Anda di halaman 1dari 32

SOAL-SOAL UJIAN KOMPREHENSIF

PASCASARJANA UIN
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI

MATERI UJIAN KOMPREHENSIF


PASCASARJANA UIN SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
MATA UJI STANDAR KEISLAMAN

NAMA : SURYAN

NIM : MPA. 18.2937

PRODI : MPI/PAI
MATERI UJIAN KOMPREHENSIF

PASCASARJANA IAIN SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI

MATA UJI STANDAR KEISLAMAN

BIDANG STUDI ALQUR’AN

SOAL-SOAL

1. Jelaskan defenisi al-Qur’an dan sejarah singkat perkembangannya (dari klasik


hingga modern)

Jawab :

Al-Qur'an, Qur'an, atau Quran (bahasa Arab: ‫رآن‬,,,‫الق‬,  translit.  Al Qurʾān, artinya


'bacaan'; /kɔːrˈɑːn/kor-AHN), adalah sebuah kitab suci utama dalam agama Islam, yang
umat Muslim percaya bahwa kitab ini diturunkan oleh Tuhan, (bahasa Arab: Allah,
yakni Allah) kepada Nabi Muhammad. Kitab ini terbagi ke dalam beberapa surah (bab)
dan setiap surahnya terbagi ke dalam beberapa ayat.

Menurut ahli sejarah beberapa sahabat Nabi Muhammad memiliki tanggung jawab
menuliskan kembali wahyu Allah berdasarkan apa yang telah para sahabat
hafalkan. Setelah Nabi Muhammad wafat, para sahabat segera menyusun dan menuliskan
kembali hafalan wahyu mereka. Penyusunan kembali Al-Qur'an ini diprakarsai oleh
Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq atas usulan dari Umar bin Khattab dengan persetujuan
para sahabat senior.

Al-Qur’an menjelaskan sendiri bahwa isi dari Al-Qur’an adalah sebuah petunjuk.
Terkadang juga dapat berisi cerita mengenai kisah bersejarah, dan menekankan
pentingnya moral. Al-Qur’an digunakan bersama dengan hadis untuk menentukan hukum
syari'ah. Saat melaksanakan Salat, Al-Qur’an dibaca hanya dalam bahasa Arab. Beberapa
pakar Barat mengapresiasi Al-Qur’an sebagai sebuah karya sastra bahasa Arab terbaik di
dunia.

Al-Qur'an tidak turun secara sekaligus dalam satu waktu melainkan berangsur-angsur
supaya meneguhkan diri Rasul. Menurut sebagian ulama, ayat-ayat al-Qur'an turun secara
berangsur-angsur dalam kurun waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari; dan ada pula sebagian
ulama lain yang berpendapat bahwa Al-Qur'an diwahyukan secara bertahap dalam kurun
waktu 23 tahun (dimulai pada 22 Desember 603 M). Para ulama membagi masa turunnya
ini dibagi menjadi dua periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah yang
membentuk penggolongan surah Makkiyah dan surah Madaniyah. Periode Mekkah
berlangsung selama 12 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan surah-surah yang turun
pada waktu ini tergolong surah Makkiyyah. Sementara periode Madinah yang dimulai
sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surah yang turun pada kurun
waktu ini disebut surah Madaniyah. Ilmu Al-Qur'an yang membahas mengenai latar
belakang maupun sebab suatu ayat atau beberapa ayat al-Qur'an diturunkan disebut
Asbabun Nuzul.

Penulisan ayat-ayat al-Qur'an dilakukan serta diselesaikan pada masa nabi Muhammad
yang merupakan seorang Arab, Pertanggungjawaban isi Al-Qur'an berada pada Allah,
sebab kemurnian dan keaslian Al-Qur'an dijamin oleh Allah. Sementara itu sebagian ahli
tafsir berpendapat bahwa transformasi Al-Qur'an menjadi teks saat ini tidak diselesaikan
pada zaman nabi Muhammad, melainkan proses penyusunan Al-Qur'an berlangsung
dalam jangka waktu lama sejak masa Khulafaur Rasyidin hingga khalifah Utsman bin
Affan.

Menurut riwayat para ahli tafsir, ketika Nabi Muhammad masih hidup, terdapat beberapa
orang yang ditunjuk untuk menulis Al-Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi
Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap
menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan
saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana,
potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung
menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.

Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam perang yang
dikenal dengan nama Perang Riddah) yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal
Al-Qur'an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat
khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan
seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar lantas
memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksanaan tugas tersebut. Setelah
pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya
diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya
kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya,
selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafshah yang juga istri Nabi
Muhammad.

Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman
dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya
perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini
menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat
sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan
sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah
cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan
standardisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan
diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil
mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam pada masa depan
dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.

Menurut Syaikh Manna' Al-Qaththan dalam Mahabits fi 'Ulum Al-Qur'an, bahwa apa


yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat. Demikianlah selanjutnya
Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada
padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish,
yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin
Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika
ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Quraisy tersebut, hendaklah ditulis dalam
bahasa Quraish karena Al-Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka. Namun terdapat
keterangan bahwa dialek bahasa yang dipergunakan di Al-Qur'an merupakan dialek Arab
murni.

Di era modern hingga sekarang upaya-upaya untuk mengetahui isi dan maksud Al-Qur'an
telah menghasilkan proses penerjemahan (literal) dan penafsiran (lebih dalam, mengupas
makna) dalam berbagai bahasa. Namun hasil usaha tersebut dianggap sebatas usaha
manusia dan bukan usaha untuk menduplikasi ataupun mengganti teks yang asli
dalam bahasa Arab, sebab teks yang asli memiliki ciri kebahasaan dan berbagai istilah
khusus yang tidak ditemui dalam terjemahan bahasa lain. Dengan demikian, kedudukan
terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidaklah sama dengan Al-Qur'an itu sendiri.

2. Sebutkan karakteristik ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah serta peranannya dalam


pemahaman kandungan Al-Qur’an !.

Jawab :

Untuk membedakan makki dan madani, para ulama mempunyai tiga pandangan yang
masing-masing mempunyai dasarnya sendiri. Dari segi waktu turunnya.
Makkiyah : Yang diturunkan sebelum hijrah meskipun bukan di mekah. Madaniyah :
Yang diturunkan sesudah hijrah sekalipun bukan di madinah. Dari segi tempat turunya.
Makkiyah : Yang diturunkan di makah dan sekitarnya seperti, mina, arafah, dan
hudaibiyah. Madaniyah : Yang diturunkan di madinah dan sekitarnya seperti, uhud, quba,
dan sil. Dari segi sasaranya Makkiyah : Ialah yang seruanya ditujukan kepada penduduk
makkah. Madaniyah : Ialah yang seruanya ditujukan kepada penduduk madinah.

Para ulama telah meneliti surat-surat makiyah dan madaniyah, dan menyimpulkan
beberapa ketentuan bagi keduanya, yang menerangkan ciri-ciri khas gaya bahasa dan
persoalan-persoalan yang dibicarakanya. Dari situ mereka dapat menghasilkan kaidah-
kaidah dengan ciri-ciri tersebut.

MAKIYAH
Setiap surat yang di dalamnya mengandung ayat-ayat “sajdah” Surah yang mengandung
lafal “kalla”. Lafal ini juga hanya terdapat dalam separuh terakir dalam al-qur’an. Surah
yang mengandung “ya ayyuhan nas”, dan tidak “ya ayyuhal lazina amanu” adalah
makiyah, kecuali surrah al-hajj yang pada akhir surah terdapat “ya ayyuhal lazina
amanur-ka’u was judu”. Namun demikian sebagian ulama berpendapatbahwa ayat
tersebut adalah ayat makiyah. Setiap surah yang mengandungkisah para nabi dan umat
terdahulu adalah makiyah, kecuali surat al-baqoroh. Setiap surat yang mengandung kisah
adam dan iblis merupakan makiyah, kecuali surat al-baqoroh. Setiap surah yang dibuka
dengan huruf-huruf singkatan, seperti alif lam mim, alim lam ra, ha mim, dan lain-lain.
Kecuali surat al-baqoroh dan ali ‘imron. Sedangkan surat Ra’d masih diperselisihkan. Ini
adalah dari segi ketentuan. Sedang dari segi ciri tema dan gaya bahasa dapatlah kita
ringkas sebagai berikut : 1). Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada allah,
pembuktian risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengerianya,
neraka dan siksanya, surga dan nikmatnya, argumentasi terhadap orang musyrik engan
menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniyah. 2). Peletakan dasar-dasar
umum bagi perundang-undangan dan akhlak muia yang menjadi dasar terbentuknya suatu
masyarakat, dan menyingkapkan dosa orang musyrik dalam penumpahan darah,
memakan harta anak yatim secara dholim, penguburan hidup-hidup bayi perempuan, dan
tradisi buruk lainya. 3). Menyebutkan kisah-kisah para nabi dan umat-umat terdahulu
sebagai pelajaran bagi merekasehingga mengetahui nasib orang-orang yang mendustai
sebelum mereka. Dan juga sebagai hiburan bagi rosulullah sehingga beliau tabah dalam
menghadapi gangguan mereka dan yaqin akan menang. 4). Suku katanya pendek-pendek
disertai kata-kata yang sangat mengesankan, pernyataanya singkat, ditelinga terasa
menembus dan terdengar sangat keras, menggetarkan hati, dan maknanya pun
meyakinkan denagn diperkuat lafal-lafal sumpah, seperti surah-surah yang pendek.
MADANIYAH

Setiap surah yang berisi kewajiban atau had (sanksi). Setiap surah yang di dalamnya
disebutkan orang-orang munafik, kecuali surah al-ankabut adalah makiyah.
Setiap surah yang di dalamnya terdapat dialog dengan ahli kitab. Ini dari segi ketentuan,
sedangkan dari cri khas tema dan gaya bahsa, dapatlah diringkas sebagai berikut : 1).
Menjelaskan ibadah, mu’amalah, had, kekeluargaan, waris, jihad, hubungan sosial,
hubungan internasional, baik diwaktu damai maupun perang, kaidah hukum, dan masalah
perundang-undangan. 2). Seruan terhadap ahli kitab dari kalangan yahudi dan nasrani,
dan ajakan pada mereka untuk masuk islam, penjelasan penyimpangan mereka terhadap
kitab-kitab allah, permusuhan mereka terhadap kebenaran dan perselisihan mereka
setelah ilmu datang kepada mereka, karena rasa dengki diantara mereka. 3). Menyingkap
perilaku orang-orang munafik, menganalisis kejiwaanya, membuka kedoknya, dan
menjelaskan bahwa ia berbahaya bagi agama. 4). Suku kata dan ayatnya pnjang-panjang
dan dengan gaya bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan
sasaranya.

Pengetahuan tentang makiyah dan madaniyah banyak faedahnya, diantaranya sebagai


berikut : Untuk dijadikan alat bantu dalam menafsirkan al-quran, sebab pengetahuan
tentang tempat turun ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan menafsirkan
dengan tafsiranyang tepat, sekalipun yang menjadi pegangan adalah pengertian umum
lafadz, bukan sebab yang khusus. Berdasar hal itu maka seorang penafsir dapat
membedakan antara ayat yang nasikh dan yang mansukh bila diantara kedua ayat terdapat
makna yang kontradiktif. Yang datang kemudian tentu merupakan nasikh atas yang
dahulu. Meresapi gaya bahasa al-qur’an dan memanfaatkanya dalam metode dakwah
menuju jalan Allah, sebab setiap situasi mempunyai bahasa tersendiri. Memperhatikan
apa yang diehendaki situasi, merupakan arti paling khusus dalam ilmu retorika.
Karakteristik gaya bahasa makiyah dan madaniyah dalam al-qur’an pun memberikan
kepada orang yang mempelajarinya sebuah metode dalam penyampaian dakwa ke jalan
allah yang sesuai dengan kejiwan lawan berbicara dan menguasai pikiran dan perasaanya
serta menguasai apa yang ada dalam dirinya dengan penuh kebijaksanaan. Setiap tahapan
dakwah mempunyai topik dan pola penyampaian sendiri. Pola penyampaian itu berbeda-
beda, sesuai perbedaan tata cara, keyakinan, dan kondisi lingkungan. Hal yang demikian
nampak jelas dalam berbagai cara al-qur’an menyeru berbagai golongan, orang yang
beriman, orang musyrik, munafik, dan ahli kitab. Mengetahi sejarah hidup nabi melalui
ayat-ayat al-qur’an, sebab turunya wahyu kepada rosul itu sejalan dengan sejarah dakwah
dengan segala , baik periode makkah maupun madinah, sejak permulaan turun wahyu
hingga ayat terakhir diturunkan. Al-qur’an merupakan sumber pokok bagi peri hidup
rosul. Peri hidup beliau yang diriwayatkan ahli sejarah harus sesuai dengan al-qur’an.
Dan al qur’an pun memberikan kata putus terhada perbedaan riwayat yang mereka
riwayatkan.
3. Dalam Kajian Ashab Al Nuzul dikenal dua kaidah, yaitu al-ibrah bi umum al-lafzh
la bi khusush al –sabab dan al-ibrah bi khusush al –sabab la bi’umum al-lafzh , apa
dan bagaimana cara kerja kedua kaidah ini dalam pemahaman al-qur’an?

Jawab :

Al-‘Ibrah bermakna al-‘izhah yang berarti peringatan, tauladan atau pelajaran.


Maka al’ibrah biumumil lafzhi la bikhushushis sababi  ialah mengambil pelajaran atau
hukum dari keumuman lafzh, bukan dari kekhususan sebab. Lebih jelasnya yakni bila
sebuah ayat turun karena suatu sebab yang khusus sedangkan lafazhnya umum (general),
maka hukum yang terkandung dalam ayat tersebut mencakup sebabnya tersebut dan
setiap hal yang dicakup oleh makna lafazhnya, karena al-Qur’an turun sebagai syari’at
umum yang menyentuh seluruh umat sehingga yang menjadi tolok ukur/standar adalah
keumuman lafazhnya tersebut, bukan kekhususan sebabnya.

Ada 3 pokok kandungan yang terambil dari kaidah Al-Ibrah bi umumil-lafdz la bi khusus


as-sabab : 1). Yang  jadi hujjah adalah lafaznya bukan peristiwa yang mengitari ayat itu.
2). Lafazh haruslah diberlakukan secara umum, kecuali ada dalil yang mengharuskan ia
dipahami khusus. 3). Para sahabat salalu berhujjah dengan lafaz umum, walaupun mereka
sudah tahu sebab-sebab khususnya.

Syaikh As-sa’di mengatakan bahwa kaidah ini dengan mengambil kesimpulan dari suatu
ayat dengan melihat keumuman dari ayat bukan dari sebab turunnya suatu ayat,
merupakan kaidah yang sangat bermanfaat. Ketika seseorang menguasai kaidah ini,
niscaya akan bertambah padanya ilmu dan kebaikan yang banyak, namun jika tidak maka
ia akan terjatuh kepada kesalahan dan kerancuan.

Kaidah ini merupakan kaidah yang telah ditetapkan oleh para ulama dan mereka
bersepakat atas benarnya kaidah ini. Dimana kesimpulan dan makna suatu ayat tidak
hanya dibatasi dengan asbabul nuzulnya suatu ayat, akan tetapi melihat secara umum
maksud ayat yang diinginkan. Sehingga ketika suatu ayat mempunyai asbabul nuzul,
bukan berarti ayat itu hanya khusus diperuntukkan bagi orang yang terlibat di dalamnya,
begitu pula ketika asbabul nuzul suatu ayat berkaitan dengan para sahabat, bukan berarti
maksud dari ayat tersebut adalah hanya untuk para sahabat. Akan tetapi semua ayat, baik
yang mempunyai asbabul nuzul ataupun tidak, maka hal tersebut diperuntukkan bagi
seluruh manusia, tidak hanya terbatas pada sahabat atau orang-orang pada jaman mereka,
akan tetapi diperuntukkan bagi seluruh umat manusia di setiap tempat dan waktu.

4. Jelaskan perbedaan pendapat ulama tentang konsep naskah dalam Al-Quran dan
signifikasinya!
Jawab :

Pengertian naskh secara etimologis memiliki beberapa pengertian, yaitu :


penghapusan/pembatalan (al-izalah atau al-ibthal), pemindahan (al-naql),
pengubahan/penggantian (al-ibdal), dan pengalihan (al-tahwil atau al-intiqal). Berkaitan
dengan pengertian tersebut, maka nasikh (isim fa`il) diartikan sesuatu yang membatalkan,
menghapus, memindahkan, dan memalingkan. Sedangkan mansukh (isim maful) adalah
sesuatu yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan, diganti, dan dipalingkan.

Terdapat perbedaan pendapat antara ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin dalam


mendefinisikan nasakh secara terminologis. Perbedaan pendapat tersebut bersumber pada
banyaknya pengertian nasakh secara etimologi sebagaimana dijelaskan di atas.

Cakupan makna yang ditetapkan ulama mutaqoddimin di antaranya: 1) Pembatalan


hukum yang ditetapkan sebelumnya dengan hukum yang ditetapkan kemudian; 2)
Pengecualian/pengkhususan hukum bersifat `am/umum oleh hukum yang lebih khusus
yang datang setelahnya; 3) Bayan atau penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum
yang bersifat samar; 4) Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
Berdasarkan pada gugusan paparan di atas, ulama mutaqaddimin secara terminologis
mengusung makna nasakh secara luas, yaitu tidak terbatas pada berakhir atau terhapusnya
suatu hukum baru yang ditetapkan. Namun interprestasi nasakh yang diusung oleh
mereka juga menyangkut yang bersifat pembatasan, pengkhususan, bahkan pengecualian.
Sementara menurut ulama mutaakhirin, nasakh adalah dalil yang datang kemudian,
berfungsi untuk menggugurkan dan menghilangkan hukum yang pertama.

Sementara itu, menurut az-Zarqani, sebagaimana dinukil Moh. Nur Ichwan, yang
dimaksud dengan terminologi “menghapuskan” dalam definisi tersebut adalah
terputusnya hubungan hukum yang dihapus dari seorang mukallaf dan bukan terhapusnya
subtansi hukum itu sendiri. Dalam arti bahwa semua ayat al-Quran tetap berlaku, tidak
ada kontradiksi. Yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu
karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian, ayat hukum yang tidak berlaku lagi
baginya tetap berlaku bagi orang lain yang sama dengan kondisinya dengan mereka.

5. Menurut Fazlur Rahman ,konsep perkawinan dalam Al-Qur’an cenderung


mendukung prinsip monogamy ,jelaskan alasannya dan bagaimana pendapat
saudara!

Jawab :

Dalam Islam hanya dikenal dua bentuk perkawinan, yaitu monogami dan poligami.
Monogami merupakan perkawinan seseorang pria dengan wanita, sedangkan poligami
adalah seorang pria menikah dengan lebih satu orang perempuan dalam waktu
bersamaan. Meski poligami bukanlah merupakan hal yang baru bagi umat Islam, tapi ia
selalu menjadi isu aktual penuh kontroversi terutama di kalangan para fuqaha dan
pemikir Muslim. Oleh karena itu poligami tergolong kepada masalah
khilafiyah dan ijtihadiyah. Mayoritas ulama memandang bahwa poligami dibolehkan
tanpa persyaratan yang ketat. Namun lain halnya dengan Fazlur Rahman. Ia memandang
bahwa poligami sesungguhnya dilarang oleh Islam, kecuali dalam kondisi tertentu.
Bagaimana sesungguhnya pemikiran Fazlur Rahman mengenai Poligami.

Penelitian ini didasarkan kepada pemikiran bahwa perkawinan dalam Islam tidak
dianggap sekedar sebagai sarana untuk menyatakan jasmani pria dan wanita., tetapi lebih
jauh dari itu yakni untuk membentuk sebuah rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa
rahmah, Sementara itu poligami adalah tergolong kepada masalah khilafiyah dan
ijtihadiyah, yakni memberikan peluang untuk dilakukan penetapan hukum melalui proses
pemikiran ulama yang metodologis dan sistematis yang disebut ijtihad. Ijtihad perlu
dilakukan karena al Qur’an dan al Sunnah tidak mengatur segalanya, di samping itu tidak
semua nash al Qur’an dan al Sunnah bersifat qath’iy al dhilalah, melainkan terdapat
juga dhanniy al dhilalah yang harus ditafsirkan dengan menggunakan metode-metode
ijtihad yang valid.

Dari analisis yang dikemukakan oleh para ahli di atas dapat ditarik kesimpulan terkait
perbedaan yang terjadi dalam masalah kebolehan poligami ini mengerucut pada
perbedaan cara penafsiran ayat poligami. Kelompok yang pro poligami, dalam hal ini
diwakili ulama mazhab dan pemerintah Indonesia yang dimanifestasikan dalam UU No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) atau Inpres No. 1
Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, melihat dan memahami ayat poligami
secara tekstual. Sedangkan kelompok yang kontra dengan poligami yang diwakili oleh
Fazlur Rahman dan   Siti Musdah Mulia melalui CLD-KHI-nya, melihat dan memahami
ayat poligami secara kontekstual dengan mempertimbangkan kesesuaian keadaan yang
tepat.

Fazlur Rahman melalui teori double movement nya memahami larangan poligami melalui


ideal moral yang terdapat dalam ayat poligami. Dan ideal moral yang dimaksud adalah
monogami karena ia menilai pada saat ini penerapan monogami sudah seharusnya
diterapkan setelah adanya pembatasan empat istri di zaman nabi. Hal yang sama juga
dikemukakann Siti Musdah Mulia yang dituangkan dalam CLD-KHI terkait pelarangan
poligami dengan berdasar pada kontekstual ayat dan mengedepankan maslahah yang
dalam hal ini adalah kesetaraan gender.

MATERI UJIAN KOMPREHENSIF

PASCASARJANA IAIN SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI

MATA UJI STANDAR KEISLAMAN

BIDANG STUDI AL -HADITS

SOAL-SOAL

1. Jelaskan defenisi studi hadits dan mengapa dalam beberapa kajian ia diistilahkan
juga dengan nama ushul hadits, musthalah al hadits dan qawaid hadits!

Jawab:

Ilmu hadits adalah ilmu tentang hadits. Ali Ibn Muhammad Al Jurjani mendefinisikan,
ilmu adalah keyakina pasti yang sesuai dengan pernyataan, atau mengetahui sesuatu yang
dikehendakinya. Menurut Kamus besar Bahasa Indonesia, ilmu adalah kepandaian
tertentu atau pengetahuan tentang sesuatu bidang.  Ilmu juga diartikan sebagai kumpulan
pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan sistemik, dalam bidang atau disiplin
tertentu, serta memiliki obyek kajian yang jelas.

Sementara hadits diartikan oleh Jumhurul Muhaditsin dengan sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan
sebagainya. Dengan demikian ilmu hadits adalah ilmu yang mempelajari tentang segala
hal yang berkaitan dengan hadits.

Ushul Hadis adalah Sebuah ilmu mengenai dasar-dasar dan kaidah-kaidah untuk


mengetahui keadaan sanad dan matan ditinjau dari sisi diterima dan tertolaknya. Imam
Nawawi rahimahullah berkata : ilmu ushul hadist termasuk ilmu akhirat, bukan ilmu
dunia.

Musthalah Hadits, ialah ilmu tentang pokok-pokok dan kaidah-kaidah yang digunakan
untuk mengetahui kondisi sanad dan matan hadits, dari sisi diterima atau ditolak.
Sedangkan obyek pembahasannya adalah sanad dan matan, dari sisi diterima atau ditolak.
Manfaatnya, dapat membedakan hadits yang shahih dan dha’if.

Qawaid al-Tahdits adalah kata majemuk (idhafat) yang berasal dari dua


kata Qawaid dan al-Tahdits. Qawaidkata jamak yang berasal dari
kata qaidah yang memiliki arti peraturan, prinsip, atau kaidah. Dalam Bahasa
Indonesia disebut sebagai kaidah yang berarti rumusan asas-asas yang menjadi
hukum; aturan yang tentu; patokan; dalil. Kaidah juga dapat diartikan sebagai
rumusan atau kumpulan dari berbagai teori. Sementara al-tahdits berarti
pengkabaran, periwayatan atau narasi yang berasal dari kata tahaddatsa yang
dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai bercakap-cakap atau berbicara.

2. Mengapa hadits belum di kodifikasikan pada zaman Nabi, kapan ia di


kodisifikasikan secara resmi dan apa latar belakang dan siapa penggagasnya ?
Jawab :

Pada abad pertama Hijriah sampai hingga akhir abad petama Hijriah, hadist-hadist itu
berpindah dari mulut kemulut, masing-masing perawi meriwayatkannya berdasarkan
kepada kekuatan hapalannya. Saat itu mereka belum mempunyai motif yang kuat untuk
membukukan hadist, karna hapalan mereka terkenal kuat.

Namun demikian, upaya perubahan dari hapalan menjadi tulisan sebenarnya sudah
bekembang disaat masa Nabi. Setelah Nabi wafat, pada masa Umar Bin Khattab menjadi
Khalifah ke-2 juga merencanakan meghimpun hadist-hadist Rasul dalam satu kitab,
namun tidak diketahui mengapa niat itu batal atau urung dilaksanakan.

Dikala kendali Khalifah dipegang oleh Umar Bin Abdul Aziz yang dinobatkan dalam
tahun 99 Hijriah, seorang khalifah dari Dinasti Umaiyah yang terkenal adil dan wara’,
sehingga beliau dikenal sebagai Khalifah Rasyidin yang kelima, tergerak hatinya
membukukan hadist karna dia khawatir para perawi yang membendaharakan hadist
didalam dadanya telah banyak yang meninggal, apabila tidak dibukukan akan lenyap dan
dibawa oleh para penghafalnya kedalam alam barzah dan juga semakin banyak kegiatan
pemalsuan hadist yang dilakukan yang dilatar belakangngi oleh perbedaan politik dan
perbedaan mazhab dikalangan umat islam dan semakin luasnya daerah kekuasaan islam
maka semakin komplek juga permasalahan yang dihadapi umat islam.

Sejarah penghimpunan hadist secara resmi dan massal baru terjadi setelah Khalifah Umar
Bin Abdul Aziz memerintahkan kepada ulama dan para tokoh masyarakat untuk
menuliskannya. Dikatakan resmi karena itu merupakan kebijakan kepala negara dan
dikatakan massal karena perintah diberikan kepada para gubernur dan ahli hadist.
Diantara gubernur madinah yang menerima instruksi untuk mengumpulkan dan
menuliskan hadist yaitu Abu Bakar ibn Hazm, Umar Bin Abdul Azis.

Sistem pembukuan Hadist pada awal pembukuannya agaknya hanya sekedar


mengumpulkan saja tampa mperdulikan selektifitas terhadap susunan Hadist Nabi,
apakah termasuk didalamnya fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in,“Ulama diperiode ini
cendrung mencampur adukkan antara hadist Nabi dengan Fatwa Sahabat dan Tabi’in,
mereka belum mengklasifikasikan kandungan nash-nash menurut kelompoknya”. Dengan
demikian pembukuan hadist pada masa ini boleh dikatakan cendrung masih bercampur
baur antara hadist dengan fatwa sahabat dan tabi’in.

Kitab-kitab yang disusun pada periode ini jumlahnya relatif sedikit yang sampai kepada
umat islam hari ini, diantara karya monumental yang dihasilkan oleh karya terdahulu
yang sampai pada masyarakat muslim saat ini adalah :
1. Al Muwatha, oleh Imam Malik
2. Al Musnad, Oleh Imam Syafi’i
3. Iktilaf Al Hadist, oleh Imam Syafi’i

Hadist ini dipandang unggul dan menempati kedudukan istimewa dikalangan para ahli
Hadist dan penggiat ilmu ini.

3. Jelaskan pembagian hadits dari sudut kualitas dan kuantitas perawinya dan
berikan contoh masing-masing!

Jawab :

Secara Kualitas

Hadis dari segi kualitasnya terbagi menjadi dua macam yaitu hadis maqbul dan hadis
mardud adapun hadis maqbul ialah hadis yang unggul pembenaran pemberitaanya, dalam
hal ini hadis maqbul ialah hadis yang mendapat dukungan bukti-bukti dan membuat
unggul itu adalah dugaan pembenaran. Dan sedangkan hadis mardud ialah hadis yang
ditolak atau tidak diterima, jadi hadis mardud ialah ialah hadis yang tidak unggul
pembenaran dan pemberitannya, adapun pembagiannya dapat tergambar pada bagian di
bawah ini:

Hadits Shahih

Kata shahih berasal dari bahasa arab as- shahih bentuk pluralnya ashihha’ berakar kata
pada shahha, yang berarti selamat dari penyakit. Para ulama mengatakan hadis shahih
hadis yang sanadnya tersambung dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari yang sama,
sampai berakhir pada Rasulullah SAW. atau Sahabat atau Tabi’in bukan hadis
yang syadz (kontroversial) dan terkena ‘illat yang cacat pada penerimaannya. Hadis sahih
adalah hadist yang bersambung sampai kepada nabi Muhammad serta didalam hadis
tersebut tidak terdapat kejanggalan dan cacat.

Contoh hadis shahih Dari Abu Hurairah r.a. beliau berkata : Rasulullah s.a.w. bersabda :
“Setiap sendi tubuh badan manusia menjadi sedekah untuknya pada setiap hari matahari
terbit, kamu melakukan keadilan diantara dua orang yang berselisih faham adalah
sedekah kamu membantu orang yang menaiki kenderaan atau kamu mengangkat barang-
barang untuknya kedalam kenderaan adalah sedekah, Perkataan yang baik adalah
sedekah, setiap langkah kamu berjalan untuk menunaikan solat adalah sedekah dan
kamu membuang perkara-perkara yang menyakiti di jalan adalah sedekah.” (H.R
Bukhari dan Muslim)

Hadits Hasan

Hasan berarti yang baik, yang bagus, jadi hadis hasan adalah hadits yang bersambung
sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil yang rendah daya hafalnya tetapi tidak rancu
dan tidak bercacat. hadis hasan ialah hadis yang muttasil sanadnya diriwayatkan oleh
rawi yang adil dan dhabit tetapi kadar kedhabitannya di bawah kedhabittan hadis sahih
dan hadis itu tidak syadz dan tidak pula terdapat ‘illat. Hadits hasan juga mempunyai
kriteria yaitu; a) sanadnya bersambung, b) para periwayat bersifat adil, c) diantara orang
periwayat terdapat orang yang kurang dhabith, dan d) sanad dan matan hadits terhindar
dari kejanggalan, e) tidak ber- illat.

Contohnya : sekiranya aku tidak memberatkan umatku, tentu kuperintahkan mereka


bersiwak menjelang setiap sholat, matan hadis ini memiliki jalur sanad, Muhammad bin
Amr, dari Abi Salamah, dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW. dan Muhammad bin
Amr diragukan hafalan, kekuatan ingatan dan kecerdasannya meskipun banyak yang
menganggapnya terpecaya hadis ini bersifat hasan lizatih dan sahih lighairih, karena
diriwayatkan pula oleh guru muhammad dan dari gurunya lagi hadis itu diriwayakan pula
oleh Abu Hurairah oleh banyak orang diantaranya al-A’raj bin Hurmuz dan Sa’id al-
Maqbari. At- Tarmizi ia adalah orang yang pertama kali mengeluarkan hadis hasan.

Hadits Dhaif

Secara bahasa, hadits dhaif berasal dari kata dhu’fun berarti hadits yang lemah. Para
ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW. Secara
terminologi hadis dhaif adalah suatu hadits yang tidak terdapat ciri-ciri ke sahihan dan
kehasanan suatu hadits, sahih tidaknya suatu hadits merupakan hasil peninjaun dari sisi di
terima atau ditolaknya suatu hadits, oleh karena itu hadis ini terdapat sesuatu yang di
dalamnya tertolak yang tidak terdapat ciri-ciri di terimanya hadits ini.

Contoh hadis Dhaif “bahwasannya Rasul wudhu dan beliau mengusap kedua kaos
kakinya “ [6]hadis ini dikatakan dhaif karena diriwayatkan dari Abu Qais al- Audi,
seorang rawi yang masih dipersoalkan. Hadist dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok
besar, yaitu : hadits dhaif karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena
adanya cacat pada rawi atau matan. Ada Muhaditsin (Ulama Ahli Hadits) yang membagi
hadits Dlaif menjadi 42 bagian ada pula yang membaginya menjadi 129 bagian.
Secara Kuantitas

Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek
kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang
mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada
juga yang menbaginya menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad. Ulama
golongan pertama, menjadikan hadits masyhur sebagai berdiri sendiri, tidak termasuk ke
dalam hadits ahad, ini dispnsori oleh sebagian ulama ushul seperti diantaranya, Abu Bakr
Al-Jashshash (305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh sebagian besar
ulama ushul (ushuliyyun) dan ulama kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadits
masyhur bukan merupakan hadits ynag berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan
bagian hadits ahad. Mereka membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir
dan ahad.

Hadits Mutawattir

Pengertian Hadits Mutawatir Secara etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi’


(beriringan tanpa jarak). Dalam terminologi ilmu hadits, ia merupakan haidts yang
diriwayatkan oleh orang banyak, dan berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka
akan sepakat untuk berdusta. Periwayatan seperti itu terus menerus berlangsung,
semenjak thabaqat yang pertama sampai thabaqat yang terakhir. Dari redaksi lain
pengertian mutawatir adalah :

ِ ‫س َأ ْخبَ َر بِ ِه َجمــَا َعةً بَلـ َ ُغوْ ا فِى ْالكـ َ ْث َر ِة َم ْبلَغـًا تُ ِح ْي ُل ْال َعا َدةَ تَ َواطُُؤ هُ ْم عَلـَى ْالكـَـ ِذ‬
‫ب‬ ٍ ْ‫مـَا َكانَ ع َْن َمحْ سُو‬

Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihar atau didengar) yang diberitakan oleh
segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka
sepakat berbohong.

Contohnya :

‫ْأ‬
ِ َّ‫ي فـ َ ْليَتَبَ َّو َم ْق َع َدهُ ِمنَ الن‬
‫ار‬ َ ‫ال َرسُوْ ُل هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َم ْن َك َذ‬
َّ َ‫ب َعل‬ َ َ ‫قـ‬

Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang  ini sengaja berdusta atas namaku, maka
hendaklah dia siap-siap menduduki tempatnya di atas api neraka.

Hadits Ahad

Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata  wahid berarti “satu” jadi, kara
ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan. Menurut istilah
hadits ahad berarti hadits yagn diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang atau
lebih akan tetapi belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits
mutawatir. Artinya, hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya tidak sampai pada
tingkatan mutawatir.

Contohnya :

‫ا َِذا َجا َء ُك ُم ْالجُمْ َع ُه َف ْل َي ْغسِ ْل‬

“Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat hendaklah ia mandi.”

4. Terangkan bagaimana kita mengetahui kashihan sebuah hadits dan apa saja
langkah –langkah yang harus dilakukan!

Jawab :

Langkah-langkah Mengetahui Keshahihan Hadits

1. Jika suatu hadits tidak disebutkan info pen-takhrijnya (yaitu: tidak ada keterangan
hadits riwayat…) maka jangan sebarkan, jangan amalkan dan jangan yakini dulu.
Kemudian tanya kepada ahli ilmu mengenai status haditsnya.

2. Jika suatu hadits diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari (dalam Shahih Bukhari) atau
Imam Muslim (dalam Shahih Muslim), atau keduanya, maka yakinilah itu adalah
hadits yang shahih.

3. Jika suatu hadits bukan diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari juga bukan Imam
Muslim, maka lihatlah:

a. Apakah ada keterangan penilaian shahih-dha’if dari ulama hadits? Jika tidak
ada, maka jangan sebarkan, jangan amalkan dan jangan yakini dulu. Kemudian
tanya kepada ahli ilmu mengenai status haditsnya.

b. Jika ada keterangan shahih-dha’if dari ulama hadits semisal: Ibnu Hajar Al
Asqalani, An Nawawi, Al Haitsami, Al Mundziri, Ad Daruquthni, Ibnu
Taimiyah, Adz Dzahabi, Ibnu Katsir, Syu’aib Al Arnauth, Ahmad Syakir,
Muqbil bin Hadi, Al Albani, Ibnu Baz, dll, maka peganglah penilaian mereka.

4. Jika yang suatu hadits tidak disebutkan info pentakhrij-nya atau disebutkan info
pentakhrij-nya namun tidak disebutkan info shahih-dhaif-nya, namun yang
membawakan atau menyebutkan hadits adalah seorang ulama atau da’i atau ustadz
yang dikenal selektif dalam berhujjah hanya dengan hadits yang shahih, maka
peganglah hadits tersebut.

5. Lanjutan poin 4, jika yang membawakan hadits adalah orang yang bermudah-
mudah dalam membawakan hadits, atau sering menggunakan hadits dhaif bahkan
palsu, maka jangan sebarkan, jangan amalkan dan jangan yakini dulu. Kemudian
tanya kepada ahli ilmu mengenai status haditsnya.

5. Dalam studi hadist dikenal istilah kutub al –sittah jelaskan apa saja yg saudara
ketahui tentang istilah ini, ciri khasnya dan siapa tokok-tokohnya?
Jawab :

Dalam ilmu hadist dikenal istilah kutubu sittah. Kutub sittah adalah kitab hadits yang
dihimpun oleh enam orang ulama yang merupakan kitab induk hadis. Pada awalnya,
ulama Muta’akhkhirin sependapat menetapkan bahwa kitab induk lima buah, yaitu
Shahih al-Bukhary, Shahih Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan an-Nasa’y dan Sunan at-
Tarmidzy. Kitab lima tersebut mereka namai Al-Ushul al-Khamsah atau Al-Kutub al-
Khamsah. Kemudian, Abu al-Fadhli ibn Thahir menggolongkan pula kedalamnya kitab
induk lagi, sehingga terkenal di dalammasyarakat Al-Kutub as-Sittah (Kitab Enam).

Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kitab hadis yang keenam itu. Abu
al-Fadhli ibn Thahir berpendapat bahwa kitab keenam itu adalah kitab Sunan Ibni Majah .
Pendapat beliau ini diikuti oleh Abd al-Ghany al-Maqdisy, Al-Mizzy dan Al-Hafizh Ibnu
Hajar dan Al Khazrajy. Sebagian ulama lagi berpendapat kitab Muwaththa’ yang ditulis
imam Malik sebagai kitab induk hadis keenam. Pendapat ini dilontarkan oleh Razin dan
Ibn Atsir. Sebagian lagimenempatkan kita As-Sunan Ad-Darimy sebagai kitab induk
hadis keenam. Kitab lainnya yang disebut sebagai kita induk keenam adalah kitab Al-
Muntaqa yang ditulis Ibnu Jarud.

Kutub sittah adalah kitab hadits yang dihimpun oleh enam orang ulama yang merupakan
kitab induk hadis. Pada awalnya, ulama Muta’akhkhirin sependapat menetapkan bahwa
kitab induk lima buah, yaitu Shahih al-Bukhary, Shahih Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan
an-Nasa’y dan Sunan at-Tarmidzy. Kitab lima tersebut mereka namai Al-Ushul al-
Khamsah atau Al-Kutub al-Khamsah. Kemudian, Abu al-Fadhli ibn Thahir
menggolongkan pula kedalamnya kitab induk lagi, sehingga terkenal di dalam
masyarakat Al-Kutub as-Sittah (Kitab Enam).

Yang dimaksud al kutub al sittah yaitu:

1. Shohih Bukhori

2. Shohih Muslim

3. Sunan Abu Daud

4. Jami’u at-Turmudzi/ Sunan at-Turmudzi

5. Sunan an-Nasa’i

6. Sunan Ibnu Majah


MATERI UJIAN KOMPREHENSIF

PASCASARJANA IAIN SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI

MATA UJI STANDAR KEISLAMAN

BIDANG PERKEMBANGAN DAN PERADABAN PEMIKIRAN ISLAM

SOAL-SOAL

1. Jelaskan secara ringkas misi risalah Nabi Muhammad ketika berada di Mekah dan
Madinah dan dimana signifikasi peran Nabi dalam wilayah yang berbeda tersebut!

Jawab :

Madinah menjadi sebuah ruang dakwah baru bagi Rasulullah Saw, setelah dakwah di
Mekah terasa sempit bagi dakwah Rasulullah Saw dan umat Islam pada waktu itu.
Berawal dari respon orang-orang Yatsrib (Madinah) yang datang  ke Mekah pada bulan
haji, atau yang kemudian dikenal dengan Perjanjian Aqabah. Di sisi lain hal tersebut juga
tidak bisa lepas dari pribadi Nabi Muhammad Saw yang jujur.

Keberhasilan dakwah Rasulullah Saw pada waktu itu, bisa dilihat dari orang-orang
Yatsrib baik ketika Perjanjian Aqabah satu maupun dua. Di mana mereka mau mengubah
sikap dan perilaku mereka, bahkan bersedia menjadi pelindung Rasulullah Saw.  Karena
pada hakekatnya, dakwah merupakan suatu media atau sarana seorang dai untuk
mengubah masyarakat dari negative menjadi positif atau berakhlak mulia, dari yang
tertinggal menjadi maju.

Untuk membentuk dan membangun sebuah masyarakat baru di Yatsrib, dengan ragam
suku dan kultur masyarakat yang beragam. Rasulullah Saw mempunyai berbagai langkah
dan strategi dalam mewujudkan hal tersebut. Diantaranya adalah dengan membangun
masjid, menciptaka persaudaraan baru, membangun pranata social dan pemerintahan,
mengadakan perjanjian dengan masyarakat Yahudi di Madinah.

Waktu Rasulullah Saw hijrah ke Madinah, sudah banyak penduduk Madinah yang
memeluk Islam atau yang kemudian dikenal dengan Kaum Anshar. Setelah beberapa
bulan berada di Madinah, Rasulullah Saw kemudian membangun Masjid Nabawi.
Pembangunan masjid tersebut selain berfungsi sebagai tempat ibadah juga berfungsi
sebagai pusat kegiatan dakwah, pemerintahan, bermusyawarah dan lain sebagainya.
pembangunan masjid yang saling bahu-membahu tersebut, telah mengajarkan arti sebuah
persaudaraan dan semangat persamaan antar umat manusia.

Strategi kedua Rasululllah Saw dalam membangun sebuah peradaban baru adalah dengan
menciptakan sebuah persaudaraan. Sebagaimana kita ketahui, ketika Kaum Muhajirin
atau pengikut Rasulullah Saw yang hijrah dari Mekah ke Madinah, banyak yang
menderita kemiskinan karena harta benda mereka semuanya ditinggal di Mekah.
Pada moment ini lah, Rasulullah Saw menciptakan persaudaraan baru antara Kaum
Anshar dan Muhajirin. Rasulullah Saw kemudian menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai
saudara Nabi Saw sendiri, lalu Abu Bakar Rasulullah Saw disaudarakan dengan Kharijah
Ibnu Zuhair, Ja’far Ibnu Abi Thalib dengan Mu’adz bin Jabal.

Dengan hal tersebut, Rasulullah Saw telah mempertalikan keluarga-keluarga Islam. Di


mana masing-masing keluarga mempunyai talian erat dengan keluarga yang lainnya,
sehingga persaudaraan tersebut membentuk sebuah kekuatan baru yang kemudian
membantu dakwah Rasulullah Saw.

Setelah melakukan kedua hal di atas, Rasulullah Saw kemudian mengadakan perjanjian
dengan orang-orang Yahudi di Madinah dan berbagai elemen penting yang ada di
Madinah. Hal ini juga merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh Rasulullah Saw,
ketika berdakwah di Madinah. Yang kemudian perjanjian tersebut dikenal dengan Piagam
Madinah, yang ditulis pada tahun 623 M atau tahun ke-2 H.

Di mana dalam Piagam Madinah tersebut terdapat beberapa point penting, diantaranya
yaitu;  Kaum Muslimin dan Kaum Yahudi hidup secara damai, bebas memeluk dan
menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Apabila salah satu pihak diperangi musuh,
maka mereka wajib membantu pihak yang diserang. Di antara mereka saling
mengingatkan, dan saling berbuat kebaikan, serta tidak akan salingberbuat kejahatan.
Kaum muslimin dan Yahudi wajib saling menolong dalam melaksanakan kewajiban
untuk kepentingan bersama. Nabi Muhammad Saw adalah pemimpin umum untuk
seluruh penduduk Madinah. Bila terjadi perselisihan di antara kaum muslimin dengan
kaum Yahudi, maka penyelesaiannya dikembalikan kepada Nabi sebagai pemimpin
tertinggi di Madinah.

Setelah berhasil mengikat masyarakat Madinah yang beragam tersebut dalam satu ikatan,
dengan Piagam Madinah. Kemudian Rasulullah Saw membangun pranata sosial dan
pemerintahan. Yang juga termaktub dalam Piagam Madinah, sehingga ketika Rasulullah
Saw berdakwah di Madinah beliau bukan hanya sebagai penyampai risalah wahyu dari
Allah Swt, tetapi juga sebagai pemimpin negara. Sebagaimana diungkapkan oleh Bernard
lewis dalam The Middle East, bahwa Rasulullah Saw di Madinah juga sebagai seorang
penguasa yang menjalankan kekuasaan politik dan militer, sekaligus pemimpin
keagamaan.

Begitulah dakwah yang disampaikan oleh Rasulullah Saw, selain dengan Mauidzah
dan Uswah Hasanah. Juga dengan membangun toleransi di tengah keragaman, untuk
mencapai sebuah kemaslahatan bersama tanpa ada paksaan. 

2. Dalam sejarah awal peradaban islam, dikenal dua dinasti besar yang sangat
berperan dalam memacu kemajuan umat islam, sebutkan dua dinasti itu, kapan
masa jayanya dan apa saja capaian peradaban yang disumbangkan oleh kedua
dinasti tersebut !

Jawab :

Dinasti Umayyah

Masa ke-Khilafahan Bani Umayyah hanya berumur 90 tahun yaitu dimulai pada masa
kekuasaan Muawiyah bin Abu Sufyan, yaitu setelah terbunuhnya Ali bin Abi Thalib, dan
kemudian orang-orang Madinah membaiat Hasan bin Ali namun Hasan bin Ali
menyerahkan jabatan kekhalifahan ini kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan dalam rangka
mendamaikan kaum muslimin yang pada masa itu sedang dilanda bermacam fitnah yang
dimulai sejak terbunuhnya Utsman bin Affan, pertempuran Shiffin, perang Jamal,
terbunuhnya Ali bin Abi Thalib, serta penghianatan dari orang-
orang Khawarij dan Syi'ah.

Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan perluasan wilayah yang terhenti pada masa
khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dilanjutkan kembali, dimulai dengan
menaklukan Tunisia, kemudian ekspansi ke sebelah timur, dengan menguasai
daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul,. Sedangkan
angkatan lautnya telah mulai melakukan serangan-serangan ke ibu
kota Bizantium, Konstantinopel. Sedangkan ekspansi ke timur ini kemudian terus
dilanjutkan kembali pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan. Abdul Malik bin
Marwan mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil
menundukkan Balkanabad, Bukhara, Khwarezmia, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya
bahkan sampai ke India dan menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai
ke Multan.

Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan pada zaman Al-Walid bin Abdul-


Malik. Masa pemerintahan al-Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan
ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan
kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju
wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah Aljazair
dan Maroko dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, dengan
pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko (magrib) dengan
benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan
nama Gibraltar (Jabal Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan
demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Cordoba,
dengan cepatnya dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain
seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah
jatuhnya Cordoba. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena
mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman
penguasa.

Di zaman Umar bin Abdul-Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui


pegunungan Pirenia. Serangan ini dipimpin oleh Aburrahman bin Abdullah al-Ghafiqi. Ia
mulai dengan menyerang Bordeaux, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours.
Namun, dalam peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan
tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut di atas, pulau-
pulau yang terdapat di Laut Tengah (mediterania) juga jatuh ke tangan Islam pada zaman
Bani Umayyah ini.

Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah
kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu
meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia
Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenistan,
Uzbekistan, dan Kirgistan di Asia Tengah.
Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam
pembangunan di berbagai bidang. Muawiyah bin Abu Sufyan mendirikan dinas pos dan
tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di
sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata
uang. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim (qadhi) mulai berkembang menjadi
profesi tersendiri, Qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya. Abdul Malik bin Marwan
mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai
Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-
kata dan tulisan Arab. Khalifah Abdul Malik bin Marwan juga berhasil melakukan
pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa
Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilan ini dilanjutkan
oleh puteranya Al-Walid bin Abdul-Malik (705-715 M) meningkatkan pembangunan, di
antaranya membangun panti-panti untuk orang cacat, dan pekerjanya digaji oleh negara
secara tetap. Serta membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah
dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid
yang megah.

Meskipun keberhasilan banyak dicapai daulah ini, tetapi tidak berarti bahwa politik dalam
negeri dapat dianggap stabil. Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan inilah suksesi
kekuasaan bersifat monarchiheridetis (kepemimpinan secara turun temurun) mulai
diperkenalkan, di mana ketika dia mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia
terhadap anaknya, yaitu Yazid bin Muawiyah. Muawiyah bin Abu Sufyan dipengaruhi
oleh sistem monarki yang ada di Persia dan Bizantium, istilah khalifah tetap digunakan,
tetapi Muawiyah bin Abu Sufyan memberikan interprestasi sendiri dari kata-kata tersebut
di mana khalifah Allah dalam pengertian penguasa yang diangkat oleh Allah padahal
tidak ada satu dalil pun dari al-Qur'an dan hadits nabi yang mendukung pendapatnya.

Dan kemudian Muawiyah bin Abu Sufyan dianggap tidak mentaati isi perjanjiannya


dengan Hasan bin Ali ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan
penggantian kepemimpinan diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi
pengangkatan anaknya Yazid bin Muawiyah sebagai putera mahkota menyebabkan
munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya
perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.

Ketika Yazid bin Muawiyah naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau
menyatakan setia kepadanya. Yazid bin Muawiyah kemudian mengirim surat kepada
gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia
kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husain bin Ali Ibnul
Abu Thalib dan Abdullah bin Zubair Ibnul Awwam.

Husain bin Ali sendiri juga dibait sebagai khalifah di Madinah, Pada tahun 680 M, Yazid
bin Muawiyah mengirim pasukan untuk memaksa Husain bin Ali untuk menyatakan
setia, Namun terjadi pertempuran yang tidak seimbang yang kemudian hari dikenal
dengan Pertempuran Karbala, Husain bin Ali terbunuh, kepalanya dipenggal dan dikirim
ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala sebuah daerah di dekat Kufah.

Kelompok Syi'ah sendiri, yang tertindas setelah kesyahidan pemimpin mereka Husain bin


Ali, terus melakukan perlawanan dengan lebih gigih dan di antaranya adalah yang
dipimpin oleh Al-Mukhtar di Kufah pada 685-687 M. Al-Mukhtar mendapat banyak
pengikut dari kalangan kaum Mawali (yaitu umat Islam bukan Arab, berasal
dari Persia, Armenia dan lain-lain) yang pada masa Bani Umayyah dianggap sebagai
warga negara kelas dua. Namun perlawanan Al-Mukhtar sendiri ditumpas oleh Abdullah
bin Zubair yang menyatakan dirinya secara terbuka sebagai khalifah setelah Husain bin
Ali terbunuh. Walaupun dia juga tidak berhasil menghentikan gerakan Syi'ah secara
keseluruhan.

Abdullah bin Zubair membina kekuatannya di Mekkah setelah dia menolak sumpah setia


terhadap Yazid bin Muawiyah. Tentara Yazid bin Muawiyah kembali
mengepung Madinah dan Mekkah secara biadab seperti yang diriwayatkan dalam sejarah.
Dua pasukan bertemu dan pertempuran pun tak terhindarkan. Namun, peperangan ini
terhenti karena taklama kemudian Yazid bin Muawiyah wafat dan tentara Bani Umayyah
kembali ke Damaskus.

Perlawanan Abdullah bin Zubair baru dapat dihancurkan pada masa kekhalifahan Abdul
Malik bin Marwan, yang kemudian kembali mengirimkan pasukan Bani Umayyah yang
dipimpin oleh Al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi dan berhasil membunuh Abdullah bin
Zubair pada tahun 73 H/692 M.

Setelah itu, gerakan-gerakan lain yang dilancarkan oleh kelompok Khawarij


dan Syi'ah juga dapat diredakan. Keberhasilan ini membuat orientasi pemerintahan Bani
Umayyah mulai dapat diarahkan kepada pengamanan daerah-daerah kekuasaan di
wilayah timur (meliputi kota-kota di sekitar Asia Tengah) dan wilayah Afrika bagian
utara, bahkan membuka jalan untuk menaklukkan Spanyol (Al-Andalus). Selanjutnya
hubungan pemerintah dengan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan
Khalifah Umar bin Abdul-Aziz (717-720 M), di mana sewaktu diangkat sebagai khalifah,
menyatakan akan memperbaiki dan meningkatkan negeri-negeri yang berada dalam
wilayah Islam agar menjadi lebih baik daripada menambah perluasannya, di mana
pembangunan dalam negeri menjadi prioritas utamanya, meringankan zakat,
kedudukan mawali disejajarkan dengan Arab. Meskipun masa pemerintahannya sangat
singkat, tetapi berhasil menyadarkan golongan Syi'ah, serta memberi kebebasan kepada
penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya.

Dinasti Abbasiyah

Kekalifahan Abbasiyah merupakan kelanjutan dari Kekalifahan sebelumnya yakni Bani


Umayyah, dimana pendiri dari kekalifahan ini adalah Abdullah al-Saffah ibn Muhammad
ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas Rahimahullah. Pola pemerintahan yang diterapkan
oleh Daulah Abbasiyah berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan
budaya. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H
(750 M) s.d. 656 H (1258 M).

Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan biasanya membagi
masa pemerintahan Daulah Abbas menjadi lima periode:

1. Periode Pertama (132 H/750 M - 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia
pertama.

2. Periode Kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki
pertama.
3. Periode Ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih
dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh
Persia kedua.

4. Periode Keempat (447 H/1055 M - 590 H/l194 M), masa kekuasaan daulah Bani
Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa
pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (salajiqah al-
Kubra/Seljuk agung).

5. Periode Kelima (590 H/1194 M - 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh
dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri
oleh invasi dari bangsa Mongol.

Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara
politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik
dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi.
Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu
pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas
mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus
berkembang.

Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun
750-754 M. Selanjutnya digantikan oleh Abu Ja'far al-Manshur (754-775 M), yang keras
menghadapi lawan-lawannya terutama dari Bani Umayyah, Khawarij, dan juga Syi'ah.
Untuk memperkuat kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan
baginya satu per satu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya
adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya
di Syria dan Mesir dibunuh karena tidak bersedia membaiatnya, al-Manshur
memerintahkan Abu Muslim al-Khurasani melakukannya, dan kemudian menghukum
mati Abu Muslim al-Khurasani pada tahun 755 M, karena dikhawatirkan akan menjadi
pesaing baginya.

Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih
memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansyur
memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad, dekat bekas ibu
kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani
Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Manshur
melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya, di antaranya dengan membuat
semacam lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan
tradisi baru dengan mengangkat Wazir sebagai koordinator dari kementrian yang ada,
Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia. Dia
juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara di
samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn
Abdurrahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah
ada sejak masa dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas.
Kalau dulu hanya sekadar untuk mengantar surat. Pada masa al-Manshur, jawatan pos
ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi
kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah
laku gubernur setempat kepada khalifah.
Khalifah al-Manshur berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya
membebaskan diri dari pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan di daerah
perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia,
kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke utara bala
tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosphorus. Di pihak lain,
dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama gencatan senjata 758-765
M, Bizantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan
pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oxus,
dan India.

3. Jelaskan sejumlah persoalan yg memicu kelahiran dinasti –dinasti kecil pada masa
dinasti Abbasiyah dan Bagaimana sikap Khalifah Abbasiyah dalam mengatasi hal
tersebut!

Jawab :

Dinasti kecil sebagian besar berasal dari Arab memecah wilayah kekuasaan Khalifah dari
Barat. Pada masa kekuasaan bani Abbasiyah terdapat 5 dinasti kecil yang berada di
sebelah barat Baghdad, yakni: Dinasti Idrisiyah, (789 M – 926 M) Dinasti Aghlabiyah,
(800 M – 909 M) Dinasti Thuluniyah (868 M – 905 M) Dinasti Ikhsidiyah(935 M – 969
M) Dinasti Hamdaniyah(905 M – 1004 M) Saat dinasti-dinasti kecil sebagian besar
berasal dari Arab memecah wilayah kekuasaan Khalifah dari Barat, proses yang sama
telah terjadi di Timur terutama dilakukan oleh orang Turki dan Persia.Pada masa
kekuasaan Bani Abbasiyah terdapat 3 dinasti kecil yang berada di sebelah timur
Baghdad, yakni: Dinasti Thahiriyah(820 M – 872 M) Dinasti Shaffariyah (867 M – 1495
M) Dinasti Samaniyyah (819 M – 1005 M) Pelepasan wilayah kekuasaan dinasti-dinasti
kecil di barat dan timur Bagdad dari Dinasti Abbasiyah disebabkan beberapa factor;
Pertama, Karena kebijakan penguasa Bani Abbasiyah yang lebih menitikberatkan
kemajuan peradaban dibanding dengan mengadakan ekspansi dan politisasi, sehingga
memberi peluang terhadap wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan untuk
memerdekakan diri dari pemerintahan Abbasiyah. Kedua, Karena dinasti Abbasiyah tidak
diakui di Spanyol dan seluruh Afrika Utara, kecuali Mesir, sehingga membuat daerah-
daerah yang jauh mendirikan dinastidinasti kecil. Ketiga, Adanya pemberian hak otonom
sehingga tidak terkontrol karena berjauhan dari pemerintahan pusat, dan terlalu luasnya
kekuasaan Abbasiyah.

Menurut para pakar Sejarah Islam, Daulat Abbasiyah telah berjasa dalam memajukan
umat Islam. Hal ini ditandai dengan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, peradaban,
kesenian dan filsafat. Sekalipun demikian menurut Philips K. Hatti dinasti ini tidak
mampu mempertahankan integritas negrinya, karena setelah Khalifah Harun Ar-Rasyid
daerah kekuasaan ini mulai goyah baik daerah timur dan barat Baghdad. Hal ini bisa di
lihat dengan munculnya banyak dinasti-dinasti kecil di berbagai belahan dunia baik di
timur dan barat Baghdad. Di barat Baghdad ada, Dinasti Idrisi di Maroko (172-375 H
/788 M-985 M), Dinasti Aghlabi (184 H-296 H / 800 M-908 M), Dinasti Thulun di Mesir
(254 H-292 H / 868 M-967 M). Di timur Baghdad diantaranya: Dinasti Tahiri (200 H-259
H / 820 M-872 M), Dinasti Safari (254 H-289 H / 867 M-911 M), Dinasti Samani (261
H-395 H / 874 M-1004 M). Faktor yang mendorong berdirinya dinasti kecil ini yaitu
adanya persaingan jabatan Khalifah di antara keluarga raja dan munculnya sikap
Abbasiyah antara keturunan Arab dan Non Arab, tepatnya Arab dan Persia. Pendapat
lainnya bahwa kemungkinan munculnya dinasti kecil ini pada abad ke III Hijrah,
disebabkan banyaknya kegoncangan politik, yang timbul dalam dunia Islam yang
dimanfaatkan oleh keluarga yang sudah mempunyai kekuasaan di daerah Baghdad.
Selain itu, juga terdapat beberapa Dinasti yang ikut andil dalam mengukir sejarah pada
masa Daulah Bani Abbasiyah, yaitu Dinasti Ghuznawi (365 H-583 H / 977 M-1187 M),
Dinasti Buwaihi (320 H-454 H / 932 M-1062 M) dan Dinasti Saljuk (454 H-656 H / 1062
M-1258 M). Dua dinasti terakhir memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Dinasti
Abbasiyah yang secara berurutan menduduki periode ke tiga dan ke keempat dari Daulah 
Bani Abbasiyah.

4. Jelaskan cikal bakal terjadinya konflik teologis dalam sejarah pemikiran islam dan
agaimana implikasinya!

Jawab :

Suatu kelompok / aliran pengikut Ali bin Abi Thalib setelah Ali menerima permintaan
Hakim dari kelompok bugdat (pemberontak) Mu'awiyah bin Abi Sufyan dalam perebutan
kekuasaan dalam perang siffin pada tahun 37 H/648 M. Ali merasa terdapat kecurangan
dibalik perdamaian dari mu'awiyah, karena Ali mendapat desakan dari sebagian
pengikutnya terpaksa Ali menghentikan perang siffin tersebut. setelah Ali menerima
perdamaian, Ali mendapatkan usulan dari pengikutnya untuk mengirim Abu Musa Al-
Asy'ari. Lalu  Hakim memutuskan Ali dilengserkan dari Kholifahan setelah
mengecewakan pengikutnya dan dianggap sebagai dosa besar karena telah mengirim Abu
Musa Al-Asy'ari, bukan mencari ketentraman ummat, tanpa berfikir panjang bagaimana
kedepannya atas kekuatannya yang ada padanya sendiri dan kekuatan yang ada pada
pihak lawan. sementara Mu'awiyah dilantik menjadi khalifah sebagai pengganti Ali,pada
saat pelantikan Mu'awiyah tersebut orang-orang khawarij keluar dari pengikut Ali
menuju hurariah yang disebut juga khawarij. Setiap ada pemberontak kepada imam yang
benar yang disetujui oleh jamaah khawarij. Setelah khawarij berkembang yang kedua
abad, datanglah saatnya perpecahan, pada akhirnya tidak berkembang sampai masa
sekarang. Pada saat kejayaan kelompok penantang terdapat beberapa perpecahan tetapi
pendiriannya yang sama:
 Ali, Utsman dan orang-orang yang ikut dalam peperangan jamal, dan orang-orang
yang setuju dengan adanya pembicaraan antara Ali dan Mu'awiyah, semua dihukumi
orang-orang kafir.
 Setiap umat Muhammad saw, yang terus menerus membuat dosa besar, sehingga dia
belum bertaubat, maka orang tersebut dihukumi kafir dan akan kekal dineraka yang
paling bawah. Maka sekelompok khawarij menyebut dirinya dalam golongan Nadjah,
dan mereka tidak menghukumkan orang tersebut kafir mutlak, hanyalah kafir kepada
Allah SWT saja.
 Boleh keluar dan tidak patuh kepada aturan-aturan pemimpin negara. apabila
pemimpin negara tersebut seorang melakukan yang zalim atau pengkhianat atas
pemerintahannya.
 Dokrin-dokrin pokok khawarij.
 Terdapat beberapa Dokrin-dokrin pokok khawarij diantaranya sebagai berikut:
 Khalifah atau imam dipilih secara bebas oleh seluruh umat islam.
 Khalifah atau imam tidak harus dari keturunan bangsa Arab.
 Seorang khalifah harus memenuhi syarat-syaratnya.
 Selama menjadi khalifah harus bersikap adil dan menjalankan syari'at islam.
 Setelah masa khalifah Utsman r.a. dianggap nyeleweng dan bertentangan.
 Khalifah Ali dikatakan sah, setelah permintaan  ke khalifahan Ali dianggap
nyeleweng.
 Mu'awiyah dan Amr bin Al-Ash serta Abu musa Al-Asy'ari juga dianggap nyeleweng
dan kafir.
 Pasukan perang jamal yang melawan Ali juga dianggap kafir.
  Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim karenanya harus
dibunuh.mereka menganggap bahwa seorang muslim tidak lagi muslim (kafir)
disebabkan tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir, dengan
resiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula.
 Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Apabila tidak
bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam dar al hard (negara musuh),
sedangkan golongan mereka dianggap berada dala dar al islam (negara islam).
 Seseorang harus menghindari dari pimpinan yang nyeleweng,
 Adanya wa'ad dan wa'id (orang yang baik harus masuk surga, sedangkan yang jahat
harus masuk ke dalam neraka).
 Amar makruf nahi Mugkar.
 Memalingkan ayat-ayat Al-Qur'an yang tampak Mutasyabihat (samar).
 Al-Qur'an adalah makhluk.

Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari tuhanKonflik sosial politik yang
muncul setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Mulai muncul benih-benih perpecahan
dalam kalangan ummat muslim. Perpecahan dari kalangan ummat muslim munculnya
perbedaan pendapat mengenai pergantian kepemimpinan Nabi Muhammad SAW.
Pemusyawaratan dalam praktik politik munculnya calon untuk mengganti kepemimpinan
Nabi Muhammad SAW. Sebagai kepemimpinan ummat yang diajukan oleh masing-
masing kalangan tersebut. terbukti politik berpotensi menimbulkan konflik dari kalangan
ummat muslim. konflik-konflik terbuka dalam bentuk pembangkangan yang dilakukan
oleh pendukung politik sistem kabilah. Sistem kabilah tersebut terus terpelihara dan
semakin menguat pada masa kekhalifahan terebut. Sehingga membangkitkan dendam
yang lama antara dua keluarga utama, sehingga mengakibatkan terbunuhnya kekhalifahan
yang ketiga. Pembunuhan yang permulaan muncul terjadinya bencana yang paling besar
yang membawa keterlibatan dalam perkembangan islam, dan berkaitan dengan ajaran-
ajaran  agama.

Semua subsekte itu membicarakan dokrin teologi yang tetap menjadi primadona
pemikiran mereka tentang persoalan hukum orang yang berbuat dosa besar, dan dokrin-
dokrin yang lain hanya sebagai pelengkap. Adapun sekte khawarij yang agak lunak, yaitu
sekte Najdiyat dan sekte Ibadiyat yang membedakan antara kafir Nikmat dan kafir
Agama. Hampir semua aliran firqah khawarij mempunyai sudut pandang yang bersifat
Radikal dan ekstrim, kecuali aliran Al-Badiyat yang pendapatnya agak
moderat.sesunggguhnya orang islam yang menentangnya bukan musyrik dan bukan
mukmin dan menerima kesaksian yang menentangnya, mengawininya, dan saling waris
mewarisinya. tetapi dikategorikan sebagai aliran khawarij selama terdapat indikasi dokrin
yang identik dengan aliran ini. Beberapa indikasi yang dapat dikategorikan sebagai aliran
khawarij pada masa sekarang :
 Mudah mengafirkan orang yang tidak segolongan dengan mereka, walupun orang itu
adalah menganut agama islam.

 Islam yang benar adalah islam yang mereka pahami dan amalkan, sedangkan islam
sebagaimana yang dipahami dan diamalkan golongan lain yang tidak benar.

 Orang-orang islam yang tersesat dan menjadi kafir perlu dibawa kembali ke islam
yang sebenarnya, yaitu islam yang seperti mereka pahami dan amalkan.

 Karena pemerintahan dan ulama' yang tidak sepaham dengan mereka yang sesat,
mereka memilih imam dari golongannya, yaitu imam dalam arti pemuka agama dan
pemuka pemerintahan.

 Mereka berfilsafat fanatik dalam paham dan tidak segan-segan menggunakan


kekerasan dan pembunuhan untuk mencapai tujuannya.

5. Terangkan kontribusi al –Kindi dalam meredam polemic bahwa filsafat


bertentangan dengan agama!
Jawab :
Sejarawan Ibnu Al-Nadim menilai, selama berkutat dan bergelut dengan ilmu
pengetahuan di Baitulhikmah, Al-Kindi telah melahirkan 260 karya. Di antara sederet
buah pikirnya dituangkan dalam risalah-risalah pendek yang tak lagi ditemukan. Karya-
karya yang dihasilkannya menunjukan bahwa Al-Kindi adalah seorang yang berilmu
pengetahuan yang luas dan dalam.
Ratusan karyanya itu dipilah ke berbagai bidang, seperti filsafat, logika, ilmu hitung,
musik, astronomi, geometri, medis, astrologi, dialektika, psikologi, politik dan
meteorologi. Bukunya yang paling banyak adalah geometri sebanyak 32 judul. Filsafat
dan kedokteran masing-masing mencapai 22 judul. Logika sebanyak sembilan judul dan
fisika 12 judul.
Buah pikir yang dihasilkannya begitu berpengaruh terhadap perkembangan peradaban
Barat pada abad pertengahan. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan
bahasa Eropa. Buku-buku itu tetap digunakan selama beberapa abad setelah ia meninggal
dunia.
Al-Kindi dikenal sebagai filosof Muslim pertama, karena dialah orang Islam pertama
yang mendalami ilmu-ilmu filsafat. Hingga abad ke-7 M, filsafat masih didominasi orang
Kristen Suriah. Al-Kindi tak sekedar menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani, namun
dia juga menyimpulkan karya-karya filsafat Helenisme. Salah satu kontribusinya yang
besar adalah menyelaraskan filsafat dan agama.
Setelah era Khalifah AL-Mu'tasim berakhir dan tampuk kepemimpin beralih ke Al-watiq
dan Al-Mutawakkil, peran Al-Kindi semakin dipersempit. Namun, tulisan kaligrafinya
yang menawan sempat membuat Khalifah kepincut. Khalifah AL-Mutawakkil kemudian
mendapuknya sebagai ahli kaligrafi istana. Namun, itu tak berlangsung lama.

6. Jelaskan cikal bakal lahirnya gagasan pembaharuan islam di mesir!

Jawab :

Latar belakang sejarah Mesir secara historis dapat  dilihat ketika Mesir berada pada
kekuasaan Romawi di Timur dengan Bizantium sebagai ibukotanya merupakan awal
kebangkitan Mesir di abad permulaaan Islam yang berkembang menjadi kota dan negara
tujuan setiap orang. Mesir menjadi sangat menarik pada masa kekuasaan Romawi
tersebut karena ia mempunyai potensi yang secara tradisional telah berakar di Mesir.

Kerajaan Romawi Timur dengan ibu kota Bizantium merupakan rival berat
pengembangan Islam yang keberadaannya berlangsung sampai pada masa pemerintahan
Kholifah Umar Bin Khatab. Pada saat Umar menjadi Khalifah, Romawi Timur
merupakan target pengembangan misi keislaman dan akhirnya kekuatan militer Romawi
tidak dapat menghambat laju kemenangan Islam di Mesir, karena keberadaan Islam
sebagai agama baru memberikan keluasaan dan kebebasan untuk hidup, yang selama itu
tidak diperoleh dari pemerintahan Romawi Timur, termasuk didalamnya kondisi yang
labil karena berkembangnya konflik keagamaan.

Mesir menjadi salah satu pusat peradaban Islam dan pernah dikuasai dinasti-dinasti kecil
pada zaman Bani Abbas, seperti Fatimiah (sampai tahun 567 H) yang mendirikan Al-
Azhar, dinasti Ayubiyah (567-648 H) yang terkenal dengan Perang Salib dan perjanjian
ramalah mengenai Palestina, Dinasti Mamluk (648-922 H) sampai ditaklukan oleh
Napoleon dan Turki Usmani.

Tokoh-tokoh Pembaharuan di Mesir adalah sebagai berikut

Muhammad Ali Pasya

Merupakan keturunan Turki, lahir di Kawalla Yunani pada tahun 1765. Beliau dikenal
sebagai pemuda yang cerdas dan pemberani, karirnya sangat baik dalam bidang militer
dan sipil. Beliau ikut bertempur melawan Napoloen menumpas semua musuh, beliau
mendapat kepercayaan dari rakyat dan pemerintah pusat menjadi penguasa tunggal di
Mesir.

Al-Tahtawi

Lahir di Tahta (kota kecil di Mesir). Beliau adalah pelajar yang sungguh-sungguh dan
mempunyai pemikiran yang tajam, beliau juga merupakan pemimpin mahasiswa yang
diutus Ali Pasya belajar di Perancis, belajar di Kairo (Al-Azhar) selama 5 tahun,
mengajar juga disana selama 2 tahun. Beliau bukan orang yang sekuler, menghendaki
Mesir maju seperti Barat tapi tetap dijiwai keagamaan dalam berbagai aspek. Beliau juga
menerjemahkan buku asing, menerbitkan surat kabar, mengarang buku, dan mendirikan
sekolah penerjemah.

Jamaluddin Al Afgani

Lahir di Afganistan, seorang pembaharu yang berpindah-pindah negara. Pada tahun 1870
pindah ke Turki dan diangkat menjadi anggota Majelis Pendidikan oleh Ali Pasya yang
selanjutnya dipindah ke Mesir. Konsep-konsep yang beliau ajukan adalah: musuh utama
adalah penjajah Barat, umat Islam harus menentang penjajahn dimanapun dan kapanpun,
untuk mencapai itu semua umat Islam harus bersatu.

Muhammad Abduh

Beliau adalah murid Jamaluddin Al Afgani. Mulai belajar filsafat dan menulis di harian
Al Ahran, menyelesaikan pendidikan di Al Azhar. Beliau lebih menitikberatkan
pembaharuan pendidikan, pendidikan diarahkan untuk mencintai dirinya, masyarakat dan
negaranya. Beliau berpendapat bahwa Bahasa Arab perlu dihidupkan dan diperbaiki
metodenya, dengan tidak hanya menghafal tetapi dengan penguasaan dan penghayatan
materi

Rasyid Ridho

Salah satu murid Muhammad Abduh. Beliau menerbitkan majalah Al Manar untuk
menyebarluaskan ide-ide pembaharuan dalam bidang agama, ekonomi, sosial dan
memberantas takhayul serta bid'ah-bid'ah yang masuk pada syariat Islam. Aktivisnya
dalam bidang pendidikan membentuk lembaga pendidikan Al Dakwah Wal Irsyad pada
tahun 1912 di Kairo. Dalam bidang politik, menghendaki kekhalifahan yang tidak
absolute, khalifah hanya bersifat coordinator tidak mungkin dapat menyatukan umat
Islam dalam satu pemerintahan tunggal. Beliau mehgidupkan persatuan Islam.

7. Jelaskan peran sayid ahmad khan dalam memacu pemikiran modern di anak banua
india!

Jawab ;

Modernisme Islam merupakan sebuah respons muslim modern terhadap bangsa Barat
di abad 19 dan 20 M. Perhatian utama difokuskan untuk memurnikan ajaran Islam
dari hal-hal yang tidak islami, menginterpretasikan beberapa aspek sosial
kemasyarakatan, dan menyesuaikannya dengan unsur-unsur modern dan
perkembangan zaman.

Hal ini dilakukan agar umat Islam dapat berpartisipasi aktif dalam menyumbangkan
pemikiran-pemikirannya untuk perkembangan dunia modern dalam jangka waktu
yang panjang serta untuk membuktikan kebenaran agama Islam. Salah satu tokoh
yang berperan dalam hal ini adalah Sayyid Ahmad Khan dari India. 

Sayyid Ahmad Khan dilahirkan pada 17 oktober 1817 M di Delhi dan meninggal
dunia pada 27 Maret 1898 M dalam usia 81 tahun. Ayahnya, Mir Muttaqi, seorang
pertapa saleh yang sangat besar pengaruhnya di istana kaisar Mughal, Akbar Shah II.
Ahmad Khan belajar ilmu kenegaraan dan diperkenalkan dengan kebudayaan Barat
oleh kakeknya dari pihak ibu, yaitu Khawaja Fariduddin, yang selama delapan tahun
menjadi perdana menteri pada kaisar Mughal Akbar II. Dari pihak bapaknya, ia
keturunan Nabi Muhammad saw dari jalur Husein. Oleh karena itu, ia memakai gelar
Sayyid.

Pendidikan pertama yang ia peroleh ialah dalam hal membaca Alquran. Setelah itu, ia
melanjutkan studinya ke maktab. Di sini ia belajar bahasa Persia, Arab, dan
matematika. Selain itu, ia juga mempelajari tentang geometri dan ilmu kedokteran.
Pendidikan formalnya berakhir ketika ia berusia 18 tahun .

Peristiwa kematian ayahnya pada 1838 membawa perubahan besar dalam


hidupnya. Kenyataan ini berdampak sikologi dan finansial terhadap
keluarganya, karena ia memutuskan untuk bekerja pada serikat India Timur
meskipun keluarganya tidak menyetujuinya, karena di antara mereka masih
ada perasaan anti-Inggris.

Ahmad Khan dengan segala upaya mencoba mendamaikan umat Islam


dengan pemerintahan Inggris. Ia mengajak umat Islam India agar tetap loyal
terhadap pemerintahan Inggris. Kepada umat Islam ditegaskannya bahwa
persahabatan di antara mereka dengan pihak Kristen diperkenankan oleh
agama. 

Usaha-usaha Ahmad Khan dalam hal mendamaikan umat Islam India


dengan Barat, khususnya pemerintahan Inggris pada saat itu, nampaknya
membuahkan hasil, yang mana umat Islam pada saat itu bertambah
keinginannya untuk belajar kepada orang Barat, dan kecurigaan orang
Inggris terhadap mereka berkurang. Dan akhirnya orang Islam memiliki
perguruan tinggi model Barat.

Sebagai seorang muslim modernis, Ahmad Khan juga bertujuan


memurnikan Islam dan menyesuaikannya dengan konteks masyarakat
modern dengan cara mengadakan penafsiran ulang terhadap ajaran-ajaran
Islam, mengadopsi sains dan teknologi Barat. Guna merespon tantangan dari
Barat, Ahmad Khan melancarkan reformasi dalam bidang moral, sosial dan
akidah, serta praktik-praktik keagamaan umat Islam secara kritis dan
rasional. 

Dengan cara ini, ia yakin Islam akan efektif dalam melayani masyarakat.
Pendekatan rasional tokoh ini dalam memahami Islam tidaklah semata-mata
karena adanya persentuhan dengan peradaban Barat, tetapi karena
pemikirannya yang banyak dipengaruhi oleh Shah Waliullah yang
menekankan bahwa pemikiran Islam itu harus dikaji ulang sehingga
membuatnya sesuai dengan segala zaman.

Pemikiran sosial Ahmad Khan sangat erat kaitannya dengan pemikiran


keagamaannya, sangat modern dan rasional. Hal ini terlihat dari konsepnya
yang menyatakan bahwa kemajuan Barat itu bukan karena kristennya, tetapi
kemajuan itu diraih dengan kemampuan intelektual sehingga mampu
mengembangkan sains dan teknologi.

Sementara dalam bidang politik, ia menjauhkan diri dan menyarankan agar


orang-orang Islam tidak ikut andil di sana. Ia ingin mendahulukan
kemampuan intelektual masyarakat dengan cara menimba ilmu dan
teknologi dari Barat.

Dalam bidang intelektual, usahanya telah mampu menjembatani


kesenjangan intelektual antara zaman pertengahan dengan zaman modern.
Karena itu, sejak dini Ahmad Khan sadar akan pentingnya penggunaan
bahasa Inggris dalam proses pengajaran.
Dalam upayanya menyeragamkan standar mutu pendidikan secara nasional,
di tahun 1886, diadakanlah konferensi tentang pendidikan. Tujuan lembaga
ini ialah menyebarluaskan pendidikan Barat di kalangan umat Islam,
mengevaluasi pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah
pemerintah dan yang dikelola oleh golongan Islam serta menunjang.

Adapun ide-ide Ahmad Khan yang lain ialah penolakan terhadap beberapa
hukum Islam yang sudah tidak relevan lagi, seperti hukum potong tangan
bagi pencuri, perbudakan, dan beberapa tradisi Islam seperti poligami.

Melalui sebuah majalah yang bernama Tahzi al-Akhlaq, ia menyebarluaskan


ide-ide nya yang informatif menyangkut persoalan-persoalan agama dan
masyarakat. Selain itu, ia juga berhasil menyusun Tafsir Alquran dalam
tujuh jilid, yang di dalamnya terkandung penjelasan-penjelasan rasional
mengenai doktrin-doktrin agama.

Jadi, Sayyid Ahmad Khan ini merupakan seorang figur pemikir Islam India
terbesar yang mengisi kesenjangan intelektual abad pertengahan dan periode
modern. Ia termasuk salah seorang tokoh pemimpin kebangkitan Islam abad
ke-19 di dunia Islam. Peranannya sangat vital dalam hal kebangkitan
muslim India. Ia memperkenalkan kepada mereka liberalisme Barat dan
pemikiran-pemikiran yang bercorak rasional.

8. Jelaskan perkembangan pemikiran modern di indonesia ? dan siapa saja tokoh-


tokoh yang berjasa dalam mengembangkan wacana komoderenan berikut
pemikirannya!

Jawab :
Perkembangan pemikiran Islam di Indonesia tidak bisa terlepas dari berbagai pengaruh di
antaranya :
1.      Pengaruh eksternal
Sementara itu akar-akar pemikiran modern Islam di Indonesia dapat dilacak melalui
pengaruh gerakan reformasi yang dilakukan Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh
dan lain-lainnya, terhadap sejumlah jemaah haji Indonesia yang belajar kepada murid-
murid mereka di Makkah atau melalui terbitan-terbitan tentang pemikiran mereka seperti
Al-Urawah al-wusqo dan kitab tafsir al-manar. Jemaah haji itulah, diantaranya KH.
Ahmad Dahlan, yang kemudian hari mengembangkan gerakan pemikiran Islam di
Indonesia.
Pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia tentu tidak bisa dipisahkan dengan
pembaharuan di negara-negara Islam lainnya. Gerakan pembaharuan di Indonesia yang
bersifat organisatoris, mulai tampak pada pendirian Muhammadiyah pada 1912. Alasan
berdirinya Muhammadiyah didasari oleh kerisauan K.H. Ahmad Dahlan terhadap
kehidupan keagamaan umat Islam Indonesia yang banyak menyimpang dari tradisi Islam.
Hal itu tampak dari kehidupan umat yang sangat percaya pada hal-hal yang bersifat
takhayul,bid'ah, dan churafat ( TBC). Kondisi umat yang seperti ini, oleh pemerintah
kolonial justru dimanfaatkan agar mereka menerima nasib dan tidak menuntut haknya
untuk merdeka. Hal tersebut menurut penulis merupakan pengaruh dari pemikiran para
Tokoh perubahan Timur Tengah pada saat itu.
2.      Pengaruh Internal
 Pemikiran Islam secara signifikan terjadi pada waktu Indonesia mendapat Undangan
Raja Saud dari Arab Saudi kepada para pemimpin Islam di Indonesia untuk menghadiri
Konferensi Umat Islam sedunia di Mekah pada tahun 1926. Pertemuan para pemimpin
umat dan tokoh Islam di Surabaya untuk menentukan kualifikasi utusan dari Indonesia
yaitu mahir berbahasa Arab dan Inggris ternyata tidak mudah untuk diwujudkan.
Akhirnya disepakati mengirim dua orang utusan yang ahli berbahasa Inggris yaitu HOS
Cokroaminoto dan satunya lagi KH Mas Mansur yang mahir berbahasa Arab. Tahun itu
juga, sepulang dari Mekkah, HOS Cokroaminoto menyampaikan pidato berisi ide-ide
kebangkitan dunia Islam pada Konggres Umat Islam di Surabaya. Ide-ide yang
disampaikannya adalah buah pemikiran tokoh pembaharu Jamaluddin Al-Afghani dan
Muhammad Abduh.
Kongres tersebut ternyata mempunyai berpengaruh besar terhadap perkembangan
pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia di dalam segala sistem dan bidang, seperti
pendidikan, organisasi, kebudayaan, dan gerakan-gerakan pembaharuan lainnya.
Hal tersebut terbukti karena pertemuan kongres tersebut membekas pada pemuda Ahmad
Sahal yang hadir pada pertemuan itu yang kemudian mendiskusikannya bersama kedua
adiknya yaitu Zainuddin Fannani dan Imam Zarkasyi. Mereka kemudian mengambil
langkah kongkret dengan adalah mendirikan Tarbiyat al Athfal (pendidikan anak-anak) di
Gontor. Tarbiyat al Athfal mengajarkan materi-materi dasar agama Islam, bimbingan
akhlak, kesenian, dan pengetahuan umum sesuai tingkat kebutuhan masyarakat saat itu.
Di samping itu diajarkan pula cara bercocok tanam, beternak, pertukangan, bertenun dan
berorganisasi.
Selain pondok Modern Gontor yang melakukan pembaharuan pada sistem pendidikan,
pemikiran, dan pengajaran, pondok terkenal tebuireng pun pada Tahun 1929, kembali
melakukan pembaharuan, yaitu dengan dimasukkannya pelajaran umum ke dalam
struktur kurikulum pengajaran. Hal tersebut adalah suatu tindakan yang belum pernah
ditempuh oleh pesantren lain pada waktu itu. Sempat muncul reaksi dari para wali santri,
bahkan para ulama dari pesantren lain. Hal demikian dapat dimaklumi mengingat
pelajaran umum saat itu dianggap sebagai kemunkaran, budaya Belanda dan
semacamnya. Hingga terdapat wali santri yang sampai memindahkan putranya ke pondok
lain. Namun, madrasah ini berjalan terus karena Pondok Pesantren Tebuireng
beranggapan bahwa ilmu umum akan sangat diperlukan bagi para lulusan pesantren.
Selain pemikiran Islam berkembang di ranah sistem pendidikan, pemikiran Islam juga
berkembang dalam ranah organisasi dan politik. Sebagai contoh lahirnya organisasi Islam
terbesar yaitu Nahdatul Ulama yang mana di dirikan oleh KH. Muhammad Hasyim
Asy’ari yang juga menjadi peserta dalam kongres Islam di Surabaya tersebut.
Perkembangan pemikiran Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya
organisasi-organisasi masyarakat dan politik. Terbukti sebagian besar pemikiran Islam
terlahir dari organisasi-organisasi yang ada, dilanjutkan dengan aktifitas-aktifitas
keagamaan yang mengarah kepada islamisasi budaya dan politik secara massal.
Dinamika itu antara lain nampak dari keterlibatan ulama-ulama nusantara pada jaringan
ulama yang berpusat di Haramain (Makkah dan Madinah). Perintis keterlibatan ulama itu
antara lain diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Nur al-Din al-Raniri (w. 1068 H/1658 M),
Abd al-Rauf al-Sinkili (1024-1105 H/1615-1693 M), Muhammad Yusuf al-Maqassari
(1030-1111 H/1629-1699 M), Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812 M) dan
sebagainya. Dari beberapa ‘ulama berpengaruh itu,  bahkan menunjukkan silsilah atau
isnad yang hampir tak terputus dengan para ‘ulama Timur-Tengah, khususnya Haramain
dan Kairo. Mereka terlibat jaringan keilmuan global dengan agenda pembaharuan
pemikiran Islam, dari apa yang disebut mistiko-filosofis menjadi bercorak neo-sufisme.
Lalu pada paruh kedua abad 19, wacana keagamaan nusantara antara lain ditandai dengan
semakin mapannya jaringan tersebut. Namun pada masa ini ada perubahan-perubahan
signifikan mengenai posisi ulama nusantara di Haramain. Jika pada masa-masa
sebelumnya ulama “Jawi” lebih sebagai murid dari ulama Haramain, pada abad 19 mulai
muncul ulama-ulama nusantara bertaraf internasional yang menjadi “guru besar” di pusat
Islam tersebut. Guru-guru dimaksud pada gilirannya akan melahirkan apa yang disebut
koneksi jaringan di Asia Tenggara. Nama-nama yang paling menonjol mengenai hal ini
antara lain Nawawi al-Bantani (1230-1314 H/1813-1879 M), Ahmad Khatib al-Sambasi
(w. 1875 M), Abd al-Karim al-Bantani, Ahmad Rifa’i Kalisalak (1200-1286 H/1786-
1870), Ismail al-Khalidi al-Minangkabawi, Daud Ibnu Abdullah al-Fatani, Junaid al-
Batawi, Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1276-1334 H/1816-1916 M), Syaikh Ahmad
Nahrawi al-Banyumasi (w. 1346 H/1928 M), Muhammad Mahfuz al-Tirmasi (1285-1338
H/1842-1929 M), Hasan Musthafa al-Garuti (1268-1348 H/1852-1930 M), Sayyed
Muhsin al-Falimbani, Muhammad Yasin al-Padani (1335-1410 H/1917-1990), Abd al-
Karim al-Banjari, Ahmad Damanhuri al-Bantani dan sebagainya.
Selanjutnya pada awal abad ke-20, pemikiran Islam di Indonesia digambarkan secara
jelas oleh Deliar Noer dalam disertasinya. Secara umum, Deliar Noer melihat adanya dua
kecenderungan pemikiran Islam di awal abad ke-20, pertama apa yang ia sebut sebagai
“gerakan tradisional,” dan kedua “gerakan modern” yang terdiri dari gerakan sosial di
satu sisi dan gerakan politik di sisi yang lain. Kategori pertama diwakili oleh Nahdlatul
Ulama (NU) yang berdiri tahun 1926 dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), 1929,
sedang yang kedua diwakili oleh Sarekat Islam (SI), 1911 dan Muhammadiyah, 1912.
Secara lebih spesifik, yang disebut Islam tradisional umumnya bertumpu pada padangan
dunia, ideologi keagamaan dan praktek keislaman yang diaktualisasikan dengan
kepenganutan kepada kalam Asy’ariyah, fikih Syafi’i, dan tasawuf al-Ghazali. Sementara
gerakan modern becorak rasional, non-madzhabi, dan menekankan pada kemurnian
ajaran Islam yang berumber pada al-Qur’an dan al-Hadits. Beberapa hal ini dilihat
sebagai terpengaruh dari pemikian purifikasi Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim di satu sisi
dan pemikiran modernisme Muh. Abduh dan Rasyid Ridla di sisi yang lain.
Abad ke-19 adalah awal kemunculan ideologi pembaruan Islam yang diserukan oleh
Jamaludin Al-afghani dan Muhammad Abduh. Pembaruan Islam yang tumbuh begitu
pesat didukung pula dengan berdirinya sekolah-sekolah pembaruan seperti Adabiah
(1909), Diniyah Putri (1911), dan Sumatera Thawalib (1915).
1. Cak Nur (Nurcholis Madjid)
Ide dan Gagasan Cak Nur tentang sekularisasi dan pluralisme tidak sepenuhnya
diterima dengan baik di kalangan masyarakat Islam Indonesia. Terutama di kalangan
masyarakat Islam yang menganut paham tekstualis literalis (tradisional dan
konservatif) pada sumber ajaran Islam. Mereka menganggap bahwa paham Cak Nur
dan Paramadinanya telah menyimpang dari teks-teks Al-Quran dan Al-Sunnah.
Gagasan Cak Nur yang paling kontroversial adalah saat dia mengungkapkan gagasan
“Islam Yes, Partai Islam No?” yang ditanggapi dengan polemik berkepanjangan
sejak dicetuskan tahun 1960-an, sementara dalam waktu yang bersamaan sebagian
masyarakat Islam sedang gandrung untuk berjuang mendirikan kembali partai-partai
yang berlabelkan Islam. Konsistensi gagasan ini tidak pernah berubah ketika setelah
terjadi reformasi dan terbukanya kran untuk membentuk partai yang berlabelkan
agama.
2. H. Ahmad Dahlan
K.H. Ahmad Dahlan atau dikenal dengan Kiai Dahlan telah membawa pembaharuan
dan membuka kacamata modern Islam di Indonesia sesuai dengan panggilan dan
tuntutan zaman, bukan lagi secara tradisional. Beliau mengajarkan kitab suci Al
Qur’an dengan terjemahan dan tafsir agar masyarakat tidak hanya pandai membaca
ataupun melantunkan ayat Al Qur’an semata, melainkan dapat memahami makna
yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian diharapkan akan membuahkan amal
perbuatan sesuai dengan yang diharapkan dalam Al Qur’an itu sendiri. Menurut
pengamatannya, keadaan masyarakat sebelumnya hanya mempelajari Islam dari
kulitnya saja tanpa mendalami dan memahami isinya. Sehingga Islam hanya menjadi
suatu dogma yang mati.
3. Syekh Muhammad Jamil Jambek
Sebagai ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatera Barat awal abad ke-20, serta
sebagai ahli ilmu falak terkemuka. Nama Syekh Muhammad Jamil Jambek lebih
dikenal dengan sebutan Syekh Muhammad Jambek. Beliau dilahirkan dari keluarga
bangsawan dan juga merupakan keturunan penghulu. Ayahnya bernama Saleh Datuk
Maleka, seorang kepala nagari Kurai, sedangkan ibunya berasal dari Sunda.
Kiprahnya mampu memberikan warna baru di bidang kegiatan keagamaan di
Sumatera Barat. Mengutip Ensiklopedia Islam, Syekh Muhammad Jambek juga
dikenal sebagai ulama yang pertama kali memperkenalkan cara bertablig di muka
umum. Barzanji (rawi) atau marhaban (puji-pujian) yang biasanya dibacakan di
surau-surau saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, digantinya dengan tablig
yang menceritakan riwayat lahir Nabi Muhammad dalam bahasa Melayu.
4. Abdul Karim Amrullah
Lahir dengan nama Muhammad Rasul di Nagari Sungai Batang, Maninjau, Agam,
Sumatera Barat, 10 Februari 1879. Beliau dijuluki sebagai Haji Rasul dan merupakan
salah satu ulama terkemuka sekaligus reformis Islam di Indonesia. Beliau juga
merupakan pendiri Sumatera Thawalib, sekolah Islam modern pertama di Indonesia.
Abdul Karim Amrullah dilahirkan dari pasangan Syekh Muhammad Amrullah dan
Andung Tarawas. Ayahnya, yang juga dikenal sebagai Tuanku Kisai, merupakan
syekh dari Tarekat Naqsyabandiyah. Bersama dengan Abdullah Ahmad, Abdul
Karim Amrullah menjadi orang Indonesia pertama yang memperoleh gelar doktor
kehormatan dari Universitas Al-Azhar, di Kairo, Mesir. Pada tahun 1894, beliau
dikirim oleh ayahnya ke Mekkah untuk menimba ilmu dan berguru pada Syeikh
Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang pada waktu itu menjadi guru dan imam
Masjidil Haram. Pada tahun 1925, sepulangnya dari perjalanan ke Jawa, beliau
mendirikan cabang Muhammadiyah di Minangkabau, tepatnya di Sungai Batang,
kampung halamannya. Salah satu putranya, yaitu Hamka, nama pena dari Haji Abdul
Malik Karim Amrullah, dikenal banyak orang sebagai ulama besar dan sastrawan
Indonesia angkatan Balai Pustaka. Abdul Karim Amrullah meninggal di Jakarta, 2
Juni 1945 pada usia 66 tahun.
5. M. Hasyim Asy’ari
Dari Silsilah Bapak, Kyai Hasyim Asy’ari memiliki nama lengkap Muhammad
Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim atau yang popoler dengan
nama Pangeran Benawa bin Abdurrahman yang juga dikena dengan julukan Jaka
Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatah bin
Maulana Ishak bin Ainul Yakin yang Populer dengan sebutan Sunan Giri. Dari
Silsilah Ibu, Akarhanaf dan Khuluk menyebutnya Muhammad Hasyim binti Halimah
binti Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin
Pangeran Benawa bin Jaka Tingkir atau juga dikenal dengan nama Mas Karebet bin
Lembu Peteng (Prabu Brawijaya VI).
Lahir pada Tanggal 14 Februari 1871. Tempat kelahiran berada di desa Tambakrejo
Kecamatan Jombang, tepatnya di pesantren Gedang. Karena berlatar belakang
pesantren, kali pertama ia dididik dan dibimbing mendalami ilmu pengetahuan Islam
oleh ayahnya sendiri. Kyai Hasyim mendapat bimbingan dari ayahnya mulai masa
kanak-kanak hingga umur 15 tahun, ia mengenal dan mendalami Tauhid, Tafsir,
Hadits, Bahasa Arab dan bidang kajian keislaman lainnya. Belum puas atas yang
didapatkannya mula-mula Kyai hasyim belajar di pesantren Wonokoyo
(Probolinggo), lalu di Pesantren Lagitan (Tuban), merasa belum puas, beliau
melanjutkan ke pesantren Tenggilis (Surabaya), dan ke pesantren Kademangan
(Bangkalan) yang saat itu diasuh oleh Kyai Kholil, selanjutnya ke pesantren Siwilan
Panji (Sidoarjo) yang diasuh oleh Kyai Ya’kub. Kyai Kholil dan Kyai Ya’kub
merupakan dua tokoh penting yang berkontribusi membentuk kapasitas intelektual
Kyai Hasyim.
Atas nasehat Kyai Ya’kub, beliau meninggalkan tanah air untuk berguru pada ulama-
ulama terkenal di Makkah sambil menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya. Di
Makkah, Kyai Hasyim berguru pada Shaykh Ahmad Amin al-Attar, Sayyid Sultan
bin Hasyim, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Attas, dan lain-lain. Selain itu , Kyai
Hasyim juga menimba pengetahuan dari Shaykh Ahmad Khatib Minankabawi,
Shaykh Nawawi al-Bantani dan Shaykh Mahfuz al-Tirmisi yang ketiganya
merupakan guru besar di Makkah.

Anda mungkin juga menyukai