1. Definisi al-Qur'an
1.1. Konotasi Harfiah
Kebanyakan ulama' bahasa berpendapat, yakni kata Qur'ân merupakan bentuk Mashdar
(kata kerja yang dibendakan), dengan mengikuti standar Fu'lân, sebagaimana lafadz Gufrân, Rujhân
dan Syukrân. Lafadz Qur'ân yaitu lafadz Mahmûz, yang salah satu bagiannya berbentuk huruf
hamzah, yaitu pada bagian akhir, karenanya disebut Mahmûz Lâm, dari lafadz: Qara'a-Yaqra'[u]-
Qirâ'at[an]-
Qur'ân[an], dengan konotasi Talâ-Yatlu-Tilâwat[an]: membaca-bacaan. Kemudian lafadz tersebut
menjadi konversi dalam peristilahan syariat, dari konotasi harfiah ini, sehingga dikukuhkan sebagai
nama untuk bacaan tertentu, dalam istilah orang Arab disebut: Tasmiyyah al-maf'ûl bi al-mashdar,
menyebut obyek dengan Mashdar-nya
1. Definisi Wahyu
1.1. Konotasi Harfiah
Lafadz Wahy[u] adalah lafadz Mashdar yang mempunyai konotasi isyarat halus yang cepat
(isyârah sarî'ah khafiyyah). Jika dikatakan: Awhaytu ila Fulân (saya berbicara kepadanya dengan
cepat dan secara rahasia). Maka, secara etimologis, wahyu berarti isyarat, sinyal atau ilham.
2. Realitas Wahyu
2.1. Wahyu sebagai Panduan Manusia
Harus diakui, bahwa manusia memerlukan pandangan hidup tertentu untuk memandu
kehidupannya. Pandangan hidup itu kadang bersumber dari akal manusia, dan kadang bersumber
dari wahyu. Sejarah filsafat juga membuktikan, bahwa perdebatan dalam menentukan wisdom
(hikmah), baik theoritical wisdom (hikmah teoritis), yang dicapai dengan mengetahui kebenaran
(alim[a] al-haqq), maupun practical wisdom (hikmah praktis), yang dicapai dengan melaksanakan
kebajikan ('amil[a] al-khayr), adalah ujud ikhtiar manusia untuk menemukan guidance (panduan)
untuk menuntun kehidupan mereka. Dari sanalah kemudian muncul berbagai produk filsafat.
Namun, filsafat tidak mampu menjawab seluruh persoalan kehidupan. Manusia dengan tuntas,
memuaskan akal dan sesuai dengan fitrah manusia. Lebih-lebih ketika manusia mempunyai naluri
beragama, yang meniscayakan terjadinya hubungan antara manusia dengan meniscayakan
terjadinya interaksi antarsesama manusia. Belum lagi, kebutuhan jasmani dan akalnya. Semuanya
ini nyatanya tidak bisa dipenuhi oleh manusia dengan mekanisme yang dihasilkan oleh
intelektualitasnya. Meski, para filsuf telah bekerja mati-matian untuk melakukannya. Di sinilah,
diakui atau tidak, manusia kemudian memerlukan guidance yang bisa mengatur kehidupannya. Jika
tidak, hidupnya pasti akan mengalami kekacauan yang luar biasa. Guidance itu harus mampu
menyelesaikan seluruh masalah manusia, tanpa masalah. Tentu, mustahil guidance tersebut
bersumber selain dari Dzat yang Maha Pencipta, Allah SWT. Karenanya, manusia memerlukan
guidance tersebut dari-Nya, sehingga ini merupakan keniscayaan bagi kehidupan manusia di dunia.
Bukan hanya itu, karena kehidupan manusia itu merupakan kehidupan yang bertanggungjawab,
maka hal itu meniscayakan terjadinya proses akuntabilitas di akhirat. Di sanalah, berlaku pahala,
dosa, surga dan neraka, sebagai konsekuensi benar dan salah. Inilah yang menjadi keyakinan
seorang Muslim.
2.1. al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber terbaik dan paling sahih untuk menafsirkan al-Qur’an.
Karena itu, jika kita hendak mengetahui makna ayat, maka pertama kali hendaknya kita mencari
makna yang telah dijelaskan oleh al-Qur’an itu sendiri. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya,
bahwa teks al-Qur’an kadang berbentuk Mujmal dalam satu kasus, lalu dijelaskan, baik secara
terpisah maupun tidak, dengan nas al-Qur’an.
2.2. as-Sunnah
Karena tidak semua nas al-Qur’an dijelaskan oleh al-Qur’an, maka keberadaan as-Sunnah
menjadi sangat penting sebagai sumber kedua, setelah al-Qur’an, untuk menjelaskan maksud yang
dikehendaki oleh al-Qur’an.
2.4. Isra’iliyyah
Yang dimaksud dengan Isrâ’îliyyah adalah, menurut Muhammad bin Muhammad Abû
Syahbah, adalah pengetahuan yang bersumber dari Bani Israel, kitab dan pengetahuan mereka, atau
dongeng dan kebohongan mereka. Namun, yang lebih tepat, sebagaimana yang dikemukakan oleh
‘Ali al-Hasan, bahwa Isrâ’îliyyah ini lebih spesifik menunjukkan corak keyahudian, sebab waktu itu
aspek keyahudian tersebut sangat kental, sehingga banyak terjadi penukilan dari mereka. Karena,
waktu itu jumlah mereka juga banyak, dan tradisi mereka juga menonjol, ketimbang orang Kristen.
Mereka juga bergaul dengan kaum Muslim. Dalam konteks Isrâ’îliyyah ini bisa dibagi menjadi
tiga:
1. Isrâ’îliyyah yang sesuai dengan syariat Islam;
2. Isrâ’îliyyah yang bertentangan dengan syariat Islam;
3. Isrâ’îliyyah yang didiamkan oleh syariat Islam.