Anda di halaman 1dari 9

KAJIAN BARAT TERHADAP ALQUR’AN DAN HADIS

Sejarah Teks Al-Qur’an


Muhammad Iqbal Husein
Muhammad Azka Diya'i Luthfika
Hilmiyatus Saidah
Muhammad Farraz Ahyani
Firliani Choirun
Muhammad Rafli
Hana Af Idatul Latifah

Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

ABSTRAK
Al-Qur’an merupakan kitab pedoman bagi umat muslim, Alquran adalah kitab petunjuk yang di
dalamnya memuat ajaran moral universal bagi umat manusia sepanjang masa. Dalam posisinya sebagai
kitab petunjuk, alquran diyakini tidak akan pernah lekang dan lapuk dimakan zaman. Akan tetapi dalam
kenyataannya, teks alquran sering kali dipahami secara parsial dan ideologis sehingga menyebabkannya
seolah menjadi teks yang mati dan tak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Fenomena inilah yang
menggelisahkan para mufassir (ahli tafsir) modern–kontemporer dan berusaha melakukan re-interpretasi
agar kitab suci umat Islam ini benar-benar menjadi kitab petunjuk yang akan senantiasa relevan untuk
setiap zaman dan tempat serta mampu merespons setiap problem sosial – keagamaan yang dihadapi oleh
umat manusia.
Al-Qur‟an diturunkan dalam dua periode. Pertama; periode Mekah, yaitu saat Nabi saw
bermukim di Mekah (610-622 M) sampai Nabi SAW melakukan hijrah. Ayat-ayat yang diturunkan pada
masa itu disebut ayat-ayat Makkiyah, yang berjumlah 4.726 ayat, meliputi 89 surat. Kedua; adalah
Periode Madinah, yaitu masa setelah Nabi saw hijrah ke Madinah (622-632 M). Ayat-ayat yang turun
dalam periode ini dinamakan ayatayat Madaniyyah, meliputi 1.510 ayat dan mencakup 25 surat.

Kata kunci: al-qur’an, universal, Relevan, problem sosial, umat manusia


Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan kitab pedoman bagi umat muslim, Alquran adalah kitab
petunjuk yang di dalamnya memuat ajaran moral universal bagi umat manusia sepanjang masa.
Dalam posisinya sebagai kitab petunjuk, alquran diyakini tidak akan pernah lekang dan lapuk
dimakan zaman. Akan tetapi dalam kenyataannya, teks alquran sering kali dipahami secara
parsial dan ideologis sehingga menyebabkannya seolah menjadi teks yang mati dan tak lagi
relevan dengan perkembangan zaman. Fenomena inilah yang menggelisahkan para mufassir (ahli
tafsir) modern–kontemporer dan berusaha melakukan re-interpretasi agar kitab suci umat Islam
ini benar-benar menjadi kitab petunjuk yang akan senantiasa relevan untuk setiap zaman dan
tempat serta mampu merespons setiap problem sosial – keagamaan yang dihadapi oleh umat
manusia.
Al-Qur‟an diturunkan dalam dua periode. Pertama; periode Mekah, yaitu saat Nabi saw
bermukim di Mekah (610-622 M) sampai Nabi SAW melakukan hijrah. Ayat-ayat yang
diturunkan pada masa itu disebut ayat-ayat Makkiyah, yang berjumlah 4.726 ayat, meliputi 89
surat. Kedua; adalah Periode Madinah, yaitu masa setelah Nabi saw hijrah ke Madinah (622-632
M). Ayat-ayat yang turun dalam periode ini dinamakan ayatayat Madaniyyah, meliputi 1.510
ayat dan mencakup 25 surat.
Pada masa Rasulullah SAW, setiap wahyu yang turun kepdanya satu ayat atau lebih, nabi
terlebih dahulu menghafal, memahami dan kemudian baru disampaian kepada para sahabat
persis seperti apa yang di terimanya. Kemudian Para sahabat menulis al-Quran pada usub
(pelapah kurma), likhaf (batu halus berwarna putih), riqa’ (kulit), aktaf (tulang unta), dan aqtab
(bantalan dari kayu yang biasa dipasang di atas punggung unta).
Pada masa Abu Bakar, pada masa abu bakar terjadi perang yamamah yaitu pada ahun 12
H, yang mengakibatkan banyak para penghafal alquran berguguran pada perang tersebut kurang
lebih sekitar 70 penghafal gugur, bahkan dalam riwayat lain mengatakan bahwa ada sebanyak
500 penghafal yang gugur pada saat itu.1 Tugas penulisan al-Qur‟an dilaksaakan oleh Zaid dalam
kurun waktu satu tahun sejak selesai perang Yamamah sampai sebelum Abu Bakar wafat.
Lembaranlembaran ini disimpan oleh Abu Bakar sampai wafat dan kemudian disimpan Umar bin
Kattab, hingga kemudian disimpan oleh Hafshah binti Umar.2
Pada masa Utsman, Latar belakang pengumpulan al-Qur'an di masa Utsman r.a, di
antaranya karena wilayah kekuasaan Islam pada masa Utsman telah meluas, sehingga orang-
orang Islam telah terpencar di berbagai daerah dan kota. Di setiap daerah telah populer bacaan
sahabat yang mengajar mereka. Misalnya, penduduk Syam membaca al-Qur'an mengikuti bacaan
Ubay ibnu Ka‟ab, penduduk Kufah mengikuti bacaan Abdullah Ibnu Mas'ud, dan sebagian yang
lain mengikuti bacaan Abu Musa al-Asy‟ari. Di antara mereka terdapat perbedaan tentang bunyi
huruf dan bentuk bacaan. Masalah ini membawa mereka kepada pintu pertikaian satu sama
lainnya dan bahkan saling kufurmengkufurkan karena berbeda pendapat dalam bacaan.3
Karena latar belakang dari kejadian tersebut, Utsman mengambil inisiatif mengumpulkan
sahabat-sababat yang terkemuka dan cerdik cendekiawan untuk bermusyawarah dalam meredam
perselisihan tersebut. Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk memimpin pembakuan al-
Qur‟an dalam satu bahasa agar keragaman dialek tidak menjadi sebab disharmonisnya
komunitas muslim.

1
M. Quraish Shihab, (et. al), Sejarah & „Ulum al-Qur‟an, cet. 4, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), hlm. 28
2
Mustafa Murad, Kisah Hidup Abu Bakar as-Siddiq, terj. Ahmad Ginanjar & Lulu M. Sunman, cet. 4, (Jakarta:
Zaman, 2013), hlm. 147. Lihat juga dalam Koeh (Peny), Dar al-‟Ilm, Atlas Sejarah Islam, (Jakarta: Kaysa Media,
2011), hlm. 55
3
Muhammad Aly Ash-Shabunny, Pengantar Studi Al-Qur‟an (At-Tibyan), (Bandung: PT. Alma‟arif, 1984), hlm. 94
Perbedaan Pendapat Tentang Kodifikasi Al-Qur’an
Kodifikasi Al-Qur’an (jam’ul Qur’ān) dalam pembahasan ini dimaksudkan sebagai
proses penyampaian, pencatatan dan penulisan Al-Qur’an sampai dihimpunnya catatan-catatan
serta tulisan-tulisan tersebut dalam satu mushaf, secara lengkap dan tersusun secara tertib.
Berdasarkan pendekatan historis tradisonal (pendekatan yang menggunakan sumber-sumber
agama), maka proses pengumpulan Al-Qur’an (jam’ul Qur’ān) menjalani tiga fase, yaitu:4
1. Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Nabi SAW

Unit-unit wahyu yang diterima Nabi Muhammad SAW pada faktanya, dipelihara dari
kemusnahan dengan dua cara utama. Pertama, menyimpannya ke dalam dada manusia
(menghafalkannya). Kedua, merekamnya secara tertulis di atas berbagai jenis bahan untuk
menulis (pelepah korma, tulang belulang, dan lain-lain).
Pertama, menyimpannya ke dalam dada manusia (menghafalkannya). Tradisi hafalan yang
kuat di kalangan masyarakat Arab telah memungkinkan terpeliharanya Al-Qur’an dalam cara
semacam ini. Jadi, setelah menerima suatu wahyu (sebagaimana diperintahkan Al-Qur’an), Nabi
SAW kemudian menyampaikanya kepada para pengikutnya yang kemudian menghafalkannya.
Pada masa ini, Nabi SAW merupakan Sayyid Al-Ḥuffāẓ, sementara para sahabat seolah berlomba
penuh antusias menghafal setiap ayat Al-Qur’an yang dibacakan dan disampaikan Nabi SAW
kepada mereka. Selanjutnya mereka mengajarkannya kepada istri, anak, dan keluarga mereka.5
Adanya antusiasme yang tinggi dari para sahabat untuk menghafal Al-Qur‟an ini, tidak heran
apabila banyak hadis menginformasikan tentang keberadaan mereka (sekalipun dengan nama dan
jumlah yang beragam). Di antara mereka yang sering disebut adalah Ubay bin Ka‟ab (w. 642),
Mu‟āż bin Jabal (w. 639), Zaīd bin Ṡābit, dan Abū Zaīd Al-Anṣārī (w. 15 H.).
Pada titik ini, timbul permasalahan apakah tiap-tiap pengumpul Al-Qur‟an itu menyimpan
dalam ingatannya keseluruhan wahyu Ilahi yang diterima Muhammad atau hanya sebagian besar
darinya Jika dilihat dari peran tulisan ketika itu, dapat dikemukakan bahwa penghafalan Al-
Qur’an merupakan tujuan utama yang terpenting – bahkan sepanjang sejarah Islam, sementara
perekamannya dalam bentuk tertulis selalu dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan
tersebut. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa tidak ada satu pun unit wahyu yang tidak
tersimpan dalam dada (ingatan) para pengumpul Al-Qur’an ketika itu.
Kedua, merekamnya secara tertulis di atas berbagai jenis bahan untuk menulis (pelepah
kurma, tulang belulang, dan lain-lain). Penulisan pada masa Nabi SAW merupakan langkah
kedua dalam pemeliharaan dan pelestarian unit-unit wahyu yang diterima oleh Nabi SAW (Al-
Qur’an).6
Selaras dengan ini, adalah pendapat W. Montgomery Watt yang menyatakan bahwa
pencatatan Al-Qur’an pada masa Nabi SAW adalah sesuatu yang logis. Hal ini, di samping
didasarkan pada analisis historis, juga (bahkan) didasarkan pada ayat-ayat AlQur’an itu sendiri.
4
Taufik Adnan Amal. 2013. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an. Jakarta: PT. Pustaka Alvabet. Hal.135
5
Ibid, 136
6
Taufik Adnan Amal. 2013. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an. Jakarta: PT. Pustaka Alvabet. Hal.137
Dari sudut pandang sejarah, Watt menyimpulkan bahwa tradisi tulis-menulis sudah dikenal luas
dalam masyarakat, terutama masyarakan Mekah dan Madinah. Kedua kota ini merupakan pusat
perdagangan, para pedagangnya sudah banyak melakukan transaksi jual beli dalam bentuk
tulisan. Oleh karena itu, Watt meragukan pendapat sebagian pakar yang menyatakan bahwa Nabi
SAW adalah seorang yang ummi (dalam pengertian: tidak bisa membaca dan menulis).7
Kata ummi, dalam beberapa ayat Al-Qur’an menurut Watt, kurang tepat bila diartikan “buta
huruf”, tetapi lebih tepat diartikan dengan “orang-orang yang tidak memiliki kitab suci tertulis”.
Sedangkan argumentasi Qur’ani, Watt menyebutkan adanya beberapa ayat yang mengisyaratkan
pentingnya pencatatan, terutama dalam urusan perdagangan. Terlepas apakah kesimpulan Watt
di atas benar atau salah, yang jelas dalam literatur-literatur Islam banyak disebutkan bahwa
keberadaan para penulis wahyu sudah dikenal secara umum. Di antara mereka adalah Abū Bakar
Al-Ṣiddīq, Umar bin Khaṭṭāb, Uṡmān bin Affān, Alī bin Abī Ṭālib, Mu’āwiyah, Khālid bin
Walīd.
2. Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Abū Bakar

Terdapat dua motif yang bisa diajukan kaitannya dengan praktek pengumpulan AlQur’an
pada masa Abū Bakar. Pertama, motif didasarkan pada kenyataan bahwa Nabi SAW belum
mengumpulkan Al-Qur’an dalam suatu mushaf tunggal hingga wafatnya. Kedua, motif yang
didasarkan pada kenyataan wafatnya sejumlah penghafal Al-Qur’an pada pertempuran Yamāmah
yang menimbulkan kecemasan Umar bin Khaṭṭāb akan hilangnya bagian-bagian Al-Qur’an.8
Untuk motif pertama, memang dapat dipastikan bahwa Nabi SAW sama sekali tidak
meninggalkan kodeks Al-Qur’an dalam bentuk lengkap dan resmi yang bisa dijadikan pegangan
bagi umat Islam, tetapi untuk motif kedua, terdapat beberapa kritik yang ditujukan kepadanya.
Telah jelas bahwa terdapat upaya serius dan sadar di kalangan sahabat Nabi SAW untuk
memelihara wahyu dalam bentuk tertulis, seraya tetap berpatokan pada petunjuk petunjuknya
tentang komposisi kandungan kitab suci tersebut. Jadi, wafatnya sejumlah penghafal Al-Qur‟an
barangkali bukan merupakan alasan utama untuk mencemaskan hilangnya bagian-bagian Al-
Qur’an.
Di samping itu, kritikan yang lebih tajam dikemukakan oleh para pemikir Barat.
Sebagaimana keterangan di atas, bahwa jumlah penghafal yang gugur pada peristiwa Yamāmah
sebanyak 70 orang (bahkan menurut riwayat lain 500 orang). Namun ketika nama-nama para
penghafal Al-Qur’an ditelusuri dalam daftar orang-orang yang gugur (seluruhnya berjumlah
1200 orang) ternyata hanya ditemukan sejumlah kecil nama yang mungkin menghafal banyak
AlQur’an.9

7
Munawir. 2018. Problematika Seputar Kodifikasi Al-Qur'an (Sebuah Kajian Kesejarahan Perspektif Kesarjanaan
Muslim dan Analisis Kritis Kesarjanaan Barat). Dalam Jurnal MAGHZA : Jurnal Ilmu al-Qur’an dan Tafsir IAIN
Purwokerto. Hal.152.
8
Ibid, 152.
9
Munawir. 2018. Problematika Seputar Kodifikasi Al-Qur'an (Sebuah Kajian Kesejarahan Perspektif Kesarjanaan
Muslim dan Analisis Kritis Kesarjanaan Barat). Dalam Jurnal MAGHZA : Jurnal Ilmu al-Qur’an dan Tafsir IAIN
Purwokerto. Hal.155
L. Caetani bahkan menunjukkan yang gugur ketika itu hampir seluruhnya pengikut baru
Islam. Sementara Schwally menyebutkan bahwa dari pemeriksaannya terhadap daftar nama-
nama penghafal Al-Qur’an yang gugur, ia hanya menemukan dua orang yang bisa dikatakan
memiliki pengetahuan Al-Qur’an yang meyakinkan, yaitu Abdullāh bin Ḥafsh ibn Gānim dan
Sālim bin Ma’qil. Dengan demikian, pengaitan motif pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abū
Bakar dengan gugurnya sejumlah besar penghafal AlQur’an dalam pertempuran Yamāmah
sangat sulit dipertahankan.10
3. Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Uṡmān bin Affān

Pada masa pemerintahan Uṡmān bin Affān, banyak di antara para sahabat penghafal Al-
Qur‟an yang tinggal berpencar di berbagai daerah. Hal ini disebabkan daerah Islam waktu itu
sudah semakin meluas. Lebih dari itu, para pemeluk agama Islam di masing-masing daerah
tersebut mempelajari serta menerima bacaan Al-Qur’an dari sahabat ahli qirā’at yang tinggal di
daerah bersangkutan.
Penduduk Syām misalnya, berguru dan membaca Al-Qur’an dengan qirā’at Ubay bin Ka‟ab,
penduduk Kuffah pada Abdullāh bin Mas’ūd, sementara penduduk Baṣrah pada Abū Mūsū
AlAsy’arī. Dalam hal ini, Uṡmān bin Affān menunjuk suatu tim yang terdiri atas empat orang
sahabat pilihan, yaitu; Zaid bin Sābit, Abdullāh bin Zubair, Sa‟īd bin Al-„Āṣ, dan Abdurraḥmān
bin Al-Ḥaris bin Hisyām.11
Setelah tim ini menyelesaikan tugasnya, Uṡmān bin Affān segera mengembalikan mushaf
orisinal kepada Hafṣah, kemudian beberapa mushaf hasil kerja tim tersebut dikirim ke berbagai
kota untuk dijadikan rujukan, terutama ketika terjadi perselisihan tentang qirā’at Al-Qur’ān,
sementara mushaf-mushaf lainnya yang ada pada saat itu diperintahkan oleh Uṡmān bin Affān
untuk dibakar.
Adapun mushaf yang ditulis pada masa Abū Bakar tetap tersimpan pada Hafṣah sampai akhir
hayatnya, setelah itu Marwān bin Al-Hākam (w. 65 H) wali kota Madinah saat itu,
memerintahkan untuk mengambil mushaf tersebut dan membakarnya.
Secara umum, ada empat ciri yang dimiliki mushaf Al-Qur‟an yang ditulis pada masa Uṡmān
bin Affān, yaitu:
1. Ayat-ayat Al-Qur’an yang tertulis di dalamnya, seluruhnya berdasarkan riwayat
mutawatir dari Nabi SAW.
2. Tidak terdapat di dalamnya ayat-ayat yang mansūkh. Surat-Surat maupun ayat-ayatnya
telah disusun dengan tertib sebagaimana AlQur’an sekarang ini
3. Tidak terdapat di dalamnya yang tidak tergolong kepada Al-Qur’an, seperti tulisan
sahabat Nabi SAW sebagai penjelas.
4. Mushaf-mushaf yang ditulis pada masa Uṣmān tersebut, mencakup tujuh huruf (sab’at
Al-aḥruf) diturunkannya AlQur’an.12

10
Ibid, 156
11
Taufik Adnan Amal. 2013. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an. Jakarta: PT. Pustaka Alvabet. Hal.173
Pandangan Sarjana Barat Terhadap Kodifikasi Al-Qur’an
Gagasan -gagasan Barat abad pertengahan itu tentu saja tidak dapat di sejajarkan dengan
gagasan-gagasan Barat modern jika dilihat pada tataran saintifik dan sofistikasinya. Karya Barat
Modern yang berupaya melacak sumber-sumber al-Qur’an bisa dikatakan bermula pada 1833
dengan publikasi karya Abraham Geiger, Was hat Mohammad aus dem Judentum aufgenomen?
Sebagaimana tercermin dari judulnya “Apa yang telah Diadopsi Muhammad dari agama
Yahudi?” Karya ini memusatkan perhatian pada anasir Yudeo di dalam al-Qur’an. Dalam
penelitian nya, Geiger sampai kepada kesimpulan bahwa seluruh ajaran Muhammad yang
tertuang di dalam al-Qur’an sejak awal telah menunjukkan sendiri asal usul Yahudinya secara
transparan, tidak hanya sebagian besar kisah para Nabi, tetapi berbagai ajaran dan aturan al-
Qur’an pada faktanya juga bersumber dari tradisi Yahudi. Namun, selama hampir setengah
publikasi karya Geiger, tidak terlihat teolog Yahudi yang melanjutkan tradisi penelitian ini, Baru
pada 1878, H. Hirschfeld mengikuti jejak Geiger dengan publikasinya, Juedische Elemente im
Koran (“Anasir Yahudi dalam al-Qur’an”), yang mengkofirmasi lebih jauh temuan-temuan
pendahulunya.13
Setelah kemunculan kedua karya di atas, sejumlah besar sarjana Barat mulai menaruh
perhatian serius terhadap pelacakan asal-usul genetic al-Qur’an. Terjadi semacam peperangan
akademik anatar sarjana-sarjana yang memandang al-Qur’an tidak lebih dari tiruan rentan tradisi
Yahudi dan sarjana-sarjana yang menganggap agam Kristen sebagai sumber utamanya. Sarjana-
sarjana Yhaudi berupaya keras membuktikan bahwa asal-usul genetic al-Qur’an secara
sepenuhnya berada dalam tradisi Yhaudi dan bahwa Muhammad merupakan murid seorang
Yahudi tertentu. Karya-karya kesarjanaan Yahudi mengenai ini antara lain ditulis oleh J.
Horovitz, Jewish Proper Names and Derivatives in the Koran (“Agama Yahudi dan al-
Qur’an,”1962). Pencetakan ulang karya-karya kesarjanaan Yahudi ini memperlihatkan secara
gambling pengaruh gagasan lama yang masih melekat di dunia akademik Barat. Tetapi, kajian-
kajian kesarjanaan Barat Yahudi ini mencapai titik kulminasi yang tragis dengan terbitnya karya
J. Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methodes of Scriptural Interpretation (“Kajian-
kajian al-Qur’an: Sumber dan Metode Tafsir Kitab Suci,”1977). Dalam buku ini, Wansbrough
melangkah lebih jauh dengan menegaskan bahwa al-Qur’an merupakan hasil “konspirasi” antara
Muhammad dan pengikut-pengikutnya pada dua abad pertama Islam yang secara sepenuhnya
berada di bawah pengaruh Yahudi.
Meskipun karya-karya tentang asal-usul genetik al-Quran yang ditulis para sarjana Barat
belakangan ini terlihat lebih serius ketimbang karya-karya sebelumnya, dan sekalipun ada
sejumlah sarjana yang menjustifikasi dan membela mati-matian kepentingan studi-studi
semacam itu, upaya rekonstruksi elemen-elemen asing al-Quran juga mendapat kecaman keras
dari kalangan sarjana Barat sendiri. Franz Rosenthal, misalnya, mengemukakan bahwa meskipun

12
Munawir. 2018. Problematika Seputar Kodifikasi Al-Qur'an (Sebuah Kajian Kesejarahan Perspektif Kesarjanaan
Muslim dan Analisis Kritis Kesarjanaan Barat). Dalam Jurnal MAGHZA : Jurnal Ilmu al-Qur’an dan Tafsir IAIN
Purwokerto. Hal.156.
13
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, (Tangerang Selatan : PT Pustaka Alvabet, 2005)hal. 12-13
kajian-kajian semacam itu berhasil menemukan bukti yang meyakinkan mengenai pengaruh
asing terhadap formasi spiritual dan intelektual Muhammad, upaya-upaya tersebut "tidak
mungkin menjelaskan secara memuaskan keberhasilan Nabi dalam menciptakan sesuatu dan
mentransformasikannya ke dalam suatu kekuatan abadi yang mempengaruhi seluruh umat
manusia…”. Lebih jauh, Rosenthal bahkan menilai bahwa kajian-kajian semacam ini hanya
menyentuh kulit luar dan tidak pernah mencapai intinya.
Bahwa kajian tentang asal-usul genetik al-Quran serta berbagai pendekatan yang
digunakan di dalamnya memiliki kepentingan historis tertentu, merupakan kenyataan yang tidak
dapat dibantah. Akan tetapi, merupakan suatu fakta yang tidak dapat ditolak bahwa studi-studi
semacam ini hanya memiliki manfaat yang sangat terbatas dalam kaitannya dengan pemahaman
al-Quran dan gagasan- gagasannya. Sebaliknya, telaah-telaah semacam ini bahkan cenderung
mengaburkan dan mendistorsi kandungan kitab suci itu. Lebih jauh, asumsi yang mendasari
kajian-kajian tersebut adalah praduga abad pertengahan bahwa Muhammad adalah "pengarang"
al-Quran. Apabila kitab suci itu merupakan rekayasa yang sadar dari imajinasi kreatif Nabi,
maka sumber-sumbernya secara pasti dapat dilacak dalam milieunya. Prasangka semacam ini,
seperti telah disinggung di atas, justeru disangkal dengan tegas oleh al-Quran sendiri ketika
menolak dakwaan-dakwaan senada yang diajukan oposan kontemporer Nabi. Barangkali inilah
sebabnya mengapa Seyyed Hossein Nasr - sehubungan dengan prasangka Barat mengenai asal-
usul genetik al-Quran menyatakan keheranannya: "Pandangan semacam itu (yakni tentang asal-
usul non-ilahiah al- Quran-pen.) wajar dipertahankan oleh orang yang menolak secara
sepenuhnya seluruh wahyu, tetapi adalah aneh mendengar pandangan-pandangan tersebut
dikemukakan para penulis yang sering menerima Kristen dan Yahudi sebagai kebenaran yang
diwahyukan."14
Pandangan Sarjana Muslim Terhadap Kodifikasi Al-Qur’an
a. Muhammad Syahrur (w. 2019 M)
Muhammad Syahrur menjelaskan tetang proses turunnya al-Qur`an, yakni dengan
Dalam konsepnya terdapat dua term yaitu al-inzāl dan altanzīl. Beliau menyatakan
bahwa proses al-inzāl pada al-Qur`an secara sekaligus. Sedangkan proses al-tanzīl yaitu
secara terpisah yang berlangsung selama 23 tahun. Dalam Lawh al-Maḥfūẓ tersimpan
hanya alQur`an saja, yang mempunyai wujud pra-eksistensi sebelum mengalami al inzāl
dan al-tanzīl.

‫التنزيل عملية نقل موضوعي خارج الوعي االنسان واالنزال عملية نقل المادة المنقولة‬
‫خارج الوعي االنسان من غير المدرك الي المدرك اي دخلت مجال المعرفة النسانية‬
“Al-Tanzīl adalah proses pemindahan satu kejadian yang diluar batas pengetahuan
manusia. Sedangkan Inzāl adalah proses pemindahan materi yang dipindahkan di luar
batas kemampuan (pengindraan) manusia dari suatu yang tidak diketahui menjadi
sesuatu yang bisa diketahui”.

14
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, (Tangerang Selatan : PT Pustaka Alvabet, 2005)hal.
Jadi al-Qur`an sebelum diturunkan kepada Nabi Muhammad masih berupa kalām Allah
yang tidak bisa diketahui, lalu kalām Allah itu di-Inzālkan (diturunkan) ke langit dunia
dalam bentuk yang sudah diketahui oleh manusia, lalu di-Tanzīl-kan (diturunkan secara
bertahap) kepada Nabi Muhammad kurang lebih 23 tahun.15
b. Muhammad Arkoun (w.2010 M)
Tingkat Pertama: Menunjukan kepada Firman Allah SWT sebagai transenden, tidak
terbatas, dan tidak diketahui oleh manusia. Untuk menunjuk realitas wahyu semacam ini
biasanya dipakai di dalam Lawḥ al-Maḥfūẓ atau Umm al-Kitāb (Induk Kitab).
Tingkat kedua: Menunjukan penampakan wahyu, yaitu yang diturunkan dalam bentuk
pengujaran lisan dalam realitas sejarah yang disebut sebagai discours religious dan
berfragmen dalam bentuk kitab Bible (Taurat dan Zabur), injil, dan al-Quran. Wahyu
yang turun kepada para Nabi Musa a.s. menggunakan bahasa Ibrani, wahyu yang turun
kepada Yesus berwujud bahasa Aramaik, sedangkan wahyu yang turun berupa al-
Qur`an dalam menggunakan bahasa Arab kepada Nabi Muhammad SAW selama
kurang lebih 23 tahun. 16
Tingkat ketiga: Menunjuk wahyu yang sudah tertulis dalam musḥaf dengan huruf dan
berbagai macam tanda yang ada di dalamnya atau disebut juga sebagai Kanon Resmi
Tertutup (Official Closed Canons). Berkenaan dengan al-Qur`an, ini menunjukkan
bahwa musḥaf yang dikodifikasi pada zaman Khalifah Usman ibn ʽAffan r.a. atau lebih
dikenal dengan sebutan Musḥaf al-Uṡmānī yang ditulis di atas perkamen atau kertas
yang akan menjadi buku, yakni Kitab Suci yang dipakai oleh orang-orang muslim
hingga saat ini.
c. Nasr Hamid Abu Zaid (w. 2010 M)
Dalam Kitab Mafhum al-Naṣṣ Dirāsah fī ʻUlūm al-Qur`ān menjelaskan bahwa proses
cara penurunan wahyu yakni:
Pertama: Tahap tanzīl yaitu proses turunnya teks al-Qur`an dari Allah SWT kepada
Malaikat Jibril atau Rūh al-Amīn. Pada taraf vertical (Allah-Jibril) teks masih berupa
teks non-bahasa. Konsep menurunkan / tanzīl disini dipahami sebagai “menurunkan”
kepada manusia melalui dua perantara: Malaikat dan Nabi Muhammad SAW yang
berbentuk manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ayat-ayat al-Qur`an ini
merupakan tahap tersebut berupa makna saja.
Kedua: Proses ta’wīl yaitu proses dimana Nabi Muhammad SAW menyampaikan teks
al-Qur`an dengan bahasanya yaitu bahasa Arab. Dalam proses ini naṣ al-Qur`an berubah
dari teks Ilahi kepada teks Insani atau tanzīl menjadi taʻwīl.
Maksud dari pemaparan Abu Zaid adalah al-Qur`an itu turun dengan makna dan bukan
ama lafadz. Hal ini disebabkan karena teks al-Qur`an yaitu bahasa Arab itu tidak murni
kalam Allah SWT, jadi teks yang diiturunkan ke Bumi sudah ada perubahan dan tidak
15
Muhammad Farid, Pandangan Theodor Noldeke Tentang al-Qur’an (Jakarta :Skripsi: UIN Syarif Hidayatullah,
2020)hal.78-79
16
Muhammad Farid, Pandangan Theodor Noldeke Tentang al-Qur’an (Jakarta :Skripsi: UIN Syarif Hidayatullah,
2020)hal. 79
murni dari Allah SWT, akan tetapi makna dari Allah SWT dan lafadznya bukan dari
Allah SWT melainkan dari Nabi SWT, karena sudah diubah dari teks Ilahi menuju teks
Insani.17
Sejumlah karya tentang sejarah al-Qur’an yang telah masuk masyarakat muslim
Indonesia, selain masih bisa dihitung jari, terlihat masih rendah dari segi kandungan dan
kualitasnya. Beberapa karya terjemahan dari Bahasa Arab, tampak tidak kritis dan
analitis, serta dalam kebanyakan kasus lebih merefleksikan prespektif ortodoksi Islam
tentang sejarah al-Qur’an. Pengecualiannya adalah karya Abu Abdullah az-Zanjani,
Tarikh al-Qur’an , yang dalam bebrapa butir tertentu merefleksikan sudut pandang
syi’ah. Seperti pandangan mushaf al-Qur’an yang telah terkumpul seluruhnya pada
masa Nabi oleh Ali bin Abi Thalib, bahkan lengkap dengan takwil dan tafsirnya. Lebih
jauh, az-Zanjani juga memiliki kelemahan yang sama dengan karya-karya kesarjanaan
Muslim lainnya.18
Karya rintisan sarjana Muslim Indonesia dibidang sejarah Indonesia di bidang sejarah
al-Qur’an di tulis Adnan Lubis, Tarikh al-Qur’an, terbit di Medan pada 1941. Setelah
itu, muncul karya Abu Bakar Aceh, Sejarah al-Qur’an (1948). Meskipun mengaku
mendapat inspirasi dari karya-karya kesarjanaan Barat tentang sejarah al-Qur’sn, karya
Aceh memiliki kandungan yang tidak sistematis menurut ukuran penulisan sejarah.
Bahan-bahan yang secara ketat tidak dihitung sebagai bagian sejarah al-Qur’an
dimasukkan kedalam bukunya tanpa pandang bulu. Karya lainnya adalah Sejarah al-
Qur’an, disusun H.A. Mustofa. Sebagaimana rata-rata karya kesarjanaan Islam, buku ini
selain kandungannya relative miskin dan memprihatinkan juga terlihat tidak kritis dalam
memperlakukan data kesejarahan al-Qur’an.19

17
Muhammad Farid, Pandangan Theodor Noldeke Tentang al-Qur’an (Jakarta :Skripsi: UIN Syarif Hidayatullah,
2020)hal. 79-80
18
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, (Tangerang Selatan : PT Pustaka Alvabet, 2005)hal. 2
19
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, (Tangerang Selatan : PT Pustaka Alvabet, 2005)hal. 3

Anda mungkin juga menyukai