Anda di halaman 1dari 5

Adhana Nashia Umaira

202032031
BKI3U2
Metodoloi Studi Islam

REVIEW BUKU:
KAWASAN STUDI ISLAM (BAB V)
METODOLOGI STUDI ISLAM

A. Pengertian istilah-istilah: Al-Hadits,al-sunnah,atsar dan hadits qudsi.

As-sunnah menurut pengertian Bahasa (etimologi) berarti tradisi yang bisa


dilakukan,atau jalan yang dilalui, al hadits,khabar, ( al-thariqah al maslukah) baik yang
terpuji maupun yang tercela. Hal ini bisa dipahami dari hadits Nabi SAW.

‘’ Barang Siapa mengadakan/memelopori suatu Sunnah ( tradisi) atau jalan yang dilalui
baik, maka baginya pahala atau perbuatan itu dan pahala orang yang mengerjakan
sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun. Dan barang siapa memelopori suatu tradisi yang
buruk, maka baginya dosa atas perbuatannya itu dan menanggung dosa orang yang
mengerjakan( mengikuti) sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun’’
(HR. Ahmad dan Ibnu Jarir dari ayahnya)

Sedangkan Atsar berarti bekas atau sisa sesuatu. Para fuaaha memakai atsar
khusus diperuntukkan bagi perkataan sahabat tabiin dan ulama salaf.

B. Perbedaan Hadits Qudsi dan Al-Qur’an

Hadits Qudsi menurut pendapat sebagian ulama ( seperti Abu Al- Biqal)
menyatakan bahwa lafal hadits qudsi itu berasal dari rasulullah SAW. Sedangkan
maknanya berasal dari Allah melalui ilham atau mimpi.

Sedangkan perbedaan antara hadits qudsi dan Al- Qur’an menurut Dr. Syu’ban
Muhammad Ismail adalah:

1. Al-Qur’an tiada lain hanyalah merupakan wahyu yang jelas(jaly), yakni al-
qur’an itu diturunkan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad dalam
kondisi sadar, sedangkan hadits qudsi bisa jadi diwahyukan melalui ilham dan
impian.
2. Al- Qur’an merupakan mukjizat, sehingga tidak ada seorang pun yang mampu
melindunginya ia dijaga dari perubahan dan penggantian atau terpelihara
kemurniannya sedangkan hadits qudsi tidak demikian.
3. Membaca Al- Qur’an merupakan ibadah sedangkan hadits qudsi tidak
demikian.
4. Al- Qur’an tidak boleh diriwayatkan dengan makna saja, namun hadits qudsi
diperbolehkan.
5. Bagi orang berhadas dilarang menyentuh Al- Qur’an dan bagi orang yayng
junub dilarang menyentuh dan membaca, sedangkan hadist qudsi tidak
demikian.
6. Al- Qur’an di nucilkan kepada kita dengan jalan mutawatir Nabi SAW,
sedangkan hadits Qudsi diriwayatkan secara ahad dari Nabi SAW.
7. Menurut imam Ahmad bahwa dilarang menjual Al – Qur’an, menuurt imam
Syafi’I adalah makruh. Sedangkan hadits Qudsi tidak demikian.
8. Al- Qur’an merupakan bacaan tertentu dalam shalat , dan tidak sah
seseorang(yang mampu membacanya)bila tidak membaca Al- Qur’an ,
sedangkan Hadits Qudsi tidak demikian.
9. Orang yang mengingkari al – qur’an termasuk kafir, berbeda dengan
pengingkaran hadits qudsi tidak termasuk kafir.
10. Lafal Al- Qur’an berasal dari Allah , berbeda dengan hadits Qudsi , mungkin
lafalnya dari Nabi SAW .
11. Bagian-bagian Al – Qur’an disebut dengan ayat dan surat, sedangkan hadits-
hadits qudsi tidak demikian.

C. KEDUDUKAN AS- SUNNAH DALAM SYARIAT ISLAM

Umat islam telah mengakui bahwa hadits Nabi SAW itu dipakai sebagai
pedoman hidup yang utama setelah Al – Qur’an. Mengapa tingkatan/kedudukan
as- Sunnah/hadits berada dibawah al- qur’an dalam hal ini Al- Syathihi
memberikan argumentasinya bahwa :
1. Al- Qur’an diterima secara Qathi (meyakinkan), sedangkan hadits diterima
secara Zhanni, kecuali hadits mutawatir. Keyakinan kita kepada hadits
hanyalah secara global, bukan secara detail ( tafshihi) sedangkan Al – Qur’an ,
baik secara global maupun detail diterima secara menyakinkan;
2. Hadits adakalanya menerangkan sesuatu yang bersifat global dalam Al –
Quran, adakalanya memberi komentar terhadap Al- Qur’an dan adakalanya
membicarakan sesuatu yang belum dibicarakan oleh al- qur’an. Jika hadits itu
berfungsi menerangkan atau memberi komentar terhadap al- qur’an maka
sudah barang atau tentu keadaanya ( statusnya) tidak sama dengan derajat
pokok yang diberi penjelasan/komentar, yang pokok ( al- qur’an) pasti lebih
utama daripada yang memberi komentar ( al- hadits);
3. Di dalam hadits sendiri terdapat petunjuk menenai hal tersebut, yakni hadits
menduduki posisi kedua setelah al-qur’an. Sebagaimana dialog Nabi SAW ,
denganmu’adz bin jabl. Sedangkan menurut pendapat Mahmud Abu Rayyah.
‘’posisi as- Sunnah/ al- hadits itu berada dibawah al – qur’an, karena al-
qur’an sampai kepada umat islam dengan jalur mutawatir dan tidak ada
keraguan sedikitpun. Al- Qur’an datangnya dengan Qath’I al – wuruad, yaitu
dengan jalannya kepastian sampai kepada kita, dna qathi tersebut. Yaitu
dengan eksistensi atau ketetapannya menyakinkan atau pasti, sedangkan as-
Sunnah/ al- hadits sampai kepada umat islam tidak semuanya mutawatir.
Tetapi, kebanyakan adalah diterima dengan periwayatan ( tunggal )/ ( ahad),
kebenarannya ada yang qathi ( pasti ) dan zhanni ( diduga benar), karena
masih banyak hadits yang tidak sampai kepada umat islam disamping itu
banyak pula hadits yang naif.

D. KEHUJANAN AS- SUNNAH

Nabi SAW, adalah seorang rasul yang maksum ( terjaga dari segala perbuatan
hina, dosa atau maksita) sehingg Sunnah-sunnah beliau selalu dipelihara oleh
allah dari segala apa yang menurunkan citranya sebagai seorang rasul. Di dalam
QS. Al- Najm AYAT: 3-4, dinyatakan :

‘’ Dan Nabi tidak berbicara menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu
tiada lain hanayalah wahyu yang diwahyukan’’; (Qs. Al – Najm: 3-4)’’.

Sebagian ulama menyatakan bahwa ayat tersebut turun berkatan dengan Al-
Qur’an, bukan Sunnah/hadits. Ketika orang-orang kafir mengingkari terhadap Al-
Qur’an sebagai wahyu dan dianggap sebagai bikinan Muhammad SAW. Lalu
Allah menurunkan ayat-ayat tersebut sebagai bantahan terhadap pengingkaran
mereka akan kewahyuan Al-Qur’an. Atas dasar itu, maka ayat-ayat tersebut tidak
bisa dijadikan sebagai landasan bahwwa as-sunnah/al-hadits termasuk wahyu
illahi.
Namun demikian,alasan ulama tersebut dibantah oleh ulama lainnya, yaitu bahwa
walaupun ayat itu diturunkan untuk membela Al-Qur’an, tetapi dalam mafhum-
nya as Sunnah/al Hadits termasuk di dalamnya, karena di dalam kaidah ushul
dinyatakan bahwa:

‘’Ungkapan itu menurut umumnya lafal bukan pada khusus-nya sebab’’


Dengan adanya kaidah tersebut, berartii bahwa as-sunnah/hadits juga merupakan
wahyu, karena melihat keumumannya ayat tersebut dan bukan melihat
kekhususan sebabnya.
Kedua, posisinya sebagai Rasulullah, sehingga apapun yang diucapkan, diperbuat,
dan ditetapkan, merupakan bagian integral dari wahyu Allah. Oleh karena itu, as-
Sunnah/al-Hadits Nabawi dapat dibagi ke dalam dua macam:

1. Tawfiqy, yaitu yang kandungannya diterima oleh Rasulullah dari wahyu,lalu


ia menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri. Bagian inii
meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah SWT, tetapi dari segi
pembicaraan lebih layak dinisbahkab kepada Rasulullah.
2. Tawfiqy, yaitu yang disimpulkan oleh Rasulullah menurut pemahaman-nya
terhadap Al- Qur’an, karena beliau mempunyai tugas menjelaskan atau
menyimpulkan Al- Qur’an dengan pertimbangan dan ijtihad.

E. FUNGSI AS- SUNNAH TERHADAP AL-QURAN

Hadits-hadits Nabi dalam kaitannya dengan Al- Quran mempunyai fungsi sebagai
berikut:

1. Menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al- Qur’an.
Maka dalam hal ini kedua –duanya sama-sama menjadi sumber hukum, misalnya
dalam Al-Qur’an disebutkan mengharamkan bersaksi palsu:

Maka jumlah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan
dusta (QS. Al- Hajj:30)
Ayat tersebut kemudian dikuatkan oleh Sabda Nabi SAW, dengan haditsnya:

‘’Perhatikan, aku akan memberitahukan kepadamu sekalian tentang dosa yang


paling besar, sahut kami:’’baiklah, hai Rasulullah beliau meneruskan sabdanya : (1)
menyekutukannya Allah; (2) durhaka kepada kedua orangtua. Saat itu Rasulullah
sedang bersandar, tiba-tiba duduk seraya bersabda lagi: ‘’awas berkata palsu’’ (HR.
al- Bukhari dan Muslim)

2. Memberikan penafsiran dan perincian ayat-ayat Al- Qur’an yang masih


majmal/global (bayan al- majmud), memberikan batasan terhadap hal-hal yang masih
belum terbatas di dalam Al- Qur’an( taqyig al-mutlaq) memberikan
kekhususan(takhshish) ayat-ayat Al- Qur’an yang bersifat umum (takshish al’amm),
dan memberikan penjelasan terhadap hal-hal yang masih rumit di dalam Al-Qur’an
( tawdidh al-musykil)
F. DI SEPUTAR PANDANGAN ULAMA TENTANG FUNGSI AL- QUR’AN
HADITS TERHADAP AL- QUR’AN

Para ulama berbeda pendapat tentang fungsi hadits terhadap Al- Qur’an, terutama
dalam masalah-masalah berikut :

1. Apakah hadits dapat men-takhsishk ( mengkhususan) keumumannya ayat Al- Qur’an


2. Apakah hadits dapat menaskh ( menghapus) ketetapan hukum dalam Al- Qur’an?
Sehubungan dengan masalah pertama, para ulama sepakat bahwa Al- Qur’an
dapat di –takshish oleh hadits Mutawatir, karena isinya setara dengan Al- Qur’an.
Sedangkan pen-takshishkan Al – Qur’an dengan hadits Ahad, para ulama masih
berbeda pendapat, bahwa kedudukannya tidak setara.
Pada umumnya ulama ushul dari kalangan Maliki, Syafi’I dan Hambali
membolehkan pen-takshishkan ayat Al- Qur’an dengab Hadits Ahad secara
mutlak, karena kerumunan Al- Qur’an bersifatt qath’I al dilalah(petunjuknya
pasti/jelas). Oleh karena itu, yang bersifat qath’i al- dilalah mengalahkan yang
bersifat zhanni al dilalah ( petunjuknya berdasarkan dugaan).
Al- Qadh’I Abu Bakar, dari kalangan mazhab Syaf’I menyatakan tawaquf
( berhenti dan tidak memberikan keputusan apa-apa), karena ayat Al- Qur’an yang
umum bersifat qath’I at-tsubut wa zhanni al – dilalah.
Dalam masalah kedua, ulama ushul berpendapat bahwa hukum dalam Al- Qur’an
dapat dihapus oleh hukum dalam hadits dan sebaliknya. Mereka menyatakan
bahwa Al- Qur’an dan Hadits adalah sama – sama wahyu dari Allah beradasarkan
firman-Nya dalam surat al- Najm ayat 3-4;

‘’ Nabi tidak berkata menurut hawa nafsunya, tetapi apa yang dikatakan tidak lain
adalah wahyu yang diberikan’’: (QS. Al- Najmn:3-4)

Anda mungkin juga menyukai