa ini al-Qur‟an sudak dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga tidak lagi
mengkhawatirkan mereka. Selain itu, pada masa akhir periode khulafa al-Rasyidin (pada
masa Usman ibn Affan) para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah
kekuasaan Islam. Ini merupakan kemudahan bagi para tabi‟in untuk mempelajari hadis-hadis
dari mereka. Ketika pemerintahan dipegang oleh Bani Umayah, wilayah kekuasaanIslam
sudah meliputi Makkah, Madinah, Bashrah, Syam, Khurasan, Mesir, Persia, Irak, Afrika
Selatan, Samarkand dan Spanyol.
Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan Islam itu, penyebaran para sahabat
ke daerah-daerah tersebut terus meningkat, yang berarti juga meningkatnya penyebaran hadis.
Oleh sebab itu, masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadis. Hadis-hadis
yang diterima oleh para tabi‟in ini seperti telah disebutkan adayang dalam bentuk catatan-
catatan atau tulisan-tulisan dan ada yang harus dihafal, disamping dalam bentuk yang sudah
terpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti.
Kedua bentuk ini saling melengkapi, sehingga tidak ada satu hadis pun yang tercecer atau
terlupakan.Sebagaimana para sahabat dikalangan tabi‟in juga melakukan dua hal,
yaitumenghafal dan menulis hadis.
Banyak riwayat yang menunjukkan, betapa mereka memperhatikan kedua hal ini.
Tentang menghafal hadis, para ulama tabi‟in seperti, Ibn Abi Laila, Abu al-Aliyah, Ibn
10
Jafar.

7
Syihab az-Zuhri, Urwah ibn az-Zubair, dan al- Qalamah, adalah diantara tokoh-tokoh
terkemuka yang sangat menekankan pentingnya menghafal hadis-hadis secara terus menerus.
Kata az-Zuhri sebagaimana dikatakan al-Auza‟i : “hilanglah ilmu itu karena lupa dan tidak
mau mengingat-ingat atau menghafalnya”. Kata Alqalamah, sebagaimana dikatakan Ibrahim,
bahwa dengan menghafal hadis, hadis-hadis akan terpelihara.
Tentang menulis hadis, di samping melakukan hafalan secara teratur, diantara mereka
juga menulis sebagian hadis-hadis yang diterimanya. Selain itu, mereka juga memiliki
catatan-catatan atau surat-surat yang mereka terima langsung dari para sahabat sebagai
gurunya.11

KESIMPULAN
Dari tulisan ini penulis menyimpulkan bahwa pemikiranhadis hingga terbitnya al-
Muwattha’ 1. Pada masa nabi masih hidup hadis sebagai teks telah dicatat oleh beberapa
sahabat, namun masih dalam hitungan kecil. Catatan hadis tersebut hanya bersifat “untuk
membantu penyebaran lisan”. Oleh karena itu maka hadis disinyalir belum ada pada masa
nabi masih hidup, dan yang ada hanya berupa sunnah, yaitu berupa tradisi atau amal yang
11
Lukman Zain, ‘Sejarah Hadis Pada Masa Permulaan Dan Penghimpunannya’, 2.01 (2014), 18–19.

8
datang dari nabi, kemudian dihidupkan dalam amalan-amalan sahabat dan masyarakat
muslim tanpa berbetuk redaksi atau teks yang tertulis.
2. Setelah nabi wafat, sunnah lalu berlanjut menjadi “tradisi” yang dipertahankan dalam
kehidupan sahabat serta tabi’in.
3. Saat persebaran wilayah Islam semakin luas, perpecahan kelompok juga semakin banyak
terjadi, maka sunnah kemudian diformulasikan ke dalam bentuk teks untuk menjadi pengikat
pengetahuan sunnah. Hal ini harus dilakukan sebab tradisi oral atau amalan dianggap tidak
kuat lagi untuk menjaga eksistensi dan otoritas “nabi” secara baik.
4. Oleh karena begitu banyak kendala dalam proses koodifikasi hadis, maka tidak mungkin
hadis dianggap mampu marangkum Sunnah secara keseluruhan. Padahal dari sunnah kita
ingin kehidupan “nabi” secara keseluruhan. Imam Malik datag memberi tawaran untuk
kembali melihat sunnah yang sesungguhnya pada masa awal (untuk kebutuhan rujukan
hukum), yaitu dengan satu-satunya jalan, dengan dengan melihat tradisi Madinah.

DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad, Dosen Ilmu, Hadis Fakultas, and Ushuluddin Filsafat, ‘Melacak Akar
Kesejarahan Hadis Nabi Pra Kodifikasi Muhammad Abduh | 63’, TAHDIS, 6.1 (2015),
68–70
Hadits, Ulumul II, Ulumul Hadits, ed. by Haryono, 1st edn (Palembang, 2016)
Hauqola, Nurkholis, ‘Hermeneutika Hadis: Upaya Memecah Kebekuan Teks’, Jurnal
THEOLOGIA, 24.1 (2013), 261–84 <https://doi.org/10.21580/teo.2013.24.1.324>
Ilmu, Prodi, Tafsir Fakultas, Ushuluddin Filsafat, Politik Uin, Alauddin Makassar, Fenomena
9
Nikah, and others, ‘KODIFIKASI HADIS SEJAK MASA AWAL ISLAM HINGGA
TERBITNYA KITAB AL- MUWATTHA ’ Yusran Abstrak I . Pendahuluan . Dalam
Diskursus Pengetahuan Islam , Al-Quran Dan Hadis Merupakan Sumber Tekstual Yang
Paling Utama . 1 Pada Mulanya Kedua Sumber Ajaran Tersebut’, 8 (2017), 177
Jafar, Wahyu Abdul, ‘Ijtihad Dalam Bentang Sejarah Prakodifikasi Ushul Fiqh’, Nizam, 4.01
(2014), 53–54
Maulana, Luthfi, ‘PERIODESASI PERKEMBANGAN STUDI HADITS (Dari Tradisi
Lisan/Tulisan Hingga Berbasis Digital)’, ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 17.1
(2016), 111 <https://doi.org/10.14421/esensia.v17i1.1282>
Mosiba, Risna, Tenaga Pengajar, Fakultas Dakwah, Komunikasi Uin, and Alauddin
Makassar, ‘Masa Depan Hadis Dan Ilmu Hadis’, Masa Depan Hadis Dan Ilmu Hadis,
5.2 (2016), 321
Windows, Microsoft, Microsoft Corporation, Kazunari Hori, and Akihiro Sakajiri, ‘No Title
阪大生のためのアカデミック・ライティング入門’, 10
Zain, Lukman, ‘Sejarah Hadis Pada Masa Permulaan Dan Penghimpunannya’, 2.01 (2014),
18–19
Zamzami, Muhammad Subhan, Paska Sarjana, and Iain Sunan, ‘Ideologi Dan Politik Dalam
Proses Awal Kodifikasi Hadis’, 03 (2013), 27

10

Anda mungkin juga menyukai