Anda di halaman 1dari 20

SUMBER AJARAN ISLAM

Dosen Pembimbing:
Disusun Oleh : OKTANIA HENDRAYANI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN D3 TLM B

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA


TAHUN AJARAN 2020/2021
 SUMBER AJARAN ISLAM
Sumber ajaran Islam adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan
aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat yang apabila dilanggar akan
menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata. Dengan demikian sumber ajaran islam
ialah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau pedoman syariat islam.

Sumber ajaran islam ada tiga, yakni Al-Quran, Hadist (As-sunnah), dan Ijtihad.
Ajaran yang tidak bersumber dari ketiganya bukan ajaran Islam. Al-Quran dan Hadist
merupakan ajaran Islam yang langsung dari Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW,
sedang Ijtihad merupakan hasil pemikiran umat Islam, yakni para ulama
mujtahid dengan tetap mengacu pada Al-Quran dan Hadist.

A. AL-QURAN
 PENGERTIAN
Al-Qur’an (Arab: ‫ )الق رآن‬adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam percaya bahwa
Al-Qur’an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi
manusia dan bagian dari rukun iman yang disampaikan kepada
Nabi Muhammad  melalui perantaraan Malaikat Jibril; dan wahyu pertama yang
diterima oleh Nabi Muhammad adalah sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an
surat Al-‘Alaq ayat 1-5

Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti “bacaan” atau “sesuatu
yang dibaca berulang-ulang”. Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata
kerja qara’a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu
surat Al-Qur’an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah :

“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan)


bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami
telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti bacaannya”. (Al-Qiyāmah 75:17-18)

Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur’an sebagai berikut: “Kalam Allah yang


merupakan  mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad  dan ditulis di
mushaf serta diriwayatkan dengan  mutawatir, membacanya termasuk ibadah“.

Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur’an sebagai berikut: “Al-


Qur’an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi
Muhammad   penutup para nabi dan rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril dan
ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita
secara  mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang
dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas“

 STRUKTUR DAN PEMBAGIAN AL-QURAN


1. Surah, ayat dan ruku’
Al-Qur’an terdiri atas 30 juz,114 surah dan 6236 ayat. Setiap surah akan terdiri atas
beberapa ayat, di mana surah terpanjang dengan 286 ayat adalah surah Al
Baqarah dan yang terpendek hanya memiliki 3 ayat yakni surat Al Kautsar, An-Nasr
dan Al-‘Așr. Surah-surah yang panjang terbagi lagi atas subbagian lagi yang disebut
ruku’ yang membahas tema atau topik tertentu.

2. Makkiyah dan Madaniyah


Sedangkan menurut tempat diturunkannya, setiap surat dapat dibagi atas surat-
surat Makkiyah (surat Mekkah) dan Madaniyah (surat Madinah). Pembagian ini
berdasarkan tempat dan waktu penurunan surat dan ayat tertentu di mana surat-surat
yang turun sebelum Rasulullah  hijrah ke Madinah digolongkan surat Makkiyah
sedangkan setelahnya tergolong surat Madaniyah.

Surat yang turun di Makkah pada umumnya suratnya pendek-pendek, menyangkut prinsip-prinsip
keimanan dan akhlaq, panggilannya ditujukan kepada manusia. Sedangkan yang turun di Madinah pada
umumnya suratnya panjang-panjang, menyangkut peraturan-peraturan yang mengatur hubungan
seseorang dengan Tuhan atau seseorang dengan lainnya (syari’ah).

3. Juz dan manzil


Dalam skema pembagian lain, Al-Qur’an juga terbagi menjadi 30 bagian dengan
panjang sama yang dikenal dengan namajuz. Pembagian ini untuk memudahkan
mereka yang ingin menuntaskan bacaan Al-Qur’an dalam 30 hari (satu bulan).
Pembagian lain yakni manzil memecah Al-Qur’an menjadi 7 bagian dengan tujuan
penyelesaian bacaan dalam 7 hari (satu minggu). Kedua jenis pembagian ini tidak
memiliki hubungan dengan pembagian subyek bahasan tertentu.

4. Menurut ukuran surat


Kemudian dari segi panjang-pendeknya, surat-surat yang ada di dalam Al-Qur’an
terbagi menjadi empat bagian, yaitu:

a. As Sab’uththiwaal (tujuh surat yang panjang). Yaitu Surat Al-


Baqarah, Ali Imran, An-Nisaa’, Al-A’raaf, Al-An’aam, Al Maa-
idahdan Yunus
b. Al Miuun (seratus ayat lebih), seperti Hud, Yusuf, Mu’mindan
sebagainya
c. Al Matsaani (kurang sedikit dari seratus ayat), seperti Al-Anfaal, Al-
Hijrdan sebagainya
d. Al Mufashshal (surat-surat pendek), seperti Adh-Dhuha, Al-Ikhlas, Al-
Falaq, An-Nasdan sebagainya
 SEJARAH AL-QURAN HINGGA BERBENTUK MUSHAF
Al-Qur’an memberikan dorongan yang besar untuk mempelajari sejarah
dengan secara adil, objektif dan tidak memihak. Dengan demikian tradisi
sains Islamsepenuhnya mengambil inspirasi dari Al-Qur’an, sehingga
umat Muslim mampu membuat sistematika penulisan sejarah yang lebih
mendekati landasan penanggalan astronomis.

a. Penurunan Al-Qur’an
Al-Qur’an tidak turun sekaligus, ayat-ayat al-Qur’an turun secara berangsur-angsur
selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Para ulama membagi masa turunnya ini dibagi
menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah
berlangsung selama 12 tahun masa kenabian Rasulullah dan surat-surat yang turun
pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai
sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun
waktu ini disebut surat Madaniyah. Ilmu Al-Qur’an yang membahas mengenai latar
belakang atau sebab-sebab suatu atau beberapa ayat al-Qur’an diturunkan disebut
Asbabun Nuzul (Sebab-sebab Turunnya (suatu ayat).

b. Penulisan Al-Qur’an dan perkembangannya


Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) ayat-ayat al-Qur’an sudah dimulai sejak
zaman Nabi Muhammad. Kemudian transformasinya menjadi teks yang sudah
dibundel menjadi satu seperti yang dijumpai saat ini, telah dilakukan pada
zamankhalifah Utsman bin Affan.

 Masa Nabi Muhammad


Pada masa ketika Nabi Muhammad masih hidup, terdapat beberapa orang yang
ditunjuk untuk menuliskan Al Qur’an yakniZaid bin Tsabit, Ali bin Abi
Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap
menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang
digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau
daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga
sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an setelah wahyu
diturunkan.

 Masa Khulafaur Rasyidin

Pemerintahan Abu Bakar


Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam
perang yang dikenal dengan nama perang Ridda) yang mengakibatkan tewasnya
beberapa penghafal Al-Qur’an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab yang
saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu
Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur’an yang saat itu tersebar di antara
para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator
pelaksanaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur’an tersusun
secara rapi dalam satumushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar
menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah
kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh
anaknya yakniHafshah yang juga istri Nabi Muhammad

Pemerintahan Utsman bin Affan


Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat
keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur’an (qira’at) yang disebabkan oleh adanya
perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini
menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk
membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang
ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian
dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat
ini. Bersamaan dengan standardisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar
yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini
Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam
pada masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur’an.

Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif, dengan sanad yang


shahih:

“Suwaid bin Ghaflah berkata, “Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik
tentang Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf
Al Qur’an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata, ‘Bagaimana pendapatmu
tentang isu qira’at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan
bahwa qira’atnya lebih baik dari qira’at orang lain. Ini hampir menjadi suatu
kekufuran’. Kami berkata, ‘Bagaimana pendapatmu?’ Ia menjawab, ‘Aku
berpendapat agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi
perpecahan dan perselisihan.’ Kami berkata, ‘Pendapatmu sangat baik’.”

Menurut Syaikh Manna’ Al-Qaththan dalam Mahabits fi ‘Ulum Al Qur’an,


keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh
para sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk
meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin
Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-
Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar
menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan
ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al
Qur’an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan lembaran-
lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah,
Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah (mushaf al-
Imam).
 HUBUNGAN AL-QURAN DENGAN KITAB-KITAB LAIN
Berkaitan dengan adanya kitab-kitab yang dipercayai diturunkan kepada nabi-nabi
sebelum Muhammad  dalam agama Islam (Taurat, Zabur, Injil, lembaran Ibrahim),
Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menegaskan posisinya terhadap kitab-kitab
tersebut. Berikut adalah pernyataan Al-Qur’an yang tentunya menjadi doktrin bagi
ummat Islam mengenai hubungan Al-Qur’an dengan kitab-kitab tersebut:

1. Bahwa Al-Qur’an menuntut kepercayaan umat Islam terhadap eksistensi kitab-


kitab tersebut.
2. Bahwa Al-Qur’an diposisikan sebagai pembenar dan batu ujian (verifikator)
bagi kitab-kitab sebelumnya.
3. Bahwa Al-Qur’an menjadi referensi untuk menghilangkan perselisihan
pendapat antara ummat-ummat rasul yang berbeda.
4. Bahwa Al-Qur’an meluruskan sejarah. Dalam Al-Qur’an terdapat cerita-cerita
mengenai kaum dari rasul-rasul terdahulu, juga mengenai beberapa bagian
mengenai kehidupan para rasul tersebut. Cerita tersebut pada beberapa aspek
penting berbeda dengan versi yang terdapat pada teks-teks lain yang dimiliki
baik oleh Yahudidan Kristen.
 HADIST

 PENGERTIAN HADIST
Hadits (bahasa Arab: ‫الحديث‬ ) adalah perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan
persetujuan dari Nabi Muhammad yang dijadikan landasan syariat Islam. Hadits
dijadikan sumber hukum Islam selain al-Qur’an, dalam hal ini kedudukan hadits
merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an.

Hadits secara harfiah berarti “berbicara”, “perkataan” atau “percakapan”. Dalam


terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan, mencatat sebuah pernyataan dan
tingkah laku dari Nabi Muhammad .

Menurut istilah ulama ahli hadits, hadits yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi
Muhammad , baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya (Arab: taqrîr), sifat
jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi (Arab: bi’tsah)
dan terkadang juga sebelumnya, sehingga arti hadits di sini semakna dengan sunnah.

Kata hadits yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah,
maka pada saat ini bisa berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun
persetujuan dari Nabi Muhammad  yang dijadikan ketetapan ataupun hukum.

Kedudukan Hadist sebagai sumber hukum Islam dijelaskan dalam Al-Qur’an surah
An-Nisa 4:65

Artinya : Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman


hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu
keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya.

 STRUKTUR HADIST
Secara struktur hadits terdiri atas dua komponen utama
yakni sanad/isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi).

Contoh: Musaddad mengabari bahwa Yahya menyampaikan sebagaimana


diberitakan oleh Syu’bah, dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah  bahwa
dia bersabda: “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia
cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri” (hadits
riwayat Bukhari)

1. Sanad

Sanad ialah rantai penutur/rawi (periwayat) hadits. Rawi adalah masing-masing orang


yang menyampaikan hadits tersebut (dalam contoh di atas: Bukhari, Musaddad,
Yahya, Syu’bah, Qatadah dan Anas). Awal sanad ialah orang yang mencatat hadits
tersebut dalam bukunya (kitab hadits); orang ini disebut mudawwin atau mukharrij.
Sanad merupakan rangkaian seluruh penutur itu mulai dari mudawwin hingga
mencapai Rasulullah. Sanad memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika
diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadits bersangkutan adalah

Al-Bukhari –> Musaddad –> Yahya –> Syu’bah –> Qatadah –> Anas –> Nabi
Muhammad 
Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/rawi yang
bervariasi dalam lapisan sanadnya; lapisan dalam sanad disebut dengan thabaqah.
Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thabaqah sanad akan menentukan
derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits.
Jadi yang perlu dicermati dalam memahami hadits terkait dengan sanadnya ialah :

1. Keutuhan sanadnya
2. Jumlahnya
3. Perawi akhirnya

Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam. Hal ini
diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan
tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits nabawi.

2. Rawi

Rawi adalah orang-orang yang menyampaikan suatu hadits. Sifat-sifat rawi yang ideal
adalah:

1. Bukan pendusta atau tidak dituduh sebagai pendusta


2. Tidak banyak salahnya
3. Teliti
4. Tidak fasik
5. Tidak dikenal sebagai orang yang ragu-ragu (peragu)
6. Bukan ahli bid’ah
7. Kuat ingatannya (hafalannya)
8. Tidak sering bertentangan dengan rawi-rawi yang kuat
9. Sekurangnya dikenal oleh dua orang ahli hadits pada jamannya.

Sifat-sifat para rawi ini telah dicatat dari zaman ke zaman oleh ahli-ahli hadits yang
semasa, dan disalin dan dipelajari oleh ahli-ahli hadits pada masa-masa yang
berikutnya hingga ke masa sekarang. Rawi yang tidak ada catatannya
dinamakan maj’hul, dan hadits yang diriwayatkannya tidak boleh diterima.

3.Matan

Matan ialah redaksi dari hadits, dari contoh sebelumnya maka matan hadits
bersangkutan ialah:

Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya


apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri”

Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami
hadits ialah:

 Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad
atau bukan,
 Matan hadits itu sendiri dalam hubungannya dengan hadits lain yang lebih
kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan
selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).
 KLASIFIKASI HADIST
Hadits dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni bermulanya ujung
sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (rawi) serta tingkat keaslian hadits
(dapat diterima atau tidaknya hadits bersangkutan).

Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi menjadi 3 golongan


yakni marfu’ (terangkat), mauquf (terhenti) dan maqthu’:

 Hadits Marfu’adalah hadits yang sanadnya berujung langsung pada


Nabi Muhammad  (contoh: hadits di atas)
 Hadits Mauqufadalah hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat
nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang
menunjukkan derajat marfu’
Contoh: Al Bukhari dalam kitab Al-Fara’id (hukum waris) menyampaikan
bahwa Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan: “Kakek
adalah (diperlakukan seperti) ayah”. Pernyataan dalam contoh itu tidak jelas,
apakah berasal dari Nabi atau sekedar pendapat para sahabat. Namun jika
ekspresi yang digunakan sahabat adalah seperti “Kami diperintahkan..”,
“Kami dilarang untuk…”, “Kami terbiasa… jika sedang bersama Rasulullah”,
maka derajat hadits tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara dengan
marfu’..
 Hadits Maqthu’adalah hadits yang sanadnya berujung pada
para tabi’in (penerus) atau sebawahnya. Contoh hadits ini adalah: Imam
Muslim meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya bahwa Ibnu Sirin
mengatakan: “Pengetahuan ini (hadits) adalah agama, maka berhati-hatilah
kamu darimana kamu mengambil agamamu”.

Keaslian hadits yang terbagi atas golongan ini sangat bergantung pada beberapa
faktor lain seperti keadaan rantai sanad maupun penuturnya. Namun klasifikasi ini
tetap sangat penting mengingat klasifikasi ini membedakan ucapan dan tindakan
Rasulullah  dari ucapan para sahabat maupun tabi’in di mana hal ini sangat membantu
dalam area perkembangan dalam fikih (Suhaib Hasan, Science of Hadits).

Berdasarkan keutuhan rantai/lapisan sanad

Berdasarkan klasifikasi ini hadits terbagi menjadi beberapa golongan


yakni Musnad, Mursal, Munqathi’, Mu’allaq, Mu’dlaldan Mudallas. Keutuhan rantai
sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu
dan kondisi untuk mendengar dari penutur di atasnya.

Ilustrasi sanad: Pencatat hadits > Penutur 5> Penutur 4> Penutur 3 (tabi’ut tabi’in)
> Penutur 2 (tabi’in) > Penutur 1 (para shahabi) > Rasulullah

 Hadits Musnad. Sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan sanad yang
dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Urut-urutan
penutur memungkinkan terjadinya penyampaian hadits berdasarkan waktu dan
kondisi, yakni rawi-rawi itu memang diyakini telah saling bertemu dan
menyampaikan hadits. Hadits ini juga dinamakanmuttashilus
sanadatau maushul.

 Hadits Mursal, bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang
tabi’in menisbatkan langsung kepada Rasulullah (contoh: seorang tabi’in
(penutur 2) mengatakan “Rasulullah berkata…” tanpa ia menjelaskan adanya
sahabat yang menuturkan kepadanya).
 Hadits Munqathi’, bila sanad putus pada salah satu penutur, atau pada dua
penutur yang tidak berturutan, selain shahabi.
 Hadits Mu’dlal, bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut.
 Hadits Mu’allaq, bila sanad terputus pada penutur 5 hingga penutur 1, alias
tidak ada sanadnya. Contoh: “Seorang pencatat hadits mengatakan, telah
sampai kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan….”tanpa ia menjelaskan
sanad antara dirinya hingga Rasulullah.
 Hadits Mudallas, bila salah satu rawi mengatakan “..si A berkata..” atau
“Hadits ini dari si A..” tanpa ada kejelasan “..kepada saya..”; yakni tidak tegas
menunjukkan bahwa hadits itu disampaikan kepadanya secara langsung. Bisa
jadi antara rawi tersebut dengan si A ada rawi lain yang tidak terkenal, yang
tidak disebutkan dalam sanad. Hadits ini disebut juga hadits yang
disembunyikan cacatnya karena diriwayatkan melalui sanad yang memberikan
kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, atau hadits
yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.

Berdasarkan jumlah penutur

Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari
sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut.
Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi atas hadits mutawatir dan hadits ahad.

 Hadits Mutawatir, adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang


dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua
sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi hadits mutawatir memiliki
beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan generasi (thaqabah)
berimbang. Para ulamaberbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum
hadits mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan
sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni
mutawatir lafzhy (lafaz redaksional sama pada tiap riwayat)
dan ma’nawy (pada redaksional terdapat perbedaan namun makna sama pada
tiap riwayat)
 Hadits Ahad, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak
mencapai tingkatan mutawatir. Hadits ahad kemudian dibedakan atas tiga jenis
antara lain :
a. Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan
terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain mungkin terdapat
banyak penutur)
b. Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan,
pada lapisan lain lebih banyak)
c. Masyhur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih
penutur pada salah satu lapisan, dan pada lapisan lain lebih banyak)
namun tidak mencapai derajat mutawatir. Dinamai juga hadits
mustafidl.

Berdasarkan tingkat keaslian hadits

Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan
merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits
tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih,
hasan, dla’if dan maudlu’.

 Hadits Sahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits
shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Sanadnya bersambung (lihat Hadits Musnad di atas);
2. Diriwayatkan oleh para penutur/rawi yang adil, memiliki sifat istiqomah,
berakhlak baik, tidak fasik, terjagamuruah(kehormatan)-nya, dan kuat
ingatannya.
3. Pada saat menerima hadits, masing-masing rawi telah cukup umur (baligh)
dan beragama Islam.
4. Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada
sebab tersembunyi atau tidak nyata yang mencacatkan hadits (’illat).

 Hadits Hasan, bila hadits yang tersebut sanadnya bersambung, namun ada
sedikit kelemahan pada rawi(-rawi)nya; misalnya diriwayatkan oleh rawi yang
adil namun tidak sempurna ingatannya. Namun matannya tidak syadz atau
cacat.
 Hadits Dhaif(lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat
berupa hadits mauquf, maqthu’, mursal, mu’allaq, mudallas, munqathi’ atau
mu’dlal), atau diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat
ingatannya, atau mengandung kejanggalan atau cacat.
 Hadits Maudlu’, bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam rantai
sanadnya dijumpai penutur yang dikenal sebagai pendusta.

a. Jenis-jenis hadist

Adapun beberapa jenis hadits lainnya yang tidak disebutkan dari klasifikasi di atas
antara lain:

 Hadits Matruk, yang berarti hadits yang ditinggalkan yaitu hadits yang hanya
diriwayatkan oleh seorang rawi saja dan rawi itu dituduh berdusta.
 Hadits Mungkar, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi yang
lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang
tepercaya/jujur.
 Hadits Mu’allal, artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang
di dalamnya terdapat cacat yang tersembunyi (’illat). Menurut Ibnu Hajar Al
Atsqalanibahwa hadits Mu’allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi
setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa juga disebut hadits
Ma’lul (yang dicacati) dan disebut hadits Mu’tal (hadits sakit atau cacat).
 Hadits Mudlthorib, artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan
oleh seorang rawi melalui beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidak
sama atau bahkan kontradiksi dengan yang dikompromikan
 Hadits Maqlub, yakni hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan oleh
rawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau
sebaliknya, baik dalam hal matan (isi) atau sanad (silsilah)
 Hadits Gholia, yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga
pengertiannya berubah
 Hadits Mudraj, yaitu hadits yang mengalami penambahan isi oleh rawi,
misalnya penjelasan-penjelasan yang bukan berasal dari Nabi.
 Hadits Syadz, hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh rawi
yang tepercaya namun bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari
rawi-rawi yang lain. Hadits syadz bisa jadi berderajat shahih, akan tetapi
berlawanan isi dengan hadits shahih yang lebih kuat sanadnya. Hadits yang
lebih kuat sanadnya ini dinamakan Hadits Mahfuzh.
 IJTIHAD
 Pengertian Ijtihad
Ijtihad (Arab: ‫ )اجتهاد‬adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya
bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk
memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan
syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.

Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya


dilakukan para ahli agama Islam.
Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup
dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu

 Fungsi Ijtihad.

Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti
semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al Quran maupun Al
Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan
kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan
diperlukan aturan-aturan turunan dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan
beragama sehari-hari.

Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau
di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang
dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist.
Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada
sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan
tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al
Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad.
Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran
dan Al Hadist.
 Jenis-jenis Ijtihad
1. Ijma’
Ijma’ artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan
suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits dalam
suatu perkara yang terjadi. Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh
para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati.
Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli
agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.

2. Qiyâs
Qiyas adalah menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum
suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki
kesamaan dalah sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu
sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang
terdapat hal hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya

Beberapa definisi qiyâs (analogi)

a. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan


titik persamaan di antara keduanya.
b. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu
persamaan di antaranya.
c. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [Al-
Qur’an] atau [Hadis] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab
(iladh).
d. menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yg belum di terangkan oleh
al-qur’an dan hadits.

3. Istihsân
Beberapa definisi Istihsân

a. Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih(ahli fikih), hanya karena dia


merasa hal itu adalah benar.
b. Argumentasi dalam pikiran seorang fâqihtanpa bisa diekspresikan secara lisan
olehnya
c. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang
banyak.
d. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
e. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang
ada sebelumnya..

4. Maslahah murshalah
Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskahnya dengan
pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan
menghindari kemudharatan
.
5. Sududz Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi
kepentingan umat.

6. Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa
mengubahnya, contohnya apabila ada pertanyaan bolehkah seorang perempuan
menikah lagi apabila yang bersangkutan ditinggal suaminya bekerja di perantauan dan
tidak jelas kabarnya? maka dalam hal ini yang berlaku adalah keadaan semula bahwa
perempuan tersebut statusnya adalah istri orang sehingga tidak boleh menikah(lagi)
kecuali sudah jelas kematian suaminya atau jelas perceraian keduanya.
7. Urf
Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan
masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-
aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.

 Tingkatan-tingakatan Ijtihad

1.Ijtihad Muthlaq

Adalah kegiatan seorang mujtahid yang bersifat mandiri dalam berijtihad dan
menemukan ‘illah-‘illah hukum dan ketentuan hukumnya dari nash Al-Qur’an dan
sunnah, dengan menggunakan rumusan kaidah-kaidah dan tujuan-tujuan syara’, serta
setelah lebih dahulu mendalami persoalan hukum, dengan bantuan disiplin-disiplin
ilmu

2.Ijtihad fi al-Madzhab

Adalah suatu kegiatan ijtihad yang dilakukan seorang ulama mengenai hukum syara’,


dengan menggunakan metode istinbath hukum yang telah dirumuskan oleh imam
mazhab, baik yang berkaitan dengan masalah-masalah hukum syara’ yang tidak
terdapat dalam kitab imam mazhabnya, meneliti pendapat paling kuat yang terdapat di
dalam mazhab tersebut, maupun untuk memfatwakan hukum yang diperlukan
masyarakat.

Secara lebih sempit, ijtihad tingkat ini dikelompokkan menjadi tiga tingkatan ini:

1. Ijtihad at-Takhrij
2. Yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dalam mazhab tertentu
untuk melahirkan hukum syara’ yang tidak terdapat dalam kumpulan hasil
ijtihad imam mazhabnya, dengan berpegang kepada kaidah-kaidah atau
rumusan-rumusan hukum imam mazhabnya. Pada tingkatan ini kegiatan
ijtihad terbatas hanya pada masalah-masalah yang belum pernah difatwakan
imam mazhabnya, ataupun yang belum pernah difatwakan oleh murid-murid
imam mazhabnya.
3. Ijtihad at-Tarjih
4. Yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan untuk memilah pendapat yang
dipandang lebih kuat di antara pendapat-pendapat imam mazhabnya, atau
antara pendapat imam dan pendapat murid-murid imam mazhab, atau antara
pendapat imam mazhabnya dan pendapat imam mazhab lainnya.
Kegiatan ulama pada tingkatan ini hanya melakukan pemilahan pendapat, dan
tidak melakukan istinbath hukum syara’.
5. Ijtihad al-Futya
6. Yaitu kegiatan ijtihad dalam bentuk menguasai seluk-beluk pendapat-pendapat
hukum imam mazhab dan ulama mazhab yang dianutnya, dan memfatwakan
pendapat-pendapat terebut kepada masyarakat. Kegiatan yang dilakukan
ulama pada tingkatan ini terbatas hanya pada memfatwakan pendapat-
pendapat hukum mazhab yang dianutnya, dan sama sekali tidak melakukan
istinbath hukum dan tidak pula memilah pendapat yang ada di dalamnya.
 KESIMPULAN
Mempelajari agama Islam merupakan fardhu ’ain , yakni kewajiban pribadi
setiap muslim dan muslimah, sedang mengkaji ajaran Islam terutama yang
dikembangkan oleh akal pikiran manusia, diwajibkan kepada masyarakat atau
kelompok masyarakat.Sumber ajaran agama islam terdiri dari sumber ajaran
islam primer dan sekunder. Sumber ajaran agama islam primer terdiri dari al-
qur’an dan as-sunnah (hadist), sedangkan sumber ajaran agama islam sekunder
adalah ijtihad.

 DAFTAR PUSTAKA

Faridl, Miftah dan Syihabudin, Agus —Al-Qur’an, Sumber Hukum Islam yang
Pertama, Penerbit Pustaka, Bandung, 1989 M.
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 2001
Pengetahuan Dasar tentang Pokok-pokok Ajaran Islam (A/B) oleh Mh. Amin Jaiz

Anda mungkin juga menyukai