Anda di halaman 1dari 14

1

KODIFIKASI AL-QURAN PADA MASA UTSMAN BIN AFFAN


Oleh: Maksum Haufi Hubaeib
STKQ AL-HIKAM Depok

Abstrak: Pengumpulan al-Quran atau jam’ul Quran memiliki dua makna, yaitu hafizhahu
(menghafalnya dalam hati) dan katabahu kullahu (menulisnya semuanya ) baik dengan
memisah-misahkan di dalam satu lembaran yang terpisah, ataupun menrtibkan ayat-ayat dan
surat-suratnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul. Teori paling populer di kalangan
ortodoksi Islam tentang pengumpulan pertama al-Quran secara tertulis adalah bahwa upaya
semacam ini secara resmi baru dilakukan pada masa kekhalifahan Abu Bakar. Dimasa Utsman
ada 4 Mushaf sahabat yang sangat berpengaruh dikalangan masyarakat arab, yaitu Mushaf
Ubay bin Ka’ab, Mushaf Abdullah bin mas’ud, Mushaf Abu musa al-asy’ari, Mushaf Ibnu
Abbas. Pengumpulan al-Quran pada masa Utsman mempunyai latar belakang berbeda yaitu
bervariasinya bacaan al-Quran pada masa itu yang disebabkan oleh perluasan wilayah
kekuasaan Islam ke berbagai wilayah. Penulisan Mushaf Utsmani menggunakan rasm
Utsmani yang di mana ejaannya merujuk pada suhuf Abu Bakar dan diketahui bahwa suhuf
Abu Bakar adalah hasil pengumpulan atau penyalinan dari naskah naskah para penulis Wahyu
Rasulullah. Bagi mayoritas umat Islam, terutama kaum Sunni, Al- Qur’an hasil kodifikasi pada
masa Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan adalah teks standar yang historisitas dan otentisitasnya
tidak mungkin diperdebatkan lagi.

Kata kunci: kodifikasi, Mushaf, Rasm, Utsmani


A. Pendahuluan
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur berupa beberapa ayat dari sebuah atau
berupa sebuah surat yang pendek secara lengkap. Dan penyampaian Al-Qur’an secara
keseluruhan memakan waktu kurang lebih 23 tahun, yakni 13 tahun waktu Nabi masih tinggal
di Mekkah sebelum hijriyah dan 10 tahun waktu Nabi sesudah hijrah ke Madinah.

Wahyu ilahi yang diturunkan sebelum hijrah tersebut disebut ayat Makiyah merupakan
19/30 dari Al-Qur’an, surat dan ayat-ayatnya pendek-pendek dan gaya bahasanya singkat padat
(ijaz), karena sasaran yang pertama-tama dan utama pada periode Mekkah ini adalah orang-
orang Arab asli (suku Quraisy dan suku-suku Arab lainnya) yang sudah tentu mereka paham
benar akan bahasa Arab. Mengenai isi surat ayat Makkiyah pada pada umumnya berupa
ajakan/seruan untuk bertauhid yang murni atau Ketuhanan Yang Maha Esa secara murni dan
juga pembinaan mental dan akhlak.

Adapun wahyu ilahi yang diturunkan sesudah hijrah disebut surat/ayat Madaniyah dan
merupakan 11/30 dari Al-Qur’an. Surat dan ayat-ayatnya panjang-panjang dan gaya bahasaya
panjang lebar dan lebih jelas, karena sasarannya bukan hanya orang-orang Arab asli, melainkan
2

juga non Arab dari berbagai bangsa yang telah mulai banyak masuk Islam dan sudah tentu
mereka kurang/belum menguasai bahasa Arab. Mengenai isi surat-surat/ayat-ayat Madaniyah
pada umumnya berupa norma-norma hukum untuk pembentukan dan pembinaan suatu
masyarakat/umat Islam dan negara yang adil dan makmur yang diridhai Allah SWT.

Pada masa Nabi, setiap wahyu yang turun, satu ayat atau lebih, terlebih dahulu Nabi
Muhammad memahami dan menghafalkannya, kemudian disampaikan dan diajarkan kepada
para sahabatnya pesis seperti apa yang diterimanya, tanpa ada perubahan dan penggantian
sedikitpun. Selanjutnya Rasulullah menganjurkan kepada para sahabat yang telah menerima
ayat-ayat itu untuk menghafalkannya dan meneruskannya pula kepada para pengikutnya.

B. Kodifikasi al-Quran
Pengumpulan al-Quran atau jam’ul Quran yang dimaksud adalah salah satu dari dua
definisi berikut;

Pertama: pengumpulan dalam arti hafazhahu (menghafalnya dalam hati). Jumma’ul


Quran artinya huffazhuhu (para penghafalnya, yaitu orang-orang yang menghafalnya dalam
hati). Inilah yang dimaksud Allah dalam firman-Nya ;

َ ُ ۡ َ َ َّ
١٧ ‫إِن َعل ۡي َنا َج َع ُهۥ َوق ۡر َءان ُهۥ‬

“ Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu


pandai) membacanya.” (Al-Qiyamah: 17)1

Al-Quran diturunkan kepada seorang Nabi yang ummiy (tidak bisa membaca dan
menulis). Sebagaimana umumnya orang yang tidak bisa membaca dan menulis tentu lebih
mengandalkan hafalan dan ingatannya. Bangsa Arab di masa turunnya al-Quran diberi
keistimewaan berupa ingatan yang kuat dan kecepatan hafalan. Bangsa Arab mampu
menghafal ratusan ribu syair dan menghafal diluar kepala urutan nasab keturunannya. Mereka
juga mampu mengingat dengan jelas tanggal dan waktu suatu peristiwa.

Tatkala al-Quran datang mereka mengagumi keindahan sastranya, pesona hukum-


hukumnya dan kekuatan argumennya menyentuh perasaan mereka. Perhatian mereka pun
tertuju kepada al-Quran sehingga mereka sangat terobsesi dan terfokus kepadanya. Mereka

1
Syaikh Manna Al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran,(Jakarta: Pustaka al-kautsar,2018)hal.150
3

mulai menghafalkan al-Quran dan meninggalkan syair-syair sebab mereka menemukan ruh
kehidupan dalam al-Quran.2

Kedua: pengumpulan dalam arti kitabuhu kullihi (penulisan al-Quran semuanya) baik
dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surat-suratnya, atau menertibkan ayat-ayatnya
semata dan setiap surat ditulis di dalam satu lembaran yang terpisah, ataupun menrtibkan ayat-
ayat dan surat-suratnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua
surat, sebagiannya ditulis sesudah sebagian yang lain.3 Inilah yang akan kita bahas disini.

1. Pengumpulan pertama Al-Quran


Rasulullah mengangkat para penulis wahyu dari para sahabat terkemuka. Bila ayat
turun, ia memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukkan dimana tempat ayat tersebut
dalam surat. Maka penulisan dalam lembaran itu membantu hafalan dalam hati. Yang terkenal
dari para sahabat yang menjadi penulis wahyu antara lain: Zaid bin Tsabit, Ubay bin Kaab,
Muadz bin jabal, Muawiyah bin Abu Sufyan, khalifah yang empat dan beberapa sahabat senior
yang lain.4 Syaikh Abu Abdillah Az-Zanjani, salah satu sarjana Syiah terkemuka abad ke-20
menyebut 34 sahabat Nabi yang ditugaskan menulis wahyu.5 Sebagian sahabat juga menulis
al-Quran atas inisiatif sendiri pada pelepah kurma, lempengan batu, papan tipis, kulit atau daun
kayu, pelana dan potongan tulang belulang binatang.6 Bahkan banyak juga para sahabat yang
memiliki mushaf khusus tempat menulis setiap yang mereka dengar atau hafal dari Rasulullah
seperti mushaf Ibnu Mas’ud, mushaf Ali, mushaf Aisyah dll.7

Tulisan-tulisan al-Quran dimasa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf. Biasanya
yang ada di tangan seorang sahabat misalnya, belum tentu dimiliki oleh yang lain. Menurut
para Ulama, diantara sahabat yang menghafal seluruh isi al-Quran ketika Rasulullah masih
hidup adalah; Ali bin Abi Thalib, Muadz bin Jabal, Ubay bin Kaab, Zaid bin Tsabit dan
Abdullah bin Mas’ud. Mereka juga menyebut-menyebut bahwa Zaid bin Tsabit adalah orang
yang terakhir kali membacakan al-Quran di hadapan Nabi.8

2
Syaikh Muhammad Ali As-Shobuni, At-Tibyan fi ulumil QuranI,(jakarta: Darul kutub al-
Islamiyah,2003)hal.49-50
3
Syaikh Manna Al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran,(Jakarta: Pustaka al-kautsar,2018)hal.151
4
Syaikh Muhammad Ali As-Shobuni, At-Tibyan fi ulumil QuranI,(jakarta: Darul kutub al-
Islamiyah,2003)hal.52
5
Taufik Adnan Amal,rekonstruksi Sejarah Al-Quran(Jakarta:Divisi Muslim demokrasi,2011)hal.153
6
Syaikh Manna Al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran,(Jakarta: Pustaka al-kautsar,2018)hal.156
7
Syaikh Muhammad Ali As-Shobuni, At-Tibyan fi ulumil QuranI,(jakarta: Darul kutub al-
Islamiyah,2003)hal.53
8
Syaikh Manna Al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran,(Jakarta: Pustaka al-kautsar,2018)hal.157
4

Teori paling populer di kalangan ortodoksi Islam tentang pengumpulan pertama al-
Quran secara tertulis adalah bahwa upaya semacam ini secara resmi baru dilakukan pada masa
kekhalifahan Abu Bakar. Sebelumnya al-Quran belum terhimpun di dalam satu mushaf
sekalipun terdapat fragmen-fragmen wahyu ilahi yang berada dalam pemilikan sejumlah
sahabat.

Tentang pengumpulan al-Quran pada masa pemerintahan Abu Bakar, ada sejumlah
riwayat yang saling bertolak belakang. Riwayat-riwayat ini dapat dikelompokkan ke dalam dua
kategori utama: versi mayoritas dan versi minoritas yang membias. Riwayat-riwayat
versi mayoritas, sekalipun tersebar luas, hanya mengalami sedikit perubahan yang tidak
substansial dalam kandungannya.9 Salah satunya adalah yang diriwayatkan Bukhari (w. 870)
berikut ini:
“Dari Zaid bin Tsabit, ia berkata: “Abu Bakar memberitahukan kepadaku tentang orang
yang gugur dalam pertempuran Yamamah, sementara Umar berada di sisinya. Abu Bakar
berkata: Umar telah datang kepadaku menceriterakan bahwa peperangan Yamamah telah
mengakibatkan gugurnya banyak penghafal (qurrã’ ) al-Quran, dan aku (Umar) khawatir akan
berguguran pula para penghafal lainnya dalam peperangan-peperangan lain sehingga mungkin
banyak bagian al-Quran akan hilang. Umar minta agar aku memerintahkan untuk
mengumpulkan al-Quran. Lalu aku katakan kepada Umar: Bagaimana mungkin aku melakukan
sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah? Umar berkata: Demi Allah ini merupakan hal
yang baik. Umar senantiasa mendesak aku untuk melakukan hal tersebut sampai akhirnya Allah
melapangkan hatiku dan aku pahami maksud Umar. Selanjutnya Zaid berkata: Kemudian Abu
Bakar berkata kepadaku: Sesungguhnya kamu adalah pemuda yang cekatan dan aku tidak
meragukan kemampuanmu; kamu dulu adalah penulis wahyu untuk Rasulullah, kini telusurilah
jejak al-Quran dan kumpulkanlah (ke dalam suatu mushaf). Zaid berkata: Demi Allah,
seandainya aku disuruh memindahkan gunung, maka pekerjaan ini tidak lebih berat dari
perintah mengumpulkan al-Quran. Lalu aku berkata: Kenapa Anda berdua (Abu Bakar dan
Umar) melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulllah? Maka Abu Bakr menjawab:
Demi Allah itu pekerjaan yang baik. Setelah berulangkali Abu Bakr mendesakku, akhirnya
Allah melapangkan hatiku sebagaimana dilapangkannya hati Abu Bakar dan Umar. Aku lalu
mencari al-Quran yang tertulis di atas pelepah-pelepah kurma, batu-batu tulis, dan yang
tersimpan (dalam bentuk hafalan) di dada-dada manusia, kemudian aku kumpulkan. Akhirnya
aku temukan bagian akhir surat al-Tawbah pada Abu Khuzaimah al-Anshari, yang tidak

9
Taufik Adnan Amal,rekonstruksi Sejarah Al-Quran(Jakarta:Divisi Muslim demokrasi,2011)hal.164
5

kudapatkan pada orang lain (yaitu: laqad jã’akum rasûl min anfusikum … dan seterusnya
hingga akhir surat).” Dan shuhuf (yang telah dikumpulkan itu) berada di tangan Abu Bakar
sampai wafatnya, lalu dipegang Umar semasa hidupnya, kemudian disimpan oleh Hafshah binti
Umar.”10
Berbeda dengan versi mayoritas, versi minoritas yang membias tidak memiliki
kesatuan pandang tentang pribadi-pribadi yang bergulat dan terkait secara langsung atau tidak
langsung dengan pengumpulan pertama al-Quran. dalam versi minoritas terdapat riwayat al-
Zuhri (w. 742) yang mengungkapkan bahwa, ketika banyak kaum Muslimin yang terbunuh
dalam pertempuran Yamamah, Abu Bakarlah yang justeru mencemaskan akan musnahnya
sejumlah besar qurrã. Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa suatu ketika Umar bertanya
tentang suatu bagian al-Quran dan dikatakan bahwa bagian tersebut berada pada seseorang
yang tewas dalam pertempuran Yamamah. Ia mengekspresikan rasa kehilangan dengan
mengucapkan inna li-llahi wa inna ilayhi raji‘un, lalu memerintahkan untuk mengumpulkan
al-Quran, sehingga “Umar adalah orang pertama yang mengumpulkan al-Quran ke dalam
mushaf.” Di sini, secara implisit disebutkan bahwa baik proses awal maupun proses akhir
pengumpulan al Quran berlangsung pada masa pemerintahan Umar, dan masih banyak teori
versi minoritas lainnya.11
Dari riwayat versi mayoritas diatas, Syaikh Muhammad Ali As-Shobuni menyatakan
ada beberapa hal yang mesti dijawab perihal pengumpulan al-Quran pada masa Abu Bakar.
Diantaranya adalah mengenai alasan Abu Bakar menolak mengumpulkan Al-Quran dalam satu
mushaf. Abu Bakar merasa khawatir jika al-Quran sudah dikumpulkan dalam satu mushaf bisa
melemahkan semangat umat muslim dalam menghafalkannya dan hanya bersandar pada
tulisan dalam mushaf ketika membaca al-Quran. Alasan yang lain adalah karena Abu Bakar
adalah orang yang sangat menjaga batas-batas syariat sehingga ia takut melakukan perkara
yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi. Namun setelah dibujuk dan diyakinkan oleh Umar
bahwa pengumpulan Al-Quran ini bisa membantu menjaga al-Quran dari penyimpangan dan
kebinasaan karena dalam kondisi darurat maka Abu Bakar pun menyetujuinya.
Masalah lainnya yang perlu diketahui menurut Syaikh Ali As-Shobuni adalah alasan
Abu Bakar memilih Zaid binTsabit sebagai ketua lajnah penulisan al-Quran. Zaid dalam
pandangan Abu Bakar dan Umar adalah pemuda yang memliki beberapa potensi yang tidak
dimiliki yang lainnya. Diantaranya yaitu karena Zaid termasuk salah satu sahabat yang hafizh,

10
Syaikh Muhammad Ali As-Shobuni, At-Tibyan fi ulumil QuranI,(jakarta: Darul kutub al-
Islamiyah,2003)hal.55
11
Taufik Adnan Amal,rekonstruksi Sejarah Al-Quran(Jakarta:Divisi Muslim demokrasi,2011)hal.166
6

pernah menjadi penulis wahyu masa Nabi dan juga ikut menyaksikan masa-masa terakhir
turunnya al-Quran. Lebih dari itu, Zaid juga dikenal sebagai orang yang sangat wara’, amanah,
berakhlak mulia dan lurus dalam beragama. Dia juga cerdas dan pandai. ini nampak dari
ungkapan Abu Bakar kepadanya “Sesungguhnya kamu adalah pemuda yang cekatan dan aku
tidak meragukan kemampuanmu; kamu dulu adalah penulis wahyu untuk Rasulullah, kini
telusurilah jejak al-Quran dan kumpulkanlah (ke dalam suatu mushaf).”
Masalah penting yang terakhir menurut Syaikh Ali adalah maksud ungkapan Zaid
dalam hadits diatas ”Akhirnya aku temukan bagian akhir surat al-Tawbah pada Abu
Khuzaimah al-Anshari, yang tidak kudapatkan pada orang lain”. Yang dimaksudkan oleh Zaid
adalah ayatnya dalam bentuk tulisan. Zaid dan sebagian besar sahabatpun sudah menghafal
ayat tersebut, akan tetapi ketelitian Zaid saat mengumpulkan al-Quran mendorongnya untuk
mensyaratkan adanya bukti berupa tulisan dan hafalan suatu ayat untuk bisa diterima oleh Zaid.
Diriwayatkan bahwa Abu Bakar berkata kepada Umar dan Zaid; “ duduklah di pintu masjid,
siapa saja yang datang membawa dua saksi atas apapun dari kitabullah maka tulislah”. Ibnu
Hajar mengomentari bahwa yang dimaksud dengan dua saksi adalah; hafalan dan tulisan.12
2. Beberapa mushaf pra-Utsmani
Dimasa Utsman ada 4 Mushaf sahabat yang sangat berpengaruh dikalangan masyarakat
arab. Empat Mushaf itu adalah: Pertama, Mushaf Ubay bin Ka’ab yang kumpulan Al Qurannya
tersebar didaerah Syiria. Kedua, Mushaf Abdullah bin mas’ud yang Mushafnya mendominasi
daerah Kuffah. Ketiga, Mushaf Abu musa al-asy’ari yang Mushafnya mendominasi daerah
Basroh. Keempat, Mushaf Ibnu Abbas yang juga sangat berpengaruh dikalangan Jazirah
Arab.13
Dalam kasus-kasus tertentu, mushaf-mushaf di atas belum tentu secara aktual bermakna
suatu kumpulan al-Quran tertulis. Tetapi, dalam kasus-kasus lainnya, terdapat bukti yang
cukup dari berbagai sumber tentang eksistensi mushaf-mushaf tertentu dalam bentuk kumpulan
tertulis al-Quran.
Arthur Jeffery – bersumberkan sejumlah manuskrip – mengklasifikasikan mushaf-
mushaf lama ke dalam dua kategori utama: mushaf primer dan mushaf sekunder. Sekalipun
Jeffery tidak mengemukakan sesuatu pun tentang kategorisasinya, bisa dilacak bahwa yang
dimaksudkannya dengan mushaf primer adalah mushaf-mushaf independen yang dikumpulkan
secara individual oleh sejumlah sahabat Nabi. Sementara mushaf sekunder adalah mushaf

12
Syaikh Muhammad Ali As-Shobuni, At-Tibyan fi ulumil QuranI,(jakarta: Darul kutub al-
Islamiyah,2003)hal.56
13
Taufik Adnan Amal,rekonstruksi Sejarah Al-Quran(Jakarta:Divisi Muslim demokrasi,2011)hal.185
7

generasi selanjutnya yang sangat bergantung atau didasarkan pada mushaf primer serta
mencerminkan tradisi bacaan kota-kota besar Islam.
Skema mushaf-mushaf yang awal ini – baik mashãhif primer maupun sekunder – dapat
dikemukakan sebagai berikut:

A. Mushaf-mushaf Primer
1. Mushaf Salim ibn Ma‘qil.
2. Mushaf Umar ibn Khaththab.
3. Mushaf Ubay ibn Ka‘b.
4. Mushaf Ibn Mas‘ud.
5. Mushaf Ali ibn Abi Thalib.
6. Mushaf Abu Musa al-Asy‘ari.
7. Mushaf Hafshah bint Umar.
8. Mushaf Zayd ibn Tsabit.
9. Mushaf Aisyah bint Abu Bakar.
10. Mushaf Ummu Salamah (w.59 H).
11. Mushaf Abd Allah ibn Amr (w. 65 H).
12. Mushaf Ibn Abbas.
13. Mushaf Ibn al-Zubayr.
14. Mushaf Ubayd ibn ‘Umair (w. 74 H).
15. Mushaf Anas ibn Malik (w. 91 H).

B. Mushaf-mushaf Sekunder
1. Mushaf Alqama ibn Qais (w. 62 H.).
2. Mushaf al-Rabi‘ ibn Khutsaim (w. 64 H).
3. Mushaf al-Harits ibn Suwaid (w. 70 H).
4. Mushaf al-Aswad ibn Yazid (w. 74 H).
5. Mushaf Hiththan (w. 73 H).
6. Mushaf Thalhah ibn Musharrif (w. 112 H)
7. Mushaf al-A‘masy (w. 148 H).
8. Mushaf Sa‘id ibn Jubayr (w. 94 H).
9. Mushaf Mujahid (w. 101 H).
10. Mushaf Ikrimah (w. 105 H).
11. Mushaf Atha’ ibn Abi Rabah (w. 115 H).
8

12. Mushaf Shalih ibn Kaisan (w. 144 H).


13. Mushaf Ja‘far al-Shadiq.14

C. Kodifikasi al-Quran pada masa Utsman


Pengumpulan al-Quran pada masa Utsman mempunyai latar belakang berbeda dengan
pengumpulan pada masa Abu Bakar. Perluasan wilayah kekuasaan Islam ke berbagai wilayah
menyebabkan bervariasinya bacaan al-Quran pada masa itu. Bacaan al-Quran para sahabat
yang mengajar al-Quran sudah masyhur di setiap wilayah. Penduduk Syam membaca dengan
qiroat Ubay bin Kaab, penduduk Kufah menggunakan qiroat Ibnu Mas’ud, dan yang lainnya
menggunakan qiroat Abu Musa Al-Asy’ari.15
Apabila mereka berkumpul dalam suatu pertemuan atau di suatu medan peperangan,
sebagian mereka merasa heran akan adanya perbedaan qiraat ini. Terkadang sebagian dari
mereka merasa puas karena mengetahui bahwa semua perbedaan-perbedaan itu semuanya
disandarkan kepada Rasulullah. Tetapi keadaan demikian ternyata tidak dapat membendung
adanya keraguan di benak generasi baru yang tidak berjumpa Rasulullah, sehingga hampir
menyebabkan perdebatan dan perpecahan. Bahkan hampir saling mengkafirkan satu sama
lain.16
Riwayat yang masyhur mengenai latar belakang pengumpulan al-Quran pada masa
Utsman adalah yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Anas bin Malik, dia berkata;
“Hudzayfah ibn al-Yaman menghadap Utsman. Ia tengah memimpin penduduk Siria
dan Irak dalam suatu ekspedisi militer ke Armenia dan Azerbaijan. Hudzayfah merasa cemas
oleh pertengkaran mereka (penduduk Siria dan Irak) tentang bacaan al-Quran. Maka berkatalah
Khudzayfah kepada Utsman: “Wahai Amir al-Mu’minin, selamatkanlah umat ini sebelum
mereka bertikai tentang Kitab (Allah), sebagaimana yang telah terjadi pada umat Yahudi dan
Nasrani pada masa lalu.”Kemudian Utsman mengirim utusan kepada Hafshah dengan pesan:
“Kirimkanlah kepada Kami shuhuf yang ada di tanganmu, sehingga bisa diperbanyak serta
disalin ke dalam mushaf-mushaf, dan setelah itu akan dikembalikan kepadamu.” Hafshah
mengirim shuhuf-nya kepada Utsman, yang kemudian memanggil Zayd ibn Tsabit, Abd Allah
ibn al-Zubayr, Sa‘id ibn al-‘Ash, dan Abd al-Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam, dan
memerintahkan mereka untuk menyalinnya menjadi beberapa mushaf. Utsman berkata kepada
tiga orang Quraisy (dalam tim) itu: “Jika kalian berbeda pendapat dengan Zayd mengenai al-

14
Taufik Adnan Amal,rekonstruksi Sejarah Al-Quran(Jakarta:Divisi Muslim demokrasi,2011)hal.183-184
15
Syaikh Muhammad Ali As-Shobuni, At-Tibyan fi ulumil QuranI,(jakarta: Darul kutub al-
Islamiyah,2003)hal.59
16
Syaikh Manna Al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran,(Jakarta: Pustaka al-kautsar,2018)hal.162
9

Quran, maka tulislah dalam dialek Quraisy, karena al-Quran itu diturunkan dalam bahasa
mereka.” Mereka mengikuti perintah tersebut, dan setelah berhasil menyalin shuhuf itu menjadi
beberapa mushaf, Utsman me-ngembalikannya kepada Hafshah. Mushaf-mushaf salinan yang
ada kemudian dikirim Utsman ke setiap propinsi dengan perintah agar seluruh rekaman tertulis
al-Quran yang ada dibakar habis.”17
Setelah selesai melakukan kodifikasi al-Quran, sejumlah salinan mushaf utsmani
dikirim ke berbagai kota metropolitan Islam. Riwayat-riwayat tentang jumlah mushaf yang
berhasil diselesaikan penulisannya dan ke kota-kota mana saja ia dikirim sangat beragam.
Menurut pandangan yang diterima secara luas, satu mushaf al-Quran disimpan di Madinah,
dan tiga salinannya dikirim ke Kufah, Bashrah dan Damaskus. Pendapat populer lainnya, yang
dipegang penulis Itqãn, menyebut lima eksemplar dan menambahkan kota Makkah ke jajaran
empat kota di atas.Sementara al-Zarqani mengemukakan bahwa mushaf yang digandakan itu
ada 6 eksemplar. Lima di antaranya dikirim ke lima kota yang baru disebutkan, dan sisanya
satu eksemplar disimpan oleh Utsman. Mushaf di tangan Utsman inilah yang kemudian dikenal
sebagai al-imam (mushaf induk).18
Pengumpulan al-Quran di masa Utsman dilakukan oleh suatu komisi yang terdiri dari
empat orang. Yang pertama dan merupakan ketua komisi pengumpulan adalah Zayd ibn Tsabit,
seorang Anshar yang sewaktu mudanya aktif sebagai sekretaris Nabi dan mencatat wahyu-
wahyu al-Quran. Zaid ditugaskan bersama Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash, dan
Abdurrahman bin Hisyam, semuanya dari kalangan muhajirin selain Zaid bin Tsabit.19
Panitia penulisan diperintahkan untuk menulis al-Quran kedalam beberapa mushaf
yang populer dengan sebutan Mashahif Utsmaniyah, dimana ejaan tulisannya populer disebut
Rasm Utsmani. Oleh karena redaksi dan ejaan tulisan Mashahif Utsmaniyah merujuk pada
shuhuf yang dikumpulkan pada masa Abu Bakar, dan mushaf pada zaman Abu Bakar yang
mencakup sab’ah ahruf merupakan kodifikasi tulisan al-Quran yang ditulis oleh para penulis
wahyu, berarti ejaan rasm Utsmani adalah sesuai dengan ejaan tulisan yang dipakai para
penulis wahyu Rasulullah.20
Tindakan Utsman memerintahkan membakar mushaf-mushaf selain yang dikirim itu
mendapat kecaman dari beberapa sahabat dan tabiin. Mereka mengecam Utsman karena dia

17
Syaikh Muhammad Ali As-Shobuni, At-Tibyan fi ulumil QuranI,(jakarta: Darul kutub al-
Islamiyah,2003)hal.61
18
Taufik Adnan Amal,rekonstruksi Sejarah Al-Quran(Jakarta:Divisi Muslim demokrasi,2011)hal.234
19
Syaikh Muhammad Ali As-Shobuni, At-Tibyan fi ulumil QuranI,(jakarta: Darul kutub al-
Islamiyah,2003)hal.61
20
Ahmad Fathoni,Metode Maisura,(Bogor:CV.Duta Grafika,2017)hal.337
10

melakukan pekerjaan yang tidak dilakukan Abu Bakar dan Umar. Mengenai Ibnu Mas’ud ada
disebutkan bahwa dia merasa sangat tersinggung karena mushaf yang diambil darinya itu
dibakar. Dia mengatakan bahwa dia lebih dulu dari Zaid bin Tsabit dalam Islam. Dia meminta
sahabat-sahabtnya mempertahankan mushaf-mushaf mereka. Usman menulis surat kepadanya
dengan mengajak mengikuti sahabat-sahabat yang lain yang sudah sama-sama menyetujui
demi kebaikan bersama dan menghindari perselisihan.
Ketika ditanya tentang pembakaran mushaf-mushaf itu, Ali bin Abi Thalib menjawab
“kalau dia tidak melakukan itu, saya yang akan melakukannya.” Sungguhpun begitu, orang
masih saja melampaui batas dalam mengecam Utsman karena memerintahkan pembakaran
mushaf-mushaf itu.21
1. Rasm Utsmani
Rasm Utsmani ialah cara penulisan kalimat atau lafaz Alquran yang telah disetujui oleh sahabat
Utsman bin Affan pada waktu penulisan masahif utsmaniyah yang berjumlah 6 buah di mana ejaannya
merujuk pada suhuf Abu Bakar dan diketahui bahwa suhu Abu Bakar adalah hasil pengumpulan atau
penyalinan dari naskah naskah para penulis Wahyu Rasulullah.22

Seiring perkembangan zaman pergerakan umat Islam semakin luas di mana akhirnya banyak
yang masuk Islam dari kalangan selain Arab seperti Persia dan juga Baduy, sementara Alquran belum
diberi tanda baca sehingga orang-orang ajami (selain Arab) banyak melakukan kesalahan dalam
membaca al-quran maka Alquran mulai diberi tanda baca berupa titik kecil bulat sebagai syakl. Tanda
baca yang berbentuk titik tersebut dinamakan naqth al-i’rab atau naqth al-harokat yakni tanda bunyi
atau nama tanda-tanda yang menunjukkan bunyi akhir suatu kata di dalam tulisan Arab yang meliputi
titik bulat satu di atas huruf menandakan Fathah (bunyi a), titik satu di bawah huruf menandakan kasrah
(bunyi i), dan titik satu di depan atau di sebelah kiri huruf menandakan dhammah (bunyi u) dan dengan
menggandakannya menandakan tanwin (bunyi nun mati). para ulama berbeda pendapat tentang orang
pertama yang membubuhkan harokat berupa titik tersebut. pendapat yang shohih menurut Ad-Dany,
Abu Daud Sulaiman Bin Najah, Abu Bakar As Sijistani dan lain-lain bahwa orang pertama yang
membubuhkan titik pada mushaf adalah Abul Aswad Ad-Duali.23

Beberapa tahun kemudian di zaman Khalifah Abdul Malik bin Marwan kesalahan membaca al-
quran kembali terjadi di Irak. Yaitu kekeliruan penyebutan huruf seperti huruf ba’, ta’,dan tsa’ dengan
berbentuk sama jika tidak diberi tanda titik. Khalifah memerintahkan Al hajjaj bin Yusuf As Tsaqafi,
yang merupakan Gubernur Irak dan kemudian ia memerintahkan seseorang Nashr bin Ashim Al laitsy
dan Yahya bin Ya’mar Al Adwani. Mereka semua murid Abul Aswad Ad duali yang kemudian

21
Muhammad Husein Haikal,Usman bin Affan,(Bogor: PT.Pustaka Litera Antarnusa,2008)hal.126-127
22
Ahmad Fathoni,Metode Maisura,(Bogor:CV.Duta Grafika,2017)hal.351
23
Ahmad Fathoni,Metode Maisura,(Bogor:CV.Duta Grafika,2017)hal.363
11

membentuk tim yang bertugas meneliti dan menganalisa kesalahan yang menyebar di tengah
masyarakat Irak kemudian menghasilkan penemuan. Pertama memberikan titik yang menunjukkan
identitas satu huruf (naqth i’jam) yang warnanya sama dengan warna Mushaf dan berbeda dengan warna
yang dibuat oleh Abul Aswad ad duali. Kedua memberikan titik tersebut tidak lebih dari tiga. Ketiga,
bentuk titik tersebut sama dengan titik Abul Aswad Ad Duali setelah pemberian tanda baca berupa
nuqath al i’jam dan juga nuqoth al i’rab pada dua generas,i mushaf Alquran dipenuhi tanda titik yang
kemudian menimbulkan kerumitan dalam membacanya. Al Kholil Ibnu Ahmad Al farahidi membuat
gagasan baru tentang tanda baca tersebut. Bukan bentuk titik dan juga bukan bentuk warna untuk
membedakan keduanya akan tetapi dalam bentuk huruf kecil, merupakan inspirasi dari huruf-huruf
hijaiyah. Adapun orang yang pertama kali menulis tentang waqaf dan ibtida adalah Syaibah bin Nashash
Al Madani al-kufi dengan judul al wuquf.24

2. Otentisitas dan integritas mushaf Utsmani


Bagi mayoritas umat Islam, terutama kaum Sunni, Al- Qur’an hasil kodifikasi pada
masa Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan (23 H/ 644 M – 35 H/ 655 M) adalah teks standar yang
historisitas dan otentisitasnya tidak mungkin diperdebatkan lagi. Hingga kini, teks tersebut
senantiasa diperlakukan individu muslim sebagai sebuah teks yang dibaca dan dikaji (recited
text), dilafalkan dalam shalat, dilantunkan dalam untaian doa dan ritus-ritus keagamaan.
Mushaf ini secara menakjubkan juga menjadi sumber pokok dalam aktivitas penafsiran yang
melibatkan bentuk, metode dan corak yang tidak mono-vokal, tetapi multi-vokal semenjak
berabad-abad lamanya.25
Tetapi, sejumlah riwayat yang sampai ke tangan kita dewasa ini juga memberitakan
eksistensi sejumlah wahyu lainnya yang tidak terekam secara tertulis di dalamnya. Material-
material yang sangat quranik ini sebagian besarnya dikemukakan dalam bahasan panjang lebar
para ulama tentang nasikh-mansukh. Sebagian lagi direkam dalam kumpulan hadits qudsi, yang
sejak awal Islam telah dipandang sebagai bukan bagian al-Quran, sekalipun sama-sama
bersumber dari Tuhan.
Secara garis besarnya, terdapat tiga kategori utama dalam berbagai bahasan tentang
nasikh-mansukh:
a. wahyu yang terhapus baik hukum maupun bacaannya di dalam mushaf (naskh al-hukm wa
al-tilawah);
b. wahyu yang hanya terhapus hukumnya, sementara teks atau bacaannya masih terdapat di
dalam mushaf (naskh al-hukm duna al-tilawah); dan

24
Ahmad Fathoni,Metode Maisura,(Bogor:CV.Duta Grafika,2017)hal.339
25
Andar Nubowo,Teori Kodifikasi Mushaf Usmani: Telaah Kritis Atas Karya Régis Blachère,vol.10,hal.96
12

c. wahyu yang terhapus teks atau bacaannya, tetapi hukumnya masih berlaku (naskh al-tilawah
duna al-hukm).
Dari ketiga kategori di atas, hanya kategori pertama dan terakhir yang relevan serta
berkaitan secara langsung dengan masalah otentisitas dan integritas mushaf yang ada di tangan
kita dewasa ini karena keduanya sama-sama menyiratkan tidak direkamnya sejumlah wahyu
secara tertulis ke dalam mushaf tersebut. Sekalipun demikian, wahyu-wahyu yang dinyatakan
“terhapus” ini sebagiannya masih sempat direkam dalam sejumlah hadits serta riwayat
lainnya.26
Di dalam dunia Islam sendiri muncul keraguan di kalangan sekte-sekte tertentu
terhadap integritas mushaf utsmani. Keraguan semacam ini pada faktanya tidak dipijakkan
pada kritik historis atau kajian ilmiah yang mendalam tentangnya, tetapi lebih bertumpu pada
prasangka terhadap keyakinan yang tidak boleh dipersoalkan. Jadi, sekelompok Mu‘tazilah
yang saleh mengemukakan keraguan mereka terhadap bagian-bagian tertentu al-Quran – yang
berisi hujatan-hujatan kepada musuh-musuh Nabi – sebagai non-ilahiah, dan dengan demikian
bukan merupakan bagian integral kitab suci tersebut. Bagi mereka, tidak mungkin suatu
pekabaran mulia yang berasal dari “luh yang terpelihara” memuat hal-hal semacam itu.
Demikian pula, sekte Maimuniyah dari aliran Khawarij menolak eksistensi surat 12 (Yusuf)
sebagai bagian kitab suci al-Quran, karena surat ini – menurut mereka – berisi kisah cinta yang
tidak patut dikategorikan sebagai wahyu al-Quran.
Berbeda dengan kecenderungan di atas, yang mempermasalahkan penambahan-
penambahan di dalam mushaf utsmani, kalangan tertentu dalam sekte Syi‘ah menuduh bahwa
Utsman telah menggantikan dan tidak mencakupkan ke dalam kodifikasinya sejumlah besar
bagian al-Quran, baik dalam bentuk surat, ayat, dan bahkan kata-kata tertentu. Istilah yang
biasanya digunakan untuk mengemukakan berbagai tuduhan ini adalah tabdil ( penggantian)
atau tahrif (penyimpangan) Jika di kalangan sekte-sekte Islam lainnya merebak pandangan
bahwa bagian-bagian al-Quran yang dipermasalahkan otentisitasnya itu masuk ke dalam
mushaf utsmani lantaran ketidaksengajaan atau kealpaan para pengumpul al-Quran, maka
kalangan tertentu Syi‘ah melihatnya sebagai hal yang tendensius dan mencerminkan niat jahat
kolektornya.27
Kajian-kajian modern tentang al-Quran di kalangan sarjana Barat dalam kenyataannya
belum memunculkan masalah serius sehubungan dengan keaslian dan integritas al-Quran yang

26
Taufik Adnan Amal,rekonstruksi Sejarah Al-Quran(Jakarta:Divisi Muslim demokrasi,2011)hal.260-261
27
Taufik Adnan Amal,rekonstruksi Sejarah Al-Quran(Jakarta:Divisi Muslim demokrasi,2011)hal.270-271
13

ada di tangan kita dewasa ini. Sejumlah sarjana barat memang telah mengajukan dugaan-
dugaan tentang pemalsuan bagian-bagian tertentu kitab suci tersebut yang dilakukan secara
sengaja, tetapi argumen-argumen yang dikemukakan untuk menopang tuduhan itu tampaknya
tidak begitu substansial dan bisa dikesampingkan secara sederhana.28
Untuk memahami tiap fase kesejarahan Al-Qur’an, seseorang mesti membutuhkan
bantuan dokumen, baik berupa tradisi riwayat ataupun bukti arkeologis. Sayangnya, dokumen-
dokumen yang merekam fakta Al-Qur’an tersebut acap kali tidak memberikan bukti keamanan
yang memadai, karena kontradiksi dan ketidakserasiannya. Dalam konteks sejarah
pengumpulan Al-Qur’an, riwayat yang diberitakan oleh Ibn Syihab al-Zuhri dari Anas bin
Malik merupakan dokumen paling dominan dan populer untuk menggambarkan kembali
sejarah pengumpulan Al-Qur’an.29 Terdapat perbedaan pemahaman antara sarjana Muslim dan
Barat terhadap subjek yang sama dalam banyak hal. Sarjana Muslim tidak merasa cukup untuk
menggambarkan kembali keseluruhan sejarah pengumpulan teks Mushaf Usmani hanya
dengan riwayat Bukhari saja, akan tetapi mereka membutuhkan penggarapan dan dukungan
dari riwayat-riwayat lain. Sebaliknya, sarjana-sarjana Barat sering kali menampakkan rasa
tidak simpatik, curiga, dan niat yang samar dengan menghadirkan riwayat-riwayat “aneh” dan
berkebalikan dengan riwayat Bukhari yang diterima mayoritas sarjana dan umat Islam.30
D. Kesimpulan
Teori paling populer di kalangan ortodoksi Islam tentang pengumpulan pertama al-
Quran secara tertulis adalah bahwa upaya semacam ini secara resmi baru dilakukan pada masa
kekhalifahan Abu Bakar. Sebelumnya al-Quran belum terhimpun di dalam satu mushaf
sekalipun terdapat fragmen-fragmen wahyu ilahi yang berada dalam pemilikan sejumlah
sahabat.
Dimasa Utsman ada 4 Mushaf sahabat yang sangat berpengaruh dikalangan masyarakat
arab. Empat Mushaf itu adalah: Pertama, Mushaf Ubay bin Ka’ab yang kumpulan Al Qurannya
tersebar didaerah Syiria. Kedua, Mushaf Abdullah bin mas’ud yang Mushafnya mendominasi
daerah Kuffah. Ketiga, Mushaf Abu musa al-asy’ari yang Mushafnya mendominasi daerah
Basroh. Keempat, Mushaf Ibnu Abbas yang juga sangat berpengaruh dikalangan Jazirah Arab.
Rasm Utsmani ialah cara penulisan kalimat atau lafaz Alquran yang telah disetujui oleh sahabat
Utsman bin Affan pada waktu penulisan masahif utsmaniyah yang berjumlah 6 buah di mana ejaannya

28
Taufik Adnan Amal,rekonstruksi Sejarah Al-Quran(Jakarta:Divisi Muslim demokrasi,2011)hal.286
29
Andar Nubowo,Teori Kodifikasi Mushaf Usmani: Telaah Kritis Atas Karya Régis Blachère, 2014, vol.10,hal.101
30
Andar Nubowo,Teori Kodifikasi Mushaf Usmani: Telaah Kritis Atas Karya Régis Blachère, 2014, vol.10,hal.105
14

merujuk pada suhuf Abu Bakar dan diketahui bahwa suhu Abu Bakar adalah hasil pengumpulan atau
penyalinan dari naskah naskah para penulis Wahyu Rasulullah.
Bagi mayoritas umat Islam, terutama kaum Sunni, Al- Qur’an hasil kodifikasi pada
masa Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan (23 H/ 644 M – 35 H/ 655 M) adalah teks standar yang
historisitas dan otentisitasnya tidak mungkin diperdebatkan lagi. Untuk memahami tiap fase
kesejarahan Al-Qur’an, seseorang mesti membutuhkan bantuan dokumen, baik berupa tradisi
riwayat ataupun bukti arkeologis.

DAFTAR PUSTAKA

Al Qaththan, Manna, 2018, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran, Jakarta: Pustaka al-kautsar

Amal, Taufik Adnan, 2011 ,Rekonstruksi Sejarah Al-Quran, Jakarta:Divisi Muslim


demokrasi

As-Shobuni, Muhammad Ali, 2003, At-Tibyan fi ulumil QuranI, jakarta: Darul kutub al-
Islamiyah

Fathoni, Ahmad, 2017, Metode Maisura, Bogor:CV.Duta Grafika

Haikal, Muhammad Husein, 2008, Usman bin Affan, Bogor: PT.Pustaka Litera Antarnusa

Nubowo, Andar, 2014, Teori Kodifikasi Mushaf Usmani: Telaah Kritis Atas Karya Régis
Blachère, vol.10

Anda mungkin juga menyukai