Anda di halaman 1dari 14

RESUME UJIAN KOMPREHESIF

Kompetensi Dasar
Dr. Lalu Turjiman Ahmad, M.A
Muhamad Nizar Fahmi(171360057)

A. Al-Qur’an
 Pengertian Al-Qur’an
Al-quran merupakan sumber ajaran islam pertama dan utama menurut keyakinan
umat islam dan diakui kebenarannya oleh penelitian ilmiah. Alquran adalah kitab suci
yang di dalamnya terdapat firman-firman (wahyu) Allah, yang disampaikan oleh malaikat
jibril kepada Nabi Muhammad sebagai rasul Allah secara berangsur-angsur yang
bertujuan menjadi petunjuk bagi umat islam dalam hidup dan kehidupannya guna
mendapatkan kesejahteraan di dunia dan di akhirat.1
Pengertian Al-quran secara ilmu yaitu kebahasaan yang berakar dari kata qaraa
yaqrau quranan yaitu yang berarti bacaan atau yang dibaca. Al-quran juga didefinisikan
sebagai sebuah kitab yang berisi himpunan kalam Allah, ataupun suatu mukjizat yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat jibril. Al-quran
juga merupakan pedoman hidup bagi manusia di dunia maupun di akhirat2.
Al-quran juga adalah mukjizat islam yang abadi dimana semakin maju ilmu
pengetahuan, semakin tampak validitas kemukjizatannya. Allah SWT menurunkannya
kepada Nabi Muhammad SAW demi membebaskan manusia dari berbagai kegelapan
hidup menuju cahaya ilahi, dan membimbing mereka ke jalan yang lurus.3

Para ulama berpendapat bahwa kata al-quran jika dilihat dari segi isytiqaqnya
terdapat beberapa perbedaan antara lain, sebagaimaa yang diungkapkan oleh Muhammad
bin Muhammad Abu Syaibah dalam kitab Al-Madkhal Li Dirasah al-Quran al-Karim
adalah sebagai berikut :
1. Quran adalah bentuk masdar dari qara‟a dengan demikian, kata quran berarti bacaan .
kemudian kata ini selanjutnya, sebagaimana bagi kitab suci yang diturunkan oleh
Allah swt. Kepada Nabi Muhammad saw, pendapat ini didasarkan pada firman
Allah : Artinya “apabila telah selesai membacanya maka ikutilah bacaannya”. (QS.

1
Ajhari, Ulumul Qur‟an (Ilmu-Ilmu Al-qur‟an), ed. 1, (Yogyakarta : Penerbit Aswaja Pressindo, 2018), hlm. 1
2
Eva Iryani, “Al-quran dan Ilmu Pengetahuan”, Jurnal Ilmiah Universitas Batnghari Jambi, Vol.17 No.3 (2017),
66.
3
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-quran, ed. 13, ( Jakarta: Penerbit Pustaka Al-
Kautsar, 2015), hlm. 1-11
Al Qiyamah :18). Yang berpendapat demikian adalah al-Lihyan
2. Quran adalah kata sifat dari al-qaru‟ yang bermakna al-jam‟u (kumpulan). Digunakan
sebagai nama kitab suci yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw, alasan yang
dikemukakannya adalah karena al-quran terdiri dari sekumpulan surat dan ayat,
memuat kisah-kisah, perintah dan larangan, dan juga karena al-quran mengumpulkan
inti sari dari kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya. Prndapat ini yaitu dikemukakan
oleh al-Zujaj
3. Kata al-quran adalam ism alam, bahkan kata bentukkan dan sejak awal digunakan
sebagai nama bagi kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi
Muhammad saw, pendapat ini diriwayatkan dari imam Syafi‟i.

 Sejarah Turunnya Wahyu


Al-qur’an memberikan dorongan yang besar untuk mempelajari sejarah dengan
secara adil, objektif, dan tidak memihak. Dengan demikian tradisi sains islam sepenuhnya
mengambil inspirasi dari Al-qur’an, sehingga umat muslim mampu membuat sistematika
penulisansejarah yang lebih mendekati landasan penanggalan astronomis.4
Al-qur’an tidak turun secara seklaigus dalam satu waktu melainkan berangsur-angsur
supaya meneguhkan Rasul. Menurut sebagian ulama, ayat-ayat al-Qur'an turun secara
berangsur-angsur dalam kurun waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari; dan ada pula sebagian ulama
lain yang berpendapat bahwa Al-Qur'an diwahyukan secara bertahap dalam kurun waktu 23
tahun (dimulai pada 22 Desember 603 Masehi).5 Para ulama membagimasa turunnya
menjadi dua periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah yang membentuk
penggolongan surah Makkiyah dan surah Madaniyah. Periode Mekkah berlangsung selama
12 tahun masa kenabian Nabi Muhammad SAW dan surah-surah yang turun pada waktu ini
tergolong surah Makkiyah. Sementara periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah
berlangsung salama 10 tahun dan surah yang turun pada waktu ini didebut surah
Madaniyah. Ilmu Al-qur’an yang membahas mengenai latar belakang maupun sebab suatu
ayat atau beberapa ayat al-Qur’an diturunkan disebut Asbabun Nuzul.
Al-Quran diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril.
Al-Quran tidak ad habisnya untuk dikaji, justru semakin banyak hal yang harus digali dalam
al-Quran. Inilah salah satu mukjizat al-Quran sekaligus yang membedakannya dengan kitab-
kitab suci lainnya.6 Al-Quran merupakan sebuah kitab yang diturunkan sebagai kitab yang
terjamin keasliannya hingga akhir zaman dan kitab yang menyempurnakan kitab-kitab
4
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Al-Qur%27an
5
Fazlur Rehman, Chronology of Prophetic Events, hal. 50
6
Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an, Bandung: CV Pustaka Setia, 2009, hal.6
sebelumnya. Terjadi beberapa perbedaan pendapat perihal kapan turunnya ayat al-Quran
yang pertama seperti apa ayat-ayat al-Quran diturunkan.
Ayat yang pertama diturunkan kepada nabi Muhammad SAW adalah Surat Al-‘Alaq
ayat 1-5. Ayat tersebut berisi perintah untuk membaca. Menurut beberapa pendapat
dikalangan ulama, bahwa penurunan al-Quran itu terdapat beberapa versi. Namum, versi
yang masyhur yaitu al-Quran diturunkan secara langsung dari Lauhul Mahfuz menuju
Baitul Izzah diturunkan secara berangsur-angsur kepada nabi Muhammad SAW. Turunnya
al-Quran ini terjadi pad malam Lailatul Qadr. Yang dimaksud penurunan al-Quran di situ
ialah penurunan al-Quran yang secara sekaligus dari Lauhul Mahfuz menuju langit dunia di
Baitul Izzah.7

 Sejarah penulisan dan Pengumpulan al-Qur’an


Para penulis wahyu al-Quran dari sahabat-sahabat terkemuka yang diangkat sebagai
sekretaris, seperti Ali bin Abi Thalib ra, Muawiyah ra, ‘Ubai bin Ka’b ra, dan Zaid bin
Tsabit ra. Setiap ada ayat turun, Nabi memerintahkan mereka untuk menulisnya dan
menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, bukan hanya pada lempengan tempat
menulis harus tersusun sesuai surah yang ditujukkan pada Nabi, tetapi juga disampaikan
pada sahabat ayat yang turun itu dalam hapalsahabat dimasukkan pada surah yang ditunjuk,
jadi ada kecocokkan antara hapalan dengan bukti fisik dari ayat yang tertulis, sehingga
penulisan pada lembar itu membantu penghafalan didalam hati.8
Disamping itu sebagian sahabat juga menuliskan al-Quran yang turun itu atas
kemauannya sendiri, tanpa diperintah Rasulullah saw. Mereka menuliskannya pada pelepah
kurma, lempengan batu, daun lontar, kulilt atau daun, kayu, pelana, potongan tulang
belulang binatang.
Para sahabat senantiasa menyodorkan al-Quran kepada Rasulullah baik dalam bentuk
hafalan maupun tulisan. Tulisan-tulisan al-Quran pada masa Nabi tidak terkumpul dalam
satu mushaf, yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki orang lain.
Para ulama telah menyampaikan bahwa segolongan dari mereka, diantaranya Ali bin
Abi Thalib ra, Muaz bin Jabal ra, Ubai bin Ka’ab ra, Zaid bin Tsabit ra, dan Abdullah bin
Mas’ud ra telah menhafalkan seluruh isi al-Quran dimasa Rasulullah. Dan mereka
menyebutkan pula bahwa Zaid bin Tsabit ra adalah orang yang terakhir kali membacakan
al-Quran dihadapkan nabi.
Az-Zarkasyi berkata, “al-Quran tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi
7
Abdurrahman bin Abdul Karim, Sejarah Terlengkap Nabi Muhammmad saw, Yogyakarta: Saufa, 2016. Hal.
179.
8
Hadist riwayat al-Bukhori dan Muslim
agar ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh karena itu, penulisannya dilakukan kemudian
sesudah al-Quran turun semua, yaitu dengan wafatnya Rasulullah.” Dengan pengertian
inilah ditafsirkan apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit yang mengatakan, “Rasulullah
telah wafat sedang al-Quran belum dikumpulkan sama sekal.” Maksudnya ayat-ayat dalam
surah-surahnya belum dikumpulkan secara tertib satu mushaf.9

B. Al-Hadis
 Perbedaan al-Quran dan Hadis Qudsi
Hadis Qudsi adalah hadis yang dinisbahkan pada kata Qudsi. Arti kata Qudsi adalah
suci (ath-thoharoh) dan membersihkan (at-tanzih). Selain disebut hadis Qudsi juga disebut
hadits ilahi dinisbatkan pada Ilah (Allah), dan juga disebut hadits Robbani dinisbatkan
pada Robb (Allah; Penguasa) yang Maha Agung dan Luhur.10
Perbedaan al-Quran dengan hadis Qudsi, selain turunnya berbeda, kedudukan dan
fungsinya pun berbeda;
1. Al-Qur’an adalah mukjizat yang terjaga sepanjang masa dari segala pengubahan, serta
lafadznya dan seluruh isinya sampai taraf hurufnya, tersampaikan secara mutawatir.
2. Al-Qur’an tidak boleh diriwayatkan maknanya saja. Ia harus disampaikan sebagaimana
adanya. Berbeda dengan hadits Qudsi, yang bisa sampai kepada kita dalam hadis yang
diriwayatkan secara makna saja.
3. Dalam madzhab Syafi’i, mushaf Al-Qur’an tidak boleh dipegang dalam keadaan berhadats
kecil, serta tidak boleh dibaca saat berhadats besar. Sedangkan pada hadits Qudsi, secara
hukum, ia boleh dibaca dalam kondisi berhadats.
4. Hadits Qudsi tentu tidak dibaca saat shalat, berbeda dengan ayat Al-Qur’an.
5. Membaca Al-Qur’an, membacanya adalah ibadah, dan setiap huruf mendapat sepuluh
kebaikan, sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits.
6. Al-Qur’an adalah sebutan yang memang berasal dari Allah, beserta nama-nama Al-Qur’an
yang lainnya.
7. Al-Qur’an tersusun dalam susunan ayat dan surat yang telah ditentukan.
8. Lafadz dan makna Al-Qur’an sudah diwahyukan secara utuh kepada Nabi Muhammad,
sedangkan lafaz hadits qudsi bisa hanya diriwayatkan oleh para periwayat secara makna.11

http://sapiterbang.blogsome.com/2006/01/13/sejarah-penulisan-al-quran-siapa-yang-melakukan-mengapa-dan-
9

bagaimana/
10
Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani, al-Qawaidul Asasiyah fi Ilmi Mustholah al-Hadits, hal 16-19
11
https://www.ngopibareng.id/read/8-penjelasan-tentang-perbedaan-al-qur-an-dengan-hadits-qudsi
 Pengertian Hadis
Menurut ulama ahli hadis, hadis yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi, baik
perkataan, perbuatan, ketetapannya, sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalana setelah
diangkat sebagai Nabi dan terkadang juga sebelumnya, sehingga arti hadis disini semakna
dengan Sunnah.
Kata hadis yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan Sunnah,
maka pada saat ini bias berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun
persetujuan dari Nabi Muhammad saw yang dijadikan ketetapan ataupun hokum. Kata
hadis itu sendiri adalah bukan kata infinitif,12 maka kata tersebut adalah kata benda.
 Klasifikasi Hadis
Hadis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni bermulanya ujung
sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (rawi) serta tingkat keaslian hadis (dapat
diterima atau tidaknya hadis bersangkutan).
a. Berdasarkan ujung sanad
Berdasarkan klasifikasi ini hadis dibafi menjadi 3 golonga yakni Marfu’
(terangkat), Mauquf (terhenti), dan Maqthu’ (terputus):

 Hadis Marfu’ adalah hadis yang sanadnya berujung langsung pada


Nabi Muhammad saw (contoh: hadis di atas)
 Hadis Mauquf adalah hadis yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi tanpa ada
tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat
marfu'. Contoh: Al Bukhari dalam kitab Al-Fara'id (hukum waris) menyampaikan
bahwa Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan: "Kakek adalah
(diperlakukan seperti) ayah". Pernyataan dalam contoh itu tidak jelas, apakah berasal
dari Nabi atau sekadar pendapat para sahabat. Namun jika ekspresi yang digunakan
sahabat adalah seperti "Kami diperintahkan..", "Kami dilarang untuk...", "Kami
terbiasa... jika sedang bersama Rasulullah", maka derajat hadis tersebut tidak lagi
mauquf melainkan setara dengan marfu'.
 Hadis Maqthu’ adalah hadis yang sanadnya berujung pada para tabi'in (penerus) atau
sebawahnya. Contoh hadis ini adalah: Imam Muslim meriwayatkan dalam pembukaan
sahihnya bahwa Ibnu Sirin mengatakan: "Pengetahuan ini (hadis) adalah agama, maka
berhati-hatilah kamu darimana kamu mengambil agamamu".

12
Ibn Manthour, Lisan al-Arab, (daar al-hadith) hal. 350
Keaslian hadis yang terbagi atas golongan ini sangat bergantung pada beberapa
faktor lain seperti keadaan rantai sanad maupun penuturnya. Namun klasifikasi ini
tetap sangat penting mengingat klasifikasi ini membedakan ucapan dan tindakan
Rasulullah saw dari ucapan para sahabat maupun tabi'in di mana hal ini sangat
membantu dalam area perkembangan dalam fikih (Suhaib Hasan, Science of Hadis).
b. Berdasarkan Lapisan Sanad
Berdasarkan klasifikasi ini hadis terbagi menjadi beberapa golongan
yakni Musnad, Mursal, Munqathi’, Mu’allaq, Mu’dlal dan Mudallas. Keutuhan rantai
sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu
dan kondisi untuk mendengar dari penutur di atasnya.
 Hadis Musnad. Sebuah hadis tergolong musnad apabila urutan sanad yang dimiliki
hadis tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Urut-urutan penutur
memungkinkan terjadinya penyampaian hadis berdasarkan waktu dan kondisi, yakni
rawi-rawi itu memang diyakini telah saling bertemu dan menyampaikan hadis. Hadis
ini juga dinamakan muttashilus sanad atau maushul.

 Hadis Mursal, bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi'in
menisbatkan langsung kepada Rasulullah saw (contoh: seorang tabi'in (penutur 2)
mengatakan "Rasulullah berkata..." tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang
menuturkan kepadanya).
 Hadis Munqathi’, bila sanad putus pada salah satu penutur, atau pada dua penutur
yang tidak berturutan, selain shahabi

 Hadis Mu’dlal, bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut.
 Hadis Mu’allaq, bila sanad terputus pada penutur 5 hingga penutur 1, alias tidak ada
sanadnya. Contoh: "Seorang pencatat hadis mengatakan, telah sampai kepadaku
bahwa Rasulullah mengatakan...." tanpa ia menjelaskan sanad antara dirinya hingga
Rasulullah.
 Hadis Mudallas, bila salah satu rawi mengatakan "..si A berkata .." atau "Hadis ini
dari si A.." tanpa ada kejelasan "..kepada saya.."; yakni tidak tegas menunjukkan
bahwa hadis itu disampaikan kepadanya secara langsung. Bisa jadi antara rawi
tersebut dengan si A ada rawi lain yang tidak terkenal, yang tidak disebutkan dalam
sanad. Hadis ini disebut juga hadis yang disembunyikan cacatnya karena diriwayatkan
melalui sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal
sebenarnya ada, atau hadis yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.
c. Berdasarkan Jumlah Penutur
Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari
sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadis tersebut.
Berdasarkan klasifikasi ini hadis dibagi atas hadis mutawatir dan hadis ahad.

 Hadis Mutawatir, adalah hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari
beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk
berdusta bersama akan hal itu. Jadi hadis mutawatir memiliki beberapa sanad dan
jumlah penutur pada tiap lapisan generasi (thaqabah) berimbang. Para ulama berbeda
pendapat mengenai jumlah sanad minimum hadis mutawatir (sebagian menetapkan 20
dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadis mutawatir sendiri dapat dibedakan antara
dua jenis yakni mutawatir lafzhy (lafaz redaksional sama pada tiap riwayat)
dan ma’nawy (pada redaksional terdapat perbedaan namun makna sama pada tiap
riwayat)
 Hadis Ahad, hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai
tingkatan mutawatir. Hadis ahad kemudian dibedakan atas tiga jenis antara lain:
o Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya
satu penutur, meski pada lapisan lain mungkin terdapat banyak penutur)

o Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan, pada
lapisan lain lebih banyak)
o Masyhur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah
satu lapisan, dan pada lapisan lain lebih banyak) namun tidak mencapai derajat
mutawatir. Dinamai juga hadis mustafidl.
d. Berdasarkan Tingkat Keaslian Hadis
Kategorisasi tingkat keaslian hadis adalah klasifikasi yang paling penting dan
merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadis
tersebut. Tingkatan hadis pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih,
hasan, dla'if dan maudlu'.
 Hadis Sahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadis. Hadis shahih
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
o Sanadnya bersambung (lihat Hadis Musnad di atas);
o Diriwayatkan oleh para penutur/rawi yang adil, memiliki sifat istiqomah,
berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya
o Pada saat menerima hadis, masing-masing rawi telah cukup umur (baligh) dan
beragama Islam.
o Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada
sebab tersembunyi atau tidak nyata yang mencacatkan hadis (’illat).

 Hadis Hasan, bila hadis yang tersebut sanadnya bersambung, tetapi ada sedikit
kelemahan pada rawi(-rawi)nya; misalnya diriwayatkan oleh rawi yang adil namun
tidak sempurna ingatannya. Namun matannya tidak syadz atau cacat.
 Hadis Dhaif (lemah), ialah hadis yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa
hadis mauquf, maqthu’, mursal, mu’allaq, mudallas, munqathi’ atau mu’dlal), atau
diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, atau mengandung
kejanggalan atau cacat.
 Hadis Maudlu’, bila hadis dicurigai palsu atau buatan karena dalam rantai sanadnya
dijumpai penutur yang dikenal sebagai pendusta.

 Perbedaan Dalam Penerimaan Hadis


Seperti dima’lumi, para sahabat yang menerima dan menyampaikan (meriwayatkan
hadist), kesempatannya tidak sama. Ada yang banyak menghadiri majlis rasul, tentunya
mereka inilah yang banya menerima hadistsekaligus meriwayatkannya. Tetapi banyak pula
diantara mereka yang sibuk dengan urusan-urusan peribadunya, sehingga jarang
menghadiri majlis rasul, padhal biasanya dalam majlis itula rasul menjelaskan masalah-
masalah yang ditanyakan atau menjelaskan hukum sesuatu; memerentah atau melarang
dan menganjurkan sesuatu contoh mengenai ini adaalah sebagai berikut:

‫أن ابن عمر كان يأمر النساء إذا غتسلن أن ينقضن رؤوسهن‬
Ibnu Umar memberi fatwa, bahwa bila wanita mandi junub hendaklah membuka
(mengudar) sanggulnya, sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim. Setelah mendengar
fatwa itu, Siti Aisyah RA. Merasa heran dan berkata:

‫عجبا البن عمر هذا يأمر النساء إذا اغتسلن أن ينقضن رؤوسهن أفال يأمرهن حيلقن رؤوسهن‬
Sungguh aneh Ibnu Umar ini memerintahkan kaum wanita apabila mereka mandi
janabah untuk mengudar sanggul. Jika demikian, apakah tidak lebih baik menyuruh
mereka untuk mencukur rambut saja.
Kemudian Aisyah meriwayatkan hadits mengenai soal itu sebagai berikut:

‫لقد كنت أغتسل مع رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم من إناء واحد وما أزيد علي أن أفرغ على رأسي ثالث إفراغات‬
Sungguh aku pernah menjadi bersama Rasulullah SAW. Dari satu bejana dan aku
menyiram rambut kepalaku tidak lebih dari tiga siraman.

C. Ilmu Kalam
 Sejarah Munculnya Ilmu Kalam
Munculnya Ilmu Kalam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa
pembunuhan ‘Utsman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Mu’awiyah atas
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan antara Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib
mengkristal menjadi Perang Shiffin yang berakhir dengan keputusan tahkim yakni tawaran
yang diusulkan untuk memecah kubu Sayyidina Ali menjadi dia yaitu Syi’ah dan Khawarij
(arbitrase).
Sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin ‘Ash, utusan dari pihak Mu’awiyah
dalam tahkim, ia dalam keadaan terpaksa, itu tidak disetujui oleh sebagian tentaranya
dalam arti menentang. Mereka memandang Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah
sehingga mereka meninggalkan barisannya. Dalam sejarah Islam, mereka terkenal dengan
sebutan Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri. Sedangkan sebagian
besar pasukan yang membela dan tetap mendukung Ali menamakan dirinya sebagai
kelompok Syi’ah.13
 Aliran-aliran Dalam Ilmu Kalam
Ilmu Kalam secara garis besar terbagi menjadi 6 aliran:
1. Aliran Qadariyah
2. Aliran Jabariyah
3. Aliran Mu’tazilah
4. Aliran Murji’ah
5. Aliran Khawarij
6. Aliran Syi’ah

Sri Ayu Rizkiani, Khafidzin, Rohmah Nur Azizah, Imam Asy’ari, Makalah Sejarah Ilmu Kalam, (Fakultas
13

Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Walisongo: 2015). Hal. 5
D. Pokok-pokok Hukum Dalam Ibadah
 Shalat
Dalam ajaran Islam ibadah shalat memiliki kedudukan tertinggi diantara ibadah-
ibadah lainnya, bahkan kedudukannya terpenting dalam Islam yang tak tertandingi oleh
ibadah lain, karena ibadah shalat yang terdahulu sebagai konsekuen iman, tidak ada syariat
samawi lepas dari-Nya.14
Allah SWT mewajibkan shalat kepada kita melaksanakan ibadah shalat bukan karena
Dia membutuhkan tetapi justru untuk kepentingan kita sendiri sebagai hamba, agar kita
bisa meraih ketakwaan yang akan melindungi kita dari berbagai kemaksiatan dan
kesalahan sehinggan kita bisa meraih keridhoan Allah SWT dari surga-Nya.
 Puasa
1. Pengertian Puasa Secara Etimologi
Ibadah puasa adalah ibadah yang telah dipilih oleh Allah sebagai milik-Nya.
Sebab, orang yang berpuasa itu tidak melakukan sesuatu, melainkan hanya
meninggalkan syahwatnya (kesenangan nafsunya). Dengan puasa, ia meninggalkan
hal-hal yang dicintainya, semata hanya karena cintanya kepada Allah.
Kata puasa yang dipergunakan untuk menyebutkan arti dari al-shaum dalam
rukun islam keempat ini dalam bahasa Arab disebut Shaum, Shiyam yang berarti
puasa.15 Menurut L. Mardiwarsito dalam bahasa kawi disebut “upuwasa” yang berarti
berpuasa.16 Dalam bahasa Arab dan al-Quran puasa disebut Shaum atau Shiyam yang
berarti menahan diri dari sesuatu dan meninggalkan sesuatu atau mengendalikan diri.17
2. Pengertian Puasa Secara Terminologi
Secara terminologi, pengertian puasa banyak dikemukakan oleh para ahli,
diantaranya oleh:
Menurut Abi Abdlillah Muhammad bin Qasim al-Syafi’I “Puasa menurut syara’
adalah menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkannya seperti keinginan
untuk bersetubuh, dan keinginan perut untuk makan semata-mata karena taat (patuh)
kepadaTuhan dengan niat yang telah ditentukan seperti niat puasa Ramadhan, puasa
kifarat atau puasa nadzar pada waktu siang hari mulai terbitnya fajar sampai
tenggelamnya matahari sehingga puasanya dapat diterima kecuali pada mahari raya,
hari-hari tasyrik dan hari syak, dan dilakukan oleh seseorang muslim yang berakal

14
Shalih bin Ghanim as-Sadlan, Fiqih Shalat Berjama’ah, (Jakarta: Pustaka as Sunnah’ 2006), Cet. Ke-1, Hal.
30
Adib Bisri dan Munawar al-Fatah, Kamus Indonesia Arab, Arab Indonesia, (Surabaya: PusakaProgressifme,
15

1999). Hal. 272.


16
L. Mardiwarsito, Kamus Jawa Kuno (Kawi), (Indonesia: Nusa Indah, 1978). Hal. 380>
17
Mohammad Daud, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998). Hal. 276
(tamyiz), suci, dari wiladah (melahirkan) serta tidak ayan dan mabuk pada siang
hari”.18
Menurut Imam Muhammad bin Ismail al-Kahlani “Menahan diri dari makan,
minum dan hubungan seksual dan lain-lain yang diperintahkan menahan diri dari
padanya sepanjang hari menurut cara yang telah disyaratkan. Disertai pula menahan
diri dari perkataan sia-sia (membuat), perkataan yang merangsang (porno), perkataan-
perkataan lainnya baik yang haram maupun yang makruh pada waktu yang telah
disyariatkan, disertai pula memohon diri dari perkataan-perkataan lainnya baik yang
haram maupun yang makruh pada waktu yang telah ditetapkan dan menurut syara’
yangtelah ditentukan”.19
Dari beberapa definisi di atas maka dapat dapat ditarik pengertian bahwa puasa
adalah suatu substansi ibadah kepada Allah SWT, yang memiliki syarat rukun dan
rukun tertentu dengan jalan menahan diri dari segala keinginan syahwat, perut, dan
dari segala sesuatu yang masuk ke dalam kerongkongan, baik berupa makanan,
minuman, obat, dan semacamnya, sejak terbit fajar hingga terbenam matahari yang
dilakukan oleh muslim yang berakal, tidak haid, dan tidak pula nifas yang dilakukan
dengan yakin dan disertai dengan niat.

 Zakat
Zakat adalah ibadah maaliyah ijtima’iyah yang memiliki posisi sangat penting,
strategiss, dan menentukan, baik dilihat dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi
pembangunan kesejahteraan ummat. Didalam al-Quran terdapat dua puluh tujuh ayat yang
menyajarkan kewajiban shalat dengan kewajiban zakat dalam berbagai bentuk kata. 20
Zakat sebagai salah satu dari lima nilai instrumental yang strategis dan sangat berpengaruh
pada tingkah laku ekonomi manusia dan pembangunan ekonomi umumnya, dalam islam
dapat menjadi prasarana untuk menolong, membantu dan membina para mustahiq. Sebab
pada hakikatnya zakat merupakan perintah Tuhan yang harus dilaksanakan sehingga
diinterpretasikan bahwa penunaian zakat memiliki urgensi yang sebanding dengan
pendirian shalat. Oleh sebab itu, wajar Khalifah Abu Bakar RA, mengatakan “saya
memerangi orang yang memisahkan antara shalat dengan”.21
Kewajiban zakat dalam Islam memiliki makna yang sangat fundamental. Selain

18
Abi Abdillah Muhammad bini Qasim al-Syafi’i, Tausyah A’la Fath al-Qarib al-Mujjb, (Dar al-Kutub al-
Islamiyah). Hal. 110
19
Imam Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subulus Salam, Jilid III (Beirut: Daarul al-Kitab al-Ilmiyah). Hal.
305
20
Didin Hafidhudin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani, 2002). Hal. 2
21
Saleh al-Fauzan, Fiqh Sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani, 2006), Hal. 244.
berkaitan erat dengan aspek-aspek ketuhanan, juga ekonomi dan sosial. Diantara aspek-
apek ketuhanan adalah banyaknya ayat-ayat al-Quran yang menyebut masalah zakat.
Sedangkan dari aspek keadilan sosial, perintah zakat dapat dipahami sebagai satu kesatuan
sistem yang tak terpisahkan dalam pencapaian kesejahteraan ekonomi-sosial dan
kemasyarakatan. Zakat diharapkan dapat meminimalisir kesenjangan pendapatan antara
orang kaya dan miskin. Disamping itu, zakat juga diharapkan dapat meningkatkan atau
menumbuhkan perekonomian, baik pada level individu maupun pada level sosial
masyarakat.22

 Haji
Ibadah haji adalah rukun Islam yang kelima, hukumnya wajib bagi setiap orang Islam
yang mampu, laki-laki dan perempuan sekali dalam seumur hidup karena Allah SWT.23
Haji dalam struktur syariat Islam termasuk bagian dari ibadah haji. Sebagaimana
ibadah lainnya, haji dalam pengamalannya melewati suatu proses yang dimulai
pengetahuan mengenai haji, pelaksanaan haji, dan berakhir pada berfungsinya haji, baik
bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat. Ketiga bagian dalam proses pengamalan haji
tersebut merupakan kesatuan yang utuh. Pengetahuan mengenai haji diperlukan sebagai
panduan bagi perlaksanaan haji itu sendiri. Sahnya perlaksanaan haji sangat bergantung
kepada penerapan ketentuan-ketentuan formal tentang haji yeng telah diketahui. Nilai haji,
atau yang biasa disebut haji mabrur (hajjan mabruran), tidak bergantung kepada sahnya
perlaksanaan ibadah haji semata-mata, tetapi bergantung kepada fungsi ibadah haji itu bagi
pembentukan integritas pribadi pelaku haji dan bagi masyarakat dimana ia berada.24

REFERENSI

Nuruddin, Zakat Sebagai Instrumental Kebijakan Fisikal, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), Hal. 2.
22

Pemerintah Daersh Khusus Ibukota Jakarta, Petunjuk Praktis Manasik Haji, (Jakarta: Kantor Urusan Haji,
23

1994), Hal. 1
24
Muhammad Nuru, Pragmatisme Penyelenggaraan Ibadah Haji, (Jurnal Vol, 144)
Ajhari, Ulumul Qur‟an (Ilmu-Ilmu Al-qur‟an), ed. 1, (Yogyakarta : Penerbit Aswaja
Pressindo, 2018)
Eva Iryani, “Al-quran dan Ilmu Pengetahuan”, Jurnal Ilmiah Universitas Batnghari Jambi,
Vol.17 No.3 (2017)
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-quran, ed. 13, ( Jakarta: Penerbit
Pustaka Al-Kautsar, 2015)
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Al-Qur%27an
Fazlur Rehman, Chronology of Prophetic Events
Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an, Bandung: CV Pustaka Setia, 2009
Abdurrahman bin Abdul Karim, Sejarah Terlengkap Nabi Muhammmad saw, Yogyakarta:
Saufa, 2016
http://sapiterbang.blogsome.com/2006/01/13/sejarah-penulisan-al-quran-siapa-yang-
melakukan-mengapa-dan-bagaimana/
Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani, al-Qawaidul Asasiyah fi Ilmi Mustholah al-
Hadits
https://www.ngopibareng.id/read/8-penjelasan-tentang-perbedaan-al-qur-an-dengan-hadits-
qudsi
Ibn Manthour, Lisan al-Arab, (daar al-hadith)
Sri Ayu Rizkiani, Khafidzin, Rohmah Nur Azizah, Imam Asy’ari, Makalah Sejarah Ilmu
Kalam, (Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Walisongo: 2015)
Shalih bin Ghanim as-Sadlan, Fiqih Shalat Berjama’ah, (Jakarta: Pustaka as Sunnah’ 2006),
Cet. Ke-1
Adib Bisri dan Munawar al-Fatah, Kamus Indonesia Arab, Arab Indonesia, (Surabaya:
PusakaProgressifme, 1999)
L. Mardiwarsito, Kamus Jawa Kuno (Kawi), (Indonesia: Nusa Indah, 1978)
Mohammad Daud, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998).
Abi Abdillah Muhammad bini Qasim al-Syafi’i, Tausyah A’la Fath al-Qarib al-Mujjb, (Dar
al-Kutub al-Islamiyah)
Imam Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subulus Salam, Jilid III (Beirut: Daarul al-Kitab al-
Ilmiyah)
Didin Hafidhudin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani, 2002)
Saleh al-Fauzan, Fiqh Sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani, 2006)
Nuruddin, Zakat Sebagai Instrumental Kebijakan Fisikal, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2006)
Pemerintah Daersh Khusus Ibukota Jakarta, Petunjuk Praktis Manasik Haji, (Jakarta: Kantor
Urusan Haji, 1994)
Muhammad Nuru, Pragmatisme Penyelenggaraan Ibadah Haji, (Jurnal Vol, 144)

Anda mungkin juga menyukai