Anda di halaman 1dari 7

Sejarah Proses Penurunan, Penulisan dan Pemeliharaan Al-Qur’an.

A. Proses Turunnya al-Qur'an

Al-Qur'an sebagai wahyu Ilahi disampaikan kepada nabi Muhammad Saw melalui
proses yang disebut inzâl, yaitu proses perwujudan al-Qur'an (izhhar al-Qur'an)
dengan cara: Allah mengajarkan kepada malaikat Jibril, kemudian Jibril
menyampaikannya kepada Nabi Muhammad. Ada juga ulama yang membedakan
antara al-inzal dan al-tanzil. Yang pertama berarti proses turunnya al Qur'an ke al-
lawh al-mahfuzh, sedangkan yang kedua berarti proses penyampaian al-Qur'an dari
al-lawh al-mahfuzh kepada Nabi melalui Jibril."

Terdapat beberapa pendapat mengenai proses turunnya al Qur'an kepada Nabi


Muhammad Saw, antara lain sebagai berikut."2

1. Al-Qur'an diturunkan sekaligus ke al-lawh al-mahfuzh, sebagai. mana firman


Allah dalam Q.s. al-Burûj/85:21-22:

‫ في لوح محفوظ‬،‫بل هو قرآن مجيد‬

“Bahkan (yang didustakan mereka itu) ialah al-Qur'an yang mulia. Yang ter
simpan di al-lawh al-mahfuzh."

2. Al-Qur'an diturunkan ke al-lawh al-mahfuzh ke langit bumi sekaligus, kemudian


diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad selama 23 tahun,
sebagaimana firman-Nya da lam Q.s. al-Baqarah/2:185;

‫شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن هدى للناس وبينات من الهدى والفرقان‬

"Bulan Ramadhan bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'an


sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu
dan pembeda (antara yang hak dan batil)."

Al-Zarqani dalam Manahil al-Irfan berpendapat bahwa proses turunnya al-Qur'an


terdiri atas tiga tahapan:
1) Turunnya al-Qur'an ke al-lawh al-mahfuzh;
2) Dari al-lawh al-mahfuzh ke bayt al-‘izzah;
3) Dari bayt al-‘izzah kepada Nabi Muhammad secara berangsur-angsur.

Al-Qur’an diturunkan dalam waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari, yaitu mulai dari
malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi sampai 9 dhulhijjah Haji wada’
tahun 63 dari kelahiran Nabi atau tahun 10 H.
Al-Qur’an mulai diturunkan ketika Nabi Muhammad sedang berkhalwat seorang
diri di gua Hira pada malam Senin, tanggal 17 ramadhan tahun 41 dari kelahiran,
pada tanggal 6 Agustus 610 M.

Masa turunnya al-Qur'an dapat dibagi ke dalam dua periode. Periode pertama
disebut periode Makkiyah, yaitu masa ayat-ayat yang turun ketika Nabi
Muhammad masih bermukim di Mekah s lama 12 tahun 5 bulan 13 hari, persisnya
sejak 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi sampai permulaan Rabi'ul Awal
tahun 54 dari kelahiran Nabi. Periode kedua disebut periode Madaniyah, yaitu
masa ayat-ayat yang turun setelah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, yaitu
selama 9 tahun 9 bulan 9 hari; persisnya dari per mulaan Rabi'ul Awal tahun 54
dari kelahiran Nabi sampai 9 Zul hijjah tahun 63 dari kelahiran Nabi atau tahun 10
Hijrah.

Ayat-ayat yang turun dalam periode Mekah disebut ayat-ayat Makkiyah, dan ayat-
ayat yang turun dalam periode Madinah dise but ayat-ayat Madaniyah. Jika
direkapitulasi, al-Qur'an yang terdiri dari 30 juz, jumlah ayat-ayat Makkiyah
sekitar 19/30 dan ayat-aya Madaniyah sekitar 11/30.14

Diturunkannya al-Qur'an secara berangsur-angsur selama ku rang lebih 23 tahun,


menandakan bahwa al-Qur'an mempunyai hubungan dialektis dengan situasi dan
tempat ketika ia diturunkan Tentu saja al-Qur'an bukan hanya memberi petunjuk
bagi masyarakat tempat ia diturunkan, tetapi juga untuk masyarakat sepanjang
masa dan di tempat mana pun. Karena itulah, ajaran al-Qur'an bersifat universal.1

A. Penulisan dan Pemeliharaan Al-Qur’an

1. Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW.

Setiap kali ayat-ayat Alquran diturunkan kepada Rasulullah SAW. beliau


segera menyampaikannya kepada para sahabat RA seperti yang telah beliau
terima dari malaikat Jibril, tanpa perubahan, pengurangan dan penambahan
sedikit pun.

Pada awalnya para sahabat adalah orang-orang yang ummi (tidak bisa menulis
dan membaca). Namun , mereka memiliki ingatan yang kuat dan menakjubkan
sebagaimana yang lazim dijumpai di kalangan masyarakat yang masih buta
huruf.

Meski orang-orang Arab tersebut pada umumnya tidak bisa menulis dan
membaca, mereka masih mampu membacakan ratusan bait syair dan silsilah
keturunan mereka yang panjang-panjang di luar kepala serta mampu

1
Prof. Dr. M. Quraish Shihab, dkk, (Sejarah Ulum Al-Qur’an, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2013) h. 18,19,dan 20.
mengingat kembali berbagai macam peristiwa peperangan dan sejarah para
pahlawan mereka dalam waktu yang singkat dan tepat.

Para sahabat menyadari betul akan kemampuan ingatan mereka yang


menakjubkan tersebut. Kemampuan mereka itu, kemudian mereka manfaatkan
untuk memelihara otentisitas Al-Qur’an. Karena itu, setiap kali mereka
menerima ayat-ayat Al-Qur’an, baik yang langsung dari Rasulullah SAW
maupun melalui para sahabat yang lain, mereka segera mempelajari dan
menghapalnya dengan sebaik-baiknya.

Oleh karena minat belajar, membaca, dan menghafal Alquran di kalangan


sahabat sangat besar, Rasulullah SAW kemudian menunjuk secara resmi
beberapa orang sahabat untuk menjadi guru-guru Alquran Mereka itu adalah
Abdullah ibn Mas'ud, Sälim, Mu'az, dan Ubay ibn Ka'ab. Berkat upaya yang
dilakukan Rasulullah SAW dan guru-guru Al-Qur’an itu, jumlah para sahabat
pun semakin banyak.

Selain menghafal Rasulullah SAW juga telah menyuruh mereka menuliskan


ayat-ayat dari kitab suci itu ke atas benda apa saja yang bisa ditulisi, seperti
pelepah tamar, kepingan batu, potongan kayu, sobekan kain, keratan tulang,
dan lembaran kulit binatang yang sudah disamak.

Perhatian Rasulullah SAW terhadap penulisan ayat-ayat Alquran tidak hanya


setelah beliau berada di Madinah, tetapi juga selagi beliau masih berada di
Mekkah Meskipun pada waktu itu jumlah kaum Muslim masih sedikit dan
sarana untuk penulisan masih langka serta kesempatan untuk menuliskan ayat-
ayat Alquran masih terbatas, catatan-catatan atau naskah-naskah yang berisi
ayat-ayat Alquran dapat saja beredar di antara mereka. Tampaknya naskah-
naskah tersebut, di samping para penulis wahyu yang sudah menuliskannya,
juga ada kemungkinan para sahabat yang lain telah pula menyalinnya untuk
kepentingan mereka sendiri.

Agar tulisan-tulisan yang berisi ayat-ayat Alquran itu tidak berbaur dengan
tulisan-tulisan yang lain, maka Rasulullah SAW telah memperingatkan kepada
para sahabat untuk tidak menuliskan sesuatu yang bukan Alquran.

Untuk menjaga kemurnian Alquran, maka Rasulullah SAW tidak hanya


menyuruh para sahabat menghafal dan menuliskan ayat-ayat Alquran secara
utuh, tetapi juga sekaligus menetapkan ayat-ayat Alquran pada suratnya
masing-masing.

2. Al-Qur’an pada masa Abu Bakar dan Umar RA

Belum setahun setelah Rasulullah SAW wafat dan Abu Bakar menjadi
khalifah telah terjadi peperangan sengit di Yamamah antara kaum Muslim di
satu pihak dan para pengikut Musailamah al-Kazzab' (si pembohong) di pihak
lain. Dalam peperangan tersebut, pasukan kaum Muslim di bawah panglima
perang, Khalid ibn al- Walid berjumlah 4000 orang dan ada pula yang
mengatakan berjumlah 13.000 orang. Di antara mereka itu terdapat sejumlah
besar qurra (para qäri) dan huffazh (para hafiz) Al-Qur’an. Sebaliknya,
pasukan di pihak Musailamah berjumlah 10.000 orang. Meskipun dalam
peperangan itu kaum Muslim dapat mem peroleh kemenangan, kemenangan
tersebut harus mereka bayar dengan tewasnya sejumlah besar sahabat.
Menurut sebuah riwayat, jumlah darikalangan kaumMuslim yang syahid
sebanyak 1000 orang, terdiri atas 450 orang sahabat dan sisanya kaum muallaf
Menurut riwayat yang lain, mereka yang syahid itu sekitar 1200 orang dan
diantara mereka terdapat sekitar 360 orang dari kalangan Muhajirin dan
Anshar. Bahkan, di antara mereka yang syahid itu terdapat 70 orang qari dan
häfizh Alquran.

Mengingat akibat dari peristiwa tersebut, khususnya yang berke naan dengan
banyaknya para qari dan häfizh Alquran yang syahid di peperangan itu telah
menimbulkan kekuatiran pada Umar ibn al-Khaththab akan banyak lagi para
qari dan hafizh Alquran yang syahid atau wafat, baik dalam peperangan
maupun lainnya. Dalam pandangan Umar, dengan banyaknya para gari dan
hafizh Alquran yang wafat akan membawa implikasi pula kepada banyaknya
Alquran yang hilang. Karena dilatar belakangi kekuatiran tersebut, Umar
kemudian menyampaikan ide untuk mengumpulkan Alquran kepada Khalifah
Abu Bakar.

Zaid bin Tsabit adalah tokoh yang ditunjuk Khalifah Abu Bakar untuk
mengumpulkan Al-Qur’an. Menurut riwayat, tugas pengumpulan Alquran itu
dilaksanakan oleh Zaid dalam dua tahap.

Tahap pertama, meneliti Alquran secara seksama. Tahap kedua,


mengumpulkan hasil penelitian tersebut ke dalam suatu bundelan yang
kemudian disebut mushhaf. Yang dimaksaud dengan meneliti Alquran dan
mengumpulkannya, bukanlah meneliti dan mengumpulkan Alquran dari
hafalan para sahabat. Tetapi yang dimaksud disini adalah meneliti dan mencari
catatan-catatan Alquran yang telah ditulis atas perintah Nabi Muhammad
SAW, kemudian mengumpulkannya di dalam satu mushhaf.

Untuk meringankan tugas Zaid ini, maka Abu Bakar telah pula menunjuk
beberapa orang sahabat untuk membantunya. Mereka itu adalah Ubai ibn
Ka'ab, Ali ibn Abi Thalib, Umar bin Khaththab, 'Utsman ibn Affan, yang
semuanya adalah para penulis wahyu dan orang-orang yang 14 hafal Alquran.

Agar kumpulan Alquran, hasil kerja panitia yang diketuai oleh Zaid ini dapat
dijamin otensitasnya, maka panitia dalam melaksanakan tugasnya telah
mengikuti cara yang sangat teliti sekali.
Pertama, yang diteliti dan dikumpulkan, hanyalah catatan-catatan Alquran
yang asli dan telah ditulis di hadapan Rasulullah SAW, bukan yang berasal
dari hafalan saja.

Kedua, catatan-catatan Alquran tersebut harus dibuktikan kebenarannya oleh


dua orang saksi.

Menurut riwayat, setelah semua catatan yang berisi ayat-ayat Alquran yang
ditulis pada masa Rasulullah SAW terkumpul dan sesuai dengan hafalan para
sahabat, catatan-catatan itu disalin kembali di atas lembaran-lembaran kertas
(shuhuf) dengan ukuran yang sama Ayat-ayat Alquran itu tidak disalin begitu
saja, tetapi disalin dengan urutan yang sama dengan urutan ayat-ayat yang
telah ditetapkan Rasulullah SAW Lembaran-lembaran yang berisi Alquran itu
kemudian dijilid dan dijahit dengan benang agar tidak ada bagian-bagian yang
hilang Setelah diletakkan di suatu tempat, selanjutnya salinan Alquran itu
diserahkan kepada Khalifah Abu Bakar RA.

Dengan demikian, dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa pengumpulan


Alquran yang dikerjakan Zaid adalah pengumpulan resmi dari khalifah Karena
itu, mushhaf Alquran yang terbit dari hasil kerjanya itu akan menjadi mshhaf
resmi dan rujukan bagi seluruh kaum Muslim.

Setelah Khalifah Abu Bakar RA wafat pada tahun 13 H, maka yang


menggantikannya adalah Umar ibn Khattab RA. Mushaf Al-Qur’an yang
sebelumnya disimpan oleh Abu Bakar, kini disimpan oleh Umar. Selama masa
pemerintahan Umar tidak ada langkah-langkah baru yang telah
dilaksanakannya terhadap mushaf yang disimpannya itu. Hal ini disebabkan
oleh situasi dan kondisi pada waktu itu belum menghendaki demikian. Selain
itu, para sahabat sendiri sudah merasa tenteram dengan terkumpul ya Al-
Qur’an dalam mushaf resmi ini.2

3. Al-Qur’an pada Masa Utsman bin ‘Affan

Setelah wafatnya Kalifah Umar, diangkatlah Utsman ibnu Affan menjadi


Kholifah ketiga. Pada masa pemerintahan Kalifah Utsman ini mulailah tampak
gejala-gejala pertikaian antara kaum muslimin mengenai Al-Qur'an, karena:

a. Tidak adanya keseragaman tentang susunan surat-surat pada naskah-


naskah yang mereka miliki.
b. Tidak adanya keseragaman qiraat atau cara membaca ayat ayat Al-
Qur'an..
c. Tidak adanya keseragaman cjaan tulisan yang mereka pakai dalam
menuliskan ayat-ayat Al-Qur'an itu, karena masing-masing mereka

2
Dr. H.A. Ataillah M.Ag, (SEJARAH ALQURAN Verifikasi tentang Otentitas Alquran, Banjarmasin, Antasari Press
Banjarmasin, 2006) h. 106-142
menggunakan ejaan tulisan yang sesuai dengan lahjah atau dialek
mereka masing-masing. Dan hal ini memperluas pula perbedaan
dalam qira'at itu.
Huzaifah berpendapat bahwa hal itu harus segera ditanggulangi untuk
mencegah timbulnya perpecahan lebih luas. Maka setelah ia kembali ke
Madinah, ia segera menghadap Kalifah 'Utsman, dan melaporkan apa-apa
yang telah disaksikannya tentang perbedaan qiraat itu, dan ia mengusulkan
agar Kalifah segera mengambil langkah-langkah untuk menertibkannya.

Usul ini diterima baik oleh Kalifah "Utsman, dan beliau segera mengambil
langkah-langkah antara lain:
1. Meminjam naskah yang ditulis oleh Zaid ibnu Tsabit pada masa Kalifah
Abu Bakar yang sedang disimpan oleh Hafshah binti 'Umar.

2. Membentuk sebuah Panitia yang terdiri dari:


a Zaid ibnu Tsabit, dari golongan Anshar, sebagai Ketua.
b. Abdullah ibnuz-Zubair.
c. Sa'id ibnul 'Ash.
d. 'Abdurrahman ibnul Harits ibnu Hijam.
Tiga orang yang terakhir itu adalah dari golongan Muhajirin, suku
Quraisy.

3. Kholifah memberikan tugas kepada panitia ini untuk menyalin dan-


menurun kembali ayat-ayat Al-Qur'an itu dari lembaran lembaran naskah
Abu Bakar sehingga menjadi Mushaf atau buku yang lebih sempurna.

4. Kalifah juga memberikan patokan-patokan kepada panitia tersebut dalam


melakukan tugasnya itu ialah:
a. Supaya dalam menyalin ayat-ayat dari naskah Abu Bakar itu panitia
haruslah mengecek dan berpedoman kepada hafalan para sahabat.
b. Ayat-ayat haruslah dituliskan dengan memakai ejaan tulisan yang
seragam.
c. Dan apabila terjadi perselisihan antara anggota anggota panitia itu
tentang bahasa atau bacaan suatu kata, dalam ayat-ayat itu, maka kata
tersebut haruslah ditulis dengan ejaan-tulisan yang sesuai dengan
lahjah atau dialek suku Quraisy, sebab Al-Qur'an itu memang
diturunkan dalam bahasa Arab menurut dialek suku Quraisy.
d. Susunan atau tertib urut surat-surat hendaklah diatur menurut cara
tertentu berdasarkan ijtihad mereka, dan pedoman-pedoman yang
didapat dari Rasulullah kalau ada keterangan yang dapat dipercaya.3

3
Drs. H.A. Mustofa, (Sejarah Al-Qur’an, Al-Ikhlas, Surabaya, 1994) h. 91-94
Utsman mengatakan kepada ketiganya : “Jika kalian berbeda bacaan dengan
Zaid Ibn Tsabit pada sebagian ayat Al-Qur’an, maka tuliskanlah dengan dialek
Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dengan dialek tersebut!”, merekapun
lalu mengerjakannya dan setelah selesai, Utsman mengembalikan mushaf itu
kepada Hafshah dan mengirimkan hasil pekerjaan tersebut ke seluruh penjuru
negeri Islam serta memerintahkan untuk membakar naskah mushaf Al-Qur’an
selainnya.
Sahabat Mush’ab bin Sa’ad mengatakan : “Aku melihat orang banyak ketika
Utsman membakar mushaf-mushaf yang ada, merekapun keheranan
melihatnya”, atau dia katakan : “Tidak ada seorangpun dari mereka yang
mengingkarinya, hal itu adalah termasuk nilai positif bagi Amirul Mukminin
Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu yang disepakati oleh kaum muslimin
seluruhnya.” Hal itu adalah penyempurnaan dari pengumpulan yang dilakukan
Khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Abu Bakar Ash-Shiddiq
Radhiyallahu ‘anhu. Perbedaan antara pengumpulan yang dilakukan Utsman
dan pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar Radhiyallahu anhuma adalah :
Tujuan dari pengumpulan AlQur’an di zaman Abu Bakar adalah menuliskan
dan mengumpulkan keseluruhan ayatayat Al-Qur’an dalam satu mushaf agar
tidak tercecer dan tidak hilang tanpa membawa kaum muslimin untuk bersatu
pada satu mushaf ; hal itu dikarenakan belih terlihat pengaruh dari perbedaan
dialek bacaan yang mengharuskannya membawa mereka untuk bersatu pada
satu mushaf Al-Qur’an saja. Sedangkan tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di
zaman Khalifah Utsman Ra. adalah : Mengumpulkan dan menuliskan Al-
Qur’an dalam satu mushaf dengan satu dialek bacaan dan membawa kaum
muslimin untuk bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an karena timbulnya
pengaruh yang mengkhawatirkan pada perbedaan dialek bacaan AlQur’an.
Hasil yang didapatkan dari pengumpulan ini terlihat dengan timbulnya
kemaslahatan yang besar di tengah-tengah kaum muslimin, di antaranya :
Persatuan dan kesatuan, kesepakatan bersama dan saling berkasih sayang.
Kemudian mudharat yang besarpun bisa dihindari yang di antaranya adalah :
Perpecahan umat, perbedaan keyakinan, tersebar luasnya kebencian dan
permusuhan. Mushaf Al-Qur’an tetap seperti itu sampai sekarang dan
disepakati oleh seluruh kaum muslimin serta diriwayatkan secara Mutawatir.
Dipelajari oleh anak-anak dari orang dewasa, tidak bisa dipermainkan oleh
tangan-tangan kotor para perusak dan tidak sampai tersentuh oleh hawa nafsu
orang-orang yang menyeleweng.4

4
Saifullah Amin, S.Pd.I, (Al-Qur’an Hadits, Kementerian Agama, Jakarta, 2019) h. 20, 21

Anda mungkin juga menyukai