Anda di halaman 1dari 18

MENGENAL AL-QUR’AN DAN AL-HADIS

(PENDEKATAN HISTORIS)

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Al-Qur’an dan Al-Hadis
Dosen Pengampu: Dr. Turmudzi Abror, M.Pd.

MAKALAH

OLEH:
MOH. RIZAL AFANDI

UNIVERSITAS ISLAM TRIBAKTI (IAIT) LIRBOYO


FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FEBRUARI 2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan zaman semakin pesat menjadikan manusia semakin
mudah untuk mengakses segala hal. Namun semakin mudahnya fasilitas
yang didapatkan manusia semakin malas untuk mengkaji suatu hal
termasuk agama yang diyakininya.
Islam merupakan agama terakhir dan pedoman agama Islam berasal
dari wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw olwh Allah Swt
melalui malaikat Jibril. Adanya agama Islam membawa pesan kedamaian
bagi seluruh makhluk yang ada di dunia.
Pesan kedamaian ini merupakan isi dari sumber ajaran di dalam Islam,
Adapun sumber ajaran Islam adalah al-Qur’an serta Hadis. Selain itu
dalam memahami isi dari al-Qur’an serta Hadis akal berperan penting
dalam mendukung manusia untuk memahami kedua sumber ajaran agama
Islam tersebut. Peran akal dalam memahami isi al-Qur’an dan Hadis agar
hukum-hukum yang ada di dalamnya dapat disesuaikan dengan kondisi
perkembangan zaman.
Sebagai Muslim setidaknya kita paham sumber ajaran yang terdapat
agama Islam. Dengan adanya penelitian ini diharapkan para pembaca
dapat lebih mengenal al-Qur’an serta hadis melalui sejarah dan
perkembanganya.
Adapun penelitian ini akan membahas tentang bagaimana sejarah
perkembangan al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber ajaran Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian al-Qur’an dan al-Hadis?
2. Bagaimana sejarah al-Qur’an dan perkembangannya?
3. Bagaiaman sejarah al-Hadis dan perkembangannya?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Qur’an dan Hadis


1. Pengertian Al-Qur’an
Secara etimologi al-Qur’an berasal bahasa Arab dalam bentuk kata
benda abstrak mashdar dari kata (qara’a-yaqrau-qur’anan) yang berarti
bacaan. Sebagian para ulama berbeda berpendapat, mereka menyatakan
bahwa al-Qur’an bukanlah musytak dari qara’a melaikan isim alam
(nama sesuatu) bagi kitab yang mulia, sebagaimana halnya nama Taurat
dan Injil. Penamaan ini dikhususkan menjadi nama bagi Kitab Suci yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.1
Sedangkan al-Qur’an secara terminologi, para ulama banyak yang
berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, sesuai dengan pandangan
dan keahlian masing-masing. Berikut beberapa definisi al-Qur’an yang
dikemukakan para ulama, anatara lain:
a. Menurut Imam Jalaluddin al-Suyuthy seorang Ahli Tafsir dan ilmu
Tafsir di dalam bukunya “Itmam al-Dirayah” menyebutkan: “Al-
Qur’an merupakan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw. untuk melemahkan pihak-pihat yang
menantangnya, walaupun hanya dengan satu surat saja dari
padanya”.
b. Muhammad Ali al-Shabuni menyebutkan definisi al-Qur’an sebagai
berikut: “Al-Qur’an ialah Kalam Allah yang tiada tandingannya,
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. penutup para Nabi dan
Rasul, dengan perantara malaikat Jibril dan ditulis pada mushaf-
mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir,
serta membaca dan mempelajarinya merupakan suatu ibadah, yang
dimulai dengan surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat an-Nas”.
c. As-Syekh Muhammad al-Khudhary Beik dalam bukunya “Ushul al-
1
Muhammad Yasir dan Ade Jamaruddin, Studi Al-Qur’an (Pekanbaru: CV. Asa Riau, 2016), 1.

2
Fiqh” menyebutkan: “Al-Qur’an, yaitu firman Allah yang berbahasa
Arab, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. untuk
dipahami isinya, untuk diingat selalu, yang disampaikan kepada kita
dengan jalan muttawatir, dan telah tertulis didalam suatu mushaf
anatara kedua kulitnya dimulai dengan surat al-Fatihah dan ditutup
dengan surat an-Nas”.2
2. Pengertian Al-Hadis
Ditinjau dari bahasa kata hadis berarti al-jadid yaitu sesuatu yang
baru. Sedangkan menurut istilah para ahli mendefinisikan hadis adalah
segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw baik ucapan,
perbuatan, maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum Allah
yang disyariatkan kepada manusia.
Para Muhadditsin membagi hadis/sunnah menjadi lima macam
1) Sunnah Qauliyah, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi berupa perkataan.
2) Sunnah Fi’liyah, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
berupa perkataan.
3) Sunnah Taqririyah, yaitu sunnah yang berupa ketetapan Nabi Saw.
4) Sunnah Hammiyah, yaitu sesuatu yang menjadi hasrat Nabi tetapi
belum sempat dilaksanakan. Seperti puasa pada tanggal 9 ‘Asyura.
5) Hadis Ahwali, yaitu hadis yang menyangkut hal ihwal Nabi seperti
keadaan fisik, sifat dan kepribadiannya.3
B. Mengenal Al-Qur’an secara Historisnya
1. Proses Turunnya Al-Qur’an
Setiap definisi al-Qur’an para ulama, selalu menggunakan istilah
wahyu/kalam “yang diturunkan” kepada Nabi Muhammad Saw. Menurut
‘Abd al’Azhim Ma’ani dan Ahmad al-Ghundur, penggunaan istilah al-
Qur’an itu “diturunkan” oleh Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw.,
kemungkinan besar karena dua hal. Pertama, mungkin karena Allah
sebagai sumber wahyu adalah tinggi bahkan Yang Maha Tinggi, sedangkan
yang selain Allah Swt. itu adalah rendah dibandingkan dengan Allah.
2
Muhammad Yasir dan Ade Jamaruddin, Studi Al-Qur’an, 3.
3
Nurhasanah BakhtiarMarwan, Metodologi Studi Islam (Pekanbaru, Cahaya Firdaus 2016), 108.

3
Kedua, Malaikat jibril yang menyampaikan wahyu al-Qur’an kepada Nabi
itu turun dari atas langit.4
Dalam proses turunnya al-Qur’an para ulama banyak berbeda
pendapat. Perbedaan pendapat itu pada dasarnya dibedakan menjadi tiga
kelompok:
Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa al-Qur’an diturunkan
sekaligus (dari awal hingga akhir) ke langit dunia pada mala al-Qadar.
Kemudian diturunkan secara berangsur-angsur dalam tempo 23 atau 25
tahun sesuai perbedaan pendapat diantara sesama mereka.
Kedua, golongan yang berpendapat bahwa al-Qur’an diturunkan ke
langit dunia tidak sekaligus (bagian demi bagian) pada setiap datang
malam al-Qadar. Jadi, menurut golongan ini al-Qur’an diturunkan pada
malam al-Qadar sesuai dengan kebutuhan selama satu tahun sampai
bertemu dengan malam al-Qadar selanjutnya.
Ketiga, aliran yang menyimpulkan bahwa al-Qur’an itu pertama
diturunkan pada mala al-Qadar sekaligus, dari Lauh Mahfudz le Bait
al-‘Izzah dan kemudian setelah itu diturunkan sedikit demi sedikit dalam
berbagai kesempatan sepanjang masa-masa kenabian Muhammad Saw.5
Menginggat al-Qur’an diturunkan sedikit demi sedikit, maka dapat
kita pahami bahwa jika masa turunya al-Qur’an cukup lama, yakni sekitar
20-23 tahun, atau tepatnya memakan waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari
menurut perhitungan Syekh Muhammad al-Khudari Bek. Menurutnya, al-
Qur’an diturunkan untuk pertama kali pada malam 17 Ramadhan tahun 41
dari kelahiran Nabi Muhammad Saw. (6 Agustus 610 M) dan berakhir
pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijrah (Maret 632 M).6
Terkait masa-masa turunya al-Qur’an, al-Khudari membagi menjadi
dua periode yakni: Periode Makkah yang memakan waktu 12 tahun 5
bulan dan 13 hari: dan periode Madinah menghabiskan waktu 9 tahun 9
bulan dan 9 hari.7
2. Sejarah Kodifikasi Al-Qur’an
4
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2014), 35-36.
5
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, 36-37.
6
Ibid, 43.
7
Ibid, 43.

4
a. Al-Qur’an pada Masa Nabi Muhammad SAW
Al-Qur’an pada zaman Nabi SAW belum dibukukan dalam satu
mushaf. Alqur’an diturunkan dengan cara berangsur-angsur sampai
dua puluh tahun lebih, dan sebagian ayatnya ada yang dinaskh. Akan
tetapi al-Qur’an pada zaman Nabi benar-benar terpelihara dengan
sempurna. Disamping Nabi menganjurkan para Sahabat untuk
menghafalkanya, beliau juga mempunyai juru tulis wahyu yang
dihadapannya mereka menulis, dengan perintah dan iqrornya. Para
penulis wahyu ini bukan orang biasa, mereka adalah orang-orang
terkenal tinggi amanahnya, sempurna agamanya, unggul akalnya dan
ketelitianya, disamping mereka terkenal pandai dibidang tulis
menulis.8
Masyhur diantara mereka para penulis al-Qur’an adalah Sahabat
Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Mu’awiyyah bin abi Sufyan, Khalid,
Ubay bin ka’ab, Zaid bin tsabit dan lain-lain. 9 Mereka menulis
sebagimana pada masa waktu itu, menuliskannya pada batu-batu tipis,
pelepah-pelepah kurma, tulang belulang dan kulit-kulit hewan.
Ummat Islam sepakat bahwa para Sahabat tidaklah menulis kecuali
apa yang telah mereka dengar secara pasti dari Nabi. Selain itu Nabi
juga melarang para Sahabat untuk menulis selain Al-Qur’an.
Suatu ketetapan sejarah, pada zaman Nabi ayat-ayat yang terpisah
turunya telah tersusun dan terkumpulkan dalam suratnya masing-
masing dengan isyarah dan petunjuk nabi secara langsung. Setiap
turun sesuatu dari Al-Qur’an Nabi menyuruh para Sahabat menulisnya
dan menyuruh meletakkan dalam surat ini pada urutan ini. Jadi pada
zaman Nabi Al-Qur’an sudah tersusun semua urutannya seperti
sekarang. Baik dalam hafalannya ataupun tulisannya, hanya belum
terkumpulkan menjadi satu buku.10
b. Pengumpulan Al-Qur’an pada Masa Abu Bakar

8
Maftuh Basthul Birri, Mari Memakai Al-Qur’an Rosm ‘Utsmaniy (Kediri: Madrasah Murottil
Qur’anil Karim, 2018), 17.
9
Ibid,17.
10
Maftuh Basthul Birri, Mari Memakai Al-Qur’an Rosm ‘Utsmaniy (Kediri: Madrasah Murottil
Qur’anil Karim PP. Lirboyo, 2018), 18.

5
Setelah Nabi wafat, Sahabat Abu Bakar menjadi khalifah, maka
sebagian umat ada yang murtad dan Musailamah mengaku sebagai
Nabi. Untuk menghadapi hal ini maka terjadilah peperangan (perang
Yamamah) yang menewaskan banyak para Huffazhil Qur’an (sekitar
700 Huffazh, sedang yang terbunuh semua ada 970 muslim atau
lebih). Dengan banyaknya Huffazh yang terbunuh ini, dikhawatirkan
al-Qur’an banyak yang hilang. Maka dikerjakanlah pengumpulan al-
Qur’an dalam satu Mushaf. Ringkasnya, dimulai dari inisiatif sahabat
Umar dan kesadaran Abu Bakar, kemudian berbentuk tim penulisan,
Sahabat Zaid bin Tsabit Ra. menjadi ketua lajnahnya atau panitianya.
Setelah sahabat Zaid bin Tsabit Ra. Siaplah dia mencarai dan
meneliti semua al-Qur’an baik yang dari tulisan-tulisan maupun dari
dada-dada manusia (hafalan) sehingga dia menemukan dua ayat dari
surat At-Taubah:

‫َزي ٌز َعلَ ۡي ِه َما َعنِ ُّتمۡ َح ِريصٌ َعلَ ۡي ُكم‬ ِ ‫ُول ِّم ۡن َأنفُ ِس ُكمۡ ع‬
ٞ ‫لَقَ ۡد َجٓا َء ُكمۡ َرس‬
‫ فَِإن ت ََولَّ ۡو ْا فَقُ ۡل َح ۡسبِ َي ٱهَّلل ُ ٓاَل ِإ ٰلَهَ ِإاَّل هُ ۖ َو‬١٢٨ ‫يم‬ٞ ‫َّح‬ ِ ‫وف ر‬ ٞ ‫بِ ۡٱل ُم ۡؤ ِمنِينَ َر ُء‬
١٢٩ ‫ش ۡٱل َع ِظ ِيم‬ ۡ
ِ ‫ت َوهُ َو َربُّ ٱل َع ۡر‬ ُ ۖ ‫َعلَ ۡي ِه ت ََو َّك ۡل‬
Hanya pada abu Huzaimah Al-Anshoriy Ra. (seorang lelaki yang
oleh nabi syahadahnya/persaksianya disamakan dengan syahadah dua
orang). Kemudian dimasukan suratnya. Setelah selesai, mushaf itu
dipegang oleh Khalifah Abu Bakar sampai wafatnya, kemudian
terbawa khalifah sampai akhir hayatnya. Kemudian terpelihara oleh
sayyidah, hafshoh binti Umar istri Rasulillah Saw.11
c. Pengumpulan Al-Qur’an pada Masa Utsman
Pada zaman Khalifah Utsman bin Affan Ra. daerah ilam telah
meluas. Para Sahabat terpencara dimana-mana mengajarkan al-Qur’an
menurut talaqqinya sendiri-sendiri yang telah diterima dari Rasulillah
Saw. diatas telah kita ketahui bahwa al-Qur’an itu diturunkan dengan
tujuh huruf, bermacam-macam bacaannya. Perbedaan-perbedaan

11
Maftuh Basthul Birri, Mari Memakai Al-Qur’an Rosm ‘Utsmaniy, 20.

6
bacaan ini pada zaman Nabi telah dimaklumi oleh para Sahabat.
Diantara satu sama lainnya tiada yang memperselisihkan masih
adanya Nabi yang dibuat barometer (memperbolehkan) akan tetapi
sekarang, setelah perbedaaan-perbedaan itu tak menentu dan tidak
bisa diketahui lagi mana bacaan yang diperbolehkan dan mana yang
tidak, mulailah dikalangan kaum muslimin terjadi perselisishan
tentang bacaan al-Qur’an. Setiap kaum mengingkari bacaan kaum lain
dan kemudian bertambah parahlah perselisihannya.12
Terjadinya perbedaan bacaan yang tidak menentu itu bisa menjadi
efek terhadap perubahan perubahan bacaan. Pada tahun 25 Hijriyyah,
yakni tahun kedua tau ketiga dari kepemerintahan Khalifah Utsman
Affan yaitu setelah 15 tahun wafatnya Nabi. Dari Usulan Sahabat
Hudzaifah ibnul Yaman terkait perselisihan antara kaum muslimin
tentang cara baca al-Qur’an, Khalifah Utsman memerintahkan untuk
mengimblatkan ummat pada satu Mushaf. Maka sebagai bahan pokok,
Ustman mengutus untuk menghadap ke Hafshoh binti Umar agar
meminjamkan Mashafnya ( mashafnya kumpulan Abu bakar) untuk
disalin pada beberapa Mashaf.
Ada riwayat Hafshoh binti Umar tidak memeperbolehkan
meminjam mMashaf tersebut, sehingga ada perjanjian bahwa Utsman
mau mengemalikan. Maka setelah selesai disalin, dikembalikan
kepadanya.13

Dalam proses pembukuan Mushaf Utsmaniy berpatokan pada dua


hal yaitu:
1) Al ‘Ardhotul Akhiroh (Bacaan Terakhir antara Nabi dan Jibril)
Al ‘Ardhotul Akhiroh adalah mudarosahnya Nabi dengan
Malaikat Jibril pada waktu menjelang wafatnya beliau.
12
Maftuh Basthul Birri, Mari Memakai Al-Qur’an Rosm ‘Utsmaniy, 24.
13
Ibid, 26.

7
Sebagaimana yang kita ketahui, ayat Al-Qur’an turun berangsur-
angsur sesuai dengan kebutuhan dan dalam proses tersebut Al
Qur-an mengalami perubahan, pergantian dan persalinan (nasikh
mansukh). Maka setiap setahun sekali pada tiap-tiap malan
Romadhon, beliau Nabi didatangi Malaikat Jibril untuk
mengajarkan bacaannya, menjelaskan susunan ayat-ayat dan
surat-suratnya. Dalam mudarosah ini Nabi mendengarkan
kemudian mengulangi bacaan di hadapan Malaikat Jibril.
Jadi Al ‘Ardhoh ini sebagai pengontrolan, pembersihan serta
pembakuan ayat-ayat Al-Qur’an yang telah diterima sampai tahun
itu. Demikian pada setiap tahunnya, sehingga pada akhir tahun
usia beliau terjadi Al ‘Ardhoh dua kali.14
2) Al Ahrufus Sab’ah (Bacaan Tujuh Huruf)
Dalam hadis yang mutawatir dijelaskan bahwa Al-Qur’an
diturunkan dengan tujuh huruf. Terkait makna tujuh huruf tidak
ada penjelasan dari nash dan atsar. Sehingga banyak sekali
perbedaan pendapat di kalangan ‘Ulama.
Al Ahrufus Sab’ah memiliki hubungan dengan dengan wajah
bacaan Al-Qur’an yang bermacam-macam, tidak tertentu pada
bilangan tujuh itu. Awal mulanya karena lahjah dan dialek bahasa
Arab satu daerah dengan daerah yang lain itu berbeda-beda, maka
Nabi meminta kelonggaran yang akhirnya diberi dispensasi bpleh
dibaca sampai tujuh huruf (tujuh macam dialeg).
Adapun tujuan diperbolehkannya membaca Al-Qur’an
dengan tujuh macam huruf adalah memberi kemudahan ummat
untuk membaca Qur’an dengan mana bacaan yang dia bisa. Nabi
Muhammad SAW dalam mengajarkan Al-Qur’an pada para
Sahabatnya dengan berbeda-beda bacaanya menurut lughot dan
lidah mereka masing-masing. Sehingga pada akhir usia beliau
menjadi terbatas pada bacaan yang ditetapkan pada Al ‘Ardhotul

14
Ibid, 18.

8
Akhiroh. Bacaan Al-Qur’an pada Al ‘Ardhotul Akhiroh inilah yang
dibukukan didalam Mushaf-mushaf ‘Utsmaniy nanti.
Ada yang menyebut ketujuh huruf itu adalah bahasa yang ada
dalam Al-Qur’an: lughah kabilah Quraisy, lughah kabilah
Hudzail, lughah kabilah Tsaqif, lughah kabilah Hazawin, lughah
kabilah Kinanah, lughah kabilah Tamim, dan lughah kabilah
Yaman.15
Ulama lain menyebutnya sebagai tujuh makna hukum yang
ada dalam Al-Qur’an, yaitu halam, haram, muhakkam (berkaitan
hukum), mutasyabih (samar maknanya), amtsal (kisah
perumpamaan), insya’ (ketetapan), dan ikhbar (kabar perkara
ghaib).
Meskipun perselisihan ini telah masyhur di tengah
masyarakat, Ibnu Jazari sama sekali tidak membahas perselisihan
akan maksud dari Ahrufus Sab’ah ini. Beliau berpandangan
bahwa para Sahabat meskipun berselisih dalam cara baca Al-
Qur’an, tidak ada dari mereka yang berselisih dalam penafsiran
Al-Qur’an dan tidak pula dalam hukum-hukumnya.
Ibnu Jazari menghabiskan waktu selama tiga puluh tahun
untuk meneliti hadis Ahrufus Sab’ah. Sampai beliau akhirnya
menemukan pemahaman bahwa seluruh qiraah yang ada, baik itu
qiraah yang tergolong muttawatir, syadz ataupun qiraah yang
dhaif tidak keluar dari tujuh perbedaan yang mendasar. Adapun
tujuh perbedaan mendasar ini adalah:

a) Perbedaan pada harakatnya saja tidak ada perubahan susunan


makna dan bentuknya.
b) Perbedaan pada maknanya saja tidak merubah bentuknya.
c) Perbedaan pada huruf dan makna tetapi tidak merubah
bentuknya.
d) Perbedaan pada huruf dan bentuk tetapi tidak merubah
maknanya.
15
Muhammad Tholhah Al-Fayyadl, Rihlah Sab’ah (Kediri: Lirboyo Press, 2020), 11.

9
e) Perbedaan pada huruf, bentuk dan maknanya.
f) Perbedaan pada peletakan sebuah lafadz (diakhirkan atau
diawalkan).
g) Perbedaan pada penambahan atau pengurangan hurufnya.16
Ulama’ sepakat bahwa Al Ahrufus Sab’ah bukanlah ketujuh
qiraah yang masyhur diriwayatkan sampai sekarang. Karena Al
Ahrufus Sab’ah sudah ada sejak zaman Rasulullah, sedangkan
awal mula adanya qiraah sab’ah murni hasil ijtihad Ibnu Mujahid
dalam menyeleksi qiraah terbaik dan termasyhur dari puluhan
qiraah yang ada pada zamannya. Adapun qiraah sab’ah hanya
terbatas wajah-wajah bacaan yang bisa termuat dalam Mushaf
‘Utsmaniy, yaitu hanya satu huruf atau beberapa huruf dari Al
Ahrufus Sab’ah.
Setelah Mushaf Utsmaniy ini selesai ditulis dan sebelum
dipakai, maka Khalifah Utsman melakukan pengontrolan dan
peninjauan kembali sampai empat kali. Zaid bin Tsabit melakukan
tiga kali peninjauan kembali, kemudian oleh Amirul Mu’minin
Utsman melakukan juga sebanyak satu kali.
Dalam pemeriksaan pertama yang dilakukan Zaid bin Tsabit
tidak menemukan didalamnya, ayat 23 dari surat al-Ahzab:

ْ ‫وا َما ٰ َعهَ ُد‬


‫وا ٱهَّلل َ َعلَ ۡي ۖ ِه فَ ِم ۡنهُم‬ ْ ُ‫ص َدق‬َ ‫ال‬ٞ ‫ين ِر َج‬ َ ِ‫ِّم َن ۡٱل ُم ۡؤ ِمن‬
٢٣ ‫وا تَ ۡب ِدياٗل‬ ْ ُ‫ض ٰى نَ ۡحبَهۥُ َو ِم ۡنهُم َّمن يَنتَ ِظ ۖ ُر َو َما بَ َّدل‬ َ َ‫َّمن ق‬

Maka Zaid bin Tsabit menanyakan sebagai Sahabat


Muhajirin, tidak ada satu Sahabatpun yang mengerti. Begitu pula
kepada Sahabat Anshor. Akhirnya ditemukan pada Khuzaimah bin
Tsabit, kemudian ayat tersebut dimasukan oleh Zaid bin Tsabit
kedalam mushaf. 17

16
Muhammad Tholhah Al-Fayyadl, Rihlah Sab’ah, 12.
17
Maftuh Basthul Birri, Mari Memakai Al-Qur’an Rosm ‘Utsmaniy, 36.

10
Dalam pemeriksaannya yang kedua Zaid bin Tsabit tidak
menemukan dua ayat dari akhir surat at-Taubah:

ٌ‫َزي ٌز َعلَ ۡي ِه َما َعنِ ُّتمۡ َح ِريص‬ ِ ‫ُول ِّم ۡن َأنفُ ِس ُكمۡ ع‬ ٞ ‫لَقَ ۡد َجٓا َء ُكمۡ َرس‬
ُ ‫ فَِإن تَ َولَّ ۡو ْا فَقُ ۡل َح ۡسبِ َي ٱهَّلل‬١٢٨ ‫يم‬ٞ ‫َّح‬ ِ ‫وف ر‬ ٞ ‫َعلَ ۡي ُكم بِ ۡٱل ُم ۡؤ ِمنِينَ َر ُء‬
١٢٩ ‫ش ۡٱل َع ِظ ِيم‬ ۡ
ِ ‫ت َوهُ َو َربُّ ٱل َع ۡر‬ ُ ۖ ‫ٓاَل ِإ ٰلَهَ ِإاَّل هُ ۖ َو َعلَ ۡي ِه ت ََو َّك ۡل‬

Dalam mencari ayat ini Zaid bin Tsabit menanyakan kepada


Sahabat Muhajirin, tidak ada satu Sahabatpun yang tahu, sehingga
beliau menemukan pada seorang laki-laki yang namanya juga
Huzaimah, maka dua ayat itu diletakan pada akhirnya surat at-
Taubah. Adapun dalam pengontrolan dalam ketiga kalinya Zaid
bin Tsabit tidak menemukan sesuatu dari kekurangan apapun.
Setelah selesai, Khalifah Utsman Ra. Mengirimkan ke setiap
daerah Islam dengan satu Mushaf sebagai pedoman daerahnya
masing-masing. Dalam keterangan yang masyhur panitia
pembukuan Mushaf Utsmaiy menyalin lima buah Mushaf.
Adapun lima buah Mushaf ini dikirim ke Kufah satu, ke Bashroh
satu, ke Syam satu, ke Mekah satu, dan ditahan di Madinah satu.
Disamping Mushaf-mushaf itu dikirim, Khalifah juga
mengirimkan surat berisi berita dan peraturan agar dibakar semua
tulsan-tulisan al-Qur’an dan Mushaf-mushaf selain Mushaf
Utsmaniy itu. Dengan perintah Khalifah ini maka dibakarlah
seluruhnya secara total dengan kekompakan mereka semua.18
d. Perkembangan Tanda Baca Al-Qur’an
Perkembangan tanda baca yang terpakai dalam Mushaf dari zaman
ke zaman yang menjalur adalah sebagai berikut:
1) Di zaman Nabi Muhammad Saw. demikian pula di zaman para
Sahabat belum terdapat salah baca. Maka tulisan al-Qur’an masih
gundul.

18
Maftuh Basthul Birri, Mari Memakai Al-Qur’an Rosm ‘Utsmaniy, 37.

11
2) Di zaman Tabi’in mulai terdapat salah baca pada ‘irobnya akhir
kalimat. Maka Abu Aswad ad-Dualiy adalah orang pertama yang
meletakan i’robnya pada Mushaf yaitu fathah dengan titik diatas
huruf, kasroh dengan titik dibawah huruf, dhommah dengan titik
disamping kiri huruf dan tanwin dengan menambah titik atau
dobel sedangkan sukun dikosongkan.hanya itu saja dan hanya
bertempat pada setiap akhir kalimat saja dan dengan
menggunakan tinta merah.
3) Setalah zaman Tabi’in banyak terjadi salah baca didalam huruf-
huruf. Maka Nashr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’mur keduanya
ini adalah murid Abu Aswad ad-Dualiy menemukan jalan keluar
dengan memberi titik pada 14 huruf, yaitu:

‫بتثجخذزشضظغفقن‬
4) Makin lama orang Islam bertambah banyak dan luas daerahnya.
Maka bertambah banyaknya kebodohan mereka dan bertambahlah
hajat mereka untuk menggali al-Qur’an, maka Imam Kholil bin
Ahmad pahlawan ilmu nahwu dan pahlawan tanda baca itu tampil
menyumbangkan idenya yang sangat berharga. Dimana beliau
merombak karya Abu Aswad ad-Dualiy dan menggantinya
dengan aturan yang sampai sekarang kita pakai. Asal mulanya
hanya sederhana kemudian dikembangkan dan disempurnakan
oleh para penerusya yang sehingga sampai pada keadaan terakhir
ini ditentukan dan ditetapkan oleh satu model untuk
keseragamaaan oleh pejuang Mushaf Mesir dengan kaidah-
kaidahnya yang paten dan sulit dikembangkan lagi.19
C. Mengenal Hadis Secara Historis
1. Sejarah Perkembangan Hadis
a. Hadis pada Masa Rasul
Pada masa ini para umat Islam dapat memperoleh hadis secara
langsung dari Nabi Saw. Sebagai sumber hadis kedudukan Nabi
otomatis menjadikan semua perkataan, perbuatan dan penetapan
19
Maftuh Batsul Birri, Standar Tajwid Bacaan al-Qur’an (Kediri: Madrasah Murottil Qur’anil
Karim PP. Lirboyo, 2019), 181-182.

12
Nabi sebagai referensi bagi para sahabat.
Rasulullah menyampaikan hadisnya dengan berbagai cara,
sehingga membuat para sahabat selalu ingin mengikuti perjalananya.
Ada beberapa cara Nabi dalam menyampaikan hadis kepada para
sahabat, anatara lain:
1) Melalui para jamaah pada pusat pembinaannya yang disebut
majlis al-’ilmi.
2) Melalui para sahabat tertentu kemudian disampaikan kepada
orang lain.
3) Ketika Nabi khutbah jum’at di masjid atau sedang berkumpul di
masjid.
4) Melalui ceramah dan pidato ditempat terbuka, seperti Haji
wada’ dan fathul makkah.20
b. Hadis pada Masa Sahabat
Pada masa ini para sahabat lebih berfokus pada pemeliharaan
dan penyebaran al-Qur’an, maka periwayatan hadis masih terbatas.
Periode ini berlangsung khusunya pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin
berlangsung sekitar tahun 11 H sampai 40 H.
c. Hadis pada Masa Tabi’in
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh para tabi’in
tidak berbeda dengan yang dilakukan pada masa sahabat. Hanya saja
persoalan yang dihadapi mereka sedikit berbeda dengan yang
dihadapi pada masa sahabat. Pada masa ini al-Qur’an telah
dikumpulkan dalam satu mushaf di masa kemimpinan Usman bin
Affan.
d. Hadis pada Masa Tadwin
Pada masa ini, mulailah pembukuan hadis secara resmi yang
didasarkan oleh perintah kepala negara dengan melibatkan beberapa
personil yang ahli dibidangnya. Ulama yang pertama kali berhasil
menyusun kitab tadwin yang diwariskan sampai sekarang yaitu
Malik bin Anas di Madinah dengan hasil karyanya al-Muwatha’.

20
Nurhasanah BakhtiarMarwan, Metodologi Studi Islam, 110

13
2. Sejarah Kodifikasi Hadis
a. Ide Kodifikasi
Kodifikasi hadis adalah penulisan hadis Nabi yang dilakukan
oleh pemerintah disusun menurut aturan dan sistem tertentu yang
diakui oleh masyarakat. Pada masa Nabi Muhammad Saw. beliau
melarang para sahabat menulis dari Nabi selain al-Qur’an. Hadis
berpindah dari mulut ke mulut. Ide kodifikasi hadis secara tertulis
pertama kalinya dikemukakan oleh Khalifah Umar ibn Khatab (w. 23
H/644 M). Namun ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena
khawatir umat Islam terganggu perhatianya dalam mempelajari al-
Qur’an.
Pada tahun 99 H, baru pada masa Khalifah Umar ibn Abdil
Aziz pembukuan hadis dilaksanakan. Beliau sadar bahwa banyak
perawi yang meninggal dunia, sehingga beliau khawatir jika kalau
hadis tidak segera dibukukan maka akan lenyap bersama penghafal
tersebut.21
b. Pengumpulan Hadis
Pada masa pertama, sang Khalifah Umar ibn Abdil Aziz
memerintahkan kepada gubernur Madinah yaitu Abu Bakar bin
Muhammad bin Amer bin Hazm untuk membukukan hadis dari
penghafal-penghafal hadis. Selain memerintahkan guberbur
Madinah, Khalifah Umar ibn Abdil Aziz memerintahkan guberbur
lain untuk membukukan hadis.
Pada masa kedua, pada abad ke dua hijrah terdapat dua
generasi shigar al-tabi’in dan generasi atba’u al-tabi’in. Generasi
pertama, mereka yang hidup sampai setelah tahun 140 H. Sedangkan
generasi kedua adalah merka yang hidup setelah periode sahabat dan
tabi’in. Dalam generasi kedua ini, generasi ini memiliki peranan
yang sangat besar dalam mengahadapi ahl al-bida’ wa al-ahwa’, dan
berusaha dalam mengahalau segala bentuk kebohongan hadis yang
dipelopori kelompok al-Zanadiyah. Pada periode ini, mereka sangat
21
Dasmun, “Studi Al-Qur’an dan Al-Hadits (pendekatan Historis dan Filologi)”, Jurnal Risalah Vol
1, No. 1 (2015), 89.

14
berhati-hati ketika melakukan seleksi hadis untuk dibukukan
sekaligus disusun dalam bentuk bab-bab. Selain itu, keberhasilan
mereka adalah menyusun ilmu al-rijal (ilmu terkait perawi hadis).22
c. Masa Penyaringan Hadis
Masa seleksi atau penyaringan hadis terjadi ketika pemerintah
dipegang Dinasti Bani Abbas, khususnya pada masa Al-Ma’mun
sampai Al-Muktadir. Pada masa ini para ulama mengadakan
penyaringan hadis yang mereka terima. Melalui kaidah-kaidah yang
ditetapkannya, para ulama berhasil memisahkan hadis-hadis dha’if
(lemah) dari hadis shahih dan hadis-hadis yang mauquf. Pada masa
inilah berhasil disusun enam kitab hadis, sebagai berikut:
1) Al-Jami’ al-Shohih (Imam al-Bhukari)
2) Al-Jami’ al-Shohih (Imam Muslim)
3) Kitab Sunan Abu Dawud
4) Kitab Sunan at-Trimidzi
5) Kitab Sunan al-Nisa’i
6) Kitab Sunan Ibnu Majah.23

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Al-Qur’an adalah merupakan firman Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw. untuk melemahkan pihak-pihat
yang menantangnya, walaupun hanya dengan satu surat saja dari
padanya. Sedangkan al-Hadis adalah segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi Muhammad Saw baik ucapan, perbuatan,
maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum Allah yang
disyariatkan kepada manusia..
22
Ibid, 90.
23
Nurhasanah BakhtiarMarwan, Metodologi Studi Islam, 112.

15
2. Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur. masa turunya al-Qur’an
cukup lama, yakni sekitar 20-23 tahun, atau tepatnya memakan
waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari. Ide untuk mengumpulkan al-
Qur’an menjadi Mushaf pada zaman Abu bakar. Kemudian pada
saat Khalifah Utsman memimpin banyak umat Islma salaing
menyalahkan bacaan orang lain. Sehingga beliau berinisiatif
untuk menyatukan umat Islam dengan satu Mushaf.
3. Ide kodifikasi hadis adalah Ide Khalifah Umar bin khatab. Namun
baru terlaksana pada masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz.
Adapun kitab-kitab hadis yang berhasil disussun dan menjadi
peganagan umat , sebagai berikut:
a. Al-Jami’ al-Shohih (Imam al-Bhukari)
b. Al-Jami’ al-Shohih (Imam Muslim)
c. Kitab Sunan Abu Dawud
d. Kitab Sunan at-Trimidzi
e. Kitab Sunan al-Nisa’i
f. Kitab Sunan Ibnu Majah

16
Daftar Referensi

Yasir, Muhammad dan Ade Jamaruddin, Studi Al-Qur’an, Pekanbaru: CV.


Asa Riau, 2016.
Nurhasanah BakhtiarMarwan, Metodologi Studi Islam, Pekanbaru, Cahaya
Firdaus 2016.
Suma, Muhammad Amin. Ulumul Qur’an, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,
2014.
Birri, Maftuh Basthul. Mari Memakai Al-Qur’an Rosm ‘Utsmaniy, Kediri:
Madrasah Murottil Qur’anil Karim, 2018.
Al-Fayyadl, Muhammad Tholhah. Rihlah Sab’ah, Kediri: Lirboyo Press,
2020.
Birri, Maftuh Batsul. Standar Tajwid Bacaan al-Qur’an (Kediri: Madrasah
Murottil Qur’anil Karim PP. Lirboyo, 2019), 181-182.
Dasmun, “Studi Al-Qur’an dan Al-Hadits (pendekatan Historis dan
Filologi)”, Jurnal Risalah Vol 1, No. 1 (2015).

17

Anda mungkin juga menyukai