Al-Qur'an sebagai wahyu Ilahi disampaikan kepada nabi Muhammad Saw melalui
proses yang disebut inzâl, yaitu proses perwujudan al-Qur'an (izhhar al-Qur'an)
dengan cara: Allah mengajarkan kepada malaikat Jibril, kemudian Jibril
menyampaikannya kepada Nabi Muhammad. Ada juga ulama yang membedakan
antara al-inzal dan al-tanzil. Yang pertama berarti proses turunnya al Qur'an ke al-
lawh al-mahfuzh, sedangkan yang kedua berarti proses penyampaian al-Qur'an dari
al-lawh al-mahfuzh kepada Nabi melalui Jibril."
“Bahkan (yang didustakan mereka itu) ialah al-Qur'an yang mulia. Yang ter
simpan di al-lawh al-mahfuzh."
شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن هدى للناس وبينات من الهدى والفرقان
Al-Qur’an diturunkan dalam waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari, yaitu mulai dari
malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi sampai 9 dhulhijjah Haji wada’
tahun 63 dari kelahiran Nabi atau tahun 10 H.
Al-Qur’an mulai diturunkan ketika Nabi Muhammad sedang berkhalwat seorang
diri di gua Hira pada malam Senin, tanggal 17 ramadhan tahun 41 dari kelahiran,
pada tanggal 6 Agustus 610 M.
Masa turunnya al-Qur'an dapat dibagi ke dalam dua periode. Periode pertama
disebut periode Makkiyah, yaitu masa ayat-ayat yang turun ketika Nabi
Muhammad masih bermukim di Mekah s lama 12 tahun 5 bulan 13 hari, persisnya
sejak 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi sampai permulaan Rabi'ul Awal
tahun 54 dari kelahiran Nabi. Periode kedua disebut periode Madaniyah, yaitu
masa ayat-ayat yang turun setelah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, yaitu
selama 9 tahun 9 bulan 9 hari; persisnya dari per mulaan Rabi'ul Awal tahun 54
dari kelahiran Nabi sampai 9 Zul hijjah tahun 63 dari kelahiran Nabi atau tahun 10
Hijrah.
Ayat-ayat yang turun dalam periode Mekah disebut ayat-ayat Makkiyah, dan ayat-
ayat yang turun dalam periode Madinah dise but ayat-ayat Madaniyah. Jika
direkapitulasi, al-Qur'an yang terdiri dari 30 juz, jumlah ayat-ayat Makkiyah
sekitar 19/30 dan ayat-aya Madaniyah sekitar 11/30.14
Pada awalnya para sahabat adalah orang-orang yang ummi (tidak bisa menulis
dan membaca). Namun , mereka memiliki ingatan yang kuat dan menakjubkan
sebagaimana yang lazim dijumpai di kalangan masyarakat yang masih buta
huruf.
Meski orang-orang Arab tersebut pada umumnya tidak bisa menulis dan
membaca, mereka masih mampu membacakan ratusan bait syair dan silsilah
keturunan mereka yang panjang-panjang di luar kepala serta mampu
1
Prof. Dr. M. Quraish Shihab, dkk, (Sejarah Ulum Al-Qur’an, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2013) h. 18,19,dan 20.
mengingat kembali berbagai macam peristiwa peperangan dan sejarah para
pahlawan mereka dalam waktu yang singkat dan tepat.
Agar tulisan-tulisan yang berisi ayat-ayat Alquran itu tidak berbaur dengan
tulisan-tulisan yang lain, maka Rasulullah SAW telah memperingatkan kepada
para sahabat untuk tidak menuliskan sesuatu yang bukan Alquran.
Belum setahun setelah Rasulullah SAW wafat dan Abu Bakar menjadi
khalifah telah terjadi peperangan sengit di Yamamah antara kaum Muslim di
satu pihak dan para pengikut Musailamah al-Kazzab' (si pembohong) di pihak
lain. Dalam peperangan tersebut, pasukan kaum Muslim di bawah panglima
perang, Khalid ibn al- Walid berjumlah 4000 orang dan ada pula yang
mengatakan berjumlah 13.000 orang. Di antara mereka itu terdapat sejumlah
besar qurra (para qäri) dan huffazh (para hafiz) Al-Qur’an. Sebaliknya,
pasukan di pihak Musailamah berjumlah 10.000 orang. Meskipun dalam
peperangan itu kaum Muslim dapat mem peroleh kemenangan, kemenangan
tersebut harus mereka bayar dengan tewasnya sejumlah besar sahabat.
Menurut sebuah riwayat, jumlah darikalangan kaumMuslim yang syahid
sebanyak 1000 orang, terdiri atas 450 orang sahabat dan sisanya kaum muallaf
Menurut riwayat yang lain, mereka yang syahid itu sekitar 1200 orang dan
diantara mereka terdapat sekitar 360 orang dari kalangan Muhajirin dan
Anshar. Bahkan, di antara mereka yang syahid itu terdapat 70 orang qari dan
häfizh Alquran.
Mengingat akibat dari peristiwa tersebut, khususnya yang berke naan dengan
banyaknya para qari dan häfizh Alquran yang syahid di peperangan itu telah
menimbulkan kekuatiran pada Umar ibn al-Khaththab akan banyak lagi para
qari dan hafizh Alquran yang syahid atau wafat, baik dalam peperangan
maupun lainnya. Dalam pandangan Umar, dengan banyaknya para gari dan
hafizh Alquran yang wafat akan membawa implikasi pula kepada banyaknya
Alquran yang hilang. Karena dilatar belakangi kekuatiran tersebut, Umar
kemudian menyampaikan ide untuk mengumpulkan Alquran kepada Khalifah
Abu Bakar.
Zaid bin Tsabit adalah tokoh yang ditunjuk Khalifah Abu Bakar untuk
mengumpulkan Al-Qur’an. Menurut riwayat, tugas pengumpulan Alquran itu
dilaksanakan oleh Zaid dalam dua tahap.
Untuk meringankan tugas Zaid ini, maka Abu Bakar telah pula menunjuk
beberapa orang sahabat untuk membantunya. Mereka itu adalah Ubai ibn
Ka'ab, Ali ibn Abi Thalib, Umar bin Khaththab, 'Utsman ibn Affan, yang
semuanya adalah para penulis wahyu dan orang-orang yang 14 hafal Alquran.
Agar kumpulan Alquran, hasil kerja panitia yang diketuai oleh Zaid ini dapat
dijamin otensitasnya, maka panitia dalam melaksanakan tugasnya telah
mengikuti cara yang sangat teliti sekali.
Pertama, yang diteliti dan dikumpulkan, hanyalah catatan-catatan Alquran
yang asli dan telah ditulis di hadapan Rasulullah SAW, bukan yang berasal
dari hafalan saja.
Menurut riwayat, setelah semua catatan yang berisi ayat-ayat Alquran yang
ditulis pada masa Rasulullah SAW terkumpul dan sesuai dengan hafalan para
sahabat, catatan-catatan itu disalin kembali di atas lembaran-lembaran kertas
(shuhuf) dengan ukuran yang sama Ayat-ayat Alquran itu tidak disalin begitu
saja, tetapi disalin dengan urutan yang sama dengan urutan ayat-ayat yang
telah ditetapkan Rasulullah SAW Lembaran-lembaran yang berisi Alquran itu
kemudian dijilid dan dijahit dengan benang agar tidak ada bagian-bagian yang
hilang Setelah diletakkan di suatu tempat, selanjutnya salinan Alquran itu
diserahkan kepada Khalifah Abu Bakar RA.
2
Dr. H.A. Ataillah M.Ag, (SEJARAH ALQURAN Verifikasi tentang Otentitas Alquran, Banjarmasin, Antasari Press
Banjarmasin, 2006) h. 106-142
menggunakan ejaan tulisan yang sesuai dengan lahjah atau dialek
mereka masing-masing. Dan hal ini memperluas pula perbedaan
dalam qira'at itu.
Huzaifah berpendapat bahwa hal itu harus segera ditanggulangi untuk
mencegah timbulnya perpecahan lebih luas. Maka setelah ia kembali ke
Madinah, ia segera menghadap Kalifah 'Utsman, dan melaporkan apa-apa
yang telah disaksikannya tentang perbedaan qiraat itu, dan ia mengusulkan
agar Kalifah segera mengambil langkah-langkah untuk menertibkannya.
Usul ini diterima baik oleh Kalifah "Utsman, dan beliau segera mengambil
langkah-langkah antara lain:
1. Meminjam naskah yang ditulis oleh Zaid ibnu Tsabit pada masa Kalifah
Abu Bakar yang sedang disimpan oleh Hafshah binti 'Umar.
3
Drs. H.A. Mustofa, (Sejarah Al-Qur’an, Al-Ikhlas, Surabaya, 1994) h. 91-94
Utsman mengatakan kepada ketiganya : “Jika kalian berbeda bacaan dengan
Zaid Ibn Tsabit pada sebagian ayat Al-Qur’an, maka tuliskanlah dengan dialek
Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dengan dialek tersebut!”, merekapun
lalu mengerjakannya dan setelah selesai, Utsman mengembalikan mushaf itu
kepada Hafshah dan mengirimkan hasil pekerjaan tersebut ke seluruh penjuru
negeri Islam serta memerintahkan untuk membakar naskah mushaf Al-Qur’an
selainnya.
Sahabat Mush’ab bin Sa’ad mengatakan : “Aku melihat orang banyak ketika
Utsman membakar mushaf-mushaf yang ada, merekapun keheranan
melihatnya”, atau dia katakan : “Tidak ada seorangpun dari mereka yang
mengingkarinya, hal itu adalah termasuk nilai positif bagi Amirul Mukminin
Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu yang disepakati oleh kaum muslimin
seluruhnya.” Hal itu adalah penyempurnaan dari pengumpulan yang dilakukan
Khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Abu Bakar Ash-Shiddiq
Radhiyallahu ‘anhu. Perbedaan antara pengumpulan yang dilakukan Utsman
dan pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar Radhiyallahu anhuma adalah :
Tujuan dari pengumpulan AlQur’an di zaman Abu Bakar adalah menuliskan
dan mengumpulkan keseluruhan ayatayat Al-Qur’an dalam satu mushaf agar
tidak tercecer dan tidak hilang tanpa membawa kaum muslimin untuk bersatu
pada satu mushaf ; hal itu dikarenakan belih terlihat pengaruh dari perbedaan
dialek bacaan yang mengharuskannya membawa mereka untuk bersatu pada
satu mushaf Al-Qur’an saja. Sedangkan tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di
zaman Khalifah Utsman Ra. adalah : Mengumpulkan dan menuliskan Al-
Qur’an dalam satu mushaf dengan satu dialek bacaan dan membawa kaum
muslimin untuk bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an karena timbulnya
pengaruh yang mengkhawatirkan pada perbedaan dialek bacaan AlQur’an.
Hasil yang didapatkan dari pengumpulan ini terlihat dengan timbulnya
kemaslahatan yang besar di tengah-tengah kaum muslimin, di antaranya :
Persatuan dan kesatuan, kesepakatan bersama dan saling berkasih sayang.
Kemudian mudharat yang besarpun bisa dihindari yang di antaranya adalah :
Perpecahan umat, perbedaan keyakinan, tersebar luasnya kebencian dan
permusuhan. Mushaf Al-Qur’an tetap seperti itu sampai sekarang dan
disepakati oleh seluruh kaum muslimin serta diriwayatkan secara Mutawatir.
Dipelajari oleh anak-anak dari orang dewasa, tidak bisa dipermainkan oleh
tangan-tangan kotor para perusak dan tidak sampai tersentuh oleh hawa nafsu
orang-orang yang menyeleweng.4
4
Saifullah Amin, S.Pd.I, (Al-Qur’an Hadits, Kementerian Agama, Jakarta, 2019) h. 20, 21