Dosen Pembimbing:
Disusun Oleh : OKTANIA HENDRAYANI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN D3 TLM B
Sumber ajaran islam ada tiga, yakni Al-Quran, Hadist (As-sunnah), dan Ijtihad.
Ajaran yang tidak bersumber dari ketiganya bukan ajaran Islam. Al-Quran dan Hadist
merupakan ajaran Islam yang langsung dari Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW,
sedang Ijtihad merupakan hasil pemikiran umat Islam, yakni para ulama
mujtahid dengan tetap mengacu pada Al-Quran dan Hadist.
A. AL-QURAN
PENGERTIAN
Al-Qur’an (Arab: )الق رآنadalah kitab suci agama Islam. Umat Islam percaya bahwa
Al-Qur’an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi
manusia dan bagian dari rukun iman yang disampaikan kepada
Nabi Muhammad melalui perantaraan Malaikat Jibril; dan wahyu pertama yang
diterima oleh Nabi Muhammad adalah sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an
surat Al-‘Alaq ayat 1-5
Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti “bacaan” atau “sesuatu
yang dibaca berulang-ulang”. Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata
kerja qara’a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu
surat Al-Qur’an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah :
Surat yang turun di Makkah pada umumnya suratnya pendek-pendek, menyangkut prinsip-prinsip
keimanan dan akhlaq, panggilannya ditujukan kepada manusia. Sedangkan yang turun di Madinah pada
umumnya suratnya panjang-panjang, menyangkut peraturan-peraturan yang mengatur hubungan
seseorang dengan Tuhan atau seseorang dengan lainnya (syari’ah).
a. Penurunan Al-Qur’an
Al-Qur’an tidak turun sekaligus, ayat-ayat al-Qur’an turun secara berangsur-angsur
selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Para ulama membagi masa turunnya ini dibagi
menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah
berlangsung selama 12 tahun masa kenabian Rasulullah dan surat-surat yang turun
pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai
sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun
waktu ini disebut surat Madaniyah. Ilmu Al-Qur’an yang membahas mengenai latar
belakang atau sebab-sebab suatu atau beberapa ayat al-Qur’an diturunkan disebut
Asbabun Nuzul (Sebab-sebab Turunnya (suatu ayat).
“Suwaid bin Ghaflah berkata, “Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik
tentang Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf
Al Qur’an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata, ‘Bagaimana pendapatmu
tentang isu qira’at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan
bahwa qira’atnya lebih baik dari qira’at orang lain. Ini hampir menjadi suatu
kekufuran’. Kami berkata, ‘Bagaimana pendapatmu?’ Ia menjawab, ‘Aku
berpendapat agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi
perpecahan dan perselisihan.’ Kami berkata, ‘Pendapatmu sangat baik’.”
PENGERTIAN HADIST
Hadits (bahasa Arab: الحديث ) adalah perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan
persetujuan dari Nabi Muhammad yang dijadikan landasan syariat Islam. Hadits
dijadikan sumber hukum Islam selain al-Qur’an, dalam hal ini kedudukan hadits
merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an.
Menurut istilah ulama ahli hadits, hadits yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi
Muhammad , baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya (Arab: taqrîr), sifat
jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi (Arab: bi’tsah)
dan terkadang juga sebelumnya, sehingga arti hadits di sini semakna dengan sunnah.
Kata hadits yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah,
maka pada saat ini bisa berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun
persetujuan dari Nabi Muhammad yang dijadikan ketetapan ataupun hukum.
Kedudukan Hadist sebagai sumber hukum Islam dijelaskan dalam Al-Qur’an surah
An-Nisa 4:65
STRUKTUR HADIST
Secara struktur hadits terdiri atas dua komponen utama
yakni sanad/isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi).
1. Sanad
Al-Bukhari –> Musaddad –> Yahya –> Syu’bah –> Qatadah –> Anas –> Nabi
Muhammad
Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/rawi yang
bervariasi dalam lapisan sanadnya; lapisan dalam sanad disebut dengan thabaqah.
Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thabaqah sanad akan menentukan
derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits.
Jadi yang perlu dicermati dalam memahami hadits terkait dengan sanadnya ialah :
1. Keutuhan sanadnya
2. Jumlahnya
3. Perawi akhirnya
Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam. Hal ini
diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan
tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits nabawi.
2. Rawi
Rawi adalah orang-orang yang menyampaikan suatu hadits. Sifat-sifat rawi yang ideal
adalah:
Sifat-sifat para rawi ini telah dicatat dari zaman ke zaman oleh ahli-ahli hadits yang
semasa, dan disalin dan dipelajari oleh ahli-ahli hadits pada masa-masa yang
berikutnya hingga ke masa sekarang. Rawi yang tidak ada catatannya
dinamakan maj’hul, dan hadits yang diriwayatkannya tidak boleh diterima.
3.Matan
Matan ialah redaksi dari hadits, dari contoh sebelumnya maka matan hadits
bersangkutan ialah:
Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami
hadits ialah:
Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad
atau bukan,
Matan hadits itu sendiri dalam hubungannya dengan hadits lain yang lebih
kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan
selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).
KLASIFIKASI HADIST
Hadits dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni bermulanya ujung
sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (rawi) serta tingkat keaslian hadits
(dapat diterima atau tidaknya hadits bersangkutan).
Keaslian hadits yang terbagi atas golongan ini sangat bergantung pada beberapa
faktor lain seperti keadaan rantai sanad maupun penuturnya. Namun klasifikasi ini
tetap sangat penting mengingat klasifikasi ini membedakan ucapan dan tindakan
Rasulullah dari ucapan para sahabat maupun tabi’in di mana hal ini sangat membantu
dalam area perkembangan dalam fikih (Suhaib Hasan, Science of Hadits).
Ilustrasi sanad: Pencatat hadits > Penutur 5> Penutur 4> Penutur 3 (tabi’ut tabi’in)
> Penutur 2 (tabi’in) > Penutur 1 (para shahabi) > Rasulullah
Hadits Musnad. Sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan sanad yang
dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Urut-urutan
penutur memungkinkan terjadinya penyampaian hadits berdasarkan waktu dan
kondisi, yakni rawi-rawi itu memang diyakini telah saling bertemu dan
menyampaikan hadits. Hadits ini juga dinamakanmuttashilus
sanadatau maushul.
Hadits Mursal, bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang
tabi’in menisbatkan langsung kepada Rasulullah (contoh: seorang tabi’in
(penutur 2) mengatakan “Rasulullah berkata…” tanpa ia menjelaskan adanya
sahabat yang menuturkan kepadanya).
Hadits Munqathi’, bila sanad putus pada salah satu penutur, atau pada dua
penutur yang tidak berturutan, selain shahabi.
Hadits Mu’dlal, bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut.
Hadits Mu’allaq, bila sanad terputus pada penutur 5 hingga penutur 1, alias
tidak ada sanadnya. Contoh: “Seorang pencatat hadits mengatakan, telah
sampai kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan….”tanpa ia menjelaskan
sanad antara dirinya hingga Rasulullah.
Hadits Mudallas, bila salah satu rawi mengatakan “..si A berkata..” atau
“Hadits ini dari si A..” tanpa ada kejelasan “..kepada saya..”; yakni tidak tegas
menunjukkan bahwa hadits itu disampaikan kepadanya secara langsung. Bisa
jadi antara rawi tersebut dengan si A ada rawi lain yang tidak terkenal, yang
tidak disebutkan dalam sanad. Hadits ini disebut juga hadits yang
disembunyikan cacatnya karena diriwayatkan melalui sanad yang memberikan
kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, atau hadits
yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.
Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari
sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut.
Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi atas hadits mutawatir dan hadits ahad.
Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan
merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits
tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih,
hasan, dla’if dan maudlu’.
Hadits Sahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits
shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Sanadnya bersambung (lihat Hadits Musnad di atas);
2. Diriwayatkan oleh para penutur/rawi yang adil, memiliki sifat istiqomah,
berakhlak baik, tidak fasik, terjagamuruah(kehormatan)-nya, dan kuat
ingatannya.
3. Pada saat menerima hadits, masing-masing rawi telah cukup umur (baligh)
dan beragama Islam.
4. Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada
sebab tersembunyi atau tidak nyata yang mencacatkan hadits (’illat).
Hadits Hasan, bila hadits yang tersebut sanadnya bersambung, namun ada
sedikit kelemahan pada rawi(-rawi)nya; misalnya diriwayatkan oleh rawi yang
adil namun tidak sempurna ingatannya. Namun matannya tidak syadz atau
cacat.
Hadits Dhaif(lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat
berupa hadits mauquf, maqthu’, mursal, mu’allaq, mudallas, munqathi’ atau
mu’dlal), atau diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat
ingatannya, atau mengandung kejanggalan atau cacat.
Hadits Maudlu’, bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam rantai
sanadnya dijumpai penutur yang dikenal sebagai pendusta.
a. Jenis-jenis hadist
Adapun beberapa jenis hadits lainnya yang tidak disebutkan dari klasifikasi di atas
antara lain:
Hadits Matruk, yang berarti hadits yang ditinggalkan yaitu hadits yang hanya
diriwayatkan oleh seorang rawi saja dan rawi itu dituduh berdusta.
Hadits Mungkar, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi yang
lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang
tepercaya/jujur.
Hadits Mu’allal, artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang
di dalamnya terdapat cacat yang tersembunyi (’illat). Menurut Ibnu Hajar Al
Atsqalanibahwa hadits Mu’allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi
setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa juga disebut hadits
Ma’lul (yang dicacati) dan disebut hadits Mu’tal (hadits sakit atau cacat).
Hadits Mudlthorib, artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan
oleh seorang rawi melalui beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidak
sama atau bahkan kontradiksi dengan yang dikompromikan
Hadits Maqlub, yakni hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan oleh
rawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau
sebaliknya, baik dalam hal matan (isi) atau sanad (silsilah)
Hadits Gholia, yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga
pengertiannya berubah
Hadits Mudraj, yaitu hadits yang mengalami penambahan isi oleh rawi,
misalnya penjelasan-penjelasan yang bukan berasal dari Nabi.
Hadits Syadz, hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh rawi
yang tepercaya namun bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari
rawi-rawi yang lain. Hadits syadz bisa jadi berderajat shahih, akan tetapi
berlawanan isi dengan hadits shahih yang lebih kuat sanadnya. Hadits yang
lebih kuat sanadnya ini dinamakan Hadits Mahfuzh.
IJTIHAD
Pengertian Ijtihad
Ijtihad (Arab: )اجتهادadalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya
bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk
memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan
syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.
Fungsi Ijtihad.
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti
semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al Quran maupun Al
Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan
kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan
diperlukan aturan-aturan turunan dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan
beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau
di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang
dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist.
Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada
sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan
tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al
Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad.
Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran
dan Al Hadist.
Jenis-jenis Ijtihad
1. Ijma’
Ijma’ artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan
suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits dalam
suatu perkara yang terjadi. Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh
para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati.
Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli
agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
2. Qiyâs
Qiyas adalah menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum
suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki
kesamaan dalah sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu
sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang
terdapat hal hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya
Beberapa definisi qiyâs (analogi)
3. Istihsân
Beberapa definisi Istihsân
4. Maslahah murshalah
Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskahnya dengan
pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan
menghindari kemudharatan
.
5. Sududz Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi
kepentingan umat.
6. Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa
mengubahnya, contohnya apabila ada pertanyaan bolehkah seorang perempuan
menikah lagi apabila yang bersangkutan ditinggal suaminya bekerja di perantauan dan
tidak jelas kabarnya? maka dalam hal ini yang berlaku adalah keadaan semula bahwa
perempuan tersebut statusnya adalah istri orang sehingga tidak boleh menikah(lagi)
kecuali sudah jelas kematian suaminya atau jelas perceraian keduanya.
7. Urf
Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan
masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-
aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.
Tingkatan-tingakatan Ijtihad
1.Ijtihad Muthlaq
Adalah kegiatan seorang mujtahid yang bersifat mandiri dalam berijtihad dan
menemukan ‘illah-‘illah hukum dan ketentuan hukumnya dari nash Al-Qur’an dan
sunnah, dengan menggunakan rumusan kaidah-kaidah dan tujuan-tujuan syara’, serta
setelah lebih dahulu mendalami persoalan hukum, dengan bantuan disiplin-disiplin
ilmu
2.Ijtihad fi al-Madzhab
Secara lebih sempit, ijtihad tingkat ini dikelompokkan menjadi tiga tingkatan ini:
1. Ijtihad at-Takhrij
2. Yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dalam mazhab tertentu
untuk melahirkan hukum syara’ yang tidak terdapat dalam kumpulan hasil
ijtihad imam mazhabnya, dengan berpegang kepada kaidah-kaidah atau
rumusan-rumusan hukum imam mazhabnya. Pada tingkatan ini kegiatan
ijtihad terbatas hanya pada masalah-masalah yang belum pernah difatwakan
imam mazhabnya, ataupun yang belum pernah difatwakan oleh murid-murid
imam mazhabnya.
3. Ijtihad at-Tarjih
4. Yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan untuk memilah pendapat yang
dipandang lebih kuat di antara pendapat-pendapat imam mazhabnya, atau
antara pendapat imam dan pendapat murid-murid imam mazhab, atau antara
pendapat imam mazhabnya dan pendapat imam mazhab lainnya.
Kegiatan ulama pada tingkatan ini hanya melakukan pemilahan pendapat, dan
tidak melakukan istinbath hukum syara’.
5. Ijtihad al-Futya
6. Yaitu kegiatan ijtihad dalam bentuk menguasai seluk-beluk pendapat-pendapat
hukum imam mazhab dan ulama mazhab yang dianutnya, dan memfatwakan
pendapat-pendapat terebut kepada masyarakat. Kegiatan yang dilakukan
ulama pada tingkatan ini terbatas hanya pada memfatwakan pendapat-
pendapat hukum mazhab yang dianutnya, dan sama sekali tidak melakukan
istinbath hukum dan tidak pula memilah pendapat yang ada di dalamnya.
KESIMPULAN
Mempelajari agama Islam merupakan fardhu ’ain , yakni kewajiban pribadi
setiap muslim dan muslimah, sedang mengkaji ajaran Islam terutama yang
dikembangkan oleh akal pikiran manusia, diwajibkan kepada masyarakat atau
kelompok masyarakat.Sumber ajaran agama islam terdiri dari sumber ajaran
islam primer dan sekunder. Sumber ajaran agama islam primer terdiri dari al-
qur’an dan as-sunnah (hadist), sedangkan sumber ajaran agama islam sekunder
adalah ijtihad.
DAFTAR PUSTAKA
Faridl, Miftah dan Syihabudin, Agus —Al-Qur’an, Sumber Hukum Islam yang
Pertama, Penerbit Pustaka, Bandung, 1989 M.
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 2001
Pengetahuan Dasar tentang Pokok-pokok Ajaran Islam (A/B) oleh Mh. Amin Jaiz