Anda di halaman 1dari 316

P

u
st
ak
a
Sy
ia
h
JUDUL ASLI : Tarikh_e Quran

PENULIS : Ayatullah Hadi Makrifat

PENERJEMAH : Thaha Musawa

PENYUNTING : Anwar Muhammad Aris

Terima tanggal : 29 Agustus 2006

Perlu ditulis teks arabnya pada hal 148 (Mushaf-mushaf)

SEJARAH AL-QURAN

ah
Abstraksi

Al-Quran adalah satu-satunya pesan samawi yang mampu menjaga

i
Sy
orisinalitasnya sepanjang sejarah. Al-Quran telah mengarungi jalan panjang sejarah

dengan selamat, selalu sesuai dengan zaman. Kitab ini terjaga dari segala bentuk

manipulasi dan kerusakan zaman, Sesungguhnya Kami telah menurunkan adz-Dzikr


a

(al-Quran) dan Kami yang menjaganya (QS. al-Hijr:9).


k

Pesan Ilahi di dalam al-Quran dititahkan kepada Rasulullah saw di berbagai


a

peristiwa dan keadaan. Beliau memanggil dan memerintah para penulis wahyu untuk
st

mencatat pesan samawi ini. Catatan-catatan tersebut, semula berbentuk lembaran-


u

lembaran yang bertuliskan ayat per ayat, disusun menjadi satu kesatuan atas perintah
P

Rasulullah saw. Kemudian, ayat-ayat yang banyak itu disusun menjadi surah-surah

yang berjumlah 114, dinamakan Mushhaf. Mushaf adalah lembaran-lembaran yang

disusun menjadi satu buku.

Bagaimana pesan samawi ini turun? Di mana dan kapan diturunkannya?

Disusun atas perintah siapa? Apakah ia disusun dalam satu masa atau secara

bersinambung pada kesempatan yang berbeda? Berapa banyak pesan yang tersusun

1
pada masa Rasulullah saw dan setelah wafatnya beliau? Siapa sajakah yang terlibat

dalam penyusunan tersebut? Apakah pesan samawi itu—yang sampai kepada kita saat

ini—persis seperti ketika diturunkan?

Buku ini kami tulis untuk memaparkan fakta-fakta yang membentuk sejarah

ringkas tentang kitab samawi ini.

Mengetahui sejarah ringkas al-Quran sangatlah penting. Perjalanan peradaban

umat yang besar; dari berbagai bangsa yang memiliki sejarah dan kebudayaan berbeda

ditampilkan dalam kitab ini. Di dalam buku suci inilah masyarakat yang merangkai

peradaban setelah mengenal Islam direkam.

ah
Sejarah seperti ini sangatlah penting untuk diketahui semua orang, sehingga

perjalanan hidup yang ditempuh manusia sepanjang sejarah menjadi jelas. Para pelaku

i
Sy
hidup niscaya selamat dan merdeka dari kegamangan—seperti yang dipesankan oleh

kitab-kitab samawi lainnya—jika mengetahui cara-caranya.

Al-Quran adalah undang-undang Islam. Ia landasan peradaban Islam yang


a

paling mendasar. Hukum ini harus diketahui. Latar belakang penyebabnya harus
k

dipahami dengan jelas. Seluruh peristiwa di dalamnya layak untuk diidentifikasi


a

secara jeli.
st

Pada awal abad perkembangan Islam, banyak terdapat buku-buku bermanfaat


u

bertemakan sejarah al-Quran. Istilah “sejarah al-Quran” adalah istilah yang semarak
P

sejak seratus tahun terakhir. Sebelumnya istilah yang berlaku adalah “mengenal al-

Quran.” Buku-buku tersebut kerapkali memaparkan sifat dan ciri khas mushaf-mushaf

lama; lazim disebut dan dikenal dengan nama Al-Mashahif.1

1
Di antaranya adalah: 1. Ikhtilafu Mashahif asy-Syam wa al-Hijaz wa al-Iraq, karya Abdullah bin
Amir, seorang Qari terkenal dari Syam, dia adalah salah satu dari Qurra’ Sab’ah (w. 118 H). 2.
Ikhtilafu Mashahif fi Ahl al-Madinah wa Ahl al-Kufah wa Ahl al-Bashrah, karya Ali bin Hamzah
Kisa’i, seorang Qari terkenal dari Kufah, salah satu dari Qurra’ Sab’ah (w. 189 H). 3. Ikhtilafu Ahl al-
Kufah wa al-Bashrah wa asy-Syam, karya Yahya bin Ziyad yang dikenal dengan nama Farra’ Baghdadi
(w. 207 H). 4. Ikhtilafu al-Mashahif, karya Khalaf bin Hisyam, perawi Hamzah dan Qari Baghdad,

2
Buku-buku tersebut, sebagian masih bisa ditemui dan bisa dipelajari, seperti

buku Al-Mashahif karya Ibnu Abi Daud.2 Buku ini adalah karya pionir yang

menginspirasi munculnya beberapa karya tulis tentang sejarah al-Quran.

Meski pada mulanya buku tersebut sulit diperoleh, namun Dr. Artur Jefri,

seorang orientalis pakar ilmu-ilmu keislaman menemukan dan menerbitkannya hingga

tersebar ke kalangan luas. Buku tersebut termasuk buku terbaik dan terlama.

Sekarang, tersedia banyak buku yang membahas tema sejarah al-Quran.3 Di

antara buku-buku modern seputar tema itu, ada sebuah buku yang berjudul Tarikh al-

ah
Quran karya Abu Abdillah Zanjani.4

Kami juga ingin menyajikan karya kami; Pertama adalah buku At-Tamhid.5

i
Sy
Kedua, buku At-Tafsir wa al-Mufassirun yang terdiri dari dua jilid. Buku ini

membahas antara lain:


a

salah seorang Qurra’ Asyrah (w. 229 H). 5. Ikhtilaf al-Mashahif wa Jami’ al-Qiraat, karya Madaini (w.
231 H). 6. Ikhtilaf al-Mashahif, karya Abu Hatim (w. 248 H). 7. Al-Mashahif, karya Abdullah bin Abi
k

Daud Sistani (w. 316 H). 8. Al-Mashahif, karya Ibnu Anbari (w. 327 H). 9. Al-Mashahif, karya Ibnu
Asyteh Ishfahani (w. 360 H). 10. Gharib al-Mashahif, karya Warraq.
2
a

Beliau terlahir di kota Sistan pada 230 H dan dewasa di kota Neisyabur. Usia mudanya dihabiskan
untuk menekuni bidang ini. Dia mengembara ke berbagai tempat untuk meraih pemahaman; Khurasan,
st

Ishfahan, Persia, Bashrah, Baghdad, Kufah, Madinah, Mekkah, Damaskus, Mesir, Hijaz dan negara-
negara Islam lainnya.
3
Di antaranya adalah: Buku Lamahat min Tarikh al-Quran, karya Ustad Sayid Muhammad Ali Asygar,
seorang ulama kontemporer ternama di Karbala. Buku Tarikh_e Quran, karya Prof. Dr. Mahmud
u

Ramyar. Buku Buhutsun fi Tarikh al-Quran wa Ulumihi, karya Prof. Sayid Abul Fadhl Mir
Muhammadi. Buku Tarikh_e Quran, karya Prof. Dr. Sayid Muhammad Baqir Hujjati. Kitab-kitab
P

tersebut termasuk karya-karya terbaik di masa kini.


Buku Tarikh al-Quran wa at-Tafsir, karya Dr. Abdullah Mahmud Syahatah, seorang penulis dari
Mesir. Buku Tarikh al-Quran wa Gharaibu Rasmihi, karya Muhammad Thahir, seorang penulis dari
Mesir. Buku Tarikh al-Quran, karya Dr. Abdul Shabur Syahin. Buku Tarikh al-Quran, karya Ibrahim
Abyari, penulis kitab Al-Mausu’ah al-Quraniyah. Buku Tarikh al-Quran wa al-Mashahif, karya Musa
Jarullah Rostofdoni. Buku Min Qadhaya al-Quran, Nazhmuhu, Jam’uhu wa Tartibuhu, karya Abdul
Karim Khathib, seorang mufasir dari Mesir. Buku Tarikh wa Ulum_e Quran, karya Ali Hujjati
Kermani. Buku Tarikh_e Jam’e Quran_e Karim, karya Muhammad Ridha Jalali Naini.
Berkenaan dengan Sejarah al-Quran, para orientalis telah melahirkan banyak karya, sebagian telah di
terjemahkan ke bahasa Parsi, seperti Tarikh_e Quran karya Blasyur, telah dicetak oleh Agha Mahmud
Ramyar dengan judul Dar Astaneh_ye Quran.
4
Abu Abdillah Zanjani adalah anggota Asosiasi Ilmu Arab di Damaskus. Beliau ulama besar, fakih dan
sastrawan Najaf Asyraf. Di Iran, buku tersebut sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Parsi dan mudah
didapat oleh para pelajar.
5
Buku ini adalah hasil kajian tematik al-Quran yang berlangsung selama tiga puluh tahun. Di setiap
babnya berisi pendapat-pendapat ulama Imamiyah seputar al-Quran serta pembahasannya. Buku ini

3
1. Fase tafsir sejak masa Rasulullah hingga periode sahabat dan tabi’in

serta peranan Ahlulbait dalam penafsiran al-Quran.

2. Penjelasan metodis dan mendalam tentang periode pengumpulan tafsir.

3. Sejarah penafsiran al-Quran.

4. Pemahaman terhadap buku-buku tafsir.

5. Biografi para mufasir.

Buku yang berada di tangan pembaca ini memuat enam bab yang mengulas

bagaimana mengenal al-Quran. Bab pertama adalah pendahuluan, pembahasannya

ah
antara lain:

- Cara mengenal wahyu dan kemungkinan wahyu.

i
Sy
- Pembahasan secara jeli tentang dalil-dalil yang menolak wahyu, khususnya

berkenaan dengan wahyu risali (komunikasi Pencipta dengan makhluk

terpilih-Nya).
a

- Apakah seseorang memiliki kelayakan untuk mengemban pesan Tuhan


k

secara langsung?
a

- Mungkinkah pesan samawi tersebut diselewengkan?


st

- Pembahasan sejarah wahyu secara umum dan wahyu al-Quran secara


u

khusus, serta cara turunnya wahyu kepada Rasulullah saw.


P

- Bagaimanakah Rasulullah menyampaikan kepada para penulis wahyu

untuk dicatat?

Pembahasan bab dua antara lain adalah:

- fase pertama diturunkannya al-Quran setelah tiga tahun turunnya wahyu risali.

terdiri dari tujuh jilid. Masing-masing jilidnya memaparkan segala permasalahan yang berhubungan
dengan al-Quran, salah satunya adalah penjelasan sejarah al-Quran secara metodis.

4
- Turunnya al-Quran secara sekaligus atau berangsur-angsur.

- Pendapat para ulama tentang turunnya al-Quran dari ayat dan surah pertama

sampai terakhir.

- Urutan turunnya surah-surah Makkiyah dan Madaniyah.

- Tolok ukur pembedaan surah-surah Makkiyah dengan Madaniyah (apakah

ayat-ayat tersebut mengandung pengecualian).

- Manfaat mengetahui perbedaan surah-surah Makkiyah dari Madaniyah.

- Asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat atau surah).

- Perbedaan antara asbabun nuzul dengan sya’nun nuzul (masalah turunnya ayat

ah
dan riwayat), tanzil dan takwil serta cara mengetahui asbabun nuzul.

- Nama-nama al-Quran, arti surah dan ayat, nama surah-surah, apakah nama-

i
Sy
nama surah tersebut bersifat tauqifi; ditentukan oleh pembuat syariat atau

berdasarkan kesepakatan, uraian nama-nama surah dan jumlah ayat.


a

Bab tiga membahas antara lain:


k

- Penyusunan al-Quran; penentuan penyusunan ayat-ayat dalam setiap surah dan


a

ayat.
st

- Mushaf-mushaf para sahabat hingga masa penyatuan semua mushaf pada


u

zaman kekhilafahan Usman yang mengumpulkan semua catatan, hingga


P

kemudian al-Quran tersaji dalam satu naskah sempurna dan dikenal dengan

nama “umm” (induk semua mushaf) atau “imam” (pemimpin semua mushaf).

- Ciri khas mushaf-mushaf Usmani; kaligrafi, asal mula kaligrafi Arab,

perbedaan yang ada di setiap mushaf, masa keindahan kaligrafi al-Quran

hingga periode pencetakannya.

5
Bab empat membahas antara lain:

- Para Qari al-Quran dan tujuh macam bacaan, faktor-faktor yang menyebabkan

perbedaan membaca al-Quran.

- Cara mengidentifikasi bacaan yang benar.

- Apakah bacaan Ashim adalah bacaan yang sesuai dengan bacaan mayoritas

Muslim sejak awal Islam hingga sekarang? Apakah model ini selalu ada di

setiap periode sejarah bacaan? Apakah bacaan seperti ini memiliki sanad yang

sahih dan diriwayatkan dari Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib?

ah
Bab lima membahas antara lain:

- Masalah tahrif. Apakah semua ulama dan para peneliti di dalam Islam

i
Sy
bersepakat bahwa al-Quran tidak akan pernah mengalami perubahan sama

sekali, tidak ada yang berkurang dan tidak bertambah?


a

Bab enam membahas antara lain:


k

- Terjemahan al-Quran yang mengandung metodologi penerjemahan, fatwa fukaha


a

Syi’ah dan Sunni, contoh terjemahan al-Quran pada masa lalu.


st

Inilah sajian isi buku yang kami suguhkan kepada Anda. Semoga kajian yang
u

telah kami lakukan dengan memaparkan semua permasalahan yang bersandar kepada
P

bukti-bukti sejarah otentik dan berusaha menghindari keberpihakan bisa menjadi

persembahan kepada dunia ilmu pengetahuan dan diterima di sisi Dia Yang Maha

Esa.

Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut mengkaji ulang,

mencetak dan menyebarkan karya ini. Demikian juga kepada Agha Sayid Muhammad

Ali Ayyazi yang melakukan koreksi, betapa beliau telah melakukan pekerjaan yang

6
sangat melelahkan. Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya kepada mereka semua.

Semoga Allah menghargai semua usaha baik mereka dan membalas ilmu serta

pemiliknya dengan sebaik-baik ganjaran. Insya Allah.

Muhammad Hadi Makrifat

Bab I

Fenomena Wahyu

Pembahasan tentang wahyu sangat penting karena merupakan pemahaman

dasar untuk mengenal kalam Ilahi. Al-Quran sebagai kalam Ilahi bisa diterima apabila

ah
masalah wahyu sudah jelas.

Al-Quran adalah firman Allah Swt. Buku suci ini mengandung pesan samawi

i
yang diperantarai oleh wahyu. Wahyu adalah ilham gaib dari sisi Malakut al-A’la
Sy
yang turun ke alam materi.

Allah Swt berfirman melalui lisan Rasulullah saw, Dan sesungguhnya al-
a

Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan seluruh alam yang dibawa turun oleh
k

ar-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad saw) agar engkau termasuk
a

orang yang memberi peringatan dengan bahasa Arab yang jelas (QS. asy-
st

Syu’ara:192-195).
u

Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhan kepadamu… (QS. al-

Isra:39).
P

…dan al-Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi

peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai (al-Quran kepadanya)

(QS. al-An’am:19).

Karenanya, masalah paling mendasar dalam keyakinan Qurani adalah

pembahasan tentang wahyu; tentang mengenal wahyu, cara terjalinnya hubungan

antara Yang Mahatinggi dengan materi yang rendah, apakah mungkin terjalin

7
hubungan antara alam fisik dengan metafisik? Apakah keterjalinan hubungan tersebut

tidak terkait dengan masalah sinkhiyyat (kesamaan)? Jawaban dari semua pertanyaan

tersebut akan membuka jalan untuk mendapat keyakinan Qurani.

Wahyu Secara Etimologi

Secara kebahasaan, wahyu memiliki banyak arti yang berbeda-beda. Di

antaranya adalah: isyarat, tulisan, risalah, pesan, perkataan yang terselubung,

pemberitahuan secara rahasia, bergegas, setiap perkataan atau tulisan atau pesan atau

isyarat yang disampaikan kepada orang lain.

ah
Menurut Raghib Ishfahani, wahyu adalah isyarat yang cepat. 6 Menurut Abu

Ishaq, wahyu dalam pengertian semua bahasa adalah pemberitahuan secara rahasia,

i
Sy
karena itulah ilham disebut dengan wahyu. Menurut Ibnu Barri, wahyu adalah

pembicaraan yang dirahasiakan.

Seseorang bersyair,
a

Wahyu telah disampaikan kepada kami


k

Sampai ujung jari-jemarinya meniscayakan membawa pesannya 7


a

Seorang yang lain bersyair,


st

Kupandang ia maka kebingungan melanda


u

jeli pikiranku ketika menyifati keindahannya


P

Sorot mataku mengiba pesan kepadanya

aku cinta kepadanya

kemudian di kedua pipinya tampak tanda-tanda pesan itu

6
Al-Mufradat fi Gharaib al-Quran, hal.515.
7
Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, jilid 15, hal.380.

8
Wahyu dalam Al-Quran

Kata wahyu dalam al-Quran memiliki empat arti;

1. Isyarat secara rahasia. Ini adalah pemaknaan wahyu secara kebahasaan.

Sebagaimana ayat yang dimaktubkan dalam al-Quran berkenaan dengan Nabi

Zakariya as, Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat

kepada mereka, “Hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.” (QS.

Maryam:11).

2. Petunjuk naluriah, yaitu petunjuk-petunjuk yang bersifat naluriah yang ada

di dalam diri semua makhluk. Setiap maujud, baik itu benda padat, tumbuhan, hewan

ah
dan manusia, secara instingtif mengetahui jalan keabadian dan keberlangsungan

hidupnya. Petunjuk yang bersifat naluriah ini disebut dalam al-Quran dengan nama

i
Sy
wahyu. Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, “Buatlah sarang di bukit-bukit, di

pohon-pohon kayu dan di tempat-tempat yang dibuat manusia. Kemudian makanlah

dari segala (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah
a

dimudahkan (bagimu).” Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang
k

bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi


a

manusia. Sungguh, dari yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran
st

Allah) bagi orang yang berpikir (QS. an-Nahl:68-69).


u

Petunjuk yang bersifat naluriah yang terdapat dalam diri segala sesuatu
P

merupakan misteri yang terselubung. Misteri-misteri alam itu memiliki pengaruh

menakjubkan yang dapat dilihat. Meski demikian, sumbernya tersembunyi dari semua

pandangan. Fenomena ini layak disebut dengan nama wahyu. Dan Dia mewahyukan

pada tiap-tiap langit urusannya… (QS. Fushshilat:12).

3. Ilham (bisikan gaib). Kadangkala manusia menerima pesan, tetapi tidak

mengetahui dari mana asal pesan tersebut. Biasanya pesan ini muncul dalam kondisi

9
terdesak, ketika dia menganggap telah menapaki jalan buntu. Tiba-tiba, muncul

pancaran dari dalam hati yang memberitahu adanya jalan terang dan memberi harapan

untuk terbebas dari kesulitan. Pesan-pesan pemberitahu jalan keluar ini adalah suara

gaib yang membantu manusia dari balik layar wujud. Inilah inayah Sang Pencipta

kepada alam semesta.

Suara gaib dari inayah Ilahiah ini, disebut oleh al-Quran dengan nama wahyu.

Berkenaan dengan ibunda Nabi Musa as al-Quran mengisahkan, Dan Kami ilhamkan

kepada ibu Musa, “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka

hanyutkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah

ah
bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan

menjadikannya (salah seorang) dari para Rasul.” (QS. al-Qashash:7).

i
Sy
Dan sesungguhnya Kami telah memberi nikmat kepadamu pada kesempatan

yang lain, yaitu ketika Kami mengilhamkan kepada ibumu suatu yang diilhamkan,

“Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil),


a

maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir’aun) musuh-Ku
k

dan musuhnya…”
a

Maka Kami mengembalikanmu kepada ibumu, agar senang hatinya dan tidak
st

berduka cita (QS. Thaha:37-40).


u

Ketika Musa as lahir, ibunya mengkhawatirkan nasibnya. Tiba-tiba dalam


P

benak ibunya muncul kepasrahan untuk bertawakal kepada Tuhan. Kemudian dia

menyusui bayinya. Meski khawatir, dia letakkan Musa as ke dalam peti yang

kemudian dihanyutkan di aliran sungai. Namun, dalam benaknya tersemat keyakinan

bahwa bayinya kelak kembali kepadanya. Ibu Nabi Musa as merasa ada yang tidak

memperbolehkannya bersedih. Pada saat itulah dia telah bertawakal dan menyerahkan

nasib bayinya kepada Allah.

10
Itulah suara yang menyinari dan melintas dalam hati ibu Nabi Musa as. Ibu

Nabi Musa memiliki secercah harapan karenanya. Dia tidak memikirkan sesuatu yang

lain, selain Tuhan. Pikiran yang menerangi jalan dan menolongnya dari kesulitan dan

ketakutan seperti ini adalah ilham rahmani dan inayah rabbani yang menghampiri

hamba-hamba saleh ketika berada dalam posisi terdesak.

Al-Quran juga menggunakan kata wahyu untuk menyebut bisikan setan,8 Dan

demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis)

manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang

lain perkataan-perkataan indah untuk menipu (manusia) (QS. al-An’am:112).

ah
Sesungguhnya setan-setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar

mereka membantah kamu (QS. al-An’am:121).

i
Sy
Di dalam surah an-Nas disebutkan, Dari kejahatan (bisikan) setan yang

biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. Dari

(golongan) jin dan manusia.


a

4. Wahyu risali. Wahyu ini hanya khusus untuk Nabi. Di dalam al-Quran,
k

wahyu risali disebut lebih dari tujuh puluh kali:


a

Demikianlah Kami wahyukan kepadamu al-Quran dalam bahasa Arab supaya


st

kamu memberi peringatan kepada penduduk Mekkah dan penduduk (negeri-negeri)


u

sekelilingnya (QS. asy-Syura:7).


P

Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan al-

Quran ini kepadamu (QS. Yusuf:3).

Para nabi adalah orang-orang yang mencapai derajat kesempurnaan, karena

mereka telah mempersiapkan diri untuk menerima wahyu. Berkaitan pendapat ini,

8
Penegasan ini menunjukkan arti kata “wahyu” secara umum—peny.

11
Imam Hasan Askari as bersabda, “Sesungguhnya Allah mendapati hati dan jiwa

Muhammad sebaik-baik hati, maka Dia memilihnya sebagai nabi-Nya.” 9

Karenanya menambah pengetahuan dan kesiapan menerima pesan samawi ini

menjadi sangat penting. Tujuannya adalah mengikis habis segala hiasan jasmani dari

diri seseorang hingga layak menjalin hubungan dengan para malakut. Rasulullah saw

bersabda, “Allah tidak akan mengutus seorang nabi atau rasul melainkan Dia

sempurnakan akalnya dan jadilah akalnya lebih unggul dari seluruh akal umatnya.” 10

Mulla Shadra berpendapat bahwa batin Nabi dihiasi dengan hakikat kenabian

jauh sebelum beliau lahir. Hal ini telah diketahui secara sempurna oleh para nabi.

ah
Nabi telah menghias batinnya secara gemilang dengan kesempurnaan insani, jauh hari

sebelum beliau menampakkannya. Pada saat itulah Qalib (jasad) menyandang

i
Sy
predikat Qalb (hati). Itulah yang muncul dan tampak dari Nabi. Pertama beliau

melakukan perjalanan dari al-khalq (makhluk) menuju al-Haq. Kemudian

perjalanannya dilanjutkan dari sisi al-Haq bersama al-Haq menuju al-khalq


a

(makhluk). 11
k

Katakanlah, “Barangsiapa yang menjadi musuh Jibril, maka (ketahuilah)


a

maka dialah yang telah menurunkan (al-Quran) ke dalam hatimu dengan izin
st

Allah…” (QS. al-Baqarah:97).


u

Dia dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin ke dalam hatimu (Muhammad) agar
P

engkau termasuk orang-orang yang memberi peringatan (QS. asy-Syu’ara:193-194).

Wahyu sama seperti ilham. Keduanya menjadikan jiwa terang. Bedanya

adalah sumber ilham tidak diketahui oleh yang mendapatkannya, sementara sumber

wahyu jelas bagi mereka yang mendapatkannya. Para nabi tidak pernah merasa

9
Majlisi, Muhammad Baqir, Bihar al-Anwar, jilid 18, hal.205, hadis ke-36.
10
Muhammad bin Ya’qub Kulaini, Ushul al-Kafi, jilid 1, hal.13.
11
Shadruddin Syirazi, Syarh_e Ushul_e Kafi, jilid 3, hal.454.

12
bingung dan salah ketika menerima pesan samawi, karena mereka bergegas

menyambutnya dengan kesadaran yang utuh dan lapang dada.

Zurarah bertanya kepada Imam Ja’far Shadiq, “Bagaimana Nabi bisa percaya

bahwa apa yang sampai kepadanya adalah wahyu Ilahi, bukan bisikan setan?”

Imam Ja’far Shadiq menjawab, “Sesungguhnya setiap Allah memilih seorang

hamba sebagai nabi, maka Dia menganugerahkan ketenangan kepadanya, sehingga

apa yang sampai kepadanya dari Allah, sama seperti yang dilihat dengan matanya.” 12

Imam Ja’far juga pernah ditanya, “Bagaimana bisa para nabi tahu kalau

mereka adalah nabi?”

ah
Imam Ja’far Shadiq menjawab, “Telah disingkap tirai dari mereka.” 13

Para nabi telah tuntas melewati jenjang ilmul yaqin, kemudian mengarungi

i
Sy
ainul yaqin dan mencapai haqqul yaqin ketika diutus sebagai nabi. Karenanya, tak

perlu heran jika di lautan manusia, ada orang-orang pilihan yang suci, tampil ke

permukaan, mengemban risalah Ilahi, menyampaikan pesan samawi untuk manusia


a

supaya beruntung. Sebagaimana firman-Nya dalam al-Quran, Pantaskah manusia


k

menjadi heran bahwa Kami mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka,
a

“Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang beriman


st

bahwa mereka memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan.” Orang-orang kafir
u

berkata, “Sesungguhnya orang ini (Muhammad) benar-benar penyihir yang nyata.”


P

(QS. Yunus:2).

Untuk menghilangkan segala keheranan dan prasangka buruk, Allah

berfirman, Sesungguhnya Kami telah mewahyukan kepadamu (Muhammad)

sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya, dan

Kami telah mewahyukan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya;
12
Muhammad bin Mas’ud Ayyasyi Samarqandi, Tafsir al-Ayyasyi, jilid 2, hal.201, hadis ke-106; Bihar
al-Anwar, jilid 18, hal.262, hadis ke-16.
13
Bihar al-Anwar, jilid 11, hal.56, hadis ke-56.

13
Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Dawud.

Dan beberapa rasul yang telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu sebelumnya

dan ada beberapa rasul yang tidak kami kisahkan kepadamu. Dan kepada Musa Allah

berfirman langsung. Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan

pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah

setelah rasul-rasul itu diutus. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. (Mereka tidak

mau mengakui yang diturunkan kepadamu itu), tetapi Allah menjadi saksi atas (al-

Quran) yang diturunkannya kepadamu (Muhammad). Dia menurunkannya dengan

ilmunya, dan malaikat-malaikat pun menjadi saksi. Cukuplah Allah yang menjadi

ah
saksi. Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalang-halangi (orang lain)

dari jalan Allah, benar-benar telah sesat sejauh-jauhnya (QS. an-Nisa:163-167).

i
Sy
Bukan sebuah peristiwa yang mengherankan jika ada seseorang yang

mendapatkan wahyu. Inilah fenomena yang selalu berseiring bersama manusia

sepanjang sejarah.
a
k

Macam-macam Wahyu Risali


a

Dan tidaklah patut bagi seseorang bahwa Allah berbicara kepadanya kecuali
st

dengan perantara wahyu atau dari belakang tabir atau dengan mengutus utusan
u

(malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki.
P

Sesungguhnya Dia Mahatinggi, Mahabijaksana. Dan demikianlah Kami wahyukan

kepadamu (Muhammad) ruh (al-Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau

tidak mengetahui apakah kitab (al-Quran) dan apakah iman itu, tetapi Kami jadikan

al-Quran itu cahaya, dengan itu Kami memberi petunjuk siapa yang kami kehendaki

di antara hamba-hamba Kami. Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing

(manusia) kepada jalan yang lurus (QS. asy-Syura:51-52).

14
Menurut al-Quran, wahyu risali ada tiga macam:

1. Wahyu secara langsung. Wahyu yang disampaikan ke dalam hati Rasulullah

saw secara langsung tanpa perantara. Sekaitan dengan ini, Rasulullah saw bersabda,

“Sesungguhnya Ruhul Qudus membenamkan ke dalam hatiku.” 14

2. Wahyu berbentuk suara. Wahyu yang langsung sampai ke pendengaran

Rasulullah saw tanpa ada seorang pun yang bisa mendengarnya. Fenomena ini sama

seperti orang yang berbicara di balik tirai. Al-Quran mengungkapkannya dengan

istilah dari belakang tabir. Wahyu semacam ini disampaikan kepada Nabi Musa as

ketika beliau berada di gunung Thur dan kepada Rasulullah saw pada malam Mi’raj.

ah
3. Wahyu melalui perantara Jibril. Malaikat penyampai wahyu membawa

pesan Ilahi untuk dikabarkan kepada Rasulullah saw . Sebagaimana disebutkan dalam

i
Sy
al-Quran, …maka (ketahuilah) bahwa dialah yang telah menurunkan (al-Quran) ke

dalam hatimu (Muhammad) (QS. al-Baqarah:97).


a

Ketidakmustahilan Wahyu
k

Wahyu adalah jalinan komunikasi antara Yang Mahatinggi dengan materi


a

yang rendah. Bagaimanakah hubungan ini berlangsung? Padahal koherensi serta


st

saling berhadapan—yang konsekuensinya dibutuhkan adanya naik dan turun—


u

menjadi syarat terjalinnya komunikasi sinergis dan bersinambung. Padahal alam


P

metafisik kosong dari sifat-sifat jasmaniah.

Sebagian cendekiawan Barat memiliki kecenderungan terhadap agama.

Mereka memiliki paradigma baru tentang wahyu; sesuatu yang disampaikan para nabi

atas nama wahyu adalah buah dari pikiran-pikiran internal mereka. Para nabi adalah

orang yang berpemikiran jenial dan reformis. Pemikiran internal mereka itu

14
Al-Itqan, jilid 1, hal.44.

15
kadangkala mereka namakan wahyu, terkadang mereka sebut malaikat. Para nabi itu

juga mengira bahwa mereka telah diberi ilham dari alam lain. Karenanya sebagian

kesalahan-kesalahan yang dapat ditemui dalam ujaran-ujaran dan tulisan-tulisan

mereka adalah hal yang sangat jelas dan alami.

Pemikiran para nabi lahir karena lingkungan dan kondisinya. Kemudian

menguasai pikiran dan keyakinan masyarakat pada zaman itu. Mereka menyebutkan

keyakinan zamannya, setelah itu terbukti kesalahannya. Kemudian mereka berkata,

“Mahasuci Allah dari ‘segala kesalahan’ atau ‘firman-Nya’.” 15

Paradigma seperti itu adalah kesalahan berpikir dengan menganggap para

ah
utusan Tuhan atau para nabi adalah orang-orang lugu yang tak mampu membedakan

hal-hal imajinatif dengan kebenaran realitas. Dianggapnya para nabi itu penipu dan

i
Sy
pembohong. Mereka ingkari kenabian secara asumtif. Namun, kebenaran, kejujuran,

keagungan dan kesucian pribadi para nabi adalah jelas bagi semua orang.

Para cendekiawan itu melakukan dua kesalahan:


a

1. Mereka menjadikan buku suci yang sudah diselewengkan, yaitu kitab-kitab


k

terjemahan yang tidak sempurna dan dicampuri pendapat manusia sebagai tolok ukur
a

penelitian dan pengkajian wahyu samawi. Sebenarnya, jika ingin melakukan


st

penelitian, harus diselidiki dulu kebenaran semua tulisan yang termaktub dalam buku
u

terjemahan tersebut.
P

2. Mereka telah membangun asumsi bahwa manusia adalah maujud material.

Padahal, sejatinya, manusia adalah makhluk gabungan ruh dengan jasad. Ruh manusia

berasal dari sinkhi al-Mala’ul a’la (koherensi) dan sinkhiyyat (kesesuaian), inilah

syarat terjalinnya komunikasi, karenanya wahyu menjadi sesuatu yang mungkin.

15
Muhammad Farid Wujdi, Dairat al-Ma’arif al-Qarnil Isyrin, jilid 10, hal.715.

16
Masalah spiritualitas manusia dan koherensi dengan Tuhan Yang Mahatinggi,

tidak dibahas dalam buku ini. Namun demikian, agar kita bisa menjelaskan masalah

wahyu dan kedudukannya dengan baik dan membuktikan ketidakmustahilannya

(wahyu yang non materi diterima oleh manusia yang materi—peny.), maka kami akan

menukil dari penjelasan al-Quran dan hadis.

Spiritualitas Manusia

Spiritualitas manusia menjadi tema yang sejak dahulu hingga kini tak kunjung

usai dibahas manusia. Ia memiliki porsi khusus dalam filsafat, budaya dan seni. Tema

ah
ini sering disebut oleh al-Quran dan hadis. Bahkan filsafat Islam menjadikan tema ini

selalu “hangat”.

i
Sy
Manusia adalah maujud yang memiliki dua sisi, berada di antara alam fisik

dan metafisik, memiliki ruh dan jasad. Dari satu sisi ia sangatlah tinggi, tangannya

menggapai langit. Di sisi lain ia menukik ke bawah, meraih bumi.


a

Setelah al-Quran menyifati jenjang-jenjang penciptaan manusia, sejak periode


k

janin, spiritualitas membawanya ke tempat yang jauh lebih tinggi dari alam materi,
a

saat itu ditiupkan ruh yang sangat mulia kepadanya.


st

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari saripati tanah.


u

Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang
P

kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, kemudian

Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal

daging dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang

itu Kami bungkus dengan daging… (QS. al-Mu’minun:12-14).

Seperti itulah penjelasan al-Quran tentang tahapan-tahapan eksistensi materi

manusia. Setelah itu al-Quran menegaskan, …kemudian Kami menjadikannya

17
makhluk yang (berbentuk) lain. Mahasuci Allah, Pencipta Yang Paling Baik (QS. al-

Mu’minun:14). Maksud dari makhluk yang lain di sini adalah ruh yang ditiupkan

kepadanya setelah janin memasuki usia empat bulan.

Di ayat lain juga disebutkan dua fase penciptaan, Yang memperindah segala

sesuatu yang Dia ciptakan dan Yang memulai ciptaan manusia dari tanah. Kemudian

Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia

menyempurnakan dan meniupkan ruh ke dalam (tubuh)nya ruh-Nya… (QS. as-

Sajdah:7-9). Di dalam ayat ini disebutkan bahwa ruh yang ditiupkan dalam diri

manusia berasal dari alam malakut dan dinisbahkan kepada Tuhan. Berarti ruh jauh

ah
lebih luas dari semua materi.

Imam Ja’far Shadiq bersabda, “Allah menciptakan suatu makhluk dan

i
Sy
menciptakan suatu ruh, kemudian memerintahkan satu malaikat untuk meniupkan ruh

ke dalamnya.” 16

Manusia dalam pandangan al-Quran adalah makhluk yang terdiri dari jasad
a

dan ruh. Pertama-tama jasad dahulu tercipta, kemudian ditiupkan ruh yang kekal di
k

dalamnya.
a

Dalam pandangan filsafat, manusia bukanlah maujud yang murni materi.


st

Manusia tidak terbatas oleh jasmani; daging, kulit, tulang dan otot. Ia memiliki
u

eksistensi yang lebih tinggi. Posisinya lebih tinggi dari alam materi dan ruang lingkup
P

jasmani murni, karena sifat-sifat yang dimiliki manusia jauh lebih tinggi dari sisi

jasmaniahnya.17

Manusia memiliki dua unsur; jasmani dan ruhani. Bukan mengherankan jika ia

bisa menjalin komunikasi dan hubungan dengan alam metafisik. Jalinan seperti ini

16
Bihar al-Anwar, jilid 61, hal.32, hadis ke-5.
17
Untuk lebih jelas dan lebih detail, silahkan merujuk buku Al-Asfar al-Arba’ah karya Sadruddin
Syirazi, bab II, hal.28-52; Fakhruddin Razi, Mafatih al-Ghaib. Tafsir al-Kabir, jilid 21, hal.43-51, yang
menjelaskan ayat Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh… Muhammad Husain Thabathaba’i, Al-
Mizan, jilid 1, hal.365-369 dan jilid 10, hal.118.

18
terkait dengan sisi ruhaniah dan batinnya yang berkelindan. Kenyataan inilah yang

menimbulkan wahyu.

Wahyu adalah peristiwa ruhani, bisa dialami oleh banyak orang yang memiliki

keistimewaan secara ruhaniah. Inilah syarat kelayakan untuk terjalinnya komunikasi

atau hubungan dengan alam metafisik dengan manusia, kemudian ilham yang

bersumber dari luar dirinya—untuk melihat permasalahan secara jernih—akan

diperolehnya.

Karena itu, wahyu untuk para nabi bukanlah pemikiran imajinatif atau

pemikiran yang muncul karena kondisi batin. Ia adalah kabar ruhani dari alam yang

ah
lebih tinggi kepada orang yang memiliki kelayakan. Tidak layak seseorang merasa

heran terhadap peristiwa ini.

i
Sy
Ada sesuatu yang tidak kita ketahui—meskipun wahyu adalah realitas yang

jelas dan kita memiliki keyakinan kuat terhadapnya—yaitu cara terjalinnya

komunikasi atau hubungan ruhaniah ini.


a

Ketika kita berusaha untuk mengetahuinya melalui tolok ukur materi atau
k

dengan menyifatinya, maka kita hanya bisa menyifati komunikasi tersebut dalam
a

batasan aksioma, tunduk terhadap kata, berada dalam ruang lingkup indrawi.
st

Karenanya tema ini tetap saja menjadi rahasia bagi kita. Semua pemahaman yang
u

diungkapkan untuk memaparkan masalah ini, pasti bersifat kiasan, tidak akan pernah
P

mewakili arti sebenarnya.

Sekali lagi, wahyu adalah fenomena yang tidak bisa ditolak akal sehat dan kita

meyakininya. Tapi, ia tidak bisa disifati dan hakikatnya tidak bisa dijamah. Ia adalah

peristiwa ruhaniah yang hanya diketahui oleh orang-orang istimewa yang memiliki

syarat dan kelayakan.

19
Bagaimana Wahyu Diturunkan?

Ketika menerima wahyu secara langsung, tanpa perantara, Rasulullah saw

merasa ada yang membebani dirinya. Teramat berat sehingga tubuhnya menggigil.

Keningnya mengucurkan keringat deras. Jika wahyu itu sampai ketika beliau sedang

menunggang unta atau kuda, maka punggung hewan itu membungkuk dan hampir

menyentuh tanah.

Ali bin Abi Thalib berkata, “Ketika surah al-Maidah diturunkan kepada

Rasulullah saw, beliau saw sedang menunggang seekor keledai bernama Syahba.

Wahyu telah membuat beliau menjadi berat, sehingga hewan yang berdiri itu perutnya

ah
tergantung. Aku melihat pusar hewan itu nyaris menempel tanah. Pada saat itu

Rasulullah saw tak sadarkan diri dan tangan beliau saw berada di atas kepala salah

i
Sy
seorang sahabat.” 18

Ubadah bin Shamit berkata, “Ketika wahyu turun, wajah Rasulullah saw pucat

pasi. Pada saat itu beliau menundukkan wajahnya. Kemudian para sahabat juga
a

mengikuti beliau.” 19
k

Kita tidak mengerti mengapa Rasulullah saw mengalami hal demikian. Kita
a

tidak mengetahui hakikat wahyu itu sendiri. Untuk mengetahui lebih rinci, silahkan
st

merujuk ke kitab-kitab yang membahas tentang wahyu dan cara turunnya. 20


u

Sebagian orang yang menentang agama mempermasalahkan tentang wahyu


P

Tuhan kepada hamba-hamba terbaik-Nya. Mereka membuat kisah-kisah tak berdasar,

fiktif.

Untuk menjawab keraguan tentang wahyu, kami menyuguhkan dua pertanyaan

berikut:

18
Tafsir al-Ayyasyi, jilid 1, hal.388.
19
Thabaqat Ibn Sa’d, jilid 1, hal.131.
20
Silahkan merujuk ke At-Tamhid fi Ulum al-Quran karya Muhammad Hadi Makrifat, jilid 1, hal.66
dan seterusnya.

20
1. Mungkinkah seorang nabi, pada awal pengutusannya, berprasangka buruk

terhadap dirinya sendiri serta meragukan apa yang dialaminya?

2. Mungkinkah setan mencampuri wahyu dan menjelmakan tipu muslihatnya

dalam bentuk wahyu?

Menurut sabda-sabda dan ajaran mulia yang bersumber dari Ahlulbait,

kemungkinan itu tidak akan pernah ada pada Rasulullah saw. Namun, dalam tulisan-

tulisan ahli hadis dari jalur selain Ahlulbait, jawabannya adalah “bisa” karena mereka

banyak meriwayatkan hadis yang bertentangan dengan ke-ishmah-an dan meragukan

landasan dan dasar kenabian.

ah
Sebagai contoh kami akan menukil dua kisah dari riwayat-riwayat ahli hadis.

Kemudian kami akan membuktikan kepalsuannya dengan argumentasi rasional dan

i
Sy
argumentasi teks (al-Quran dan riwayat). Riwayat tersebut sebagai berikut:

Kisah Waraqah bin Naufal


a

Waraqah bin Naufal adalah salah seorang paman Khadijah al-Kubra. Dia tidak
k

memiliki pengetahuan yang luas, hanya sedikit mengetahui sejarah nabi-nabi


a

terdahulu. Diriwayatkan bahwa dialah orang yang gemar menyembah berhala.21


st

Waraqah, disebutkan dalam riwayat sebagai orang yang menyelamatkan


u

Rasulullah saw dari kebimbangan pada awal-awal bi’tsah (pengutusan sebagai nabi).
P

Bukhari, Muslim, Ibnu Hisyam dan Thabari menjelaskan kejadian itu dengan

keterangan sebagai berikut:

Ketika Muhammad saw berkhalwat (menyendiri) di gua Hira bersama untuk

berdua dengan Tuhan, tiba-tiba beliau mendengar suara yang memanggilnya. Beliau

21
Waraqah bin Naufal beragama Nasrani. Dia membaca kitab-kitab dan mendengar dari ahli Taurat
dan Injil (Sirah Ibn Hisyam, jilid 1, hal.254). Pada masa jahiliah dia sudah beragama Nasrani dan
sering membaca al-Kitab dengan bahasa Ibrani dan menulis apa yang ada di dalam Injil dalam bahasa
Ibrani (Shahih Bukhari, jilid 1, hal.3).

21
mengangkat kepalanya, mencari tahu siapakah gerangan yang bersuara. Beliau

mendapati sosok mengerikan hingga dicekam ketakutan. Rasulullah tak bisa berpaling

dari sosok mengerikan yang memenuhi langit. Ketakutan sangat mencekam beliau.

Bahkan Rasulullah saw tak sadarkan diri karenanya hingga beberapa saat.

Khadijah khawatir karena Rasulullah terlambat pulang. Kemudian, dia

mengutus seseorang untuk mencari Rasulullah. Namun, orang itu tidak berhasil

menemukan beliau. Akhirnya Rasulullah saw siuman dan kembali ke rumahnya. Di

rumahnya, beliau masih dicekam ketakutan. Khadijah bertanya, “Apa yang terjadi?”

Beliau saw menjawab, “Apa yang selama ini aku takutkan telah

ah
menghampiriku. Aku takut jika nantinya aku menjadi gila. Kini aku mengalami hal

itu!”

i
Sy
Khadijah berkata, “Janganlah sekali-kali berprasangka buruk kepada dirimu.

Engkau adalah utusan Tuhan. Dia tidak akan pernah membiarkanmu. Hal itu pasti

sebuah berita gembira bagi masa depan yang cerah.”


a

Untuk menghilangkan kebimbangan Rasulullah saw secara total, Khadijah


k

membawanya ke rumah Waraqah bin Naufal. Sesampainya di rumah Waraqah, dia


a

menjelaskan apa yang menimpa suaminya.


st

Kemudian, Waraqah berkata kepada Nabi saw, “Tenanglah, itu adalah


u

pembawa berita kebenaran yang pernah turun kepada Musa al-Kalim dan kini datang
P

kepadamu, memberimu berita gembira berupa kenabian.”

Setelah mendengar Waraqah berbicara, Rasulullah saw merasa tenang dan

berkata, “Sekarang aku baru mengerti kalau aku adalah seorang nabi.” 22

Kisah ini adalah satu di antara puluhan kisah yang diciptakan orang-orang

pada masa abad pertama Islam. Para “pencipta” itu dendam terhadap Islam. Mereka
22
Muhammad Husain Haikal, Hayatu Muhammad, hal.95-96; Shahih Muslim, jilid 1, hal.97-99; Shahih
Bukhari, jilid 1, hal.3-4; Sirah Ibn Hisyam, jilid 1, hal.252-255; Abu Ja’far Muhammad bin Jarir,
Tarikh ath-Thabari, jilid 2, hal.298-300; Jami’ al-Bayan (Tafsir ath-Thabari), jilid 30, hal.161.

22
mengaku sebagai muslim, kemudian menciptakan kisah-kisah fiktif seperti ini.

Mereka membingungkan orang banyak, merusak keyakinan masyarakat dengan

menggoyang pondasi Islam.

Baru-baru ini, musuh-musuh Islam menjadikan kisah ini dan yang serupa—

seperti kisah ayat-ayat setan—sebagai bukti lemahnya landasan dasar Islam.

Bagaimana bisa, seorang nabi yang telah menapaki tangga-tangga

kesempurnaan dan merasakan berita gembira kenabian jauh hari sebelum diutus, tidak

mampu menyaksikan hakikat dengan jelas. Padahal dia memiliki akal yang paling

tinggi dan sempurna, Sesungguhnya Allah mendapati hati Muhammad saw sebaik-

ah
baik hati dan yang paling siap, maka Dia memilihnya sebagai nabi-Nya.

Bagaimana bisa, orang yang telah mencapai kesempurnaan, menjadi bimbang

i
Sy
dan ragu terhadap dirinya sendiri. Kemudian kebimbangannya sirna karena seorang

wanita dan jawaban lelaki yang berpengetahuan sedikit. Bahkan disebutkan bahwa

Muhammad saw merasa yakin sebagai nabi ketika sudah mendengar nasihat Waraqah.
a

Kisah ini, selain bertentangan dengan posisi agung kenabian, juga


k

bertentangan dengan ayat al-Quran dan riwayat dari Ahlulbait as.


a

Qadhi Iyadh (w. 544 H) 23 berkata, “Tidak pernah terjadi, iblis menjelma
st

malaikat dan menjadikan Nabi meragukan wahyu. Tidak akan pernah terjadi, sejak
u

awal diutus sebagai nabi, maupun setelahnya. Beliau selalu menampakkan


P

ketenangan, ketegaran dan percaya diri ketika berada dalam kondisi seperti itu. Ini

merupakan salah satu bukti mukjizat kenabian.

Beliau tidak pernah memiliki sedikit pun keraguan bahwa yang mendatangi

beliau adalah malaikat yang membawa pesan Allah Swt. Beliau mengetahuinya

23
Qadhi Iyadh adalah salah seorang pemuka agama dan ulama Andalusia. Ibnu Khalkan berkata, “Ia
adalah imam pada masanya dalam hadis dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadis, Nahwu, Bahasa,
kalam Arab dan hari-hari dan nasab-nasab mereka dan banyak sekali menyusun buku-buku yang
bermanfaat (Wafayat al-A’yan, jilid 3, hal.483, nomor 511).

23
dengan sangat jelas. Karena, hikmah Allah menghendaki agar wahyu benar-benar

jelas bagi beliau. Allah membekali beliau dengan dalil-dalil yang cukup demi

tegaknya kalimat-kalimat-Nya.” 24

Aminul Islam Thabarsi ketika menafsirkan surah al-Muddatstsir berpendapat

bahwa sesungguhnya Allah tidak mewahyukan Rasul-Nya melainkan membekalinya

argumen-argumen cemerlang dan ayat-ayat yang jelas. Semua yang diwahyukan

kepada beliau adalah benar-benar dari Allah Swt. Karenanya, beliau tidak

memerlukan selainnya. Beliau tidak akan pernah bisa ditakuti oleh siapa pun dan tidak

akan merasa takut.25

ah
Ketika masa awal diutus sebagai nabi, Musa as mendapatkan perhatian khusus

dari Tuhan, Hai Musa! Sesungguhnya Akulah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua

i
Sy
terompahmu, sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa. Dan aku telah

memilihmu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu).

Sesungguhnya Akulah Allah, tiada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan
a

dirikanlah shalat untuk mengingat Aku (QS. Thaha:11-14).


k

Kemudian Musa as diperintah, Dan lemparlah tongkatmu. Maka tatkala


a

(tongkat itu menjadi ular dan) Musa melihatnya bergerak-gerak seperti seekor ular
st

yang gesit, larilah dia berbalik ke belakang tanpa menoleh… karena perbuatannya ini
u

Nabi Musa mendapat teguran dari Allah, Hai Musa! Janganlah kamu takut.
P

Sesungguhnya orang yang dijadikan rasul, tidak takut dihadapan-Ku (QS. an-

Naml:10). Nabi Musa mendapat inayah Ilahiah dan mendapatkan keamanan dan

ketenteraman.

Supaya Ibrahim al-Khalil as mendapat ketenteraman dan ainul yaqin,

disingkaplah tirai yang menghalanginya. Karenanya hakikat alam malakut menjadi


24
Risalah asy-Syifa’ bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa, jilid 2, hal.112; Syarh_e Mulla Ali al-Qari, jilid 2,
hal.563.
25
Abul Fadhl Thabarsi, Majma’ al-Bayan (Tafsir ath-Thabarsi), jilid 10, hal.384.

24
jelas baginya, Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda

keagungan (Kami yang ada) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar

Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin (QS. al-An’am:75).

Apakah undang-undang ini tidak berlaku bagi Rasulullah saw, hingga beliau

tidak mampu menguasai dirinya ketika berada dalam suasana genting yang akan

menentukan nasibnya kelak? Apakah Rasulullah saw berprasangka buruk kepada

dirinya sendiri dan merasa ketakutan ketika menerima wahyu? Apakah derajat

Rasulullah saw berada di bawah Musa dan Ibrahim, sehingga Allah menganggap

mereka berdua layak, tetapi Rasulullah saw tidak layak?

ah
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, “Siang dan malam, Allah

menyertakan malaikat yang paling agung bersama Rasulullah, sejak beliau masih bayi

i
Sy
dan menyusu untuk membimbingnya menuju kesempurnaan insani.” 26

Koreksi terhadap riwayat palsu tersebut adalah sebagai berikut:

1. Silsilah dari sanad riwayat tersebut tidak berujung kepada orang pertama,
a

saksi dari kisah tersebut. Dengan demikian riwayat itu disebut dengan riwayat
k

mursalah.
a

2. Terdapat perbedaan teks riwayat. Hal ini adalah bukti kepalsuannya. Dalam
st

sebuah riwayat disebutkan bahwa Khadijah pergi ke tempat Waraqah seorang diri.
u

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Khadijah pergi bersama Rasulullah. Dalam
P

riwayat yang lain lagi disebutkan bahwa Waraqah melihat Rasulullah saw dalam

keadaan tawaf. Riwayat yang lain menyebutkan bahwa Abu Bakar masuk ke rumah

Khadijah dan berkata, “Bawalah Muhammad ke tempat Waraqah.” Perbedaan matan

ini membingungkan orang yang merujuk. Riwayat manakah yang harus diyakini

kebenarannya? Bukankah riwayat-riwayat tersebut saling bertolak belakang?

26
Shubhi Shalih, Nahj al-Balaghah, Khotbah Qashi’ah, nomor 192, hal.300.

25
3 Kebanyakan teks riwayat itu, selain menyebutkan berita gembira tentang

kenabian, juga menyebut frase, “Seandainya aku masih hidup pada masa itu, niscaya

aku pasti menolongmu atas izin Allah…” atau frase dalam versi lain menyebutkan

“Andaikan dia (Muhammad) diutus dan aku (Waraqah) masih hidup maka aku akan

mendukung, menolongnya dan beriman kepadanya…”

Muhammad bin Ishaq, seorang penulis sejarah terkenal meriwayatkan puisi-

puisi Waraqah yang mengindikasikan kuatnya keimanan paman Khadijah kepada

risalah Rasulullah saw. 27

Satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa ketika Islam sudah menyebar

ah
pada masa itu, Waraqah masih hidup. Namun, dia tetap tidak memeluk Islam, Dan ia

mati dalam keadaan kafir… Ibnu Abbas menyebutkan bahwa Waraqah mati dalam

i
Sy
kenasraniannya. Ibnu Asakir, penulis kitab Tarikh Dimasyq berpendapat bahwa dia

tidak mendapati ada seseorang yang mengatakan bahwa Waraqah memeluk agama

Islam. 28 Ibnu Hajar dalam Tarikh Ibnu Bakkar menyebutkan bahwa suatu ketika
a

Waraqah melintas di samping Bilal Habasyi yang sedang mengalami penyiksaan dari
k

orang-orang musyrik. Waraqah mendengar Bilal saat itu selalu mengucapkan, “al-
a

Ahad… al-Ahad…” Setelah peristiwa itu Waraqah masih hidup sampai Islam
st

disebarkan, namun dia tetap tidak memeluk agama Islam. 29


u

Itulah bukti bahwa riwayat tersebut kontradiksi dan palsu.


P

Kisah Gharaniq (ayat-ayat setan)

Riwayat selanjutnya adalah kisah yang ditunggangi orang-orang asing yang

kemudian mempertanyakan kebenaran kenabian. Kisah ini adalah kisah Gharaniq

yang fiktif, dikenal dengan “ayat-ayat setan.”


27
Sirah Ibn Ishaq, hal.123; Thabaqat Ibn Sa’d, jilid 1, bagian 1, hal.130.
28
Ibnu Hajar Asqalani, Al-Ishabah fi Makrifati ash-Shahabah, jilid 3, hal.633.
29
Ibid., jilid 3, hal.634.

26
Para pendongeng kisah ini menyebutkan bahwa Rasulullah saw selalu

berharap bisa menjalin hubungan dengan Quraisy. Karena beliau saw takut berpisah

dengan kaumnya. Suatu ketika beliau sedang duduk di dekat Ka’bah dan memikirkan

masalah itu. Saat itu orang-orang Quraisy berada di dekat beliau. Tiba-tiba surah an-

Najm diturunkan kepada beliau. Ketika ayat itu disampaikan, Rasulullah saw

langsung mengujarkannya, Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad)

tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut

kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang

disampaikan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh Yang Sangat Kuat…

ah
Ketika sampai pada ayat yang beredaksi, Maka apakah patut kamu (hai orang-orang

musyrik) menganggap Lata dan Uzza, dan Manat yang ketiga, yang paling

i
Sy
terkemudian (sebagai anak-anak Allah)?… saat inilah setan mulai mempengaruhi

Rasulullah hingga beliau menyampaikan bisikan setan tanpa memperhatikan wahyu

yang datang. Beliau berujar “Ketiganya itu adalah Gharaniq yang maha tinggi dan
a

syafaat mereka sungguh diharapkan.” 30 Kemudian Rasulullah melanjutkan sisa


k

surahnya.
a

Orang-orang musyrik mendengar dengan seksama ketika Rasulullah saw


st

menyifati tuhan-tuhan mereka dan memberi berita gembira tentang pemberian syafaat
u

ketiga berhala tersebut. Karenanya mereka bergembira. Sikap mereka terhadap kaum
P

Muslim langsung berubah. Mereka mengulurkan tangan persaudaraan dan persatuan

kepada kaum Muslim. Semua bergembira. Peristiwa ini mereka anggap pertanda baik.

30
Gharaniq adalah bentuk jamak dari Ghurnuk yang berarti seorang pemuda periang dan tampan. Pada
dasarnya kata itu diambil dari nama seekor burung putih yang sangat indah.

27
Berita tersebut menyebar hingga Ethiopia. Kaum Muslim yang berhijrah

merasa senang mendengar kejadian tersebut. Mereka semua kembali ke Mekkah dan

menjalani kehidupan dengan kaum musyrik sebagai saudara.31

Rasulullah saw merasa gembira karena persatuan tersebut. Malam harinya

beliau saw kembali ke rumah. Saat itulah Jibril turun ke bumi untuk meminta beliau

mengujarkan surah yang telah diturunkan kepadanya. Rasulullah pun membacanya

hingga kalimat tersebut.

Mendengar itu, tiba-tiba Jibril menghardik, “Diamlah! Apa yang sedang kamu

ucapkan ini!” Saat itu juga Rasulullah saw sadar atas kekeliruannya dan baru tahu

ah
bahwa iblis telah menguasainya. Rasulullah saw sangat bersedih dan merasa bosan

hidup. Beliau berkata, “Oh, aku telah berbohong kepada Allah! Aku telah mengatakan

i
Sy
sesuatu yang tidak Allah katakan! Oh, sungguh celaka diriku!”

Menurut sebagian riwayat disebutkan bahwa saat itu beliau saw berkata

kepada Jibril, “Dia yang membacakan dua ayat ini kepadaku, wajahnya sama seperti
a

wajahmu.”
k

Jibril berkata, “Aku berlindung kepada Allah. Peristiwa itu tidak akan pernah
a

terjadi.”
st

Sejak saat itu Rasulullah sering memohon kepada Allah agar usianya
u

diperpendek. Menurut riwayat tersebut saat itu ayat ini diturunkan, Dan mereka
P

hampir-hampir memalingkan engkau (Muhammad) dari apa yang telah Kami

wahyukan kepadamu, agar engkau mengada-ada sesuatu yang lain dari Kami, dan

jika demikian tentu mereka menjadikanmu sahabat yang setia. Dan sekiranya Kami

tidak memperteguhmu, niscaya kamu condong sedikit kepada mereka, jika demikian,

31
Dari kalimat ini bisa diketahui bahwa riwayat tersebut palsu. Bagaimana mungkin wahyu yang
diturunkan kepada Rasulullah pada malam hari itu adalah bisikan iblis. Bagaimana mungkin pada hari
itu juga berita itu bisa sampai ke Ethiopia, sementara sarana transportasi yang ada pada zaman itu
sangat tidak mendukung.

28
tentu akan Kami rasakan kepadamu (siksa) berlipat ganda setelah mati, dan engkau

tidak akan mendapat seorang penolong pun dari Kami (QS. al-Isra:73-75).

Menurut riwayat itu, ayat ini menambah kesedihan Rasulullah. Rasulullah

melewati sisa hidupnya dengan kesedihan. Akhirnya beliau mendapat anugerah dari

Allah. Menurut riwayat tersebut, untuk menghilangkan kesedihannya, diturunkanlah

ayat berikut ini, Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak

(pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, setan

memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang

dimasukkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha

ah
mengetahui lagi Mahabijaksana (QS. al-Hajj:52). Setelah ayat ini diturunkan, beliau

merasa tenang dan semua kesedihan sirna. 32

i
Sy
Tak satu pun sejarahwan Islam menerima kisah fiktif ini. Mereka

menganggapnya tidak lebih dari sekedar khurafat. Qadhi Iyadh menjelaskan bahwa

tidak satu pun kitab-kitab sahih yang menukil hadis ini. Di dalam riwayat ini tidak ada
a

sosok perawi yang bisa dipercaya. Sanadnya tidak bersambung. Hanya para mufasir
k

yang bertumpu pada sisi zahir riwayat serta para penulis sejarah yang lugu dan tidak
a

bisa membedakan perawi yang jujur dan pembohong yang meriwayatkan hadis
st

tersebut.
u

Menurut Qadhi Bakr bin ‘Ala, beberapa dari kaum Muslim percaya kepada
P

riwayat palsu tersebut, meskipun mereka mengerti bahwa sanad hadis ini lemah dan

matan-nya membingungkan dan tumpang tindih.33

Abu Bakar Ibnu Arabi berkata, “Semua yang telah diriwayatkan oleh Thabari

berkenaan dengan masalah ini, adalah tidak benar dan tidak berdasar.” 34

32
Tafsir ath-Thabari, jilid 17, hal.131-134; Jalaluddin Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsur, jilid 4, hal.194,
366-368; Ibnu Hajar Asqalani, Fath al-Bari fi Syarh al-Bukhari, jilid 8, hal.233.
33
Risalah asy-Syifa’, jilid 2, hal.117.
34
Fath al-Bari, jilid 8, hal.333.

29
Muhammad bin Ishaq menulis risalah berkenaan dengan hadis ini. Dalam

risalah tersebut dia menganggap semua yang ada dalam hadis tersebut sebagai hadis

buatan dan hasil rekayasa orang-orang zindiq (atheis). 35

Ustad Muhammad Husain Haikal berpendapat secara jeli berkenaan dengan

kisah fiktif ini. Beliau menunjukkan kontradiksi dan kebohongan hadis tersebut.36

Kita tidak perlu terlalu masuk ke pertentangan dan ketidakserasian permulaan

dan akhir kisah fiktif ini. Dengan hanya berbekal sedikit kejelian, masalah ini akan

menjadi jelas bagi siapa saja yang membacanya.

Perlu “digarisbawahi”, pembuat kisah fiktif ini melakukan pekerjaannya

ah
secara amatiran, ayat ini diawali dengan kalimat, Demi bintang ketika terbenam,

kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang

i
Sy
diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain

hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh Yang

Sangat Kuat. Seandainya iblis mampu menyisipkan kekacauan, maka akibatnya


a

pendustaan kalam Ilahi, sementara setan selamanya tidak pernah bisa mengalahkan
k

kehendak Tuhan, Sesungguhnya tipu daya setan itu lemah (QS. an-Nisa:76). Allah
a

telah menetapkan, “Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang.” Sesungguhnya Allah


st

Mahakuat lagi Mahaaziz (QS. al-Mujadilah:21). Aziz bermakna bahwa tiada yang
u

mampu mengalahkan-Nya. Bagaimana mungkin iblis yang lemah, mampu


P

mengalahkan Tuhan Yang Perkasa.

Allah berfirman, Sesungguhnya setan itu tidak memiliki kekuasaan atas

orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya (QS. an-Nahl:99).

Sesungguhnya kamu (setan) tidak memiliki kemampuan atas hamba-hamba-Ku…

(QS. al-Isra:65).

35
Fakhrurrazi, Tafsir al-Kabir, jilid 23, hal.50.
36
Hayatu Muhammad, hal.124-129.

30
Ungkapan setan direkam oleh al-Quran, Dan aku tidak memiliki kuasa atas

kalian kecuali hanya mengundang kalian saja maka kalian pun memenuhi

undanganku (QS. Ibrahim:22). Bagaimana mungkin iblis mampu menguasai perasaan

Rasulullah.

Allah telah menjamin al-Quran dengan firman-Nya, Sesungguhnya Kami

sendiri yang menurunkan adz-Dzikr (al-Quran) dan Kami (pula) Yang

memeliharanya (QS. al-Hijr:9). Tidak datang kepadanya (al-Quran) kebatilan baik

dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang

Mahabijaksana lagi Maha Terpuji (QS. Fushshilat:42).

ah
Al-Quran akan selalu terjaga dari tangan-tangan jahil sepanjang zaman.

Sampai kapan pun tak akan ada yang mampu menambah dan menguranginya.

i
Sy
Jika melihat riwayat palsu tersebut, bagaimana mungkin iblis bisa

mempengaruhi firman-Nya, menambah dan merubah al-Quran ketika diturunkan.

Apalagi Rasulullah saw adalah maksum. Beliau terbebas dari kesalahan, temasuk
a

ketika menerima dan menyampaikan syariat. Premis ini disepakati oleh semua umat.
k

Semua bisikan setan tak mampu mempengaruhi Rasulullah saw. Tak seorang
a

pun atau apa pun mampu mengalahkan pikiran Rasulullah saw. Beliau digaransi oleh
st

Allah Swt, Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka


u

sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami (QS. ath-Thur:48). Beliau tidak
P

pernah sendiri.

Bukankah Rasulullah saw adalah orang yang paling fasih mengucapkan

“dhad.” 37 Beliau lebih mengetahui kaidah bahasa melebihi siapa pun. Tidak logis jika

beliau tidak mengetahui kesalahan atau kesimpangsiuran frase yang bercampur

dengan kesyirikan. Seperti yang ditegaskan dua ayat setelahnya yaitu, Itu tiada lain

37
Rasulullah saw bersabda, “Aku adalah orang yang paling fasih mengucapkan ‘dhad’.” Hadis ini
menunjukkan kefasihan beliau dari semua orang Arab.

31
hanyalah nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu mengada-adakannya; Allah

tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah)nya. Mereka hanya

mengikuti dugaan (QS. an-Najm:23).

Ayat tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah saw tidak mengakui tuhan-

tuhan kaum musyrik. Beliau melihat anggapan kaum musyrik tidak berdasar. Ayat-

ayat selanjutnya hingga akhir surah adalah bentuk koreksi atau kritik yang

menunjukkan ketidakberartian keyakinan orang-orang Quraisy. Karenanya, setiap

manusia berakal sehat akan mengetahui ketidakselarasan kisah fiktif ini.

Dua ayat yang dijadikan dalil oleh ahli hadis mereka, sama sekali tidak terkait

ah
dengan kisah fiktif tersebut:

1. Ayat, Maka Allah menghapus apa yang disampaikan setan. Ayat ini

i
Sy
mengungkapkan hakikat bahwa setiap pemilik syariat berharap agar semua jerih

payahnya membuahkan hasil, semua rencananya dapat terlaksana, kalimatullah dapat

ditegakkan di muka bumi. Setanlah yang selalu menghalangi terlaksananya tujuan-


a

tujuan mulia itu dengan cara membendung jalan. Seperti yang ditegaskan ayat, Setan
k

melempar dalam angan-angannya. Namun ada optimisme, Sesungguhnya Allah itu


a

Mahakuat lagi Mahaperkasa. Sesungguhnya tipu daya setan itu lemah.


st

Allah telah menjelaskan semua yang dikaburkan iblis, sebenarnya Kami


u

melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka
P

dengan serta merta yang batil itu sirna (QS. al-Anbiya:18). Semua yang ada

kaitannya dengan iblis pasti sirna, Maka Allah menghapus apa yang dilontarkan setan

kemudian Allah memperkuat tanda-tanda kebesaran-Nya dan Allah adalah Maha

mengetahui lagi Mahabijaksana. Inilah tanda-tanda kebesaran Ilahi yang kokoh.

32
2. Ayat tatsbit 38 (pengokoh) membuktikan kemaksuman para nabi. Seandainya

kemaksuman yang merupakan anugerah Ilahi, penerang jalan para nabi, tidak dimiliki

para nabi, sangat mungkin mereka mengikuti arus orang-orang berpikiran salah.

Para penguasa tiran, sekaitan dengan masalah ini, selalu mengondisikan situasi

untuk mewujudkan tujuan-tujuan keji. Boleh jadi (jika diasumsikan bahwa para nabi

tidak maksum—peny.) para tiran itu bisa mempengaruhi orang yang paling layak,

tertipu dan dipengaruhi mereka. Bukankah hanya inayah Ilahiah yang meliputi

hamba-hamba-Nya yang saleh untuk memproteksi diri dari semua bisikan dan tipuan

setan.

ah
Ayat tatsbit tidak menunjukkan adanya “ketergelinciran” atau kesalahan (yang

dilakukan nabi—peny.). Coba kita lihat kalimat, jika bukan.

i
Sy
Muhammad Husain Haikal berkata, “Berpegang teguh kepada ayat, Dan kalau

Kami tidak memperkuatmu… (untuk menjadikannya sebagai dalil kisah fiktif ini)

adalah salah. Ayat tersebut tidak mengisahkan terjadinya ketergelinciran tersebut,


a

sebaliknya, ayat ini mengisahkan keteguhan Nabi karena inayah Ilahi. Ayat, memiliki
k

suatu keinginan… sebagaimana yang telah disebutkan, tidak terkait dengan kisah
a

fiktif Gharaniq.” 39
st

Ayat tersebut adalah undang-undang bersifat umum agar kaum Muslim


u

mengetahui bahwa mereka selalu mendapat inayah Ilahi. Jika mereka bertindak tidak
P

pantas, maka setiap saat mereka bisa mendapat siksa yang paling pedih, dunia dan

akhirat akan menjadi sempit bagi mereka.

38
QS. al-Isra:73-75.
39
Hayatu Muhammad, hal.124-129.

33
Para Penulis Wahyu

Rasulullah saw buta huruf secara lahiriah. Di tengah-tengah kaumnya, beliau

tidak dikenal sebagai orang berilmu, karena mereka tidak pernah melihat beliau

membaca atau menulis. Karena itulah mereka menyebut beliau ummi (buta huruf). Al-

Quran juga menyebut sifat yang sama untuk beliau, Orang-orang yang mengikuti

rasul, nabi yang ummi… Maka berimanlah kepada Allah dan rasul-Nya seorang nabi

yang ummi… (QS. al-A’raf:157-158). Kata ummi dinisbahkan kepada umm (artinya

ibu), secara terminologi artinya adalah orang yang tidak memiliki pengetahuan apa-

apa, persis seperti ketika dia dilahirkan. Makna lain dari kata tersebut dinisbahkan ke

ah
Ummul Qura (kota Mekkah), yaitu orang yang terlahir di Mekkah.

Dalam al-Quran ada ayat lain yang senada, Dan di antara mereka adalah

i
Sy
orang-orang ummi yang tidak mengetahui al-Kitab kecuali angan-angan… (QS. al-

Jumu’ah:2). Ayat ini menunjukkan kalimat; yang tidak mengetahui al-Kitab. Kalimat

tersebut berkaitan dengan kalimat orang-orang ummi. Jika melihat perbedaan antara
a

orang Arab dengan Ahli kitab yang tidak buta huruf, maka dapat diambil kesimpulan
k

bahwa yang dimaksud dengan yang tidak mengetahui al-Kitab—sesuai dengan kata
a

athaf (kata sambung)—adalah buta huruf. Hadis Nabi, “Kami adalah umat yang ummi
st

yang tidak bisa menulis dan berhitung,” 40 memperkuat makna tidak berilmu.
u

Makna yang sesuai dengan al-Quran adalah tidak membaca dan tidak menulis,
P

bukan tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis. Dan kamu tidak pernah membaca

sebelumnya sesuatu kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan

tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar

ragulah orang yang mengingkari(mu) (QS. al-Ankabut:48).

40
Tafsir al-Kabir, jilid 15, hal.23.

34
Ayat ini menjelaskan bahwa Rasulullah saw tidak pernah membaca dan

menulis sesuatu pun. Tidak membuktikan bahwa beliau saw tidak bisa menulis dan

membaca. Alasan ini cukup bagi orang-orang yang menentang, karena mereka tidak

pernah mengira bahwa Rasulullah adalah orang berilmu. Tiada alasan bagi mereka

untuk menyanggahnya.

Ketika menafsirkan ayat ini, Syekh Abu Ja’far Thusi berpendapat bahwa para

mufasir menganggap Nabi tidak bisa menulis. Namun ayat al-Quran tidak

menunjukkan hal itu. Ayat tersebut hanya mengungkapkan bahwa beliau tidak pernah

menulis dan tidak pernah membaca. Betapa banyak orang yang tidak menulis tetapi

ah
berkemampuan menulis. Secara lahiriah mereka menampakkan diri sebagai orang

buta huruf dan tak mengerti ilmu tulis. Maksud dari ayat itu adalah bahwa Rasulullah

i
Sy
tidak pernah menulis dan membaca dan tidak memiliki kebiasaan menulis. 41

Allamah Thabathaba’i berpendapat bahwa dari konteksnya secara lahiriah,

frase tersebut memberi makna penafian kebiasaan. Inilah yang lebih cocok dengan
a

konteks argumentasi.42
k

Selain itu, bisa membaca dan menulis adalah kesempurnaan dan buta huruf
a

adalah kekurangan atau aib. Karena seluruh kesempurnaan Nabi bersumber dari
st

inayah Ilahi dan beliau saw tidak pernah menimba ilmu dari seseorang atau guru,
u

maka Nabi tidak bisa lepas dari kesempurnaan ini. Nabi tidak memamerkan diri
P

sebagai orang yang bisa membaca dan menulis bertujuan menyempurnakan hujah dan

menghilangkan keraguan setiap orang.

Dengan alasan itu, Rasulullah saw merasa perlu memerintah para penulis

untuk mencatat segala macam urusan, termasuk wahyu. Di Mekkah atau di Madinah,

beliau memilih orang-orang yang paling pandai membaca dan menulis untuk

41
At-Tibyan, jilid 8, hal.193.
42
Al-Mizan, jilid 16, hal.135.

35
mencatat. Orang pertama di Mekkah yang bertugas sebagai penulis, khususnya

menulis wahyu, adalah Ali bin Abi Thalib, tugas ini berlangsung hingga Rasulullah

saw wafat. Rasulullah saw sendiri yang memerintah Ali agar mencatat setiap ayat

yang turun agar al-Quran dan wahyu samawi tidak jauh dari Ali.

Sulaim bin Qais Hilali, seorang tabi’in, berkata, “Ketika itu, aku berada di

masjid Kufah bersama Ali dan orang-orang pun mengelilinginya. Saat itu beliau as

berkata, ‘Sampaikanlah semua pertanyaan kalian selama aku masih berada ditengah-

tengah kalian. Bertanyalah kepadaku tentang kitab Allah. Demi Allah, tidak satu pun

ayat yang turun, kecuali Rasulullah saw membacakannya untukku dan mengajarkan

ah
tafsir dan takwil.’”

Ibnu Kawwa adalah salah seorang sahabat Ali as yang sangat pandai dan

i
Sy
paling banyak bertanya. Namanya adalah Abdullah bin Amr. Dia bertanya kepada Ali,

“Bagaimanakah penjelasan ayat yang diturunkan ketika Anda tidak hadir?”

Ali menjawab, “Ketika aku menghadap beliau, beliau sering berkata, ‘Hai Ali!
a

Dalam ketidakhadiranmu ayat-ayat telah turun.’ Saat itu beliau membacakan ayat-ayat
k

tersebut kepadaku sekaligus mengajarkan takwilnya.” 43


a

Orang pertama di Madinah yang bertugas menulis wahyu adalah Ubay bin
st

Ka’b Anshari. Dia sudah bisa menulis sejak zaman jahiliah. Muhammad bin Sa’d
u

berkata, “Dikalangan Arab jarang sekali yang bisa menulis. Ubay bin Ka’b termasuk
P

dari orang-orang yang pada zaman itu bisa menulis.” 44

Ibnu Abdil-Bar berkata, “Ubay bin Ka’b adalah orang pertama di Madinah

yang bertugas sebagai penulis wahyu untuk Rasulullah saw. Dialah orang pertama

yang menulis di akhir surah. 45 Ubay bin Ka’b adalah orang yang menerima al-Quran

43
Sulaim bin Qais Hilali, As-Saqifah, hal.213-214.
44
Thabaqat Ibn Sa’d, jilid 3, bagian 2, hal.59.
45
Al-Ishabah, jilid 1, hal.19; Ibnu Abdil-Bar, Al-Qurthubi; Al-Isti’ab fi Makrifati al-Ashab dar
Hasyiah_ye al-Ishabah, jilid 1, hal.50-51.

36
secara sempurna dari Rasulullah saw. Dia adalah salah satu dari sahabat yang hadir

pada saat pemaparan al-Quran yang terakhir; oleh karena itu dia dipilih sebagai ketua

kelompok untuk menjadikan satu semua mushaf yang ada pada zaman Usman bin

Affan. Setiap ada permasalahan yang saling bertentangan, maka hal itu dapat

terselesaikan oleh pendapat Ubay.” 46

Di Madinah, Zaid bin Tsabit memiliki rumah yang letaknya bersebelahan

dengan rumah Rasulullah saw. Dia bisa menulis. Semula, setiap kali Rasulullah saw

memerlukan seorang yang mencatat, sementara Ubay tidak ada di tempat, maka beliau

saw mengutus seseorang untuk mencari Zaid untuk menulis. Lambat laun, atas

ah
perintah Rasulullah dia mempelajari bahasa dan tulisan Ibrani supaya dia bisa

membacakan, menerjemahkan dan menuliskan jawaban bahasa Ibrani untuk

i
Sy
Rasulullah. Zaid bin Tsabit disandingkan dengan sahabat-sahabat lainnya, dia lebih

sering bersama Rasulullah untuk menulis dan seringkali menulis surah. 47

Penulis wahyu yang paling inti adalah Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’b dan
a

Zaid bin Tsabit. Para penulis wahyu lainnya berada di tingkat setelah mereka.
k

Ibnu Atsir berpendapat bahwa di antara orang-orang yang selalu hadir dalam
a

urusan penulisan (wahyu) adalah Abdullah bin Arqam Zuhri. Dia adalah juru tulis
st

surah-surah Nabi saw. Tapi penulis surah-surah perjanjian dan perdamaian Nabi saw
u

adalah Ali bin Abi Thalib as. Terkadang yang menulis untuk Rasulullah saw adalah
P

tiga khalifah, yaitu Zubair bin Awwam, Khalid dan Aban. Dua putra Said bin Ash,

Hanzhalah Usaidi, ‘Ala bin Hadhrami, Khalid bin Walid, Abdullah bin Rawahah,

Muhammad bin Muslimah, Abdullah bin Ubay Salul, Mughirah bin Syu’bah, Amr bin

‘Ash, Muawiyah bin Abi Sufyan, Jahm/Juhaim bin Shilt, Mu’aiqib bin Abi Fathimah

dan Syurahbil bin Hasanah. Orang pertama dari kalangan Quraisy yang menulis untuk
46
Sajistani,.At-Tamhid, jilid 1, hal.340-348; Mashahif, hal.30.
47
Ibnu Atsir, Usd al-Ghabah fi Makrifati ash-Shahabah, jilid 1, hal.50; Al-Isti’ab dar Hasyiah_ye al-
Ishabah, jilid 1, hal.50; Mashahif Sajistani, hal.3; Thabaqat Ibn Sa’d, jilid 2, bagian 2, hal.115.

37
Rasulullah saw adalah Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarah, kemudian dia murtad dan

kembali ke Mekkah, dan turunlah ayat 93, surah al-An’am berkenaan dengan

dirinya, 48 Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan

terhadap Allah atau yang berkata; “Telah diwahyukan kepada saya,” padahal tidak

diwahyukan sesuatu pun kepadanya…

Sepertinya, orang-orang tersebut adalah sederet orang Arab yang berilmu, bisa

membaca dan menulis. Kadangkala Rasulullah saw meminta bantuan mereka untuk

menulis wahyu, tetapi para penulis wahyu yang resmi adalah tiga orang yang tersebut

di atas dan Ibnu Arqam.

ah
Ibnu Abil-Hadid berpendapat bahwa para pengkaji dan penulis sejarah

mencatat bahwa para penulis wahyu adalah Ali, Zaid bin Tsabit, Zaid bin Arqam,

i
Sy
Hanzhalah bin Rabi’ Tamimi dan Muawiyah. Merekalah yang bertugas menulis

semua catatan yang diperlukan oleh banyak orang. Mereka juga mencatat daftar

kekayaan dan sedekah.49


a

Abu Abdillah Zanjani berpendapat bahwa jumlah para penulis wahyu


k

mencapai empat puluh orang. Sepertinya keahlian mereka itu digunakan ketika
a

dibutuhkan. 50
st

Baladzuri, di kitab Futuh al-Buldan menukil pendapat Waqidi bahwa ketika


u

Islam muncul di kalangan Quraisy, hanya ada tujuh belas orang yang bisa menulis.
P

Mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khaththab, Usman bin Affan, Abu

Ubaidah bin Jarrah, Thalhah bin Ubaidillah, Yazid bin Abi Sufyan, Abu Hudzaifah

bin Utbah bin Rabi’ah, Hathib bin Amr (saudara Suhail bin Amr ‘Amiri), Abu

Salamah bin Abdul Asad Makhzumi, Aban bin Said bin ‘Ash bin Umayyah

(saudaranya) Said bin ‘Ash bin Umayyah, Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarah,
48
Usd al-Ghabah, jilid 1, hal.50.
49
Ibnu Abil-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, jilid 1, hal.338.
50
Abu Abdillah Zanjani, Tarikh al-Quran, hal.20-21.

38
Huwaithib bin Abdul Uzza, Abu Sufyan bin Harb, Muawiyah bin Abi Sufyan dan

Juhaim bin Shilt dan satu orang lagi dari kalangan famili Quraisy, ‘Ala’ bin

Hadhrami.

Dari kalangan wanita yang bisa menulis pada awal kemunculan Islam adalah

Ummu Kultsum binti Uqbah, Karimah binti Miqdad dan Syifa’ binti Abdullah. Atas

perintah Nabi, Syifa’ mengajari Hafshah ilmu tulis dan setelah itu Hafshah masuk

dalam golongan para penulis wahyu. Aisyah dan Ummu Salamah termasuk dari

golongan wanita yang hanya bisa membaca saja.

Di Madinah orang yang bisa menulis dan membaca bahasa Ibrani adalah Sa’d

ah
bin Ubadah, Mundzir bin Amr, Ubay bin Ka’b dan Zaid bin Tsabit. Orang-orang yang

hanya bisa menulis adalah Rafi’ bin Malik, Usaid bin Hudhair, Ma’an bin ‘Adi,

i
Sy
Basyir bin Sa’d, Sa’d bin Rabi’, Aus bin Khiwalla dan Abdullah bin Ubay. 51

Cara penulisan wahyu pada masa awal munculnya Islam dengan mencatatnya

di atas apa saja yang bisa ditorehkan tulisan. Di antaranya adalah:


a

1. ‘Usub, Jamak dari kata ‘Asib yang berarti pelepah korma. Mereka menulis
k

wahyu di kayu dan di bagian yang telah dicabut daun-daunnya.


a

2. Likhaf, jamaknya lakhfah yang berarti batu-batu yang tipis dan berwarna
st

putih.
u

3. Riqa’, jamaknya ruq’ah, artinya lembaran-lembaran kulit atau daun atau


P

kertas.

4. Udum, jamak dari Adim, artinya kulit yang siap untuk ditulis.

Setelah ditulis, ayat-ayat itu diserahkan kepada Nabi saw dan disimpan di

dalam rumah beliau saw. Kadangkala sebagian sahabat ingin memiliki surah atau

beberapa ayat, maka mereka pun mengutip surah atau ayat-ayat tersebut dan

51
Abul Hasan Baladzuri, Futuh al-Buldan, hal.457-460.

39
menulisnya di lembaran daun atau kertas. Kemudian, mereka menyimpan untuk diri

mereka sendiri. Biasanya tulisan-tulisan itu mereka gantung di atas tirai yang terbuat

dari kain.

Ayat-ayat disusun dan ditata dengan rapi, di letakkan ke dalam setiap surah.

Setiap surah diawali dengan Bismillah dan diakhiri dengan Bismillah yang baru.

Dengan cara seperti inilah, satu surah dengan surah yang lainnya dibedakan. Segala

bentuk penyusunan surah-surah itu tidak terjadi pada zaman Rasulullah saw.

Allamah Thabathaba’i berpendapat bahwa al-Quran seperti sekarang ini, pada

zaman Rasulullah saw tidak tertata rapi. Pada zaman itu hanya ada surah-surah

ah
terpisah yang tidak tersusun rapi, banyak sekali ayat-ayat yang dipegang oleh orang-

orang yang berbeda dan berada di antara orang banyak. 52

i
Sy
Bab II

Turunnya Al-Quran
a

Al-Quran adalah kumpulan ayat dan surah yang diwahyukan kepada


k

Rasulullah saw sebelum dan setelah hijrah. Al-Quran diwahyukan di berbagai


a

kesempatan dan peristiwa secara terpisah. Al-Quran diwahyukan secara bertahap, ayat
st

per ayat, surah per surah hingga Rasulullah saw wafat. Setelah itu ayat-ayat dan
u

surah-surah itu dikumpulkan menjadi buku.


P

Setiap kali muncul problem yang berkaitan dengan umat Islam, maka untuk

menyelesaikannya, ayat atau surah diturunkan. Peristiwa itu disebut dengan Asbabun

Nuzul atau Sya’nun Nuzul. Mengetahuinya adalah hal yang sangat penting. Tujuannya

adalah memahami secara jeli berapa ayat al-Quran yang diturunkan. Ayat-ayat al-

Quran turun secara terpisah, karena itu al-Quran berbeda dengan kitab-kitab samawi

52
Al-Mizan, jilid 3, hal.78-79.

40
lainnya. Suhuf Ibrahim as dan lembaran-lembaran Musa as turun sekaligus. Inilah

yang menyebabkan kaum musyrik mencari-cari kelemahan al-Quran, seperti

ditegaskan oleh ayat, Dan orang-orang kafir berkata, “Kenapa al-Quran tidak turun

sekaligus?” Al-Quran menjawab pertanyaan mereka, Demikianlah supaya Kami

perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan

benar) (QS. al-Furqan:32). Dan al-Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-

angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami

menurunkannya bagian demi bagian (QS. al-Isra:106).

Hikmah penurunan al-Quran secara bertahap adalah agar Rasulullah dan kaum

ah
Muslim merasa bahwa mereka selalu berada dalam inayah Ilahi. Ada jalinan yang

tidak pernah terputus antara mereka dengan Tuhan. Dan bersabarlah dalam

i
Sy
(menyampaikan) hukum Tuhanmu karena sesungguhnya kamu berada di bawah

perlindungan (pantauan) Kami… (QS. Thur:48).


a

Awal Turunnya Al-Quran


k

Al-Quran diturunkan pertama kali pada bulan suci Ramadhan, tepatnya di


a

malam Qadr (laylatul Qadr). Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya
st

diturunkan al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan


u

mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil) (QS. al-
P

Baqarah:185). Sesungguhnya Kami menurunkannya (al-Quran) pada suatu malam

yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam

itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah (QS. ad-Dukhan:3-4). Sesungguhnya

Kami telah menurunkannya di malam Qadr… (QS. al-Qadr:1).

Lailatul Qadar, kemungkinan terjadi pada dua malam, yaitu malam ke-21 dan

23, bulan suci Ramadhan. Syekh Kulaini meriwayatkan dari Hasan bin Mihran ketika

41
bertanya kepada Imam Ja’far Shadiq tentang tepatnya malam lailatul Qadar, beliau

menjawab, “Di salah satu dari dua malam, 21 dan 23.”

Zurarah meriwayatkan dari Imam Ja’far Shadiq bahwa beliau berkata, “Malam

19 adalah malam takdir, malam 21 adalah malam ta’yin (penentuan takdir) dan malam

23 adalah malam penutup dan disetujuinya perkara.” 53

Syekh Shaduq berkata, “Ulama-ulama besar kita bersepakat bahwa lailatul

Qadar itu terjadi pada malam ke-23 bulan Ramadhan.” 54

Tertundanya Turunnya Al-Quran Selama Tiga Tahun

ah
Awal mula turunnya wahyu risali pada tanggal 27 Rajab, tiga belas tahun

sebelum hijrah (609 M). 55 Namun, turunnya al-Quran sebagai kitab samawi, pernah

i
Sy
tertunda selama tiga tahun. Ketertundaan ini disebut Fatrah.56 Ketika berada dalam

rentang waktu itu, Rasulullah saw menjalankan misi dakwahnya secara diam-diam

hingga ayat ini diturunkan, Maka sampaikanlah secara terang-terangan segala yang
a
a k
st

53
Muhammad bin Hasan Hur Amili, Wasail asy-Syi’ah, jilid 7, bab bulan Ramadhan, bab 32, hadis 1
dan 2; Syekh Thusi, At-Tahdzib, jilid 4, hal.330, nomor 1032.
u

54
Syekh Shaduq, Al-Khishal, jilid 2, hal.102; At-Tamhid, jilid 1, hal.108-109.
55
Banyak riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah saw diangkat sebagai rasul pada tanggal 27 bulan
P

Rajab. Riwayat-riwayat itu mengandung ibadah-ibadah khusus. Dijelaskan bahwa pada hari itu pintu-
pintu berkah dibuka lebar. Bagi Anda yang berkehendak untuk mengetahuinya lebih jauh, silahkan
merujuk ke kitab Ibnu Syekh, Al-Amali, hal.28; Al-Kafi, jilid 4, hal.149; Bihar al-Anwar, jilid 18,
hal.189; Wasail asy-Syi’ah, jilid 7; Abwab ash-Shaum al-Mandub, bab 15, hadis 1-7; Manaqib Ibn
Syahr Asyub, jilid 1, hal.150; Sirah Halabiah, jilid 1, hal.238; Muntakhab Kanz al-Ummal dar
Hasyiah_ye Musnad Ahmad, jilid 3, hal.362.
Abu Ja’far Thabari Amuli (224-310 H) memiliki sebuah riwayat dengan bersandar kepada ayat 41,
surah al-Anfal, dan apa yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) pada hari
Furqan, yaitu hari bertemunya dua pasukan... Beliau berpendapat bahwa permulaan bi’tsah jatuh pada
tanggal 17 Ramadhan, karena ayat ini diturunkan berkenaan dengan perang Badar yang terjadi pada
tanggal 17 Ramadhan. Abu Abdillah Zanjani mendukung pendapatnya (Tarikh al-Quran, hal.7).
Namun, ayat itu mengisyaratkan bahwa pada hari itu ada beberapa ayat yang diturunkan kepada
Rasulullah saw berkenaan dengan al-Anfal dan peristiwa lain yang berhubungan dengan peperangan,
bukan tentang permulaan turunnya al-Quran atau bi’tsah (At-Tamhid, jilid 1, hal.106).
56
Fatrah berarti lemah dan kurang. Kata fatrah di sini sebagai kinayah dari terputusnya
keberlangsungan wahyu al-Quran.

42
diperintahkan (kepadamu) (QS. al-Hijr:94). Kemudian beliau pun berdakwah secara

terang-terangan. 57

Abu Abdillah Zanjani berpendapat bahwa setelah ayat ini diturunkan, Bacalah

dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan, al-Quran tidak lagi turun hingga tiga

tahun. Rentang waktu itu disebut dengan nama fatrah. Kemudian al-Quran diturunkan

secara bertahap dan ditolak oleh orang-orang musyrik. 58

Masa Turunnya Al-Quran

Masa turunnya al-Quran secara bertahap selama dua puluh tahun, dimulai tiga

ah
tahun setelah bi’tsah, hingga akhir hayat Rasulullah saw. Abu Ja’far Muhammad bin

Ya’qub Kulaini Razi (w. 328) menyebut sebuah hadis, bahwa Hafsh bin Ghiyats

i
Sy
bertanya kepada Imam Ja’far Shadiq, “Masa turunnya al-Quran adalah dua puluh

tahun. Mengapa Allah berfirman, Bulan Ramadhan yang di dalamnya diturunkan al-

Quran?” 59
a

Muhammad bin Mas’ud Ayyasyi Samarqandi (w. 320) menukil dari Ibrahim
k

bin Umar Shan’ani yang bertanya kepada Imam Ja’far Shadiq, “Bagaimanakah al-
a

Quran bisa diturunkan pada bulan Ramadhan, jika ia diturunkan dalam tempo dua
st

puluh tahun?” 60
u

Ali bin Ibrahim Qomi meriwayatkan bahwa Imam Ja’far Shadiq ditanya,
P

“Bagaimanakah al-Quran bisa diturunkan pada bulan Ramadhan, sedangkan ia

diturunkan sepanjang dua puluh tahun?” 61

57
Sirah Ibn Hisyam, jilid 1, hal.280; Abul Hasan Ali bin Ibrahim Qomi, Tafsir al-Qomi dalam
penjelasan ayat 94, surah al-Hijr; Manaqib Ibn Syahr Asyub, jilid 1, hal.40.
58
Tarikh al-Quran, hal. 9.
59
Ushul al-Kafi, jilid 2, hal.628, hadis ke-6.
60
Tafsir al-Ayyasyi, jilid 1, hal.80, hadis ke-184.
61
Tafsir al-Qomi, jilid 1, hal.66.

43
Dalam riwayat-riwayat tersebut Imam Ja’far Shadiq menjelaskan,

“…kemudian ia diturunkan dalam kurun waktu dua puluh tahun…” Pendapat ini di

pilih oleh Ibnu Babwaih Shaduq, 62 Allamah Majlisi, 63 Sayid Abdullah Syubbar,64 dan

ulama yang lain. 65

Said bin Musayyib (w. 95 H), salah seorang fuqaha sab’ah (tujuh fakih)

Madinah terkemuka dari kalangan tabi’in, berkata, “Al-Quran diturunkan kepada

Rasulullah saw ketika beliau berusia 42 tahun.” 66 Pernyataan ini berbeda dengan

bi’tsah yang disepakati seluruh umat bahwa usia beliau saat itu adalah 40 tahun.

Wahidi Neisyaburi menukil dari Amir bin Syurahbil Sya’bi, salah seorang

ah
fukaha dan sastrawan tabi’in (20-109 H) yang berkata, “Masa turunnya al-Quran

kurang lebih dua puluh tahun.” 67

i
Sy
Imam Ahmad bin Hanbal menukil dari pendapat ini, dia berkata, “Kenabian

beliau saw pada usia 40 tahun dan tiga tahun kemudian, al-Quran diturunkan,

berangsur-angsur selama dua puluh tahun.”


a

Abul Fida’ yang dikenal dengan sebutan Ibnu Katsir berkata, “Seluruh sanad
k

riwayat ini adalah sahih.” 68


a

Abu Ja’far Thabari meriwayatkan dari Ikrimah bahwa Ibnu Abbas berkata,
st

“Al-Quran, dari awal sampai akhir, diturunkan dalam rentang waktu dua puluh
u

tahun.” 69
P

Abul Fida’ Ismail bin Katsir Dimasyqi (w. 774 H) mengutip hadis yang di

sadur dari Muhammad bin Ismail Bukhari bahwa Ibnu Abbas dan Aisyah berkata,

62
Syekh Shaduq, Al-I’tiqadat, hal.101.
63
Bihar al-Anwar, jilid 18, hal.250-253.
64
Tafsir Syubbar, hal.350.
65
Jalaluddin Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Quran, jilid 1, hal.40.
66
Ali bin Ahmad Wahidi Neisyaburi, Al-Mustadrak ala ash-Shahihain, jilid 2, hal.610.
67
Ali bin Ahmad Wahidi Neisyaburi, Asbabun Nuzul, hal.3.
68
Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihayah fi At-Tarikh, jilid 3, hal.4; Al-Itqan, jilid 1, hal.45; Thabaqat
Ibn Sa’d, jilid 1, hal.127.
69
Tafsir ath-Thabari, jilid 2, hal.85.

44
“Al-Quran turun di Mekkah selama sepuluh tahun dan di Madinah selama sepuluh

tahun.” Beliau juga meriwayatkan dari Abu Ubaid Qasim bin Salam bahwa masa

turunnya al-Quran adalah dua puluh tahun, beliau berkata, “Ini adalah sanad yang

sahih.” 70

Tiga Pertanyaan tentang Turunnya Al-Quran

1. Bagaimana bisa al-Quran diturunkan pertama kali pada lailatul Qadar?

Bukankah Nabi diutus pada tanggal 27 Rajab dengan lima ayat pertama dari awal

surah?

ah
2. Bagaimana bisa al-Quran diturunkan pada lailatul Qadar? Bukankah al-

Quran diturunkan secara bertahap dalam rentang waktu dua puluh tahun di berbagai

i
Sy
kesempatan dan peristiwa berbeda?

3. Ayat dan surah apa yang pertama kali diturunkan kepada Rasulullah saw?

Seandainya ayat atau surah pertama yang diturunkan itu adalah surah al-Alaq dan
a

lima ayat pertamanya, mengapa surah al-Hamdu (al-Fatihah) disebut dengan nama
k

Fatihatul Kitab?
a

Jawaban untuk pertanyaan pertama dan ketiga adalah jelas. Turunnya al-
st

Quran, sebagaimana yang telah dijelaskan, terjadi tiga tahun setelah bi’tsah. Pada
u

periode tiga tahun pertama bi’tsah, dakwah Nabi berlangsung secara diam-diam,
P

hingga ayat ini diwahyukan, Sampaikanlah secara terang-terangan segala yang

diperintahkan (kepadamu)… Ayat ini adalah perintah agar dakwah dilakukan secara

terang-terangan. Pada saat itulah awal turunnya al-Quran.71

70
Ibnu Katsir, Fadhail al-Quran, hal.2.
71
At-Tamhid, jilid 1, hal.108.

45
Mengapa surah al-Hamdu disebut sebagai Fatihatul Kitab? Seandainya nama

surah itu sudah ada ketika Rasulullah saw masih hidup, jawabnya adalah bahwa surah

ini adalah surah pertama yang diturunkan kepada Rasulullah saw secara sempurna. 72

Sebagian riwayat menyebutkan bahwa pada hari pertama bi’tsah, Jibril

mengajarkan shalat dan wudhu menurut agama Islam kepada Rasulullah saw, Tiada

shalat melainkan dengan Fatihatul Kitab. Karenanya surah tersebut diturunkan secara

keseluruhan. 73

Tentang pertanyaan kedua, banyak pendapat yang bisa dipaparkan. Berikut ini

adalah ringkasan dari pendapat-pendapat tersebut:

ah
Pendapat pertama

i
Sy
Permulaan turunnya al-Quran adalah pada lailatul Qadar, sebagaimana yang

dijelaskan ayat, Bulan Ramadhan yang diturunkan di dalamnya al-Quran…

Kebanyakan sejarahwan memilih pendapat ini karena orang-orang yang hidup pada
a

saat itu (yang diajak bicara oleh wahyu) tidak memahami “kata al-Quran” sebagai
k

sebuah kitab yang diturunkan secara utuh, namun mereka memahami sebagai sebuah
a

kitab yang kemudian diturunkan secara bertahap. Dengan demikian secara lahiriah,
st

ayat ini memberikan makna permulaan turunnya al-Quran. Oleh sebab itu kebanyakan
u

mufasir menerjemahkan ayat tersebut seperti ini; …yakni di dalamnya dimulai


P

turunnya al-Quran,74 kecuali mereka yang “menyembah” hadis-hadis tentang hal itu

72
Mungkin saja nama ini muncul setelah Rasulullah wafat. Ketika al-Quran dibukukan atau
dikumpulkan jadi satu, surah ini berada di awal mushaf.
73
At-Tamhid, jilid 1, hal.110.
74
Menurut Zamakhsyari, makna dari “diturunkan di dalamnya al-Quran” adalah awal al-Quran
diturunkan (Al-Kasyaf; jilid 1, hal.227).
Menurut Baidhawi, bahwa telah dimulai turunnya (Anwar at-Tanzil, jilid 1, hal.217).
Syekh Muhammad Abduh berpendapat bahwa maksud, diturunkannya al-Quran di dalamnya adalah
awal turunnya (Tafsir al-Manar, jilid 2, hal.158).
Menurut Maraghi, hari itu adalah bulan Ramadhan yang di dalamnya al-Quran mulai diturunkan (Tafsir
al-Maraghi, jilid 2, hal.73).

46
secara literal. 75 Padahal riwayat-riwayat tentang penafsiran al-Quran tidak memiliki

keharusan patuh sebagai sebuah penghambaan, karena ketaatan hanya berlaku dalam

urusan amal perbuatan, bukan dalam keyakinan dan pemahaman, khususnya apabila

tidak sesuai dengan makna lahiriah kata yang membutuhkan penakwilan. Selain itu,

al-Quran mengandung lafazh, frase dan kriteria-kriteria yang tidak bisa diturunkan

dalam satu malam (QS. Ali Imran:123).

Dalam al-Quran diberitakan peristiwa masa lalu, seperti ayat Dan Allah telah

menolong kalian di Badar, padahal kalian (ketika itu) adalah orang-orang yang

lemah… Jika al-Quran diturunkan seluruhnya pada malam Qadr berarti ayat itu juga

ah
diturunkan pada malam itu juga, berarti ayat itu menceritakan tentang peristiwa yang

akan terjadi pada waktu yang masih lama, bukan peristiwa yang sudah terjadi.

i
Sy
Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukmin) di medan

peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu ketika kamu

menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak
a

memberi manfaat kepadamu sedikit pun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit
k

olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai. Kemudian Allah


a

menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman,


st

dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya… (QS. at-
u

Taubah:25-26).
P

Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah

menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (kaum musyrik Mekkah)

Ibnu Syahr Asyub berpendapat bahwa dalam hal ini al-Quran tidak berarti umum dan menyeluruh,
tetapi ia berarti jenis. Maka apapun yang diturunkan di dalamnya sesuai dengan lahiriah ayat
(Mutasyabihat al-Quran, jilid 1, hal.63). Dia juga berpendapat bahwa bulan yang didalamnya
diturunkan al-Quran adalah mulai diturunkannya al-Quran (Al-Manaqib, jilid 1, hal.150). Demikian
juga Mufid dalam Syarh al-I’tiqad (Tashhih al-I’tiqad, hal.58) dan Sayid Murtadha (Ajwibah al-Masail
ath-Tharablusiyyat ats-Tsalitsah, kumpulan pertama dari risalah-risalah Syarif Murtadha, hal.403-405).
75
Tafsir ash-Shafi, mukadimah kesembilan; Masyhadi, Kanz al-Daqaiq, jilid 1, hal.430; Tafsir al-
Ayyasyi, jilid 1, hal.80; Tafsir al-Qomi, jilid 1, hal.60.

47
mengeluarkannya (dari Mekkah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika

keduanya berada dalam gua, diwaktu dia berkata kepada sahabatnya, “Janganlah

kamu berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita.” Maka Allah menurunkan

ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu

tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah.

Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana (QS.

at-Taubah:40).

Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk

tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (berhalangan)

ah
dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta? (QS. at-Taubah:43).

Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut dalam perang Tabuk) itu, merasa

i
Sy
gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, mereka tidak suka

berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah dan mereka berkata;

“Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.” Katakanlah;
a

“Api neraka jahanam itu lebih panas,” jika mereka mengetahui (QS. at-Taubah:81).
k

Dan di antara orang-orang Arab Badui datang (kepada Nabi) mengemukakan


a

alasan, agar diberi izin (untuk tidak pergi berperang), sedangkan orang-orang yang
st

mendustakan Allah dan Rasul-Nya, duduk berdiam diri… (QS. at-Taubah:90).


u

Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan
P

masjid untuk menimbulkan bencana (kepada orang-orang mukmin), untuk kekafiran

dan memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-

orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak zaman dahulu… (QS. at-

Taubah:107).

Di antara orang-orang mukmin itu terdapat orang-orang yang menepati apa

yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Di

48
antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak

merubah (janjinya) (QS. al-Ahzab:23).

Sesungguhnya Allah telah mendengar ungkapan perempuan yang

menggugatmu tentang suaminya, dan mengadukan (masalahnya) kepada Allah, dan

Allah mendengar percakapan kamu berdua… (QS. al-Mujadilah:1).

Ayat-ayat yang mengabarkan masa lalu banyak sekali terdapat dalam al-

Quran. Seandainya turunnya al-Quran berlangsung di malam Qadr, seharusnya

menggunakan kata kerja aktif (mudhari’) yang mengandung arti masa depan. Kalau

tidak, niscaya perkataan tersebut akan jauh dari kebenaran, karena ayat-ayat ini

ah
menyoroti kejadian-kejadian serta kebutuhan-kebutuhan yang muncul di kemudian

hari dan sebagai jawaban sesuai atas pertanyaan-pertanyaan semua kejadian itu.

i
Sy
Andaikan semua ayat itu diturunkan sekaligus, maka berarti bahwa al-Quran

memberitahukan sesuatu atau peristiwa-peristiwa yang belum terjadi sebagai

peristiwa yang telah terjadi. Akibatnya, harus kita katakan bahwa al-Quran tidak
a

serius dengan semua kalimat. Mahasuci Allah dari penisbahan ini kepada-Nya.
k

Selain argumentasi tersebut, di dalam al-Quran banyak sekali ayat-ayat nasikh


a

dan mansukh, umum dan khusus, muthlak (tidak bersyarat) dan muqayyad (bersyarat),
st

mubham (implisit) dan mubayyan (eksplisit). Konsekuensi ayat nasikh adalah


u

keterlambatan masa dari ayat mansukh. Ayat-ayat yang menjelaskan ayat-ayat


P

mubayyan, khususnya yang menjelaskan ayat-ayat mubhamat (ayat-ayat yang samar

maknanya) meniscayakan adanya jarak waktu. Tidaklah logis bila al-Quran itu

diturunkan sekaligus. Ayat Bulan Ramadhan yang didalamnya diturunkan al-

Quran… dan ayat-ayat serupa lainnya mengisahkan tentang kejadian masa lalu,

termasuk ayat-ayat itu sendiri. Dengan kata lain, seandainya ayat-ayat tersebut

memberitakan semua hal yang ada di dalam al-Quran—bahwa ia telah diturunkan

49
pada malam Qadr—maka itu berarti bahwa al-Quran memberitakan dirinya sendiri.

Konsekuensinya, ayat-ayat ini juga diturunkan pada malam Qadr, seharusnya ayatnya

berbunyi seperti ini, yang akan diturunkan atau Kami akan menurunkannya agar bisa

menjadi penjelas masa sekarang. Tetapi ayat-ayat ini memberitakan tentang selain

dirinya. Karena itulah, kita simpulkan bahwa maksud dari diturunkannya al-Quran

pada malam Qadr, adalah permulaan turunnya, bukan keseluruhan al-Quran.

Syekh Shaduq mengasumsikan al-Quran diturunkan dua kali; sekaligus dan

bertahap. Namun Syekh Mufid menyatakan bahwa pendapat yang dipilih oleh Syekh

Abu Ja’far Shaduq itu bersumber dari sebuah hadis ahad (tidak mutawatir) yang tidak

ah
menghantarkan kepada keyakinan dan tidak mengharuskan seseorang untuk

mengamalkannya.

i
Sy
Turunnya al-Quran dalam berbagai kondisi dan kesempatan, disebut asbabun

nuzul, merupakan bukti untuk tidak terpaku pada pemahaman lahiriah riwayat yang

mengatakan al-Quran diturunkan secara sekaligus. Al-Quran berbicara tentang


a

peristiwa yang tidak akan jelas maksudnya sebelum peristiwa itu terjadi, kecuali
k

ketika diturunkan pada peristiwa itu terjadi. Sebagai contoh, al-Quran mengabarkan
a

perkataan orang-orang munafik, Dan mereka berkata, “Hati kami tertutup.” Tetapi
st

sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka, maka sedikit
u

sekali mereka yang beriman (QS. al-Baqarah:88). Al-Quran juga mencatat perkataan
P

orang-orang musyrik, Dan mereka berkata, “Jika Allah Yang Maha Pemurah

menghendaki tentulah kami tidak menyembah mereka (malaikat).” Mereka tidak

memiliki pengetahuan sedikit pun tentang itu (QS. az-Zukhruf:20). Berita-berita

tentang masa lalu, seperti dikabarkan oleh ayat ini, tidak mungkin dikabarkan sebelum

50
peristiwa itu terjadi. Berita-berita seperti ini sangat banyak sekali terdapat dalam al-

Quran.76

Sayid Murtadha Alamul Huda berkata, “Jika pendapat Syekh Abu Ja’far

Shaduq bahwa al-Quran diturunkan dengan utuh, bersandar kepada riwayat-riwayat

yang masih bersifat dugaan (dzanniy) sementara banyak dijumpai riwayat lain yang

menjelaskan sebaliknya, bahwa al-Quran telah diturunkan dalam berbagai

kesempatan; di Mekkah dan Madinah. Sebagaimana lazimnya menyikapi beberapa

peristiwa, Rasulullah saw menunggu satu ayat atau beberapa ayat diturunkan. Ayat-

ayat seperti ini banyak sekali di dalam al-Quran. Selain itu, al-Quran dengan tegas

ah
menunjukkan bahwa ia telah diturunkan secara terpisah, Dan orang-orang kafir

berkata, “Mengapa al-Quran tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”

i
Sy
Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya

secara tartil. Ayat demikianlah supaya Kami perkuat… menjelaskan falsafah dibalik

turunnya al-Quran secara berangsur.” 77


a
k

Pendapat kedua
a

Sebagian berpendapat bahwa setiap tahun di malam Qadr, al-Quran


st

diturunkan kepada Rasulullah saw untuk memenuhi kebutuhan ditahun itu. Kemudian,
u

di dalam tahun itu, ayat-ayat diturunkan secara bertahap sesuai dengan peristiwa yang
P

melatarbelakanginya. Atas dasar asumsi ini, maksud dari bulan Ramadhan yang di

dalamnya al-Quran diturunkan dan keterkaitannya dengan laylatul Qadr, al-Quran

tidak turun dalam satu Ramadhan dan satu lailatul Qadar. Maksudnya adalah semua

bulan Ramadhan dan semua malam Qadr di setiap tahun. Pendapat ini diajukan oleh

Ibnu Juraih dan Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraih (w. 150 H). Sebagian ulama

76
Muhammad bin Nu’man yang dikenal dengan sebutan Syekh Mufid, Tashhih al-I’tiqad, hal.57-58.
77
Rasail al-Murtadha, Kumpulan Tanya Jawab 1; Masail ath-Tharablusiyyat, jilid 3, hal.403-405.

51
setuju dengan pendapat ini.78 Pendapat ini bertentangan dengan makna lahiriah

kalimat al-Quran.

Pendapat ketiga

Maksud dari yang di dalamnya diturunkan al-Quran adalah pada bulan

Ramadhan diturunkan kabar tentang puasa dan keutamaannya. Sufyan bin Uyainah

(w. 198 H) berpendapat bahwa makna dari ayat itu adalah yang diturunkan al-Quran

di dalam keutamaannya.

Dhahhak bin Muzahim (w. 106 H) berkata, “Yang diturunkan (keutamaan/

ah
kewajiban) puasa (bulan itu) dalam al-Quran.” Sebagian ulama lain juga menerima

pendapat tersebut. 79 Tentunya pendapat ini bisa dianggap sesuai dengan ayat yang ada

i
Sy
dalam surah al-Baqarah, Bulan Ramadhan yang diturunkan di dalamnya al-Quran,

tetapi tidak sesuai dengan ayat-ayat yang ada di dalam surah ad-Dukhan.
a

Pendapat keempat
k

Sebagian ulama, seperti Sayid Qutub menyatakan bahwa sangat mungkin


a

kebanyakan ayat-ayat al-Quran diturunkan pada bulan suci Ramadhan. 80 Namun tidak
st

ada satu pun penjelasan untuk membuktikan pendapat ini. Apalagi pendapat ini hanya
u

berkenaan dengan surah al-Baqarah, tidak bisa meliputi surah al-Qadr dan ad-Dukhan,
P

Kami telah turunkan al-Quran di malam al-Qadr. Oleh karena itu, tiga pendapat di

atas (kedua, ketiga, keempat) tidak bisa diterima. Pendapat yang mungkin untuk dikaji

adalah pendapat pertama dan kelima.

Pendapat kelima

78
Tafsir al-Kabir, jilid 1, hal.85; Ad-Durr al-Mantsur, jilid 1, hal.189; Tafsir Thabarsi, jilid 2, hal.276;
Al-Itqan, jilid 1, hal.40.
79
Tafsir Thabarsi, jilid 1, hal.276; Al-Kasyaf, jilid 1, hal.227; Ad-Durr al-Mantsur, jilid 1, hal.190;
Tafsir al-Kabir, jilid 5, hal.80.
80
Sayid Qutub, Fi Zhilal al-Quran, jilid 2, hal.79.

52
Sebagian ulama berkeyakinan bahwa ada dua macam cara al-Quran

diturunkan; pertama secara sekaligus dan kedua secara bertahap. Pada malam Qadr,

al-Quran diturunkan secara sekaligus kepada Rasulullah saw. Setelah itu, untuk kedua

kalinya, al-Quran diturunkan secara bertahap sepanjang masa kenabian Muhammad

saw. Mungkin, pendapat ini paling populer di kalangan ahli hadis. Sumbernya adalah

riwayat-riwayat yang mereka sebutkan. Sebagian dari mereka berpendapat dengan apa

yang bisa didapat dari pemahaman lahiriah riwayat dan sebagian yang lain menerima

riwayat-riwayat tersebut dengan penakwilan. Jalaluddin Suyuthi menyebutkan bahwa

pendapat ini adalah paling sahih, terkenal dan banyak sekali riwayat yang

ah
mendukungnya.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa al-Quran diturunkan pada malam Qadr

i
Sy
secara utuh ke langit dunia dan diletakkan di Baitul Izzah, kemudian diturunkan

secara bertahap kepada Nabi dalam rentang waktu dua puluh tahun. 81

Menurut riwayat-riwayat Ahlusunnah, al-Quran diturunkan dari Arsy ke langit


a

pertama (langit yang paling bawah), setelah itu diletakkan di suatu tempat bernama
k

Baitul Izzah.
a

Menurut riwayat-riwayat Syi’ah, al-Quran turun dari Arsy ke langit keempat


st

dan diletakkan di Baitul Makmur. Shaduq menganggap hal ini sebagai bagian dari
u

ideologi Syi’ah, bahwa al-Quran diturunkan secara utuh di bulan Ramadhan pada
P

malam Qadr di Baitul Makmur, langit keempat. Setelah dari Baitul Makmur, al-Quran

diturunkan dalam rentang waktu selama dua puluh tahun. 82

Ada sebagian orang bertumpu kepada riwayat secara tekstual saja dan

menerima riwayat-riwayat tersebut apa adanya. Berbeda dengan ahli tahkik, mereka

mengkaji setiap riwayat, melakukan takwil riwayat-riwayat itu dengan berbagai

81
Al-Itqan, jilid 1, hal.39-40.
82
Al-I’tiqadat, bab 31.

53
alasan. Apa hikmah serta maslahat dibalik turunnya al-Quran dari Arsy ke langit

pertama atau keempat, kemudian diletakkan di Baitul Izzah atau Baitul Makmur? Apa

manfaat diturunkannya al-Quran bagi orang-orang dan Nabi saw, sehingga Allah

menyebutnya dengan keagungan? Apakah yang bisa diambil dari al-Quran, yaitu ayat-

ayat, surah, makna-makna dan pengertian-pengertian adalah sebuah solusi? Apakah

keutamaan ketika al-Quran turun di malam Qadr, di langit pertama?

Fakhrurrazi mengutarakan pendapatnya, sekaligus menjawab pertanyaan-

pertanyaan tersebut, bahwa hal itu demi mempermudah urusan sehingga ketika

turunnya ayat atau surah itu diperlukan, maka Jibril dapat secara langsung

ah
menurunkan ayat yang diperlukan itu kepada Rasulullah saw dari tempat yang paling

dekat. 83 Namun menurut hemat kami jawaban ini sangatlah mengherankan jika

i
Sy
diungkapkan oleh seorang sekaliber Fakhrurrazi secara keilmuannya, karena di alam

metafisik tidak ada istilah jauh atau dekat.

Berkenaan dengan pendapat bahwa al-Quran diturunkan sekaligus dan


a

berangsur-angsur, para ulama besar memiliki penjelasan-penjelasan yang secara


k

umum menggunakan takwil hadis-hadis. Penjelasan tersebut sebagai berikut:


a

1. Maksud dari al-Quran turun sekaligus kepada Rasulullah saw di malam


st

Qadr adalah pengetahuan tentang kandungan al-Quran secara universal diberikan


u

kepada Rasulullah. Takwil ini diungkapkan oleh Syekh Shaduq. Menurut beliau,
P

sesungguhnya Allah telah menganugerahkan ilmu (al-Quran) secara universal. Pada

malam itu al-Quran diturunkan kepada Nabi saw tidak dengan lafazh-lafazh dan

kalimat atau frase namun hanya ilmu tentang (kandungan) al-Quran yang diberikan

kepada Rasulullah saw secara universal. Oleh karena itulah beliau saw memiliki

83
Tafsir al-Kabir, jilid 5, hal.85.

54
pengetahuan yang sempurna tentang kandungan al-Quran (sebelum diturunkan secara

berangsur-angsur—Peny.).

2. Faidh Kasyani berpendapat bahwa yang dimaksud Baitul Makmur adalah

hati Rasulullah saw, karena hati beliau saw adalah Baitul Makmur milik Allah yang

terletak di langit keempat. Rasulullah saw telah melampaui tingkatan benda padat,

tumbuhan dan hewan. Beliau telah mencapai tingkatan keempat yaitu alam manusia.

Setelah dua puluh tahun, setiap kali Jibril menurunkan al-Quran, maka al-Quran itu

keluar dari hati Rasulullah saw melalui lisan beliau. 84 Penafsiran seperti ini juga tidak

menjawab pertanyaan dan menyelesaikan masalah. Penjelasan seperti ini tidak

ah
menjelaskan dua bentuk turunnya al-Quran, hanya menjelaskan pengetahuan-

pengetahuan yang bersifat universal.

i
Sy
3. Abu Abdillah Zanjani menjelaskan bahwa ruh al-Quran yang merupakan

tujuan-tujuan tinggi al-Quran serta memiliki sisi universal. Pada malam itu

keuniversalan tersebut menjelma dalam hati Rasulullah saw, Telah turun ar-Ruh al-
a

Amin dengannya (al-Quran) ke hatimu. Kemudian al-Quran terujar dari lisan beliau
k

saw sepanjang tahun. Dan al-Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-
a

angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami


st

menurunkannya bagian demi bagian (QS. al-Isra:106).


u

4. Allamah Thabathaba’i menakwilkan sama. Bedanya, beliau memberi


P

penjelasan yang rinci. Menurut beliau, pada dasarnya al-Quran memiliki wujud dan

hakikat yang lain, terselubung oleh tirai wujud lahirnya dan tak terjangkau oleh

pandangan dan pengetahuan biasa. Al-Quran dalam wujud batinnya, kosong dari

segala bentuk pembagian dan rincian. Al-Quran tidak parsial, tak memiliki rincian,

tidak memiliki ayat dan surah. Ia adalah satu kesatuan hakiki yang satu sama lain

84
Muhsin Faidh Kasyani, Tafsir ash-Shafi, jilid 1, hal.42.

55
saling berkaitan dan tersusun rapi, tersimpan di tempatnya yang sangat tinggi dan tak

terjamah oleh siapa pun.

Inilah suatu kitab yang ayat-ayatnya tersusun dengan rapi serta di jelaskan

secara rinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Mahabijaksana lagi Mahatahu

(QS. Hud:1).

Dan sesungguhnya al-Quran itu dalam induk al-Kitab (Lauh al-Mahfuzh) di

sisi Kami, adalah benar-benar tinggi dan amat banyak mengandung hikmah (QS. az-

Zukhruf:4).

Sesungguhnya ia adalah al-Quran yang mulia yang berada dalam kitab yang

ah
terjaga yang tak bisa disentuh kecuali hanya orang-orang yang disucikan (QS. al-

Waqi’ah:77-79).

i
Sy
Dan sungguh Kami telah membawakan suatu kitab kepada mereka yang telah

Kami jelaskan rincian (semua rahasia dan rumus mereka) berdasarkan

pengetahuan… (QS. al-A’raf:52).


a

Al-Quran memiliki dua wujud; pertama adalah wujud lahiriah yang terjelma
k

dalam bentuk lafazh-lafazh dan kalimat-kalimat. Kedua adalah wujud batiniah yang
a

tetap berada dalam posisinya. Al-Quran dalam wujud batiniah dan aslinya, menjelma
st

ke hati Rasulullah saw secara utuh pada malam Qadr. Setelah itu al-Quran turun
u

secara berangsur-angsur selama masa kenabian secara rinci dan lahiriah dalam
P

berbagai kesempatan dan peristiwa. 85

Penakwilan seperti ini dapat diterima dan dianggap benar jika disertai dengan

dasar dan landasan yang kuat. Selain itu, teks ayat-ayat al-Quran yang sekarang

beredar di tangan semua orang tidak membicarakan tentang al-Quran lain serta

hakikat lain yang tersembunyi yang disebut dengan “batin”.

85
Allamah Thabathaba’i, Al-Mizan, jilid 2, hal.15-16.

56
Untuk menunjukkan keagungan bulan Ramadhan dan malam lailatul Qadar,

Allah menyampaikan masalah turunnya al-Quran. Masalah ini harus dimengerti dan

diketahui oleh semua orang. Selain itu, apa manfaat mengabarkan turunnya al-Quran

dari tempat yang sangat tinggi ke tempat yang paling rendah jika keduanya tak

mampu dijangkau oleh manusia bahkan oleh Nabi sendiri? Bukankah Allah menyebut

keagungan dan kebesarannya di sana? Oleh karenanya penakwilan seperti ini benar

jika memiliki dasar yang kuat. Selain itu apabila kita ingin menafsirkan ayat-ayat

tersebut dengan takwilan seperti ini, maka tetap saja tidak menyelesaikan masalah,

ah
karena ayat-ayat tersebut ingin menjelaskan awal turunnya al-Quran.

i
Sy
Ayat dan Surah Pertama

Ada tiga pendapat tentang ayat dan surah pertama;

1. Sekelompok ulama berkeyakinan bahwa ayat-ayat pertama adalah tiga atau


a

lima ayat pertama surah al-Alaq yang diturunkan bersamaan dengan peristiwa bi’tsah
k

Nabi saw, ketika malaikat menghampiri dan memanggil beliau dengan sebutan “Nabi”
a

dan berkata kepada beliau, “Bacalah.” Beliau berkata, “Apa yang harus aku baca?”
st

Kemudian malaikat menaunginya dan berkata, “Bacalah dengan nama Tuhanmu


u

Yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
P

Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan

perantara Qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.86

86
Bihar al-Anwar, jilid 18, hal.206, hadis 36; Tafsir al-Burhan, jilid 2, hal.478; Shahih Muslim, jilid 1,
hal.97; Shahih Bukhari, jilid 1, hal.3.

57
Imam Ja’far Shadiq bersabda, “Ayat pertama yang diturunkan kepada

Rasulullah saw adalah Bismillahirrahmanirrahim Iqra’ Bismi Rabbika… dan ayat

akhir yang diturunkan kepada beliau adalah Idza Jâa Nashrullah…” 87

2. Sekelompok ulama berpendapat bahwa surah pertama yang diturunkan

adalah surah al-Muddatstsir. Diriwayatkan bahwa Ibnu Salamah bertanya kepada

Jabir bin Abdillah Anshari, “Surah atau ayat al-Quran yang mana yang pertama kali

diturunkan?” Dia menjawab, “Ya Ayyuhal Muddatstsir.” Ibnu Salamah bertanya,

“Bagaimana dengan Iqra’ Bismi Rabbika?” Dia menjawab, “Perkataan yang pernah

aku dengar dari Rasulullah saw, kini akan aku sampaikan kepadamu. Aku mendengar

ah
beliau bersabda, ‘Aku telah melewati waktuku di dalam gua. Setelah masa itu

berakhir, aku turun dan berada di tengah-tengah sebuah lembah. Aku mendengar

i
Sy
suara panggilan. Aku melihat ke segala arah, tetapi aku tidak melihat siapa pun.

Kemudian aku mendongak ke langit. Tiba-tiba aku melihat dia (Jibril). Seluruh

tubuhku bergetar. Aku langsung kembali ke rumah menghampiri Khadijah. Aku ingin
a

dia menyelimutiku, saat itulah diwahyukan, Ya Ayyuhal Muddatstsir Qum Fa


k

Andzir…’” 88 Sekelompok ulama berkesimpulan dengan menjadikan hadis ini sebagai


a

patokan bahwa surah pertama yang diturunkan kepada Rasulullah saw adalah surah
st

ini. 89 Namun, hadis tersebut tidak memberi penjelasan bahwa surah ini adalah surah
u

pertama yang diturunkan. Berdasarkan hadis itu, kesimpulan tersebut dilakukan oleh
P

Jabir.

Mungkin peristiwa ini terjadi beberapa saat setelah bi’tsah, karena setelah

beliau diutus sebagai nabi, wahyu pernah terhenti beberapa saat dan kemudian

diturunkan lagi. Bukti akan pernyataan ini adalah sebuah hadis dari Jabir bin Abdillah

tentang masa fatrah wahyu, bahwa beliau saw bersabda, “Ketika aku melanjutkan
87
Ushul al-Kafi, jilid 2, hal.628; Uyun Akhbar ar-Ridha, jilid 2, hal.6; Bihar al-Anwar, jilid 92, hal.39.
88
Shahih Muslim, jilid 1, hal.99; Musnad Ahmad, jilid 3, hal.306.
89
Badruddin Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Quran, jilid 1, hal.206.

58
jalanku, tiba-tiba aku mendengar suara panggilan dari langit. Aku mendongakkan

kepala. Aku melihat malaikat yang pernah datang di gua Hira. Aku takut berjumpa

dengannya, karenanya aku duduk berlutut, kemudian aku tidak meneruskan jalanku

dan langsung kembali ke rumah dan aku berkata, ‘Selimutilah aku, selimutilah aku!’

Kemudian aku diselimuti. Pada saat itulah diturunkan ayat, Hai orang yang

berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah, dan

pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah.” 90 Setelah itu wahyu

diturunkan secara berangsur-angsur tak pernah putus.

3. Sekelompok yang lain berkeyakinan bahwa surah pertama yang diturunkan

ah
adalah surah al-Fatihah. Zamakhsyari berpendapat, kebanyakan mufasir berkeyakinan

bahwa surah al-Fatihah adalah surah pertama yang diturunkan. Allamah Thabarsi dari

i
Sy
ustad Ahmad Zahid, menyebutkan dalam kitab Idhah dengan menukil riwayat dari

Said bin Musayyib dari Amirul Mukminin Ali as bahwa beliau as berkata, “Aku

bertanya kepada Rasulullah saw tentang pahala membaca al-Quran. Kemudian beliau
a

saw menjelaskan pahala setiap surah sesuai dengan urutan turunnya. Setelah itu beliau
k

mengatakan bahwa surah al-Fatihah adalah surah pertama yang diturunkan di


a

Mekkah, kemudian Iqra’ Bismi Rabbika, kemudian adalah surah Nun Walqalam.” 91
st

Terkait dengan dimulainya bi’tsah, Wahidi Neisyaburi dalam Asbabun Nuzul-


u

nya menyebutkan bahwa ketika Rasulullah saw sedang menyendiri, beliau sering
P

mendengar suara panggilan dari langit yang membuatnya takut. Malaikat

memanggilnya, “Hai Muhammad!” Beliau saw menjawab, “Labbaik.” Kemudian

Malaikat berkata, “Katakanlah, ‘Bismillahirrahmanirrahim, Alhamdu Lillahi Rabbil

Alamin…’” 92

90
Shahih Bukhari, jilid 1, hal.4; Shahih Muslim, jilid 1, hal.98; Musnad Ahmad, jilid 3, hal.325.
91
Tafsir Thabarsi, jilid 1, hal.405; Al-Kasyaf; jilid 4, hal.775.
92
Asbabun Nuzul, hal.11.

59
Rasulullah saw sejak awal diutus sebagai Nabi, sudah melaksanakan shalat

menurut hukum Islam bersama keluarga kecilnya (Ali, Ja’far, Zaid dan Khadijah) dan

shalat tidak sah tanpa membaca Fatihatul Kitab (al-Fatihah).

Dalam hadis disebutkan bahwa yang pertama kali diajarkan Jibril kepada Nabi

adalah shalat dan wudhu. Peristiwa ini bisa dilihat dari bi’tsah dan turunnya surah al-

Hamdu secara bersamaan. Jalaluddin Suyuthi berpendapat bahwa di dalam Islam tidak

pernah ada shalat tanpa Fatihatul Kitab. 93

Tiga pendapat di atas bisa disebut sebagai satu aliran karena turunnya tiga atau

lima ayat pertama surah al-Alaq secara pasti bersamaan dengan dimulainya bi’tsah.

ah
Peristiwa ini disepakati oleh semua kalangan. Setelah itu beberapa ayat dari awal

surah al-Muddatstsir diturunkan, namun surah pertama yang diturunkan kepada

i
Sy
Rasulullah saw secara lengkap adalah surah al-Hamdu dan beberapa ayat dari surah

al-Alaq atau surah al-Muddatstsir pada awalnya belum disebut sebagai surah, disebut

surah setelah ayat-ayat setelahnya diturunkan.


a

Tidak masalah jika menyebut surah pertama adalah surah al-Hamdu dan
k

dinamakan Fatihatul Kitab. Kewajiban membaca surah ini ketika melakukan shalat
a

menunjukkan betapa pentingnya surah tersebut, hingga ia disejajarkan dengan al-


st

Quran, Dan Kami telah berikan kepadamu surah al-Hamdu dan al-Quran yang
u

sangat agung (QS. al-Hijr:87). Surah yang disebut dengan nama Sab’an minal
P

Matsani menurut sebuah riwayat adalah surah al-Hamdu yang mengandung tujuh

ayat.

Jika diperhatikan urutan turunnya surah-surah, maka surah pertama adalah

surah al-Alaq dan surah kelima adalah surah al-Hamdu sebagaimana telah kami

93
Al-Itqan, jilid 1, hal.12.

60
sebutkan dalam urutan turunnya semua surah. Jika tolok ukurnya adalah surah yang

lengkap ketika diturunkan, maka surah pertama adalah al-Hamdu.

Ayat dan Surah Terakhir

Banyak riwayat dari Ahlulbait menyebutkan bahwa surah terakhir adalah

surah an-Nashr. Surah ini menyebut berita gembira tentang kemenangan mutlak

syariat yang memiliki landasan kokoh dan diterima oleh masyarakat, Apabila telah

datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu melihat manusia berbondong-

bondong masuk agama Allah, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan

ah
mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat

(QS. an-Nashr:1-3).

i
Sy
Para sahabat bergembira karena surah tersebut memberitakan kemenangan

mutlak Islam atas kekufuran dan kuatnya landasan agama. Berbeda dengan Abbas,

paman Nabi, beliau bersedih dan menangis ketika mendengar surah ini. Rasulullah
a

saw bertanya, “Wahai pamanku, mengapa engkau menangis?” Dia menjawab, “Aku
k

mengira surah itu memberitahukan bahwa ajalmu sudah dekat.” Rasulullah saw
a

berkata, “Perkiraanmu adalah benar.” Dua tahun setelah surah itu diturunkan, Nabi
st

saw meninggal dunia.94


u

Imam Ja’far Shadiq bersabda, “Surah terakhir adalah Idza Jâa Nashrullahi
P

Wal Fath.” 95

Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa surah terakhir adalah surah an-Nashr.96

Diriwayatkan juga bahwa surah terakhir adalah surah al-Bara’ah, ayat-ayat

94
Tafsir Thabarsi, jilid 10, hal.554.
95
Tafsir Burhan, jilid 1, hal.29.
96
Al-Itqan, jilid 1, hal.27.

61
pertamanya diturunkan pada tahun kesembilan Hijriah, pada tahun itu juga Nabi saw

mengutus Ali bin Abi Thalib membacakannya di hadapan orang-orang musyrik. 97

Banyak riwayat menyebutkan bahwa ayat terakhir yang diturunkan kepada

Rasulullah saw adalah, Dan jagalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang

pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing

diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang

mereka sedikit pun tidak dianiaya (QS. al-Baqarah:281). Setelah Jibril menurunkan

ayat ini, ia berkata, “Letakkanlah ayat itu di antara ayat-ayat riba dan ayat dain

(hutang) (setelah ayat ke-280) dari surah al-Baqarah.” Setelah ayat ini diturunkan,

ah
Nabi saw wafat 21 hari kemudian, bahkan ada yang mengatakan 7 hari.

Ahmad bin Abi Ya’qub yang dikenal dengan Ibnu Wadhih Ya’qubi (w. setelah

i
Sy
292) berpendapat bahwa ayat terakhir yang diturunkan kepada Rasulullah saw adalah

Hari ini Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku sempurnakan nikmat-

Ku atas kalian dan Aku rela Islam sebagai agama kalian (QS. al-Maidah:3). Ayat ini
a

turun pada hari pelantikan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib di Ghadir Khum. 98
k

Surah an-Nashr diturunkan sebelum surah al-Bara’ah, karena surah an-Nashr


a

diturunkan pada tahun Fathu Mekkah (‘Amul Fath), tepatnya pada tahun kedelapan
st

Hijriah, sedangkan surah al-Bara’ah diturunkan setelah Fathu Mekkah, pada tahun
u

kesembilan Hijriah.
P

Jika dilihat dari sisi kelengkapan, surah terakhir yang diturunkan secara

sempurna adalah surah an-Nashr. Jika dilihat dari ayat-ayat yang pertama kali

diturunkan maka surah terakhir adalah surah al-Bara’ah.

Ayat, Dan peliharalah diri kamu dari hari yang pada waktu itu kamu semua

dikembalikan kepada Allah… menurut riwayat Mawardi diturunkan di Mina

97
Tafsir ash-Shafi, jilid 1, hal.680.
98
Tarikh Ya’qubi, jilid 2, hal.35.

62
bertepatan dengan tahun Haji Wada’ (haji perpisahan). 99 Ia tidak bisa menjadi ayat

yang terakhir, karena ayat Ikmal itu diturunkan kepada Rasulullah di tengah

perjalanan ketika pulang dari Haji Wada’ di Ghadir Khum. Pendapat Ibnu Wadhih

Ya’qubi, lebih bisa diterima, karena surah al-Bara’ah diturunkan setelah Fathu

Mekkah pada tahun kesembilan Hijriah, sedangkan surah al-Maidah diturunkan pada

tahun kesepuluh Hijriah (tahun haji Wada’).

Selain itu, surah al-Maidah mengandung hukum-hukum yang menjelaskan

berakhirnya peperangan dan kemenangan agama Islam, khususnya ayat Ikmal, Hari

ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian… yang memberitakan

ah
berakhirnya masa risalah sesuai dengan ayat terakhir yang berada di akhir surah.

Dengan demikian, surah terakhir yang diturunkan dengan sempurna adalah

i
Sy
surah an-Nashr pada tahun Fathu Mekkah. Ayat terakhir yang memberitakan

berakhirnya masa risalah adalah ayat Ikmal. Meskipun jika dilihat dari segi ayat-ayat

hukum, mungkin saja ayat terakhir yang diturunkan adalah ayat di dalam surah al-
a

Baqarah, Jagalah diri kamu dari hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan
k

kepada Allah.
a
st

Surah-surah Makkiyah dan Madaniyah


u

Salah satu masalah ulum al-Quran yang penting adalah mengetahui surah-
P

surah Makkiyah dan Madaniyah. Keduanya penting diidentifikasi karena beberapa

alasan berikut ini:

1. Mengetahui sejarah bersinambungnya ayat dan surah yang berangsur turun

melalui surah-surah Makkiyah dan Madaniyah dalam perspektif tujuan kebudayaan.

Banyak orang berusaha mengetahui tragedi yang terangkum oleh sejarah; kapan dan

99
Al-Burhan, jilid 1, hal.210.

63
dimana, faktor-faktor penyebab. Inilah yang menstimulir munculnya ilmu sejarah.

Karena itu, sangat penting mengetahui surah-surah dan ayat-ayat Makkiyah dan

mengidentifikasinya dari ayat-ayat dan surah-surah Madaniyah.

2. Memahami kandungan ayat, memiliki peran mendasar untuk argumentasi-

argumentasi fikih dan menyimpulkan hukum-hukum. Betapa banyak ayat yang secara

lahiriah mengandung hukum syar’i. Namun, karena ia diturunkan di Mekkah dan pada

saat diturunkan hukum itu belum disyariatkan maka ada dua cara yang bisa

digunakan, pertama adalah menakwilnya dan yang kedua adalah menafsirkannya.

Sebagai contoh, masalah taklif orang-orang kafir dalam menjalankan furu’udin. Para

ah
fukaha, kebanyakan berpendapat bahwa mereka tidak diwajibkan menjalankan

furu’udin dalam keadaan kafir. Para fukaha itu, dalam masalah ini menggunakan

i
Sy
banyak riwayat sebagai dasar.

Berbeda dengan fukaha yang berpedoman kepada ayat 7 surah Fushshilat,

mereka berpendapat bahwa orang-orang kafir berkewajiban menjalankan furu’udin.


a

Ayat di atas, menurut mereka menjelaskan bahwa orang-orang musyrik dikecam


k

karena tidak menjalankan kewajiban zakat. Mereka lupa bahwa surah Fushshilat
a

adalah Makkiyah, sementara kewajiban zakat disyariatkan di Madinah. Pada saat ayat
st

itu diturunkan, zakat masih belum diwajibkan, meskipun bagi orang-orang Islam.
u

Bagaimana mungkin orang-orang musyrik dikecam?


P

Ayat tersebut memiliki dua takwil; pertama, yang dimaksud dengan zakat di

sini adalah bersedekah dan orang-orang musyrik tidak berhak mendapatkannya.

Kedua, mereka tidak berhak menunaikan zakat karena kekufuran menjadi

penghalangnya. Seandainya mereka beriman, niscaya berhak mendapat karunia ini,

64
karena syarat sahnya bersedekah adalah dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah

dan orang-orang kafir tidak bisa melakukannya.100

3. Argumentasi-argumentasi yang berhubungan dengan ilmu kalam, ayat-ayat

yang menjadi sandaran, khususnya ayat yang berkenaan dengan keutamaan Ahlulbait

kebanyakan adalah ayat-ayat Madaniyah, karena pembahasannya dipaparkan di

Madinah. Sebagian ulama berkeyakinan bahwa surah-surah atau ayat-ayat itu adalah

Makkiyah, dengan begitu ayat-ayat atau surah-surah itu tidak bisa menjadi landasan

argumentasi. Karenanya, mengetahui dengan detail surah-surah dan ayat-ayat

Makkiyah serta Madaniyah adalah salah satu syarat wajib ilmu kalam untuk

ah
pembahasan imamah. Contoh, sebagian ulama menganggap bahwa seluruh ayat yang

ada di dalam surah ad-Dahr adalah Makkiyah, sekelompok lain berpendapat surah itu

i
Sy
adalah Madaniyah, sebagian lain berpendapat bahwa selain ayat 24, Maka

bersabarlah dalam (menegakkan hukum) Tuhanmu dan janganlah kamu ikuti orang

yang berdosa dan orang kafir di antara mereka, seluruhnya adalah Madaniyah.
a

Sekelompok lain lagi berpendapat bahwa ayat pertama sampai ayat 22 adalah
k

Madaniyah, sisanya adalah Makkiyah. Silang pendapat seputar surah ini sangat
a

banyak sekali, tetapi kami berpendapat bahwa seluruhnya adalah Madaniyah.


st

Sebab turunnya ayat, Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari
u

yang azabnya merata di mana-mana, dan mereka memberikan makanan yang


P

disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya

kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah,

kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.

Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu)

orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. Maka Tuhan memelihara mereka dari

100
Tafsir Thabarsi, jilid 9, hal.4-5; Al-Mizan, jilid 17, hal.383-384.

65
kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan

kegembiraan hati. Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran

mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera… (QS. ad-Dahr:7-12) adalah karena

Hasanain (Imam Hasan dan Imam Husain) sakit. Rasulullah saw beserta para pemuka

Arab menjenguk mereka dan mengusulkan kepada Ali bin Abi Thalib agar melakukan

nazar untuk kesembuhan kedua putranya. Dengan nazar, niscaya Allah akan

memberikan kesembuhan yang cepat kepada mereka berdua.

Ali bin Abi Thalib menerima usulan itu. Dia berpuasa selama tiga hari.

Hasanain sembuh setelah beliau melakukan nazarnya. Beliau menyiapkan beberapa

ah
potong roti untuk berbuka. Pada hari pertama ketika berbuka puasa, datanglah seorang

miskin dan mengetuk pintu rumahnya sambil memohon bantuan. Ali bin Abi Thalib

i
Sy
memberikan semua roti kepada orang miskin tersebut. Pada hari kedua datanglah

seorang anak yatim, Ali bin Abi Thalib kembali memberikan rotinya. Pada Hari

ketiga datanglah seorang tawanan, beliau pun memberikan semua roti yang
a

dipersiapkan untuk berbuka. Dalam tiga hari itu Ali bin Abi Thalib hanya berbuka
k

dengan sedikit roti kering dan sedikit air.


a

Thabarsi mengumpulkan banyak riwayat dari jalur Ahlusunnah dan Ahlulbait


st

tentang kisah tersebut. Riwayat-riwayat tersebut disepakati oleh ahli tafsir.


u

Untuk membuktikan apakah surah itu Madaniyah atau Makkiyah, Thabarsi


P

mengemukakan sejumlah riwayat berkaitan dengan urutan turunnya. Dalam riwayat

tersebut, surah ad-Dahr termasuk bagian dari surah-surah Madaniyah.101

Abdullah bin Zubair dan semacamnya tidak ingin keutamaan tersebut hanya

dimiliki oleh Ahlulbait Nabi Muhammad saw. Dia bersikeras dengan pendapat bahwa

101
Tafsir Thabarsi, jilid 10, hal.404-406; Hakim Haskani, Syawahid at-Tanzil, hal.299-315.

66
surah ini semua ayatnya adalah Makkiyah.102 Dia lupa jika saat itu di Mekkah tidak

ada seorang pun tawanan.

Mujahid dan Qatadah, keduanya adalah tabi’in. Mereka menegaskan bahwa

surah ad-Dahr secara keseluruhan adalah Madaniyah.

Ada yang berpendapat bahwa ada pemilahan dalam surah tersebut. 103 Sayid

Qutub, salah seorang ulama kontemporer berpendapat bahwa secara kontekstual surah

itu adalah Makkiyah. 104

4. Banyak masalah terkait dengan al-Quran yang hanya bisa diselesaikan

melalui penelusuran jejak, apakah surah dan ayat adalah Makkiyah dan Madaniyah.

ah
Contoh, dalam masalah Naskhul Quran dengan al-Quran. Sebagian ulama mengambil

jalan keluar ifrath (ekstrem) dan menjelaskan ada lebih dari dua ratus dua puluh ayat

i
Sy
yang dihapus. Ketika pendapat ini tidak dibenarkan dan tidak sesuai dengan

kenyataan maka sebagian kelompok memilih jalan tafrith dengan berpendapat bahwa

al-Quran sama sekali tidak bisa dihapus, khususnya naskh al-Quran dengan al-Quran.
a

Bukankah syarat terjadinya naskh adalah adanya pertentangan antara dua ayat.
k

Kontradiksi seperti ini berbeda dengan penafian ikhtilaf dalam ayat,105 Kalau
a

seandainya al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentu mereka mendapat pertentangan
st

yang banyak di dalamnya (QS. an-Nisa:82).


u

Ada sekelompok ulama memilih jalan tengah. Mereka menerima naskh itu
P

sendiri dan tidak ekstrem dalam berpendapat tentang kuantitas ayat-ayat yang di-

naskh. Di antara ayat-ayat yang dianggap mansukh oleh orang-orang yang berlebihan

dalam berpendapat, terdapat ayat yang diturunkan berkenaan dengan nikah mut’ah;

Maka istri-istri yang telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka

102
Ad-Durr al-Mantsur, jilid 6, hal.297.
103
At-Tamhid, jilid 1, hal.154-155.
104
Fi Zhilal al-Quran, jilid 29, hal.215.
105
Ayatullah Abul-Qasim Khu’i, Al-Bayan fi Tafsir al-Quran, hal.206.

67
maharnya… (QS. an-Nisa:24). Ayat ini menurut pendapat Imam Syafi’i dan

Muhammad bin Idris telah di-naskh oleh ayat Dan orang-orang yang menjaga

kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki,

maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela (QS. al-Mu’minun:5-7).

Pendapat tersebut tidak bisa diterima. Alasannya, pertama, seorang wanita

yang diambil dengan akad mut’ah, maka statusnya adalah istri, meskipun dalam

pandangan hukum sedikit dibedakan dengan nikah daim. Seandainya tidak ada akad,

maka tidak bisa disebut sebagai istri. Kedua, ayat yang mereka asumsikan sebagai

nasikh dalam surah al-Mu’minun, seluruhnya adalah Makkiyah, tak seorang pun yang

ah
menyangsikannya. Biasanya ayat nasikh, datangnya harus setelah ayat mansukh (yang

dihapus). Masalah di atas juga disebutkan oleh Ustad Zarqani. 106

i
Sy
Tolok Ukur Pembagian Surah-surah Makkiyah dengan Madaniyah

Menurut riwayat-riwayat tartibun nuzul (urutan turunnya ayat), ada 86 surah

Makkiyah dan 28 surah Madaniyah. Tolok ukur pembagian ini adalah:


a

Tolok ukur zaman


k

Kebanyakan mufasir yakin bahwa tolok ukur Makkiyah atau Madaniyah surah
a

atau ayat adalah hijrahnya Rasulullah saw dari Mekkah ke Madinah. Setiap surah
st

yang diturunkan sebelum hijrah adalah Makkiyah. Setiap surah yang diturunkan
u

setelah hijrah adalah Madaniyah, baik diturunkan di Madinah maupun di Mekkah,


P

misalkan dalam rangka haji atau umrah atau setelah Fathu Mekkah. Surah atau ayat

yang diturunkan setelah hijrah disebut sebagai Madaniyah.

Tolok ukur hijrah adalah masuknya Rasulullah saw ke Madinah. Karenanya,

ayat-ayat yang diturunkan kepada Rasulullah saw ketika di tengah perjalanan, meski

keluar dari Mekkah, namun belum masuk ke Madinah, maka dianggap sebagai

106
Muhammad Abdul Azhim Zarqani, Manahil al-‘Irfan, jilid 1, hal.195.

68
Makkiyah. Sebagai contoh ayat, Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu al-Quran,

benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali… (QS. al-Qashash:85).

Berdasarkan definisi dan tolok ukur ini, maka ayat yang turun kepada Nabi dalam

perjalanan setelah beliau keluar dari Mekkah adalah Makkiyah.

Tolok ukur tempat

Setiap ayat yang diturunkan di Mekkah dan sekitarnya adalah Makkiyah.

Setiap ayat yang diturunkan di kota Madinah dan sekitarnya adalah Madaniyah, baik

ayat itu turun sebelum hijrah atau setelah hijrah. Dengan demikian ayat yang

ah
diturunkan di luar daerah tersebut bukanlah Makkiyah atau Madaniyah. Jalaluddin

Suyuthi menukil sebuah riwayat terkait masalah ini, bahwa Rasulullah saw bersabda,

i
Sy
“Ayat al-Quran diturunkan di tiga tempat; Mekkah, Madinah dan Syam.” Menurut

Ibnu Katsir, maksud dari Syam adalah Tabuk. 107


a

Tolok ukur isi


k

Setiap surah yang di dalamnya berbicara tentang orang-orang musyrik adalah


a

Makkiyah. Setiap surah yang di dalamnya berbicara tentang orang-orang mukmin


st

adalah Madaniyah. Mereka yang menerima pendapat ini berlandaskan kepada sebuah
u

hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud yang berkata, “Setiap surah yang
P

di dalamnya terdapat kata-kata, ‘Wahai Manusia’ adalah Makkiyah. Setiap surah yang

di dalamnya mengandung kata-kata, ‘Hai orang-orang yang beriman’ adalah

Madaniyah.” 108 Alasannya adalah di Madinah jumlah kaum mukmin mayoritas,

sedangkan di Mekkah orang-orang musyriklah yang berada dalam jumlah mayoritas.

107
Al-Itqan, jilid 1, hal.23.
108
Al-Mustadrak, jilid 3, hal.18-19.

69
Dalam surah-surah Madaniyah, seperti surah al-Baqarah, juga terdapat

penggunaan kata-kata “Wahai manusia.” Berarti hal ini belum bisa menjadi tolok

ukur.

Untuk membedakan surah-surah Makkiyah dan Madaniyah, mereka telah

menetapkan beberapa tolok ukur. Setiap tolok ukur itu tidak bisa menjadi tolok ukur

yang sempurna, kecuali digabungkan, sehingga pada kondisi tertentu ia bisa

menentukan (apakah surah yang hendak diidentifikasi Makkiyah atau Madaniyah).

Secara umum tolok ukur-tolok ukur untuk mengidentifikasi adalah Nas, tanda-tanda

lahiriah, tanda-tanda maknawi.

ah
Allamah Burhanuddin Ibrahim bin Umar bin Ibrahim Ja’buri (w. 732)

berpendapat bahwa ada dua cara untuk mengetahui Makkiyah dan Madaniyah; 1.

i
Sy
Sama’i, cara ini bisa didapat melalui jalan naql dan riwayat, 2. Qiyasi, cara ini bisa di

identifikasi melalui jalan kaidah. Sebagaimana Alqamah bin Qais (w. 62) yang

meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa setiap surah yang di dalamnya
a

terdapat kata-kata “Hai manusia” atau lafazh “Kalla [tidaklah demikian]” atau diawali
k

dengan huruf Muqaththa’ah (kecuali al-Baqarah dan Ali Imran).


a

Menurut salah satu pendapat, surah ar-Ra’d—atau yang di dalamnya terdapat


st

kisah Adam dan iblis—adalah Madaniyah. Selain surah-surah panjang—atau surah


u

yang di dalamnya terdapat biografi para nabi dan umat-umat terdahulu—adalah


P

Makkiyah. Setiap surah yang membahas kewajiban dan taklif serta sangsi-sangsi

syariat adalah Madaniyah.109

Sebagian ulama menyebutkan, ada kriteria-kriteria lain untuk mengetahui

surah-surah Makkiyah dan Madaniyah, yaitu sebagai berikut:

109
Al-Burhan, jilid 1, hal.189.

70
1. Ayat-ayat pendek yang ada di dalam satu surah dan surah pendek

menunjukkan bahwa itu adalah Makkiyah. Panjangnya ayat yang ada dalam satu

surah dan panjangnya surah membuktikan bahwa itu adalah Madaniyah.

2. Kerasnya teguran dalam kebanyakan surah ditujukan kepada penduduk

Mekkah, karena mereka adalah para pembangkang dan bersikeras menentang

kebenaran. Jika tipe surah itu bernuansa lemah lembut, menunjukkan ke-Madaniyah-

an surah, karena kebanyakan pembahasan ditujukan kepada orang-orang mukmin.

3. Tolok ukur surah-surah Makkiyah adalah membahas tentang dasar-dasar

makrifat, dasar keimanan dan dakwah Islam. Surah-surah Madaniyah kebanyakan

ah
membahas tentang rincian-rincian hukum dan penjelasan syariat Islam.

4. Surah-surah Makkiyah memiliki ciri, antara lain adalah ajakan untuk selalu

i
Sy
berakhlak, beristiqamah dalam berpendapat, keselamatan akidah, tidak

membangkang, bersikap tegas terhadap keyakinan batil kaum musyrik serta

menganggap pemikiran dangkal kaum musyrik tak berdasar dan tak berarti. Ciri surah
a

Madaniyah, di antaranya adalah membahas tentang sikap kaum Muslim terhadap ahli
k

kitab dengan mengajak mereka mengambil jalan tengah dalam akidah dan pemikiran,
a

berperang melawan orang-orang munafik dan menyebutkan sifat-sifat mereka.


st

5. Kebanyakan pembahasan yang diawali dengan kalimat “Hai manusia”


u

adalah salah satu ciri surah Makkiyah. Pembahasan yang diawali dengan kalimat “Hai
P

orang-orang yang beriman” adalah salah satu ciri surah Madaniyah.

Tentu, ciri-ciri tersebut tidak bersifat universal, melainkan hanya bisa

diterapkan kepada jenis tertentu. Ketika ciri-ciri tersebut digabungkan kemudian

menjadi valid dan tidak bertentangan dengan nas yang ada, maka ia bisa dipercaya

dan menjadi sumber inspirasi ahli fikih atau sejarahwan dan yang lainnya.

71
Tolok ukur yang membedakan Makkiyah dan Madaniyah, meliputi dua hal;

pertama adalah bersifat naratif yang bersumber dari hadis riwayat yang secara

terminologis disebut dengan sima’i. Kedua, ijtihad, yaitu identifikasi berdasarkan

kriteria lahiriah dan isi. Kriteria lahiriah seperti susunan kalimat, adanya sajak

(wazan), panjang atau pendeknya ayat dan surah. Kriteria isi seperti bukti-bukti yang

berhubungan dengan tema-tema akidah, hukum, sikap terhadap orang-orang kafir dan

munafik.

Tuduhan bahwa Al-Quran Non-Ilahiah

ah
Tuduhan ini kebanyakan berasal dari para orientalis yang berkeyakinan bahwa

al-Quran itu dipengaruhi oleh lingkungan dan kondisi yang ada pada masa tertentu.

i
Sy
Mereka kurang yakin bahwa (al-Quran) berasal dari Tuhan. Namun, harus dibedakan

antara pengaruh lingkungan terhadap nabi dan al-Quran dengan keharusan untuk

memperhatikan situasi dan kondisi sebagai syarat efektifitas dakwah atau seruan.
a

Siapa pun yang ingin mempengaruhi lingkungannya, maka yang pertama


k

harus dilakukan adalah menyeiringkan langkah dengan lingkungan tersebut,


a

memperhatikan fenomena yang terjadi di lingkungan tersebut agar bisa berbicara


st

dengan bahasa masyarakat. Dengan demikian idenya bisa diterapkan dalam sistem
u

yang ada.
P

Kondisi lingkungan sekitar harus dikenali dengan baik agar mengetahui semua

faktor yang mendukung langkahnya. Jangan sampai berlawanan dengan kebudayaan

yang berlaku, karena jika ada pertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka ide

yang ditawarkan tidak akan berpengaruh atau tidak efektif.

Sebagai contoh, seandainya kebudayaan yang berlaku di masyarakat adalah

kesusasteraan yang tersusun dengan rapi dan masyarakat memiliki perhatian yang

72
khusus terhadap puisi dan kata-kata sajak, maka orang yang berdakwah dengan

memperhatikan pola masyarakat seperti itu, kemudian menjelaskan semua idenya

dengan menyampaikan kata-kata yang indah, tertata rapi, pendek dan puitis, berarti

dia menjelaskan risalahnya seiring dengan kondisi yang berlaku.

Dengan demikian sesuatu yang kurang sempurna, adalah asumsi pertama,

tetapi asumsi kedua adalah sempurna dan kuat yang dapat menghantarkan kepada

tujuan untuk menyampaikan agama dengan cara terbaik.

Kita akan membahas keraguan tersebut setelah pendahuluan singkat berikut

ini:

ah
1. Metode yang digunakan oleh surah-surah Makkiyah adalah kekerasan,

tekanan dan cibiran. Metode surah-surah Madaniyah adalah lemah lembut, hal ini

i
Sy
disebabkan oleh kebebalan penduduk Mekkah sedangkan penduduk Madinah lemah

lembut dan taat. Dua karakter yang saling berlawanan ini menjadikan al-Quran

bersikap berbeda; menghadapi mereka sesuai dengan karakter masing-masing.


a

Artinya, al-Quran terpengaruh oleh peristiwa-peristiwa dan kecenderungan


k

lingkungan, al-Quran tidak memiliki sistem yang independen.


a

Untuk menanggapi masalah tersebut harus diperhatikan prinsip bahwa ciri


st

ancaman dalam ayat atau surah tidak hanya dikhususkan pada surah-surah Makkiyah.
u

Metode kekerasan, tekanan dan ancaman juga digunakan dalam banyak surah
P

Madaniyah. Seandainya pembahasan berkaitan dengan orang Madinah yang

berkarakter sama seperti orang Mekkah, yaitu orang-orang yang keras kepala dan

tidak mau menerima kebenaran, maka al-Quran bersikap keras terhadap mereka.

Alasannya, siapa pun harus dihadapi dengan senjata yang dia gunakan. Ini adalah

bukti kekuatan al-Quran, bukan kelemahannya.

73
Dalam surah al-Baqarah disebutkan, Orang-orang yang memakan riba tidak

dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran

tekanan penyakit gila (QS. al-Baqarah:275). Hai orang-orang yang beriman,

bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu

orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa

riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu, dan jika

kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak

menganiaya dan tidak (pula) dianiaya (QS. al-Baqarah:278-279). Maka jika kamu

tidak dapat melakukan(nya) dan pasti kamu tidak akan bisa melakukan(nya),

ah
peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang

disediakan bagi orang-orang kafir (QS. al-Baqarah:24).

i
Sy
Kerasnya nada ayat-ayat seperti itu dalam rangka menyikapi orang-orang

munafik dan para ahli kitab yang keras kepala. Ayat-ayat tersebut diturunkan di

Madinah yang ancamannya tidak kalah kerasnya dengan ayat-ayat yang diturunkan di
a

Mekkah untuk menyikapi orang-orang musyrik, bahkan ada yang lebih keras.
k

Mungkin, surah al-Bara’ah adalah surah yang paling keras di antara surah-
a

surah al-Quran lainnya. Surah ini termasuk surah terakhir yang diturunkan di Madinah
st

dan kebanyakan ditujukan kepada orang-orang musyrik, orang-orang keras kepala dan
u

para pembangkang.
P

Sebaliknya, kita melihat banyak sekali surah-surah Makkiyah yang bernada

lemah lembut yang diturunkan pada situasi-situasi yang tidak memerlukan kekerasan.

Dalam surah az-Zumar, ayat 53 disebutkan, Wahai hamba-hamba-Ku yang telah

berlebih-lebihan (berbuat zalim) kepada dirinya sendiri, janganlah kalian semua

berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa

semuanya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih.

74
Surah al-Hijr, ayat 87 dan 88 menyebutkan, Dan sesungguhnya Kami telah

memberikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan al-Quran yang

agung. Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan

hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-

orang kafir itu), dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendah

dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman.

Surah asy-Syura, ayat 36-38 menyebutkan, Maka sesuatu apa pun yang

diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia, dan yang ada di sisi

Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada

ah
Tuhan mereka, mereka bertawakal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-

dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka

i
Sy
memberi ma’af. Dan (bagi) orang-orang yang mematuhi seruan Tuhannya dan

mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara

mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada
a

mereka.
a k

2. Pendeknya ayat-ayat dan surah-surah Makkiyah, serta panjangnya ayat-ayat


st

dan surah-surah Madaniyah adalah bukti adanya perbedaan antara masyarakat


u

Mekkah dan Madinah. Penduduk Mekkah kebanyakan tidak berpengetahuan, tidak


P

berbudaya, berwatak keras dan jauh dari peradaban. Karenanya diperlukan ayat-ayat

yang sesuai dengan karakter mereka, yaitu ayat yang sedikit berbicara, pendek,

singkat, padat dan bermanfaat. Berbeda dengan penduduk Madinah, pada batasan-

batasan tertentu mereka memiliki kebudayaan, berpengetahuan dan beradab. Mereka

pun mendapatkan perlakuan yang sesuai dengan karakternya.

75
Prinsip yang harus diperhatikan, pertama berbicara harus sesuai dengan

karakter lingkungan yang dihadapi. Ini adalah metodologi ahli retorika, juga

merupakan syarat bagi kefasihan. Setiap pembicaraan memiliki kadar berbeda, setiap

pembahasan memiliki porsi sendiri. Kedua, betapa banyak surah-surah panjang yang

diturunkan di Mekkah, seperti al-An’am (165 ayat), al-A’raf (206 ayat), al-Isra (111

ayat), al-Kahfi (110 ayat), Thaha (135 ayat), Maryam (95 ayat), al-Anbiya (112 ayat),

al-Mu’minun (118 ayat). Di Madinah juga diturunkan surah-surah pendek seperti

surah an-Nashr, al-Zalzalah dan al-Bayyinah.

ah
3. Dalam surah-surah Makkiyah tidak ada penjelasan tentang tasyri’ dan

semua yang berkaitan dengan syariat dijelaskan dalam surah-surah Madaniyah.

i
Sy
Kandungan sebagian hukum dalam surah-surah Makkiyah akan menjadikan

pendapat ini tertolak. Contohnya adalah sebagai berikut:

A. Ayat 141-146 surah al-An’am menjelaskan aturan hukum tentang hasil


a

yang diperoleh dan hewan-hewan ternak, menyangkut halal dan haramnya.


k

B. Ayat 151-152 surah al-An’am memaktubkan perbuatan-perbuatan dan


a

harta-harta yang diharamkan dan yang dihalalkan.


st

C. Ayat-ayat 31-33 surah al-A’raf menyebut tentang halal, haram, perhiasan-


u

perhiasan, tentang kemungkaran dan masalah-masalah lain.


P

D. Dalam surah al-Isra, banyak sekali prinsip-prinsip akhlak dan hukum-

hukum dasar Islam yang dijelaskan dengan detail. Klaim tersebut tidaklah berdasar.

Karena banyak sekali surah-surah Makkiyah yang memuat masalah hukum.

4. Dalam surah-surah Makkiyah tidak terlihat adanya burhan dan istidlal.

tetapi Istidlal digunakan dalam surah-surah Madaniyah.

76
Klaim ini juga tertolak, karena dalam surah al-Mu’minun, ayat 91 terdapat

argumentasi yang ditujukan untuk menolak bahwa Allah memiliki anak dan sekutu,

Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain)

bersama-Nya, kalau ada tuhan bersama-Nya, masing-masing tuhan itu akan

membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan

mengalahkan sebagian yang lain. Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan.

Ayat 22-24 surah al-Anbiya disebutkan, Sekiranya ada di langit dan di bumi

tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Mahasuci

Allah yang mempunyai Arsy daripada apa yang mereka sifatkan. Dia tidak ditanya

ah
tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai. Apakah mereka

mengambil tuhan-tuhan selain-Nya? Katakanlah; “Tunjukkanlah hujahmu! (al-

i
Sy
Quran) ini adalah peringatan bagi orang-orang yang bersamaku, dan peringatan

bagi orang-orang sebelumku.” Sebenarnya kebanyakan mereka tidak mengetahui

yang hak, karena itu mereka berpaling.


a

Di dalam surah al-Ankabut, ayat 48-51 berkenaan dengan pembuktian


k

kenabian, Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (al-Quran) sesuatu kitab pun
a

dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu. Andaikata
st

(kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang


u

mengingkari(mu). Sebenarnya, al-Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam


P

dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami

kecuali orang-orang yang zalim. Dan orang-orang kafir Mekkah berkata, “Mengapa

tidak diturunkan kepadanya mukjizat-mukjizat dari tuhannya?” Katakanlah,

“Sebenarnya mukjizat-mukjizat itu terserah kepada Allah. Dan sesungguhnya aku

hanya seorang pemberi peringatan yang nyata.” Dan apakah tidak cukup bagi

mereka bahwa Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (al-Quran) sedang ia

77
dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya di dalam al-Quran itu terdapat rahmat

yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman.

Dalam surah Qaf diturunkan ayat 9-11 dan 15 berkenaan dengan kiamat, Dan

Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya lalu Kami tumbuhkan dengan

air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam, dan pohon kurma yan tinggi-

tinggi yang mempunyai mayang yang tersusun, untuk menjadi rezeki bagi hamba-

hamba (Kami), dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). Seperti

itulah terjadinya kebangkitan. Maka apakah Kami letih dengan penciptaan yang

pertama? Sebenarnya mereka dalam keadaan ragu-ragu tentang penciptaan yang

ah
baru.

Surah al-Mu’minun ayat 115 menyebutkan, Apakah kamu mengira, bahwa

i
Sy
sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu

tidak akan dikembalikan kepada Kami?

Surah al-Jatsyiyah ayat 21-22 menyebutkan, Apakah orang-orang yang


a

membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti
k

orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara
a

kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu. Dan
st

Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar dibalas tiap-
u

tiap diri dari apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dizalimi.
P

Ayat-ayat yang mengandung bermacam pembahasan argumentatif dan

memuat pesan seperti tersebut banyak sekali ditemukan dalam surah-surah Makkiyah.

Dengan memperhatikan kritik, jawaban, bantahan dan analisis yang telah

dijelaskan di atas, maka ayat-ayat al-Quran tidak terpengaruh oleh lingkungan, namun

memperhatikan berusaha membentangkan jalan dakwah agar bisa memenuhi Comment [A1]: ???

78
kebutuhan dan memperluas Islam. Karenanya, surah-surah Makkiyah dan Madaniyah

memiliki banyak perbedaan.

Setiap rencana yang dijalankan, pada mulanya banyak sekali menghadapi

kendala yang harus segera disingkirkan. Segala kemampuan yang ada harus

dikerahkan untuk memperlancar upaya tersebut. Ketika rencana yang diupayakan

sudah sempurna, maka niscaya ia akan menghantarkan kepada tujuan. Kemudian

syariat disampaikan.

Karenanya, metodologi dakwah pada dua keadaan di atas berbeda. Apa yang

harus disampaikan pertama tidak boleh disampaikan di akhir.

ah
Urutan Turunnya Surah-surah Al-Quran

i
Sy
Berkenaan dengan turunnya surah-surah al-Quran, banyak terdapat riwayat

yang diakui para ulama terkemuka. Kebanyakan riwayat-riwayat itu dinukil dari Ibnu

Abbas. Seperti, Ahmad bin Abi Ya’qub yang dikenal dengan Ibnu Wadhih Ya’qubi
a

(w. 292) dalam kitab Tarikh dari Muhammad bin Saib Kalbi dari Abi Shalih dari Ibnu
k

Abbas, 110 Muhammad bin Ishaq Warraq yang dikenal dengan Ibnu Nadim (w. 385)
a

dalam kitab Al-Fihrist, 111 Allamah Thabarsi penulis tafsir, Abu Muhammad Mahdi
st

bin Nizar Husaini Qaini, ulama terkenal abad kelima, Ubaidillah bin Abdullah bin
u

Ahmad yang dikenal dengan Hakim Haskani Neisyaburi, penulis kitab Syawahid at-
P

Tanzil dan Al-Idhah yang meriwayatkan urutan turunnya surah dari Ibnu Abbas,

Ustad Ahmad Zahid, 112 Imam Badruddin Zarkasyi, orang pertama yang mengkaji

masalah-masalah al-Quran (w. 794), penulis kitab Al-Burhan fi Ulum al-Quran yang

ditulisnya pada tahun 773.

110
Tarikh Ya’qubi, jilid 2, hal.26 dan 35.
111
Ibnu Nadim, Al-Fihrist, catatan pertama, hal.43-47.
112
Tafsir Thabarsi, jilid 10, hal.405-406.

79
Imam Badruddin Zarkasyi menyebutkan riwayat-riwayat turunnya surah

secara rinci. Dia berpendapat bahwa catatannya yang berkenaan dengan turunnya al-

Quran diriwayatkan oleh orang-orang yang bisa dipercaya. 113

Seseorang bernama Jalaluddin Suyuthi, ulama besar pada zamannya (w. 911)

juga menyebutkan riwayat-riwayat turunnya al-Quran. Dia menulisnya dalam

kitabnya yang terkenal, Al-Itqan. Bahkan dia menukil sebuah qashidah dari Abul-

Hasan bin Hashar dalam kitab An-Nasikh dan Al-Mansukh. Suyuthi juga menyebutkan

riwayat turunnya surah dari Jabir bin Zaid.114 Jalaluddin Suyuthi berpendapat bahwa

dia adalah penyempurna riwayat Ibnu Abbas.115

ah
Allamah Thabarsi dan beberapa ulama terkemuka berpendapat bahwa urutan

semua surah dilihat dari segi permulaan diturunkannya setiap surah. Misalkan, suatu

i
Sy
surah diturunkan sampai beberapa ayat saja, belum lengkap, kemudian surah lain

diturunkan hingga akhir, bahkan beberapa surah lain juga diturunkan, maka urutannya

berdasarkan yang pertama turun (meskipun belum sempurna). Seperti surah al-Alaq
a

yang diturunkan pada permulaan bi’tsah hanya sampai lima ayat saja, setelah
k

beberapa tahun sisa surah itu baru diturunkan. Demikian juga dengan surah al-
a

Muddatstsir dan surah al-Muzzammil dan surah-surah lainnya. Dengan alasan inilah
st

surah al-Alaq dianggap sebagai surah pertama yang diturunkan. 116


u

Urutan surah-surah yang diturunkan, menurut riwayat Ibnu Abbas dan


P

penyempurnaannya, seperti riwayat Jabir bin Zaid yang mengoreksi berbagai naskah

yang bisa dipercaya, adalah sebagai berikut;

113
Al-Burhan, jilid 1, hal.193.
114
Jabir bin Zaid (w. 103 H) adalah seorang fukaha terkenal di kota Bashrah. Dia termasuk salah
seorang tabi’in terkemuka. Dia meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ikrimah. Pada hari wafatnya,
Qatadah berkata, “Hari ini penduduk Irak yang paling alim telah meninggal dunia.”
115
Al-Itqan, jilid 1, hal.22-29.
116
Tafsir Thabarsi, jilid 10, hal.405. Pendapat ini dinukil dari kitab Al-Idhah karya Ustad Ahmad
Zahid.

80
Surah-surah Makkiyah (86 surah)

Urutan turunnya surah Urutan yang ada saat ini Nama surah

1- 96 al-Alaq

2- 68 al-Qalam

3- 73 al-Muzzammil

4- 74 al-Muddatstsir

5- 1 al-Fatihah

6- 111 al-Lahab

7- 81 at-Takwir

ah
8- 87 al-A’la

9- 92 al-Lail

i
Sy
10 - 89 al-Fajr

11 - 93 adh-Dhuha
a

12 - 94 Alam Nasyrah
k

13 - 103 al-‘Ashr
a

14 - 100 al-‘Adiyat
st

15 - 108 al-Kautsar

16 - 102 at-Takatsur
u

17 - 107 al-Ma’un
P

18 - 109 al-Kafirun

19 - 105 al-Fil

20 - 113 al-Falaq

21 - 114 an-Nas

22 - 112 al-Ikhlash

81
23 - 53 an-Najm

24 - 80 ‘Abasa

25 - 97 al-Qadr

26 - 91 asy-Syams

27 - 85 al-Buruj

28 - 95 at-Tin

29 - 106 al-Quraisy

30 - 101 al-Qari’ah

31 - 75 al-Qiyamah

ah
32 - 104 al-Humazah

33 - 77 al-Mursalat

i
Sy
34 - 50 Qaf

35 - 90 al-Balad
a

36 - 86 ath-Thariq
k

37 - 54 al-Qamar
a

38 - 38 Shad
st

39 - 7 al-A’raf

40 - 72 al-Jinn
u

41 - 36 Yasin
P

42 - 25 al-Furqan

43 - 35 Fathir

44 - 19 Maryam

45 - 20 Thaha

46 - 56 al-Waqi’ah

82
47 - 26 asy-Syu’ara

48 - 27 an-Naml

49 - 28 al-Qashash

50 - 17 al-Isra

51 - 10 Yunus

52 - 11 Hud

53 - 12 Yusuf

54 - 15 al-Hijr

55 - 6 al-An’am

ah
56 - 37 ash-Shaffat

57 - 31 Luqman

i
Sy
58 - 34 Saba

59 - 39 az-Zumar
a

60 - 40 al-Mu’min (al-Ghafir)
k

61 - 41 Fushshilat
a

62 - 42 asy-Syura
st

63 - 43 az-Zukhruf

64 - 44 ad-Dukhan
u

65 - 45 al-Jatsyiyah
P

66 - 46 al-Ahqaf

67 - 51 adz-Dzariyat

68 - 88 al-Ghasyiyah

69 - 18 al-Kahfi

70 - 16 an-Nahl

83
71 - 71 Nuh

72 - 14 Ibrahim

73 - 21 al-Anbiya

74 - 23 al-Mu’minun

75 - 32 as-Sajdah

76 - 52 ath-Thur

77 - 67 al-Mulk

78 - 69 al-Haqqah

79 - 70 al-Ma’arij

ah
80 - 78 an-Naba

81 - 79 an-Nazi’at

i
Sy
82 - 82 al-Infithar

83 - 84 al-Insyiqaq
a

84 - 30 ar-Rum
k

85 - 29 al-Ankabut
a

86 - 83 al-Muthaffifin
st

87 - 2 al-Baqarah

88 - 8 al-Anfal
u

89 - 3 Ali Imran
P

90 - 33 al-Ahzab

91 - 60 al-Mumtahanah

92 - 4 an-Nisa

93 - 99 al-Zalzalah

94 - 57 al-Hadid

84
95 - 47 Muhammad

96 - 13 ar-Ra’d

97 - 55 ar-Rahman

98 - 76 al-Insan (ad-Dahr)

99 - 65 ath-Thalaq

100 - 98 al-Bayyinah

101 - 59 al-Hasyr

102 - 110 an-Nashr

103 - 24 an-Nur

ah
104 - 22 al-Hajj

105 - 63 al-Munafiqun

i
Sy
106 - 58 al-Mujadilah

107 - 49 al-Hujurat
a

108 - 66 at-Tahrim
k

109 - 62 al-Jumu’ah
a

110 - 64 at-Taghabun
st

111 - 61 Shaf

112 - 48 al-Fath
u

113 - 5 al-Maidah
P

114 - 9 at-Taubah

85
Menurut riwayat yang dinukil oleh Suyuthi, surah al-Fatihah tidak tercantum

dalam riwayat Ibnu Abbas. Karena itu kami telah melakukan koreksi berdasarkan

riwayat Jabir bin Zaid dan nas dalam kitab Tarikh Ya’qubi.117

Zarkasyi meletakkan surah Shaf setelah surah at-Tahrim, sebelum surah al-

Jumu’ah. Dia meletakkan surah al-Bara’ah sebelum surah al-Maidah dan meletakkan

surah al-Maidah di akhir surah.

Surah-surah yang Diperselisihkan

Semua pembahasan yang berkaitan dengan surah-surah Makkiyah dan

ah
Madaniyah, menurut riwayat Ibnu Abbas yang dinukil oleh Zarkasyi dan Thabarsi,

dikoreksi dan disempurnakan dengan riwayat Jabir bin Zaid. Pada saat yang sama,

i
Sy
terdapat tiga puluh surah lebih yang diperselisihkan; apakah ia Makkiyah atau

Madaniyah. Kami akan mengidentifikasi surah-surah tersebut sebagai berikut:


a

1. Surah al-Fatihah.
k

Mujahid berpendapat bahwa surah ini adalah Madaniyah. Padahal dalam surah
a

al-Hijr, ayat 87 yang merupakan surah Makkiyah, disebutkan, Dan sesungguhnya


st

Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan al-Quran
u

yang agung.
P

Tujuh ayat yang dibaca, itu mengisyaratkan surah al-Hamdu. Seperti yang

ditegaskan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, “Surah al-Hamdu

diturunkan di Mekkah dari simpanan yang sangat berharga yang berada di bawah

Arsy.”

117
Al-Itqan, jilid 1, hal.25; Tarikh Ya’qubi, jilid 2, hal.26.

86
Husain bin Fadhl 118 berkata, “Ini adalah suatu kesalahan besar, yang telah

dilakukan oleh Mujahid. Dia telah berpendapat secara berseberangan dengan

kesepakatan ulama.” 119

2. Surah an-Nisa.

Surah ini dianggap sebagai surah Makkiyah dengan dalil ayat 58,

Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanat-amanat

kepada yang berhak, karena ayat ini diturunkan di Mekkah pada tahun Fathu Mekkah.

Pendapat tersebut tidak benar. Alasannya; pertama, satu ayat tidak bisa

ah
menjadi tolok ukur keseluruhan surah. Kedua, tolok ukur Madaniyah suatu surah

adalah diturunkan setelah hijrah.

i
Sy
3. Surah Yunus.

Sebagian ulama mengalamatkan pendapat bahwa surah ini termasuk surah


a

Madaniyah kepada Ibnu Abbas. Alasannya karena kandungan serta kerasnya nada
k

surah itu sama seperti surah-surah Makkiyah. Tetapi riwayat-riwayat tentang urutan
a

turunnya surah-surah, sesuai dengan ke-Madaniyah-an surah tersebut dan juga


st

kerasnya nada surah tersebut bisa dilihat dalam banyak surah-surah Madaniyah (surah
u

al-Baqarah).
P

4. Surah ar-Ra’d.

Muhammad bin Said Kalbi seorang ulama terdahulu dan Sayid Qutub, ulama

kontemporer menganggapnya sebagai surah Makkiyah berdasarkan kandungan surah

118
Husain bin Fadhl adalah seorang ulama besar dan mufasir pada zamannya. Pada saat itu dia adalah
pemimpin semua orang. Pada tahun 217 H, Ibnu Thahir membelikan sebuah rumah di Neisyabur
untuknya. Beliau mengajar ilmu fikih dan al-Quran. Beliau adalah seorang marja’ taklid. Beliau wafat
pada tahun 282 dalam usia 104. Saat ini makamnya menjadi tempat ziarah.
119
Al-Itqan, jilid 1, hal.130.

87
yang bernada keras seperti surah-surah Makkiyah lainnya. Namun riwayat tentang

tertib urutan surah bersepakat menyebutnya sebagai Madaniyah. Selain itu banyak

surah-surah Madaniyah, seperti surah al-Baqarah yang bernada keras.

5. Surah al-Hajj.

Abu Muhammad Makki bin Abi Thalib berpendapat bahwa surah ini adalah

Makkiyah. Dia menyandarkan argumentasinya kepada ayat 52 yang diturunkan

sebagai jawaban atas kisah fiktif Gharaniq.

Pendapat tersebut tidak benar. Alasannya; pertama, kisah Gharaniq adalah

ah
bagian dari kisah-kisah buatan. Kedua, kandungan surahnya tidak sesuai dengan

surah-surah Makkiyah.

i
Sy
6. Surah al-Furqan.

Bekaitan dengan surah ini, hanya Dhahhak saja yang bertentangan dengan
a

riwayat-riwayat tentang urutan turunnya surah dan kesepakatan para mufasir. Dia
k

menganggapnya sebagai surah Madaniyah.


a
st

7. Surah Yasin.
u

Sebagian ulama berpendapat bahwa surah ini adalah Madaniyah. Namun,


P

orang yang berpendapat demikian tidak dikenal, dia juga tidak memberikan dalil yang

jelas untuk pendapatnya.

8. Surah Shad.

Menurut pendapat yang amat jarang dan tak jelasnya status orang yang

berpendapat, bahwa surah ini adalah Madaniyah.

88
9. Surah Muhammad.

Sekelompok ulama bertentangan dengan konsensus ulama yang lain, mereka

berpendapat bahwa surah ini adalah Makkiyah.

10. Surah al-Hujurat.

Sebagian ulama bertentangan dengan konsensus ulama yang lain, mereka

berpendapat bahwa surah ini adalah Makkiyah.

ah
11. Surah ar-Rahman.

Sayid Qutub dan Jalaluddin Suyuthi melihat nada dan susunan surah dengan

i
Sy
bersandar kepada dua riwayat; yang pertama menukil Mustadrak al-Hakim, kemudian

yang kedua menukil Musnad Ahmad. Pendapatnya adalah bahwa surah ini Makkiyah.

Pendapat ini tertolak dengan beberapa dalil; pertama, hanya sekedar nada dan
a

susunan surah tidak cukup dijadikan bukti Makkiyah atau Madaniyah-nya sebuah
k

surah. Kedua, Riwayat Hakim tidak memiliki kepastian bahwa surah tersebut adalah
a

Makkiyah, sementara riwayat Musnad Ahmad sanadnya daif (lemah). 120 Ketiga,
st

riwayat-riwayat urutan turunnya surah mengindikasikan kuatnya validitas bahwa


u

surah ini adalah Madaniyah.


P

12. Surah al-Hadid.

120
Al-Itqan, jilid 1, hal.33.

89
Sebagian ulama berpendapat bahwa surah ini adalah Makkiyah. Alasan

mereka adalah karena Umar memeluk Islam dengan membaca surah tersebut ketika

masih berupa tulisan di rumah adiknya.121

Karena terdapat riwayat yang berbeda, riwayat tersebut patut untuk diteliti.

Ada sebagian riwayat menyebutkan bahwa surah Thaha, sebagian riwayat lain

menyebutkan surah al-Haqqah yang menyebabkan Umar masuk Islam. 122

13. Surah Shaf.

Ibnu Hazm bertentangan dengan kesepakatan dan riwayat-riwayat tartibun

ah
nuzul. Dia menganggap bahwa surah ini adalah Makkiyah.

i
Sy
14. Surah al-Jumu’ah.

Menurut sebagian pendapat yang bertentangan dengan konsensus para mufasir

dan riwayat-riwayat tartibun nuzul, surah ini diakui sebagai surah Makkiyah, tetapi
a

yang menyampaikan pendapat tersebut tidak bisa dilacak.


a k

15. Surah at-Taghabun.


st

Menurut riwayat yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas bahwa surah ini adalah
u

Makkiyah. Namun pendapat ini bertentangan dengan riwayat-riwayat yang dinukil


P

dari Ibnu Abbas.

16. Surah al-Mulk.

121
Ibnu Hazm Andalusi, An-Nasikh wa al-Mansukh fi al-Quran dar Hasyiah_ye Jalalain, jilid 2,
hal.197.
122
Sirah Ibn Hisyam, jilid 1, hal.370; Usd al-Ghabah, jilid 4, hal.54; Al-Ishabah, jilid 2, hal.519; Tafsir
ath-Thabari, jilid 9, hal.237; Asbabun Nuzul dar Hasyiah_ye Jalalain, jilid 2, hal.94.

90
Sebagian berpendapat bahwa surah ini adalah Madaniyah. Pendapat ini

bertentangan dengan kebanyakan pendapat para ulama.

17. Surah an-Nisa.

Abdullah bin Zubair dan sebagian ulama yang kebanyakan mengingkari

keutamaan-keutamaan Ahlulbait Rasulullah Muhammad saw berpendapat bahwa

surah ini termasuk surah Makkiyah.

Pendapat tersebut diajukan untuk mengingkari sebab turunnya surah tersebut

yang mengisahkan Ahlulbait as memberi makan orang miskin dan anak yatim.

ah
Sayid Qutub juga menganggapnya surah Makkiyah. Pendapatnya bersandar

kepada konteks surahnya.

i
Sy
Berbeda dengan Hafiz Haskani. Dia berpendapat bahwa sebagian orang-orang

Nashibi (para pembenci Ahlulbait) mengingkari keutamaan Ahlulbait dengan alasan

bahwa para mufasir bersepakat bahwa surah ini adalah Makkiyah.


a

Apa alasan yang menguatkan pendapat mereka sehingga mengklaim bahwa


k

pendapat itu adalah “kesepakatan para ulama”? Padahal, kebanyakan ulama


a

menganggap surah tersebut adalah surah Madaniyah. 123


st

Dalam hal ini Allamah Thabarsi memberikan sumbangsih yang besar dari
u

penelitiannya. Dia berpendapat bahwa surah ini adalah Madaniyah. Alasan utamanya
P

adalah bahwa riwayat-riwayat klasik menunjukkan bahwa surah ini adalah

Madaniyah.124

18. Surah al-Muthaffifin.

123
Syawahid at-Tanzil, hal.310-315.
124
Tafsir Thabarsi, jilid 10, hal.405.

91
Ya’qubi berpendapat bahwa surah ini adalah surah pertama yang diturunkan di

Madinah. Menurutnya, sebagian ayatnya diturunkan di antara Mekkah dan Madinah.

Namun, semua ulama bersepakat bahwa riwayat-riwayat tartibun nuzul-nya masuk

dalam kategori surah Makkiyah yang terakhir.

19. Surah al-A’la.

Sebagian ulama berpendapat bahwa surah ini adalah Madaniyah. Alasan

mereka adalah ayat 14-15 surah al-A’la diturunkan berkenaan dengan shalat Hari

Raya, Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri, dan dia ingat

ah
nama Tuhannya, lalu ia sembahyang. Namun, sekalipun surah ini memiliki sisi yang

bersifat umum, tidak bertentangan dengan sebagian riwayat juga menyebutkan bahwa

i
Sy
surah tersebut berkenaan dengan shalat Hari Raya.

20. Surah al-Lail.


a

Berdasarkan riwayat-riwayat yang berkaitan dengan sebab turunnya surah,


k

sebagian ulama berpendapat bahwa surah ini adalah surah Madaniyah. 125
a
st

21. Surah al-Qadr.


u

Sebagian ulama berpendapat bahwa surah ini adalah Madaniyah. Alasan


P

mereka, sebab turunnya surah tersebut adalah karena Rasulullah saw bermimpi kera-

kera kecil naik ke atas mimbar beliau saw. 126

Apa yang menjadikan mereka berpendapat demikian? Bukankah di Mekkah

beliau tidak memiliki mimbar. Argumentasi ini tidak memiliki landasan, karena

melihat mimbar dalam mimpi tidak meniscayakan memiliki mimbar.

125
Ad-Durr al-Mantsur, jilid 6, hal.357; Tafsir Thabarsi, jilid 10, hal.501.
126
Al-Mustadrak, jilid 3, hal.171.

92
22. Surah al-Bayyinah.

Makki bin Abi Thalib menggolongkan surah ini ke dalam surah Makkiyah.127

Namun, riwayat-riwayat tentang tartibun nuzul menunjukkan jika surah tersebut

adalah Madaniyah.

23. Surah al-Zalzalah.

Sebagian ulama menganggap surah ini adalah Makkiyah. Alasan mereka

adalah nada dalam surah ini keras. Namun jika merujuk kepada riwayat tartibun

ah
nuzul, maka tidak selaras dengan pendapat tersebut.

i
Sy
24. Surah al-‘Adiyat.

Qatadah berpendapat bahwa surah ini adalah Madaniyah. Pendapatnya

disandarkan kepada riwayat yang daif yang tidak bisa dipercaya. 128
a
k

25. Surah at-Takatsur.


a

Jalaluddin Suyuthi berpendapat bahwa surah ini adalah Madaniyah


st

berdasarkan sebab turunnya yang berkenaan dengan kaum Yahudi. 129 Namun
u

kandungan surah dan riwayat tidak membahas secara khusus tentang Yahudi.
P

26. Surah al-Ma’un.

Dhahhak berpendapat bahwa surah ini adalah Madaniyah, tetapi riwayat-

riwayat tartibun nuzul, bertentangan dengan pendapatnya.

127
Abu Muhammad Makki bin Abi Thalib, Al-Kasyf ‘an Wujuh al-Qira’atil Saba’, jilid 2, hal.501.
128
Ad-Durr al-Mantsur, jilid 6, hal.383; Tafsir Thabarsi, jilid 10, hal.527; Tafsir ath-Thabari, jilid 30,
hal.177.
129
Al-Itqan, jilid 1, hal.14.

93
27. Surah al-Kautsar.

Sekelompok ulama berpendapat bahwa surah ini diturunkan di Madinah pada

saat Rasulullah saw sedang tidur.130

Pendapat ini tidak benar, karena tidak ada satu ayat dan surah pun yang

diturunkan ketika Rasulullah saw dalam keadaan tidur, kecuali ayat atau surah yang

pernah diturunkan kepada beliau dan terulang kembali dalam tidurnya.

28. Surah at-Tauhid.

ah
Suyuthi lebih mendukung pendapat bahwa surah ini adalah Madaniyah,131

tetapi riwayat yang dijadikan sandaran olehnya tidak terbukti.

i
Sy
29-30. Mu’awwidzatain.

Ya’qubi berpendapat bahwa dua surah ini termasuk dari surah-surah


a

Madaniyah yang terakhir diturunkan. 132 Namun pendapatnya bertentangan dengan


k

banyak riwayat yang menjelaskan kebalikannya.


a
st

Ayat-ayat yang Dikecualikan


u

Dalam tulisan sebagian ulama terdahulu disebutkan bahwa sebagian surah


P

mengandung ayat-ayat yang tidak sama dengan asal surahnya. Seandainya surah itu

adalah Makkiyah maka sebagian ayat-ayatnya adalah Madaniyah. Apabila surahnya

adalah Madaniyah maka sebagian ayat-ayatnya adalah Makkiyah.

130
Tafsir Thabarsi, jilid 10, hal.548.
131
Jalaluddin Suyuthi, Lubab an-Nuqul dar Hasyiah_ye Jalalain, jilid 2, hal.147; Al-Itqan, jilid 1,
hal.14.
132
Tarikh Ya’qubi, jilid 2, hal.35.

94
Penelitian yang kami lakukan menunjukkan fakta sebaliknya dari pendapat di

atas. Setiap surah Makkiyah seluruh ayatnya adalah Makkiyah. Setiap surah

Madaniyah seluruh ayatnya adalah Madaniyah. 133

Kami akan memberikan beberapa contoh sebagai berikut:

Contoh pertama. Surah al-Maidah ayat 3, Pada hari ini orang-orang kafir

telah putus asa untuk mengalahkan agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada

mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu

untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam

sebagai agamamu. Ayat ini disebutkan turun kepada Rasulullah saw di Arafah.134

ah
Pendapat seperti ini salah, karena menjadikan tempat sebagai tolok ukur antara

Makkiyah dan Madaniyah sebuah surah atau ayat; jika setiap surah yang diturunkan

i
Sy
bertempat di Mekkah, meskipun ia diturunkan setelah hijrah, maka surah itu adalah

Makkiyah.

Sebenarnya yang menjadi tolok ukur antara Makkiyah dan Madaniyah sebuah
a

surah adalah masa hijrah. Pembagian Makkiyah dan Madaniyah surah-surah tolok
k

ukurnya adalah sebelum dan setelah hijrah.


a

Contoh kedua. Ayat 113 dan 114 surah at-Taubah, Tidak sepatutnya bagi
st

Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-
u

orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya),
P

sesudah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka

jahanam, dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak

lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu.

Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka

Ibrahim terlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seseorang yang

133
At-Tamhid, jilid 1, hal.119, jilid 6, hal.87.
134
Tarikh al-Quran, hal.27.

95
lembut hatinya lagi penyantun. Ada yang berpendapat bahwa ayat ini diturunkan di

Mekkah ketika Abu Thalib wafat dan Rasulullah saw berjanji akan memintakan

ampun kepada Allah untuknya. 135

Thabarsi, dalam tafsirnya menyebutkan bahwa ayat ini ditujukan kepada

sekelompok kaum Muslim, setelah Fathu Mekkah yang memohon kepada Rasulullah

saw agar beliau memohonkan ampun kepada Allah untuk ayah-ayah mereka yang

musyrik. Pada saat itulah ayat ini diturunkan dengan tegas, sebagai bentuk

larangan. 136

Contoh ketiga. Ada yang berpendapat bahwa tiga ayat pertama surah Yusuf

ah
adalah Madaniyah. Jalaluddin Suyuthi menyatakan bahwa pendapat ini lemah.

Namun, anehnya, Abu Abdilah Zanjani menerima pendapat tersebut. 137

i
Sy
Alasan mereka yang mengatakan bahwa ayat ini adalah Madaniyah adalah

karena orang-orang kafir Mekkah memohon kepada orang-orang Yahudi di Madinah

agar bertanya kepada Nabi saw tentang Nabi Yusuf. Karena itulah, menurut mereka,
a

tiga ayat ini diturunkan.


k

Ketika semua kisah dalam surah sudah diturunkan di Mekkah, tidak berarti
a

mukadimahnya harus diturunkan di Madinah. Boleh jadi, fakta yang sebenarnya


st

adalah sebaliknya; orang-orang Yahudi yang meminta kepada orang-orang kafir dan
u

musyrik Mekkah agar mereka bertanya kepada Nabi saw tentang kisah Yusuf. Ketika
P

mereka bertanya, maka surah ini diturunkan.

Asbabun Nuzul

Al-Quran, sebagaimana yang kita ketahui, telah diturunkan secara berangsur-

angsur dalam berbagai kesempatan, sesuai dengan peristiwa dan masalah yang
135
Shahih Bukhari, jilid 2, hal.119, jilid 6, hal.87.
136
Tafsir Thabarsi, jilid 5, hal.76.
137
Al-Itqan, jilid 1, hal.15; Tarikh al-Quran, hal.28.

96
menimpa kaum Muslim. Karenanya, demi menyelesaikan problematika tersebut, satu

atau beberapa ayat dan kadangkala satu surah diturunkan. Sangat jelas bahwa ayat-

ayat yang diturunkan pada setiap kesempatan, berkaitan dan membahas peristiwa

tersebut. Karenanya, jika terdapat ketidakjelasan atau muncul masalah dalam lafazh

atau makna, maka untuk menyelesaikannya harus dengan cara mengidentifikasi latar

belakang peristiwa yang terjadi.

Untuk mengetahui makna dan tafsir setiap ayat secara utuh, langkah yang

harus ditempuh adalah melihat sebab turunnya setiap ayat agar memperoleh kejelasan

yang sempurna. Jika tidak melihat sebab turunnya ayat, seringkali penafsiran ayat

ah
tidak memberikan penjelasan apa pun. Sebab turunnya setiap ayat menjadi penjelas

untuk menyempurnakan pemahaman akan makna ayat.

i
Sy
Contohnya ayat, Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebagian dari syiar

Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada

dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Sa’i di antara dua gunung Shafa dan
a

Marwa dalam haji dan umrah adalah salah satu rukun haji. Apakah yang
k

menyebabkan menggunakan lafazh, Maka tidak ada dosa (La Junaha)?


a

Makna lahiriah ayat itu adalah “Bukan perbuatan dosa melakukan sa’i di
st

antara dua gunung itu”. Frase ini mengindikasikan arti “boleh” bukan “wajib”. Namun
u

jika merujuk ke sebab turunnya ayat, akan jelas bahwa ayat ini diturunkan untuk
P

menepis penafsiran yang keliru.

Setelah perjanjian Hudaibiyah yang berlangsung pada tahun kedelapan

Hijriah, Rasulullah saw beserta para sahabatnya akan memasuki kota Mekkah untuk

menunaikan ibadah umrah. Dalam perjanjian tersebut diatur, selama tiga hari, orang-

orang musyrik harus menyingkirkan arca-arca di sekitar Ka’bah dan di atas gunung

Shafa dan Marwa agar kaum Muslim dapat menjalankan ritual thawaf dan sa’i dengan

97
bebas. Setelah tiga hari yang disepakati, arca-arca itu dikembalikan ke tempatnya

semula.

Sebagian kaum Muslim yang belum menjalankan ibadah umrah beranggapan

bahwa dengan dikembalikannya arca-arca ke tempatnya semula, maka menjalankan

ibadah sa’i di antara dua gunung Shafa dan Marwa adalah dosa. Ayat itu diturunkan

agar kaum Muslim tetap menjalankan sa’i yang merupakan salah satu syiar Allah,

sementara keberadaan arca-arca itu tidak penting dan tidak akan merusak ibadah

sa’i. 138

Dengan merujuk sebab turunnya ayat tersebut, maka sangat jelas maknanya.

ah
Permasalahan yang dibahas bukanlah diperbolehkan atau diwajibkannya sa’i, namun

menepis anggapan yang salah tentang pelarangan sa’i. Adanya arca-arca tidak

i
Sy
menghalangi amalan-amalan sa’i. Mengetahui sebab-sebab turunnya ayat sangat

penting untuk memahami makna ayat-ayat al-Quran.139

Asbabun nuzul sangatlah sulit untuk diketahui dan dipahami. Para ulama
a

tempo dulu tidak mencatat semua permasalahan yang menjadi pembahasan, kecuali
k

hanya beberapa saja. Salah satu sebab tidak adanya catatan yang lengkap karena
a

mereka menganggap menghafal susunan sebab turunnya ayat adalah cukup, sehingga
st

merasa tidak perlu mencatat semua pengetahuan sebagai warisan berharga bagi
u

generasi mendatang.
P

Kecuali itu, banyak sekali riwayat tentang asbabun nuzul yang lemah dan

tidak bisa dipercaya. Bahkan, seringkali riwayat itu memiliki kepentingan tertentu,

khususnya pada masa Bani Umayah. Atas dasar kepentingan pribadi, Bani Umayah

sering menakwil ayat sekehendak hati dengan menyusun asbabun nuzul palsu.

138
Tafsir al-‘Ayyasyi, jilid 1, hal.70.
139
At-Tamhid, jilid 1, hal.243.

98
Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa ada tiga hal yang tidak memiliki dasar

yang benar. Pertama, riwayat-riwayat yang berkaitan dengan peperangan pada awal

Islam. Kedua, riwayat-riwayat tentang fitnah-fitnah di akhir zaman. Ketiga, riwayat-

riwayat tentang tafsir dan takwil al-Quran.

Imam Badruddin Zarkasyi berpendapat bahwa kebanyakan riwayat terkait

dengan masalah ini (asbabun nuzul), tidak bisa dipercaya, namun bukan berarti semua

riwayat tidak bisa dipercaya. 140

Orang paling terkenal, pengumpul riwayat asbabun nuzul adalah Abul Hasan

Ali bin Ahmad Wahidi Neisyaburi (w. 468). Dia dikritik oleh Jalaluddin Suyuthi (w.

ah
911) karena bersemangat mengumpulkan riwayat-riwayat daif. Menurut Suyuthi, dia

mencampur aduk riwayat sahih dengan riwayat daif, kebanyakan riwayat yang

i
Sy
ditulisnya melalui jalur Kalbi dari Abi Shalih dari Ibnu Abbas yang sangat tak

berdasar dan lemah. 141 Comment [A2]: Check it out…

Kemudian Suyuthi menulis sebuah risalah Lubabun Nuqul. Ternyata dia


a

sendiri “tidak selamat” dalam memilih riwayat-riwayat dengan memilih riwayat-


k

riwayat daif. Sebagai contoh, ayat Dan jika kamu memberikan balasan, maka
a

balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.
st

Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-
u

orang yang sabar. Bersabarlah, dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan
P

pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka, dan

janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.

Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang

berbuat kebaikan (QS. an-Nahl:126-128). Dia membawakan sebuah riwayat yang

menjelaskan bahwa pada saat ayat ini diturunkan, Rasulullah saw berdiri di atas

140
Al-Burhan, jilid 2, hal.156.
141
Lubab an-Nuqul dar Hasyiah_ye Jalalain, jilid 1, hal.11.

99
kepala jenazah Hamzah sambil menangis tersedu-sedu dan berkata, “Aku pasti

membalas tujuh puluh orang dari mereka sebagaimana mereka memperlakukanmu

(memotong telinga, hidung dan merobek perut).” Pada saat itulah Jibril membawa

ayat-ayat ini dan melarang beliau untuk melakukannya. 142

Padahal, surah an-Nahl termasuk salah satu surah Makkiyah. Surah ini

diturunkan beberapa tahun sebelum kecamuk perang Uhud di Madinah, tahun

keempat Hijriah. Rasulullah saw telah mendapat bimbingan Islam dengan selalu

menjunjung tinggi keadilan dan kejujuran dalam kehidupannya. Tidak mungkin beliau

berpikir tidak adil seperti itu.

ah
Ayat-ayat itu diturunkan di Mekkah ketika kaum Muslim mendapat tekanan

dari kaum kafir. 143

i
Sy
Sababun Nuzul atau Sya’nun Nuzul?

Apakah perbedaan antara keduanya? Kebanyakan mufasir berpendapat bahwa

tidak ada perbedaan. Setiap peristiwa atau kesempatan yang mengharuskan turunnya
a

satu ayat atau banyak ayat, terkadang disebut dengan sababun nuzul dan kadangkala
k

disebut dengan sya’nun nuzul.


a

Padahal, sebenarnya terdapat perbedaan. Sya’nun nuzul bersifat lebih umum


st

dari sababun nuzul. Setiap ada peristiwa berkaitan dengan seseorang atau suatu
u

masalah yang terjadi pada masa lalu, saat ini dan masa mendatang, terkait dengan
P

hukum, diturunkan satu atau beberapa ayat, maka semua ini disebut dengan sya’nun

nuzul dari ayat-ayat yang diturunkan. Sebagai contoh, misalkan ayat tersebut

diturunkan dengan membawa pesan kemaksuman para nabi atau kemaksuman

malaikat, itu semua adalah sya’nun nuzul ayat.

142
Lubab an-Nuqul dar Hasyiah_ye Jalalain, jilid 1, hal.213.
143
At-Tamhid, jilid 1, hal.247-253.

100
Sababun nuzul adalah sebuah peristiwa yang disusul oleh turunnya ayat atau

beberapa ayat. Dengan kata lain, peristiwa tersebut menyebabkan turunnya ayat al-

Quran.

Tanzil dan Takwil

Dalam istilah klasik, tanzil digunakan untuk istilah turunnya ayat karena satu

peristiwa tertentu. Peristiwa itulah yang menyebabkan turunnya ayat al-Quran. Takwil

adalah pengertian umum yang disimpulkan dari ayat dan bisa diterapkan kepada

peristiwa yang sama.

ah
Sebagian ulama menyebutkan dua istilah tersebut dengan nama zhahrun (lahir)

dan batnun (batin). Zhahrun adalah tanzil. Batnun adalah takwil. Karena lahiriah ayat

i
Sy
menunjukkan peristiwa turunnya ayat, batin ayat mengandung arti yang jauh lebih

luas.

Fudhail bin Sayyar bertanya kepada Imam Ja’far Shadiq tentang hadis Nabi
a

yang terkenal; “Tiada satu ayat pun dalam al-Quran melainkan memiliki lahir dan
k

batin.”
a

Imam Ja’far Shadiq menjawab, “Lahirnya adalah tanzil dan batinnya adalah
st

takwil. Sebagian sudah terjadi di masa lampau dan sebagian lain belum terjadi. Al-
u

Quran selalu berjalan sebagaimana matahari dan bulan.” 144 Dalam hadis lain
P

disebutkan, “Lahirnya al-Quran adalah ayat yang diturunkan berkenaan dengan

mereka dan batinnya al-Quran mencakup orang-orang yang berperilaku seperti

perilaku mereka.” 145

144
Bashair al-Darajat, ash-Shaffar, hal.196, hadis 7.
145
Tafsir al-‘Ayyasyi, jilid 1, hal.11, hadis 4.

101
Urgensi Sya’nun Nuzul, Tanzil dan Takwil dalam Penyimpulan Hukum

Dengan memperhatikan sabab dan sya’nun nuzul, lahir dan batinnya ayat-ayat

al-Quran, fukaha dan para ilmuan Muslim memiliki kaidah untuk menarik kesimpulan

tentang hukum, yaitu sebuah kaidah yang intinya ingin menjelaskan, bahwa yang

menjadi tolok ukur adalah teks yang universal, bukannya kasus khusus pada saat ayat

itu turun. Seorang mujtahid harus mampu mengabaikan unsur-unsur khusus kasus dan

berpijak pada keuniversalan teks, meski unsur khusus itu masih diperlukan untuk

memahami makna teks.

Dua contoh dari al-Quran yang universal dan sudah dikaji dan digunakan

ah
dalam riwayat-riwayat:

Pertama, surah al-Baqarah ayat 115, Dan milik Allah-lah timur dan barat,

i
Sy
maka ke mana pun kalian palingkan wajah kalian, di sanalah wajah Allah.

Sesungguhnya Allah Mahaluas lagi Maha mengetahui. Ayat ini adalah salah satu ayat

yang memiliki tanzil dan takwil. Keuniversalannya hanya bisa dijelaskan oleh Imam
a

maksum.
k

Ayat ini secara lahiriah bertentangan dengan ayat yang mewajibkan untuk
a

menghadap ke arah Ka’bah. Namun, dengan merujuk kepada sya’nun nuzul,


st

pertentangan tersebut dapat teratasi. Sya’nun nuzul dari ayat tersebut menyebutkan
u

bahwa orang-orang Yahudi mengritik orang-orang Muslim. Mereka beralasan bahwa


P

seandainya shalat menghadap Baitul Maqdis itu benar, sebagaimana masih dikerjakan

hingga saat ini (ketika waktu itu arah shalat masih menghadap Baitul Maqdis), maka

menggeser arah shalat ke arah Ka’bah adalah batil. Mereka juga berpendapat,

seandainya shalat ke arah Ka’bah itu benar, berarti yang selama ini dikerjakan

(menghadap ke arah Baitul Maqdis) adalah salah.

102
Allah menegaskan dalam ayat itu bahwa keduanya (menghadap Ka’bah atau

Baitul Maqdis) adalah benar karena shalat adalah hakikat yang tetap, sementara

menghadap Ka’bah atau Baitul Maqdis bukanlah masalah yang substansial. Hal itu

adalah bentuk syariat untuk mewujudkan kesatuan dalam shaf orang-orang shalat.

Shalat menghadap ke timur karena Ka’bah terletak di sebelah timur Madinah

dan melakukan shalat menghadap ke barat karena Baitul Maqdis berada di sebelah

barat Madinah. Kedua tempat itu adalah milik Allah. Allah tidak terlokalisir di sisi

tertentu, Sesungguhnya Allah Mahaluas lagi Maha mengetahui.

Menurut beberapa riwayat tentang ayat ini yang berbeda dengan penjelasan di

ah
atas; bahwa shalat-shalat mustahab dapat dilakukan ketika berkendara ke segala arah

karena dalam keadaan bergerak. 146 Penjelasan ini adalah batin ayat yang bisa

i
Sy
dipahami melalui penjelasan manusia-manusia suci.

Kedua, surah al-Jinn ayat 18, Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah

milik Allah. Maka janganlah kamu menyembah seorang pun di dalamnya di samping
a

(menyembah) Allah. Masjid, jamaknya berarti tempat ibadah. Dengan pengertian ini,
k

maka artinya masjid-masjid milik Allah.


a

Maka janganlah kamu menyembah seorang pun di samping Allah. Jamaknya


st

masjad sebagai masdar yang berarti ibadah dan sembahan; Hanya Allah yang patut
u

disembah dan janganlah menyebut nama seseorang di samping Allah pada saat
P

beribadah.

Kedua pendapat tersebut, mengasumsikan bahwa ayat itu secara lahiriah

melarang menyekutukan Allah ketika beribadah. Menurut sebuah riwayat sahih, ada

makna lain dari ayat tersebut, yaitu masjid juga bermakna tempat-tempat sujud.

Beberapa mufasir, seperti Said bin Jubair, Zajjaj dan Farra’ berpendapat bahwa masjid

146
Wasail asy-Syi’ah, jilid 3, Abwab al-Qiblah, bab 8 dan 15.

103
juga bermakna tempat-tempat sujud (tujuh anggota tubuh untuk bersujud). Semua

tempat itu adalah milik Allah yang diberikan kepada manusia dan tidak boleh

dipergunakan untuk selain-Nya. 147

Ada juga yang senada dengan riwayat tersebut, yaitu dari Imam Muhammad

Taqi. Di hadapan khalifah Abbasi, Mu’tashim Billah, banyak orang berpendapat

tentang batas hukum potong tangan bagi seorang pencuri. Pada saat itu Imam

Muhammad Taqi menjawab, “Di ujung jari-jari.” Beliau pun ditanya apa dasar fatwa

tersebut. Beliau menjawab, “Telapak tangan adalah salah satu dari tujuh anggota

sujud yang hanya milik Allah. Karenanya tidak boleh dipotong.” 148 Sangsi yang

ah
dijatuhkan kepada pencuri harus terkait dengan sesuatu yang menjadi miliknya.

i
Sy
Cara Memperoleh Asbabun Nuzul

Asbabun nuzul bisa didapat dengan cara menyadur riwayat. Namun, peristiwa

masa lalu banyak yang tidak terdokumentasi dengan rapi. Karenanya, kebanyakan
a

riwayat manqul tidak terlalu memperhatikan (mengabaikan) sumber rujukan yang bisa
k

dipercaya. Kalau pun ada, jumlahnya sangat sedikit. Kebanyakan, sanadnya lemah
a

atau bertolak belakang (dengan kandungan ayat) dan membingungkan.


st

Wahidi, dalam Asbabun Nuzul-nya, berpendapat bahwa tidak boleh


u

menyertakan pendapat (pribadi) terkait dengan asbabun nuzul ayat-ayat al-Quran,


P

kecuali ada riwayat yang benar dan dapat dipercaya, atau diriwayatkan oleh orang-

orang yang menyaksikan sendiri peristiwa-peristiwa yang terjadi pada zaman itu. Jika

harus berpendapat, maka itu harus dilakukan dengan menyingkirkan dugaan dan isu

yang tidak berdasar.

147
Tafsir Thabarsi, jilid 10, hal.372.
148
Wasail asy-Syi’ah, jilid 18, Abwab Hadd as-Sariqah, bab 4.

104
Wahidi meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw bersabda,

“Janganlah kalian menukil hadis, kecuali memiliki pengetahuan yang benar

tentangnya. Sesiapa yang berbohong kepadaku dan al-Quran, maka bersiaplah

menjadi penghuni neraka.” Karenanya salafus salih tidak akan berbicara tentang

segala sesuatu yang berhubungan dengan al-Quran tanpa dasar yang kuat dan dapat

dipercaya.

Muhammad bin Sirin berkata, “Aku bertanya kepada Ubaidah, salah seorang

tabi’in terkemuka, tentang tafsir sebuah ayat al-Quran. Dia menjawab, ‘Orang-orang

yang mengetahui di mana (ayat) al-Quran itu diturunkan telah pergi.’”

ah
Wahidi berpendapat bahwa di zaman ini banyak pembohong terlibat dalam

masalah ini. Untuk mengetahui hakikat-hakikat al-Quran harus berhati-hati. 149

i
Sy
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa ada tiga hal yang tidak berdasar;

1. Al-Maghazi (hal-hal yang berkaitan dengan peperangan Nabi), 2. Fitan (fitnah-

fitnah), 3. Tafsir. Jalaluddin Suyuthi, dengan semua kemampuan yang dimilikinya,


a

ketika bersinggungan dengan masalah ini, tidak mampu mengumpulkan lebih dari 250
k

hadis musnad, baik itu hadis yang sahih atau daif. 150
a

Terlepas dari itu semua, ada yang sangat membahagiakan terkait dengan
st

asbabun nuzul, yaitu riwayat dari jalur Ahlulbait sangat banyak yang sampai kepada
u

kita secara sahih melalui jalur Ahlulbait itu sendiri. Sampai saat ini terdapat lebih dari
P

empat ribu riwayat yang terdokumentasi terkait dengan pembahasan ini. 151

Referensi-referensi yang kita miliki dan bisa digunakan untuk mendapatkan

asbabun nuzul, dalam batas-batas tertentu bisa dipercaya, seperti Jami’ al-Bayan

karya Thabari, Ad-Durr al-Mantsur karya Suyuthi, Majma’ al-Bayan karya Thabarsi,

At-Tibyan karya Syekh Thusi. Masih banyak lagi buku-buku yang ditulis khusus
149
Asbabun Nuzul, hal.4.
150
Al-Itqan, jilid 4, hal.214-257.
151
Riwayat-riwayat tersebut sudah terdokumentasi, berjumlah 10 jilid, berkat jasa Agha Burhan.

105
tentang asbabun nuzul, seperti Asbabun Nuzul karya Wahidi dan Lubabun Nuqul

karya Suyuthi. Karya-karya tersebut mengandung racikan riwayat sahih dan daif.

Karenanya, seharusnya semua riwayat di dalam kitab-kitab itu diamati dengan teliti.

Untuk mengidentifikasi riwayat sahih di antara riwayat-riwayat yang tidak

benar, bisa menggunakan cara sebagai berikut:

1. Hendaknya sanad riwayat, khususnya perawi terakhir adalah orang yang

bisa dipercaya, yakni harus orang maksum, atau seorang sahabat yang bisa dipercaya,

seperti Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’b dan Ibnu Abbas yang memang

menguasai al-Quran dan diterima oleh umat atau dari kalangan tabi’in yang mulia,

ah
seperti Mujahid, Said bin Jubair dan Said bin Musayyib yang tak pernah menulis

hadis palsu dan tak pernah memiliki motivasi untuk berbohong.

i
Sy
2. Hendaknya ke-mutawatir-an dan istifadhah (banyaknya) riwayat-riwayat

diteliti sejeli mungkin, meskipun teksnya berbeda-beda namun kandungannya satu.

Jika kandungannya berbeda, masih memungkinkan untuk dipadukan sehingga


a

membuahkan keyakinan bahwa riwayat tersebut adalah sahih, seperti riwayat-riwayat


k

yang berkaitan dengan pengalihan kiblat dan asbabun nuzul ayat-ayat al-Quran
a

lainnya.
st

3. Riwayat-riwayat yang berhubungan dengan sababun nuzul ayat-ayat al-


u

Quran, harus memiliki relasi yang kuat dan menjelaskan. Hal ini bisa menjadi bukti
P

bahwa hadis itu benar, meski dari segi sanad ilmu hadis, hadis itu tidak sahih atau

hasan. Dengan mengetahui relasi antara beberapa peristiwa yang terekam oleh

sejarah, kita bisa mengetahui otentisitas kebenaran peristiwa itu. Jika tidak dengan

cara demikian, maka sulit untuk memastikan jalur kebenaran sanad. Beginilah cara

mengetahui peristiwa yang terkait ayat yang diturunkan.

106
Seperti surah at-Taubah, ayat 37, Sesungguhnya pengunduran (bulan haram)

itu adalah menambah kekafiran. Orang-orang kafir disesatkan dengan

(pengunduran) itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun yang lain dan

mengharamkannya di tahun yang lain, agar mereka bisa menyesuaikannya dengan

bilangan yang diharamkan Allah, sekaligus mereka menghalalkan apa yang

diharamkan Allah. (Setan) menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka

yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir. Ayat ini

berkaitan dengan dilarangnya berperang pada bulan-bulan haram. Alasannya demi

keamanan orang-orang Arab yang melakukan perjalanan haji dari jazirah Arab yang

ah
paling jauh menuju Mekkah pada tiga bulan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan

Muharram, juga melaksanakan umrah di bulan Rajab.

i
Sy
Namun, para penguasa kabilah Arab yang zalim sering merubah salah satu

dari bulan-bulan haram. Sebagai contoh adalah seringnya mereka mengatakan bahwa

bulan Rajab diganti dan bulan Sya’ban dimajukan. Dengan alasan inilah mereka
a

melanjutkan peperangan mereka. Mereka melanggar hukum-hukum Tuhan dan tradisi


k

yang berlaku. Tradisi buruk ini secara keseluruhan dilarang pada tahun kesembilan
a

Hijriah. 152
st

Karenanya, setiap alasan yang disebutkan tentang sebab turunnya ayat al-
u

Quran bisa direlasikan dengan kandungan ayat. Petunjuk serta bukti-bukti juga bisa
P

memperkuat bukti adanya masalah tersebut dan bisa menjelaskan makna ayat,

meskipun sanadnya tidak kuat. Berdasarkan kaidah ini, kasus-kasus lain bisa

dijelaskan.

152
Tafsir Thabarsi, jilid 5, hal.29.

107
Perawi Sebab Turunnya Ayat

Apakah menjadi syarat, bahwa perawi sebab turunnya ayat harus menyaksikan

sendiri peristiwa yang melatari turunnya ayat? Kebanyakan ulama mengharuskan

syarat tersebut bagi perawi. Alasannya, sebab turunnya ayat, sanadnya tidak boleh

terputus dengan peristiwa yang melatarbelakanginya, agar sanad terus bersambung

sampai kepadanya.

Wahidi berpendapat bahwa tidak diperbolehkan berbicara tentang asbabun

nuzul, kecuali dengan menggunakan riwayat atau setelah mendengar kesaksian pelaku

peristiwa sebab turunnya ayat. 153

ah
Namun, beberapa ulama berpendapat bahwa pengetahuan perawi tentang

asbabun nuzul sudah dianggap cukup, sehingga dia tidak harus menyaksikan sendiri

i
Sy
peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat. Hakim Neisyaburi berpendapat bahwa

seandainya seorang sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu al-Quran berkata,

“Ayat ini diturunkan pada peristiwa ini,” maka perkataan ini setara dengan hadis yang
a

dinukil dari Nabi saw. 154 Pernyataan ini lebih bisa dipertanggungjawabkan, karena
k

kesaksian langsung perawi tidak lagi disyaratkan ketika ia diyakini sebagai orang adil
a

dan jujur dalam perkataannya. Dengan alasan inilah riwayat-riwayat yang dinukil dari
st

para Imam suci Ahlulbait tentang al-Quran diyakini dan diterima kebenarannya.
u
P

153
Asbabun Nuzul, jilid 4.
154
Al-Mustadrak, jilid 2, hal.258 dan 263; Makrifatu Ilm al-Hadis, hal.19-20.

108
Nama-nama dan Sifat-sifat Al-Quran

Jamaluddin Abul-Futuh Razi, seorang mufasir besar abad keenam, dalam

pendahuluan tafsirnya menyebutkan 43 nama al-Quran yang sudah memenuhi

kualifikasi. 155

Thabarsi dalam Majma’ al-Bayan hanya menyebutkan nama-nama al-Quran

dengan al-Furqan, Kitab dan adz-Dzikr saja. 156

Badruddin Zarkasyi menukil bahwa Haraliy menulis terkait pembahasan ini

dengan menyebutkan lebih dari sembilan puluh nama atau sifat al-Quran. Dari Qadhi

Azizi juga dinukil 55 nama dan sifat al-Quran yang tertera dalam bagan berikut ini. 43

ah
nama pertama sama dengan pendapat Abul-Futuh Razi. Nama-nama tersebut adalah

sebagai berikut 157:

i
Sy
Urutan Nama/Sifat Bukti Nama Surah Ayat

al-Quran

1- al-Quran Sesungguhnya atas tanggungan al-Qiyamah 17-18


a

Kamilah mengumpulkannya (di


k

dadamu) dan (membuatmu pandai)


a

membacanya. Apabila Kami telah


st

selesai membacakannya maka ikutilah


u

bacaannya itu.
P

155
Abul-Futuh Razi, Ar-Raudh al-Jinan wa Ruh al-Jinan, jilid 1, mukadimah, hal.5.
156
Tafsir Thabarsi, jilid 1, mukadimah, Al-Fann ar-Rabi’, hal.14.
157
Al-Burhan, jilid 1, hal.273-276; Al-Itqan, jilid 1, hal.143-146.

109
2- al-Furqan Hai orang-orang yang beriman, jika al-Anfal 29

kamu bertakwa kepada Allah, niscaya

Dia akan memberikan kepadamu

Furqan.

Dan menurunkan Taurat dan Injil

sebelum (al-Quran), menjadi petunjuk

bagi manusia dan Dia menurunkan al- Ali Imran 3-4

Furqan.

Mahasuci Allah yang telah

ah
menurunkan al-Furqan kepada

hamba-Nya agar dia menjadi pemberi

i
Sy
peringatan kepada seluruh alam. al-Furqan 1

3- Kitab Sesungguhnya orang-orang yang Fathir 29

selalu membaca kitab Allah dan


a
k

mendirikan shalat.

Sesungguhnya Kami telah menurunkan


a
st

Kitab kepadamu dengan membawa an-Nisa 105

kebenaran supaya kamu mengadili


u

antara manusia. al-Baqarah 2


P

Kitab ini tidak ada keraguan padanya.

4- adz-Dzikr Demikianlah (kisah Isa), Kami Ali Imran 58

membacakan kepadamu sebagian dari

bukti-bukti (kerasulannya) dan

(membacakan) adz-Dzikr yang penuh

hikmah.

110
Sesungguhnya Kamilah Yang

menurunkan adz-Dzikr, dan

sesungguhnya Kami benar-benar

memeliharanya.

Dan Kami turunkan kepadamu adz- al-Hijr 9

Dzikr, agar kamu menerangkan

kepada umat manusia apa yang

diturunkan kepada mereka dan supaya

mereka memikirkan.

ah
Dan sesungguhnya al-Quran itu

benar-benar adalah suatu Dzikr an-Nahl 44

i
Sy
bagimu dan bagi kaummu.

Dan al-Quran ini adalah suatu kitab

(Dzikr) yang mempunyai berkah yang


a

telah Kami turunkan. Maka


k

mengapakah kamu mengingkarinya?


a

Shad, demi al-Quran yang mempunyai


st

Dzikr (keagungan).
u

Al-Quran itu tiada lain hanyalah Dzikr


P

(pelajaran) dan kitab yang memberi az-Zukhruf 44

penerangan.

Sesungguhnya orang-orang yang

mengingkari adz-Dzikr (al-Quran)

ketika al-Quran itu datang pada

mereka, dan sesungguhnya al-Quran al-Anbiya 50

111
itu adalah kitab yang mulia.

Dan sesungguhnya telah Kami Shad 1

mudahkan al-Quran ini untuk adz- Yasin 69

Dzikr (pelajaran), maka adakah orang Fushshilat 41

yang mengambil pelajaran? al-Qamar 17

5- Tanzil Dan sesungguhnya al-Quran ini asy-Syu’ara 192

benar-benar diturunkan oleh Tuhan

semesta alam.

Sesungguhnya Kami telah menurunkan

ah
al-Quran kepadamu (Hai Muhammad) al-Insan 23

dengan berangsur-angsur.

i
Sy
Dan al-Quran itu telah Kami turunkan

dengan berangsur-angsur agar kamu

membacakannya perlahan-lahan
a

kepada manusia dan Kami al-Isra 106


k

menurunkannya bagian-demi bagian.


a
st
u
P

112
6- Hadits Allah telah menurunkan perkataan az-Zumar 23

yang paling baik (yaitu) al-Quran

yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi

berulang-ulang, gemetar karenanya

kulit orang-orang yang takut kepada

Tuhannya.

Maka (apakah) barangkali kamu akan

membunuh dirimu karena bersedih

hati sesudah mereka berpaling,

ah
sekiranya mereka tidak beriman

kepada keterangan ini (al-Quran).

i
Sy
Maka apakah kamu merasa heran al-Kahfi 6

terhadap pemberitaan ini? Dan kamu an-Najm 59-60

menertawakan dan tidak menangis.


a

Maka hendaklah mereka


k

mendatangkan kalimat yang semisal


a

al-Quran itu jika mereka orang-orang ath-Thur 34


st

yang benar.
u
P

7- Mau’izhah Hai manusia, sesungguhnya telah Yunus 57

113
datang kepadamu pelajaran dari

Tuhanmu dan penyembuh bagi

penyakit-penyakit (yang berada)

dalam dada.

8- Tazhkirah Dan sesungguhnya al-Quran itu al-Haqqah 48

benar-benar suatu pelajaran bagi

orang-orang yang bertakwa. al-

Sesungguhnya ini adalah suatu Muzzammil 19

peringatan.

ah
9- Dzikra Dan dalam surah ini telah datang Hud 120

i
Sy
kepadamu kebenaran serta pengajaran

dan peringatan bagi orang-orang

yang beriman.
a

10 - Bayan (al-Quran) ini adalah penerangan Ali Imran 138


k

bagi seluruh manusia dan petunjuk


a
st

serta pelajaran bagi orang-orang

yang bertakwa.
u

11 - Huda Kitab ini tidak ada keraguan padanya; al-Baqarah 2


P

petunjuk bagi mereka yang bertakwa.

12 - Syifa’ Apakah (patut al-Quran) dalam Fushshilat 44

bahasa asing sedang (rasul adalah

orang) Arab? Katakanlah; “Al-Quran

itu adalah petunjuk dan penawar bagi

orang-orang yang beriman.”

114
13 - Hukm Dan demikianlah, Kami telah ar-Ra’d 37

menurunkan al-Quran itu sebagai

peraturan (yang benar) dalam bahasa

Arab.

14 - Hikmah Dan ingatlah apa yang dibacakan di al-Ahzab 34

rumahmu dari ayat-ayat Allah dan

hikmah.

15 - Hakim Demikianlah (kisah Isa), Kami Ali Imran 58

membacakannya kepadamu sebagian

ah
dari bukti-bukti (kerasulannya) dan

(membacakan) al-Quran yang penuh

i
Sy
hikmah.

16 - Muhaimin Dan kami telah turunkan kepadamu al-Maidah 48

al-Quran dengan membawa


a

kebenaran, membenarkan apa yang


k

sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang


a
st

diturunkan sebelumnya) dan batu

ujian terhadap kitab-kitab yang lain


u

itu.
P

17 - al-Hadi Sesungguhnya kami telah al-Jinn 1-2

mendengarkan al-Quran yang

menakjubkan, (yang) memberi

petunjuk kepada jalan yang benar,

lalu kami beriman kepadanya.

18 - Nur Dan mengikuti cahaya yang terang al-A’raf 157

115
yang diturunkan kepadanya.

19 - Rahmah Dan sesungguhnya al-Quran itu an-Naml 77

benar-benar menjadi petunjuk dan

rahmat bagi orng-orang yang

beriman.

20 - ‘Ishmah Dan berpegang teguhlah kalian semua Ali Imran 103

kepada tali Allah.

21 - Nikmah Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka adh-Dhuha 11

hendaklah kamu menyebut-nyebutnya.

ah
22 - Haq Dan sesungguhnya al-Quran itu al-Haqqah 51

benar-benar kebenaran yang diyakini.

i
Sy
23 - Tibyan Dan Kami turunkan kepadamu al- an-Nahl 89

Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan

segala sesuatu.
a
k

24 - Bashair Untuk menjadi pelita bagi manusia al-Qashash 43

dan petunjuk dan rahmat, agar mereka


a
st

ingat.

25 - Mubarak Dan al-Quran ini adalah suatu kitab al-Anbiya 50


u

(peringatan) yang mempunyai berkah


P

yang telah Kami turunkan.

26 - Majid Qaf, demi al-Quran yang mulia. Qaf 1

27 - Aziz Dan sesungguhnya al-Quran itu Fushshilat 41

adalah kitab yang mulia.

28 - Azhim Dan sesungguhnya Kami telah berikan al-Hijr 87

kepadamu tujuh ayat yang dibaca

116
berulang-ulang dan al-Quran yang

agung.

29 - Karim Dan sesungguhnya ia adalah al-Quran al-Waqi’ah 77

yang mulia.

30 - Siraj Dan untuk jadi penyeru kepada agama al-Ahzab 46

Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi

cahaya yang menerangi.

31 - Munir Dan untuk jadi cahaya yang al-Ahzab 46

menerangi (menurut pendapat yang

ah
mengatakan bahwa “Sirajan Muniran

(cahaya yang menerangi)” itu adalah

i
Sy
al-Quran yang diutus bersama

Rasulullah saw.

32 - Basyir Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, Fushshilat 3-4


a
k

yakni dalam bahasa Arab, untuk kaum

yang mengetahui yang membawa


a
st

berita gembira dan yang membawa

peringatan, tetapi kebanyakan mereka


u

berpaling (daripadanya).
P

33 - Nadzir Yang membawa berita gembira dan Fushshilat 4

yang membawa peringatan, tetapi

kebanyakan mereka berpaling

(daripadanya) maka mereka tidak

mendengarnya.

34 - Shirath Tunjukkanlah kami ke jalan yang al-Hamdu 6

117
lurus.

35 - Habl Dan berpegang teguhlah kalian Ali Imran 103

kepada tali Allah dan janganlah

berpecahbelah.

36 - Ruh Dan demikianlah Kami wahyukan asy-Syura 52

kepadamu Ruh (al-Quran) dengan

perintah Kami.

37 - Qashash Kami ceritakan kepadamu sebaik-baik Yusuf 3

kisah.

ah
38 - Fashl Sesungguhnya al-Quran itu benar- ath-Thariq 13

benar firman yang memisahkan antara

i
Sy
yang hak dan yang batil.

39 - Nujum Maka Aku bersumpah dengan tempat al-Waqi’ah 75

beredarnya bintang-bintang. Menurut


a
k

pendapat yang mengatakan bahwa

nujum berarti berangsur-angsur


a
st

(turun)nya al-Quran.

40 - ‘Ajab Sesungguhnya kami telah mendengar al-Jinn 1


u

al-Quran yang menakjubkan.


P

41 - Qayyim Dan tidak mengadakan kebengkokan al-Kahfi 1-2

di dalamnya sebagai bimbingan yang

lurus untuk memperingatkan akan

siksaan yang sangat pedih.

42 - Mubin Itu adalah ayat-ayat al-Kitab yang Yusuf 1

jelas.

118
43 - Aliy Dan sesungguhnya al-Quran itu dalam az-Zukhruf 4

induk al-Kitab Lauh al-Mahfuzh di sisi

Kami, adalah benar-benar tinggi

nilainya.

44 - Kalam Dan jika seorang di antara orang- at-Taubah 6

orang musyrik itu meminta

perlindungan kepadamu, maka

lindungilah ia supaya ia sempat

mendengar firman Allah.

ah
45 - Qaul Dan sesungguhnya telah Kami al-Qashash 51

turunkan berturut-turut perkataan ini

i
Sy
(al-Quran).

46 - Balagh (al-Quran) ini adalah penjelasan yang Ibrahim 52

sempurna bagi manusia.


a
k

47 - Mutasyabih Allah telah menurunkan perkataan az-Zumar 23

yang paling baik (yaitu) al-Quran


a
st

yang serupa.

48 - Arabi (ialah) al-Quran dalam bahasa Arab az-Zumar 28


u

yang tidak ada kebengkokan (di


P

dalamnya) supaya mereka bertakwa.

49 - Adl Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu al-An’am 115

sebagai kalimat yang benar dan adil.

50 - Busyra Untuk menjadi petunjuk dan berita an-Naml 2

gembira bagi orang-orang yang

beriman.

119
51 - Amr Itulah perintah Allah yang ath-Thalaq 5

diturunkannya kepadamu.

52 - Iman Wahai Tuhan kami, sesungguhnya Ali Imran 193

kami mendengar (seruan) yang

menyeru kepada iman.

53 - Naba’ Tentang apakah mereka saling Naba 1-2

bertanya-tanya? Tentang berita yang

besar.

54 - Wahyu Sesungguhnya aku hanya memberi al-Anbiya 45

ah
peringatan kepada kamu sekalian

dengan wahyu.

i
Sy
55 - Ilmu Dan seandainya kamu ar-Ra’d 37

mengikuti hawa nafsu


a
k

mereka setelah datang

pengetahuan
a
st

kepadamu.
u

Pengertian Surah dan Ayat


P

Surah berasal dari kata Surul Balad (artinya dinding yang mengitari kota).

Istilah surah digunakan karena setiap surah mengandung atau membatasi ayat-ayat al-

Quran, sama seperti dinding kota yang meliputi rumah-rumah.

Sebagian ulama mengartikannya sebagai “kemuliaan” dan “kedudukan

tinggi.” Menurut pendapat Ibnu Faris, salah satu makna surah, adalah ketinggian dan

120
Sâra Yasûru yang berarti marah dan bergejolak. Setiap tingkat dari suatu bangunan

juga disebut dengan nama surah.

Alasan mengapa dinding kota disebut dengan surah adalah karena

ketinggiannya.158

Ada yang berpendapat bahwa surah diambil dari kata su’run yang berarti

potongan dan sisa sesuatu. Abul-Futuh berpendapat bahwa mahmuz, berasal dari

su’rul ma’ yaitu sisa air dalam sebuah wadah. Orang-orang Arab berkata, “As’artu fil

Ina,” (apabila kamu menyisakan sesuatu di dalam wadah). Dari sinilah A’sya Bani

Tsa’labah, seorang pujangga Arab, bersyair:

ah
Wanita itu sudah berpisah dariku

disisakan jurang dalam hati,

i
Sy
terbelah begitu curam

Inilah akibat perpisahan

Setiap saat jurang itu semakin melebar 159


a

Karena itulah, surah dianggap berasal dari su’rah. Untuk mempermudah


k

pengucapan, “hamzah” diganti dengan “wawu” dan seluruh Qari’ sepakat


a

membacanya dengan “wawu”. Tak satu pun dari sembilan bentuk kasus yang
st

tercantum dalam al-Quran yang dibaca dengan “hamzah”.


u

Ayat bisa dimaknai “alamat”, karena setiap ayat al-Quran adalah petunjuk
P

akan kebenaran firman Allah Swt, atau setiap ayat mengandung hukum atau hikmah

dan nasihat yang menjelaskannya; Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan

kepadamu ayat-ayat yang jelas, dan tak ada yang ingkar kepadanya, melainkan

orang-orang yang fasik (QS. al-Baqarah:99).

158
Ar-Raudh al-Jinan, jilid 1, mukadimah, hal.9.
159
Ibid.

121
Itu adalah ayat-ayat Allah. Kami bacakan kepadamu dengan benar dan

sesungguhnya kamu benar-benar salah seorang di antara nabi-nabi yang diutus (QS.

al-Baqarah:252).

Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu

memikirkannya (QS. al-Baqarah:266).

Jahizh berpendapat bahwa Allah memberi nama kitab-Nya, keseluruhan

maupun sebagian, berbeda dengan kebiasaan orang-orang Arab. Semuanya diberi

nama al-Quran. Kumpulan syair seorang penyair mereka namakan Diwan dan bagian

syair itu dengan nama surah, sama seperti Qasidah Diwan. Mereka menyebut

ah
sebagian surah dengan nama ayat, sama seperti setiap bait Qasidah. Juga diberi jarak

di akhir setiap ayat, sama seperti Qafiyah dalam puisi. 160

i
Sy
Raghib Ishfahani berpendapat bahwa dimungkinkan kata “ayat” diambil dari

kata dasar ayyin, sebab ayatlah yang menjelaskan “asal sesuatu”. Namun, yang benar

bahwa ayat diambil dari kata ta ayya, sebab kata ini berarti tatsabbut (ketetapan).
a

Disebutkan, ta ayya (jadikanlah dirimu mudah bergaul) ai urfuq (bergaullah dengan


k

ramah). Mungkin juga diambil dari kata awiya ilaihi, yang berarti berlindung dan
a

menggantikan. Setiap bangunan yang tinggi mereka sebut dengan nama ayat, Apakah
st

kamu mendirikan pada tiap-tiap tanah tinggi bangunan untuk bermain-main (QS.
u

asy-Syu’ara:128). Kemudian dia menegaskan pendapatnya bahwa setiap perkataan al-


P

Quran yang menunjukkan suatu hukum dari hukum-hukum syariat disebut dengan

ayat, baik ia berupa surah secara sempurna maupun hanya satu atau beberapa pasal

dari satu surah. Terkadang ayat itu disebut untuk menunjukkan ungkapan sempurna

160
Al-Itqan, jilid 1, hal.143.

122
yang berbeda dari perkataan yang lain. Dengan alasan inilah ayat-ayat surah dalam

surah bisa dihitung, dan setiap surah mengandung beberapa ayat. 161

Perlu kami ingatkan bahwa setiap surah yang mengandung beberapa ayat

adalah ketentuan pembuat syariat. Surah terpendek adalah surah al-Kautsar yang

mengandung tiga ayat. Surah terpanjang adalah surah al-Baqarah yang mengandung

286 ayat. Sedikit dan banyaknya ayat disetiap surah ditetapkan Rasulullah saw dan

tetap terjaga hingga saat ini.

Nama-nama Surah

ah
Nama-nama setiap surah ditetapkan pembuat syariat, sama seperti jumlah

ayat-ayat di setiap surah. Kemudian surah-surah itu diberi nama oleh Nabi.

i
Sy
Kebanyakan surah-surah itu memiliki satu nama. Ada sebagian surah yang memiliki

dua atau beberapa nama. Alasan penamaan sebagian dari surah-surah itu tercantum

dalam bagan berikut ini:


a
k

Nama Surah Alasan Penamaan


a

al-Baqarah Penggunaan lafazh baqarah (sapi betina) dan pembahasan


st

tentangnya hanya ada dalam surah ini. Meskipun lafazh al-baqar


u

tercantum dalam surah al-An’am ayat 144 dan 146, dan lafazh
P

baqarat tercantum dalam surah Yusuf ayat 42 dan 46, namun

tidak sedetail di surah al-Baqarah.

Ali Imran Lafazh Ali Imran hanya disebutkan sebanyak dua kali dalam surah

ini (ayat 33 dan 35) dan tidak disebutkan di surah lain.

an-Nisa Surah ini menjelaskan hukum-hukum tentang wanita dalam tujuh

161
Al-Mufradat, pembahasan “Ayyun”.

123
belas ayatnya.

al-Maidah Lafazh Maidah hanya disebut dalam surah ini saja, yaitu ayat 112

dan 114 dan tidak disebutkan di surah lain.

al-An’am Daripada surah-surah lainnya surah ini lebih banyak membahas

An’am (binatang-binatang ternak), yaitu enam ayat.

al-A’raf Hanya dalam surah ini lafazh A’raf disebut dua kali, yaitu dalam

ayat 46 dan 48.

al-Anfal Hanya dalam surah ini lafazh Anfal disebut sebanyak dua kali,

yaitu ayat 1.

ah
al-Bara’ah Di dalam surah ini terdapat pembahasan tentang Bara’ah

(berlepas diri) dari perbuatan orang-orang musyrik. Tidak ada

i
Sy
pembahasan seperti ini di surah lain.

Yunus Satu-satunya surah dalam al-Quran yang membahas tentang Nabi

Yunus.
a
k

Hud Dalam surah ini membahas Nabi Hud. Di surah lain pembahasan

seperti ini tidak ada.


a
st

Yusuf Di dalam surah ini nama Nabi Yusuf disebut berulang sebanyak

dua puluh lima kali.


u

ar-Ra’d Satu-satunya surah yang membicarakan tentang tasbihnya petir,


P

yaitu ayat 13. Meski surah al-Baqarah juga menyebut Ra’d (petir),

yaitu dalam ayat 19, namun tidak seperti pembahasan dalam surah

ini.

Ibrahim Surah ini membahas secara mendetail tentang doa Ibrahim

berkenaan dengan kota Mekkah dan keturunannya yang baik.

al-Hijr Satu-satunya surah yang membahas sahabat-sahabat Hijr.

124
an-Nahl Satu-satunya surah yang membahas tentang lebah.

al-Isra Satu-satunya surah yang membahas tentang Isra’.

al-Kahfi Satu-satunya surah yang membahas tentang Ashabul Kahfi.

Maryam Dalam surah inilah biografi Sayidah Maryam, Dan ingatlah

Maryam dalam al-Kitab… dari ayat 16-35 dibahas secara

lengkap. Meski biografi beliau juga dimaktubkan dalam surah Ali

Imran, namun topik bahasan surah itu adalah Ali Imran.

Thaha Karena surah ini dimulai dengan lafazh Thaha.

al-Anbiya Satu-satunya surah yang memaparkan pembahasan tentang nabi-

ah
nabi yang dikenal bangsa Arab.

al-Hajj Dalam surah ini dijelaskan secara lengkap hukum-hukum haji,

i
Sy
dari ayat 25-38, dan merupakan pengumuman ibadah haji, Wa

Adzdzin Finnasi bil Hajj… (serukanlah haji kepada manusia).

al-Mu’minun Surah ini dimulai dengan kalimat, Qad Aflahal Mu’minun…


a
k

an-Nur Surah ini mencantumkan ayat tentang Nur.

al-Furqan Dalam surah ini al-Quran disebut dengan nama al-Furqan. Juga
a
st

disebutkan tentang turunnya al-Quran dan Tuhan mengucapkan

selamat kepada diri-Nya.


u

asy-Syu’ara Satu-satunya surah yang di dalamnya tercantum lafazh Syu’ara’.


P

an-Naml Hanya surah ini yang membahas masalah an-Naml (semut).

al-Qashash Surah ini mencantumkan kalimat Qashsha alail Qashash (fi’il dan

mashdar). Meskipun surah Yusuf juga mencantumkan kalimat

Naqushshu alaika Ahsanal Qashash, namun surah Yusuf lebih

khusus membahas Nabi Yusuf.

al-Ankabut Satu-satunya surah yang menyebut nama tersebut.

125
ar-Rum Satu-satunya surah yang menyebut nama tersebut.

as-Sajdah Surah ini diberi nama Sajdah karena mengandung ayat sajdah.

Ayat sajdah juga ada dalam tiga surah lainnya, namun surah-

surah tersebut tidak memprioritaskannya.

al-Ahzab Satu-satunya surah yang menyinggung kejadian Ahzab.

Saba Satu-satunya surah yang di dalamnya disebut lafazh Saba’.

Nama Lain dalam Sebagian Surah

ah
Kebanyakan surah-surah memiliki satu nama. Namun, ada sebagian surah

memiliki dua nama atau lebih.

i
Sy
Surah al-Hamdu memiliki nama lain Fatihatul Kitab, Ummul Kitab dan Sab’ul

Matsani. Jalaluddin Suyuthi menyebutkan lebih dari dua puluh nama surah ini.162

Disebut Ummul Kitab karena ia adalah surah al-Quran yang pertama. Bukan
a
k

hanya karena tercantum dalam Mushaf sebagai surah pertama, melainkan karena

surah pertama yang diturunkan dari langit secara sempurna.


a
st

Ummul Kitab, umm berarti tujuan. Surah al-Hamdu disebut dengan Ummul

Kitab karena semua tujuan-tujuan al-Quran terangkum dalam surah yang pendek ini.
u

Sab’ul Matsani, mencakup tujuh ayat dan terdiri dari surah-surah pendek.
P

Disebut Matsani karena berulang-ulang dan lebih sering dibaca daripada surah-surah

panjang.

At-Taubah nama lainnya al-Bara’ah.

Al-Isra, nama lainnya Subhan, 163 Bani Israil.

An-Naml nama lainnya Sulaiman.

162
Al-Itqan, jilid 1, hal.151.
163
Asra dalam bentuk fi’il madhi dari mashdar isra’ juga disebutkan dalam ayat al-Quran.

126
Ghafir nama lainnya al-Mu’min.

Fushshilat nama lainnya as-Sajdah.

Muhammad nama lainnya al-Qital.

Al-Qamar nama lainnya Iqtarabat.

Al-Mulk nama lainnya Tabarak.

Al-Ma’arij nama lainnya Sa’ala, Waqi’.

An-Naba nama lainnya‘Amma.

Al-Bayyinah nama lainnya Lamyakun.

Al-Ma’un nama lainnya ad-Din, Araaita.

ah
Al-Masad nama lainnya Tabbat.

At-Tauhid nama lainnya al-Ikhlash.164

i
Sy
Ad-Dahr nama lainnya al-Insan, Hal Ata.

Al-Quraisy nama lainnya Ilaf.

Asy-Syarh nama lainnya al-Insyirah.


a
k

Nama Surah-surah Al-Quran


a

1. Sab’un Thiwal (tujuh surah panjang). Seperti al-Baqarah, Ali Imran, an-
st

Nisa, al-A’raf, al-An’am, al-Maidah dan Yunus.


u

2. Miin. Adalah surah-surah yang jumlah ayat-ayatnya lebih dari seratus, tetapi
P

tidak sepanjang surah-surah Sab’un Thiwal. Surah-surah ini, kurang lebih ada dua

belas, di antaranya Hud, Yusuf, an-Nahl, al-Kahfi dan Maryam.

3. Matsani. Adalah surah-surah yang jumlah ayatnya tidak mencapai seratus

ayat. Mengapa surah-surah itu disebut dengan Matsani karena pendeknya surah-surah

tersebut, karenanya surah-surah itu dibaca lebih dari satu kali.

164
Al-Itqan, jilid 1, hal.155-159.

127
4. Hawamim. Tujuh surah yang diawali dengan huruf Hamim. Tujuh surah itu

adalah al-Mu’min, Fushshilat, asy-Syura, az-Zukhruf, ad-Dukhan, al-Jatsiyah dan al-

Ahqaf.

5. Mumtahanat. Yaitu surah al-Fath, al-Hasyr, as-Sajdah, ath-Thalaq, Nun wal

Qalam, al-Hujurat, Tabarak, at-Taghabun, al-Munafiqun, al-Jumu’ah, Shaf, al-Jinn,

Nuh, al-Mujadilah, al-Mumtahanah dan at-Tahrim.

6. Mufashshalat. Dimulai dari surah ar-Rahman sampai akhir al-Quran.

Karena jarak surah-surah ini pendek, maka diberi nama Mufashshalat.

ah
Jumlah Surah dan Ayat Al-Quran

Al-Quran dari awal diturunkan, dengan bentuk seperti yang sekarang ini

i
Sy
berjumlah 114 surah sampai kepada kita melalui jalur Rasulullah saw yang dinukil

oleh sahabat dan tabi’in. Jumlah tersebut ini adalah mutawatir. Melebihi atau kurang

dari jumlah tersebut tidak bisa diakui kebenarannya karena tidak berdasar.
a

Mushaf Abdullah bin Mas’ud, tidak mengandung surah al-Hamdu dan dua
k

surah Mu’awwidzatain (an-Nas dan al-‘Alaq). Dia berkeyakinan bahwa surah al-
a

Hamdu adalah sekutu al-Quran, berbeda dengan al-Quran, sebagaimana yang


st

tercantum dalam ayat, Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat
u

yang dibaca dan al-Quran yang agung (QS. al-Hijr:87). Surah al-Hamdu, yang tiada
P

lain adalah Sab’ul Matsani, berseiring dengan al-Quran. Tentang Mu’awwidzatain,

dia tidak mengakuinya sebagai bagian dari surah-surah al-Quran, melainkan

menganggapnya sebagai doa-doa penolak sihir yang diwahyukan kepada Rasulullah

saw agar beliau membaca kedua doa tersebut. Hasanain bisa terhindarkan dari bahaya

mata (sihir). Karenanya, setiap kali dia melihat dua surah tersebut dalam suatu

128
mushaf, dia selalu menghapusnya dan berkata, “Janganlah kalian mencampuraduk

selain al-Quran dengan al-Quran.”

Mushaf Ubay bin Ka’b memiliki 115 surah. Dia menganggap bahwa dua surah

al-Fil dan Ilaf adalah satu surah dan di antara dua surah itu tidak ada

Bismillahirrahmanirrahim. Selain itu dia juga menambahkan dua surah lagi dengan

nama al-Hafdu dan al-Khal’u.

Penentuan jarak masing-masing ayat yang berlanjut ke ayat berikutnya adalah

hak Tuhan melalui yang diembankan kepada Rasulullah saw. Pendapat ini dinukil dari

beliau saw. Masalah ini bukanlah masalah ijtihad, karena itu kebenarannya

ah
bergantung kepada jalur periwayatannya.

Ayat belum tentu berakhir dengan selesainya suatu pembahasan. Betapa

i
Sy
banyak ayat berakhir di pertengahan pembahasan, padahal pembahasannya

diselesaikan dalam ayat berikutnya. Dengan demikian, pendek dan panjangnya setiap

ayat tidak bergantung kepada pembahasan-pembahasan di dalamnya, namun hal ini


a

adalah murni tauqifi (hak pembuat syariat).


k

Para ulama berbeda pendapat tentang ayat-ayat al-Quran, alasannya adalah


a

bahwa ketika mengujarkannya, terkadang Rasulullah saw berhenti di ayat tertentu dan
st

tidak melanjutkan bacaannya. Seolah ayat yang dibaca Rasulullah telah selesai,
u

karena dalam bacaan lain seringkali beliau terus melanjutkan bacaannya tanpa
P

berhenti hingga selesai.

Dinukil dari Ibnu Abbas bahwa semua ayat-ayat al-Quran berjumlah 6.600

ayat. Semua hurufnya berjumlah 320.671. Ada yang berpendapat bahwa kalimat al-

Quran berjumlah 77.277, sebagian lain berpendapat 77. 934, pendapat yang lain lagi

adalah 77.434 kalimat.

129
Menurut Kufiyyin, riwayat yang paling sahih dan pasti tentang jumlah ayat al-

Quran adalah 6236. Riwayat ini dinukil dari Ali bin Abi Thalib. 165 Jumlah ini seperti

jumlah yang terdapat dalam mushaf asy-Syarif. Hitungan ini berdasarkan pendapat

bahwa Bismillahirrahmanirrahim dalam surah al-Hamdu dihitung sebagai satu ayat,

namun tidak demikian dalam surah-surah yang lain. Huruf Muqaththa’ah dalam awal-

awal surah juga dihitung satu ayat. Namun jumlah ayat-ayat yang ada dalam setiap

surah masih diperselisihkan. 166

Berikut adalah jumlah ayat-ayat menurut Kufiyyin:

Nomor Surah Jumlah Nomor Surah Jumlah

ah
Ayat Ayat

1 al-Hamdu 7 13 ar-Ra’d 43

i
Sy
2 al-Baqarah 286 14 Ibrahim 52

3 Ali Imran 200 15 al-Hijr 99

4 an-Nisa 176 16 an-Nahl 128


a
k

5 al-Maidah 120 17 al-Isra 111

6 al-An’am 165 18 al-Kahfi 110


a
st

7 al-A’raf 206 19 Maryam 98

8 al-Anfal 75 20 Thaha 135


u

9 at-Taubah 129 21 al-Anbiya 112


P

10 Yunus 109 22 al-Hajj 78

11 Hud 123 23 Mu’minun 118

12 Yusuf 111 24 an-Nur 64

25 Al-Furqan 77 49 al-Hujurat 18

165
Al-Itqan, jilid 1, hal.189-190 dan 197.
166
Ibid., hal.190-195.

130
26 asy-Syu’ara 227 50 Qaf 45

27 an-Naml 93 51 adz-Dzariyat 60

28 al-Qashash 88 52 ath-Thur 49

29 al-Ankabut 69 53 an-Najm 62

30 ar-Rum 60 54 al-Qamar 55

31 Lukman 34 55 ar-Rahman 78

32 as-Sajdah 30 56 al-Waqi’ah 96

33 al-Ahzab 73 57 al-Hadid 29

34 Saba 54 58 al-Mujadilah 22

ah
35 Fathir 45 59 al-Hasyr 24

36 Yasin 83 60 Mumtahanah 13

i
Sy
37 ash-Shaffat 182 61 Shaf 14

38 Shad 88 62 al-Jumu’ah 11
a

39 az-Zumar 75 63 Munafiqun 11
k

40 al-Ghafir 85 64 at-Taghabun 18
a

41 Fushshilat 54 65 ath-Thalaq 12
st

42 asy-Syura 53 66 at-Tahrim 12

43 az-Zukhruf 89 67 al-Mulk 30
u

44 ad-Dukhan 59 68 al-Qalam 52
P

45 al-Jatsiyah 37 69 al-Haqqah 52

46 al-Ahqaf 35 70 al-Ma’arij 44

47 Muhammad 38 71 Nuh 28

48 al-Fath 29 72 al-Jinn 28

73 al-Muzzammil 20 97 al-Qadr 5

131
74 Muddatstsir 56 98 al-Bayyinah 8

75 al-Qiyamah 40 99 al-Zalzalah 8

76 al-Insan 31 100 al-Adiyat 11

77 al-Mursilat 50 101 al-Qari’ah 11

78 an-Naba 40 102 at-Takatsur 8

79 an-Nazi’at 46 103 al-‘Ashr 3

80 Abasa 42 104 Humazah 9

81 at-Takwir 29 105 al-Fil 5

82 al-Infithar 19 106 al-Quraisy 4

ah
83 Muthaffifin 36 107 al-Ma’un 7

84 al-Insyiqaq 25 108 al-Kautsar 3

i
Sy
85 al-Buruj 22 109 al-Kafirun 6

86 ath-Thariq 17 110 an-Nashr 3


a

87 al-A’la 19 111 al-Lahab 5


k

88 al-Ghasyiyah 26 112 al-Ikhlash 4


a

89 al-Fajr 30 113 al-Falaq 5


st

90 al-Balad 20 114 an-Nas 6

91 asy-Syams 15
u

92 al-Lail 21
P

93 adh-Dhuha 11

94 asy-Syarh 8

95 at-Tin 8

96 al-‘Alaq 19

132
Riwayat Kufiyyin dari Ibnu Abi Laila dari Abu Abdila Rahman Sulami dari

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.

Bab III

Pengumpulan dan Penyusunan Al-Quran

Pengumpulan dan penyusunan al-Quran dalam bentuk seperti saat ini, tidak

terjadi dalam satu masa, tapi berlangsung selama beberapa tahun atas upaya beberapa

orang dan berbagai kelompok. Urutan, susunan dan jumlah ayat di setiap surah sudah

dibakukan sejak zaman Rasulullah saw. Karenanya surah-surah di dalam al-Quran

ah
harus dibaca sesuai dengan urutan yang telah ditetapkan. Setiap surah diawali dengan

turunnya Bismillahirrahmanirrahim, kemudian ayat-ayat yang diturunkan

i
Sy
dicantumkan sesuai dengan urutan turunnya. Susunan ini adalah alami (sesuai urutan

turunnya). Kadangkala pernah terjadi bahwa Rasulullah saw, dengan bimbingan Jibril,

memerintahkan agar sebuah ayat diletakkan di surah berbeda, tidak sesuai dengan
a

susunan alami, seperti ayat Dan jagalah dirimu dari hari yang pada waktu itu kamu
k

semua dikembalikan kepada Allah, kemudian masing-masing diri diberi balasan yang
a

sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak
st

dianiaya. Menurut riwayat, ayat ini termasuk salah satu ayat terakhir yang diturunkan.
u

Namun Rasulullah saw memerintahkan agar ayat ini dicantumkan di antara ayat-ayat
P

riba dan hutang dalam surah al-Baqarah ayat 281.

Karenanya, penyusunan ayat-ayat ke dalam surah-surah al-Quran yang

tersusun secara alami atau atas dasar perintah Nabi saw adalah tauqifi (berdasarkan

perintah Allah Swt) melalui pengawasan dan perintah Rasulullah saw sendiri dan

susunan tersebut harus diikuti.

133
Namun, para ulama berbeda pendapat tentang susunan dan urutan surah-surah

al-Quran. Sayid Murtadha Alamul-Huda, ulama kontemporer Ayatullah Khu’i dan

para peneliti berpendapat bahwa al-Quran yang ada sekarang ini tersusun sejak zaman

Rasulullah saw masih hidup. Alasannya adalah pada masa itu ada banyak orang yang

hafal al-Quran. Sangat mustahil Rasulullah saw mengabaikan masalah penting ini,

hingga penyusunannya harus dilakukan setelah beliau wafat.

Ada yang berpendapat bahwa pendapat tersebut tidak bisa diterima. Alasan

bahwa ada yang menghafal dan mengumpulkan al-Quran pada saat itu tidak

meniscayakan bahwa ayat-ayat dalam surah-surah al-Quran tersusun secara rapi.

ah
Adanya penghafal dan pencatat al-Quran yang diturunkan hingga masa itu bukan

menunjukkan ketersusunan seperti sekarang ini. Pembagian surah-surah menjadi

i
Sy
sangat penting agar tidak terjadi kesalahan peletakan ayat-ayat di setiap surah.

Pekerjaan penting ini terjadi sejak zaman Rasulullah saw, namun menertibkan surah

yang satu dengan yang lain sampai akhir al-Quran tidak mungkin terjadi pada zaman
a

beliau. Alasannya adalah pada saat itu Rasulullah saw masih hidup, setiap saat ada
k

kemungkinan surah-surah dan ayat-ayat al-Quran masih diturunkan. Adalah wajar jika
a

surah-surah al-Quran dirapikan pada zaman setelah Rasulullah saw wafat.


st

Kebanyakan peneliti sejarah yang berbicara tentang masalah ini berdasarkan


u

riwayat, berpendapat bahwa pengumpulan dan penertiban surah-surah al-Quran terjadi


P

sepeninggal Rasulullah saw yang diprakarsai oleh Ali bin Abi Thalib, kemudian Zaid

bin Tsabit dan sahabat-sahabat mulia lainnya.

Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang sibuk mengumpulkan al-Quran

sepeninggal Rasulullah saw. Menurut banyak riwayat, selama enam bulan beliau

menyibukkan diri mengumpulkan al-Quran di dalam rumah. Ibnu Nadim berkata,

“Mushaf pertama yang terkumpul dengan rapi adalah mushaf Ali. Mushaf ini berada

134
di keluarga Ja’far.” Kemudian dia melanjutkan, “Aku melihat sebuah mushaf milik

Abi Ya’la Hamzah Hasani tulisan Ali dan (di dalam mushaf itu) ada beberapa

halaman yang hilang. Mushaf itu dijadikan sebagai warisan oleh putra-putra Hasan

bin Ali.” 167

Muhammad bin Sirin menukil dari Ikrimah yang berpendapat bahwa pada

awal kekhilafahan Abu Bakar, Ali berdiam diri di dalam rumah, mengumpulkan al-

Quran. Muhammad bin Sirin bertanya kepada Ikrimah, “Apakah tertib dan

susunannya sama seperti mushaf-mushaf lainnya? Apakah urutan turunnya ayat-ayat

dan surah-surah al-Quran terpelihara di dalamnya?” Dia menjawab, “Seandainya Jin

ah
dan manusia berkumpul untuk mengumpulkan al-Quran seperti (yang telah dilakukan)

Ali, niscaya mereka tak akan mampu melakukannya.” Ibnu Sirin berkata “Meski saya

i
Sy
sudah berusaha keras untuk mendapatkan mushaf itu, tetapi saya tidak berhasil

mendapatkannya.” 168

Ibnu Jazi Kalbi berkata, “Seandainya Mushaf Ali itu ditemukan, niscaya
a

banyak sekali ilmu yang bisa diperoleh.” 169


a k

Ciri Mushaf Ali bin Abi Thalib


st

Mushaf Ali bin Abi Thalib memiliki ciri khusus yang tidak dimiliki oleh
u

mushaf-mushaf lainnya.
P

Pertama. Ayat-ayat dan surah-surah tersusun rapi sesuai dengan urutan

turunnya. Dalam mushaf ini Makkiyah diletakkan sebelum Madaniyah. Dalam mushaf

ini sangat jelas proses perjalanan sejarah turunnya ayat-ayat al-Quran. Melalui

167
Al-Fihrist, hal.47-48.
168
Thabaqat Ibn Sa’d, jilid 2, hal.101; Al-Isti’ab dar Hasyiah_ye al-Ishabah, jilid 2, hal.253; Al-Itqan,
jilid 1, hal.57.
169
At-Tashil li Ulum at-Tanzil, jilid 1, hal.4; At-Tamhid, jilid 1.

135
perantara mushaf ini perjalanan tasyri’ dan hukum-hukum, khususnya masalah nasikh

dan mansukh dalam al-Quran bisa dimengerti.

Kedua. Dalam mushaf ini tercantum bacaan ayat-ayat, sesuai bacaan

Rasulullah saw, bacaan yang paling murni. Dalam mushaf ini sama sekali tidak ada

sesuatu yang menjadi sebab perbedaan bacaan al-Quran. Dengan demikian cara untuk

memahami kandungan serta penafsiran ayat yang benar menjadi mudah. Masalah ini

sangat penting sekali, mengingat banyaknya perbedaan bacaan al-Quran bisa

menyesatkan mufasir.

Ketiga. Mushaf ini mengandung tanzil dan takwil yang menjelaskan peristiwa

ah
serta kondisi yang menyebabkan ayat-ayat dan surah-surah al-Quran diturunkan.

Penjelasan tersebut berada di tepi mushaf. Penjelasan ini sangat efisien untuk

i
Sy
memahami makna-makna al-Quran dan menghilangkan ketidakjelasan. Selain

menyebutkan sababun nuzul di tepi mushaf, juga terdapat banyak takwil. Takwil-

takwil itu adalah penjelasan universal dan komprehensif atas kasus-kasus khusus ayat-
a

ayat al-Quran untuk bisa memahaminya. Ali bin Abi Thalib berkata, “Sungguh aku
k

telah datang kepada mereka sambil membawa al-Quran yang memiliki tanzil dan
a

takwil.” 170 Beliau juga bersabda “Tidak ada satu ayat pun yang diturunkan kepada
st

Rasulullah saw, melainkan beliau membacakan dan mendiktekan (ayat tersebut)


u

kepadaku. Kemudian ayat itu aku tulis dengan tanganku. Kemudian beliau saw juga
P

mengajarkan kepadaku tentang tafsir, takwil, nasikh dan mansukh serta muhkam dan

mutasyabih setiap ayat. Kemudian beliau saw mendoakanku agar Allah

menganugerahkan pemahaman dan hafalan kepadaku. Sejak saat itu hingga sekarang

170
Muhammad Jawad Balaghi, Ala ar-Rahman, jilid 1, hal.257.

136
tidak ada satu ayat pun yang kulupakan dan tidak ada satu pun ilmu pengetahuan yang

beliau ajarkan kepadaku hilang.” 171

Seandainya setelah wafatnya Rasulullah saw, mushaf yang mengandung

urutan, penjelasan, tafsir serta keterangan ayat-ayat ini digunakan, niscaya saat ini

kebanyakan problem dalam memahami al-Quran akan teratasi.172

Nasib Mushaf Ali bin Abi Thalib

Sulaim bin Qais Hilali (w. tahun 90), salah seorang sahabat terdekat Ali bin

Abi Thalib meriwayatkan dari Salman Farisi ra bahwa pada saat Ali bin Abi Thalib

ah
merasakan dirinya tidak mendapatkan tempat dan perhatian yang semestinya dari

masyarakat, beliau memutuskan untuk berdiam diri di rumah dan tidak pernah keluar

i
Sy
sampai menyelesaikan penulisan seluruh al-Quran yang sebelumnya beliau

kumpulkan dari tulisan di atas sobekan-sobekan kertas, kayu-kayu tipis dan dedaunan

dalam bentuk yang tidak beraturan.


a

Setelah Ali bin Abi Thalib selesai mengumpulkan al-Quran, menurut riwayat
k

Ya’qubi, beliau meletakkannya di atas punggung unta dan dibawa ke masjid ketika
a

orang-orang mengelilingi Abu Bakar. Ali bin Abi Thalib berkata kepada mereka,
st

“Setelah Rasulullah saw wafat, aku sibuk mengumpulkan al-Quran dan sekarang aku
u

telah membawanya di dalam bungkusan kain ini. Aku telah mengumpulkan semua
P

ayat yang diturunkan kepada Rasulullah saw. Tiada satu ayat pun yang diturunkan

kecuali Nabi saw membacakannya untukku dan mengajarkan kepadaku tafsir dan

takwilnya. Jangan sampai esok hari kalian berkata, ‘Kami telah lupa hal itu.’” 173

171
Tafsir al-Burhan, jilid 1, hal.16, nomor 14.
172
Untuk mengetahui lebih jauh tentang susunan Mushaf Ali bin Abi Thalib, silahkan merujuk ke
Tarikh Ya’qubi, jilid 2, hal.113.
173
As-Saqifah, hal.82.

137
Pada saat itu salah seorang pemimpin kelompok di sana bangkit dari

tempatnya melihat apa yang dibawa oleh Ali bin Abi Thalib, kemudian berkata,

“Kami tidak membutuhkan apa yang kamu bawa. Cukup bagi kami apa yang ada pada

kami.”

Ali bin Abi Thalib berkata, “Mulai saat ini kalian tidak akan pernah

melihatnya lagi.” Pada saat itulah beliau masuk ke dalam rumah dan setelah itu tak

seorang pun melihat mushaf tersebut.

Pada periode Usman, terjadi perbedaan begitu mencolok antara mushaf-

mushaf sahabat dan orang-orang yang berpihak kepada mereka. Thalhah bin Abdullah

ah
berkata kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, “Masih ingatkah anda ketika

menyodorkan mushaf kepada orang-orang dan mereka menolaknya? Sekarang dimana

i
Sy
mushaf itu? Tunjukkanlah mushaf itu, siapa tahu mushaf itu bisa menghilangkan

perbedaan yang terjadi!”

Ali bin Abi Thalib tidak menjawabnya. Thalhah mengulangi pertanyaannya.


a

Ali berkata, “Aku sengaja tidak menjawabnya.” Setelah itu beliau berkata, “Apakah
k

al-Quran yang sekarang ada di tangan orang-orang ini, semuanya al-Quran atau di
a

dalamnya juga tercampur dengan selain al-Quran?”


st

Thalhah berkata, “Tentu saja semuanya adalah al-Quran.”


u

Ali bin Abi Thalib berkata, “Jika memang demikian, maka apa pun yang
P

kalian ambil dan amalkan, niscaya kalian akan mencapai kebahagiaan.”

Thalhah berkata, “Kalau begitu, (al-Quran yang ada di tangan orang-orang ini)

cukup bagi kami.” Setelah itu ia tidak berkata apa-apa lagi. 174

Dengan jawaban tersebut Ali bin Abi Thalib ingin menjaga persatuan dan

keotentikan al-Quran juga tetap terjaga.

174
As-Saqifah, hal.124.

138
Kumpulan Zaid bin Tsabit

Rasulullah saw berwasiat agar al-Quran dikumpulkan, tujuannya adalah agar

tidak bernasib seperti kitab Taurat orang-orang Yahudi yang nyaris sirna.175 Setelah

Rasulullah saw wafat, Ali bin Abi Thalib mengikuti wasiat beliau saw dengan

melakukan pekerjaan penting ini, kemudian beliau mempersembahkan hasil kerja

tersebut. Namun, karena beberapa sebab mushaf itu tidak diterima. Al-Quran adalah

rujukan pertama syariat Islam serta pondasi bangunan masyarakat Islam. Karena itu

para khalifah pada saat itu merasa perlu melibatkan para penulis kalam Ilahi yang lain

(selain Ali) untuk mencatat ulang al-Quran yang tertulis di potongan-potongan kayu,

ah
tulang dan para hafiz, hal ini dilakukan karena syahidnya tujuh puluh orang bahkan

ada yang mengatakan empat ratus orang hafiz al-Quran dalam perang Yamamah.176

i
Sy
Oleh karena itu, khalifah pertama mengajak Zaid bin Tsabit untuk

mengumpulkan al-Quran. Zaid berkata, “Abu Bakar memanggilku. Setelah

bermusyawarah dengan Umar yang waktu itu berada di tempat itu, dia berkata,
a

‘Banyak sekali Qari dan hafiz al-Quran yang terbunuh dalam perang Yamamah,
k

bagaimana kalau dalam peristiwa-peristiwa lain ada pihak yang akan terbunuh,
a

kemudian bagian penting al-Quran akan sirna.’ Saat itulah dia menyampaikan
st

masalah pengumpulan al-Quran.


u

Aku bertanya, ‘Bagaimana kamu akan melakukan suatu pekerjaan yang tidak
P

dilakukan oleh Rasulullah saw ?’

Mereka menjawab, ‘Ini adalah pekerjaan penting yang harus dilakukan.’

Hanya itu yang mereka katakan. Mereka terus memaksaku agar menerima

ajakan mereka. Kemudian Abu Bakar berkata kepadaku, ‘Aku melihat bahwa kamu

175
Tafsir al-Qomi, hal.745.
176
Fath al-Bari, jilid 7, hal.447; Pada peristiwa itu 360 dari Muhajirin dan Anshar yang berasal dari
kota Madinah dan 300 orang Muhajirin yang berdomisili di selain Madinah, serta 300 orang dari
kalangan Tabi’in tewas terbunuh. Tarikh ath-Thabari, jilid 2, hal.516.

139
adalah pemuda yang berakal dan kami tak pernah berpikir negatif tentangmu. Kamu

adalah penulis wahyu Rasulullah saw, terimalah pekerjaan ini dan lakukanlah dengan

baik.

Aku berkata kepada mereka, ‘Beban pekerjaan yang dipikulkan di pundakku

ini, jauh lebih berat daripada memikul gunung yang besar. Namun aku menerimanya

dengan terpaksa.’ Kemudian aku mengumpulkan al-Quran yang sebelumnya ditulis di

atas lempengan-lempengan batu dan kayu.” 177

Cara Zaid Mengumpulkan Al-Quran

ah
Zaid memulai pekerjaan mengumpulkan al-Quran dengan cara menata al-

Quran yang semula tidak teratur. Kemudian dia meletakkannya ke satu tempat. Dalam

i
Sy
pekerjaan ini dia dibantu beberapa sahabat. Langkah pertama yang dia ambil adalah

mengumumkan bahwa siapa saja yang memiliki seberapa pun ayat al-Quran,

hendaknya diserahkan kepadanya.


a

Ya’qubi berpendapat bahwa dia (Zaid) membentuk tim kerja yang terdiri dari
k

dua puluh lima orang dan dia sendiri yang menjadi ketua tim.178 Setiap hari tim kerja
a

ini berkumpul di masjid dan orang-orang yang memiliki ayat atau surah dari al-Quran
st

merujuk kepada tim kerja yang diketuai oleh Zaid. Tim kerja ini tidak menerima
u

sesuatu apapun sebagai al-Quran, dari siapa pun, kecuali orang itu membawa dua
P

orang saksi dan bukti yang menyatakan bahwa apa yang mereka bawa itu adalah al-

Quran. Bukti pertama adalah naskah tertulis, yaitu tulisan yang menunjukkan bahwa

itu adalah wahyu Qurani. Bukti kedua adalah hafalan, yaitu dengan kesaksian orang-

orang bahwa pembawa al-Quran itu telah mendengarnya dari lisan Rasulullah saw.

Dalam hal ini ada dua poin yang perlu diperhatikan:


177
Shahih Bukhari, jilid 6, hal.225; Mashahif Sajistani, hal.6; Ibnu Atsir, Al-Kamil fi at-Tarikh, jilid 2,
hal.247, jilid 3, hal.56; Al-Burhan, jilid 1, hal.233.
178
Tarikh Ya’qubi, jilid 2, hal.113.

140
1. Khuzaimah bin Tsabit Anshari 179 membawa dua ayat terakhir surah al-

Bara’ah yang diterima tanpa saksi, karena Rasulullah saw telah menjadikan

kesaksiannya sama seperti kesaksian dua orang. 180

2. Ada ungkapan dari Umar bin Khaththab yang disangka sebagai ayat al-

Quran namun tidak diterima, yaitu “Apabila seorang lelaki tua berzina dengan

seorang wanita tua maka rajamlah keduanya…” Ketika tim kerja meminta dihadirkan

saksi, Umar tidak bisa memenuhi. Ketika Umar menyampaikan kepada setiap orang

yang dikehendakinya, maka orang itu menolak bahwa dia pernah mendengar dari

Rasulullah saw ungkapan seperti tersebut. Umar tetap bersikeras bahwa yang dia

ah
ujarkan adalah benar, dia selalu berkata, “Seandainya orang-orang tidak berkata

bahwa Umar telah menambah sesuatu kepada al-Quran, niscaya aku sudah

i
Sy
memasukkannya ke dalam al-Quran.”

Dengan cara seperti inilah, Zaid mengumpulkan ayat-ayat dan surah-surah al-

Quran dan mengumpulkannya setelah sebelumnya terpisah-pisah. Dia berjasa


a

menghindarkan al-Quran dari bahaya penyimpangan. Setiap surah yang sudah


k

sempurna dia letakkan ke kotak kulit yang disebut “Rab’ah” hingga satu-persatu dari
a

surah-surah itu sempurna. Namun tidak ada satu pun bentuk susunan dan ketertiban di
st

antara surah yang diwujudkannya.181 Setelah usai, lembaran-lembaran yang di atasnya


u

ditulis surah-surah al-Quran itu, diserahkan kepada Abu Bakar. Setelah masa Abu
P

Bakar, kumpulan ayat ini berpindah kepada Umar, kemudian setelah dia wafat,

179
Khuzaimah bin Tsabit Anshari mendapat julukan “dua orang saksi” karena dia selalu menyertai
Nabi Muhammad saw di setiap peperangan dan dia termasuk kerabat Imam Ali as. Dia ikut serta dalam
perang Shiffin dan Jamal. Dialah orang yang meriwayatkan hadis Nabi ketika peristiwa Shiffin dengan
redaksi, “Ammar akan dibunuh oleh kelompok pembangkang.” Dia juga yang menjadi saksi ketika
Nabi membeli seekor kuda dari seseorang di gurun pasir, meskipun dia tidak menyaksikan (transaksi
itu secara langsung). Hal ini dia lakukan karena pihak yang bersengketa adalah Nabi dan benar apa
yang dikatakannya, oleh karena itulah Rasulullah saw menjadikan kesaksiannya sebagai dua kesaksian
(Usd al-Ghabah, jilid 2, hal.114).
180
Mashahif Sajistani, hal.6-9; Shahih Bukhari, jilid 6, hal.225.
181
Ibnu Katsir Qurasyi Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 1, hal.261; Al-Burhan, jilid 2, hal.35; Al-
Itqan, jilid 1, hal.58; Fath al-Bari, jilid 9, hal.16; Zarqani, Manahil al-Irfan, jilid 1, hal.254; Ahmad
Amin Mishri, Fajr al-Islam, hal.195.

141
disimpan oleh Hafshah putrinya. Ketika mushaf-mushaf disatukan, Usman

meminjamnya dari Hafshah untuk mencocokkan naskah-naskah al-Quran yang lain

dengan mushaf tersebut. Kemudian dikembalikan lagi kepada hafshah. Ketika

Hafshah meninggal, Marwan yang ketika itu menjabat sebagai gubernur Muawiyah di

Madinah, mengambilnya dari ahli waris Hafshah dan memusnahkannya. 182

Mushaf-mushaf Sahabat

Setelah Rasulullah saw wafat, kemudian mushaf Ali bin Abi Thalib ditolak,

selain Zaid, sahabat-sahabat besar lainnya juga mulai mengumpulkan al-Quran, di

ah
antaranya adalah Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’b, Miqdad bin Aswad, Salim

Maula Abi Hudzaifah, Muadz bin Jabal dan Abu Musa Asy’ari.

i
Sy
Orang pertama yang menyusun surah-surah al-Quran dengan rapi adalah Salim

Maula Abi Hudzaifah. Pada saat al-Quran dikumpulkan dan ditulis di atas dedaunan,

ketika itulah mereka berkumpul dan memusyawarahkan tentang penamaannya.


a

Sebagian dari mereka mengusulkan nama “Sifr”. Salim dan beberapa orang tidak
k

setuju, karena itu adalah nama kitab-kitab orang-orang Yahudi. Kemudian Salim
a

mengusulkan nama Mushaf dengan berkata, “Aku pernah melihat kitab (kumpulan
st

lembaran-lembaran) di Habasyah yang mereka sebut dengan nama mushaf.” Semua


u

yang hadir menyetujui nama mushaf untuk lembaran-lembaran yang terkumpul itu.183
P

Kami akan menyebutkan sebagian mushaf-mushaf sahabat dan ciri-cirinya:

Mushaf Ibnu Mas’ud

Mushaf Ibnu Mas’ud memiliki ciri di bawah ini:

182
Ibnu Hajar Qasthallani, Irsyad as-Sari fi Syarh al-Bukhari, jilid 7, hal.449; At-Tamhid, jilid 1,
hal.300.
183
Al-Kamil fi at-Tarikh, jilid 3, hal.55; Al-Itqan, jilid 1, hal.58; Mashahif Sajistani, hal.11-14.

142
1. Urutan surahnya adalah 1. Sab’un Thiwal, 2. Main, 3. Matsani, 4.

Hawamim, 5. Mumtahanat, 6. Mufashshalat.

2. Mushaf tersebut memiliki 111 surah, karena di dalamnya tidak terdapat

surah al-Hamdu dan surah Mu’awwidzatain. Dia berkeyakinan bahwa pencantuman

surah-surah ke dalam mushaf itu demi menghindari keberserakan dan kehilangan.

Oleh karena surah al-Hamdu dibaca berulang-ulang, maka ia tidak akan pernah

hilang. 184 Dengan kata lain, karena surah al-Hamdu adalah pasangan al-Quran, maka

tidak boleh disebut sebagai bagian dari al-Quran.

Alasan tidak disebutkannya dua surah Mu’awwidzatain adalah karena bahwa

ah
dia tidak mengakui dua surah tersebut sebagai bagian dari al-Quran. Dia menganggap

dua surah itu sebagai doa yang diwahyukan Allah kepada Nabi saw untuk menolak

i
Sy
sihir agar beliau membacanya demi keselamatan Hasanain as. Setiap kali Dia melihat

dua surah tersebut tertulis di dalam suatu mushaf, maka dia menghapusnya dan

berkata, “Janganlah kalian mencampur aduk selain al-Quran dengan al-Quran.” Dia
a

tidak pernah membaca dua surah tersebut dalam shalat. 185


k

3. Penulis kitab Al-Iqna’ menukil sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa di


a

dalam mushaf Ibnu Mas’ud, untuk surah al-Bara’ah tercantum


st

Bismillahirrahmanirrahim. Kemudian dia menulis, “Hal itu tidak boleh diakui.” 186
u

4. Mushaf ini banyak sekali ayat-ayat dan surah-surah al-Qurannya, berbeda


P

dengan kebanyakan, karena Ibnu Mas’ud berkeyakinan bahwa kata-kata al-Quran itu

bisa diganti dengan sinonimnya. Dia berkata, “Setiap kali ada suatu kata yang sulit

bagi kamu atau sulit bagi pembaca untuk memahaminya, maka kata yang sulit itu bisa

diganti dengan kalimat yang mudah, jelas dan memiliki makna yang sama. Dia

mengganti kata Zukhruf dengan kata Dzahab dan kata ‘Ihn dengan kata Shuf.
184
Ibnu Qutaibah, Ta’wil al-Musykil al-Quran, hal.48-49.
185
Ad-Durr al-Mantsur, jilid 6, hal.416-417; Fath al-Bari, jilid 8, hal.581.
186
Al-Itqan, jilid 1, hal.65.

143
Alasannya karena makna kedua kata tersebut tidak ada bedanya. Dalam pelajaran

yang dia sampaikan kepada seorang Ajam (bukan orang Arab) yang sulit

mengucapkan kata Atsim, maka sebagai gantinya dia memperbolehkannya untuk

berkata, “Inna Syajaratal Zaqqumi Tha’amul Fajir” sebagai ganti dari “Tha’amul

Atsim.” 187

5. Ibnu Mas’ud dalam mushafnya seringkali mengganti sebagian kata dengan

kata yang lain untuk menjelaskan maksud ayatnya, sebagai contoh Dan pencuri laki-

laki dan perempuan maka potonglah kedua tangannya (QS. al-Maidah) diganti

dengan “…maka potonglah kedua tangan kanan mereka.” Alasannya karena

ah
ketidakjelasan maksud ayat tersebut. Contoh lain ayat Dan tegakkanlah timbangan

dengan adil (QS. ar-Rahman:9) diganti dengan “Dan tegakkanlah timbangan dengan

i
Sy
lisan” alasannya adalah karena dia yakin bahwa menegakkan timbangan itu dengan

perantara mulut neraca. Contoh lain ayat, Inni Nadzartu Lirrahmani Shauman Falan

Ukallimal Yauma Insiyyan (QS. Maryam:26) diganti dengan “Inni Nadzartu


a

Lirrahmani Shamtan…” alasannya adalah karena dia bernazar puasa diam (tidak
k

berbicara kepada siapa pun). 188


a

6. Kadangkala dia menambah lafazh-lafazh dengan tujuan menjelaskan dan


st

menafsirkan kata dan frase dalam al-Quran. Penambahan-penambahan interpretatif


u

seperti ini banyak ditemui dalam perkataan orang-orang terdahulu dalam peristiwa
P

yang tidak menyebabkan kesalahan dalam nas al-Quran. Sebagai contoh dalam ayat

213, surah al-Baqarah, manusia itu adalah umat yang satu (maka mereka berselisih),

maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi

peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk

187
Yaqut Hamwi, Mu’jam al-Udaba’, jilid 4, hal.193; Tafsir al-Kabir, jilid 1, hal.213; Tafsir ath-
Thabari, jilid 15, hal.163 dan jilid 23, hal.96; Ta’wil al-Musykil al-Quran, hal.24.
188
Tafsir Thabarsi, jilid 8, hal.421; Al-Kasysyaf; jilid 1, hal.459; Abu Hamid Ghazali, Ihya’
Ulumuddin, jilid 2, hal.77; Syamsuddin Dzahabi, Tadzkirah al-Huffadz, jilid 1, hal.340; Al-Itqan, jilid
1, hal.47; Shahih Bukhari, jilid 6, hal.228.

144
memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan…

Penambahan {maka mereka berselisih} untuk menjelaskan bahwa pengutusan para

nabi itu setelah terjadinya perselisihan. 189 Menurut riwayat yang dinukil Suyuthi dari

Ibnu Mardawaih, Ibnu mas’ud berkata, “Pada zaman Rasulullah saw kami membaca

ayat 67, surah al-Maidah seperti ini, Hai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan

kepadamu dari Tuhanmu (bahwa Ali adalah maula orang-orang yang beriman). Dan

jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak

menyampaikan risalah-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.190

Kasus-kasus penambahan ayat-ayat seperti ini banyak sekali ditemui dalam

ah
mushaf Ibnu Mas’ud yang tujuannya menjelaskan pengertian ayat. Tentunya

penambahan-penambahan yang dilakukannya memunculkan banyak pertanyaan, di

i
Sy
antaranya adalah masalah tahrif (penyimpangan al-Quran). Namun kebanyakan

riwayat yang disandarkan kepada Ibnu Mas’ud tidak bisa dipastikan, bahkan besar

kemungkinan adanya politisasi pemalsuan dan perbedaan yang dialamatkan kepada


a

Ibnu Mas’ud, apalagi Ibnu Mas’ud tidak sejalan dengan para penguasa saat itu. Di sisi
k

lain, kasus penambahan-penambahan seperti ini lebih kepada penafsiran dan


a

keterangan, pada zaman itu biasa terjadi, para sahabat seringkali menulis penafsiran di
st

pinggir mushafnya dan menyebarkannya kepada sahabat-sahabat yang lain dengan


u

tujuan pengertian dan pesan ayat itu tetap terjaga di tengah-tengah masyarakat.191
P

Mushaf Ubay bin Ka’b

Ciri mushaf Ubay bin Ka’b adalah sebagai berikut:

1. Urutan surah-surah mushaf Ubay bin Ka’b kurang lebih sama dengan urutan

mushafnya Ibnu Mas’ud, bedanya adalah bahwa dia meletakkan surah al-Anfal
189
Al-Kasysyaf, jilid 1, hal.255.
190
Ad-Durr al-Mantsur, jilid 2, hal.298.
191
At-Tamhid, jilid 1, hal.320-322.

145
setelah surah Yunus, sebelum surah al-Bara’ah. Ada perbedaan dalam mendahulukan

dan mengakhirkan surah-surah. Perbedaan lain dengan mushaf Ibnu Mas’ud adalah

bahwa mushaf ini mencakup surah al-Hamdu dan Mu’awwidzatain.

2. Mushaf ini memiliki dua nama surah yang lebih banyak dari mushaf-mushaf

lainnya yaitu al-Khal’u dan al-Hafdu. Keduanya adalah doa qunut, karena

diperkirakan keduanya termasuk dari surah-surah al-Quran, maka dia dimasukkan ke

dalam al-Quran.

Doa Khal’u, “Bismillahirrahmanirrahim. Allahumma Inna Nasta’inu Bika wa

Nastaghfiruka Wa Nutsni Alaikal Khaira Wala Nakfuruka Wa Nakhla’u Wa Natruku

ah
Man Yafjuruka” (Bismillahirrahmanirrahim. Wahai Tuhanku, sesungguhnya hanya

kepada-Mu kami memohon pertolongan dan (hanya kepada-Mu) kami memohon

i
Sy
ampun, menghaturkan pujian baik, tidak mengkufuri-Mu dan berlepas diri dari orang

yang bermaksiat kepada-Mu).

Doa al-Hafdu, “Bismillahirrahmanirrahim. Allahumma Iyyaka Na’budu


a

Walaka Nushalli Wa nasjudu Wailaika Nas’a Wa Nahfidu, Nakhsya ‘Adzabaka Wa


k

Narju Rahmataka Inna ‘Adzabaka Bilkuffari Mulhaqun” (Bismillahirrahmanirrahim.


a

Wahai Tuhanku, hanya kepada-Mu kami menyembah dan (hanya) untuk-Mu kami
st

shalat dan bersujud, kepada-Mu kami bergegas, kami takut siksa-Mu dan berharap
u

kasih sayang-Mu. Sesungguhnya siksa-Mu (hanya) untuk orang-orang kafir). 192 P19F P
P

3. Di dalam mushaf ini, di antara dua surah, al-Fil dan al-Quraisy, tidak

tercantum Bismillahirrahmanirrahim dan dua surah ini, dianggap sebagai satu

surah.193 Dalam riwayat-riwayat Ahlulbait juga disebutkan bahwa siapa saja yang
P192F P

membaca surah al-Fil dalam shalat, maka dia juga harus membaca surah al-Quraisy,

192
Al-Itqan, jilid 1, hal.65.
193
Ibid., hal.64-65.

146
tetapi tetap membaca Bismillahirrahmanirrahim 194 di antara dua surah tersebut.

Dengan kata lain bahwa dua surah ini dihitung sebagai satu surah dari segi bacaannya,

tetapi dari segi pencantumannya dalam al-Quran ia dihitung dua surah. Riwayat ini

berlawanan dengan mushaf Ubay bin Ka’b. Oleh karena itu mushaf Ubay bin Ka’b

memiliki 116 surah.

4. Dalam mushaf ini permulaan surah az-Zumar diawali dengan “Hamim” dan

hasilnya adalah Hawamim-nya mushaf ini sebagai ganti dari tujuh surah, yaitu

delapan surah. 195

5. Mushaf ini berbeda dengan bacaan masyhur. Sebagian kata-katanya di

ah
rubah dengan sinonim. Contoh, ayat 52 surah Yasin, “Mereka berkata; “Celakalah

kami, siapakah yang membangkitkan (Ba’atsana) kami dari tempat tidur kami

i
Sy
(kubur)?” dirubah dengan bentuk “Siapakah yang membangunkan (Habbana) kami

dari tempat tidur kami?” 196 Dan ayat 20 surah al-Baqarah, setiap kali kilat itu

menyinari mereka, mereka berjalan (Masyau Fihi) di bawah sinar itu… dibaca dalam
a

bentuk seperti ini “Marru Fihi” atau “Sa’au Fihi.” 197 Sebagian kalimat disebutkan
k

sebagai bentuk penjelasan dan penafsiran. Dalam ayat 196 surah al-Baqarah
a

disebutkan Fashiyamu Tsalatsati Ayyamin (Mutatabi’atin) Fil Hajj… kalimat


st

tambahan itu untuk menjelaskan puasa selama tiga hari berturut-turut. 198 Contoh lain
u

seperti disebutkan dalam surah an-Nisa, surah 24, Maka istri-istri yang telah kamu
P

nikmati di antara mereka (sampai pada masa tertentu) maka berikanlah kepada

mereka maharnya sebagai suatu kewajiban, frase yang ditambahkan itu untuk

menunjukkan bahwa maksudnya adalah nikah mut’ah bukan nikah daim

194
Wasail asy-Syi’ah, jilid 4, Abwab al-Qira’ah fi ash-Shalat, bab 10.
195
Al-Itqan, jilid 1, hal.64.
196
Tafsir Thabarsi, jilid 8, hal.428.
197
Al-Itqan, jilid 1, hal.47.
198
Al-Kasysyaf, jilid 1, hal.242.

147
(permanen). 199 Contoh lain ayat 15, surah Thaha dibaca seperti ini, Sesungguhnya

hari kiamat itu akan datang. Aku merahasiakan waktunya [dari diriku maka

bagaimana mungkin aku menampakkannya kepada kalian] supaya tiap-tiap diri itu

dibalas dengan apa yang ia usahakan. 200

Sebagaimana yang telah dijelaskan tentang mushaf Ibnu Mas’ud, maka

anggapan bahwa keterangan-keterangan interpretatif dari mushaf-mushaf sahabat

menimbulkan penyimpangan dan penambahan kalimat-kalimat atau keraguan dalam

al-Quran yang ada saat ini tidak bisa dibenarkan. Tentu, pada gilirannya sistem ini

sudah ditinggalkan.

ah
Mushaf-mushaf yang Tidak Terkenal

i
Sy
Dari sebagian kitab-kitab Qira’at menyimpulkan bahwa perbedaan bacaan

para sahabat dikarenakan adanya perbedaan dalam mushaf-mushaf yang mereka

kumpulkan. Alasan ini dikemukakan karena periode kekhilafahan Usman dilakukan


a

penyatuan mushaf-mushaf dan menghilangkan perbedaan dalam bacaan. Ibnu Khatib


k

berkata, “Bacaan-bacaan berbeda yang dinukil dari para sahabat itu telah tercantum
a

dalam mushaf-mushaf mereka.” 201


st

Kami akan menunjukkan sebagian mushaf-mushaf yang tidak terkenal dengan


u

menyadur dari kitab Syawadz al-Qira’at;


P

Mushaf Bacaan Masyhur Comment [a3]: Sebaiknya dengan


mencantumkan dengan teks bahasa Arab.

1. Mushaf Aisyah

Peliharalah shalat(mu) dan (peliharalah) Peliharalah shalat(mu) dan (peliharalah)

shalat Ashar. (Shahifah:15) shalat wushta. (QS. al-Baqarah:238)

199
Tafsir ath-Thabari, jilid 5, hal.9.
200
Ibnu Khalwaih, Syawadz al-Qira’at, hal.87.
201
Al-Furqan fi Jam’i wa Tadwin al-Quran, hal.110.

148
Yang mereka sembah selain Allah itu Yang mereka sembah selain Allah itu,

tiada lain hanyalah Autsanan (berhala- tiada lain hanyalah Inatsan (berhala-

berhala). (Shahifah:29). berhala) (asal maknanya ialah wanita-

wanita)… (QS. an-Nisa:117)

Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu

sembah selain Allah, adalah kayu bakar sembah selain Allah, adalah umpan

(Hathab) jahanam. (Shahifah:94) (hashab) jahanam. (QS. al-Anbiya:98)

(ingatlah) diwaktu kamu menyiarkan (ingatlah) diwaktu kamu menerima berita

berita bohong itu… (Shahifah:100) bohong itu… (QS. an-Nur:15)

ah
Dan orang-orang yang mendatangi apa Dan orang-orang yang memberikan apa

yang telah mereka berikan dengan hati yang telah mereka berikan dengan hati

i
Sy
yang takut… (Shahifah:90) yang takut… (QS. al-Mu’minun:60)

Sesungguhnya Allah dan malaikat- Sesungguhnya Allah dan malaikat-

malaikat-Nya bershalawat (untuk Nabi). malaikat-Nya bershalawat (untuk Nabi).


a
k

Hai orang-orang yang beriman, Hai orang-orang yang beriman,

bershalawatlah kamu untuk Nabi dan bershalawatlah kamu untuk Nabi dan
a
st

ucapkanlah salam penghormatan ucapkanlah salam penghormatan

kepadanya dan kepada mereka yang kepadanya. (QS. al-Ahzab:56)


u

mencapai shaf-shaf terdepan. (al-Itqan,


P

jilid 3, hal.73)

2. Mushaf Mu’adz bin Jabal

Melainkan datangnya Allah dan malaikat …dan diputuskanlah perkara… (QS. al-

dalam naungan awan dan keputusan Baqarah:210)

perkara… (Shahifah:13)

Dan barangsiapa yang mencari Dan barangsiapa yang mengerjakan

149
(Yakissib) kesalahan… (Shahifah:28) (Yaksib) kesalahan… (QS. an-Nisa:112)

Sesungguhnya orang-orang yang Sesungguhnya orang-orang yang

mencari (Yakissib) dosa… (Shahifah:60) mengerjakan dosa… (QS. al-An’am:120)

Wa Billahi laakidanna (Demi Allah, aku Wa Tallahi Laakidanna (Demi Allah, aku

pasti akan melakukan tipu daya…) pasti akan melakukan tipu daya…) (QS.

(Shahifah:65) al-Anbiya:57)

Dan apabila mereka dilemparkan ke Dan apabila mereka dilemparkan ke

tempat yang sempit di neraka itu tempat yang sempit di neraka itu

Muqarranun… (Shahifah:104) Muqarranin (dengan dibelenggu)… (QS.

ah
al-Furqan:13)

3. Mushaf Abu Darda’

i
Sy
Seandainya mereka patuh kepada Kami, Seandainya mereka patuh kepada Kami,

tentulah mereka tak akan terbunuh (Ma tentunya mereka tak akan terbunuh

Quttilu)… (Shahifah:23) (Maqutilu)… (QS. Ali Imran:168)


a
k

Setelah wasiat yang ditulis atau sesudah Sesudah wasiat yang mereka buat atau

dibayar hutangnya… (Shahifah:25) sesudah dibayar hutangnya… (QS. an-


a
st

Nisa:12)

Amat sedikitlah kamu mengambil Amat sedikitlah kamu mengambil


u

pelajaran (daripadanya) (Qalilan Ma pelajaran (daripadanya) (Qalilan Ma


P

Tatadzakkarun)… (Shahifah:42) Tadzakkarun)… (QS. al-A’raf:3)

Di waktu pagi dan petang (Bilghuduwwi Di waktu pagi dan petang (Bilghuduwwi

Wal Aishal)… (Shahifah:48) Wal Âshâl)… (QS. al-A’raf:205)

Tidak patut bagi Nabi (Linnabi) Tidak patut bagi seorang Nabi

mempunyai tawanan… (Shahifah:50) (Linabiyyin) mempunyai tawanan… (QS.

al-Anfal:67)

150
…untuk mengeluarkan manusia dari Supaya kamu keluarkan manusia dari

kegelapan menuju cahaya… kegelapan menuju cahaya… (QS.

(Shahifah:68) Ibrahim:1)

Tidaklah patut bagi kami untuk dijadikan Tidaklah patut bagi kami mengambil

sebagai pelindung selain Engkau… selain Engkau sebagai pelindung… (QS.

(Shahifah:104) al-Furqan:18)

Anugerahkanlah kepada kami, istri-istri Anugerahkanlah kepada kami, istri-istri

kami dan keturunan kami sebagai para kami dan keturunan kami sebagai

penyenang hati… (Shahifah:118) penyenang hati… (QS. al-Furqan:75)

ah
Hati tak mendustakan apa yang telah Hati tak mendustakan apa yang telah

dilihatnya (Ma Kadzdzibal Fuadu Ma dilihatnya (Ma Kadzabal Fuadu Ma

i
Sy
Raâ)… (Shahifah:146) Raâ)… (QS. an-Najm:11)

Ka’ashfin Ma akul (Shahifah:180) Ka’ashfin Ma’kul (seperti daun-daun

yang dimakan [ulat]) (QS. al-Fil:5)


a
k

4. Mushaf Usman

Sesungguhnya Tuhanmu Al-Khaliq Al- Sesungguhnya Tuhanmu Al-Khallaq Al-


a
st

Alim. (Shahifah:71) Alim (Maha Pencipta lagi Maha

mengetahui) (QS. al-Hijr:86)


u

Dan disediakan (Wa Yuhaya’ lakum) Dan menyediakan (wa Yuhayyi’) sesuatu
P

sesuatu yang berguna bagimu dalam yang berguna bagimu dalam urusan

urusan kamu. (Shahifah:78) kamu. (QS. al-Kahfi:16)

Liyalla Ya’lam Ahlum Kitab (supaya Lialla Ya’lam Ahlul Kitab (supaya Ahlul

Ahlul Kitab tidak mengetahui) Kitab tidak mengetahui) (QS. al-

(Shahifah:153) Hadid:29)

Dan jika (orang berhutang itu) Dza Dan jika (orang berhutang itu) Dzu

151
‘Usratin (memiliki kesusahan), maka ‘Usratin (dalam kesukaran), maka

berilah ia tenggang waktu yang lapang. berilah ia tenggang waktu yang lapang.

(Shahifah:17) (QS. al-Baqarah:280)

Dan sesungguhnya ringan bagiku Dan sesungguhnya aku khawatir

mawali(ku) sepeninggalku (Shahifah:83) terhadap mawaliku sepeninggalku…

(QS. Maryam:5)

5. Mushaf Anas bin Malik

Yang memiliki (Malika) hari pembalasan. Yang Menguasai hari pembalasan. (QS.

(Shahifah:1) al-Hamdu:4)

ah
Maka tidak ada dosa baginya jikalau Maka tidak ada dosa baginya

tidak mengerjakan sa’i antara keduanya. mengerjakan sa’i antara keduanya. (QS.

i
Sy
(Shahifah:11) al-Baqarah:158)

Walmuqimunas Shalat (Shahifah:11) Walmuqiminas Shalat (dan orang-orang

yang mendirikan shalat) (QS. an-


a
k

Nisa:162)

Sampai mereka bersuci (dari haidh) Sampai mereka bersih (dari haidh) maka
a
st

maka apabila mereka sudah bersuci apabila mereka sudah bersih (QS. al-

(Shahifah:14) Baqarah:222)
u

Kasyajaratin Thayyibatin Tsabitun Kasyajaratin Thayyibatin Ashluha


P

ashluha (Seperti pohon yang baik yang Tsabitun (Seperti pohon yang baik,

teguh akarnya). (Shahifah:68) akarnya teguh). (QS. Ibrahim:24)

Sesungguhnya aku telah bernazar puasa Sesungguhnya aku telah bernazar puasa

dan diam untuk Tuhan Yang Maha untuk Tuhan Yang Maha Pemurah. (QS.

Pemurah. (Shahifah:84) Maryam:26)

152
Bukhari menyebutkan bahwa seseorang dari Irak menginginkan mushaf

Aisyah untuk mengambil suatu naskah darinya. Dari sini jelas bahwa Aisyah sama

seperti yang lain juga memiliki kumpulan mushaf milik pribadi. 202

Menyatukan Mushaf-mushaf

Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa periode setelah wafatnya

Rasulullah saw adalah periode pengumpulan al-Quran. Para sahabat besar mulai

mengumpulkan ayat-ayat dan merapikan surah-surah al-Quran sesuai dengan

pengetahuan dan kemampuannya. Masing-masing dari mereka memiliki mushaf

ah
khusus. Sebagian sahabat yang tidak memiliki kemampuan untuk membuat mushaf

meminta bantuan agar membuatkan sebuah naskah mushaf, atau meminta agar mereka Comment [A4]: dibuatkan

i
Sy
mengumpulkan ayat-ayat dan surah-surah al-Quran ke dalam sebuah mushaf untuk

dimilikinya.

Luasnya ruang lingkup pemerintahan Islam juga menjadi sebab jumlah


a

mushaf-mushaf semakin bertambah. Dengan bertambahnya jumlah kaum Muslim,


k

maka kebutuhan terhadap naskah-naskah al-Quran pun semakin banyak, karena kitab
a

ini adalah satu-satunya undang-undang samawi yang menjadi landasan kaum Muslim
st

menata segala segi kehidupannya. Kitab ini adalah sumber hukum, peletakan undang-
u

undang dan aturan-aturan bagi kaum Muslim.


P

Masing-masing dari mushaf-mushaf tersebut mendapatkan penghormatan

yang tinggi di dunia Islam pada saat itu, sesuai dengan daerah domisili masing-masing

masyarakat. Sebagai contoh Mushaf Abdullah bin Mas’ud, seorang sahabat terhormat,

mushafnya menjadi rujukan penduduk Kufah.203 Contoh lain adalah mushaf Ubay bin

202
Shahih Bukhari, jilid 6, hal.228; Fath al-Bari, jilid 9, hal.36.
203
Saat itu Kufah adalah pusat ilmu, kajian dan pembelajaran seputar pengetahuan-pengetahuan Islam
dalam jenjang yang tinggi.

153
Ka’b yang sangat dijunjung tinggi oleh penduduk Madinah. Atau, mushaf Abu Musa

Asy’ari di Bashrah dan mushaf Miqdad bin Aswad di Damaskus.

Perbedaan Mushaf-mushaf

Pemilik mushaf-mushaf jumlahnya banyak. Satu sama lain tidak memiliki

hubungan, bahkan kemampuan melakukan pekerjaan ini juga berbeda. Karenanya

sistem, susunan, bacaan dan sebagainya, satu dengan lainnya tidak sama.

Perbedaan dalam mushaf-mushaf dan bacaan-bacaan, seringkali menimbulkan

perselisihan di antara masyarakat. Betapa banyak kaum Muslim yang tinggal di

ah
tempat yang berjauhan setelah peperangan atau peristiwa yang lain. Seringkali terjadi

bentrok antar mereka sendiri hanya karena fanatisme mazhab, akidah dan

i
Sy
pendapatnya sendiri. Satu sama lain saling menyalahkan. Inilah yang menyulut

sengketa dan jidal di antara mereka. Comment [A5]: perlu dikasih keterangan?
(perdebatan)

Contoh-contoh dari perselisihan masyarakat berkenaan dengan masalah


a

mushaf-mushaf dan fanatisme mereka terhadap bacaan-bacaan para pemilik mushaf-


k

mushaf ini adalah sebagai berikut;


a

1. Setelah peperangan di Armenia, Hudzaifah bin Said bin Ash berkata,


st

“Dalam perjalanan aku menemukan suatu permasalahan, seandainya diabaikan akan


u

menyebabkan perselisihan masyarakat tentang al-Quran, selamanya hal itu tidak akan
P

bisa diselesaikan.” Said bertanya, “Apa masalahnya?” Dia menjawab, “Aku melihat

sekelompok orang dari Hamsh yang menganggap bacaan mereka lebih baik dari

bacaan-bacaan yang lain dan mereka mengambil al-Quran itu dari Miqdad. Aku

melihat orang-orang Damaskus mengatakan kalau bacaan mereka lebih baik dari

bacaan-bacaan yang lain. Aku melihat penduduk Kufah yang menerima bacaannya

Ibnu Mas’ud dan mereka juga memiliki keyakinan yang sama. Begitu pula dengan

154
penduduk Bashrah yang membaca al-Quran menurut bacaan Abu Musa Asy’ari dan

mereka menamakan mushafnya Lubab al-Qulub.”

Hudzaifah dan Said tiba di Kufah. Di sanalah Hudzaifah menyampaikan

kepada masyarakat dan mengingatkan mereka tentang masalah tersebut. Banyak

sahabat Nabi saw dan kalangan tabi’in yang sepakat dengannya.

Seorang sahabat Ibnu Mas’ud melakukan kritik. Dia berkata, “Adakah yang

kamu permasalahkan dari kami? Mengapa kamu mempermasalahkan kami membaca

al-Quran sesuai bacaan Ibnu Mas’ud?”

Hudzaifah dan orang-orang yang sependapat dengannya naik pitam. Dia

ah
berkata kepada mereka, “Diamlah kalian, sungguh kalian telah salah jalan!”

Ada yang berkata, “Demi Allah! Kalau dia masih hidup, akan aku sampaikan

i
Sy
masalah ini kepada khalifah kaum Muslim (Usman) demi mencari jalan keluar.”

Ketika berjumpa dengan Ibnu Mas’ud, Hudzaifah menyampaikan masalah

tersebut kepadanya. Tetapi Ibnu Mas’ud menjawabnya dengan kasar.


a

Said marah dan meninggalkan mereka. Orang-orang pun bubar. Hudzaifah


k

pergi untuk menemui khalifah. 204


a

2. Yazid Nakha’i berkata, “Pada masa kepemimpinan Walid bin Uqbah, wali
st

kota Kufah adalah dari pihak Usman. Aku pergi ke Kufah. Di sana ada sekelompok
u

orang sedang berkumpul. Di antara mereka ada Hudzaifah bin Yaman.


P

Pada zaman itu tidak terbiasa ada rapat di masjid. Tiba-tiba seseorang

berteriak, ‘Mereka yang bacaannya mengikuti Abu Musa Asy’ari hendaknya

berkumpul di dekat pintu Kindah. Mereka yang mengikuti bacaannya Ibnu Mas’ud ke

dekat pintu Abdullah.’ Dua kelompok itu berselisih tentang suatu ayat dari surah al-

204
Al-Kamil fi at-Tarikh, jilid 3, hal.111.

155
Baqarah, satu kelompok berkata, ‘Wa Atimmul Hajja Wal Umrata Lil-Bait.’

Sekelompok lain berkata, ‘Wa Atimmul Hajja Wal Umrata Lillah.’

Hudzaifah marah dan berkata, ‘Perselisihan yang sama juga pernah terjadi

sebelum kalian.’ Kemudian dia menuturkan perjumpaannya dengan Usman.

Dalam riwayat Ibnu Sya’tsa’ disebutkan bahwa Hudzaifah berkata, ‘Bacaan

Ibnu Ummi Abd, bacaan Abu Musa al-Asy’ari, demi Allah! Seandainya aku masih

hidup (setelah peperangan) dan bisa berjumpa dengan khalifah kaum muslimin

(Usman), niscaya aku akan minta kepadanya untuk menyusun satu bacaan.’

Abdullah berkata, ‘Ini adalah pembicaraan berat.’ Hudzaifah diam tak

ah
menjawab.

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Hudzaifah berkata tentang penduduk

i
Sy
Kufah yang menggunakan bacaan Abdullah dan penduduk Bashrah yang

menggunakan bacaan Abu Musa. Demi Allah! Dia berkata, “Seandainya aku

berjumpa dengan Usman, niscaya aku akan memaksa beliau untuk


a

menenggelamkannya ke dalam satu mushhaf.”


k

Abdullah menjawab, “Demi Allah, seandainya kamu lakukan hal itu, niscaya
a

Allah akan menenggelamkanmu ke suatu tempat selain air (neraka jahanam).” 205
st

Ibnu Hajar berkata, “Ibnu Mas’ud berkata kepada Hudzaifah, ‘Aku mendapat
u

kabar bahwa kamu tidak suka kepada mereka sekaitan dengan bacaan (al-Quran)
P

sehingga mereka harus berselisih seperti Ahlul Kitab.’” 206

3. Ibnu Asytah meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa pada zaman

kekhalifahan Usman, di Kufah masyarakat berselisih tentang al-Quran. Ada yang

mengajarkan al-Quran sesuai bacaan salah seorang pemilik mushhaf. Ada juga yang

205
Mashahif Sajistani; hal. 11-14.
206
Fathul Bari; jilid 9, hal. 15.

156
mengajarkan bacaan lain. Perbedaan ini menimbulkan perselisihan di kalangan

pemuda.

Perbedaan-perbedaan bacaan disampaikan kepada para pengajar dan masing-

masing pengajar itu saling menyalahkan.

Berita ini sampai ke Usman bin Affan dan dia berkata, “Dengan hadirnya saya

kalian masih mendustakan al-Quran dengan membacanya secara salah. Siapa saja

yang berusaha menjauh dari saya, niscaya akan terjerumus kepada dusta dan

kesalahan yang lebih fatal.” 207

4. Muhammad bin Sirin menjelaskan bahwa sebagian orang yang membaca al-

ah
Quran dianggap bacaan mereka salah oleh sebagian yang lain. Berita ini sampai

kepada Usman. Berita ini dianggap penting oleh Usman, karenanya dia langsung

i
Sy
mengumpulkan dua belas orang dari kalangan Quraisy dan Anshar. 208

5. Diriwayatkan dari Bakir al-Asyji bahwa di Irak, satu dengan lain kelompok

saling meragukan bacaan ayat. Ketika satu kelompok membacakan suatu ayat,
a

kelompok yang lain menyalahkan bacaan tersebut dan tidak menerima bacaan
k

tersebut. Masalah ini adalah masyarakat pada waktu itu, hingga akhirnya mereka
a

melakukan bermusyawarah dengan khalifah Usman.” 209


st

Seandainya perbedaan bacaan al-Quran yang mengakibatkan perselisihan tidak


u

diupayakan penyelesaiannya oleh orang-orang yang tanggap seperti Hudzaifah bin


P

Yaman (semoga Allah melimpahkan ampunan kepadanya), niscaya perbedaan itu

akan menjurus kepada fitnah yang brakibat buruk.

207
Al-Itqan; jilid 1, hal. 59. Mashahif Sajistani; hal. 21.
208
Thabaqat Ibn Sa’d; jilid 3, hal. 62. Mashahif Sajistani; hal. 25.
209
Fathul Bari; jilid 9, hal. 16.

157
Masuknya Hudzaifah ke Madinah

Sekembalinya peperangan Armenia, Hudzaifah melhat perselisihan terjadi

pada penduduk setempat. Perselisihan itu seputar tema al-Quran. Dia menganggap

peristiwa ini adalah buruk. Kemudian dia bermusyawarah dengan beberapa sahabat

Nabi saw yang sebelumnya berada di Kufah. Tujuannya adalah menyelesaikan

masalah tersebut, sebelum masalah itu merebak ke tempat-tempat lain.

Hudzaifah berpendapat bahwa Usman hendaknya menyatukan semua mushhaf

dan memaksa mereka untuk membacanya dengan satu bacaan. Pendapatnya ini

disetujui oleh semua sahabat, 210 kecuali Abdullah bin Mas’ud.

ah
Kemudian Hudzaifah bergegas menuju Madinah untuk menyadarkan Usman

demi menyelamatkan umat Muhammad sebelum mereka bercerai-berai.

i
Sy
Hudzaifah berkata kepada Usman, “Hai khalifah! Tanpa basa-basi aku

mengingatkanmu, selamatkanlah umat ini sebelum mereka berselisih sebagaimana

yang dialami oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.”


a

Usman bertanya, “Apa masalahnya?”


k

Hudzaifah menjelaskan, “Aku ikut perang di Armenia. Aku temui penduduk


a

Syam membaca al-Quran menurut bacan Ubai bin Ka’ab yang mengandung beberapa
st

hal yang tidak pernah didengar oleh penduduk Irak. Penduduk Irak mengikuti bacaan
u

Ibnu Mas’ud yang mengandung beberapa hal yang belum pernah diketahui oleh
P

penduduk Syam. Masing-masing kelompok mengkafirkan kelompok yang lain.” 211

Musyawarah Usman dengan sahabat-sahabat

Peristiwa tersebut di atas akan berakibat buruk. Usman terpaksa

menyelesaikannya dengan serius. Pekerjaan ini adalah pekerjaan besar dan baru,
210
Al-Kamil fi al-Tarikh; jilid 3, hal. 111.
211
Shahih Bukhari; jilid 6, hal. 225. Mashahif Sajistani; hal. 19-20. Al-Kamil fi al-Tarikh; jilid 3, hal.
111.

158
belum pernah dikerjakan oleh orang-orang sebelumnya. Banyak kendala untuk

melakukan pekerjaan ini, karena naskah dari mushhaf-mushhaf yang ada ditulis

orang-orang ternama dari kalangan sahabat yang tersebar di segala penjuru.

Pada saat itu, sulit mengesampingkan orang-orang terpandang seperti mereka.

Apalagi mereka mempertahankan mushhaf mereka masing-masing. Hal ini

merupakan kendala besar untuk menyatukan mushhaf.

Dengan alasan inilah Usman mengumpulkan sejumlah sahabat Nabi yang ada

di Madinah untuk bermusyawarah menyatukan mushhaf. Akhirnya, muncul

kesepakatan untuk segera melakukan pekerjaan tersebut, apapun resikonya.

ah
Ibnu Atsir berkata, “Usman mengumpulkan shabat-sahabat Nabi saw dan

menyampaikan masalah yang ada. Semuanya mendukung pendapat Hudzaifah.” 212

i
Sy
Komite Penyeragaman Mushhaf

Usman bergerak cepat menyatukan mushhaf-mushhaf. Langkah pertamanya


a

adalah menulis pesan umum kepada sahabat-sahabat Nabi saw . Dia mengundang
k

mereka untuk membantu melakukan pekerjaan ini. 213 Kemudian dia memilih empat
a

orang terdekat untuk melakukan pekerjaan ini, mereka adalah Zaid bin Tsabit dari
st

Anshar, Said bin Ash, Abdullah bin Zubair, Abdurahman bin Harits bin Hisyam. Tiga
u

nama terkhir itu semuanya dari Quraisy. Empat orang tersebut adalah tim inti komite
P

penyatuan mushhaf-mushhaf yang diketua oleh Zaid.214

Dipilihnya Zaid sebagai ketua, menuai protes dan penentangan Ibnu Mas’ud.

Ibnu Mas’ud berkata, “Aku disingkirkan dari pekerjaan ini, sementara pekerjaan ini

212
Al-Kamil fi al-Tarikh; jilid 3, hal. 111.
213
Al-Itqan; jilid 1, hal. 59. Mashahif Sajistani; hal. 21.
214
Shahih Bukhari; jilid 6, hal. 226.

159
diserahkan kepada seseorang (Zaid) yang demi Allah, ketika dia masih berada dalam

tulang sulbi orang kafir, aku sudah memeluk Islam.” 215

Karena penentangan tersebut, maka dia sendiri menerima tanggung jawab

empat orang itu, 216 namun mereka kesulitan melakukan pekerjaan. Akhirnya mereka

meminta bantuan Ubai bin Ka’ab, Malik bin Abi Amir, Katsir bin Aflah, Anas bin

Malik, Abdullah bin Abbas, Mush’ab bin Sa’ad 217 dan Abdullah bin Fathîmah.218

Menurut riwayat Ibnu Sirin dan Ibnu Sa’d, mereka juga meminta bantuan lima orang

lainnya. Akhirnya, orang yang dimintai bantuan itu berjumlah 12 orang. 219

Kemudian komite itu diketuai Ubai bin Ka’ab. Dia bertugas mendikte ayat-

ah
ayat al-Quran dan yang lain mencatatnya. Menurut riwayat Abul Aliyah, mereka

mengumpulkan al-Quran dari mushhafnya Ubai bin Ka’ab. 220

i
Sy
Ibnu Hajar berkata, “Sepertinya pekerjaan itu, pertama-tama dipasrahkan

kepada Zaid dan Said. Alasannya adalah Usman pernah bertanya tentang siapa yang

paling bagus tulisannya menulis. Mereka mengatakan bahwa Zaid yang paling bagus
a

tulisannya. Kemudian Usman juga bertanya tentang siapa yang paling fasih. Mereka
k

menjawab bahwa Said yang paling fasih. Kemudian Usman memutuskan bahwa Said
a

yang mendikte dan Zaid yang menulis. 221 Mereka berdua membutuhkan orang-orang
st

yang bisa menulis mushhaf-mushhaf yang kemudian harus disebar ke berbagai


u

tempat. Akhirnya mereka meminta bantuan orang-orang tersebut untuk mendikte


P

mereka melalui Ubai bin Ka’ab.” 222

215
Fathul Bari; jilid 9, hal. 17. Mashahif Sajistani; hal. 15.
216
Mashahif Sajistani; hal. 25.
217
Irsyadul Sari; jilid 7, hal. 449.
218
Mashahif Sajistani; hal. 33.
219
Ibid. Thabaqat Ibn Sa’d; jilid 3, bagian dua, hal. 62.
220
Mashahif Sajistani; hal. 30.
221
Fathul Bari; jilid 9, hal. 16.
222
Fathul Bari; jilid 9, hal. 16. Thabaqat Ibn Sa’d; jilid 3, bagian 2, hal. 62. Ibnu Hajar Asqalani;
Tahdzib al-Tahdzib fi Asma’ al-Rijal; jilid 1, hal. 187.

160
Sikap Sahabat atas Penyeragaman Mushhaf

Sebagaimana dijelaskan, Hudzaifah bin Yaman adalah orang pertama yang

beraksi tentang penyeragaman mushhaf-mushhaf. Bahkan dia bersumpah akan

mengadu kepada khalifah agar memberlakukan satu bacaan saja.223 Dia juga yang

bermusyawarah dengan para sahabat Nabi saw di Kufah tentang masalah ini dan

semua sahabat itu menyetujui usulannya, kecuali Ibnu Mas’ud.

Usman mengundang para sahabat Nabi saw yang berada di Madinah untuk

bermusyawarah tentang penyeragaman bacaan al-Quran. Mereka semua setuju dengan

usulan Usman itu.

ah
Demikian juga dengan Ali bin Abu Thalib, pada dasarnya beliau setuju

terhadap niat itu.

i
Sy
Ibnu Abi Daud meriwayatkan dari Suwaid bin Ghaflah bahwa Ali bin Abu

Thalib berkata, “Demi Allah, Usman sedikit pun tidak berbuat sesuatu tentang

mushhaf-mushhaf (al-Quran) melainkan bermusyawarah dengan kami. Dia


a

bermusyawarah dengan kami dalam hal bacaan-bacaan. Dia berkata kepadaku, ‘Aku
k

diberitahu bahwa sebagian orang mengatakan kalau bacaan saya lebih baik dari
a

bacaanmu. Berita ini adalah sesuatu yang mendekati kekufuran.’ Aku bertanya
st

kepadanya, ‘Apa pendapatmu?’ Dia menjawab, ‘Aku berpendapat bahwa masyarakat


u

hendaknya hanya memiliki satu mushhaf agar tidak terjadi perselisihan.’ Aku berkata,
P

‘Pendapat yang bagus.’” 224

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Ali bin Abu Thalib berkata,

“Seandainya urusan (penyatuan mushhaf-mushhaf itu) dipasrahkan kepadaku, niscaya

aku akan lakukan apa yang dilakukan Usman.” 225

223
Fathul Bari; jilid 9, hal. 15.
224
Al-Itqan; jilid 1, hal. 59.
225
Ibnul Jazri; Al-Nasyru fi al-Qira’at al-‘Asyr; jilid 1, hal. 8.

161
Setelah Ali bin Abu Thalib menjabat sebagai khalifah, dia memotifasi orang-

orang untuk mengamalkan mushhaf Usman dan tidak merubahnya, meskipun di

dalamnya terdapat kesalahan-kesalahan tulis. Hal ini dilakukan oleh Ali dengan tujuan

bahwa sejak saat itu sampai seterusnya tidak boleh ada seorang pun yang boleh

merubah atau menyimpangkan al-Quran, dengan alasan memperbaiki al-Quran. Oleh

karena itu beliau menekankan bahwa mulai hari ini tidak ada seorangpun yang boleh

menyentuh al-Quran.

Diriwayatkan bahwa ketika ada seseorang di depan Ali bin Abu Thalib

membaca, “Wa Thalhin Mandhud” (dan pohon pisang yang bersusun-susun

ah
[buahnya]) (Al-Waqi’ah : 29). Beliau berkata, “Mengapa (dibaca) ‘Thalhin’? yang

benar adalah ‘Thal’in’, sebagaimana yang disebutkan di tempat lain, Dan pohon-

i
Sy
pohon kurma yang mayangnya lembut [Thal’uha Hadhim].” (Al-Syu’ara : 148).

Ungkapan itu bukan bentuk protes beliau kepada pembaca itu. Pembaca itu

bukan berniat merubah kata. Ali bin Abu Thalib berkata kepada dirinya sendiri,
a

namun orang-orang yang mendengarnya bertanya, “Apakah Anda tidak akan


k

merubahnya?” Ali berkata, “Mulai saat ini tak boleh ada perubahan sedikitpun dalam
a

al-Quran.” 226
st
u

Sikap Para Imam Ahlulbayt


P

Ada seseorang membaca al-Quran di depan Imam Ja’far Shadiq. Bacaannya

berbeda dengan apa yang dibaca oleh kebanyakan orang. Imam Ja’far Shadiq berkata

kepadanya, “Mulai saat ini, jangan mngujarkan kata ini seperti itu. Bacalah

sebagaimana yang dibaca oleh banyak orang.”

226
Tafsir ath-Thabari; jilid 27, hal. 104. Tafsir Thabarsi; jilid 9, hal. 218.

162
Imam Ja’far menjawab seseorang yang bertanya tentang bentuk bacaan al-

Quran, beliau berkata, “Bacalah sebagaimana yang dibaca oleh orang-orang.” 227

Oleh karena itu Syi’ah bersepakat bahwa al-Quran yang sekarang berada di

tangan kita adalah sempurna 228 dan tidak akan pernah bisa diselewengkan atau

diubah, bacaannya adalah bacaan benar yang di sahkan dalam shalat. Pendapat ini

bersandar kepada nas yang ada. Hanya itulah satu-satunya yang telah diwahyukan

kepada Nabi saw .

Pertentangan Abdullah bin Mas’ud sangat mendasar. Dia tidak suka dan marah

karena orang-orang yang dipilih pada waktu itu dianggap tidak memiliki kelayakan

ah
melakukan pekerjaan yang benar-benar dikuasai oleh Ibnu Mas’ud. Dia berkata,

“Mereka adalah orang-orang yang tidak berhak dengan seenaknya melakukan sesuatu

i
Sy
terhadap al-Quran.” 229 Inilah alasan dia tidak menyerahkan mushhafnya kepada

khalifah.
a

Dimulainya Penyatuan Mushhaf


k

Ibnu Hajar berkata, “Permulaan penyatuan mushhaf terjadi pada tahun dua
a

puluh lima Hijriah, tahun kedua atau ketiga kekhilafahan Usman.” 230 Dia juga
st

menyatakan sebagian orang mengira pekerjaan ini dimulai sekitar tahun ketiga
u

Hijriah. Tidak satu pun riwayat dan sanad yang mereka sebutkan untuk membuktikan
P

pendapat mereka.231

227
Wasail al-Syi’ah; jilid 4, Abwabu Qira’atil Quran.
228
Biharul Anwar; jilid 92, hal. 41-42.
229
Thabaqat Ibn Sa’d; jilid 3, hal. 270.
230
Pendapat ini didasarkan kepada pendapat orang-orang yang berbaiat kepada Usman pada sepuluh
hari terakhir, bulan Dzilhijjah tahun 23 Hijriah. Dengan demikian pembentukan komite itu terjadi pada
awal tahun ketiga kekhilafahan Usman. Pendapat lain mengatakan bahwa pembaiatan Usman terjadi
pada sepuluh hari pertama bulan Muharram, tahun 24 Hijriah. Dengan demikian pembentukan komite
itu terjadi pada akhir-akhir tahun kedua dari masa kekhilafahan Usman. Tarikh ath-Thabari; jilid 3, hal.
304 dan jilid 4, hal. 242).
231
Fathul Bari; jilid 9, hal. 15.

163
Ibnu Atsir juga berpendapat tanpa didasari riwayat bahwa peristiwa ini terjadi

pada tahun ketiga puluh. Ibnu Atsir berkata, “Pada tahun ini, Hudzaifah pergi ke

medan laga dengan dibantu oleh Abdur Rahman bin Rabi’ah. Di sanalah dia

mengetahui perselisihan orang-orang tentang al-Quran. Setelah pulang dari

peperangan, dia meminta kepada Usman untuk memikirkan jalan kelur dari masalah

ini dan Usman pun melakukannya.” 232

Boleh jadi pendapat Ibnu Atsir salah. Ada beberapa alasan untuk menentukan

tahun penyeragaman ini;

1. Menurut riwayat Abu Mikhnaf, perang Armenia terjadi pada tahun 24

ah
Hijriah. Thabari juga menukil riwayat ini. 233 Ibnu Hajar berkata, “Armenia di

taklukkan pada masa kekhilafahan Usman. Panglima perang pada saat itu adalah

i
Sy
Salman bin Rabi’ah al-Bahili dari Irak. Usman memerintahkan agar penduduk Syam

dan Irak turut serta dalam perang ini. Panglima dari Syam adalah Habib bin

Salamahal-Fihri sedangkan Hudzaifah sendiri adalah salah satu dari mereka yang ikut
a

serta dalam pertempuran ini. Sampai-sampai para sejarawan meriwayatkan bahwa


k

Armenia ditaklukkan pada tahun dua puluh lima, pada awal-awal masa jabatan Walid
a

bin Uqbah bin Abi Mu’ith sebagai wali kota Kufah yang dilantik oleh Usman bin
st

Affan.” 234
u

2. Peperangan Abdur Rahman bin Rabi’ah terjadi pada tahun 22 Hijriah.


P

Orang yang ketika itu bersamanya adalah Hudzaifah bin Usaid al-Ghiffari bukan

Hudzaifah bin Yaman. 235

3. Pada tahun 30 Hijriah, Said dilantik sebagai wali kota Kufah menggantikan

posisi Walid. Pada saat itu dia melakukan persiapan untuk peperangan Thabar. Orang-

232
Al-Kamil fi al-Tarikh; jilid 3, hal. 111. Al-Futuhat Al-Islamiah; jilid 1, hal. 175.
233
Tarikh ath-Thabari; jilid 4, hal. 246-247.
234
Fathul Bari; jilid 9, hal. 13-14.
235
Tarikh ath-Thabari; jilid 4, hal. 155.

164
orang yang ikut bersamanya adalah Ibnu Zubair, Ibnu Abbas dan Hudzaifah.236 Pada

tahun 34 Hijriah, Said kembali ke Madinah. Setahun setelah itu, Usman tewas

terbunuh. 237 Oleh karena itu, mengingat bahwa Said adalah salah seorang anggota

komite penyatuan mushhaf, apabila pekerjaan komite itu dimulai pada tahun 30

Hijriah, maka hal itu tidak sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang telah disebutkan,

juga tidak sesuai dengan keanggotaan Ibnu Zubair dan Ibnu Abbas dalam komite itu.

4. Dzahabi meriwayatkan bahwa Ubai bin Ka’ab meninggal dunia pada tahun

ketiga. Dia menyebutkan bahwa Waqidi berkata, “Persoalan ini memunculkan

kesepakatan bahwa Ubai bin Ka’ab mendiktekan al-Quran kepada para anggota

ah
komite. Dia adalah rujukan inti komite itu untuk menangani naskah-naskah yang

ada.” 238

i
Sy
5. Hadis Yazid al-Nakha’i yang sudah di sebutkan sebelumnya menjelaskan

bahwa hal ini terjadi sebelum tahun ketiga. Ibnu Hajar juga menyebutkan bahwa

peristiwa ini terjadi pada awal kekuasaan Walid di kota Kufah, 239 yaitu pada tahun 26
a

Hijriah, menurut riwayat Saif pada tahun 25 Hijriah.240


k

6. Dalil paling kuat yang menunjukan bahwa sejarah dimulainya penyatuan


a

mushhaf-mushhaf itu pada tahun 25 Hijriah adalah riwayat Ibnu Abi Daud dari
st

Mush’ab bin Sa’ad yang berkata, “Pada saat Usman mulai mengumpulkan al-Quran,
u

dalam suatu khutbahnya ia berkata, ‘Sudah lima belas tahun Nabi kalian meninggal
P

dunia, sementara saat ini kalian masih saja berselisih tentang al-Quran, saya telah

memutuskan bahwa siapa saja yang pernah mendengar suatu bagian al-Quran dari

236
Ibid; jilid 4, hal. 269-271.
237
Ibid; jilid 4, hal. 330-365.
238
Al-Dzahabi; Mizanul I’tidal; jilid 2, hal. 84. Thabaqat Ibn Sa’d; jilid 3, bagian 2, hal. 62.
239
Fathul Bari; jilid 9, hal. 13-14.
240
Tarikh ath-Thabari; jilid 4, hal. 251.

165
Rasulullah saw, hendaknya menukilkannya untuk saya dan menyerahkannya kepada

saya.” 241

Mengingat bahwa Rasulullah saw wafat pada tahun 10 Hijriah dan khutbah

Usman tersebut, berarti indikasi dimulainya penyatuan mushhaf-mushhaf adalah

tahun dua puluh lima Hijriah.

Hanya Ibnu Atsir yang menyebutkan usulan penyatuan mushhaf oleh

Hudzaifah terjadi pada tahun 30 Hijriah. Riwayat yang dijadikan rujukan olehnya

tidak bisa dibuktikan validitasnya.

Menukil sejarah suatu peristiwa hendaknya didasarkan kepada kajian dan

ah
penelitian. Thabari tidak begitu yakin kepada sejarah-sejarah yang telah disebutkan

sebelumnya. Dia meragukan beberapa riwayat, seperti perang Nahrawan yang sejarah

i
Sy
kejadiannya tidak diriwayatkan secara valid bahwa perang tersebut termasuk salah

satu peristiwa yang terjadi pada tahun 18 Hijriah atau tahun 21 Hijriah. 242

Karenanya untuk mengetahui otentisitas sejarah sebuah peristiwa secara


a

mendetail, tidak bisa hanya bersandar kepada apa yang telah di nukil oleh para
k

sejarawan. Lebih dari itu, untuk menyematkan keyakinan bahwa suatu peristiwa
a

adalah benar-benar terjadi harus mengkaji dan meneliti dari segala sisi.
st
u

Tahapan Penyatuan Mushaf


P

Dalam menjalankan tugasnya, komite penyatuan mushhaf melakukan tiga

tahapan kerja;

1. Mengumpulkan sumber-sumber serta referensi-referensi shahih sebagai

naskah awal satu mushhaf dan menyebarkannya di kalangan kaum muslimin.

241
Mashshif Sajistani; hal. 24.
242
Tarikh ath-Thabari; jilid 4, hal. 114.

166
2. Mencocokkan antara mushhaf satu dengan lainnya. Tujuannya adalah

memperoleh keyakinan tentang kebenarannya dan tidak ada perbedaan antara masing-

masing mushhaf tersebut.

3. Mengumpulkan mushhaf-mushhaf atau lembaran-lembaran sebagai catatan

al-Quran dari semua negara-negara Islam, kemudian menghapus dan

menyirnakannya.

4. Mengharuskan semua kaum muslimin untuk membaca mushhaf yang sudah

dikumpulkan dan melarang mereka berpedoman kepada mushhaf-mushhaf dan

bacaan-bacaan lain.

ah
Dalam menjalankan rencana tersebut, komite penyatuan mushhaf-mushhaf

tidak begitu teliti, mereka toleran dalam menjalankan tugas-tugasnya, khususnya pada

i
Sy
tahap kedua (mencocokkan mushhaf-mushhaf) yang sangat membutuhkan ketelitian

dan kajian.

Dalam tahap pengumpulan mushhaf-mushhaf dan penghapusannya, Usman


a

mengutus beberapa orang ke berbagai negeri dan mengumpulkan mushhaf-mushhaf


k

serta lembaran-lembaran yang di dalamnya tercantum al-Quran kemudian


a

membakarnya. 243
st

Ya’qubi berkata, “Mereka telah mengumpulkan semua mushhaf dari segala


u

penjuru dan mendidihkannya ke dalam campuran air dan cuka kemudian mencucinya.
P

Sebagian dari mereka berkata, ‘Mereka membakar semua mushhaf-mushhaf itu.’

Hanya mushhaf Ibnu Mas’ud saja yang masih tetap terjaga karena dia menolak untuk

menyerahkannya kepada Abdullah bin Amir. Karena penolakan ini, Usman

menghadirkannya ke Madinah. Ibnu Mas’ud pun hadir ke Madinah ketika Usman

masih berpidato. Ketika mengetahui ada Ibnu Mas’ud usman berkata, “Sebentar lagi

243
Shahih Bukhari; jilid 6, hal. 226.

167
hewan berkaki empat yang buruk akan dating.’ Ibnu Mas’ud menjawab ungkapan itu

juga dengan kata-kata kasar. Pada saat itulah Usman memerintahkan agar Ibnu

Mas’ud diseret. Akibatnya tulang rusuk Ibnu Mas’ud. Saat itu Aisyah angkat suara

dan banyak sekali ungkapan yang disampaikannya. 244

Semula Usman mengira bahwa pekerjaan ini adalah mudah, karena itulah dia

mengumpulkan sekelompok orang yang tidak memiliki kemampuan cukup untuk

melaksanakan pekerjaan itu. Akhirnya dia meminta bantuan kepada kelompok lain

yang berkelayakan dan berkemampuan seperti Qari’-qari’ besar dan Ubai bin Ka’ab,

seorang sahabat besar yang juga berada di antara mereka. 245 Dia juga meminta

ah
lembaran-lembaran pada zaman Abu Bakar yang di dalamnya tercantum al-Quran

yang dikumpulkan oleh Hafshah.

i
Sy
Semula Hafshah enggan menyerahkannya kepada Usman dengan

kekhawatiran bahwa lembaran-lembaran itu akan dimusnahkan, namun ketika Usman

memastikan akan mengembalikan kepadanya, shahifah tersebut diserahkan kepada


a

Usman sebagai dokumen yang akan dicocokkan dengan mushhaf-mushhaf dan


k

naskah-naskah lain. 246


a

Usman mengumumkan kepada seluruh kaum muslimin, bahwa siapa saja yang
st

pernah mendengar seberapapun ayat al-Quran dari Nabi saw, hendaknya diberikan
u

kepadanya. 247 Berdasarkan pengumuman ini, orang-orang menyerahkan lembaran-


P

lembaran, tulang-tulang dan kayu-kayu yang bertuliskan ayat al-Quran itu kepada

Usman.

Mungkin yang diharapkan dari komite itu dari pengumpulan al-Quran adalah

menghadirkan orang-orang yang menyaksikan turunnya al-Quran sampai terakhir

244
Tarikh Ya’qubi; jilid 2, hal. 159-160.
245
Tahdzib al-Tahdzib; jilid 1, hal. 187. Thabaqat Ibn Sa’d; jilid 3, bagian 2, hal. 62.
246
Mashahif Sajistani; jilid 1, hal. 187. Shahih Bukhari; jilid 6, hal. 226.
247
Ibid; hal. 24.

168
kalinya. Ibnu Sirin berkata, “Seandainya ada suatu ayat yang diperselisihkan, maka

mereka mengakhirkan pencantumannya dan sebagian berpendapat bahwa maksud dari

pengakhiran dalam pencantuman, ialah mereka berusaha mendengar pendapat dari

orang-orang yang hadir pada saat turunnya al-Quran pada tahun terakhir usia

nabi..” 248

Anas bin Malik berkata, “Aku adalah salah seorang yang mendiktekan ayat-

ayat al-Quran kepada para penulis (al-Quran) dan betapa banyak ayat yang

diperselisihkan. Dalam situasi seperti ini, mereka ingin mendengar pendapat orang-

orang yang pernah mendengar ayat dari Rasulullah saw yang diperselisihkan itu.

ah
Seandainya orang-orang seperti itu (para penulis) tidak ada di Madinah, maka para

penulis itu menulis ayat sebelum dan sesudahnya untuk mereka dan meminta dari

i
Sy
mereka agar menuliskan bagian ayat yang diperselisihkan itu sebagaimana yang

pernah mereka dengar (dari Rasulullah saw ). Mereka seringkali mengirim orang-

orang yang terpandang, atau bagian ayat yang diperselisihkan, atau mereka sendiri
a

yang datang mencari informasinya.” 249


k

Ubai bin Ka’ab, juga mendiktekan (ayat-ayat al-Quran) kepada mereka, atau
a

ayat-ayat yang diperselisihkan ditunjukkan kepadanya untuk di koreksi.


st

Dalam hadis Abul ‘Aliyah disebutkan bahwa mereka mengumpulkan al-Quran


u

dari mushhaf Ubai bin Ka’ab. Ubai bin Ka’ab mendiktekan kepada mereka ayat-
P

ayatnya.250

Abdullah bin Hani al-Barbari (budaknya usman) mengisahkan bahwa ketika

bersama Usman dia melihatnyasedang mencocokkan berbagai macam mushhaf antara

satu dengan yang lainnya. Usman memberikan kepadanya tulang pundak seekor

kambing yang tertulis kata-kata, Lam Yatasanna, La Tabdila Lilkhalqillah dan


248
Ibid; hal. 25.
249
Ibid; hal. 21.
250
Mashahif Sajistani; hal. 30.

169
Famhalil Kafirin. Kemudian dia membawa tulisan-tulisan itu kepada Ubai bin Ka’ab

dan dia melakukan koreksi seperti ini; Lam Yatasannah, La Tabdila Likhalqillah dan

Famahhilil Kafirin. 251

Pada tahap kedua yaitu tahap pencocokan antara satu mushhaf dengan

mushhaf yang lain, menunjukkan adanya unsure meremehkan, sampai-sampai dalam

mushhaf-mushhaf Usmani terdapat banyak sekali kesalahan-kesalahan imla yang

begitu fatal hingga mushhaf-mushhaf tersebut, satu sama lain tidak bisa dicocokkan.

Penanggung jawab masalah ini adalah seluruh anggota komite penyatuan Mushhaf

khususnya Usman yang mengetahui semua kesalahan-kesalahan tersebut, namun dia

ah
tidak memikirkan jalan keluarnya dan membiarkan begitu saja.

Ibnu Abi Daud menukil bahwa sebagian penduduk Syam berkata, “Mushhaf

i
Sy
kami dan mushhaf penduduk Bashrah lebih benar daripada mushhaf penduduk Kufah,

karena ketika Usman memerintahkan untuk menulis mushhaf-mushhaf, sebuah

mushhaf yang telah mereka persiapkan untuk Kufah sesuai dengan bacaan Abdullah
a

dan mushhaf itu telah dikirimkan untuk mereka sebelum mushhaf itu dicocokan dan
k

dan dikoreksi dengan semua naskah yang ada. Tetapi mushhaf yang dipersiapkan
a

untuk penduduk Syam dan Bashrah, dikirimkan kepada mereka setelah dicocokkan
st

dan dikoreksi.” 252


u

Hal ini menunjukkan bahwa mushhaf-mushhaf itu telah mereka sebarkan ke


P

seluruh penjuru negara Islam sebelum disesuaikan secara detail antara satu dengan

lainnya. Perbedaan-perbedaan yang ada pada mushhaf-mushhaf yang tersebar di

berbagai kota Islam (seperti yang dinukil oleh Ibnu Abi Daud)253 adalah bukti akan

adanya unsur meremehkan dalam masalah penyesuaian naskah demi memperoleh

kebenarannya.
251
Al-Itqan; jilid 1, hal. 183.
252
Mashahif Sajistani; hal. 35.
253
Ibid; hal. 39-49.

170
Ibnu Daud juga menukil masalah lain yang membuktikan peremehan tersebut.

Dia berkata, “Pada saat naskah-naskah semua mushhaf itu telah siap, mereka

menyerahkannya kepada Usman. Kemudian Usman melihat semua naskah itu dan

berkata, ‘Kalian telah merampungkannya dengan begitu bagus dan indah.’ Usman

melihat adanya banyak kesalahan dari segi logat-logat Arab yang berbeda-beda dan

berkata, ‘Seandainya yang mendikte orang dari suku Hudzail dan penulisnya dari

suku Tsaqif, tentunya kesalahan-kesalahan ini tidak akan terjadi.” 254

Apakah kitab Allah tidak layak mendapat perhatian lebih serius sehingga ia

mengandung kesalahan imla’ dan logat-logat yang berbeda? Apakah artinya angan-

ah
angan Usman? Apakah sejak awal dia tidak bisa memilih seorang pendikte dari suku

Hudzail dan para penulis dari suku Tsaqif, padahal ia mengetahui kemampuan dan

i
Sy
kelayakan mereka untuk mengerjakan pekerjaan ini, tetapi sebagai ganti dari orang-

orang yang layak ini, ia (justeru) memilih orang-orang yang berada disekitarnya dan

kesudahan pekerjaan ini, adalah adanya perbedaaan dalam bacaan al-Quran pada
a

zaman-zaman setelahnya.
a k

Jumlah Mushhaf Usmani


st

Para sejarawan berbeda pendapat menentukan jumlah mushhaf hasil kerja


u

komite penyatuan Mushhaf pada zaman Usman yang disebar ke seluruh penjuru
P

Negara Islam. Ibnu Abi Daud berpendapat bahwa jumlah mushhaf-mushhaf itu adalah

enam jilid, masing-masing telah dikirim ke enam daerah penting Islam pada saat itu.

Enam daerah Islam itu adalah Mekah, Kufah, Bashrah, Syam, Bahrain dan Yaman.

254
Ibid; hal. 32-33.

171
Dia manambahkan bahwa selain enam jilid, ada satu jilid lagi yang disimpan di

Madinah yang mereka sebut dengan nama Umm atau Imam. 255

Ya’qubi menyebutkan bahwa ada dua jilid lagi yang dikirim ke Mesir dan al-

Jazair.256 Mushhaf yang dikirim ke setiap daerah disimpan di kantor daerah tersebut.

Kemudian mushhaf itu diperbanyak agar bisa dimiliki oleh semua orang dan hanya

bacaan mushhaf ini saja yang dilegalkan. Setiap naskah atau bacaan yang berbeda

dengan mushhaf-mushhaf yang disepakati ini, berarti tidak resmi dan dilarang

menggunakannya. Bagi yang menggunakannya akan mendapat sangsi.

Mushhaf Madinah adalah rujukan semua mushhaf dan seandainya mushhaf-

ah
mushhaf yang ada negara-negara lain terdapat suatu perbedaan, maka untuk

menghilangkan perbedaan dan mengoreksinya mushhaf Madinah dijadikan sebagai

i
Sy
tolok ukur. Mushhaf-mushhaf selain Madinah dikoreksi sesuai dengan mushhaf

Madinah.

Disebutkan bahwa Usman mengirim Qari’ al-Quran ke setiap daerah untuk


a

mengajarkan bacaan al-Quran sesuai dengan mushhaf tersebut kepada masyarakat.


k

Qari’ yang dikirim ke Mekkah adalah Abdulah bin Saib, Mughirah bin Syihab dikirim
a

ke Syam, Abdur Rahman Salami bersama dikirim ke Kufah dan Amir bin Abdul Qais
st

dikirim ke Bashrah, Zaid bin Tsabit terpilih sebagai Qari Madinah. 257
u

Para pejabat pemerintahan khalifah memberi perhatian khusus terhadap


P

mushhaf tersebut dan menjaganya. Inilah yang melanggengkan mushhaf itu. Setelah

berjalan beberapa lama, sebagian isi mushhaf tersebut mengalami perubahan, di

antaranya adalah peletakan titik, penyematan tanda baca dan membagi mushhaf-

mushhaf itu. Akhirnya khat mushhaf-mushhaf tersebut yang sebelumnya

menggunakan khat Kufi lama diubah ke khat Kufi yang baru. Al-Quran ditulis dengan
255
Mashahif Sajistani; hal. 34.
256
Tarikh Ya’qubi; jilid 2, hal. 160.
257
Manahilul Irfan; jilid 1, hal. 396-397.

172
kaligrafi Naskhi yang indah dan kaligrafi-kaligrafi lain. Mushhaf-mushhaf yang

ditulis pada zaman Usman secara bertahap mulai dilupakan dan perlahan tiada lagi

bekas yang tersisa.

Yaqut al-Hamwi (w. 626 H.) menukil bahwa mushhaf Usman bin Affan

berada di masjid Damaskus yang konon ditulis dengan tangannya sendiri.258 Mushhaf

ini pernah dilihat oleh Fadhlullah al-Amri (w. 749 H.) dan dia berkata, “Mushhaf

Usmani yang ditulis dengan tangan Usman sendiri masih ada di samping kiri masjid

Damaskus.” 259 Tidak disebutkan bahwa Usman pernah menulis suatu mushhaf dengan

tangannya sendiri, mungkin mushhaf tersebut adalah mushhaf Syam yang masih

ah
tersisa sampai pada zaman itu.

Ibnu Katsir (w. 774 H.) juga menyebut tentang mushhaf ini. Namun dia tidak

i
Sy
menisbahkan tulisannya kepada Usman. Dia berkata, “Mushhaf Usmani yang paling

masyhur di zaman kita adalah mushhaf yang tersimpan rapi di Syam di dekat tiang

sebelah timur ruangan sempit masjid Damaskus. Dahulu mushhaf ini berada di kota
a

Thabariah, sekitar tahun 518 H, dari sana dipindahkan ke Damaskus. Saya pernah
k

melihatnya. Ia adalah sebuah kitab tebal dengan tulisan yang indah, jelas dan matang.
a

Ditulis dengan tinta yang bagus dalam lembaran-lembaran yang menurut perkiraan
st

saya terbuat dari kulit onta.” 260


u

Ibnu Bathuthah (w. 779 H.), seorang penjelajah yang terkenal, dia berkata, “Di
P

tiang timur masjid dan di depan mihrab ada sebuah almari besar yang di dalamnya

diletakkan mushhaf yang dikirim oleh Usman bin Affan ke Syam. Almari ini dibuka

setiap hari jumat setelah shalat dan orang-orang pun menyerbu untuk menciumnya. Di

tempat inilah, orang-orang bersumpah untuk menyelesaikan segala perselisihan dan

258
Yaqut al-Hamwi; Mu’jamul Buldan; jilid 2, hal. 469.
259
Masalik al-Abshar fi Mamalik al-Amshar; jilid 1, hal. 195.
260
Fadhail al-Quran; hal. 49.

173
berdamai.” 261 Dikatakan bahwa mushhaf ini tetap berada di masjid Damaskus sampai

akhirnya terbakar pada tahun 1310 H. 262

Doktor Shubhi Shalih berkata, “Kawan saya, Doktor Yusuf al-Asy,

menjelaskan kepada saya bahwa Qadhi Abdul Hasan al-Usthuwani berkata kepadanya

bahwa dia pernah melihat mushhaf Syam sebelum terbakar. Dia melihat mushhaf itu

disimpan di ruang sempit masjid Damaskus di tempat yang terbuat dari kayu.” 263

Ustad Zarkani berkata, “Sampai saat ini, kita tidak memiliki dalil yang pasti

atas keberadaan mushhaf-mushhaf Usmani, apalagi kita harus menentukan tempat

keberadaannya.”

ah
Berkenaan dengan sebagian mushhaf-mushhaf bersejarah yang ada di

perpustakaan-perpustakaan Mesir, disebutkan bahwa itu adalah mushhaf-mushhaf

i
Sy
Usmani, tetapi kebenaran klaim itu sangat diragukan, sebab dalam mushhaf-mushhaf

itu terdapat tanda-tanda dan ukiran-ukiran seperti tanda-tanda pemisah antara surah-

surah dan tanda-tanda untuk setiap sepuluh sutah al-Quran, padahal kita tahu bahwa
a

mushhaf-mushhaf Usmani tidak memiliki semua tanda tersebut.


k

Dalam almari Haram Imam Husain as ada sebuah mushhaf yang dianggap
a

Mushhaf Usman yang ditulis dengan khat Kufi lama. Dengan memperhatikan huruf-
st

huruf miskin simbol-simbol dan bentuknya begitu besar, mushhaf itu sama dengan
u

mushhaf Madinah atau mushhaf Syam, khususnya kata “Yartaddu” dari surah al-
P

Maidah, ditulis dengan “Yartadid”. Kemungkinan kuat bahwa al-Quran yang ini

adalah salah satu yang berasal dari al-Quran-al-Quran Usmani .264

Demikian juga dengan mushhaf yang sebagian lembaran-lembarannya berada

di almari daerah Haram Ali bin Abu Thalib di Najaf al-Asyraf. Mushhaf itu

261
Rihlatu Ibni Bathuthah; jilid 1, hal. 54.
262
Ahmad bin Ali al-Muqrizi; Al-Khuthath; jilid 5, hal. 279.
263
Shubhi Shalih; Mabahits fi Ulum al-Quran; hal. 89.
264
Manahilul Irfan; jilid 1, hal. 397-398.

174
dinisbahkan kepada Imam Ali. Disebutkan bahwa mushhaf itu ditulis dengan tulisan

tangan beliau sendiri. Al-Quran ini ditulis dengan khat Kufi lama. Di (halaman) akhir

dijelaskan bahwa mushhaf itu ditulis oleh Ali bin Abi Thalib pada tahun ke-40

Hijriah.

Ustad Abu Abdillah Zanjani berkata, “Saya melihat sebuah mushhaf di

perpustakaan Ali di Najaf yang ditulis dengan khat Kufi. Di akhir mushhaf itu tertulis,

‘Mushhaf ini ditulis oleh Ali bin Abu Thalib pada tahun 40 puluh hijriah.’ Karena ada

kemiripan antara ‘Abi’ dan ‘Abu’ dalam kaligrafi Kufi, kemungkinan seseorang yang

tak berpengetahuan, menuliskan nama di akhir mushhaf ini ‘Ali bin Abu Thalib’,

ah
maksudnya ‘Ali bin Abi Thalib.’” 265

Di museum masjid Imam Husain di Kairo juga ada sebuah mushhaf yang

i
Sy
katanya ditulis oleh Ali bin Abi Thalib. Al-Quran ini ditulis dengan khat Kufi kuno.

Berkenaan dengan hal ini ustad Zarkani berkata, “Mungkin saja penulisnya adalah Ali

atau mushhaf itu ditulis di Kufah atas perintahnya.”


a

Ibnu Bathuthah berkata, “Di masjid Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib di
k

Bashrah ada sebuah mushhaf yang dibaca oleh Usman pada saat menjelang wafat.
a

Bekas-bekas darahnya masih tersisa di atas sebuah lembaran yang di dalamnya


st

tercantum ayat, 266 Maka Allah-lah yang akan mencukupi kalian dan Dialah Yang
u

Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (al-Baqarah: 137).” Tentu, hal ini mustahil.
P

Samhudi menukil dari Muhriz bin Tsabit bahwa dia berkata, “Aku mendengar

bahwa mushhaf Usman sampai ke tangan Khalid bin Amr bin Usman. Ketika Mahdi

(al-Abbasi) memimpin, mushhaf itu dia kirim ke Madinah—hingga saat ini mushhaf

itu dibaca di Madinah—sedangkan mushhaf Hajjaj yang terletak di sebuah peti di

bawah mimbar disingkirkan.

265
Tarikh al-Quran; hal. 46.
266
Rihlatu Ibni Bathuthah; jilid 1, hal. 116.

175
Ibnu Zubalah berkata, “Malik bin Anas berkata kepadaku, ‘Hajjaj mengirim

mushhaf-mushhaf ke berbagai pusat kota dan dia juga mengirim mushhaf yang besar

ke Madinah. Waktu itu mushhaf ini berada di dalam sebuah peti di sebelah kanan

tiang yang menunjukkan makam Nabi saw . Peti itu selalu dibuka pada hari kamis

dan jumat. Pada masa kepemimpinan Mahdi al-Abbasi dia mengirim mushhaf yang

berharga ke Madinah dan dilekatkan di dalam peti. Pada saat itulah mushhaf Hajjaj

diambil.”

Samhudi berkata, “Mushhaf yang sekarang ada di suatu Qubbah yang terletak

di tengah-tengah masjid dan dinisbahkan kepada Usman, tak ada seseorang yang

ah
mengatakan sesuatu tentangnya.”

Ibnu Najjar, orang pertama yang menulis sejarah mushhaf-mushhaf yang ada

i
Sy
di masjid-masjid berkata, “Dengan berjalannya waktu, mushhaf-mushhaf pertama itu

menjadi kuno dan lembaran-lembarannya berserakan, tidak ada lagi yang tersisa

darinya.” 267
a
k

Kriteria Umum Mushhaf Usmani


a

Dari segi urutan surah-surah al-Quran, mushhaf Usmani tidak jauh berbeda
st

dengan mushhaf-mushhaf yang ditulis para sahabat. Sedikit perbedaan di dalam


u

mushhaf Usmani juga dialami oleh mushhaf sahabat yang satu dengan sahabat yang
P

lain. Surah-surah panjang ditulis lebih awal dari surah-surah pendek. Huruf-huruf

mushhaf Usmani tidak menggunakan titik dan tanda baca lainnya sebagai i’rab

hurufnya. Mushhaf-mushhaf ini tidak terbagi kepada hizib-hizib, sepersepuluh dan

seperlima dalam setiap juz dan memiliki kesalahan-kesalahan imla’ serta kontradiksi

dalam kaligrafi dengan alasan bahwa pada saat itu sahabat baru mengenal ilmu tulis.

267
Samhudi; Wafa’ul Wafa’ Bi Akhbari Daril Musthafa; jilid 2, hal. 667-668.

176
Kriteria-kriteria umum mushhaf Usmani adalah sebagai berikut;

1. Susunan

Sebelumnya sudah disebutkan bahwa susunan mushhaf Usmani, tidak banyak

berbeda dengan susunan mushhaf yang ada saat ini dan sesuai dengan susunan yang

ada pada mushaf-mushhaf sahabat yang digunakan pada saat itu, khususnya mushhaf

Ubai bin Ka’ab.

Perbedaan dengan mushhaf-mushhaf tersebut di antaranya adalah:

Dalam mushhaf-mushhaf sahabat, surah Yunus termasuk dalam jajaran tujuh

ah
surah besar dan masuk dalam barisan ketujuh 268 atau kedelapan. 269 Tetapi, Usman

dengan sengaja, berkeyakinan bahwa surah al-Anfal dan surah al-Barâah adalah satu

i
Sy
surah dan meletakkannya ke peringkat tujuh dari surah-surah besar dan panjang dan

memindahkan surah Yunus ke dalam urutan surah-surah Main.

Ibnu Abbas mengkritik perbuatan Usman dengan berkata, “Apa alasan kamu
a

menganggap surah al-Anfal yang merupakan salah satu dari surah-surah Matsani270
k

dan surah al-Barâah yang merupakan bagian dari surah-surah Main menjadi satu
a

surah. Mengapa kamu hapus ‘Bismillahirrahmanirrahim’ di awal surah al-Barâah dan


st

kamu meletakkannya ke dalam urutan surah-surah besar?”


u

Usman menjawab, “Surah-surah diturunkan kepada Rasululah saw, setelah


P

surah-surah itu diturunkan, Nabi saw memanggil para penulis wahyu dan berkata

kepada mereka, ‘Tulislah ayat-ayat ini di tempat fulan dari tempat fulan.’ Surah al-

Anfal termasuk salah satu dari surah-surah yang diturunkan di Madinah pada awal-

awal Hijrah dan surah al-Barâah apabila dilihat dari segi turunnya, ia termasuk dari

268
Dalam mushhaf Ibnu Mas’ud.
269
Dalam mushhaf Ubai bin Ka’ab.
270
Dalam mushhaf Ibnu Mas’ud, surah al-Anfal adalah salah satu dari surah-surah Matsani dan dalam
mushhaf Ubai bin Ka’ab, berada dalam jajaran surah-surah Main.

177
surah-surah yang terakhir diturunkan. Kandungan kedua surah itu satu sama lain

memiliki kesamaan. Saya kira dua surah ini adalah satu surah. Rasulullah saw sendiri

juga sudah meninggal dan tidak menjelaskan bahwa al-Barâah adalah kelanjutan

surah al-Anfal. Oleh karena itulah saya menyatukan dua surah itu dan

Bismillahirrahmanirrahim tidak saya tulis di antara dua surah itu dan saya

meletakkannya ke dalam urutan tujuh surah besar.” 271

Hal ini menunjukkan ijtihad sahabat dalam susunan mushhaf. Usman

mengetahui bahwa terkadang ada ayat-ayat dari suatu surah yang diturunkan setelah

turunnya surah tersebut dan Rasulullah saw memerintahkan agar ayat-ayat itu di

ah
cantumkan di tempatnya. Karena ada kemiripan antara konteks umum surah al-Barâah

dan surah al-Anfal, Usman menganggap bahwa surah al-Barâah adalah kelanjutan

i
Sy
surah al-Anfal. 272 Kemiripan dalam konteks ini dikarenakan kandungan surah yang

pertama bersikap keras terhadap musuh-musuh Islam, baik terhadap orang-orang kafir

atau orang-orang munafik. Sementara itu, kandungan surah yang lain memotifasi
a

orang-orang mukmin untuk tetap tegar ketika bertempur demi tegaknya kalimatullah
k

di muka bumi. Apapun bentuknya, meskipun tidak ada suatu masalah yang dinukil
a

berkenaan dengan dua surah ini, Usman menggabungkan dua surah itu dan
st

menganggapnya sebagai satu surah, kemudian menjadikannya surah ketujuh dari


u

surah-surah besar.
P

Mungkin Usman tidak memperhatikan bahwa surah al-Barâah itu diturunkan

sebagai ancaman dan janji azab terhadap orang-orang kafir. Oleh karena itu, ia tidak

diturunkan bersama dengan nama Allah yang murni kasih sayang, sebab tidak tepat

271
Al-Mustadrak; jilid 2, hal. 221 dan 330.
272
Riwayat yang dinukil oleh Ayyasyi dalam tafsirnya, jilid kedua, halaman 73, menunjukkan bahwa
al-Anfal dan al-Barâah adalah satu surah. Dalam hal ini terjadi perbedaan di kalangan para ulama.
(Tafsir Thabarsi; jilid 5, hal. 2.) Namun, Ayyasyi lebih setuju bahwa dua surah itu adalah satu surah,
karena akhiran di setiap surah diketahui menggunakan “Bismillah…” yang menunjukkan permulaan
surah lain. (Tafsir al-Ayyasyi; jilid 1, hal 19).

178
jika ancaman dan janji azab dimulai dengan rahmat (kasih sayang). Oleh karena itu

Amirul Mukminin Ali mengucapkan, “Bismillah…” untuk penjagaan padahal surah

al-Barâah itu bersandar kepada pedang. 273

Dengan demikian, mushhaf Usmani berbeda dengan mushhaf-mushhaf yang

lain, tetapi perbedaan ini dari segi didahulukan dan diakhirkannya sebagian surah-

surah.

2. Tanpa titik dan harakat

Mushhaf-mushhaf Usmani tidak memiliki harakat dan petunjuk yang sesuai

ah
dengan khat yang berlaku di tengah-tengah masyarakat Arab pada waktu itu yang bisa

dijadikan sebagai pembeda huruf-huruf yang bertitik dan yang tidak bertitik. Oleh

i
Sy
karena itu tidak ada bedanya antara huruf Ba’, Ta’, Ya’ dan Tsa’ dan juga Jim, Ha’,

Kho’. Huruf-huruf tersebut tidak bisa dibedakan antara satu dengan yang lain. Begitu

pula dengan harakat dan i’rab huruf-huruf dan kalimat-kalimatnya, tidak ditandai
a

dengan fathah, kasroh, dhammah dan tanwin. Bagi pembaca hendaknya


k

memperhatikan kata-kata penjelas, agar bisa membedakan antara satu dengan yang
a

lain dan hendaknya ia mengetahui wazan kalimat dan cara melakukan i’rab.
st

Oleh karena itu pada masa awal Islam, bacaan al-Quran itu hanya bergantung
u

kepada pendengaran dan nukilan dan kemungkinan, tidak diperbolehkan membaca al-
P

Quran hanya melalui cara pendengaran, sebagai contoh, antara kalimat “Tablu”,

“Nablu”, “Natlu”, “Tatlu”, dan “Yatlu” tidak ada bedanya. Begitu pula tidak bisa

dibedakan antara kalimat “Ya’lamuhu”, “”Ta’lamuhu”, “Na’lamuhu” dan “Bi

‘Ilmihi”. Oleh karena itu seringkali ayat, Litakuna Liman Khalfaka Âyatan (supaya

273
Al-Mustadrak; jilid 2, hal. 330. Al-Itqan; jilid 1, hal. 65.

179
hal itu menjadi bukti bagi orang setelahmu) dibaca dengan Liman Khalaqaka (bagi

yang menciptakanmu).

Berikut ini akan kami berikan contoh-contoh dari berbagai macam bacaan

yang terjadi karena mushhaf-mushhaf itu tidak bertitik:

1. Surah al-Baqarah, ayat 259: “Nunsyizuha”, “Nunsyiruha”, “Tunsyiruha”. 274

2. Surah Ali Imran, ayat 48: “Yu’allimuhu”, “Na’lamuhu”. 275

3. Surah Yunus, ayat 30: “Tablu”, “Tatlu”. 276

4. Surah Yunus, ayat 92: “Nunajjika”, “Nunahhika”.277

5. Surah al-Ankabut, ayat 58: “Lanubawwiannahum”, “Lanut saw

ah
iyannahum”, “Lanubawwiyannahum”.278

6. Surah Saba’, ayat 17: “Nujazi”, “Yujazi”. 279

i
Sy
7. Surah al-Hujurat, ayat 6: “Fatabayyanu”, “Fatatsabbatu”. 280

Apapun bentuknya, kosongnya mushhaf-mushhaf dari tanda baca dan petunjuk

adalah alasan utama munculnya perbedaan bacaan pada masa-masa setelah penyatuan.
a

Orang-orang yang membaca al-Quran pada saat itu bersandar kepada pendengaran
k

dan hafalan al-Quran yang sering terjadi kesalahan-kesalahan kemtika menukil dan
a

mendengar suatu ayat. Seberapapun kejelian manusia dalam menghafal suatu


st

masalah, tidak ada jaminan bahwa dia tidak mengalami lupa dan salah. Semua yang
u

dihafal akan menghilang, semua yang ditulis akan tetap terjaga.


P

Selain dari itu, pengaruh suku-suku selain Arab yang semakin hari semakin

banyak berdomisili di jazirah Arabia seiring dengan berkembangnya Islam, juga

menjadi salah satu sebab terjadinya perbedaan bacaan. Karenanya, para anggota

274
Tafsir Thabarsi; jilid 2, hal. 368.
275
Tafsir Thabarsi; jilid 2, hal. 444.
276
Ibid; jilid 5, hal. 105.
277
Ibid; jilid 5, hal. 130.
278
Ibid; jilid 8, hal. 290.
279
Ibid; jilid 8, hal. 384.
280
Ibid; jilid 3, hal. 94, jilid 9, hal. 131.

180
komite penyatuan mushhaf pada masa itu, harus memperhatikan masa depan umat

Islam dengan teliti dan harus bisa menemukan jalan keluar untuk mencegah

munculnya perbedaan dan kesalahan dalam bacaan al-Quran. Namun mentalitas para

pejabat pada masa itu yang menganggap remeh masalah ini penghalang bagi

terlaksananya pekerjaan ini secara rapid an benar.

Ibnu Jazri menganggap para pejabat pada saat itu dengan sengaja tidak

menggunakan tanda baca serta petunjuk dalam mushhaf-mushhaf. Dia berkata,

“Mungkin alasannya adalah (menghindari) kemungkinan terjadinya kesalahan dalam

penulisan, oleh sebab itu mereka mengandalakan pendengaran dan merasa cukup

ah
mendengar ayat-ayat al-Quran dari Nabi saw, kemudian menghafalnya dengan cara

seperti itu.” 281

i
Sy
Zarkani mendukung pendapat Ibnu Jazri. Dia berkata, “Pada saat itu mereka

menulis kalimat-kalimat al-Quran tanpa titik dan tanda supaya tidak terjadi kesalahan.

Bacaannya menggunakan tolok ukur hafalan-hafalan dan melalui mendengar.” 282


a

Meskipun jelas dan disepakati bahwa pada saat itu sudah ada khat Arab tanpa
k

titik maupun tanda dan orang-orang Arab pada waktu itu masih baru mengawali
a

belajar dan menulis yang meniscayakan mereka tidak mengetahui perihal pemberian
st

titik dan tanda, namun pemaparan Ibnu Jazri dan Zarkani tidak dapat dibenarkan.
u
P

Munculnya khat Arab


Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa orang-orang Arab Hijaz di masa

lampau bisa menulis. Mereka mengetahui ilmu tulis sejak mendekati munculnya

Islam. Alasan mengapa ilmu tulis tidak berlaku di antara orang-orang Arab Hijaz

adalah kehidupan badui mereka yang selalu menghabiskan waktu dalam perjalanan

281
Al-Nasyr fi al-Qira’at al-Asyr; jilid 1, hal. 7.
282
Manahilul Irfan; jilid 1, hal. 251.

181
dan mengembara. Bahkan mereka menghabiskan waktu untuk peperangan dan

perampokan. Aktifitas seperti inilah yang menghalangi mereka untuk berpikir tentang

seni, di antaranya adalah seni tulis.

Kebanyakan dari mereka melakukan perjalanan ke Syam dan Irak dengan

tujuan berdagang. Lambat laun mereka terpengaruh oleh masyarakat yang

berpemikiran maju dan memiliki sopan santun. Dengan mengetahui etika, mereka

belajar menulis kepada orang-orang di sana (Syam dan Irak). Ada juga, atau sebagian

belajar menulis khat Nabthi atau Suryani dan dua bentuk tulisan ini tetap ada dan

terkenal sampai setelah penaklukan Islam di Arab.

ah
Setelah khat Nabthi, muncullah khat Naskhi yang sekarang sudah dikenal dan

masih tetap ada. Setelah khat Suryani, muncullah khat Kufi yang diberi nama khat

i
Sy
Heiri yang dinisbahkan kepada sebuah kota kuno Arab yang berdekatan dengan

Kufah. Karena perubahan khat Suryani itu terjadi di Heirah—setelah kota Kufah

dibangun dan kebudayaan Arab berpindah ke kota—maka nama khat itu berubah
a

menjadi khat Kufi. Sejak lama khat ini dikenal dan dipakai oleh orang Arab.
k

Khat Nabthi yang berubah menjadi khat Naskhi mulai dipelajari oleh orang-
a

orang Arab dari orang-orang Hur disela melakukan perdagangan ke Syam. Mereka
st

mempelajari khat Heiri atau Kufi dari orang-orang Irak. Pertama-tama, orang-orang
u

Arab menggunakan dua khat tersebut untuk menulis surat dan tulisan biasa, kemudian
P

mereka menggunakannya untuk menulis peristiwa-peristiwa penting seperti al-Quran

dan hadis.

Dalilnya bahwa khat Kufi itu hasil dari perubahan khat Suryani adalah bahwa

orang-orang Arab mengganti tulisan ‫ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ‬dengan tulisan ‫ ﺍﻟﻜﺘﺐ‬dan mengganti tulisan

‫ ﺍﻟﺮﺣﻤﺎﻥ‬mereka menulisnya ‫ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ‬

182
Kaidah tersebut adalah ciri khat Suryani dengan menghapus Alif Mamdudah

yang berada di tengah kata.

Pada saat Islam muncul, khat dan tulisan masih belum semarak di kalangan

orang-orang Arab Hijaz dan sangat sedikit orang yang bisa menulis. Rasululah saw

meminta bantuan mereka yang bisa menulis untuk menulis wahyu. Beliau memotifasi

kaum muslimin agar belajar menulis. Karena itu, orang-orang yang belajar menulis

pada saat itu semakin banyak.

Dua khat Naskhi dan Kufi masih digunakan kaum muslimin. Mereka bekerja

keras untuk merubah, memperbaiki dan memperindah dua khat itu. Ibnu Miqlah pada

ah
awal abad keempat Hijriah berusaha keras memperindah khat Naskhi, kemudian dia

menjadikan khat Naskhi sesempurna mungkin, sehingga sampai sekarang khat ini

i
Sy
masih digunakan.

Berbeda dengan khat Naskhi, khat Kufi pernah mengalami kemunduran dan

hanya digunakan selama, kurang-lebih, dua abad saja. Kemudian menghilang dari
a

peredaran. Sejak saat itu hingga seterusnya mushhaf-mushhaf ditulis dengan khat
k

Naskhi yang indah. 283


a
st

Orang Pertama yang Menggunakan Titik dalam Mushhaf


u

Khat yang dikutip dari Suryani dan Nabthi oleh orang-orang Arab tidak

menggunakan titik. Hingga sekarang khat-khat Suryani juga tanpa titik. Orang-orang
P

Arab, sampai pertengahan abad pertama menulis khat-khat tanpa titik. Setelah itu

barulah khat Arab mulai diberi tanda kasroh dan fathah.

283
Dairatul Ma’arif al-Qarnil Isyrin; jilid 3, hal. 621. George Zaidan; Tarikh-e Tamaddun-e Islami;
jilid 3, hal. 58-60. Ibnu Kholdun; al-Mukaddimah; hal. 417-421. Khalil Yahya al-Nami; Ashlul Khat
al-Arabi; jilid 3. Athiyyah Turki; Al-Khat al-Arabi al-Islami; hal. 22. Abdul Fattah Ubadah; Intisyar al-
Khat al-Arabi; hal. 13-15. Naji al-Mashraf; Mushur al-Khat al-Arabi; hal. 338. Muhammad Thahir al-
Maliki al-Kurdi;Tarikh al-Khat al-Arabi wa Adabihi; hal. 54.

183
Ketika Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi menjadi wali kota Irak dari pihak Abdul

Malik bin Marwan (75-86 H.), dia menggunakan titik dalam tulisan. Saat itu

masyarakat dapat membedakan huruf-huruf yang bertitik dengan yang tidak bertitik.

Pekerjaan ini dipopulerkan oleh Yahya bin Ya’mur dan Nashr bin Ashim, dua orang

murid Abul Aswad al-Duali. 284 Alasan pekerjaan ini dilakukan adalah karena mawali

(budak-budak Ajam) yang pada waktu itu jumlahnya terus bertambah. Akibatnya

negeri Islam dihuni oleh orang-orang asing, namun mereka harus menggunakan

bahasa Arab. Sebagian dari mereka masuk dalam jajaran ulama dan Qurra’, padahal

bahasa asli mereka bukan bahasa Arab dan sudah pasti banyak terdapat kesalahan

ah
dalam mengujarkannya. Karena itu terjadi banyak perubahan dalam bacaan.

Fenomena ini mendapat respon serius dari kaum muslimin.

i
Sy
Abu Ahmad al-Askari 285 mengisahkan bahwa selama lebih dari empat puluh

tahun masyarakat masih menggunakan mushhaf Usman sampai pada zaman Abdul

Malik bin Marwan. Selama rentang waktu itu telah terjadi banyak perubahan dalam
a

bacaan al-Quran. Perubahan ini menyebar hingga ke Irak. Hajjaj bin Yusuf
k

menyampaikan kekhawatiran terhadap masalah ini kepada para penulis dan meminta
a

kepada mereka agar meletakkan tanda-tanda untuk huruf-huruf yang mirip antara satu
st

dengan yang lain agar dapat dibedakan. Sebelumnya sudah dikatakan bahwa Nashr
u

bin Ashim yang menjalankan tugas ini. Dia juga yang menggunakan titik dalam
P

huruf-huruf tersebut. 286

284
Dairatul Ma’arif al-Qarnil Isyrin; jilid 3, hal. 722. Manahilul Irfan; jilid 1, hal. 399-400. Tarikh al-
Quran; hal. 68.
285
Abu Ahmad al-Askari; Al-Tashhif wa al-Tahrif; hal. 13.
286
Ibnu Khalkan; Wafayat al-A’yan; jilid 2, hal. 32.

184
Ustad Zarkani berkata, “Orang pertama yang mengunakan titik dalam mushhaf

adalah Yahya bin Ya’mur dan Nashr bin Ashim, mereka berdua adalah murid Abul

Aswad al-Duali.” 287

Bentuk dan Penandaan


Selain tidak memiliki tanda titik, pada mulanya khat Arab juga tidak memiliki

tanda harokat dan i’rab. Pada awal-awal masa masa Islam, banyak sekali orang yang

membaca al-Quran hanya dengan mengandalkan hafalan. Para hafidh kebanyakan

adalah orang Arab, sudah tentu mereka membaca al-Quran—yang diturunkan di

ah
tengah-tengah mereka—dengan benar, karena itu al-Quran terjaga dari kesalahan.

Apalagi mereka memiliki perhatian yang sangat besar kepada al-Quran dengan

i
Sy
mempelajarinya dari sahabat-sahabat besar terdekat Rasulullah saw . Pada saat itu

juga sudah tersedia sarana-sarana untuk menghafal dan mencatat al-Quran dengan

benar.
a

Pada pertengahan kedua abad pertama, bermunculan orang-orang asing di


k

tengah masyarakat Islam. Mereka juga asing dari bahasa Arab. Hal ini menyebabkan
a

mereka membutuhkan simbol untuk mengenal kalimat-kalimat al-Quran agar mereka


st

tidak salah dalam membaca al-Quran. Sebagai contoh, setiap orang Arab akan
u

membaca kalimat ‫ ﻛﺘﺐ‬yang ada dalam ayat; ‫( ﻛﺘﺐ ﺭﺑﻜﻢ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﻪ ﺍﻟﺮﺣﻤﺔ‬Al-An’am : 54).
P

dalam bentuk ma’lum (kataba). Kalimat yang sama juga disebutkan di ayat lain dalam

bentuk majhul (kutiba) ‫( ﻛﺘﺐ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ‬Al-Baqarah : 183). Selain orang Arab tidak

akan bisa membedakan apakah kalimat ini ma’lum atau majhul.

Seperti Abul Aswad. Dia pernah mendengar seseorang membaca kalimat

“Rasuluhu” dalam ayat, “Sesunguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari

287
Manahilul Irfan; jilid 1, hal. 399.

185
orang-orang musyrikin” dengan kasroh [Rasulihi]. Dengan bacaan seperti itu artinya

adalah bahwa Allah berlepas diri dari orang-orang musyrikin dan Rasul-Nya. Melihat

kesalahan fatal ini Abul Aswad berkata, “Saya tidak mengira kalau kesalahan itu

sampai sefatal ini.” Kemudian dia memberitahu masalah ini kepada Ziyad bin Abih,

gubernur Kufah (50-53 H.).

Sebelumnya, Ziyad bin Abih pernah meminta Abul Aswad mencari jalan

keluar masalah ini, namun Abul Aswad tidak ingin dilibatkan secara langsung untuk

melakukan pekerjaan tersebut. Setelah dia mendengar sendiri kesalahan fatal dalam

firman Allah tersebut, dia menyambut keinginan Ziyad bin Abih 288 dan berkata, “Saya

ah
akan menjalankan apa yang Anda perintahkan.”

Kemudian Abul Aswad meminta dihadirkan seorang penulis untuk mencatat

i
Sy
apa yang diujarkannya. Beberapa orang penulis dihadirkan, namun tidak berkenan di

hatinya. Hingga kemudian datanglah seorang penulis ahli yang diterima oleh Abul

Aswad.
a

Abul Aswad berkata kepada penulis tersebut, “Letakkan titik di atas setiap
k

huruf yang saya baca maftuh (dengan mulut terbuka). Jika saya merapatkan mulut
a

saya (dhammah), maka letakkanlah titik di atas huruf itu. Jika saya membaca huruf
st

dengan kasrah, maka tulislah titik di bawah huruf itu.” 289 Ibnu Iyadh menambahkan
u

bahwa Abul Aswad berkata kepada penulis itu, “Seandainya aku membaca suatu
P

huruf dengan ghunnah, maka berilah ia dua titik.” 290

Sejak saat itu hingga seterusnya, masyarakat menggunakan titik sebagai tanda

untuk menunjukkan harokat huruf dan kalimat. Titik-titik tersebut ditulis dengan

warna yang berbeda sesuai warna khat mushhaf. Kebanyakan warnanya adalah merah.

288
Disebutkan bahwa Ziyad bin Abih memerintah seseorang dengan sengaja agar membaca suatu ayat
di depan Abul Aswad dengan salah supaya dia tergerak untuk menjalankan keinginan Ziyad. (Al-Khat
al-Arabi l-Islami; hal. 26).
289
Al-Fihrist; hal. 46
290
Hasan Shadr; Ta’sis al-Syi’ah li Ulumil Islam; hal. 52.

186
Setelah Nashr bin Ashim menggunakan titik sebagai tanda pembeda dengan

huruf-huruf yang tidak bertitik dalam mushhaf.

George Zaidan pernah melihat mushhaf bertitik seperti itu, di Darul Kutub

Mesir. Dia berkata, “Pertama, mushhaf ini berada di Masjid Amr bin Ash, di dekat

Kairo dan termasuk salah satu mushhaf terkuno. Lembaran-lembarannya lebar,

khatnya ditulis dengan tinta hitam dan titik-titiknya berwarna merah. Mushhaf itu

tidak berbeda dengan apa yang telah disifatkan oleh Abul Aswad. Titik-titik di atas

huruf-huruf adalah tanda fathah dan titik-titik dibawah adalah tanda kasrah, titik-titik

di depan huruf-huruf, adalah tanda dhammah.” 291

ah
Di Andalusia, mushhaf-mushhaf itu ditulis dengan empat warna; warna hitam

untuk huruf-huruf, warna merah untuk titik-titik yang menjadi tanda harakat, warna

i
Sy
kuning untuk hamzah-hamzah dan warna hijau digunakan untuk alif-alif washal.292
a

Perubahan-perubahan Terakhir untuk Penyempurnaan


k

Jalaludin Suyuthi berkata, “Pada awal zaman Islam, tidak ada tanda harakat-
a

harakat huruf dalam bentuk titik. Titik awal huruf, sebagai tanda fathah dan titik yang
st

ada di akhir huruf adalah tanda dhammah, titik di bawah huruf adalah tanda kasrah.”
u

Tanda-tanda yang digunakan saat ini berfungsi menjelaskan harkat-harakat


P

huruf. Huruf-huruf tersebut merupakan temuan Khalil bin Ahmad. Dalam sistim ini

tanda fathah berbentuk panjang yang diletakkan di atas huruf dan kasrah dengan

bentuk yang sama dan diletakkan di bawah huruf. Dhommah adalah wawu kecil di

atas huruf, sedangkan tanwin adalah bacaan fathah atau kasrah atau dhommah.

291
Tarikh-e Tamaddun-e Islami; jilid 3, hal. 61.
292
Al-Khat al-Arabi al-Islami; hal. 27. Abu Amr Usman bin Said Dani; Al-Muqni’ fi Rasmil Mashahif.
Tarikh al-Quran; hal. 68.

187
Suyuthi menambahkan, “Orang pertama yang membuat tanda hamzah dan tasydid,

adalah Khalil bin Ahmad.” 293

Sepanjang zaman, perhatian kaum muslimin terhadap al-Quran semakin besar.

Mereka terus melakukan perubahan dalam khat dan kaligrafi. Pada akhir abad ketiga,

khat dan kaligrafi mencapai puncak keindahannya. Banyak orang saling berlomba

menulis al-Quran dengan khat indah sambil menggunakan tanda-tanda dengan

menggunakan permulaan huruf kho’ sebagai alamat huruf sakin. Ini menunjukkan

bahwa huruf sakin lebih ringan dari huruf ber-harokat, sebagian memilih permulaan

huruf mim untuk alamat sakin. Untuk huruf musyaddad (ber-tasydid) digunakan

ah
alamat tiga lengkungan dan untuk alif-alif washal, telah ditentukan huruf shad. Juga

penyulisan khat dan hasyiyah (tulisan di pinggir kitab) semakin berkembang dan

i
Sy
digunakan dalam mushhaf-mushhaf dengan ciri masing-masing. 294

Konon, terbaginya al-Quran menjadi sepersepuluh dan seperlima, hizib, juz dan

alasan semua itu adalah atas perintah Makmun al-Abbasi, ada juga yang
a

meriwayatkan yang memerintahkan hal itu adalah Hajjaj. Ahmad bin al-Husain
k

berkata, “Hajjaj mengumpulkan para Qari dari Bashrah dan memilih suatu kelompok
a

dari mereka, kemudian meminta kepada mereka agar menghitung huruf-huruf al-
st

Quran. Mereka telah menyelesaikan pekerjaan ini dalam tempo empat bulan dan
u

menujukkan bahwa al-Quran memiliki 77.439 kata dan 323.015 huruf, menurut
P

sebuah pendapat lain julah kata 340.740 huruf, kata terakhir dari paruh pertama al-

Quran diakhiri dengan kalimat ‫ ﻭﻟﻴﺘﻠﻄﻒ‬dari surah al-Kahfi, setelah itu mulaih paruh

kedua. Jumlah ayat-ayat al-Quran, menurut sebuah riwayat adalah 6236.

293
Al-Itqan; jilid 2, hal 171. Abu Amr al-Dani; Kitab al-Nuqath; hal. 133.
294
Ta’sis al-Syi’ah li Ulumil Islam; hal. 52.

188
Sudah sangat terkenal bahw Al-Quran mengandung 120 hizib dan 30 juz. Hal

ini untuk memudahkan bacaan al-Quran di madrasah-madrasah atau pusat-pusat

pendidikan.

Abul Hasan Ali bin Muhammad Sakhawi (w. 643 H.) adalah seorang ulama

besar di bidang sastra, fiqih dan Qira’at. Dia menjalani kehidupan di Damaskus. Di

dalam kitab Jamalul Qurra’, beliau menisbahkan kepada Abu Usman Amr bin Ubaid

al-Nami (w. 144 H.) bahwa al-Quran yang dibagi dalam 30 juz, setiap juz dibagi

menjadi 12 bagian, hingga keseluruhannya 360 bagian. Dia berkata, “Dia melakukan

pekerjaan ini atas keinginan Manshur (khalifah Abbasi). Manshur meminta kepadanya

ah
agar membagi al-Quran menurut hari-hari supaya bisa digunakan untuk

mempersiapkan hafalan dan bacaan harian. Dia memberikan jawaban positif atas

i
Sy
permintaan Manshur, kemudian mengerjakannya dengan rapi dengan memberi tanda

di akhir setiap juz dengan garis bawah. Manshur mengajarkan hal itu kepada

putranya, Mahdi. Setelah itu diikuti oleh orang lain dan akhirnya pembagian ini
a

sedikit demi sedikit tersebar di kalangan kaum muslimin. 295


k

Surah al-Quran yang paling besar dan panjang adalah al-Baqarah. Surah yang
a

paling pendek adalah al-Kautsar. Ayat al-Quran yang paling panjang adalah ayat
st

“Dain [hutang]” yaitu ayat 282 dari surah al-Baqarah yang mengandung 128 kata dan
u

540 huruf. Ayat terpendek adalah ayat “Wadhdhuha”, kemudian “Walfajr”.


P

Kata terpanjang dalam al-Quran, adalah ayat 22, surah al-Hijr yang memiliki

11 huruf, yaitu ‫ ﻓﺎﺳﻘﻴﻨﺎ ﻛﻤﻮﻩ‬. 296


P295F P

Ahmad meriwayatkan dari Aus bin Hudzaifah bahwa dia berkata, “Aku berada

di antara kelompok dan rombongan Bani Malik yang memeluk Islam dan sempat

menghadap Rasulullah saw . Pada waktu itu kami tinggal di perkemahan. Setiap hari

295
Jamalul Qurra’ wa Kamalul Iqra’; Beirut, 1993, jilid 1, hal. 378-379.
296
Al-Burhan; jilid 1, hal. 249-252.

189
sepulang dari masjid sebelum masuk ke rumahnya, Rasulullah selalu mampir ke

tempat kami. Beliau bersama kami setelah shalat isya dan berbicara kepada kami

tentang perilaku kaumnya ketika beliau berada di Mekkah dan setelah beliau hijrah ke

Madinah. Pada suatu malam, tidak seperti biasanya beliau datang terlambat ke tempat

kami, kami pun bertanya tentang sebab keterlambatan beliau, Nabi berkata, ‘Aku

membawakan suatu hizib (bagian) dari al-Quran dan aku harus menyelesaikan suatu

pekerjaan, setelah itu barulah aku keluar masjid.’

Kemudian kami bertanya kepada para sahabat Nabi saw, ‘Bagaimanakah

kalian membagi-bagi al-Quran?’ Mereka berkata, ‘Kami membaginya menjadi tujuh

ah
bagian. Setiap bagian terdiri dari susunan berikut; tiga surah, lima surah, tujuh surah,

sembilan surah, sebelas surah dan tiga belas surah dan hizib yang terakhir terdiri dari

i
Sy
surah Qaf hingga akhir al-Quran.’” 297

Kalimat terakhir dari riwayat ini menunjukkan ujaran Aus yang berhubungan

dengan keterangan para sahabat Nabi saw, karena pada waktu itu al-Quran masih
a

belum terjilid. Surah-surah al-Quran pada waktu itu sudah lengkap. Untuk
k

mempermudah bacaan, mereka membaginya menurut pembagian hari-hari atau


a

waktu.
st
u

3. Kesalahan-kesalahan metode dikte (imla’)


P

Peletakan khat dilakukan untuk memberi pemahaman dan mengungkapkan

makna yang dimaksud melalui perantara lafazh. Sebenarnya tulisan itu adalah

melambangkan suatu lafazh yang menjelaskan makna serta pemahaman yang

dimaksud. Oleh karena itu tulisan harus sesuai secara sempurna dengan lafazh yang

dan harus ditulis sama persis dengan apa yang dibicarakan agar khat itu bisa menjadi

297
Musnad Ahmad; jilid 4, hal. 343.

190
tolok ukur bagi lafazh, tanpa sedikitpun mengurangi atau menambahnya. Metode-

metode penulisan sama sekali tidak sesuai dengan kaidah ini.

Namun, selama kasus (ketidaksesuaian) yang diperselisihkan tersebut sudah

menjadi istilah baku dan semua orang mengamalkan sesuai dengan itu, maka tidak

akan muncul suatu masalah dan tidak mengurangi maksud yang diinginkan.

Kaligrafi mushhaf Usmani berbeda dengan istilah umum, memiliki banyak

kesalahan imla’ dan kontradiksi dalam bentuk penulisan kalimat-kalimat. Seandainya

al-Quran tidak tercatat dalam hafalan yang diperoleh dengan cara mendengar yang

mutawatir, kemudian bacaannya tidak dihafal oleh muslimin terdahulu yang memiliki

ah
perhatian ekstra dalam hal ini, maka kebanyakan ayat mustahil dibaca dengan benar.

Indikasi dari masalah tersebut adalah pada waktu itu orang-orang Arab tidak

i
Sy
berpengetahuan tentang seni khat dan metode penulisan, bahkan kebanyakan dari

mereka tidak bisa menulis. Khat yang ditulis pada saat itu adalah khat dasar dan

sangat sederhana. 298


a

Selain itu, orang-orang yang dipilih oleh Usman untuk menulis mushhaf tidak
k

mengerti metode penulisan. Meskipun pada saat itu khat masih berbentuk sangat
a

sederhana, mereka adalah orang-orang yang tulisannya sangat tidak bagus.


st

Sudah kita bahas bahwa setelah semua naskah mushhaf itu lengkap, mereka
u

membawanya kepada Usman. Dia memperhatikannya dan berkata, “Alangkah bagus


P

dan indahnya (mushhaf) yang telah kalian buat.” Kemudian Usman melihat suatu

kesalahan di dalamnya. Setiap orang Arab bisa mengujarkan bahasanya sendiri

dengan benar. Dia berkata, “Seandainya orang yang mendiktekan itu berasal dari suku

Hudzail dan penulisnya dari suku Tsaqif, tentunya kesalahan seperti ini tak akan

terjadi.”

298
Mukadimah Ibnu Kholdun; hal. 419 dan 438.

191
Dari riwayat ini dapat disimpulkan bahwa Usman sudah tahu kalau pada

waktu itu, suku Hudzail sudah memiliki pengetahuan tentang metodologi penulisan

dan suku Tsaqif terkenal dengan keindahan tulisannya. Mushhaf yang diperlihatkan

kepadanya itu, tidak mengandung keistimewaan tersebut. Pertanyaannya adalah

mengapa untuk melakukan pekerjaan penting ini dia tidak memilih orang-orang dari

suku Hudzail dan Tsaqif?

Tsa’labi dalam tafsirnya, memberi komentar di bawah ayat, Sesungguhnya

keduanya ini benar-benar tukang sihir, menjelaskan bahwa Usman berkata, “Di

dalam mushhaf ini ada kesalahan, sementara setiap orang Arab pasti mengujarkan

ah
bahasanya sendiri dengan benar.” Ada yang bertanya kepada Usman, “Apakah kamu

akan membenahinya?” Dia berkata, “Tidak perlu, sebab (di dalamnya) tiada suatu

i
Sy
halal yang diharamkan dan tiada (pula) haram yang di halalkan.” 299

Dalam hal ini Ibnu Ruzbahan berkata, “Tidak dibenahinya lafazh al-Quran oleh

Usman dikarenakan dia harus meneliti bentuk khat. Lafazh ini telah tertulis dalam
a

mushhaf-mushhaf dengan bentuk seperti itu dan tidak bisa dirubah lagi, karena
k

(lafazh itu) adalah bahasa sebagian orang Arab, maka dia tidak merubahnya.” 300
a

Apa maksud Ibnu Ruzbahan dengan berkomentar, “… dalam mushhaf-


st

mushhaf telah tertulis seperti itu”? Mushhaf-mushhaf yang mana? Apa relasi antara
u

ungkapannya ini dengan kalimat terakhir, “… bahasa sebagian orang Arab”?


P

Sikap menyepelekan kesalahan dalam mushhaf yang dimiliki para pejabat

pada waktu itu memunculkan problem bagi umat Islam untuk selamanya. Tentu,

alasan tidak dibenahinya kesalahan-kesalahan ini adalah bahwa pada masa-masa yang

akan datang musuh-musuh Islam tidak bisa menyimpangkan al-Quran dengan dalih

membenahi dan memperbaiki kesalahan-kesalahannya.

299
Muhammad Hasan Muzhaffar; Dalail al-Shidq; jilid 3, hal. 196.
300
Ibid: jilid 3, hal. 197.

192
Berkenaan dengan hal ini Imam Ali as berkata, “Mulai saat ini al-Quran tidak

boleh diubah-ubah lagi.” Inilah al-Quran yang diterima oleh semua kaum muslimin

sebagai undang-undang dasar Islam untuk selamanya.

Kesalahan dan kontradiksi dalam hal imla’

Adanya kesalahan-kesalahan imla’ dalam mushhaf tidak menimbulkan suatu

cela dalam fondasi dan kemuliaan al-Quran. Alasannya adalah sebagai berikut:

Satu. Kenyataan al-Quran adalah apa yang dibaca, bukan apa yang ditulis.

Tulisan dengan segala macam metodologinya, selama bacaannya masih tetap benar

ah
sebagaimana yang dibaca pada zaman Rasulullah saw dan para sahabatnya, maka

tidak akan menyebabkan bahaya apapun. Tidak diragukan lagi bahwa kaum muslimin

i
sejak awal masa Islam hingga sekarang, telah menghafal al-Quran dengan cara yang
Sy
benar.

Dua. Kesalahan tulisan al-Quran karena ketidaktahuan dan penyepelean


a

terhadap masalah ini adalah terkait dengan para penulis terdahulu, bukan terkait
k

dengan isi tulisan itu sendiri. Yang tidak datang kepadanya kebatilan baik dari depan
a

maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi
st

Maha Terpuji (Fushshilat : 42).


u

Tiga. Kesalahan-kesalahan imla’ dalam mushhaf terus ada dan tidak dibenahi.
P

Meskipun kesalahan tersebut tidak dibenahi, kaum muslimin tetap berpedoman

kepada keselamatan kitabnya dan tidak ada penyimpangan (di dalamnya) selama

berabad-abad. Kesalahan-kesalahan imla’ tidak berpengaruh apa-apa dan selayaknya

dibenahi, namun demi menjaga kehormatan para penulis terdahulu, mereka tidak

menyentuhnya.

Beberapa contoh kesalahan tersebut:

193
‫‪Kalimat dengan imla’ yang benar‬‬ ‫‪Kalimat dengan imla’ yang salah‬‬

‫ﻭﺍﺧﺘﻼﻑ ﺍﻟﻠﻴﻞ ﻭ ﺍﻟﻨﻬﺎﺭ‬ ‫‪ -1‬ﻭﺍﺧﺘﻠﻒ ﺍﻟﻴﻞ ﻭﺍﻟﻨﻬﺎﺭ‪ .‬ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ ‪164‬‬

‫ﻋﻼّ ﻡ‬ ‫‪-2‬ﻋﻠّﻢ ﺍﻟﻐﻴﻮﺏ ‪ .‬ﺍﻟﻤﺎﺋﺪﺓ ‪109‬‬

‫ﺍﻧﺒﺎء‬ ‫‪ -3‬ﻳﺎءﺗﻴﻬﻢ ﺍﻧﺒﺆﺍ ‪ .‬ﺍﻻﻧﻌﺎﻡ ‪5‬‬

‫ﻭﻳﻨﺎء ﻭﻥ ﻋﻨﻪ‬ ‫‪ -4‬ﻭﻳﻨﺆﻥ ﻋﻨﻪ ‪ .‬ﺍﻻﻧﻌﺎﻡ ‪26‬‬

‫‪ “wawu”nya adalah tambahan tanpa‬ﺑﺎﻟﻐﺪﺍﺓ‬ ‫‪ -5‬ﺑﺎﻟﻐﺪﺍ ﻭﺓ ‪ .‬ﺍﻻﻧﻌﺎﻡ ‪52‬‬

‫‪ada alas an yang jelas.‬‬

‫ﺷﺮﻛﺎء‬ ‫‪ -6‬ﻓﻴﻜﻢ ﺷﺮﻛﺆﺍ ‪ .‬ﺍﻻﻧﻌﺎﻡ ‪94‬‬

‫ﻣﺎ ﻧﺸﺎﺅﺍ‬ ‫‪ -7‬ﻣﺎ ﻧﺸﺆﺍ ‪ .‬ﻫﻮﺩ ‪87‬‬

‫‪ah‬‬
‫ﻻ ﻳﻴﺌﺎﺱ‬ ‫‪ -8‬ﺍﻧﻪ ﻻ ﻳﺎﻳﺌﺲ ‪ .‬ﻳﻮﺳﻒ ‪87‬‬

‫ﻧﺒﺎء‬ ‫‪ -9‬ﺍﻟﻢ ﻳﺎء ﺗﻜﻢ ﻧﺒﺆﺍ ‪ .‬ﺍﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ‪9‬‬

‫‪i‬‬
‫‪Sy‬‬
‫ﺍﻟﻀﻌﻔﺎء‬ ‫‪ -10‬ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﻀﻌﻔﺆﺍ ‪ .‬ﺍﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ‪21‬‬

‫ﻟﺸﺊ‬ ‫‪ -11‬ﻭﻻ ﺗﻘﻮﻟﻦ ﻟﺸﺎءﺉ ‪ .‬ﺍﻟﻜﻬﻒ ‪23‬‬

‫ﻻ ﺗﺨﺬ ﺕ‬ ‫‪ -12‬ﻭﻟﻮ ﺷﺌﺖ ﻟﺘﺨﺬ ﺕ ‪ .‬ﺍﻟﻜﻬﻒ ‪77‬‬


‫‪a‬‬
‫‪k‬‬

‫ﻳﺎ ﺍﺑﻦ ﺍ ﻡ‬ ‫‪ -13‬ﻗﺎﻝ ﻳﺒﻨﺌﻢ ‪ .‬ﻁﻪ ‪94‬‬

‫ﻷﺫﺑﺤﻨﻪ‬ ‫‪ -14‬ﺍﻭﻻ ﺍﺫﺑﺤﻨﻪ ‪ .‬ﺍﻟﻨﻤﻞ ‪21‬‬


‫‪a‬‬
‫‪st‬‬

‫‪“Alif” telah ditambahkan tanpa suatu‬‬

‫‪alasan yang logis.‬‬


‫‪u‬‬

‫ﺍﻟﻤﻼء‬ ‫‪ -15‬ﻳﺎ ﺍﻳﻬﺎ ﺍﻟﻤﻠﺆﺍ ‪ .‬ﺍﻟﻨﻤﻞ ‪29‬‬


‫‪P‬‬

‫ﺷﻔﻌﺎء‬ ‫‪ -16‬ﺷﻔﻌﺆﺍ ‪ .‬ﺍﻟﺮﻭﻡ ‪13‬‬

‫ﺍﻟﺒﻼء‬ ‫‪ -17‬ﻟﻬﻮ ﺍﻟﺒﻠﺆﺍﻟﻤﺒﻴﻦ ‪ .‬ﺍﻟﺼﻔﺎ ﺕ ‪106‬‬

‫ﺍﻷﻳﻜﺔ‬ ‫‪ -18‬ﻭﺍﺻﺤﺎ ﺏ ﻟﺌﻴﻜﺔ ‪ .‬ﺹ ‪13‬‬

‫ﻭ ﺟﻰء‬ ‫‪ -19‬ﻭﺟﺎﺉ ﺑﺎ ﻟﻨﺒﻴﻴﻦ ‪ .‬ﺍﻟﺰﻣﺮ ‪69‬‬

‫ﻭﻣﺎ ﺩﻋﺎء‬ ‫‪20‬ﻭﻣﺎ ﺩﻋﺆﺍ ﺍﻟﻜﺎﻓﺮﻳﻦ ‪.‬ﺍﻟﻐﺎﻓﺮ ‪50‬‬

‫‪194‬‬
Ketika kita perhatikan bahwa mushhaf-mushhaf pada waktu itu—tidak

menggunakan titik, tidak memiliki semua tanda baca untuk membedakan huruf

bertitik dengan tidak bertitik yang menjadi petunjuk harokat dan ejaan kalimat-

kalimat—maka mushhaf-mushhaf itu sangat sulit untuk bisa dibaca. Sebagai contoh,

bagiaman pembaca bisa tahu jika alif yang ada dalam ayat, ‫ ﻻﺍﺫﺑﺤﻨﻪ‬itu adalah

tambahan dan tidak boleh dibaca. Bagaimana pembaca bisa tahu kalau salah satu dari

dua “Ya’”ya ‫ ﺑﺄﻳﻴﺪ‬dalam ayat ‫ ﻭﺍﻟﺴﻤﺎء ﺑﻨﻴﻨﺎﻫﺎ ﺑﺄﻳﻴﺪ‬adalah tambahan atau dalam kalimat ‫ﻧﺸﺆﺍ‬

yang tanpa tanda apapun. Bagiaman pembaca bisa mengerti bahwa ‫ ﻭ‬di situ adalah

tambahan alif di situ mamdudah (panjang) dan hamzahnya diujarkan setelah alif?

ah
Dalam kaligrafi mushhaf Usmani banyak terdapat perbedaan. Satu kalimat

ditulis dalam suatu bentuk tertentu, sementara kalimat itu juga ditulis di tempat lain

i
Sy
dengan bentuk yang berbeda. Hal ini ini menunjukan seberapa jauh kemampuan dasar

para penulis terdahulu. Dengan menganggap remeh mereka gunakan satu cara dalam

imla’ dan penulisan kalimat. Sebagaimana kalimat yang tercantum dalam ayat 247,
a

surah al-Baqarah ‫ ﺑﺴﻄﺔ‬ditulis dengan huruf “Sin” dan dalam ayat 69, surah al-A’raf
k

dengan “Shad” ‫ ﺑﺼﻄﺔ‬begitu juga dengan kalimat ‫ ﻳﺒﺴﻂ‬yang ada dalam ayat 26, surah
a

al-Ra’du yang ditulis dengan huruf “Sin” dan dalam ayat 245, surah al-Baqarah ditulis
st

dengan huruf “Shad.” Penulisan yang tidak konsisten seperti ini banyak ditemui
u

dalam mushhaf Usmani.


P

Berikut ini kami contohkan kesalahan tersebut:

Kalimat dengan imla’ yang benar Kalimat dengan imla’ yang salah

73 ‫ ﺍﻻﺳﺮﺍء‬. ‫ﺍﺫﺍ ﻻ ﺗﺨﺬﻭﻙ‬ 77 ‫ ﺍﻟﻜﻬﻒ‬. ‫ ﻟﻮ ﺷﺌﺖ ﻟﺘﺨﺬ ﺕ‬-1

14 ‫ ﻭ ﻕ‬78 ‫ ﺍﻟﺤﺠﺮ‬. ‫ﺍﺻﺤﺎ ﺏ ﺍﻷﻳﻜﺔ‬ 176 ‫ ﻭ ﺍﻟﺸﻌﺮﺍء‬13 ‫ ﺹ‬. ‫ ﺍﺻﺤﺎ ﺏ ﻟﺌﻴﻜﺔ‬-2

195
‫ﻟﻴﺲ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻀﻌﻔﺎء ‪ .‬ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ ‪91‬‬ ‫‪ -3‬ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﻀﻌﻔﺆﺍ ‪ .‬ﺍﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ‪21‬‬

‫ﻻ ﻳﺴﺘﺎءﺧﺮﻭﻥ ﺳﺎﻋﺔ ‪ .‬ﺍﻻﻋﺮﺍﻑ ‪34‬‬ ‫‪ -4‬ﻓﻼ ﻳﺴﺘﺌﺨﺮﻭﻥ ﺳﺎﻋﺔ ‪ .‬ﻳﻮﻧﺲ ‪49‬‬

‫‪ .‬ﺍﻟﺮﻋﺪ ‪14‬‬ ‫ﻭﻣﺎ ﺩﻋﺎء ﺍﻟﻜﺎﻓﺮﻳﻦ‬ ‫‪ -5‬ﻭﻣﺎ ﺩﻋﺆﺍ ﺍﻟﻜﺎﻓﺮﻳﻦ ‪ .‬ﺍﻟﻐﺎﻓﺮ ‪50‬‬

‫ﻟﻴﺲ ﺑﻈﻼ ﻡ ﻟﻠﻌﺒﻴﺪ ‪ .‬ﺍﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ ‪182‬‬ ‫ﺣﺞ ‪10‬‬ ‫‪ -6‬ﻟﻴﺲ ﺑﻈﻠﻢ ﻟﻠﻌﺒﻴﺪ ‪.‬‬

‫‪ah‬‬
‫ﺿﺮﺑﻮﺍ ﻟﻚ ﺍﻻﻣﺜﺎﻝ ‪ .‬ﺍﻻﺳﺮﺍء ‪48‬‬ ‫‪ -7‬ﺿﺮﺑﻮﺍ ﻟﻚ ﺍﻻﻣﺜﻞ ‪ .‬ﺍﻟﻔﺮﻗﺎﻥ ‪9‬‬

‫‪i‬‬
‫‪Sy‬‬
‫‪ .‬ﺍﻟﺮﻋﺪ ‪39‬‬ ‫‪301‬‬
‫‪F 30‬‬ ‫ﻭﻳﻤﺤﻮﺍ ﷲ ﻣﺎ ﻳﺸﺎء‬ ‫ﺍﻟﺸﻮﺭﻯ ‪24‬‬ ‫‪ -8‬ﻭﻳﻤﺢ ﷲ ﺍﻟﺒﺎﻁﻞ ‪.‬‬

‫‪ .‬ﺣﺞ ‪66‬‬ ‫ﺍﺣﻴﺎﻛﻢ ﺛﻢ ﻳﻤﻴﺘﻜﻢ‬ ‫‪ -9‬ﻓﺎﺣﻴﻜﻢ ﺛﻢ ﻳﻤﻴﺘﻜﻢ ‪ .‬ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ ‪28‬‬


‫‪a‬‬
‫‪k‬‬

‫‪ .‬ﻗﺮﻳﺶ ‪1‬‬ ‫‪2‬‬


‫ﻹﻳﻠﻒ ﻗﺮﻳﺶ‬ ‫ﻗﺮﻳﺶ ‪2‬‬ ‫‪ -10‬ﺍﻯ ﻟﻔﻬﻢ ﺭﺣﻠﺔ ‪.‬‬
‫‪a‬‬

‫‪F301‬‬
‫‪st‬‬

‫ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺍ ﻡ ‪ .‬ﺍﻻﻋﺮﺍﻑ ‪150 .‬‬ ‫ﻁﻪ ‪94‬‬ ‫‪ -11‬ﻗﺎﻝ ﻳﺒﻨﺆﻡ ‪.‬‬
‫‪u‬‬
‫‪P‬‬

‫ﻓﻰ ﺍﻻﺭﺣﺎﻡ ﻣﺎ ﻧﺸﺎء ‪ .‬ﺣﺞ ‪5‬‬ ‫‪ -12‬ﻓﻰ ﺍﻣﻮﺍﻟﻨﺎ ﻣﺎ ﻧﺸﺆﺍ ‪ .‬ﻫﻮﺩ ‪87‬‬

‫ﻭﺍﻥ ﺗﻌﺪﻭﺍ ﻧﻌﻤﺔ ﷲ ‪ .‬ﺍﻟﻨﺤﻞ ‪18‬‬ ‫‪ -13‬ﻭﺍﻥ ﺗﻌﺪﻭﺍ ﻧﻌﻤﺖ ﷲ ‪ .‬ﺍﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ‪34‬‬

‫‪301‬‬
‫‪“Yamhu” adalah mufrad, maka alif-nya adalah tambahan‬‬
‫‪2- Dihapusnya alif dari “Li Îlâf” juga salah.‬‬

‫‪196‬‬
23 ‫ ﺍﻟﻔﺘﺢ‬. ‫ﻭﻟﻦ ﺗﺠﺪ ﻟﺴﻨﺔ ﷲ‬ 43 ‫ ﻓﺎﻁﺮ‬. ‫ ﻓﻠﻦ ﺗﺠﺪ ﻟﺴﻨﺖ ﷲ‬-14

14 ‫ ﷴ‬. ‫ﻋﻠﻰ ﺑﻴﻨﺔ ﻣﻨﻪ‬ 40 ‫ ﻓﺎﻁﺮ‬. ‫ ﻋﻠﻰ ﺑﻴﻨﺖ ﻣﻨﻪ‬-15

18 ‫ ﺍﻟﻐﺎﻓﺮ‬. ‫ﻟﺪﻯ ﺍﻟﺤﻨﺎﺟﺮ‬ 25 ‫ ﻳﻮﺳﻒ‬. ‫ ﻟﺪﺍ ﺍﻟﺒﺎ ﺏ‬-16

17 ‫ ﺍﻟﻨﺎﺯﻋﺎﺕ‬. ‫ﺍﻧﻪ ﻁﻐﻰ‬ 11 ‫ ﺍﻟﺤﺎﻗﺔ‬. ‫ ﻁﻐﺎ ﺍﻟﻤﺎء‬-17

ah
33 ‫ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻮﻥ‬. ‫ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻤﻠﻸ‬ 24 ‫ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻮﻥ‬. ‫ ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﻤﻠﺆﺍ‬-19

i
Sy
59 ‫ ﻳﺲ‬. ‫ﺍﻳﻬﺎ ﺍﻟﻤﺠﺮﻣﻮﻥ‬ 31 ‫ ﺍﻟﺮﺣﻤﺎﻥ‬. ‫ﺍﻳﻪ ﺍﻟﺜﻘﻼﻥ‬20
a

Pandangan berlebihan
k

Sebagian orang berpegang teguh kepada tradisi-tradisi kuno. Mereka


a

beranggapan bahwa kaligrafi mushhaf dengan bentuk sekarang ini disusun atas
st

perintah Rasulullah saw . Para penulis terdahulu mereka anggap tidak memiliki
u

campur tangan dalam bentuk tulisan kalimat-kalimat dan ayat-ayat (al-Quran).


P

Kemudian semua kesalahan dalam tulisan ini dianggap suatu misteri dan hikmah

terselubung yang tiada seorang pun yang mengetahui selain Allah.

Ibnul Mubarak menukil Syekh Abdul Aziz al-Dabbagh yang berkata,

“Kaligrafi al-Quran adalah rahasia Allah. Rasulullah saw yang memerintahkan kalau

al-Quran harus mereka tulis dengan bentuk seperti ini dan para penulis itu tidak

menambah dan tidak mengurangi apa yang telah mereka dengar dari Rasulullah saw .

Para sahabat dan selainnya, meski selembar rambutpun tidak memiliki andil dalam

197
kaligrafi mushhaf. Kaligrafi itu adalah sesuatu yang sudah ditentukan oleh Rasulullah

saw . Beliaulah yang memerintahkan agar disusun dengan bentuk seperti ini. Di suatu

tempat mereka harus menulis dengan alif dan di tempat lain tanpa alif. Ini semua

adalah rahasia-rahasia yang tidak bisa dicerna oleh akal dan termasuk salah satu

rahasia Ilahi yang hanya dimiliki oleh kitab-Nya yang mulia dan tidak dimiliki oleh

kitab-kitab samawi lainnya. Sebagaimana susunan al-Quran adalah mukjizat,

kaligrafinyapun juga mukjizat.”

Bagaimana akal bisa mengetahui rahasia tulisan alif yang ada di dalam ‫ﻣﺎ ﺋﺔ‬

dan dihapusnya tulisan alif itu dari ‫ ﻓﺌﺔ‬dan ditambahkannya ‫ ﻳﺎء‬ke ‫ ﺑﺎﻳﺪ‬dan ‫ ﺑﺎﻳﻜﻢ‬yang

ah
keduanya ditulis dalam bentuk ‫ ﺑﺎﻳﻴﺪ‬dan ‫? ﺑﺎﻳﻴﻜﻢ‬

Bagaimana bisa kalimat ‫ ﺳﻌﻮﺍ‬dalam surah al-Hajj ditulis menggunakan alif

i
Sy
tetapi kalimat yang sama dalam surah Saba’ ditulis tanpa alif‫? ﺳﻌﻮ‬

Mengapa kalimat ‫ ﻋﺘﻮﺍ‬di semua tempat ditambahkan alif kecuali hanya dalam

surah al-Furqan ditulis tanpa alif ‫? ﻋﺘﻮ‬


a

Bagiamana bisa tambahan alif dalam ‫ ﺍﻣﻨﻮﺍ‬dan dihapus dari kalimat ‫ ﺑﺎ ﺅ‬dan ‫ﺟﺎ ﺅ‬
k

dan ‫ ﻧﺒﻮﺅ‬dan ‫ ﻓﺎ ﺅ‬yang ada dalam surah al-Baqarah?


a

Semua itu adalah misteri Ilahi dan bagian dari tujuan Nabi saw yang penuh
st

hikmah tersembunyi dari semua manusia. Semua ini adalah misteri batiniah yang
u

tidak bisa diketahui melainkan melalui jalan karunia Ilahi. Sama seperti lafazh-lafazh
P

dan huruf-huruf muqaththa’ah yang ada di awal surah, memiliki rahasia-rahasia besar

dan makna begitu banyak. Kebanyakan manusia tidak mengetahui rahasia-rahasia

tersebut. Mereka juga tidak mengetahui arti di balik makna Ilahiah yang

dilambangkan lafazh-lafazh dan huruf-huruf itu. Kaligrafi yang digunakan al-Quran

adalah sama seperti ini.302 P302F P

302
Manahilul Irfan; jilid 1, hal. 375-376.

198
Sebagian ulama berusaha melakukan investigasi atas maslah kaligrafi ini.

Seringkali pandangan yang mereka sampaikan terkesan sangat dipaksakan. Sebagai

contoh, mereka mengira kalau tambahan “Alif” dalam ‫ ﻻﺍﺫﺑﺤﻨّﻪ‬menunjukkan bahwa

penyembelihan itu tidak terjadi sedangkan tambahan “Ya’” dalam ayat

‫ ﻭﺍﻟﺴﻤﺎء ﺑﻨﻴﻨﺎﻫﺎ ﺑﻴﺄﻳﻴﺪ‬untuk menunjukkan keagungan kuasa Ilahi yang dengan itu Dia

dirikan langit, kekuasaan-Nya tidak serupa dengan kekuasaan dan kekuatan selain-

Nya. Pendapat ini sesuai dengan kaidah terkenal yang menegaskan bahwa banyaknya

huruf-huruf hijaiyah menunjukkan banyaknya makna. 303 P30F P

Dalam hal ini Abul Abbas al-Marakisyi yang dikenal dengan Ibnul Bina’ (w.

ah
721 H.) dalam kitabnya Unwan al-Dalil fi Marsum al-Tanzil menjelaskan dengan

detail bahwa posisi huruf-huruf tersebut dalam khat ini adalah berdasarkan perbedaan

i
Sy
dan bentuk makna kalimat yaitu misteri-misteri serta hikmah-hikmah yang

terselubung yang di antaranya ialah perhatian kepada alam-alam gaib dan alam nyata

serta tingkatan-tingkatan dan kedudukan wujud.


a

Berikut akan kami paparkan beberapa pendapat berlebihan tentang khat yang
k

bertujuan membenarkan kesalahan-kesalahan tersebut:


a

- Menambahkan alif dalam ‫ ﻻﺍﺫﺑﺤﻨّﻪ‬Sungguh aku akan menyembelihnya untuk


st

menunjukkan sembelihan yang disebutkan di awal ayat itu, yaitu suatu azab yang
u

paling pedih, Sungguh Aku benar-benar akan mengazabnya dengan azab yang keras,
P

atau benar-benar menyembelihnya (Al-Naml: 21).

- Alif yang ada dalam ‫ ﻳﺮﺟﻮﺍ‬dan ‫ ﻳﺪﻋﻮﺍ‬adalah tambahan untuk menunjukkan

fi’il lebih berat memikul dhamir fa’il daripada isim, oleh sebab itu ketika fi’il

dianggap ringan meskipun ia berupa kata jamak, maka alif dihapus, seperti;

303
Mukadimah Ibnu Kholdun; hal 419. Manahilul Irfan; jilid 1, hal. 367.

199
‫( ﺳﻌﻮ ﻓﻰ ﺍﻳﺎﺗﻨﺎ ﻣﻌﺎﺟﺰﻳﻦ‬Saba’: 5), orang-orang yang berusaha untuk (menentang) ayat-

ayat Kami dengan anggapan bahwa mereka dapat melemahkan, sebab usaha disini

adalah usaha yang batil dan tidak pernah terjadi.

- Alif yang ditulis setelah hamzah dalam ayat ‫( ﻛﺎﻣﺜﺎﻝ ﺍﻟﻠﺆﻟﺆﺍﺍﻟﻤﻜﻨﻮﻥ‬Al-Waqi’ah:

23) adalah tambahan untuk menunjukkan kecemerlangan mutiara yang tak

tersembunyi dan tak tertutupi dari sesuatu, oleh karena itu dalam ayat ‫( ﻛﺎ ﻧﻬﻢ ﻟﺆﻟﺆ‬Al-

Thur: 24) tidak ditambahkan alif.

- Alif dalam ‫ ﻣﺎﺋﺔ‬adalah tambahan tetapi dalam ‫ ﻓﺌﺔ‬tidak da alifnya, karena ‫ﻣﺎﺋﺔ‬

itu artinya banyak, satuan dan puluhan.

ah
- Alif yang ada dalam ayat ‫( ﻭﺟﺊ ﻳﻮ ﻣﺌﺬ ﺑﺠﻬﻨﻢ‬Al-Fajr: 23) adalah tambahan dan

ditulis dengan bentuk ‫ ﻭﺟﺎﻯء ﻳﻮﻣﺌﺬ‬untuk menunjukkan bahwa kedatangan itu benar-

i
Sy
benar tampak.

- Wawu yang ada dalam ayat ‫( ﺳﺄﻭﺭﻳﻜﻢ ﺁﻳﺎﺗﻰ‬Al-Anbiya’: 37) adalah tambahan

untuk menunjukkan bahwa alam wujud ini berada pada tingkatan kejelasan yang
a

paling tinggi.
k

- Ya’ yang ada dalam ayat ‫( ﻭﺍﻟﺴﻤﺎء ﺑﻨﻴﻨﺎﻫﺎ ﺑﺄﻳﻴﺪ‬Al-Dzariyat: 47) adalah tambahan
a

untuk menunjukkan adanya perbedaan dengan ‫ ﺍﻻﻳﺪﻱ‬yang merupakan jamak dari ‫ ﻳﺪ‬,
st

sebab yang dimaksud dalam ayat itu bukanlah Yad yang berarti tangan, melainkan
u

kekuatan dan kemampuan yang dengan itu Allah membangun langit. Kemampuan ini
P

jauh lebih layak menetap di dunia daripada “al-Aidi” yang merupakan kata jamak

dari “Yadun (tangan)”. Karena inilah Ya’ ditambahkan.

- Wawu dihapus dari ayat ‫( ﺳﻨﺪﻉ ﺍﻟﺰﺑﺎﻧﻴﺔ‬Al-‘Alaq: 18) untuk menunjukkan

menguatkan tindakan itu akan diambil secepat mungkin.

200
- Wawu dihapus dari ayat‫( ﻭﻳﺪﻉ ﺍﻻﻧﺴﺎﻥ ﺑﺎﻟﺸﺮ‬Al-Isra’: 11) untuk menunjukkan

bahwa melakukan perbuatan buruk bagi manusia adalah hal mudah dan bisa

dikerjakannya dengan cepat, sama seperti bermalas-malasan mengerjakan kebaikan.

- Dalam surah al-Baqarah ayat 247, kalimat ‫ ﺑﺴﻄﺔ‬ditulis dengan huruf “Sin”

dan dalam ayat 69 dari surah al-A’raf, ditulis dengan huruf “Shad”, karena dengan

huruf “Sin” bermakna kelapangan parsial sedangkan dengan Shad berarti kelapangan

universal.304
P304F

Berkaitan dengan masalah ini Dr. Shubhi Shalih berkata, “Tidak diragukan

lagi bahwa ini adalah pendapat berlebihan sekaitan dengan kaligrafi mushhaf Usmani.

ah
Tidak logis jika kita harus mengakui bahwa kaligrafi itu masalah tauqifi dan atas

perintah Rasulullah saw, atau kita menganggap kaligrafi itu mengandung misteri

i
Sy
yang sama dengan awal sebagian surah yang juga misteri. Tiada satu kasuspun yang

bisa dijadikan pembanding kaligrafi dengan huruf muqaththa’ah yang terbukti

mutawatir. Semua ini adalah istilah yang dibuat-buat oleh para penulis pada zaman itu
a

yang disetujui Usman.” 305


k

P305F P

Ibnu Kholdun berkata, “Sebagian orang yang tak berpengetahuan beranggapan


a

bahwa para sahabat mengetahui seni tulis dengan baik dan sempurna. Sebagian dari
st

tulisan-tulisan mereka yang bertentangan dengan kaidah-kaidah itu berdasarkan


u

hikmah dan misteri. Berkenaan dengan tambahan alif dalam ayat ‫ ﻷﺫﺑﺤﻨّﻪ‬alasannya
P

adalah untuk memperhatikan tidak terjadinya penyembelihan. Berkenaan dengan

tambahan “Ya’” dalam ‫ ﺑﺎﻳﻴﺪ‬mereka berkeyakinan bahwa tujuannya adalah menarik

perhatian kepada kesempurnaan kuasa Ilahi. Pendapat seperti ini sama sekali tidak

berdasar. Pendapat seseorang yang tanpa dalil, tidak perlu diperhatikan.” 306P306F P

304
Al-Burhan; jilid 1, hal. 380-430.
305
Mabahits fi Ulum al-Quran; hal. 277.
306
Mukadimah Ibnu Kholdun; bab kelima, hal. 419 dan bab keenam, hal. 438.

201
Muhammad Thahir al-Kurdi berpendapat tentang kaligrafi mushhaf Usmani

secara berlebihan. Setelah menjelaskan sebagian kesalahan-kesalahan kaligrafi

Usmani serta kontradiksi yang ada di dalamnya, dia berkata, “Adalah tugas kita

semua untuk mengetahui mengapa para penulis mushhaf terdahulu tidak

memperhatikan kaidah-kaidah penulisan yang benar dan mengapa dalam menulis

mushhaf tidak menggunakan satu sistim saja? Ini adalah pertanyan yang harus

dijawab oleh mereka yang menulis mushhaf atas perintah Usman. Tetapi mereka

semua telah meninggal dunia dan oleh karena itu para ulama berkata, ‘Kaligrafi

mushhaf adalah sebuah rahasia dari rahasia-rahasia (Ilahi) yang tak seorangpun

ah
mengetahuinya. Janganlah kalian menyangka mereka lupa, salah dan tidak mengerti

tentang dasar-dasar ilmu tulis, karena prasangka tersebut adalah khayalan yang tidak

i
Sy
benar. Kita memiliki keyakinan pasti bahwa para sahabat mengetahui kaidah-kaidah

imla’ dan tulis menulis sebagaimana mestinya.’ Untuk pendapat ini kita memiliki tiga

dalil;
a

Pertama bahwa Allamah Alusi dalam tafsirnya, Ruhul Ma’ani menjelaskan


k

bawha secara zhahir, para sahabat mengerti kaligrafi dan kaidah-kaidah penulisan
a

dengan baik, kecuali dalam sebagian kasus, dengan sengaja dan karena suatu hikmah
st

atau falsafah tertentu, mereka menulis sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-
u

kaidah tersebut.
P

Kedua, mereka seringkali berkorespondensi dengan para raja. Dengan begitu,

mereka terpaksa harus bisa menulis dengan baik.

Ketiga, pada masa Usman, lebih dari seperempat abad orang-orang Jazirah

Arabia menyibukkan diri dengan urusan tulisan. Logiskah dalam waktu yang panjang

ini sahabat tidak bisa menulis dengan baik?” 307

307
Muhammad Thahir al-Kurdi; Tarikh al-Khath al-Arabi; hal. 101-102.

202
Perkataan Ibnu Kholdun, “Janganlah kalian perhatikan khayalan-khayalan

orang-orang bodoh ini” membuat kita tidak merasa perlu menjawab pertanyaan

tersebut.

Ibnu Khathib, ketika menjawab anggapan tersebut mengutip pendapat Ja’buri

yang berkata, “Manfaatnya yang paling besar adalah menjadi penghalang bagi Ahlul

Kitab untuk membaca al-Quran secara langsung.”

Khathib berkomentar, “Salah satu dari para pemuka Qurra’, berbicara tentang

sesuatu yang tidak berdasar seperti itu. Dengan berbicara seperti itu berarti dia

mendukung orang-orang yang berpihak kepada keharusan adanya kesalahan-

ah
kesalahan dalam (mushhaf) al-Quran. Padahal, kesalahan dan ketidakberdasaran

pendapat itu sangat jelas. Di dalam al-Quran banyak sekali ayat-ayat diperuntukkan

i
Sy
Ahlul Kitab untuk mengajak mereka beriman, kemudian, bagaimana mungkin ia

menjadi penghalang untuk membaca al-Quran.

Pendapat yang paling jorok sekalipun, selama itu menggunakan akal sehat dan
a

pengetahun yang benar niscaya tidak akan berlebihan, seperti pendapat Shabbagh
k

sebagai berikut, ‘Manfaat-manfaat kaligrafi dan rahasianya bermacam-macam, di


a

antaranya adalah (kaligrafi itu) tidak bisa dibaca. Namun sebuah pesan yang penting
st

untuk dibaca dan mengandung pengetahuan sangat berharga hendaknya tetap terjaga
u

dengan baik (harus bisa dimengerti).’”


P

Ibnu Khathib berkomentar, “Oh musibah! Apakah al-Quran juga sama seperti

logaritma, jimat, ilmu ramal, astronomi, ilmu nujum dan ilmu-ilmu lainnya yang

mereka anggap kadarnya terletak kepada misteri-misteri terselubung di dalam ilmu itu

sendiri. Sehingga, tidak bisa digapai kecuali dengan usaha keras dengan

menghabiskan waktu yang sangat panjang? Allah berfirman, Dan sungguh Kami telah

memudahkan al-Quran untuk di ingat (Al-Qamar; 17). Bagaiaman bisa mereka

203
mengatakan al-Quran tidak bisa dijangkau oleh manusia! Pemahaman seperti tidak

benar, bohong dan mengandung kepalsuan! Apakah mushhaf itu ditulis untuk dibaca

atau untuk jimat, sehingga hanya para Qurra’ saja yang membacanya?”

Ibnu Khathib berpendapat bahwa dia pernah melihat banyak orang alim dan

sastrawan yang salah membaca al-Quran karena ketidaktahuan mereka terhadap

kaligrafi serta metodologi bacaan yang aneh.308

Dengan memperhatikan penjelasan Ibnu Khathib bahwa kaligrafi mushhaf

harus dibenahi dan ditulis dengan khat yang bisa dibaca oleh semua orang dan ulama

kontemporer, berarti dia memiliki keyakinan yang sama dengan semua peneliti yang

ah
membolehkan kaligrafi kuno diubah dengan kaligrafi baru. Alasannya adalah kaligrafi

kuno itu ditulis bukan atas perintah Rasulullah saw, melainkan para penulis yang

i
Sy
melakukannya, sementara pada waktu itu adalah masa awal tradisi penulisan yang

banyak mengandung kesalahan.

Sekarang, berkembangnya metode-metode penulisan dan penyempurnannya


a

telah mempermudah semua orang yang ingin membacanya. Tiada cara lain kecuali
k

merubah kaligrafi kuno dengan kaligrafi baru yang diketahui oleh semua orang
a

sehingga al-Quran bisa disuguhkan kepada semua orang. Inilah tujuan yang menjadi
st

sebab al-Quran diturunkan, yaitu menjadi petunjuk dan pembimbing semua manusia
u

untuk selamanya.
P

Qadhi Muhammad bin al-Thayyib Abu Bakar al-Baqillani (w. 403 H.) dalam

kitabnya Al-Intishar berkata, “Allah tidak mengharuskan bentuk tertentu sebuah

tulisan untuk manusia. Tentang tulisan al-Quran dan para penulis mushhaf-mushhaf,

tidak ada ketentuan kaligrafi tertentu untuk mencatat al-Quran, juga tidak ada

larangan menggunakan kaligrafi selain kaligrafi awal. Keharusan hanya berlaku dan

308
Al-Furqan; hal. 63-86.

204
berhubungan bagi rujukan dan nash al-Quran. Bahkan ada hadis menyebutkan bahwa

al-Quran bisa ditulis dengan segala bentuk yang lebih mudah, sebab Rasulullah saw

hanya memerintahkan untuk menulis al-Quran saja, tidak menentukan cara dan

kaligrafi khusus untuk menulisnya. Tidak seorang pun dilarang untuk menulis al-

Quran oleh beliau. Karena itulah khat-khat mushhaf itu berbeda-beda dan setiap

kelompok menulis al-Quran dengan metodologi yang berlaku di kalangan mereka

sendiri. Oleh sebab itu khat ditulis dengan huruf Kufi dan khat dasar (Lam ditulis

dengan bentuk Kaf dan Alif ditulis melengkung). Khat bisa ditulis dengan bentuk lain,

dengan metodologi kuno atau dengan cara baru.”

ah
Jika khat-khat dalam mushhaf itu huruf-hurufnya berbeda satu sama lain dan

bentuknya juga tidak sama, itu disebabkan oleh orang-orang yang pada waktu itu

i
Sy
tidak mempermasalahkannya. Mereka tidak melarang siapa saja untuk menulis al-

Quran dengan sesuai dengan khat yang populer di kalangan mereka sendiri. Setiap

cara yang lebih mudah dan lebih masyhur dapat diterima oleh orang-orang dan sama
a

sekali tidak ada masalah, karena tidak ada cara dan khat khusus yang ditentukan untuk
k

penulisan al-Quran. Ketentuannya adalah bacaan yang benar, sementara symbol


a

bacaan bisa mengunakan bentuk apa saja, karena khat itu sama dengan alamat dan
st

simbol yang menunjukkan suatu kalimat. Setiap alamat dan tanda yang
u

mengungkapkan maksud, tidak dilarang peenggunaannya.


P

Ringkasnya, siapa saja yang berpendapat bahwa al-Quran harus ditulis dengan

kaligrafi tertentu, dia harus memiliki dasar yang benar untuk, sementara dalil untuk

itu tidak ada.

Masalah di atas adalah ringkasan dari pendapat Qadhi Abu Bakar al-Baqillani

yang dinukil Syekh Abdul Azhim Zarqani dalam Manahilul Irfan. Setelah menukil

205
Baqillani, Zarqani menegaskan bahwa kelemahan dan tidak berdasarnya pendapat-

pendapat tersebut telah dipatahkan oleh Baqillani. 309

Memperkuat pendapat tersebut, Doktor Shubhi Shalih menegaskan bahwa

keyakinan Qadhi Abu Bakar dalam masalah ini sangat beralasan dan dapat diterima.

Dia memiliki bukti-bukti yang sangat kuat dan pandangan yang sangat jauh. Dia tidak

mendahulukan emosinya di atas dalil untuk menghargai para pendahulu dan tidak

mencampuradukkan keduanya. Mereka yang mengakui bahwa kaligrafi itu tauqifi dan

abadi adalah orang-orang emosinal yang menyertakan perasaan dan selera pribadi

pada pendapatnya. Padahal emosi dan selera pribadi itu relatif dan tidak boleh

ah
dicampur dengan urusan-urusan agama. Hakikat syariat bukan disimpulkan dari

unsure selera dan emosional.310

i
Sy
Dalam bagan dibawah ini akan dibandingkan kaligrafi lama dan kaligrafi

kontemporer. Bagan di bawah ini membenadingkan kalimat-kalimat seperti ‫ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ‬,

‫ ﺍﻟﻌﺎﻟﻤﻴﻦ‬dan ‫ﺍﻟﺼﺮﺍﻁ‬ yang huruf Alif-nya telah dihapus yang banyak ditemui dalam
a

mushhaf Usmani. Dihapusnya Alif dari kalimat-kalimat ini sesuai dengan khat Kufi.
k

Ada juga kalimat-kalimat yang di dalamnya sebagai ganti dari Alif, ditulis dengan
a

wawu dan ya’ seperti ‫ ﺻﻠﻮﺓ‬, ‫ ﺯﻛﻮﺓ‬dan ‫ ﺗﻮﺭﻳﺔ‬yang tidak disebutkan dalam bagan ini
st

karena jumlahnya sangat banyak dan sering diulang-ulang. Dari kalimat-kalimat yang
u

diulang-ulang, hanya satu kalimat saja yang kami sebut di ayat pertama sebagai
P

contoh. Kalimat-kalimat seperti ini diulang-ulang dalam ayat-ayat dan surah-surah

yang lain yang teridentifikasi dengan tanda ‫ ﻙ‬.

Surah / ayat Ejaan lama Ejaan baru

1- Al-Baqarah/33 ‫ﻳﺎﺩﻡ‬ ‫ﻳﺎ ﺁﺩﻡ‬

309
Manahilul Irfan; jilid 1, hal. 373-378.
310
Mabahits fi Ulum al-Quran; hal. 279.

206
‫‪2-Al-Baqarah/40‬‬ ‫ﺍﺳﺮﺍءﻳﻞ )ﻙ(‬ ‫ﺍﺳﺮﺁﺋﻴﻞ‬

‫‪3- Al-Baqarah/71‬‬ ‫ﺍﻟﻦ )ﻙ(‬ ‫ﺍﻷﻥ‬

‫‪4- Al-Baqarah/87‬‬ ‫ﻋﻴﺴﻰ ﺍ ﺑﻦ ﻣﺮﻳﻢ‬ ‫ﻋﻴﺴﻰ ﺑﻦ ﻣﺮﻳﻢ‬

‫‪5- Al-Baqarah/90‬‬ ‫ﺑﺌﺲ ﻣﺎ )ﻙ(‬ ‫ﺑﺌﺴﻤﺎ‬

‫‪6- Al-Baqarah/164‬‬ ‫ﺍﻟﻴﻞ )ﻙ(‬ ‫ﺍﻟﻠﻴﻞ‬

‫‪7- Al-Baqarah/226‬‬ ‫ﻓﺎء ﻭ‬ ‫ﻓﺎﺅﺍ‬

‫‪8- Al-Baqarah/240‬‬ ‫ﻓﻰ ﻣﺎ )ﻙ(‬ ‫ﻓﻴﻤﺎ‬

‫‪9- Al-Baqarah/275‬‬ ‫ﺍﻟﺮﺑﻮﺍ )ﻙ(‬ ‫ﺍﻟﺮﺑﺎ‬

‫‪10- Al-Baqarah/282‬‬ ‫ﺗﺴﺌﻤﻮﺍ‬ ‫ﺗﺴﺄﻣﻮﺍ‬

‫‪ah‬‬
‫‪11- Ali Imran/35‬‬ ‫ﺍﻣﺮﺃﺕ )ﻙ(‬ ‫ﺍﻣﺮﺃﺓ‬

‫‪12- Ali Imran/75‬‬ ‫ﺍﻻﻣﻴﻦ‬ ‫ﺍﻻﻣﻴﻴﻦ‬

‫‪i‬‬
‫‪Sy‬‬
‫‪13- Ali Imran/79‬‬ ‫ﺭﺑّﻨﻴﻴﻦ‬ ‫ﺭﺑّﺎﻧﻴﻴﻦ‬

‫‪14- Ali Imran/144‬‬ ‫ﺍﻓﺎﻳﻦ )ﻙ(‬ ‫ﺃﻓﺈﻥ‬

‫ﺗﻠﻮﻥ‬ ‫ﺗﻠﻮﻭﻥ‬
‫‪a‬‬

‫‪15- Ali Imran/153‬‬


‫‪k‬‬

‫‪16- Al-Nisa’/16‬‬ ‫ﺍﻟﺬﺍﻥ‬ ‫ﺍﻟﻠﺬﺍﻥ‬

‫ﺍﻟﺘﻰ )ﻙ(‬ ‫ﺍﻟﻼ ﺗﻰ‬


‫‪a‬‬

‫‪17- Al-Nisa’/23‬‬
‫‪st‬‬

‫‪18- Al-Nisa’/25‬‬ ‫ﻓﻤﻦ ﻣﺎ )ﻙ(‬ ‫ﻓﻤ ّﻤﺎ‬

‫‪19- Al-Nisa’/78‬‬ ‫ﻓﻤﺎ ﻫﺆﻻء )ﻙ(‬ ‫ﻓﻤﺎ ﻟﻬﺆﻻء‬


‫‪u‬‬

‫‪20- Al-Maidah/18‬‬ ‫ﺍﺑﻨﺆﺍ‬ ‫ﺍﺑﻨﺎء‬


‫‪P‬‬

‫‪21- Al-Maidah/29‬‬ ‫ﺟﺰﺅﺍ )ﻙ(‬ ‫ﺟﺰﺍء‬

‫‪22- Al-Maidah/31‬‬ ‫ﺳﻮءﺓ‬ ‫ﺳﻮﺃﺓ‬

‫‪23-Al-An’am/5‬‬ ‫ﺍﻧﺒﺆﺍ )ﻙ(‬ ‫ﺍﻧﺒﺎء‬

‫‪24- Al-An’am/34‬‬ ‫ﻧﺒﺎءﻯ‬ ‫ﻧﺒﺄ‬

‫‪25- Al-An’am/52‬‬ ‫ﺑﺎﻟﻐﺪﻭﺓ‬ ‫ﺑﺎﻟﻐﺪﺍﺓ‬

‫‪207‬‬
‫‪16- Al-An’am/94‬‬ ‫ﺷﺮﻛﺆﺍ )ﻙ(‬ ‫ﺳﺮﻛﺎء‬

‫‪17- Al-An’am/115‬‬ ‫ﻛﻠﻤﺖ )ﻙ(‬ ‫ﻛﻠﻤﺔ‬

‫‪18- Al-An’am/144‬‬ ‫ﺍﻣﺎ )ﻙ(‬ ‫ﺍﻡ ﻣﺎ‬

‫‪19- Al-A’raf/6‬‬ ‫ﻓﻠﻨﺴﻠﻦ‬ ‫ﻓﻠﻨﺴﺄ ﻟﻦ‬

‫‪20- Al-A’raf/20‬‬ ‫ﻣﺎﻭﺭﻱ‬ ‫ﻣﺎ ﻭﻭﺭﻯ‬

‫‪21- Al-A’raf/56‬‬ ‫ﺭﺣﻤﺖ )ﻙ(‬ ‫ﺭﺣﻤﺔ‬

‫‪22- Al-A’raf/69‬‬ ‫ﺑﺼﻄﺔ‬ ‫ﺑﺴﻄﺔ‬

‫‪23- Al-A’raf/105‬‬ ‫ﺍﻥ ﻻ‬ ‫ﺍﻻّ‬

‫‪24- Al-A’raf/127‬‬ ‫ﻧﺴﺘﺤﻰ ﻯ‬ ‫ﻧﺴﺘﺤﻲ‬

‫‪ah‬‬
‫‪25- Al-Anfal/38‬‬ ‫ﺳﻨّﺖ‬ ‫ﺳﻨّﺔ‬

‫‪26- Al-Taubah/47‬‬ ‫ﻭﻻ ﺍﻭ ﺿﻌﻮﺍ‬ ‫ﻭﻻ ﻭﺿﻌﻮﺍ‬

‫‪i‬‬
‫‪Sy‬‬
‫‪27- Yunus/15‬‬ ‫ﺗﻠﻘﺎءﻯ‬ ‫ﺗﻠﻘﺎء‬

‫‪28- Yunus/34‬‬ ‫ﻳﺒﺪﺅﺍ‬ ‫ﻳﺒﺪﺃ‬

‫ﺍ ّﻣﻦ‬ ‫ﺍﻡ ﻣﻦ‬


‫‪a‬‬

‫‪29- Yunus/35‬‬
‫‪k‬‬

‫‪30- Hud/86‬‬ ‫ﺑﻘﻴّﺖ‬ ‫ﺑﻘﻴّﺔ‬

‫ﻣﺎ ﻧﺸﺆﺍ‬ ‫ﻣﺎ ﻧﺸﺎء‬


‫‪a‬‬

‫‪31- Hud/87‬‬
‫‪st‬‬

‫‪32-Hud/97‬‬ ‫ﻭﻣﻼء ﻳﻪ‬ ‫ﻭﻣﻸﻩ‬

‫‪33-Yusuf/25‬‬ ‫ﻟﺪﺍ‬ ‫ﻟﺪﻯ‬


‫‪u‬‬

‫‪34-Yusuf/87‬‬ ‫ﺗﺎﻳﺴﻮﺍ‬ ‫ﺗﻴﺄﺳﻮﺍ‬


‫‪P‬‬

‫‪35- Yusuf/87‬‬ ‫ﻳﺎ ﻳﺲ‬ ‫ﻳﻴﺄﺱ‬

‫‪36- Yusuf/101‬‬ ‫ﻭﻟﯩﻰ‬ ‫ﻭﻟﻲ‬

‫‪37- Yusuf/110‬‬ ‫ﺍﺳﺘﻴﺲ‬ ‫ﺍﺳﺘﻴﺄﺱ‬

‫‪38- Al-Ra’du/39‬‬ ‫ﻳﻤﺤﻮﺍ‬ ‫ﻳﻤﺤﻮ‬

‫‪39- Ibrahim/9‬‬ ‫ﻧﺒﺆﺍ‬ ‫ﻧﺒﺄ‬

‫‪208‬‬
‫‪40- Ibrahim/21‬‬ ‫ﺍﻟﺼﻌﻔﺆﺍ‬ ‫ﺍﻟﺼﻌﻔﺎء‬

‫‪41- Al-Hijr/95‬‬ ‫ﺍﻟﻤﺴﺘﻬﺰء ﻳﻦ‬ ‫ﺍﻟﻤﺴﺘﻬﺰﺋﻴﻦ‬

‫‪42- Al-Nahl/43‬‬ ‫ﻓﺴﻠﻮﺍ‬ ‫ﻓﺴﺄﻟﻮﺍ‬

‫‪43- Al-Nahl/48‬‬ ‫ﻳﺘﻔﻴّﺆﺍ‬ ‫ﻳﺘﻔﻴﺄ‬

‫‪44- Al-Nahl/86‬‬ ‫ﺭءﺍ )ﻙ(‬ ‫ﺭﺁﻯ‬

‫‪45- Al-Nahl/90‬‬ ‫ﻭﺍﻳﺘﺎء ﻯ‬ ‫ﻭﺍﻳﺘﺎء‬

‫‪46- Al-Isra’/11‬‬ ‫ﻳﺪﻉ‬ ‫ﻳﺪﻋﻮ‬

‫‪47- Al-Kahfi/23‬‬ ‫ﻟﺸﺎﻯء‬ ‫ﻟﺸﺊ‬

‫‪48- Al-Kahfi/38‬‬ ‫ﻟﻜﻨﺎ‬ ‫ﻟﻜﻦ‬

‫‪ah‬‬
‫‪49- Al-kahfi/48‬‬ ‫ﺍﻟﻦ‬ ‫ﺍﻥ ﻟﻦ‬

‫‪50- Al-Kahfi/63‬‬ ‫ﺍﺭء ﻳﺖ‬ ‫ﺃﺭﺃ ﻳﺖ‬

‫‪i‬‬
‫‪Sy‬‬
‫‪51- Al-Kahfi/77‬‬ ‫ﻟﺘﺨﺬﺕ‬ ‫ﻻﺗﺨﺬﺕ‬

‫‪52- Al-Kahfi/77‬‬ ‫ﺍﻟﺪﺍﻉ‬ ‫ﺍﻟﺪﺍﻋﻰ‬

‫ﻳﺮﺟﻮﺍ )ﻙ(‬ ‫ﻳﺮﺟﻮ‬


‫‪a‬‬

‫‪53- Al-Kahfi/110‬‬
‫‪k‬‬

‫‪54- Maryam/28‬‬ ‫ﻳﺄﺧﺖ‬ ‫ﻳﺎ ﺃﺧﺖ‬

‫ﻳﺄﺑﺖ‬ ‫ﻳﺎ ﺃ ﺑﺖ‬


‫‪a‬‬

‫‪55- Maryam/44‬‬
‫‪st‬‬

‫‪56- Maryam/46‬‬ ‫ﻳﺄﺑﺮﺍﻫﻴﻢ‬ ‫ﻳﺎ ﺍﺑﺮﺍﻫﻴﻢ‬

‫‪57- Thaha/18‬‬ ‫ﺍﺗﻮﻛﺆﺍ‬ ‫ﺍﺗﻮﻛﺄ‬


‫‪u‬‬

‫‪58- Thaha/94‬‬ ‫ﻳﺒﻨﺆﻡ‬ ‫ﻳﺎ ﺍﺑﻦ ﺍ ّﻡ‬


‫‪P‬‬

‫‪59- Thaha/119‬‬ ‫ﻻﺗﻈﻤﺆﺍ‬ ‫ﻻﺗﻈﻤﺄ‬

‫‪60- Thaha/121‬‬ ‫ﺳﻮء ﺗﻬﻤﺎ‬ ‫ﺳﻮءﺍ ﺗﻬﻤﺎ‬

‫‪61- Thaha/130‬‬ ‫ءﺍ ﻧﺎءﻯ‬ ‫ﺁﻧﺎء‬

‫‪62-Al-Anbiya’/37‬‬ ‫ﺳﺄﻭﺭﻳﻜﻢ )ﻙ(‬ ‫ﺳﺄﺭﻳﻜﻢ‬

‫‪63- Al-Mu’minun/24‬‬ ‫ﺍﻟﻤﻠﺆﺍ )ﻙ(‬ ‫ﺍﻟﻤﻸ‬

‫‪209‬‬
‫‪64- Al-Mu’minun/44‬‬ ‫ﻛﻞ ﻣﺎ‬ ‫ﻛﻠﻤﺎ‬

‫‪65- Al-Nur/8‬‬ ‫ﻭﻳﺪﺭﺅﺍ‬ ‫ﻭﻳﺪﺭﺃ‬

‫‪66- Al-Nur/13‬‬ ‫ﺟﺎء ﻭ )ﻙ(‬ ‫ﺟﺎﺅﺍ‬

‫‪67- Al-Nur/43‬‬ ‫ﻋﻦ ﻣﻦ‬ ‫ﻋ ّﻤﻦ‬

‫‪68- Al-Furqan/21‬‬ ‫ﻭﻋﺘﻮ‬ ‫ﻭﻋﺘﻮﺍ‬

‫‪69- Al-Furqan/38‬‬ ‫ﻭﺛﻤﻮﺩﺍ )ﻙ(‬ ‫ﻭﺛﻤﻮﺩ‬

‫‪70- Al-Furqan/49‬‬ ‫ﻟﻨﺤﻰ‬ ‫ﻟﻨﺤﻲ‬

‫‪71- Al-Syu’ara’/92‬‬ ‫ﺍﻳﻦ ﻣﺎ‬ ‫ﺍﻳﻨﻤﺎ‬

‫‪72- Al-Syu’ara’/94‬‬ ‫ﺍﻟﻐﺎﻭﻥ )ﻙ(‬ ‫ﺍﻟﻐﺎﻭﻭﻥ‬

‫‪ah‬‬
‫‪73- Al-Naml/21‬‬ ‫ﻻﺍﺫﺑﺤﻨﻪ‬ ‫ﻷﺫﺑﺤﻨﻪ‬

‫‪74- Al-Naml/64‬‬ ‫ﻳﺒﺪﺅﺍ )ﻙ(‬ ‫ﻳﺒﺪﺃ‬

‫‪i‬‬
‫‪Sy‬‬
‫‪75- Al-Naml/92‬‬ ‫ﺍﺗﻠﻮﺍ‬ ‫ﺍﺗﻠﻮ‬

‫‪76- Al-Qashash/3‬‬ ‫ﻧﺘﻠﻮﺍ‬ ‫ﻧﺘﻠﻮ‬

‫ﻳﺴﺘﺤﻰ ﻯ )ﻙ(‬ ‫ﻳﺴﺘﺤﻲ‬


‫‪a‬‬

‫‪77- Al-Qashash/4‬‬
‫‪k‬‬

‫‪78- Al-Qashash/9‬‬ ‫ﻗﺮﺕ‬


‫ّ‬ ‫ﻗﺮﺓ‬
‫ّ‬

‫ﺷﻔﻌﺆﺍ‬ ‫ﺷﻔﻌﺎء‬
‫‪a‬‬

‫‪79- Al-Rum/13‬‬
‫‪st‬‬

‫‪80- Al-Rum/16‬‬ ‫ﻟﻘﺎءﻯ‬ ‫ﻟﻘﺎء‬

‫‪81- Al-Rum/24‬‬ ‫ﻓﻴﺤﯩﻰ‬ ‫ﻓﻴﺤﻲ‬


‫‪u‬‬

‫‪82- Al-Rum/30‬‬ ‫ﻓﻄﺮﺕ‬ ‫ﻓﻄﺮﺓ‬


‫‪P‬‬

‫‪83- Al-Rum/39‬‬ ‫ﻟﻴﺮﺑﻮﺍ )ﻙ(‬ ‫ﻟﻴﺮﺑﻮ‬

‫‪84- Al-Ahzab/37‬‬ ‫ﻟﻜﻰ ﻻ‬ ‫ﻟﻜﻴﻼ‬

‫‪85- Saba’/5‬‬ ‫ﺳﻌﻮ‬ ‫ﺳﻌﻮﺍ‬

‫‪86- Ghafir/15‬‬ ‫ﺍﻟﺘﻼﻕ‬ ‫ﺍﻟﺘﻼ ﻗﻰ‬

‫‪87-Ghafir/32‬‬ ‫ﺍﻟﺘﻨﺎﺩ‬ ‫ﺍﻟﺘﻨﺎﺩﻯ‬

‫‪210‬‬
‫‪88- Fushshilat/29‬‬ ‫ﺍﻟﺬﻳﻦ‬ ‫ﺍﻟﻠﺬﻳﻦ‬

‫‪89- Al-Syura/24‬‬ ‫ﻭﻳﻤﺢ‬ ‫ﻭﻳﻤﺤﻮ‬

‫‪90-Al-Syura/30‬‬ ‫ﻭﻳﻌﻔﻮﺍ )ﻙ(‬ ‫ﻭﻳﻌﻔﻮ‬

‫‪91- Al-Syura/32‬‬ ‫ﺍﻟﺠﻮﺍ ﺭ‬ ‫ﺍﻟﺠﻮﺍ ﺭﻯ‬

‫‪92- Al-Syura/51‬‬ ‫ﻭﺭﺍءﻯ‬ ‫ﻭﺭﺍء‬

‫‪93- Al-Dukhan/43‬‬ ‫ﺷﺠﺮﺕ‬ ‫ﺷﺠﺮﺓ‬

‫‪94- Al-Dzariyat/13‬‬ ‫ﻳﻮﻡ ﻫﻢ‬ ‫ﻳﻮﻣﻬﻢ‬

‫‪95- Al-Dzariyat/47‬‬ ‫ﺑﺎ ﻳﻴﺪ‬ ‫ﺑﺄﻳﺪ‬

‫‪96- Al-Qamar/6‬‬ ‫ﻳﺪﻉ‬ ‫ﻳﺪﻋﻮ‬

‫‪ah‬‬
‫‪97- Al-Mujadilah/9‬‬ ‫ﻣﻌﺼﻴﺖ‬ ‫ﻣﻌﺼﻴﺔ‬

‫‪98- Al-Mumtahanah/4‬‬ ‫ﺑﺮء ﺅﺍ‬ ‫ﺑﺮءﺍء‬

‫‪i‬‬
‫‪Sy‬‬
‫‪99- Al-Tahrim/11‬‬ ‫ﺍﻣﺮﺃﺕ‬ ‫ﺍﻣﺮﺃﺓ‬

‫‪100- Al-Tahrim/12‬‬ ‫ﺑﻜﻠﻤﺖ‬ ‫ﺑﻜﻠﻤﺎﺕ‬

‫ﺑﺎﻳﻴﻜﻢ‬ ‫ﺑﺄﻳّﻜﻢ‬
‫‪a‬‬

‫‪101- Al-Qalam/6‬‬
‫‪k‬‬

‫‪102- Al-Takwir/8‬‬ ‫ﺍﻟﻤﻮء ﺩﺓ‬ ‫ﺍﻟﻤﻮﺅﺩﺓ‬

‫ﻳﺪﻋﻮﺍ‬ ‫ﻳﺪﻋﻮ‬
‫‪a‬‬

‫‪103- Al-Insyiqaq/11‬‬
‫‪st‬‬

‫‪104- Al-Ghasyiah/22‬‬ ‫ﺑﻤﺼﻴﻄﺮ‬ ‫ﺑﻤﺴﻴﻄﺮ‬

‫‪105- Al-Fajr/4‬‬ ‫ﻳﺴﺮ‬ ‫ﻳﺴﺮﻯ‬


‫‪u‬‬

‫‪106-Al-Fajr/23‬‬ ‫ﻭﺟﺎﻯء‬ ‫ﻭﺟﻰء‬


‫‪P‬‬

‫‪107- Al-Quraisy/2‬‬ ‫ﺍﻯ ﻟﻔﻬﻢ‬ ‫ﺍﻳﻼ ﻓﻬﻢ‬

‫‪211‬‬
Periode Kesempurnaan dan Keindahan Khat Al-Quran

Sejak masa awal Islam, khususnya dari segi tulisan dan keindahan khat, al-

Quran pernah mengalami proses penyempurnaan. Para kaligrafer besar memiliki andil

dalam keindahan dan penyempurnaan khat al-Quran.

Orang pertama yang menyempurnakan tulisan mushhaf dan memperindah

khat, adalah Khalid bin Abil Hayyaj salah seorang sahabat Amirul Mukminin Ali bin

Abu Thalib as yang meninggal dunia sekitar tahun ke seratus Hijriah. Dia dikenal

dengan tulisannya yang bagus dan indah. Diriwayatkan bahwa Sa’ad, Maula dan

Hajib Walid, meminta bantuan kepadanya untuk menuliskan mushhaf, puisi dan

ah
berita-berita di istana Walid bin Abdul Malik (86-96 Hijriah). Dia adalah orang yang

menulis surah Al-Syams dengan emas di atas mihrab masjid Nabawi yang kemudian

i
Sy
direnofasi dan diperluas oleh Umar bin Abdul Aziz. Renofasi ini selesai pada tahun

90 H.311

Umar bin Abdul Aziz meminta kepada Khalid agar menuliskan sebuah
a

mushhaf untuknya dengan khat yang sama. Khalid memenuhi permintaan itu dengan
k

menulis khat sangat indah. Umar bin Abdul Aziz menerimanya dan mengucapkan
a

terima kasih kepadanya. Khalid meminta imbalan yang sangat besar atas hasil jerih
st

payahnya, namun Umar bin Abdul Aziz tidak memenuhi permintaan Khalid, akhirnya
u

mushhaf itu dikembalikan kepadanya.


P

Muhammad bin Ishaq (Ibnu Nadim) berkata, “Aku pernah melihat mushhaf

yang ditulis dengan khat Khalid bin Abil Hayyaj, salah seorang sahabat Ali as.

Mushhaf ini berada dalam kumpulan khat-khat bersejarah milik Muhammad bin al-

311
Tarikh Ya’qubi; jilid 3, hal. 30 dan 36.

212
Husain yang dikenal dengan nama Ibnu Abi Ba’rah yang kemudian mushhaf itu

berpindah ke Abdullah bin Hani.” 312

Para kaligrafer menulis dengan khat Kufi hingga akhir abad ketiga Hijriah.

Setelah itu, pada awal abad keempat, khat Kufi diganti dengan khat Naskhi yang

indah. Mushhaf pertama yang ditulis dengan khat Naskhi ditulis seorang kaligrafer

terkenal, Muhammad bin Ali bin al-Husain bin Miqlah (272-328 H.). Diriwayatkan

bahwa dialah orang pertama yang menulis dengan khat Tsulus dan Naskh. Dia

Seorang ahli geometri. Dia merubah khat Arab Islam dan memberikan keindahan di

dalamnya dengan sketsa huruf-huruf dekoratif dan meletakkan kaidah-kaidah serta

ah
dasar-dasarnya. Hanya dia yang melakukannya, hingga saat ini belum tampak di

kalangan umat Islam seorang kaligrafer sehebat dia. Ada beberapa manuskrip

i
Sy
bersejarah, seperti mushhaf yang ada di museum Heart di Afganistan yang

dinisbahkan kepadanya dan disebutkan bahwa dia dua kali menulis al-Quran.313

Khat Naskhi mencapai kesempurnaannya pada abad ketujuh Hijriah, ditulis


a

oleh Yaqut bin Abdullah Mosuli (w. 689 H.). Dia telah menulis tujuh mushhaf dengan
k

khat indah. Mushhaf-mushhaf itu ditulis dengan berbagai bentuk khat yang kemudian
a

menjadi panduan para kaligrafer lainnya. 314 Sampai pada abad kesebelas hijriah
st

seluruh mushhaf ditulis sesuai dengan sistim khat Yaqut. Pada awal abad kedua belas,
u

orang-orang Turki Usmani, khususnya setelah penaklukan Mesir oleh Sultan Sulaim,
P

memberikan perhatian khusus kepada khat Arab dan disempurnakan oleh para

kaligrafer Persia yang berkhidmat pada kekaisaran Usmani. Sultan Sulaim,

mengumpulkan semua kaligrafer, para pemahat dan seniman di ibu kotanya. Mereka

membuat berbagai macam khat Arab yang baru. Tulisan-tulisan itu sampai sekarang

masih berlaku, seperti khat Riq’i, Diwani, Thughra’i dan khat Istanbuli.
312
Al-Fihrist; hal 9. Al-Fannul Awwal; makalah pertama, hal 46. Al-Fannul Awwal; makalah kedua.
313
Al-Khath al-Arabi al-Islami; hal. 155. Al-Khaththath al-Baghdadi; hal. 16.
314
Al-Khath al-Arabi; hal. 171. Mushur al-Khath al-Arabi; hal. 92.

213
Sebagian dari kaligrafer Usmani yang sangat terkenal adalah; 1. Hafiz Usman

(w. 1110 H.), 2. Sayid Abdulah Afandi (w. 1144 H.), 3. Ustad Rasim (w. 1169 H.). 4.

Abu Bakar Mumtaz Bik Musthafa Afandi, beliau adalah pencipta khat Riq’i dan khat

ini adalah khat Arab yang paling mudah. Abu Bakar Mumtaz Bik memunculkan khat

ini pada zaman Sultan Abdul Majid Khan pada tahun 1280 H.

Cetakan mushaf-mushhaf juga sama seperti tulisannya, yang kemudian

menyempurna dari zaman ke zaman. Untuk pertama kali, kira-kira pada tahun 950 H,

bertepatan dengan tahun 1543 Masehi, al-Quran dicetak di Bunduqiyah. Namun

setelah dicetak, para petinggi gereja memerintahkan untuk memusnahkannya. Setelah

ah
itu, pada tahun 1104 H, bertepatan tahun 1692 M, Hincklemann mencetak al-Quran di

Hamburg. Setelah dia, Maracci mencetak al-Quran pada tahun 1108 H, bertepatan

i
Sy
tahun 1696 M di Padoue.

Pada tahun 1200 H atau tahun 1785 M, di Peterzburg, Rusia, Maula Usmani

mencetak al-Quran, cetakan al-Quran ini adalah yang pertama dari pihak Islam. Sama
a

seperti itu, di Qazan al-Quran juga dicetak.


k

Pada tahun 1252 H atau tahun 1836 M, di kota Leipzig, Flugel juga mencetak
a

khusus al-Quran. Cetakan al-Quran ini mendapat sambutan luar biasa dari orang-
st

orang Eropa, karena ejaannya yang mudah. Tetapi seperti halnya cetakan-cetakan
u

Eropa lainnya, kesempatan itu tidak diperoleh di dunia Islam.


P

Negara Islam pertama yang mencetak al-Quran dan menuai keberhasilan

adalah Iran. Negara Islam ini menyediakan dua cetakan batu yang begitu indah dan

dalam ukuran besar disertai terjemahan yang ditulis di bawah setiap garis dengan

disertai berbagai macam indeks. Salah satu dari kedua al-Quran tersebut dicetak di

Teheran pada tahun 1243 H atau tahun 1827 M dan yang lain dicetak di Tabriz pada

tahun 1248 H atau tahun 1832 M. Di India, al-Quran juga dicetak dan sudah beredar.

214
Setelah itu mulai tahun 1294 H atau tahun 1877 M, Turki Usmani mencetak

al-Quran dengan berbagai macam cetakan yang sangat indah.

Pada tahun 1323 H atau tahun 1905 M, kerajaan Rusia mulai mencetak al-

Quran dengan khat Kufi dalam ukuran besar yang diperkirakan termasuk salah satu

mushhaf pertama Usmani. Al-Quran ini tidak bertitik serta tidak memiliki alamat-

alamat fathah dan kasrah. Beberapa lembar dari al-Quran itu hilang dan pada bagian

akhirnya juga memiliki kekurangan. Al-Quran ini dimulai dari ayat kedelapan, surah

al-Baqarah, Di antara manusia ada yang mengatakan, “Kami beriman kepada Allah

dan hari kemudian.” Padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang

ah
beriman, diakhiri dengan ayat keempat dari surah al-Zukhruf, Dan sesungguhnya al-

Quran itu dalam induk al-Kitab di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi dan sarat

i
Sy
mengandung hikmah. Al-Quran ini dtemukan di Samarkand, di perpustakaan kerajaan

di Petersburg, sebuah lembaga pendidikan di Tasykand. Setelah diperbanyak dalam

lima puluh naskah, al-Quran ini dihadiahkan ke universitas-universitas yang ada di


a

negara-negara Islam dengan ukuran asli dan kriteria-kriteria lainnya. Di perpustakaan


k

Teheran ada satu naskah al-Quran ini dengan nomor seri 14403 DSS.
a

Pada tahun 1342 H atau tahun 1923 M, di Mesir, para Syekh Al-Azhar dan
st

panitia yang ditunjuk Departemen Wakaf, mencetak al-Quran dengan begitu indah
u

yang diterima oleh dunia Islam. Kemudian dicetak dalam jumlah yang banyak.
P

Pada tahun 1370 H atau tahun 1950 M, di Irak juga dicetak al-Quran yang

sangat bagus. Kemudian dunia Islam mulai mencetak dan menerbitkan al-Quran

dengan sebaik-baik bentuk dan berbagai macam cetakan indah dan hal ini terus

berlangsung berkesinambungan.

Ada bentuk al-Quran lain yang dipopoulerkan kaligrafer Syiria, Usman Thaha.

Al-Quran ini dicetak di negara-negara seperti Syiria, Saudi Arabia, Iran, Lebanon dan

215
negara-negara Islam lainnya. Keistimewaan cetakan ini adalah penataan ayat-ayat di

dalam halaman dan pembagian hizib-hizib begitu rapi hingga tiga puluh juz al-

Quran.315

Bab IV

Qurra’ dan Qira’at Sab’ah

Bacaan al-Quran termasuk salah satu masalah al-Quran yang paling penting.

Hingga beberapa masa masyarakat selalu memperhatikan masalah. Berbagai macam

cara bacaan al-Quran diajarkan kepada masyarakat Islam. Sahabat-sahabat besar

ah
seperti Abdullah bin Mas’ud, Ubai bin Ka’b, Abu darda’ dan Zaid bin Tsabit adalah

generasi pertama. Abdullah bin Abbas, Abul aswad al-Duali, Alqamah bin Qais,

i
Sy
Abdullah bin Saib, Aswad bin Yazid, Abu Abdur Rahman al-Sulami dan Masruq bin

Ajda’ adalah generasi kedua. Hingga kemudian mereka melahirkan generasi ketiga

sampai kedelapan. Sejak saat itulah masa penyusunan Qira’at dimulai dan setelah itu,
a

tujuh orang Qari’ ditentukan.


k

Mata rantai para Qari’ ternama al-Quran terus berkesinambungan dari abad ke
a

abad sampai permulaan abad keempat. Abu Bakar bin Mujahid (245-324 H), Syekhul
st

Qurra’ Baghdad, mengesahkan Qira’at dalam tujuh bacaan dari tujuh Qari’ ternama.
u

Selanjutnya pada masa berbeda, ditambahkan lagi tujuh Qari’ lainnya yang
P

keseluruhannya dikenal dengan empat belas Qari’ yang setiap bacaan-bacaannya

diriwayatkan oleh dua perawi. Dengan demikian yang berlaku adalah dua puluh

delapan bacaan.

Banyak sekali pembahasan tentang hujjiah dan ke-mutawatir-an Qira’at

tersebut yang memunculkan pertanyaan, apakah semua bacaan itu dinukil dari

315
Bahaudin Khurram Syahi; Quran Pasyuhi; hal. 657.

216
Rasulullah saw secara mutawatir ataukah tidak? Dari pembahsan tersebut bisa

disimpulkan bahwa Qiraat tersebut tidak mutawatir. Menurut pendapat para peneliti,

bahwa yang dinukil dari Rasulullah saw itu tidak lebih dari satu bacaan, yaitu bacaan

yang populer dikalangan publik muslimin, setiap bacaan yang sesuai dengan bacaan

tersebut bisa diterima, jika tidak sesuai maka ditolak. 316

Definisi Qira’at

Qira’at adalah tilawah dan bacaan al-Quran yang secara etimologis bisa

disebut dengan tilawah al-Quran yang memiliki ciri khusus. Dengan kata lain, setiap

ah
kali tilawah al-Quran itu diujarkan dari nash wahyu Ilahi dan sesuai dengan ijtihad

salah satu Qari’ terkenal, serta sesuai dengan kaidah ilmu Qira’at, maka Qira’at al-

i
Sy
Quran itu telah terlaksana. Tentunya al-Quran memiliki satu nash dan perbedaan yang

ada di kalangan para Qari’ berkisar antara masalah cara memperoleh hingga

menemukan satu nash.


a

Imam Ja’far Shadiq berkata, “Sesungguhnya al-Quran itu satu, diturunkan dari
k

Yang Maha Satu. Namun perbedaan itu datang dari sisi para perawi.” 317 Para Qari’ al-
a

Quran itu adalah para perawi dan penukil al-Quran yang diturunkan kepada
st

Rasulullah saw . Perbedaan mereka terletak pada nukilan dan riwayat nash. Hal ini
u

disebabkan oleh beberapa faktor yang mengharuskan terjadinya perbedaan.


P

Faktor-faktor itu adalah:

1. Mushhaf-mushhaf pertama yang berbeda-beda, baik sebelum disatukannya

mushhaf-mushhaf pada zaman Usman maupun setelahnya.

2. Tidak layaknya khat dan tulisan-tulisan al-Quran yang ketika itu tidak

memiliki tanda-tanda baca yang jelas bahkan huruf-hurufnya tidak bertitik.

316
Al-Tamhid; jilid 2, hal. 42, hal. 218-226.
317
Ushul al-Kafi; jilid 2, hal. 630, hadis 12.

217
3. Khat di kalangan bangsa Arab masih asing pada saat itu.

Faktor-faktor perbedaan Qira’at

Faktor-faktor perbedaan dalam bacaan al-Quran mulai terjadi pada masa

sahabat, setelah wafatnya Rasulullah saw . Pada zaman itu, para sahabat berselisih

tentang pengumpulan dan penyusunan al-Quran. Masalah ini menjadi sebab adanya

perbedaan bacaan al-Quran dikalangan para pembaca dari dua kelompok. Setiap

kelompok merasa bacaannya lebih benar dari selainnya. Sering kali adu mulut tidak

bisa dihindarkan hingga menjurus ke pertikaian.

ah
Perbedan-perbedaan ini menyebabkan Usman memerintahkan para penulis al-

Quran agar menyediakan satu mushhaf dan membuat banyak naskah al-Quran yang

i
Sy
bentuknya sama, kemudian mengirimkannya ke pusat-pusat penting negara Islam.

Naskah-naskah yang seharusnya sama itu, ternyata memiliki banyak perbedaan,

akibatnya perbedaan bacaan-bacaan al-Quran terjadi. Sebagian dari perbedaan-


a

perbedaan itu akan kami sebutkan dalam bagan berikut ini:


k

Surah Ayat Mushhaf Madinah Mushhaf Kufah


a

dan Syam dan bashrah yang


st

sesuai dengan
u

mushhaf saat ini


P

Al-Baqarah 116 ...‫ﻗﺎﻟﻮﺍ ﺍﺗﺨﺬ ﷲ ﻭﻟﺪﺍ‬ ...‫ﻭﻗﺎﻟﻮﺍ ﺍﺗﺨﺬ ﷲ ﻭﻟﺪﺍ‬

Al-Baqarah 132 ...‫ﻭﺍﻭﺻﻰ ﺑﻬﺎ ﺍﺑﺮﺍﻫﻴﻢ‬ ...‫ﺻﻰ ﺑﻬﺎ ﺍﺑﺮﺍﻫﻴﻢ‬


ّ ‫ﻭﻭ‬

Al-Maidah 54 ...‫ﻣﻦ ﻳﺮﺗﺪﺩ ﻣﻨﻜﻢ ﻋﻦ ﺩﻳﻨﻪ‬ ... ‫ﻣﻦ ﻳﺮﺗﺪّ ﻣﻨﻜﻢ ﻋﻦ ﺩﻳﻨﻪ‬

Al-A’raf 141 ‫ﻭﺇﺫ ﺍﻧﺠﻴﻨﺎﻛﻢ ﻣﻦ ﺁﻝ ﻭﺇﺫ ﺃﻧﺠﺎﻛﻢ ﻣﻦ ﺁﻝ ﻓﺮﻋﻮﻥ‬

‫ﻓﺮﻋﻮﻥ‬

Al-Isra’ 93 ... ‫ﻗﺎﻝ ﺳﺒﺤﺎﻥ ﺭﺑّﻰ‬ ... ‫ﻗﻞ ﺳﺒﺤﺎﻥ ﺭﺑّﻰ‬

218
Berbagai upaya penyatuan mushhaf-mushhaf tersebut, sepertinya tak

membuahkan hasil. Semakin hari perbedaan semakin banyak. Pada waktu itu,

perbedaan hanya seputar bacaan sahabat. Namun, setelah disatukannya mushhaf-

mushhaf tersebut, perbedaan yang ada adalah tentang mushhaf-mushhaf itu sendiri.

Sejak awal khalifah Usman sudah menyaksikan ketidaklayakan mushhaf yang

diberikan kepadanya itu. Dia menegur para penulis mushhaf karena banyak terdapat

hal yang tidak pantas. Usman berkata, “Saya melihat bahwa di dalamnya terdapat

ah
kesalahan tulis.” Mereka menimpali, “Tidakkah kita rubah saja kesalahan-kesalahan

itu?” Usman menegaskan, “Tidak perlu! Sudah terlambat. Orang-orang Arab bisa

i
Sy
membacanya dengan benar.” Tetapi dia tidak berpikir, kelak bangsa-bangsa yang

berbeda dengan bahasa yang berbeda juga harus membaca al-Quran, sementara

mereka tidak memahami ragam gaya bahasa Arab, bahkan orang Arab sendiri pada
a

waktu banyak yang tidak memahami. 318


k

Banyak faktor perbedaan mushhaf-mushhaf setelah disatukan. Kami akan


a

menyebutkan faktor-faktor terpentinganya:


st

1. Usia khat di kalangan Arab masih belia


u

Pada waktu itu, khat dikalangan Arab masih berbentuk sangat sederhana.
P

Karenanya dasar-dasarnya masih belum kuat. Apalagi orang-orang Arab masih belum

mengetahui seni tulis dan cara penulisan yang benar. Banyak sekali kata-kata yang

mereka tulis berdasarkan analogi pengungkapannya. Dalam kaligrafi sekarang, masih

tersisa bekas-bekas itu. Dalam kaligrafi itu, kalimat ditulis dengan bentuk yang bisa

dibaca dengan beberapa alasan, “Nun” yang ada di akhir kalimat ditulis dengan

318
Al-Tamhid; jilid 2, hal. 4-8.

219
bentuk yang tidak berbeda dengan “Ra’”, demikian juga dengan bentuk “Wawu” atau

“Ya” yang pada saat itu adalah satu. Betapa banyak “Mim” di akhir kalimat ditulis

dengan bentuk “Wawu”, dan “Dal” dengan bentuk “Kaf” dalam khat Kufi dan “‘Ain”

yang berada di tengah ditulis dengan bentuk “Ha’”. Kadangkala mereka menulis satu

kalimat yang satu sama lain saling berpisah. Mereka memisahkan “Ya’” dari kalimat,

seperti; ‫ﻳﺴﺘﺤﻰ ﻯ‬ dan ‫ ﻧﺤﻰ ﻱ‬dan ‫ ﺍ ﺣﻰ ﻯ‬atau terkadang mereka menghapus “Ya’”

sebagaimana dalam ‫ ﺍﻳﻼﻓﻬﻢ‬ditulis dengan bentuk ‫ ﺇﻻﻓﻬﻢ‬, hal ini dapat menimbulkan

masalah bagi pembacanya.

Oleh karena itu para Qari’ membacanya sama seperti yang tertulis (tanpa Ya’) seperti

ah
Abu ja’far yang membaca ayat ‫ ﻻﻳﻼﻑ ﻗﺮﻳﺶ‬dengan menghapus huruf Hamzah dan

menetapkan “Ya’” ‫ ﻟﻴﻼﻑ ﻗﺮﻳﺶ‬dan membaca ayat ‫ ﺍﻳﻼﻓﻬﻢ ﺭﺣﻠﺔ ﺍﻟﺸﺘﺎء ﻭﺍﻟﺼﻴﻒ‬dengan

menghapus “Ya’” dan menetapkan Hamzah ‫ ﺍﻻﻓﻬﻢ‬319.


i
Sy
P319F P

Ibnu Filayyah membaca ‫ ﺇﻟﻔﻬﻢ‬dengan menetapkan Hamzah, membuang Ya’

dan mematikan Lam karena kaligrafinya tidak bagus, maka masing-masing Qari’
a

membacanya dengan cara yang aneh. Terkadang mereka menulis Tanwin dengan
k

bentuk Nun dan Nun dengan bentuk Alif. Seperti contoh ‫( ﻟﻨﺴﻔﻌﻦ‬Al-‘Alaq: 15) dengan
a

ّ
bentuk ‫ ﻟﻨﺴﻔﻌﺎ‬, dan ayat ‫ﻭﻟﻴﻜﻮﻧﻦ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﺎﻏﺮﻳﻦ‬ (Yusuf: 32) ditulis dengan bentuk ...‫ ﻟﻴﻜﻮﻧﺎ‬.
st

Dengan kata lain mereka menggunakan Alif Tanwin sebagai ganti dari Nun Ta’kid.
u

Mereka juga menulis ayat ‫( ﻭﺇﺫﻥ ﻷﺗﻴﻨﺎﻫﻢ ﻣﻦ ﻟﺪﻧّﺎ ﺍﺟﺮﺍ ﻋﻈﻴﻤﺎ‬Al-Nisa’: 67) dengan bentuk ‫ﺇﺫﺍ‬
P

(idzan). 320P320F P

Wawu atau Ya’ dihapus tanpa alasan yang jelas. Hal ini adalah salah satu

sebab munculnya perbedaan dalam bacaan, bahkan dalam penafsiran yang paling

penting. Sebagai contoh, dalam ayat ‫( ﻭﺻﺎﻟﺤﻮﺍ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ‬Al-Tahrim: 4), wawu dihapus

319
Tafsir habarsi; jilid 1, hal. 544. Syarah maurid al-Zhamân; hal. 143.
320
Syarhu Maurid al-Zham’ân; hal. 186.

220
dan ditulis dengan bentuk ‫ ﻭﺻﺎﻟﺢ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ‬. Inilah yang menyebabkan kalimat itu tidak

jelas, apakah dalam bentuk mufrad ataukah jamak yang mudhaf.321 P321F

Alif dihapus dalam ayat ‫( ﻋﺎﺩﺍ ﺍﻻﻭﻟﻰ‬Al-Najm: 50) ditulis dengan bentuk

‫ ﻋﺎﺩ ﺍﻻﻭﻟﻰ‬, akibatnya pembaca tidak megetahui bahwa kalimat ‫ ﻋﺎﺩ‬itu fi’il atau isim. 322 P32F

Pada ‫ ﺟﺎء ﻧﺎ‬ditambahkan Alif dan berubah bentuk menjadi ‫ ﺟﺎءﺍ ﻧﺎ‬yang tidak

jelas apakah kalimat ini mufrad (bentuk atau arti yang menunjukan satu) atau

tatsniyah (bentuk atau arti yang menunjukkan dua). 323 Banyak Alif yang diletakkan
P32F P

setelah wawu akhir kalimat (Lamul Fi’il), hal ini menunjukkan bahwa Wawu adalah

tanda jamak, dari sisi lain mereka menghapus Alif dari Wawu jamak. Contoh-contoh

ah
dari kasus pertama; ‫ﺍﻧّﻤﺎ ﺍﺷﻜﻮﺍ ﺑﺜّﻰ‬, ‫ ﻓﻼ ﻳﺮﺑﻮﺍ‬, ‫ ﻧﺒﻠﻮﺍ ﺍﺧﺒﺎﺭﻛﻢ‬, ‫ ﻣﺎ ﺗﺘﻠﻮﺍ ﺍﻟﺸﻴﺎﻁﻴﻦ‬. Contoh dari

kasus kedua; ‫ ﻓﺎﺅﻭ‬, ‫ ﺟﺎﺅﻭ‬,‫ ﺗﺒﺆﻭ ﺍﻟﺪﺍ ﺭ‬, ‫ ﺳﻌﻮ‬, dan ‫ﻋﺘﻮ‬

i
Sy
Hal-hal yang tidak selayaknya terjadi pada kaligrafi mushhaf-mushaf

terdahulu yang sampai sekarang masih menimbulkan banyak kesulitan, di antaranya

adalah perbedaan-perbedaan yang begitu menyolok di antara para Qari’ al-Quran.


a

Karena ketidaklayakan kaligrafi mushhaf-mushhaf terdahulu inilah sebagian para


k

pendahulu tidak meyakininya. Mereka seringkali salah sangka terhadap hal-hal yang
a

tidak jelas dalam al-Quran dan menganggapnya sebagai salah satu dari kesalahan-
st

kesalahan yang dilakuakn oleh para penulis al-Quran. Sebagaimana yang telah
u

diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa dia membaca ayat:


P

‫( ﻭﻗﻀﻰ ﺭﺑّﻚ ﺍﻻّ ﺗﻌﺒﺪﻭﺍ ﺇﻻّ ﺍﻳّﺎﻩ‬Al-Isra’: 23) dengan ‫ﺻﻰ‬


ّ ‫ ﻭﻭ‬. Dia berkata, “Ayat ini semula

berbentuk seperti ini. Karena Wawu kedua menempel kepada Shad, maka orang-

orang membacanya ‫ ﻭﻗﻀﻰ‬. Sudah jelas bahwa tulisan-tulisan terdahulu tidak bertitik,

sehingga perkiraan seperti ini bisa saja terjadi.

321
Tafsir Thabarsi; jilid 10, hal. 316. Syarh Maurid al-Zham’ân; hal. 47.
322
Syarh Maurid al-Zham’ân; hal. 125.
323
Ibid; hal. 128.

221
Ibnu Asytah berkata, “Penulis dalam menulis kalimat ‫ ﻭﻗﻀﻰ‬telah

menggunakan murakkab dan hasilnya adalah Wawu melekat pada Shad.” 324 P324F P

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa dia membaca ayat 31 surah al-Ra’du seperti

berikut; ‫ ﺍﻓﻠﻢ ﻳﺘﺒﻴّﻦ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺁﻣﻨﻮﺍ‬. Dikatakan kepadanya bahwa yang tertera dalam mushhaf

ialah; ‫ ﺍﻓﻠﻢ ﻳﻴﺄﺱ‬. Dia berkata, “Menurutku, penulisnya yang salah, dia tidak menulis

lengkungan-lengkungan huruf-hurufnya dengan benar.” 325 Perlu diperhatikan bahwa


P325F P

dalam tulisan-tulisan terdahulu, sebagai ganti dari alif, di tengah-tengah kalimat,

mereka meletakkan lengkungan, oleh karena itu ‫ ﻳﻴﺌﺲ‬dengan ‫ ﻳﺘﺒﻴّﻦ‬tidak begitu ada

perbedaan dalam tulisan kecuali dalam jumlah lengkungannya.

ah
2. Tidak adanya titik sebagai pembeda huruf

Salah satu faktor penyebab munculnya banyak masalah dalam bacaan al-

i
Sy
Quran adalah tidak adanya titik pada huruf-huruf Mu’jamah dan huruf-huruf

Muhmalah (tidak bertitik). Oleh karena itu antara ‫ ﺱ‬dan ‫ ﺵ‬sama sekali tidak ada

bedanya dalam penulisan, begitu pula antara ‫ ﺏ‬, ‫ ﺕ‬, ‫ ﺙ‬, ‫ ﺝ‬,‫ ﺡ‬, ‫ﺥ‬, ‫ ﺹ‬,‫ ﺽ‬,‫ ﻁ‬,‫ ﻅ‬, ‫ ﻉ‬, ‫ﻍ‬
a

,‫ ﻑ‬, ‫ ﻕ‬,‫ ﻥ‬, dan ‫ ﻯ‬. Pembaca harus bisa membedakannya setelah tahu makna kata
k

sesuai dengan yang diujarkan dengan jeli, apakah huruf ini adalah Jim atau Ha’ atau
a

Kha’, begitu pula dengan Ba’ atau Ta’, atau Tsa’, Nun atau Ya’.
st

Oleh sebab itu, dalam ayat 6, surah al-Hujurat dalam bacaan Kisa’i,
u

disebutkan; ‫ ﺇﻥ ﺟﺎء ﻛﻢ ﻓﺎﺳﻖ ﺑﻨﺒﺎء ﻓﺘﺜﺒّﺘﻮﺍ‬sedangkan dalam bacaan-bacaan lainnya; ‫ﻓﺘﺒﻴّﻨﻮﺍ‬...


P

326
P326F P Ibnu Amir dan para Qari’ Kufah membaca...‫( ﻧﻨﺸﺰﻫﺎ‬Al-Baqarah: 259) sedangkan

yang lain membacanya ... ‫ ﻧﻨﺸﺮﻫﺎ‬. 327 Ibnu Amir dan Hafsh membaca ‫( ﻭﻳﻜﻔّﺮ ﻋﻨﻜﻢ‬Al-
P327F P

Baqarah: 271) sedangkan yang lain membaca ‫ ﻧﻜﻔّﺮ‬. 328 Ibnu Sumaiqa’ membaca
P328F P

324
Al-Itqan; jilid 1, hal. 180. Al-Durrul Mantsur; jilid 4, hal. 170.
325
Fathul Bari; jilid 8, hal. 282-283. Tafsir ath-Thabari; jilid 13, hal. 104. Al-Itqan; jilid 1, hal. 185.
326
Abi Hafsh al-Anshari; Al-Mukarrar; hal .141.
327
Al-Kasyf ‘An Wujuhil Qira’at al-Sab’; jilid 1, hal. 310.
328
Ibid; jilid 1, hal. 316.

222
‫ ﻓﺎﻟﻴﻮﻡ ﻧﻨﺤّﻴﻚ ﺑﺒﺪﻧﻚ‬sedangkan yang lain membaca;...‫ ﻧﻨﺠّﻴﻚ‬329. P329F P

Para Qari’ Kufah, selain ‘Ashim, membaca ‫ ﻟﻨﺜﻮﻳﻨّﻬﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﺠﻨّﺔ ﻏﺮﻓﺎ‬sedangkan yang

lainnya membaca ‫ ﻟﻨﺒﻮﺋﻨّﻬﻢ‬. 330P30F P

3. Tidak adanya tanda baca atau harakat-harakat

Dalam mushhaf-mushhaf, awal kalimat-kalimat dicatat tanpa segala bentuk

i’rab dan harokat, wazan dan harokat i’rab serta bina’ kalimat tidak jelas. Karenanya

sulit bagi pembaca selain orang Arab untuk membedakan bagaimanakah wazan dan

harokat kalimat itu. Bahkan bagi orang-orang yang mengetahui bahasa Arab pun juga

ah
sulit untuk mengetahui bagaimanakah bentuk kalimat itu. Sebagai contoh, pada waktu

itu tidak jelas apakah ‫ ﺍﻋﻠﻢ‬itu fi’il Amar atau fi’il Mutakallim Mudhari’ , apakah Af’alut

i
Sy
Tafdhil atau fi’il Madhi untuk masalah if’âl.

Hamzah dan Kisa’i membaca ayat 259 surah al-Baqarah:

ّ ‫ ﻗﺎﻝ ﺍﻋﻠﻢ‬dengan bentuk fi’il Amar (i’lam) sedangkan yang lain


‫ﺃﻥ ﷲ ﻋﻠﻰ ﻛ ّﻞ ﺷﻴﺊ ﻓﺪﻳﺮ‬
a

mebacanya dengan fi’il Mudhari’ Mutakallim (A’lamu). 331 Sama seperti Nafi’ yang
k

P31F P

membaca ayat 119 surah al-Baqarah:


a

‫ ﻭﻻ ﺗﺴﺄﻝ ﻋﻦ ﺍ ﺻﺤﺎﺏ ﺍﻟﺠﺤﻴﻢ‬dengan bentuk Nahi (Wala Tas’al), sedangkan yang lain
st

membacanya dengan fi’il Mudhari’ Majhul (Wala Tus’alu). 332 Hamzah dan Kisa’i P32F P
u

ّ ‫ ﻭﻣﻦ‬dengan Ya’ dan Tha’ Musyaddad


membaca ayat 158 surah al-Baqara: ‫ﻳﻄ ّﻮﻉ‬
P

dalam bentuk Mudhari’ Majzum (Yaththawwa’) sedangkan yang lain membacanya

dengan Ta’ dan Tha’ Maftuh dan Mukhaffaf dalam bentuk fi’il Madhi

(Tathawwa’a). 333 P3F P

329
Yunus: 92. Tafsir Thabarsi; jilid 5, hal. 130. Qurtubi; Al-Jami’ li Ahkam al-Quran; jilid 8, hal. 379.
330
Al-Ankabut: 58. Tafsir Thabarsi; jilid 8, hal. 290.
331
Al-Kasyfu ‘An Wujuh al-Qira’at al-Sab’; jilid 1, hal. 312.
332
Ibid; jilid 1, hal. 262.
333
Ibid; jilid 1, hal. 268.

223
Ibnu Abi Hasyim berkata, “Sebab terjadinya perbedaan dalam Qira’at Sab’ah,

adalah karena mushhaf-mushhaf yang dikirimkan ke berbagai daerah dan markas-

markas Islam, kosong dari segala bentuk tanda penjelas, titik dan lambing. Mushhaf-

mushhaf inilah yang dipakai oleh orang-orang. Karenanya muncul perbedaan di

kalangan para Qari’ di setiap kota.334

Ustad Ayatullah Khu’i berkata, “Tidak jelas alasan perbedaan dalam Qira’at

itu dinisbahkan kepada saduran Naql (teks ayat atau riwayat). Perbedaan itu

dinisbahkan kepada ijtihad-ijtihad para Qari’ dan pendukung pendapat ini yaitu para

ulama besar. Bahkan kalau diperhatikan bahwa mushhaf-mushhaf awal itu tidak

ah
bertitik dan berbentuk (i’rab dan harakat), maka (hal ini) akan memperkuat

kemungkinan tersebut.” 335

i
Sy
4. Tidak adanya Alif dalam kalimat-kalimat

Faktor yang menimbulkan masalah dalam kaligrafi al-Quran adalah tidak


a

adanya Alif dalam kaligrafi pada saat itu. Khat Arab Kufi diambil dari khat Suryani.
k

Dalam khat Suryani, tidak lazim menulis Alif di tengah-tengah kalimat dan Alif itu
a

dihilangkan. Karena al-Quran pada awalnya ditulis dengan khat Kufi, maka para
st

penulis mushhaf itu tidak menulis Alif di tengah kalimat seperti ‫ ﺳﻤﺎﻭﺍﺕ‬, mereka
u

menulisnya ‫ ﺳﻤﻮﺕ‬. Kemudian ketika tanda-tanda penjelas itu sudah di buat, maka
P

mereka menentukan Alif hanya dengan tanda Alif kecil di atas kalimat, seperti ‫ ﺳﻤﻮﺕ‬.

Masalah ini (membuang Alif yang ada ditengah-tengah kalimat) akhirnya

menjadi sumber banyaknya perbedaan bacaan. Sebagai contoh, Nafi’, Abu Amr dan

Ibnu Katsir membaca ayat ‫( ﻭﻣﺎ ﻳﺨﺪﻋﻮﻥ‬Al-Baqarah: 9) dengan bacaan

334
Al-Tibyan; hal. 86.
335
Al-Bayan; hal. 181.

224
‫ ﻭﻣﺎ ﻳﺨﺎﺩﻋﻮﻥ ﺇﻻّ ﺍﻧﻔﺴﻬﻢ‬dengan alasan bahwa kalimat ini sudah tercantum di awal ayat

dengan wazan seperti ini, tanpa Alif. Dengan demikian mereka menyangka bahwa

kalimat ini juga seperti itu. 336 Padahal makna yang dimaksud adalah tanpa Alif.
P36F P

Demikian juga dengan ayat ‫( ﻭﺣﺮﺍﻡ ﻋﻠﻰ ﻗﺮﻳﺔ ﺍﻫﻠﻜﻨﺎﻫﺎ ﺍﻧّﻬﻢ ﻻ ﻳﺮﺟﻌﻮﻥ‬Al-Anbiya’: 95)

karena tertera tanpa Alif, maka Hamzah, Kisa’i dan Syu’bah membacanya ‫ ﺣﺮﻡ‬dengan

meng-kasrah-kan Ha’ Muhmalah. 337 P37F P

Abu Ja’far dan para Qari’ Bashrah membaca ‫( ﻭﺍﺫﺍ ﻭﺍﻋﺪ ﻧﺎ ﻣﻮﺳﻰ ﺍﺭﺑﻌﻴﻦ ﺳﻨﺔ‬Al-

Baqarah: 51) di surah ini, surah al-A’raf dan Thaha tanpa Alif ‫( ﻭﻋﺪ ﻧﺎ‬fi’il Madhi

Tsulatsi Mujarrad) sedangkan selainnya membaca ayat tersebut dengan Alif. Nafi’

ah
membaca ayat ‫( ﻓﻰ ﻏﻴﺎ ﺑﺖ ﺍﻟﺠﺐ‬Yusuf: 10) seperti berikut, ...‫ ﻓﻰ ﻏﻴﺎﺑﺎﺕ ﺍﻟﺠﺐ‬, dengan

anggapan jamak, karena dalam mushhaf terdahulu kalimat ini ditulis seperti

i
berikut ‫ﻏﻴﺒﺖ ﺍﻟﺠﺐ‬, oleh sebab itu setiap orang membacanya jamak atau mufrad sesuai
Sy
dengan ijtihadnya sendiri. Masing-masing dari mereka menyampaikan alasan-alasan

bacaannya secara rinci. 338


a

P38F

Faktor-faktor seperti tersebut menjadi sebab para Qari’ berselisih tentang


k

bacaan yang benar. Masing-masing menejalankan ijtihadnya sendiri, membaca


a

berdasarkan dalil-dalil yang mereka miliki.


st
u

Qurra’ Sab’ah dan Perawi-perawinya


P

Berdasarkan bukti-bukti perbedaan bacaan al-Quran para Qari’ dan jumlah

Qari’ semakin bertambah dari tahun ke tahun, seluruh bacaan yang ada dipilih

menjadi tujuh oleh Ibnu Mujahid. Masing-masing memiliki dua perawi sbb:

336
Al-Kasyf ‘An Wujuh al-Qira’at al-Sab’; jilid 1, hal. 224.
337
Syarh Maurid al-Zham’ân; hal. 126.
338
Al-Kasyf ‘An Wujuh al-Qira’at al-Sab’; jilid 2, hal. 5.

225
1. Ibnu Amir. Abdullah bin Amir Yahshubi (w 118 H.) Qari’ dari Syam. Dua

perawinya adalah Hisyam bin Ammar (153-245 H.) dan Ibnu Dzakwan (173-242 H.).

Kedua perawi ini sezaman dengan Ibnu Amir.

2. Ibnu Katsir. Abdullah bin Katsir al-Darimi (w. 120 H) Qari’ dari Mekah.

Dua orang perawinya adalah Bazzi (170-250 H.) dan Qunbul (195-291 H.) keduanya

tidak sezaman.

3. Ashim. Ashim bin al-Nujud al-Asadi (w. 128 H.) Qari’ dari Kufah. Dua

perawinya adalah Hafsh bin Sulaiman, anak angkatnya (90-180 H.)) dan Syu’bah bin

Ayyasy (95-193 H.). Hafsh mengakui bahwa bacaan Ashim lebih jeli dan lebih

ah
terjaga, serta bacaan Ashim ini bisa tersebar luas berkat Hafsh dan sampai sekarang

bacaan ini masih digunakan di kebanyakan negara-negara Islam.

i
Sy
4. Abu Amr. Abu Amr bin ‘Ala’ al-Mazni. Nama beliau adalah Zaban (w. 154

H.),Qari’ dari Bashrah. Dua perawinya adalah Duri Hafsh bin Umar (w. 246 H.) dan

Susi Shalih bin Ziyad (w. 261 H.). Kedua perawi ini tidak sezaman dengan Abu Amr,
a

mereka berdua meriwayatkan bacaan itu melalui Yazidi.


k

5. Hamzah. Hamzah bin Habib Zayyat (w. 156 H.) Qari’ dari Kufah. Dua
a

perawinya adalah Khalaf bin Hisyam (150-229 H.) dan Khallad bin Khalid (w. 220
st

H.). Mereka berdua meriwayatkan bacaan Hamzah tidak secara langsung, tapi melalui
u

perantara.
P

6. Nafi’. Nafi’ bin Abdur Rahman al-Laitsi (w. 169 H.), Qari dari Madinah.

Dua perawinya adalah Isa bin Mina’ (120-220 H.) yang dikenal dengan sebutan

Qalun, anak angkat Nafi’ dan Warasy, dan kedua Usman bin Said (110-197 H.),

bacaan inilah yang populer di negara-negara Arab bagian barat.

226
7. Kisa’i. Ali bin Hamzah (w. 189 H.) Qari’ dari Kufah. Dua perawinya

adalah Laits bin Khalid (w. 240 H.) dan Duri, Hafsh bin Umar yang juga perawi dari

Abu Amr (w. 246 H).

Qurra’ ‘Asyrah

Orang-orang modern menambahkan tiga Qari’ lagi dari tujuh Qari’

sebelumnya:

8. Khalaf. Khalaf bin Hisyam, perawinya Hamzah (w. 229 H) Qari dari

Baghdad. Dua perawinya adalah Abu Ya’qub (w. 286 H) dan Abul Hasan (wafat

ah
292).

9. Ya’qub. Ya’qub al-Hadhrami (w. 205 H) Qari dari Bashrah. Dua perawinya

i
Sy
adalah Ruwais (w. 238 H) dan Ruh (w. 235 H).

10. Abu Ja’far. Abu Ja’far al-Makhzumi (w. 130 H) Qari dari Madinah. Dua

perawinya adalah Ibnu Wirdan (w. 160 H) dan Ibnu Jammaz (w 170 H).
a

Empat Qari’ lain yang membaca dengan bacaan syadz (yang berbeda dengan
k

bacaan masyhur), tetapi diterima semua kalangan:


a

11. Hasan al-Bashri. Hasan bin Yasar (w. 110 H) Qari’ dari Bashrah. Dua
st

perawinya adalah Syuja’ al-Balkhi (120-190 H) dan Duri (w. 246 H) yang tidak
u

sezaman dengannya dan meriwayatkan melalui perantara.


P

12. Ibnu Muhaishan. Muhammad bin Abdur Rahman (w. 123 H.) Qari’ dari

Mekah. Dua perawinya adalah Bazzi (170-250 H) dan Ibnu Syanbudz (w 328 H) yang

meriwayatkan melalui perantara.

13. Yazidi. Yahya bin Mubarak (w. 202 H) Qari’ dari Bashrah. Dua

perawinya adalah Sulaiman bin Hakam (w. 235 H) dan Ahmad bin Faraj Dharir (w.

303 H) yang meriwayatkan melalui perantara.

227
14. A’masy. Sulaiman bin Mihran al-Asadi (w. 148 H) Qari’ dari Kufah. Dua

perawinya adalah Syanbudzi (300-388 H) dan Muthawwi’i (w. 371 H) yang

meriwayatkan dari beberapa perantara.

Empat belas bacaan terkenal yang masing-masing dinukil melalui dua perawi

tersebut berjumlah dua puluh delapan bacaan. Mereka semua harus diketahui.

Lima orang dari Qurra’ Sab’ah selain Ibnu Amir dan Abu Amr bersal dari

Iran. Ibnu Amir adalah orang yang nasabnya tidak jelas sedangkan Abu Amr berasal

dari suku Mazn Tamim. Tetapi Qadhi Asad Yazidi berkata, “Dia berasal dari Pars

(suku di Iran yang pada zaman dahulu berdomisili di selatan Iran. Nama daerah

ah
tempat tinggal mereka adalah Persi—penerjemah) Syiraz dari desa Kazroun.”

Ashim, Abu Amr, Hamzah dan Kisa’i secara terang-terangan menunjukkan

i
Sy
ke-Syiah-annya. Ibnu Katsir dan Nafi’ adalah orang Iran, kemungkinan besar mereka

adalah Syiah. Ibnu Amir adalah orang yang dibesarkan dalam keluarga Umawi dan

termasuk orang yang suka berbohong dan tidak segan melakukan segala macam
a

bentuk kefasikan. 339


a k

Kemutawatiran Qira’at Sab’ah


st

Salah satu masalah penting adalah kemutawatiran Qira’at Sab’ah. Apakah


u

bacaan-bacaan ini mutawatir dan memiliki hujjah yang qath’i? Jika bacaan-bacaan itu
P

mutawatir dan diriwayatkan oleh semua orang, maka tidak diragukan hujjiahnya.

Kemutawatiran Qira’at Sab’ah dibahas oleh para penulis dan juga sebagian

para fuqaha. Mereka mengira semua Qira’at ini adalah mutawatir dan memiliki hujjah

syar’i. Karena itu, orang yang bersembahyang bisa memilih salah satu dari bacaan-

bacaan ini. Namun para peneliti menolak kemutawatiran Qira’at dan mereka

339
al-Tamhid; jilid 2, hal. 226-231.

228
menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak bisa di teliti, karena tidak jelas maksud

dari kemutawatiran Qira’at.

Seandainya orang yang menukil Qira’at ini adalah para Qari’ itu sendiri maka

hal ini tidak akan bermakna, karena sumber utama kemutawatiran harus makshum

agar semua yang dinukil itu bisa menjadi hujjah. Jika yang dimaksud menukil dari

Rasulullah saw itu hanya berhubungan dengan para Qari’, maka masalah ini tidak

terbukti kebenarannya, karena kebanyakan para Qari’ itu tidak memiliki sanad

Qira’ah, apalagi mutawatir. Selain dari itu, kebanyakan Qira’at berdasarkan ijtihad

pribadi dan tidak pernah bersandar kepada naql dan riwayat. Seandainya ia mutawatir

ah
supaya kita bisa menerima para Qari’ tersebut, maka kemutawatiran ini tidak akan

berdampak apa-apa, sebab kemutawatiran bagi seseorang akan memiliki hujjah kalau

i
Sy
ada kaitannya dengan dirinya bukan berkaitan dengan selainnya.

Seandainya apa yang dinukil dari Nabi Muhammad saw dinisbahkan kepada

para Qari’, kemudian banyak orang menyampaikannya, maka hal ini tidak memiliki
a

syarat mutawatir, karena syarat mutawatir yang paling mendasar adalah sumber utama
k

dan seluruh jalurnya yang kemudian dinukil oleh orang banyak.


a

Misalkan, masing-masing dari Qira’at Sab’ah melalui jalur Nabi saw sampai
st

kepada seorang Qari’ adalah mutawatir, kemudian dari Qori’ tersebut sampai kepada
u

orang lain. Berarti pada masa Qari’ tersebut juga banyak orang lain yang menukil
P

Qira’at ini. Sementara dalam hal ini tidak demikian, hanya si Qari’ tersebut yang

menukil Qira’at ini, hanya dia yang menukil mutawatir. Hal ini telah kehilangan

syarat utama kemutawatiran, karena di semua lapisan tidak terdapat nukilan banyak

orang.

Kemutawatiran Qira’at Sab’ah tidak bisa dilacak dan tidak logis, karena pada

zaman masing-masing dari tujuh Qari’, penukil yang mutawatir hanya Qari’ tersebut

229
bukan orang-orang lain. Jika tidak, maka Qira’at itu tidak dinisbahkan kepadanya dan

tidak memiliki ciri khusus.

Hadis tujuh huruf

Untuk menunjukkan Qira’at Sab’ah, ada hadis terkenal, “Al-Quran diturunkan

dalam tujuh huruf.” Hadis ini dianggap ditujukan untuk Qira’at Sab’ah.

Mereka mengartikan Ahruf jamak dari huruf sebagai Qira’at. Namun sudah

kita jelaskan bahwa huruf dalam hadis ini, berarti logat. Suku-suku Arab melakukan

shalat dengan menggunakan aksen berbeda-beda, mereka membaca al-Quran tidak

ah
menggunakan aksen Quraisy yang merupakan aksen Arab yang paling fasih.

Sebagian sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, “Apakah semua orang

i
Sy
Arab dan orang-orang sedunia harus membaca menurut logat Quraisy?”

Beliau saw menjawab, “Tidak, al-Quran telah diturunkan dengan tujuh logat

dan tidak khusus pada logat Quraisy.”


a

Bilangan tujuh maksudnya adalah banyak, bukan bilangan tertentu.


a k

Hujjiah Qira’at Sab’ah


st

Apakah Qira’at Sab’ah memiliki hujjah, nilai dan pengakuan? Apakah keika
u

melaksanakan shalat orang dapat memilih salah satu dari bacan-bacaan Qira’at
P

Sab’ah?

Kebanyakan fuqaha memperbolehkan memilih salah satu dari bacan-bacaan

Qira’at Sab’ah. Almarhum Sayid Muhammad Kazhim Yazdi dalam Urwatul Wutsqa

dan almarhum Sayid Abul Hasan al-Isfahani dalam Wasilatun Najat, memilih ihtiyath

230
(berhati-hati) yang menganjurkan agar melakukan shalat dengan membaca sesuai

dengan Qira’at Sab’ah. 340

Ayatullah Khu’i memperbolehkan Qira’at yang berlaku pada masa para Imam

makshum as 341. Beliau menafsirkan hadis dengan redaksioanal “Bacalah sebagaimana

yang dibaca oleh orang-orang” sebagai bacaan yang berlaku pada zaman itu.

Imam Khomeini memilih ihtiyath dengan berpendapat agar tidak melampaui

batas Qira’at Sab’ah. 342

Para fuqaha lazim memberikan kebebasan memilih masing-masing dari

Qira’at Sab’ah, meskipun dalam riwayat Imam Ja’far Shadiq as disebutkan, “Al-

ah
Quran itu satu, diturunkan dari Yang Maha Satu dan sesungguhnya perbedaan itu

datangnya dari sisi para perawi.”

i
Sy
Sebagian orang berpendapat bahwa para maksum membolehkan membaca

sesuai dengan riwayat, “Bacalah sebagaimana yang dibaca oleh orang-orang.” Inilah

dalil mereka. Oleh karena itu untuk mempermudah, mereka tidak mengharuskan
a

orang-orang membaca dengan satu pola, namun untuk berhati-hati hendaknya


k

membaca sesuai dengan Qira’at sab’ah dan tidak melampaui batas Qira’at Sab’ah.
a

Imam Khomeini juga memilih jalan ihtiyath. Ada kemungkinan bahwa hadis
st

“Bacalah sebagaimana yang dibaca oleh orang-orang” berkenaan dengan Qira’at


u

Sab’ah yang masyhur dikalangan masayarakat.


P

Almarhum Sayid Muhsin al-Hakim, dalam Syarah Urwatul Wutsqa;

Mustamsikul Urwah berpendapat bahwa hadis tersebut tidak bisa dikaitkan dengan

Qira’at Sab’ah, karena pembatasan Qira’at hanya pada tujuh orang Qari’ terjadi pada

awal abad keempat, yaitu dua abad setelah munculnya hadis tersebut. 343 Beliau

340
Urwatul wutsqa; Adabul Qira’at Wa Ahkamuha; masalah 50. Wasilatun Najat; Qira’at; masalah 14.
341
Minhaj al-Shalihin; jilid 1. Kitab al-Shalat; hal. 167; masalah 119.
342
Tahrir al-Wasilah; jilid 1; Kitab al-shalat; hal. 152; masalah 14.
343
Mustamsikul Urwah al-Wustha; jilid 6, hal; 242-245.

231
menguhubungkan hadis tersebut dengan bacaan-bacaan terkenal pada masa para

Imam makshum as yang jumlahnya jauh lebih banyak dari Qira’at Sab’ah. Dengan

demikian setiap Qiraat yang sudah termasyhur pada masa para Imam makshum boleh

dibaca.

Kita semua yakin bahwa al-Quran yang diturunkan Allah kepada Nabi

Muhammad saw adalah satu dan Qira’at yang benar sesuai dengan orang-orang yang

bersambung dengan Rasulullah Muhammad saw . Al-Quran sama sekali tidak ada

hubungannya dengan Qira’at para Qari’ yang melahirkan ijtihad-ijtihad pribadi.

Ulama-ulama besar seperti imam Badrudin Zarkasyi 344 dan ustad Khu’i345

ah
berpendapat bahwa al-Quran dan Qira’at adalah dua hakikat berbeda, yang pertama

adalah wahyu Ilahi yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad saw . Perbedaan

i
Sy
para Qari’ tentang pengetahuan tentang wahyu adalah karena ijtihad-ijtihad pribadi

mereka. Oleh karena itu hadis yang beredaksi “Bacalah sebagaimana yang dibaca

orang-orang” indikasinya tertuju kepada orang-orang yang mewarisi Rasulullah


a

Muhammad saw, bukan yang keluar dari lisan para Qari’ dan hasil ijtihad-ijtihad
k

mereka. Oleh karena itu sesuatu yang diakui dan memiliki hujjiah syar’i adalah
a

bacaan yang umum dan mewakili semua orang. Bacaan tersebut selalu ada tanpa
st

perbedaan dan semua mushhaf-mushhaf dunia akan mencatat kesamaannya.


u

Semua al-Quran yang ditulis tangan dan dicetak dalam beberapa abad terakhir
P

adalah sama. 346 Semuanya sesuai bacaan Hafsh yang sejak dahulu hingga sekarang

menjadi bacaan terkenal di kalangan kaum muslimin. Hafsh mengambil bacaan itu

dari gurunya yang bernama Ashim dari gurunya Abu Abdir Rahman al-Sulami yang

344
Al-Burhan; jilid 1, hal. 318.
345
Al-Bayan; hal; 173.
346
Perlu diingat bahwa bacaan Warasy menurut riwayat Qalun baru-baru ini hanya dicetak di Negara
Arab Libia dan menuai kritik dari kaum muslimin dan para petingi Negara-negara Islam.

232
belajar dari dari Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib as yang sudah pasti berasal

dari Rasulullah Muhammad saw yang disaksikan dan dinukil semua orang.

Imam Khomeini berpendapat bahwa, “Sikap yang lebih berhati-hati adalah

tidak berseberangan dengan apa yang ada dalam al-Quran yang berada ditengah-

tengah kaum muslimin.” 347

Qira’at Hafsh

Satu-satunya bacaan yang memiliki sanad sahih dan mendapat dukungan

banyak orang adalah bacaan Hafsh yang pada masa lalu hingga masa kini terus

ah
berlaku ditengah-tengah kaum muslimin karenakan beberapa sebab:

1. Memiliki sanad sahih karena Hafsh menukil dari Ashim dari Abu Abdir

i
Sy
Rahman al-Sulami dari Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib as dan semua sanadnya

terdiri dari para pembesar kelompok yang dipercaya oleh umat.

2. Sama dengan bacaan kaum muslimin, karena Ashim berusaha mengajarkan


a

kepada Hafsh bacaan yang paling kuat dan benar yang dia peroleh dari jalur sahih,
k

bisa dipercaya, warisan dari Rasulullah Muhammad saw .


a

3. Secara pribadi, Ashim memiliki banyak keistimewaan yang membuatnya


st

terkenal dan di percaya oleh banyak orang. Setiap kali dia belajar suatu bacaan,
u

bacaan itu ia sampaikan kepada beberapa orang dari kalangan sahabat dan tabi’in.
P

Ashim tidak akan menerima bacaan apapun selama belum mendapatkan keyakinan

akan kebenaran bacaan itu. 348 Bahkan dalam semua periode sejarah disebutkan bahwa

bacaan Ashim dianggap sebagai bacaan terbaik. Karenanya dalam kelompok

pengajaran Qira’at, Ibnu Mujahid mempekerjakan lima belas orang untuk

347
Tahrir al-Wasilah; jilid 1, hal. 152, masalah 14.
348
Ma’rifatul Qurra’ al-Kibar; jilid 1, hal. 75.

233
mengajarkan bacaan Ashim dari guru Qira’ah yang bernama Ibrahim bin Muhammad

yang dikenal dengan Nafthwaih (w. 323 H). 349

Imam Ahmad bin Hanbal hanya menerima bacaan Ashim. Hafsh adalah orang

yang paling mengerti tentang bacaan Ashim dan bacaannya selalu mendapat pujian

dari kalangan ulama dan fuqaha Syiah imamiah. 350

Bab V

Menepis keraguan tentang tahrif

Keraguan tetang tahrif (penyimpangan) alQuran sudah ada sejak zaman

ah
dahulu dan selalu ditolak oleh para ulama dan para pengkaji Islam, kecuali hanya

sekelompok atau orang-orang tertentu meragukan al-Quran dan berusaha untuk

i
Sy
mencari-cari alasan dikarenakan pengetahuan mereka akan dasar-dasar akidah Islam

sangat minim.

Sumber keraguan ini adalah riwayat-riwayat yang tertera di dalam kitab-kitab


a

Ahlusunnah dan Syiah yang secara lahiriah menunjukkan adanya tahrif kalam Ilahi.
k

Biasanya riwayat-riwayat tersebut bisa ditakwil. Riwayat-riwayat tersebut sudah


a

memiliki takwil. Ketika riwayat tersebut tidak bisa ditakwil, maka akan disingkirkan.
st

Keraguan tentang tahrif al-Quran itu penting untuk dikaji. Alasannya adalah
u

karena ada keterkaitan dengan hujjiah lahiriah al-Quran. Karenanya, kata dasar tahrif
P

harus dievaluasi agar benar dan salahnya riwayat tersebut dapat diketahui.

Pembahasan ini akan kami sampaikan dalam tiga bagian; pertama, adanya

bukti-bukti dari para pengkaji tentang penafian tahrif al-Quran. Kedua, pandangan-

pandangan para ulama besar Islam tentang keraguan ini. Ketiga, meneliti riwayat-

riwayat yang dinukil dari jalur Ahlusunnah dan Syi’ah.

349
Ibid; jilid 1, hal. 217. Ibnu Hajar Asqalani; Lisanul Mizan; jilid 1, hal. 109.
350
Al-Tamhid; jilid 2, hal. 232-236.

234
Tahrif secara kebahasaan

Tahrif berasal dari kata dasar “Harf”, artinya pinggir atau tepi. Dalam surah

al-Hajj ayat 11 disebutkan “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah

Allah dengan berada di tepi, maka jika memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam

keadaan itu dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana berbaliklah ia ke belakang.”

Zamakhsyari ketika menafsirkan ayat ini berpendapat bahwa mereka selalu

berada di tepi agama, tidak berada di tengah dan di jantung agama. Hal ini

dikarenakan keraguan mereka dalam agama. Mereka sama sekali tidak pernah merasa

ah
tenang, sama seperti tentara yang bergerak menyamping agar bisa meraih harta

rampasan ketika meraih kemenangan dalam suatu pertempuran, namuan jika kalah dia

i
Sy
bisa segera melarikan diri. 351

Tahriful kalam ialah memalingkan perjalanan alaminya. Sebuah teks dan frase

dikatakan mengalami perkembangan alami ketika tetap mengandung makna dan


a

tujuan yang sebenarnya. Di sini, tahrif akan terjadi ketika teks-teks dan frase-frase itu
k

diselewengkan dari makna sebenarnya.


a

Oleh karena itu tahriful kalam bermakna menafsirkan sesuatu, berbeda dengan
st

lahiriah teks atau frase. Tahrif seperti ini disebut dengan tahrif maknawi, karena pada
u

hakikatnya, tahrif maknawi merubah makna teks.


P

Di dalam al-Quran, setiap kali tercantum kata tahrif maka yang dimaksud dari

kata itu adalah tahrif maknawi. Thabarsi ketika menafsirkan ayat Mereka merubah

perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya (Al-Maidah: 13 dan Al-Nisa: 46)

351
Al-Kasysyaf; jilid 2, hal. 142.

235
berpendapat bahwa banyak orang menafsirkannya berbeda dengan apa yang

diinginkan Allah, penakwilan ini adalah buruk.” 352

Zamakhsyari ketika menafsirkan ayat itu berpendapat bahwa mereka

menyelewengkan teks dari tempatnya. Jika teks itu tidak ditafsirkan dan dijelaskan

sesuai makna sebenarnya, berarti ia telah diselewengkan dari posisi aslinya. Sya’rani,

dalam Hasyiah Majma’ al-Bayan berpendapat bahwa posisi teks itu adalah makna-

makna teks itu sendiri. Alasannya adalah karena setiap teks sesuai makna yang

melekat kepadanya, jika teks itu sudah beralih posisi dan memiliki makna lain yang

tidak sesuai dengan keadaan lafazh itu akibat penafsiran, maka teks tersbut telah

ah
beralih posisi atau diselewengkan. Zamakhsyari menjelaskan bahwa teks tersebut

memiliki tempat-tempat yang layak dengan posisi yang sesuaidengan maknanya.

i
Sy
Karenanya, jika teks tersebut telh melenceng jauh jauh dari maknanya, maka ia tidak

akan berfungsi sebagaimana semestinya dan menjadi aneh. 353

Imam Ja’far Shadiq bersabda, “Mereka telah meninggalkan kitabullah,


a

meyakini huruf-huruf dan teks-teksnya namun menyelewengkan hukum-


k

hukumnya.” 354 Maksud dari ungkapan ini adalah mereka yang telah menafsirkan dan
a

menakwilkan keliru.
st
u

Tahrif secara terminologi


P

Tahrif, secara terminologi memiliki tujuh makna;

1. Tahrif dalam makna perkataan, yaitu penafsiran dan penakwilan tidak

selayaknya yang tidak memiliki penjelasan. Mereka hanya menafsirkan dan

menakwilkan sesuai dengan keinginan mereka. Oleh karena itu penakwilan yang tidak

bersanad seperti ini dianggap sebagai takwil batil dan tafsir bir ra’yi (penafsiran
352
Tafsir Thabarsi; jilid 2, hal. 173.
353
Muhammad Hadi Ma’rifat; Shiyanatul Quran Min al-Tahrif; hal. 15.
354
Al-Kafi; jilid 8, hal. 53, nomor 16.

236
sekehendak hati). Rasulullah Muhammad saw bersabda “Barangsiapa menafsirkan al-

Quran menurut kehendaknya sendiri, maka hendaknya ia bersiap-siap menjadi

penghuni neraka” 355

2. Mencatat ayat atau surah di dalam mushaf tidak sesuai dengan urutan

turunnya.

3. Perbedaan bacaan yang tidak sesuai dengan bacaan masyhur. Fenomena ini

terus berlangsung sejak masa awal masa Islam sampai sekarang. Ada banyak Qari’

yang membaca al-Quran berbeda dengan bacaan yang terkenal.

4. Perbedaan dalam logat. Masing-masing dari kabilah Arab memiliki logat

ah
khusus dan mereka membaca al-Quran dengan logat yang berbeda dengan logat

Quraisy, padahal al-Quran diturunkan dengan logat Quraisy. Tentunya Rasulullah

i
Sy
Muhammad saw mengizinkan perbedaan logat ini. Hadis yang mengatakan bahwa al-

Quran itu diturunkan dengan tujuh huruf berkaitan dengan perbedaan logat-logat ini.

5. Mengganti kata-kata, yaitu mengambil suatu lafazh dari al-Quran dan


a

menggantinya dengan sinonimnya. Dikatakan bahwa Abdullah bin Mas’ud


k

memperbolehkan penggantian kata-kata dan dia seringkali merubah kata-kata al-


a

Quran yang sulit dimengerti dengan kata-kata yang lebih mudah, dengan syarat kata
st

sinonim itu tidak merubah makna aslinya.


u

6. Menambah suatu masalah (baik itu surah, ayat, perkataan dan kata) dalam
P

al-Quran. Telah diriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud seringkali menyebut kata lain di

sela-sela ayat sebagai penafsiran dengan tujuan menjadikan ayat tersebut menjadi

lebih jelas maksudnya, sebagaimana yang ada dalam ayat tabligh yang ditambah

perkataan, “Sesungguhnya Ali adalah pemimpin orang-orang yang beriman,” dan dia

membaca ayatnya seperti ini; “Hai rasul, sampaikanlah apa yang akan diturunkan

355
Ghawalil La’ali; jilid 4, hal. 194, nomor 154.

237
kepadamu (bahwa sesungguhnya Ali adalah pemimpin orang-orang yang beriman)

dan jikalau kamu tidak menyampaikannya maka sama saja kamu tidak menyampaikan

risalah-Nya.” Demikian juga dengan ‘Ajaridah (sebagian kelompok Khawarij yang

mengikuti ‘Ajrad) yang beranggapan bahwa surah Yusuf adalah sesuatu yang

ditambahkan di dalam al-Quran.356

7. Mengurangi al-Quran. Sebagian mengira bahwa sebelumnya al-Quran itu

lebih banyak dari ukuran yang ada, atau al-Quran itu dikurangi karena lupa, kesalahan

atau adanya unsur kesengajaan. Kebanyakan pembahasan tentang masalah tahrif

adalah masalah pengurangan al-Quran. Apakah ada sesuatu yang dikurangi dari al-

ah
Quran ataukah tidak? Jika bersandar pada sebagian riwayat Ahlusunnah yang

diriwayatkan oleh Hasyawiyah 357, juga riwayat-riwayat dari kalangan Syiah

i
Sy
Akhbari 358, maka muncullah masalah pengurangan al-Quran. Tetapi sudah menjadi

konsensus umat bahwa al-Quran sama sekali tidak pernah ditambah atau dikurangi.
a

Bukti-bukti penafian tahrif


k

Pembahasan di sini adalah ringkasan dari pendapat ulama-ulama Islam tentang


a

keraguan tahrif al-Quran yang disebutkan di dalam kitab-kitab ilmu kalam dan ushul
st

Fiqh:
u
P

356
Abdul Karim Syahristani; al-Milal wa al-Nihal; jilid 1, hal. 128.
357
Mereka disebut Hasyawiyah karena mencatat riwayat ke dalam kantong-kantong yang terbuat dari
kulit kambing setiap kali mereka mendapatkan sesuatu dari hadis-hadis. Al-Hasywu adalah isi. Ibnu
Jauzi berkata, “Cara yang mereka gunakan adalah menyebarluaskan hadis-hadisnya meskipun hadis-
hadis itu selayak tumpukan barang-barang tak berharga.” Jauzi menganggap perbuatan mereka ini
sangat buruk, karena Rasulullah Muhammad saw bersabda, “Sesiapa menukil suatu hadis dariku
sementara dia mengetahui kalau hadis itu bohong, maka dia adalah seorang pembohong.” (al-
Maudhu’at; jilid 1, hal. 240).
358
Dahulu, Akhbariyun itu adalah sebutan bagi mereka yang selalu mengumpulkan berita-berita
sejarah. Sejak abad kesebelas hingga sekarang, kelompok itu disebut dengan Muhadditsin. Mereka
terlalu meremehkan dalam pengumpulan riwayat-riwayat, mereka melakukan pencampuradukan
riwayat dari siapa pun. (Shiyanatul Quran min al-Tahrif; hal. 109 dan hal. 157).

238
1. Kesaksian sejarah

Al-Quran dari sejak awal sudah mendapat perhatian semua orang, khususnya

kaum muslimin. Rasulullah Muhammad saw adalah penjaga al-Quran dan selalu

memerintahkan untuk menghafal dan mencatatnya. Kaum muslimin pada waktu itu

bertugas mencatat dan menghafalnya. Untuk merealisasikan tujuan ini, mereka

mengumpulkan banyak naskah yang mereka simpan di dalam peti atau kantong

khusus di rumah mereka masing-masing. Sejak saat itu, menghafal al-Quran menjadi

populer, karenanya banyak orang yang memiliki posisi terhormat di kalangan

masyarakat Islam karena hafal al-Quran, sekaligus mencatat al-Quran di dalam

ah
mushhaf-mushhaf.

Ringkasnya, satu-satunya penjaga kitab samawi ini adalah kaum muslimin,

i
Sy
mereka tidak melalaikannya walaupun sejenak dan selalu berusaha menjaganya.

Peran ulama-ulama besar dalam memperhatikan kitab ini juga patut

diperhatikan. Kitab ini berperan penting sebagai penyelesai beragam masalah serta
a

menjadi penentu nasib kaum muslimin. Kitab ini adalah dasar dari berbagai ilmu
k

Islam. Setiap ulama yang berkonsentrasi mengkaji ilmu-ilmu Islam, petunjuk jalannya
a

adalah al-Quran. Keberadaan al-Quran untuk mencapai hakikat. Banyak pengetahuan


st

yang tersebar di tengah-tengah muslimin bersumber dari al-Quran. Oleh karena itu
u

ulama Islam selalu membutuhkan al-Quran dan menjadikannya sebagai basis dari
P

program-programnya.

Dalam masalah ini, Sayid Murtadha Alamul Huda berpendapat bahwa

meyakini saduran al-Quran, sama seperti meyakini kota-kota besar dunia serta

peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah yang termaktub dalam berbagai buku

terkenal. Sama juga seperti membaca puisi-puisi dari para sastrawan besar yang tak

lekang oleh pergantian waktu sepanjang zaman dan berada dalam kondisi terlindungi.

239
Apalagi al-Quran, kitab ini selalu mendapatkan perhatian yang lebih dan selalu

mendapat penjagaan. Al-Quran adalah mukjizat Islam dan dalil kebenaran nubuwah,

serta sumber semua pengetahuan agama dan hukum-hukum syariat. Ulama selalu

berusaha menjaganya hingga kepada masalah yang paling detail sekalipun, seperti

i’rab dan bacaan, jumlah huruf, kalimat-kalimat dan ayat-ayatnya.

Dengan demikian, bagaimana mungkin al-Quran bisa mengalami perubahan,

pengurangan dan penambahan, bukankah semua perhatian, pencatatan dan penjagaan

yang begitu ketat ini tercurah kepadanya.

Meyakini detail-detail dan bagian-bagian al-Quran sama seperti meyakini

ah
keseluruhan al-Quran, sama juga dengan kitab-kitab lain yang terkenal di dunia,

seperti kitab Sibawaih dan Mazni. Setiap orang alim mengetahuinya. Perhatian ulama

i
Sy
dan para ilmuan kepada dua kitab ini akan memberi pemahaman, sehingga jika terjadi

pengurangan atau penambahan terhadap isinya, maka bagian itu akan teriidentifikasi.

Sangat jelas bahwa perhatian terhadap al-Quran melebihi Sibawaih dan Mazni dan
a

kumpulan-kumpulan syair. 359


k

Syekh Ja’far Kabir Kasyiful Ghitha’ berkenaan dengan masalah ini


a

berpendapat bahwa riwayat-riwayat Naqishah (berkurangnya al-Quran) jelas-jelas


st

telah ditolak dan lahiriahnya sama sekali tidak bisa diterima. Khususnya riwayat-
u

riwayat yang menduga bahwa sepertiga al-Quran (lebih dari dua ribu ayat) atau
P

banyak ayat-ayatnya yang hilang. Jika hal itu terjadi, sudah sepatutnya diketahui oleh

banyak orang dan musuh-musuh Islam akan selalu menjadikannya alasan untuk

menggugurkan al-Quran. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Bukankah kaum

muslimin berusaha semaksimal mungkin menjaga dan mencatat ayat-ayat dan huruf-

hurufnya? Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa pada awalnya di dalam al-

359
Tafsir Thabarsi; jilid 1; Mukadimah, al-fannul Khamis, hal. 15.

240
Quran tercantum banyak nama orang-orang munafik, namun sekarang nama-nama itu

sudah tidak ada lagi. Bagaimana bisa pernyataan ini dipercaya? Bukankah Rasulullah

saw dengan sikap arif dan akhlaknya yang mulia sama sekali tidak pernah

mengutarakan hal itu secara terang-terangan kepada mereka dan menyikapi mereka

sama seperti kaum muslimin lainnya.

Sangat mengherankan, mereka yang percaya bahwa hadis-hadis nabi sampai

sekarang masih terjaga dengan alasan karena pesan-pesan beliau selalu diucapkan dan

tercatat dalam kitab-kitab. Hadis beliau selalu terjaga lebih dari seribu tahun. Mereka

menambah alasannya bahwa seandainya di dalamnya terdapat suatu cela, sudah pasti

ah
diketahui oleh semua orang. Namun, mereka tidak meyakini bahwa al-Quran

keterjagaan al-Quran. Mereka berpendapat bahwa di dalam al-Quran terdapat

i
Sy
kekurangan (ayat-ayat). Bukankah perhatian kepada al-Quran melebihi hadis-hadis?

Bukankah al-Quran lebih sering diucapkan dan pencatatannya lebih rapi? 360

2. Keharusan kemutawatiran al-Quran


a

Salah satu bukti penting untuk menepis keraguan tahrif adalah keharusan
k

kemutawatiran al-Quran. Syarat diterimanya al-Quran, baik keseluruhan atau


a

sebagian, adalah kemutawatirannya. Al-Quran harus mutawatir—setiap huruf, kalimat


st

dan bahkan dalam harakat-harakat dan sukun-sukunnya. Kaum muslimin menukilnya


u

dari tangan ke tangan dan dari hafalan ke hafalan dalam jumlah yang banyak. Oleh
P

sebab itu, permasalahan tahrif tentang suatu kalimat atau perkataan adalah bagian dari

al-Quran, karena riwayat itu dinukil oleh perorangan, maka tidak bisa diterima dan

menurut dasar “keharusan kemutawatiran al-Quran” riwayat itu termasuk riwayat

yang tertolak. Pemahaman ini adalah salah satu masalah Islam yang sangat penting

dan menjadi kesepakatan para ulama yang merupakan khabar wahid (hadis yang

360
Syekh Ja’far Kabir; Kasyiful Ghitha’; Kitabul Quran, Kitabus Shalat; pembahasan 7 dan 8, hal.
298-299. Al-Haqqul Mubin; hal. 11.

241
diriwayatkan oleh lebih dari satu orang perawi), bukan masalah Ushul Fiqh dan ilmu

Kalam, ia hanya merupakan bagian dari masalah far‘i dan praktis.

Berkenaan dengan masalah penafian tahrif, Allamah Hilli menulis:

Ulama bersepakat bahwa apa saja yang sampai kepada kita dari al-Quran

secara mutawatir adalah hujjah dan yang sampai kepada kita tidak secara

mutawatir tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Al-Quran adalah sanad

nubuwah dan mukjizat Islam yang abadi. Dengan demikian ketika sanad itu

tidak sampai kepada batas mutawatir, maka kebenaran nubuwah tidak bisa

diyakini. Oleh karena itu kita tidak bisa menerima apa yang di riwayatkan oleh

ah
para perawi tentang yang mereka dengar secara tidak mutawatir. Satu perawi,

meskipun dia seorang yang jujur, seandainya apa yang dia nukil adalah al-

i
Sy
Quran sudah pasti dia telah berbuat kesalahan, seandainya yang dinukil adalah

selain al-Quran maka hal itu meragukan. Alasannya adalah tidak ada kejelasan

apakah itu adalah riwayat yang telah didengarnya dari Rasulullah saw atau
a

pendapat pribadinya. Pendapatnya, selamanya tidak akan pernah memiliki


k

hujjiah syar‘iyah sebagai ayat-ayat al-Quran.361


a

Sayid Mujahid Thabathaba’i dalam kitab Wasail al-Ushul, Muhaqqiq Ardabili


st

dalam kitab Syarhul Irsyad dan Sayid Muhammad Jawad Amili dalam kitab Miftahul
u

Karamah juga berpendapat sama.362


P

3. Masalah i’jazul Quran (mukjizat al-Quran)

Menafikan keraguan tahrif ialah masalah i’jazul Quran. Para ulama

berpendapat bahwa mukjizat al-Quran adalah dalil terkuat untuk menolak keraguan

tahrif. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh kaum Khawarij bahwa surah Yusuf

secara keseluruhan adalah sesuatu yang ditambahkan ke dalam al-Quran, karena isi

361
Brujurdi; Al-Burhan; hal. 111.
362
Shiyanatul Quran min al-Tahrif; hal. 38-39.

242
surah itu adalah sebuah biografi percintaan. Mereka berpendapat bahwa hal itu tidak

boleh ada di dalam al-Quran. Mereka juga berpendapat telah terjadi pengurangan

sebagaimana yang diperkirakan oleh sahabat besar Abdullah bin Mas’ud bahwa dua

surah Mu’awwidzatain adalah dua doa penolak sihir dan dua surah ini bukan bagian

dari al-Quran. Semua itu, secara keseluruhan tidak ada di dalam al-Quran. Ada

kemungkinan pihak yang ingin menandingi al-Quran.

Apakah manusia bisa mempersembahkan sesuatu seperti persembahan al-

Quran dari sisi kefasihan dan balaghah, penjelasan dan kandungannya? Selamanya

manusia tidak akan mampu melakukannya. Allah berfirman dalam al-Quran,

ah
Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang

serupa al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan mampu membuat yang serupa

i
Sy
dengannya, sekalipun mereka membantu bagi sebagian yang lain.” (Al-Isra: 88).

Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Quran yang Kami

wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surah saja yang semisal
a

al-Quran itu…” (Al-Baqarah : 23).


k

Apakah mereka mengatakan, “Al-Quran itu dengan bohong dinisbahkan


a

kepada Allah.” Katakanlah, “(kalau kalian berkata benar) buatlah satu surah seperti
st

al-Quran…” (Yunus : 38).


u

Ayat-ayat tersebut dinamakan ayat-ayat tahaddi, yaitu tantangan. Dengan


P

demikian, apabila orang-orang tertentu telah membuat surah Yusuf atau surah-surah

lainnya dan memasukkannya ke dalam al-Quran, maka berarti pernyataan al-Quran

gugur.

Demikianlah kemungkinan dirubahnya kalimat-kalimat al-Quran,

sebagaimana yang diperkirakan oleh Syekh Nuri dan pendahulunya Sayid Jazairi.

Segala bentuk perubahan dalam susunan dan perangkaian kata-kata al-Quran adalah

243
akibat dari ulah orang yang merubahnya sehingga ia keluar dari bentuk wahyu. Oleh

karena itu menisbahkan perubahan ini kepada orang yang merubahnya lebih pantas

daripada kita harus menyebutnya sebagai firman Ilahi. Mereka mengira bahwa ayat

Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka

mengetahui yang gaib (Saba’; 14), redaksi semula adalah “Tahulah manusia itu

bahwa kalau sekiranya jin itu mengatahui ilmu gaib” 363, begitu pula dengan ayat

Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (Ali Imran : 110) asalnya

adalah “Sebaik-baik pemimpin…” 364

Demikian halnnya dengan pengurangan al-Quran, pasti menyebabkan

ah
kerusakan dan sirnanya susunan kalimat awal. Tentu, hal ini berdampak kepada gaya

balaghah dan susunan baru yang tidak sempurna tidak akan memiliki gaya balaghah

i
Sy
yang pertama. Oleh karena itu tidak bisa dikatakan bahwa susunan baru ini adalah

susunan Ilahi dan wahyu. Pendapat terlemah yang diutarakan ini adalah ungkapan

mereka yang menyangka bahwa ditengah-tengah satu ayat ada lebih dari sepertiga al-
a

Quran yang hilang. Mereka berpendapat bahwa ditengah-tengah ayat, Dan jika kamu
k

takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) anak-anak yatim, maka
a

kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi… (An-Nisa : 3) ada lebih dari dua ribu
st

ayat telah hilang. Dengan demikian, menurut mereka susunan ayat telah pudar dan
u

kacau. Pengakuan yang berkaitan dengan al-Quran seperti ini, bersumber dari otak
P

yang benar-benar rapuh.365

Dengan demikian segala bentuk pendapat tentang adanya tambahan atau

kekurangan atau perubahan dalam kata-kata al-Quran berseberangan dengan masalah

i’jaz dalam susunan yang ada.

363
Bihar a- Anwar; jilid 90. Tafsir Nu’mani; hal. 26-27.
364
Sayid Jazairi; Manba’ al-Hayat; hal. 67.
365
Manba’ al-Hayat; hal. 66.

244
4. Jaminan Ilahi

Salah satu bukti yang paling jelas akan keselamatan al-Quran dan penolakan

tentang keraguan tahrif adalah jaminan Tuhan yang tak pernah lalai memperhatikan

al-Quran, menjaganya dari segala cela, Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-

Dzikr (al-Quran) dan Kami (pula) yang menjaganya. Ayat ini benar-benar menjamin

keselamatan al-Quran. Benar bahwa maksud dari kaidah luthf adalah demikian. Al-

Quran adalah dokumen hidup Islam dan dalil kebenaran nubuwah yang kuat, sudah

sepatutnya selalu terjaga dari segala cela. Segala bentuk kemungkinan perubahan al-

Quran berarti goyahnya fondasi dan dasar Islam yang tentunya hal ini bertentangan

ah
dengan pentingnya peranan akal dan agama.

Tentunya al-Quran yang sekarang ada di tangan kaum muslimin adalah al-

i
Sy
Quran yang telah mendapat jaminan dari Allah dan hal ini adalah dalil

kemukjizatannya. Tidak seperti prasangka Haji Nuri bahwa al-Quran itu tersimpan di

dalam Lauh al-Mahfuzh atau di dalam dada Rasulullah Muhammad saw dan para
a

washi-nya. 366 Penyimpanan seperti itu tidak ada. Menjaga al-Quran yang ada inilah
k

yang disebut Allah sebagai keagungan. Dia berfirman, Dan sesungguhnya al-Quran
a

itu adalah kitab yang mulia. Yang tidak datang kepadanya kebatilan bai dari depan
st

maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi
u

Maha Terpuji (Fushshilat : 42). Ayat ini lebih tegas dari ayat sebelumnya ketika
P

menegaskan bahwa al-Quran selalu terjaga dari segala kejadian buruk. Al-Quran akan

tetap terjaga dari peristiwa yang tidak diinginkan pada masa depan. Selamanya tidak

akan ada sesuatu yang dapat melenyapkan al-Quran. Al-Quran terjaga dari peristiwa

yang menyebabkan perubahan dan pencampuradukan.

366
Muhammad Husain Nuri; Fashlul Khithab; hal. 360.

245
Allah Maha Bijaksana, tidak akan pernah melakukan perbuatan sia-sia. Dia

Maha Terpuji, semua perbuatan-Nya patut dipuji. Al-Quran yang diturunkan dengan

kondisi seperti ini, masa depannya sudah diperhitungkan oleh-Nya dan akan tetap

terjaga untuk selamanya, Sesunguhnya Allah tidak akan mengingkari janji-Nya (Ar-

Ra’du : 31).

5. Pemaparan riwayat-riwayat tentang al-Quran

Bukti-bukti lain akan keselamatan al-Quran sepanjang sejarah, ialah riwayat

yang telah disabdakan Rasulullah Muhammad saw, “Untuk mencapai setiap

kebenaran, ada suatu hakikat yang akan menampakkan kebenaran itu dan pada setiap

ah
kebenaran itu terdapat cahaya yang akan memandu jalannya. Apapun yang datangnya

dari hadis yang sesuai dengan al-Quran, ambillah dan yang bertentangan dengan al-

i
Sy
Quran, tinggalkanlah.” 367

Jika muncul pertanyaan, “Seandainya mungkin al-Quran bisa dirubah dan

tidak bisa dianggap murni lagi, apakah ia masih bisa dijadikan tolok ukur pembeda
a

dan menjadi dalil yang jelas untuk kebenaran dan kesalahan riwayat?” Tidak akan
k

pernah bisa. Sudah sangat logis bahwaal-Quran selalu menempuh jalan keselamatan
a

untuk bisa mempertahankan kedudukannya dan menjadi tolok ukur pembeda


st

kebenaran dan kebatilan.


u

6. Nash-nash Ahlulbayt
P

Dalam hal penafian tahrif, ada banyak riwayat khusus dari Ahlulbayt as yang

secara universal menolak kemungkinan terjadinya tahrif. Keraguan tahrif di dalam al-

Quran dalam pandangan Syiah Imamiah yang mengikuti Ahlulbayt as berkeyakinan

bahwa al-Quran akan selalu terjaga dari segala bentuk penyelewengan.

Berikut ini adalah contoh-contoh dari riwayat-riwayat tersebut:

367
Ushul al-Kafi; jilid 1, hal. 69.

246
Riwayat pertama. Imam Muhammad Baqir as menulis surat kepada Sa’dul

Khair. Redaksinya adalah sebagai berikut, “Satu contoh dari pencampakan al-Quran,

ialah mereka mendirikan huruf-huruf dan kalimat-kalimatnya, namun mereka

menyelewengkan dan merubah hukum-hukumnya.” Dalam riwayat yang mulia ini,

telah dipaparkan tentang perubahan makna-makna dan tafsiran-tafsiran yang

menyimpang. Namun lafazh-lafazh dan ungkapan-ungkapan al-Qurannya tetap tidak

terjamah. Ada hadis serupa sebagai ganti dari tahriful hudud (menyelewengkan

hukum-hukum), disebutkan tadhyi’ul hudud (melenyapkan hukum-hukum),

“Seseorang yang membaca al-Quran, menghafal huruf-hurufnya dan melenyapkan

ah
peraturan-peraturannya.” 368

Riwayat kedua. Abu Bashir bertanya kepada Imam Ja’far Shadiq as,

i
Sy
“Orang-orang bertanya, ‘Mengapa Allah berfirman, Taatilah Allah dan Taatilah

Rasulullah serta Ulil Amri dari kalian?’ (An-Nisa : 59). Namun Dia tidak menyebut

nama Ali beserta keluarganya?” Imam as menjawab, “Di dalam al-Quran telah
a

diturunkan kewajiban shalat, tetapi tidak menyebutkan rakaat-rakaat dan syarat-


k

syaratnya supaya hal itu dijelaskan oleh Nabi saw .” 369 Dalam hadis yang mulia ini,
a

dijelaskan bahwa pokok masalah tersebut telah terbukti, al-Quran telah melimpahkan
st

tugas menyampaikan dasar-dasar dan kewajiban-kewajiban serta hukum umum.


u

Cabang-cabang dan parsial-parsialnya dijelaskan kepada Rasulullah saw . Imam


P

menjelaskan bahwa nama Ali dan keluarganya sama sekali tidak pernah disebut di

dalam al-Quran. Karena hal ini adalah tugas Rasulullah saw untuk menjelaskannya

sama seperti menjelaskan rakaat-rakaat dan syarat-syarat shalat. Oleh karena itu,

segala bentuk riwayat dengan sanad lemah yang menyebutkan bahwa nama Ali dan

368
Ushul al-Kafi; jilid 2, hal. 627, nomor 1.
369
Ibid: jilid 1, hal. 286.

247
keluarganya pernah tercantum di dalam al-Quran kemudian nama-nama itu hilang,

maka menurut riwayat ini tidak bisa diterima.

Riwayat ketiga. Syekh Mufid meriwayatkan dari Jabir dari Imam

Muhammad Baqir as bahwa beliau as bersabda, “Ketika Imam Mahdi af muncul, dia

akan mengajarkan al-Quran kepada orang-orang. Pada saat itu pekerjaan yang paling

sulit dalam perkara ini ialah masalah susunan mushhaf. Sebab susunan mushhaf

beliau berbeda dengan susunan mushhaf yang ada sekarang.” 370 Hadis ini

menunjukkan bahwa al-Quran yang dibawa oleh Imam Mahdi af, sama sekali tidak

ada bedanya dengan mushhaf yang ada sekarang, kecuali dalam susunan dan bentuk

ah
penyusunan ayat-ayat dan surah-surahnya.

7. Pandangan ulama besar Syiah

i
Sy
Kami akan memaparkan sebagian pernyataan-pernyataan ulama besar Syiah

tentang masalah ini. Tujuannya agar ada kejelasan bahwa ulama Syiah sama sekali

tidak pernah berpendapat bahwa al-Quran telah mengalami perubahan. Jika ada yang
a

menisbahkan pendapat demikian kepada Syiah maka itu adalah tuduhan bohong.
k

Tentu, sebagian ulama Akhbari yang melampaui batas—yang tidak berada dalam
a

barisan ulama Syiah menonjol—telah berpendapat tentang hal ini dan tidak boleh
st

dianggap sebagai pendapat Syiah.


u

Seandainya kita ingin membagi, ulama besar Syiah ada dua kelompok;
P

muhaqqiqin dan muhadditsin. 371 Sejak awal sampai sekarang, keduanyan bersepakat

menolak keraguan tahrif. Para ulama muhadditsin sejak periode rais al-muhadditsin

370
Al-Irsyad; hal. 365
371
Perbedaan antara muhaqqiqin dan muhadditsin ialah para muhaqqiqin memperbolehkan ijtihad
dalam hukum-hukum syariat dan menyertakan pemikiran akal untuk mengetahui pengetahuan-
pengetahuan agama. Berbeda dengan muhadditsin, mereka hanya mengikuti hadis-hadis yang
datangnya dari para makshum dengan meneliti seluruh ushul dan furu’udin menurut hadis-hadis
tersebut, mereka memperbolehkan penggunaan sistim Itqan untuk bersandar kepada riwayat dan dalam
hal ini mereka tidak bermalas-malasan dan meremehkannya. Muhaqqiqin bebas dalam berijtihad dan
menyampaikan pendapatnya, selalu mengedepankan bimbingan-bimbingan akal dan pemikiran yang
berbeda dengan muhadditsin yang hanya berpedoman kepada hadis-hadis para makshum secara
tekstual namun tetap jeli dalam memilih dan memperoleh kesahihannya.

248
Abu Ja’far al-Shaduq sampai zaman khatamul muhadditsin Syekh al-Hur al-Amili dan

Muhaddits Kasyani, semua berpendapat sama dengan muhaqqiqin yaitu menolak

tahrif al-Quran.

Bermula dari abad kesebelas, sekelompok yang bernama Akhbariyyun yang

telah diganti dengan nama muhadditsin, mengetengahkan masalah tahrif al-Quran dan

menciptakan kericuhan ini. Karenanya pernyataan salah ini tidak boleh dinisbahkan

kepada semua orang Syiah.

Untuk membuktikan klaim di atas, kami akan memaparkan pendapat ulama-

ulama besar:

ah
1. Syekhul Muhadditsin Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain bin

Babwaih Shaduq (w. 381 H) dalam Risalah I’tiqadat berpendapat, “Kami yakin

i
Sy
bahwa al-Quran yang diturunkan kepada Rasulullah saw adalah al-Quran yang

sekarang ada di tangan orang-orang dengan berisikan 114 surah, tidak kurang. Sesiapa

yang menisbahkan kepada kami pernyataan bahwa al-Quran itu lebih banyak dari
a

yang ada sekarang, maka orang itu adalah pembohong.” 372


k

2. ‘Amid al-Thaifah Muhammad bin Muhammad bin Nu’man, yang dikenal


a

dengan Syekh Mufid (w. 413 H) dalam kitabnya yang sangat berharga, Awail al-
st

Maqalat berpendapat bahwa sebagian ahli Imamah berkeyakinan bahwa tidak


u

sedikitpun dari al-Quran yang berkurang, baik kalimat, ayat dan surahnya. Kecuali
P

apa yang ada di dalam mushhaf Ali as yang memiliki penjelasan dan penafsiran.

Beliau mengeaskan, “Pendapat ini, bagi saya lebih mendekati kebenaran daripada

pendapat mereka yang mengatakan bahwa sebagian dari kalimat-kalimat al-Quran

telah hilang dan pendapat saya adalah tidak sedikitpun dari al-Quran yang berkurang.”

Sampai kapanpun tidak pernah terjadi penambahan mushhaf, masalah ini adalah

372
Shaduq; I’tiqadat. Syarh-e Bab Hadi Asyar; hal. 93-94.

249
masalah ijma’ ulama. Jika yang dimaksud adalah bertambahnya suatu surah maka hal

ini bertentangan dengan masalah i’jaz. Jika yang dimaksud adalah bertambahnya

kalimat atau beberapa kalimat maka hal ini juga tertolak dengan alasan tidak adanya

dalil yang kuat. Dengan demikian al-Quran selamat dari segala bentuk tambahan.

Selain dari argumentasi tersebut kami juga memiliki riwayat dari Imam Ja’far Shadiq

as tentang masalah ini.373

3. Sayid Murtadha Ali bin Husain Alamul Huda (w. 436 H.) dalam jawaban

pertama dari masalah-masalah risalah Tharablusat berkata, “Pengetahuan tentang

kebenaran nukilan al-Quran sama seperti pengetahuan tentang adanya kota-kota besar

ah
dan peristiwa-peristiwa bersejarah yang terkenal dan kitab-kitab yang terkenal di

dunia, atau syair-syair para pujangga Arab, karena perhatian kepada al-Quran, selalu

i
Sy
lebih mendalam dari masalah-masalah tersebut.”

4. Syekh al-Thaifah Abu Ja’far Muhammad bin Hasan al-Thusi (w. 460 H.)

dalam muakidah tafsir al-Tibyan yang begitu berharga, menyebutkan bahwa


a

kemungkinan adanya tambahan dalam al-Quran, secara keseluruhan tertolak. Karena


k

konsensus umat berpendapat bahwa tidak ada tambahan dalam al-Quran. Berkenaan
a

dengan adanya keyakinan tentang sesuatu yang kurang dari al-Quran, maka ini juga
st

bertentangan dengan pendapat-pendapat kaum muslimin. Dalam mazhab kami


u

diyakini bahwa di dalam al-Quran tidak pernah ada tambahan dan pengurangan.
P

Pendapat Sayid Murtadha dan teks riwayat menunjukkan masalah ini. 374

5. Jamaludin Abu Manshur Hasan bin Yusuf bin al-Muthahhar Allamah Hilli

(w. 726 H) dalam Ajwibatul Masail al-Muhanawiyah menjawab pertanyaan Sayid

Muhana. Beliau berpendapat, “Pendapat yang benar adalah bahwa di dalam al-Quran

tidak pernah terjadi perubahan, penundaan dan percepatan. Begitu juga tidak ada

373
Awail al-Maqalat; hal. 54-56.
374
Al-Tibyan; jilid 1, mukadimah, hal. 3.

250
tambahan dan kekurangan. Aku berlindung kepada Allah dari orang yang memiliki

keyakinan seperti ini. Hal itu menyebabkan cela dalam mukjizat Islam yang abadi dan

bisa mengguncang fondasi kenabian.” 375

Kami telah menyebutkan penjelasan ulama-ulama besar secara rinci dalam

kitab Shiyanatul Quran min al-Tahrif. Agar tidak berkepanjangan menukil pendapat

para ulama tentang masalah ini, maka kami hanya mencukupkan dengan menyebut

nama dan buku-buku ulama-ulama ternama Syi’ah:

1. Allamah Abu Ali Fadhl bin Hasan al-Thabarsi (w. 548 H), Majma’ al-

Bayan; jilid 1, hal. 15.

ah
2. Muhaqqiq Ardabili (w. 993 H), Majma’ al-Faidah; jilid 2, hal. 218.

3 Syekh Ja’far Kabir Kasyiful Ghitha’ (w. 1228 H), Kasyful Ghitha’ Wa

i
Sy
Risalah-e al-Haqqil Mubin; hal. 11.

4. Syekh Muhammad Husain Âli Kasyiful Ghitha’ (w. 1373 H.), Ashlus Syi’ah

wa Ushuluha; hal. 133.


a

5. Muhammad Muhsin Faidh Kasyani (w. 1090 H.), mukadimah keenam


k

Tafsir al-Shafi dan Ilmul Yaqin; jilid 1, hal. 565 dan al-Wafi; jilid 2, hal. 273-274.
a

6. Khatamul Muhadditsin Syekh al-Hur al-Amili, penulis Wasail al-Syi’ah (w.


st

1104 H.) telah menulis masalah ini dalam sebuah risalah berbahasa Persi, seperti yang
u

dinukil oleh Syekh Rahmatullah Dahlawi dalam bukunya yang sangat berharga,
P

Izhharul Haq; jilid 2, hal. 208 dan Al-Fushulul Muhimmah, karya Sayid Syarafudin,

hal 166.

7. Allamah Syekh Muhammad Jawad Balaghi (w. 1353 H.), Âla’ al-Rahman;

jilid 1, hal. 25-27.

375
Ajwibatul Masail al-Muhanawiyah; hal. 121, masalah 13.

251
8. Muhaqqiq Tsani Syekh Ali bin Abdul ‘Âli al-Karaki (w. 940 H.) dalam

risalahnya yang ditulis berkenaan dengan masalah ini, menurut saduran Sayid Muhsin

al-A’raji dalam kitab Ushul, Syarhul Wafiah.

9. Sayid Syarafudin al-Amili (w. 1381 H.), Al-Fushul al-Muhimmah; hal. 163

dan kitab Radiyah tentang masalah-masalah Musa jarullah; hal 28.

10. Sayid Muhsin Amin al-Amili (w. 1371 H.), A’yan al-Syi’ah; jilid 1, hal.

41.

11- Allamah Thabathaba’i (w. 1402 H.), Al-Mizan; jilid 12, hal. 106-137.

12. Imam Khomeini dalam kitab Tahdzibul Ushul; jilid 2, hal. 165 dan dalam

ah
syarah dan ta’liq atas Kifayatul Ushul.

13. Ayatullah Abul Qasim al-Khu’i dalam mukadimah tafsirnya, Al-Bayan;

i
Sy
hal. 215-254.

Menepis tudingan
a

Banyak dari kalangan ulama Ahlusunnah yang telah mengkaji permasalahan


k

tahrif al-Quran berpendapat bahwa Syiah Imamiah bersih dari tudingan berpendapat
a

tentang tahrif.
st

Orang pertama yang bersaksi tentang bersihnya posisi Syiah adalah Abul
u

Hasan Ali bin Ismail al-Asy‘ari (w. 324 H.). Seluruh Ahlusunnah di dunia adalah
P

pengikut aliran Asy‘ari. Beliau berpendapat bahwa Syiah Imamiah ada dua kelompok;

kelompok pertama terdiri dari orang-orang berpandangan dangkal dan tekstualis yang

tidak memiliki pikiran dan tidak memiliki pandangan mendalam dalam masalah-

masalah keagamaan. Mereka meyakini adanya tahrif dari segi kurangnya sebagian

kalimat-kalimat al-Quran. Dalil mereka ialah riwayat-riwayat yang tidak diakui oleh

kalangan muhaqqiqin. Namun kelompok ini secara total mengingkari adanya

252
penambahan dalam al-Quran dan mereka berkata, “Di dalam al-Quran tidak pernah

terjadi penambahan.” Kelompok kedua adalah para muhaqqiq dan pemilik pendapat

dan ijtihad yang mengingkari tahrif baik dari sisi tambahan dan kekurangan. Mereka

berkata, “Al-Quran yang diturunkan kepada Rasulullah saw sampai sekarang masih

tak terjamah dan secara absolut aman dari gangguan tahrif, di dalamnya tidak terjadi

tambahan, kekurangan dan perubahan.” 376

Allamah Syekh rahmatullah Hindi al-Dahlawi dalam kitabnya yang sangat

berharga, Izhharul Haq membahas secara detail tentang bersihnya Syiah dari pendapat

tentang tahrif. 377 Kumpulan pendapatnya ini telah kami sebutkan dalam kitab

ah
Shiyanatul Quran Min al-Tahrif.

Begitu pula dengan ustad kontemporer, Muhammad Abdullah Deraz, membela

i
Sy
Syiah dalam kitabnya, Madkhal Ila al-Quran al-Karim.378 Ustad Syekh Muhammad

Muhammad Madani, Dekan fakultas Ilahiyyat Universitas al-Azhar membela Syiah

dalam kitabnya Risalatul Islam 379 dengan membbuktikan secara rinci dan universal
a

dengan berpendapat bahwa tudingan yang dinisbahkan kepada Syiah ini adalah
k

tudingan yang tak sepatutnya. 380


a
st

Sumber kemunculan pendapat tentang tahrif


u

Sumber munculnya pendapat tentang tahrif ialah riwayat-riwayat yang


P

tercantum dalam kitab-kitab hadis Ahlusunnah dan Syiah yang secara teksual

menunjukkan tentang tahrif. Ulama dan para pengkaji Sunni dan Syiah selalu

berusaha mencari jalan keluarnya. Sebagian ulama, satu sama lain sangat berbeda

376
Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari; Maqalat al-Islamiyyin; jilid 1, hal. 119-120. Shiyanatul
Quran Min al-tahrif; hal. 79-81.
377
Izhharul Haq; jilid 2, hal. 206-209.
378
Madkhal Ila al-Quran al-Karim; hal. 39-40.
379
Risalatul Islam; nomor 44, hal. 382-385.
380
Shiyantul Quran Min al-Tahrif.

253
pemahaman. Selain dari itu, kebanyakan sanad dari riwayat-riwayat ini berujung

kepada orang-orang yang menurut ulama lemah secara argumentatif, bobrok secara

mazhab dan telah memaniupulasi riwayat. Sebagian dari mereka dikenal sebagai

pembohong. Riwayat dari mereka sama sekali tidak diperbolehkan diikuti. Mereka

adalah sekelompok orang yang memilih sikap diam ketika para Imam dizalimi dan

bahkan memusuhi para Imam. Sifat-sifat ini sudah cukup mebuktikan bahwa riwayat

orang-orang ini tidak bisa dipercaya. 381

Dengan mengkaji semua riwayat tersebut, baik yang dinukil dari jalur

Ahlusunnah maupun Syiah, kami mendapati bahwa riwayat itulah yang menyebabkan

ah
cela syariat. Biasanya itu adalah riwayat-riwayat buatan yang diproduksi musuh-

musuh agama, atau riwayat-riwayat yang masih bisa ditakwil dengan berbagai alasan

i
Sy
dan tidak berkaitan dengan masalah tahrif.

Sebagian dari riwayat-riwayat itu harus disebutkan disini:


a

Riwayat-riwayat Ahlusunnah
k

Di kalangan Ahlusunnah ada sekelompok orang yang kerjanya hanya


a

mengumpulkan hadis dan kurang memperhatikan kandungannya. Mereka


st

beranggapan bahwa mengumpulkan perkataan orang-orang terdahulu adalah nilai


u

yang berharga secara kuantitas. Kebanyakan mereka bekerja keras mengumpulkan


P

banyak hadis tanpa memperhatikan kandungannya. Oleh sebab itu di antara hadis-

hadis yang telah mereka kumpulkan, sahih dan tidaknya bercampur aduk, bahkan

sering mennuturkan masalah-masalah yang tak berguna. Kelompok ini, pada masa

lalu disebut dengan nama Hasyawiyah dan saat ini dikenal dengan nama

381
Tafsir Âla’ al-Rahman; jilid 1, hal. 25.

254
Salafiyyun. 382 Sebagaimana halnya dikalangan Syi’ah terdapat kelompok serupa yang

dikenal dengan nama Akhbariyyun. Kebanyakan dan mungkin seluruh riwayat tahrif,

dikumpulkan, disusun dan dicatat oleh kelompok ini dan perbuatan kelompok ini

tidak boleh dimasukkan dalam kategori muhqqiqin dan pakar dari kalangan

Ahlusunnha dan Syiah.

Kami akan menyebutkan sebagian dari riwayat tersebut:

1. Ayat Rajam.

Dalam al-Quran, tidak tercantum syariat rajam. Hanya masalah pencambukan

ah
yang dicantumkan. Oleh karena itu hukuman rajam bagi pria dan wanita yang berzina

dalam syarat-syarat tertentu 383 telah disebutkan di dalam sunnah dan sudah disepakati

i
oleh umat. Tetapi Umar mengira bahwa ayat rajam pernah ada di dalam al-Quran dan
Sy
ayat itu tidak dibawa oleh para sahabat pada saat pengumpulan al-Quran. Umar selalu

berusaha keras agar para sahabat memasukkannya ke dalam al-Quran. Sebagaimana


a

yang telah disebutkan sebelumnya bahwa ketika Zaid bin Tsabit mengumpulkan al-
k

Quran, Umar berusaha agar pendapatnya diterima untuk dikumpulkan. Dia membawa
a

ungkapan, “Apabila seorang tua laki-laki dan seorang tua perempuan berzina maka
st

rajamlah keduanya, sebagai suatu azab dari sisi Allah dan sesungguhnya Allah itu
u

Maha Mulia lagi Maha Bijaksana.” Ungkapan ini dia minta untuk diletakkan ke dalam
P

al-Quran sebagai ayat. Sebagaimana biasa mereka meminta saksi kepadanya, namun

dia tak dapat membawakannya. Karena itu pendapatnya ini tidak bisa diterima. Tetapi

Umar selalu berpikir untuk menyampaikannya kepada orang-orang. Dia menganggap

telah menyempurnakan hujjahnya kepada semua orang. Di hari-hari terakhir hayatnya,

382
Salafiyyun disebut untuk mereka yang hanya mengikuti orang-orang salaf (terdahulu). Apa saja
yang sampai kepada para pendahulu, apakah itu benar atau bohong, mereka jadikan sebagai pegangan
hidup. Mereka sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk membedakan sahih dan tidak sahih.
Mereka tidak mengizinkan siapapun untuk membedakan hadis-hadis itu. Saat ini sebagian dari mereka
membentuk kelompok bernama Wahhabi.
383
Orang yang berbuat zina apabila pernah melakukan hal yang halal (sudah pernah menikah).

255
dia menekankan diatas mimbar, “Wahai manusia! Jangan sampai kelak di hari kiamat

kalian berkata, ‘Umar tidak berkata kepada kami.’ Ya Allah, bersaksilah bahwa aku

telah mengatakan dan menyampaikannya tetapi tak seorangpun menerimanya.” 384

Sepertinya, Umar telah berbuat kesalahan dan tidak bisa membedakan hadis

dengan ayat al-Quran, sebab Zaid bin Tsabit berkata, “Aku mendengar bahwa

Rasulullah saw pernah bersabda, “Seandainya ada seorang tua laki-laki dan seorang

tua perempuan berzina, maka rajamlah keduanya.” Mungkin saja Umar juga

mendengarnya dari Rasulullah dan mengira yang dibaca oleh Nabi Muhammad itu

adalah ayat al-Quran.

ah
2. Ayat Raghbah.

i
Umar mengira bahwa di dalam al-Quran pernah ada suatu ayat dengan nama
Sy
Raghbah dan telah hilang. Dia berkata, “Salah satu ayat yang dahulu sering kita baca

dalam al-Quran ialah ayat ini


a

‫ ﺍﻥ ﻻ ﺗﺮﻏﺒﻮﺍ ﻋﻦ ﺁﺑﺎ ﺋﻜﻢ ﻓﺈﻧﻪ ﻛﻔﺮ ﺑﻜﻢ ﺍﻥ ﺗﺮﻏﺒﻮﺍ ﻋﻦ ﺁﺑﺎﺋﻜﻢ‬. 385P385F P


k

Mungkin ungkapan tersebut adalah sebuah hadis yang pernah didengarnya dari
a

Rasulullah saw yang dikira olehnya sebagai ayat al-Quran.


st

3. Ayat Jihad.
u

Umar juga menyangka bahwa ungkapan berikut ini, adalah ayat al-Quran dan
P

telah hilang, ‫ﻣﺮﺓ‬


ّ ‫ﺍﻥ ﺟﺎﻫﺪﻭﺍ ﻛﻤﺎ ﺟﺎﻫﺪ ﺗﻢ ّﺍﻭﻝ‬
386
P386F P

4. Ayat al-Firasy.

Menurut dugaan Umar bahwa ungkapan;

384
Shahih Bukhari; jilid 8, hal. 208-211. Shahih Muslim; jilid 4, hal. 167 dan jilid 5, hal. 116. Musnad
Ahmad; jilid 1, hal. 23 dan jilid 5, hal. 132 dan 183. Abu Daud (23 hadis), Turmudzi (7 hadis), Ibnu
Majah (9 hadis), Darimi (16 hadis), Muwaththa’ (10 hadis). Seluruh kitab enam Ahlusunnah
menyebutkan hadis tentang ayat rajam.
385
Shahih Bukhari; jilid 8, hal. 208-211. Shahih Muslim; jilid 4, hal. 167 dan jilid 5, hal. 116.
386
Al-Durrul Mantsur; jilid 1, hal. 106.

256
‫ﺍﻟﻮﻟﺪ ﻟﻠﻔﺮﺍﺵ ﻭ ﻟﻠﻌﺎ ﻫﺮ ﺍﻟﺤﺠﺮ‬ 387
P387F P adalah salah satu dari ayat-ayat al-Quran, padahal

ungkapan tersebut adalah sebuah hadis mutawatir dari Rasulullah saw bahwa anak itu

milik orang yang memiliki ranjang (ranjang atau tempat tidur, adalah idiom dari

suami yang sah menurut syariat) sedangkan pelacur layak mendapat lemparan batu.

5. Jumlah huruf al-Quran.

Umar mengira bahwa huruf-huruf al-Quran itu ada 1. 027. 000. Padahal huruf

itu tidak lebih dari 323.671. Diriwayatkan darinya bahwa al-Quran memiliki beribu-

ribu huruf dan dua puluh tujuh ribu huruf. Siapa saja yang membaca al-Quran dengan

ah
kesabaran, maka setiap huruf yang dibacanya akan diganjar dengan seorang isteri dari

bidadari.388 Dzahabi berkata, “Hadis yang batil ini hanya diriwayatkan oleh
P38F P

Muhammad bin Ubaid sedangkan dia sendiri tidak bisa dipercaya.” 389

i P389F P
Sy
6. Prasangka Abdullah bin Umar.

Dia mengira banyak ayat al-Quran yang hilang dengan berkata, “Jangan ada di
a

antara kalian yang berkata, ‘Aku telah mengumpulkan seluruh al-Quran.’ Darimana
k

dia mengetahui keseluruhan al-Quran itu? Padahal banyak dari al-Quran yang telah
a

hilang. Hendaknya kalian berkata, ‘Aku telah mengumpulkan apa yang ada.’” 390
st

P390F P
u

7. Perang Yamamah.
P

Sebagian mengira bahwa akibat peperangan Yamamah pada tahun pertama

kekhilafahan Abu Bakar yang mengakibatkan terbunuhnya banyak sahabat adalah

penyebab dari hilangnya sebagian al-Quran. Merekalah orang-orang yang mengetahui

al-Quran. Karena itu sepeninggal mereka tiada seorangpun yang mengetahui nasib

387
Ibid; hal. 106. Fathul Bari; jilid 12, hal 127. Tafsir Ibnu Katsir; jilid 3, hal. 261. Al-Burhan; jilid 2,
hal. 36-37.
388
Al-Itqan; jilid 1, hal. 198.
389
Mizanul I’tidal; jilid 3, hal. 639.
390
Al-Itqan; jilid 3, hal. 72.

257
sisa al-Quran. Tak seorangpun yang menulis dan mencantumkannya di dalam

mushhaf al-Quran. Ibnu Abi Daud menyebutkan masalah ini dari Ibnu Syihab. 391

8. Mushhaf Aisyah.

Dalam mushhaf yang dipilih oleh Aisyah untuk dirinya, terdapat tambahan

yang tidak ada di mushhaf-mushhaf lainnya dan tambahan itu ialah:

‫ﺇﻥ ﷲ ﻭﻣﻼﺋﻜﺘﻪ ﻳﺼﻠﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺒﻰ ﻳﺎ ﺍﻳّﻬﺎ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺁﻣﻨﻮﺍ ﺻﻠّﻮﺍ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠّﻤﻮﺍ ﺗﺴﻠﻴﻤﺎ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﺼﻠﻮﻥ ﺍﻟﺼﻔﻮﻑ‬
ّ

.‫ﺍﻻﻭﻟﻰ‬

ah
Hamidah binti Abi Yunus, pembantu Aisyah, berkata, “Tentunya (tambahan ayat ini

masih ada) sampai ketika Usman, belum merubah mushhaf-mushhaf.” 392 P392F P

i
Sy
9. Pernyataan Aisyah tentang adanya ayat yang hilang.

Aisyah mengira bahwa di dalam al-Quran pernah ada ayat yang mengatur

batasan menyusui yang bisa menyebabkan muhrim. Namun ketika orang-orang sibuk
a

menguburkan Rasulullah saw ada seekor kambing masuk ke dalam kamar beliau
k

kemudian mengunyah dan memakan lembaran-lembaran yang tertulis ayat Radha‘at


a
st

(tentang menyusui anak). Pertama ayat itu berbunyi, “Sepuluh susuan bisa

menyebabkan muhrim.” Namun kemudian ayat tersebut mendapat naskh oleh ayat,
u

“Lima susuan bisa menyebabkan muhrim.” Aisyah berkata, “Ketika wafatnya nabi
P

saw, dua ayat ini dibaca sebagai bagian dari ayat-ayat al-Quran.” 393 P39F P

10. Pernyataan Abu Musa al-Asy’ari tentang adanya ayat yang hilang.

Dia mengira bahwa di dalam al-Quran pernah ada suatu surah yang

panjangnya sama dengan surah al-Barâah dan juga ada surah lain yang panjangnya

391
Muntakhab Kanzil Ummal dar Hasyiah-e Musnad Ahmad; jilid 2, hal. 50.
392
Al-Itqan; jilid 3, hal. 73.
393
Shahih Muslim; jilid 4, hal. 167. Darimi; jilid 2, hal. 157. Abu Daud; jilid 1, hal. 224.

258
sama dengan surah-surah Musabbahat. Dia mengira surah-surah itu telah hilang dari

al-Quran. Dia berkata, “Sekarang saya ingat bahwa ada satu dari ayat-ayat surah yang

seukuran dengan al-Barâah;

. ‫” ﻟﻮﻛﺎﻥ ﻻﺑﻦ ﺁﺩﻡ ﻭﺍﺩﻳﺎﻥ ﻣﻦ ﻣﺎﻝ ﻻﺗﺒﻐﻰ ﻭﺍﺩﻳﺎ ﺛﺎﻟﺜﺎ ﻭﻻ ﻳﻤﻸ ﺟﻮﻑ ﺍﺑﻦ ﺁﺩ ﻡ ﺍﻻ ﺍﻟﺘﺮﺍﺏ‬

Sepertinya Abu Musa tidak bisa membedakan hadis nabi dengan al-Quran

ketika dia juga berkata, “Saya ingat satu ayat dari surah yang seurutan surah-surah

Musabbahat yang telah hilang;

‫ ”ﻳﺎ ﺍﻳّﻬﺎ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺁﻣﻨﻮﺍ ﻟﻢ ﺗﻘﻮﻟﻮﻥ ﻣﺎﻻ ﺗﻔﻌﻠﻮﻥ ﻓﺘﻜﺘﺐ ﺷﻬﺎﺩﺓ ﻓﻰ ﺍﻋﻨﺎﻗﻜﻢ ﻓﺘﺴﺄﻟﻮﻥ ﻋﻨﻬﺎ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ‬394
P394F P

Perlu dimengerti bahwa ungkapan-ungkapan ini adalah salah satu dari hadis

ah
Qudsi yang dikira Abu Musa sebagai bagian dari al-Quran. 395 P395F P

i
11. Pernyataan yang dinisbahkan kepada Ubai bin Ka’b dan Aisyah.
Sy
Ada suatu pernyataan yang dinisbahkan kepada Ubai bin Ka’ab, “Surah al-

Ahzab yang saat ini memiliki 73 ayat, sebelumnya memiliki sekitar 286 ayat serupa
a

dengan surah al-Baqarah.” Perkataan ini juga dinisbahkan kepada Aisyah yang
k

mungkin tujuannya adalah menggerakkan massa untuk menentang Usman. 396 P396F P
a

12. Prasangka Malik bin Anas; seperempat bagian surah al-Baraah


st

hilang.
u

Malik bin Anas mengira bahwa lebih dari seperempat surah al-Barâah yang
P

tidak tersisa. Dia berkata, “Surah ini setara dengan surah al-Baqarah, namun dari

awalnya banyak yang hilang dan Bismillahirrahmanirrahim juga adalah bagian dari

394
Shahih Muslim; jilid 3, hal. 120.
395
Musnad Ahmad; jilid 5, hal. 219.
396
Musnad Ahmad; jilid 5, hal. 132. Al-Itqan; jilid 2, hal. 72. Shiyanatul Quran Min al-Tahrif; hal. 170-
171.

259
ayat yang telah hilang.” Dalam hal ini, dia menyebutkan banyak riwayat, semuanya

menunjukkan kelemahan otak Malik. 397

Malapetaka buku berjudul Al-Furqan.

Masalah yang muncul selanjutnya adalah orang-orang yang meyakini riwayat-

riwayat seperti ini, bahkan mereka bereaksi. Mereka berkeyakinan bahwa sejak

wafatnya Rasulullah saw sampai kekhilafahan Usman yang mengumpulkan mushhaf-

mushhaf itu, banyak sekali ayat-ayat dan surah-surah al-Quran yang mengalami

pengurangan dan penambahan. Inilah yang menyebabkan adanya anggapan adanya

ah
tahrif al-Quran.

Salah satu dari mereka yang terpengaruh oleh keyakinan-keyakinan tak layak

i
Sy
ini adalah Muhyidin bin Arabi (w. 638 H.) penulis kitab Futuhat Makkiah. Dia

berkeyakinan bahwa al-Quran telah di-tahrif, banyak sesuatu yang berkurang darinya.

Dia berkata, “Seandainya tidak ada orang-orang yang berhati lemah yang mudah
a

tergelincir, orang keyakinan-keyakinannya bisa tergoyahkan, orang yang tidak


k

membolehkan hikmah perbuatan seperti ini, sudah sepatutnya aku jelaskan semua
a

yang telah hilang dari mushhaf Usman…” 398


st

Ada pernyataan parah mendengung pada era kontemporer yang tertulis dalam
u

kitab dengan judul al-Furqan, penulisnya Muhammad Abdul Lathif yang dikenal
P

dengan Ibnul Khathib dari Mesir. Dia salah seorang ulama terkenal Mesir. Kitab ini

mengkoleksi kumpulan keyakinan tidak benar, namun diberi label shahih hanya

karena tercantum dalam Shihah al-Sittah (enam kitab shahih). Kitab ini menimbulkan

kericuhan di Mesir. Banyak orang menentangnya hingga akhirnya Universitas al-

Azhar meminta kepada negara untuk menarik kitab itu dari peredaran dan naskah-
397
Al-Itqan; jilid 1, hal. 184. Al-Mustadrak; jilid 2, hal. 330-331. Al-Durrul Mantsur; jilid 3, hal. 209.
398
Pernyataan ini dinukil dari Syekh Abdul Wahhab Sya’rani dalam kitab Al-Kibrit al-Ahmar dalam
hasyiah Kitab Al-Yawaqit wa Al-Jawahir; jilid 1, hal. 139.

260
naskah yang belum diedarkan pun ditarik. Namun meski sempat beredar dalam waktu

singkat, kitab itu meninggalkan bekas yang buruk dan tersebar di dunia. Sekarang ini

naskah-naskah dari kitab itu bisa dijumpai di kota Qom.

Penulis kitab itu berkeyakinan bahwa ada perubahan-perubahan dan

penyelewengan-penyelewengan di dalam al-Quran sebelum Usman. Dia menyatakan

adanya perubahan-perubahan mendasar di dua belas tempat al-Quran yang dilakukan

oleh Hajjaj bin Yusuf. Dia juga berpendapat tentang adanya catatan berbeda pada

zaman Usman. Dia berkata, “Dalam kisah Nuh di dalam surah al-Syu’ara, sebelumnya

tercantum; ‫( ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺨﺮﺟﺮﻳﻦ‬Al-Syu’ara’ : 167) artinya “Termasuk orang-orang yang

ah
diusir.”

Dalam kisah Luth tercantum: ‫( ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺮﺟﻮﻣﻴﻦ‬Al-Syu’ara : 116) artinya

i
Sy
“Termasuk orang-orang yang di rajam.” Namun Hajjaj merubahnya dengan,

“Termasuk orang-orang yang di rajam,” yang dicantumkan ke dalam kisah Nuh. Hajaj

juga menulis: “Termasuk orang-orang yang diusir” ke dalam surah Luth, itu dia
a

sisipkan ke dalam al-Quran yang ada sekarang ini.” 399


k

P39F P
a

Riwayat-riwayat Imamiah
st

Orang pertama yang menulis kitab tentang masalah tahrif adalah Sayid
u

Ni’matullah al-Jazairi (w. 1112 H.), di bahas dalam kitab Manba’ al-Hayat cetakan
P

Baghdad dan Beirut. Dia membawakan beberapa bukti untuk memaparkan masalah

tahrif dalam al-Quran. Kemudian setelah lebih dari 200 tahun, Haji Nuri (w. 1320 H.)

menulis kitab Fashlul Khithab yang menyodorkan sekumpulan riwayat tentang

masalah ini. Namun keberadaan riwayat tersebut tidak bisa diakui dan tidak

mendukung tujuan beliau.

399
Al-Furqan; hal 50-52.

261
Haji Nuri memperkenalkan almarhum Tsiqatul Islam Muhammad bin Ya’qub

al-Kulaini (w. 328.) sebagai salah seorang ulama yang berpendapat tentang adanya

tahrif al-Quran. Dia menyebut riwayat dalam kitab al-Kafi dan memaparkan salah

satu dari beberapa bab Ushul al-Kafi sebagai contoh untuk membuktikan bahwa

almarhum Kulaini mengakui adanya tahrif. Lebih khusus, dia menyebut ada satu bab

dari kitab Kulaini yang mengakui adanya tahrif al-Quran. 400

Kami akan membawakan semua riwayat-riwayatnya (enam riwayat) agar

benar atau tidaknya pendapat itu menjadi jelas. Almarhum Kulaini menyampaikan

bab itu dengan ungkapan, “Tidak ada yang mengumpulkan al-Quran secara

ah
menyeluruh kecuali para Imam as dan mereka mengetahui semua ilmu al-Quran.”

Sangat jelas, maksud ungkapan itu adalah mengumpulkan seluruh tafsir dan

i
Sy
takwil al-Quran. Bagian kedua dari ungkapan di atas, menjelaskan bagian pertama.

Para Imam as itulah yang mengetahui seluruh ilmu al-Quran. Inilah makna ungkapan

Kulaini tentang “Mengumpulkan al-Quran secara menyeluruh.”


a

Setelah itu Kulaini menyebutkan riwayat-riwayat berikut ini:


k

Hadis pertama. “Tiada seorangpun yang mengaku telah mengumpulkan al-


a

Quran sama seperti yang telah diturunkan, melainkan seorang pembohong, karena
st

tiada seorangpun yang mengumpulkan dan menjaga al-Quran sama seperti yang
u

diturunkan, melainkan Ali bin Abi Thalib as dan para Imam as setelahnya.”
P

Maksud dari “Sama seperti yang diturunkan” adalah makna dan tafsiran yang

benar. Makna dan tafsir yang kehendaki Allah adalah maksud riwayat tersebut, bukan

lafazh dan kalimat al-Quran, karena al-Quran yang dikumpulkan oleh Imam Ali as

tidak hanya diperhatikan urutan turunnya (ayat dan surah). Dalam beberapa kasus

diberikan penjelasan terhadap hal-hal yang kabur. Dalam beberapa kasus yang rumit

400
Fashlul Khithab, mukadimah ketiga, hal. 25.

262
diberi penafsiran. Penjelasan dan penafsiran itu tidak dimiliki oleh mushhaf yang ada

ditangan sahabat yang lain. Kemudian sepeninggal Imam Ali as, mushhaf itu berada

ditangan para Imam as dan sekarang berada ditangan Imam Mahdi af, sampai

sekarang tak seorangpun yang menemukannya.

Oleh karena itu, Imam Ja’far Shadiq as berkata, “Sesiapa saja yang mengaku

telah mengumpulkan dan mencatat al-Quran, persis seperti yang telah diturunkan,

selain Ali dan keluarganya as, adalah pembohong.” Dengan demikian hadis ini tidak

ada kaitannya dengan masalah tahrif.

Hadis kedua. “Tak seoranpun yang mampu mengklaim bahwa keseluruhan

ah
al-Quran di sisinya, lahir dan batinnya, selain para Washi as.”

Dalam hadis ini sangat jelas. Maksud dari “Keseluruhan al-Quran” adalah

i
Sy
seluruh ilmu al-Quran, pengetahuan lahir dan batinnya al-Quran. Dengan demikian,

ilmu-ilmu al-Quran secara menyeluruh, baik ilmu lahir maupun batin, tafsir dan

takwil al-Quran, semuanya berada di sisi para Imam as. Hadis ini sama sekali tidak
a

ada kaitannya dengan masalah tahrif.


k

Hadis ketiga. “Telah dianugerahkan kepada kami (Ahlulbayt as) pengetahuan


a

tentang tafsir al-Quran dan hukum-hukumnya.”


st

Hadis keempat. “Sungguh aku mengetahui seluruh isi al-Quran, dari awal
u

sampai akhir, seakan-akan ia berada di tanganku.”


P

Hadis kelima. “Demi Allah, di sisi kami (Ahlulbayt as)lah seluruh ilmu al-

Quran.

Hadis keenam. Dalam penafsiran ayat, Dan di sisinya ilmu al-Kitab, beliau

berkata, “Orang yang menghetahui ilmu al-Kitab (al-Quran) adalah kami dan kamilah

yang dimaksud (dari ayat tersebut).”

263
Jika diperhatikan dengan jeli dan teliti, semua hadis tersebut menunjukkan

ilmu dan pengetahuan tentang seluruh ilmu al-Quran. Tidak ada kaitnnya dengan

masalah tahrif.

Haji Nuri mengikuti jejak Sayid Jazairi dengan menukil riwayat-riwayat yang

secara umum dinukil dari kitab-kitab yang tidak diakui. Dari 1122 riwayat yang dia

sebutkan dalam kitab Fashlul Khithab, terdapat 815 riwayat yang dinukil dari kitab-

kitab yang tak diakui. Kitab-kitab itu adalah sebagai berikut

1. Risalah-I dar Muhkam wa Mutasyabih-e Quran. Sampai sekarang, kitab ini

tidak jelas siapa penulisnya.

ah
2. Kitab al-Saqifah. Kitab ini dinisbahkan kepada Sulaim bin Qais yang telah

mengalami perubahan dan sudah tidak bisa dianggap karyanya lagi.

i
Sy
3. Kitab al-Qira’at, karya Ahmad bin Muhammad Sayyari yang dikenal

sebagai orang berstatus lemah dan tidak bisa dipercaya.

4. Tafsir Abil Jarud dari kalangan Syiah Ghulat yang dilaknat Imam Ja’far
a

Shadiq as.
k

5. Tafsir yang dinisbahkan kepada Ali bin Ibrahim al-Qomi, namun kitab ini
a

bukan karyanya, melainkan karya orang lain dan sudah mengalami perubahan.
st

6. Kitab al-Istighatsah, karya Ali bin Ahmad al-Kufi yang dikenal dengan
u

orang yang bermazhab rusak.


P

7. Kitab al-Ihtijaj, Thabarsi, kitab yang tak bersanad dan penulisnya tidak

jelas.

8. Tafsir yang dinisbahkan kepada Imam Hasan Askari, namun ini adalah klai

buatan dan tidak memiliki sanad yang diakui.

264
9. Sebagian kitab-kitab tafsir yang tidak memiliki sanad diakui dan gugur dari

hujjiah dan kemungkinan bersanad, seperti Tafsir al-Ayyasyi, Tafsir Furat bin

Ibrahim dan tafsir Abul Abbas Mahyar.

Kitab yang tersebut di atas itulah yang dijadikan sumber rujukan oleh Haji

Nuri. Dia sendiri mengetahui bahwa kitab-kitab tersebut tidak bisa dijadikan

sandaran. Sebagaimana yang dikatakan pepatah, “Orang yang nyaris tenggelam akan

mencari pegangan, meskipun kepada rumput.”

Dari 307 sisa riwayat yang dinukil dari kitab-kitab yang diakui, 107

riwayatnya berhubungan dengan bab Qira’at. Perlu diketahui bahwa sebagian dari

ah
Imam-imam suci, dalam hal bacaan, mereka mengujarkan secara berbeda. Jelas bahwa

perbedaan bacaan tidak ada kaitannya dengan masalah tahrif. Sebab perbedaan

i
Sy
Qira’at Sab’ah atau empat belas Qira’at selalu berlaku di tengah-tengah kaum

muslimin dan tak seorangpun menganggapnya sebagai bukti adanya tahrif.

Kami tidak mengerti mengapa Haji Nuri berbuat kesalahan besar ini. Sebagai
a

contoh, dia menukil dari Majma’ al-Bayan bahwa Imam Ali as dalam surah al-
k

‘Adiyat, membaca ‫ ﻓﻮﺳﻄﻦ‬dengan men-tasydid-kan “Sin” dan dalam surah Zilzal


a

membaca ‫ ﺧﻴﺮﺍ ﻳﺮﻩ‬dengan men-dhomah-kan “Ya’”. Dalam surah as-Syams, penduduk


st

Madinah dan juga Imam Ja’far Shadiq as membaca ‫ ﻭﻻ ﻳﺨﺎﻑ ﻋﻘﺒﻴﻬﺎ‬dengan “Ya’”.
u

Dalam surah al-Fajr, Ya’qub, Kisa’i dan Sahl membaca ‫ ﻭﻻﻳﻮﺛﻖ‬dengan mem-fathah-
P

kan “Tsa’”. Bacan-bacaan seperti ini, jika memang terjadi, adalah hal yang wajar dan

sama sekali tidak pernah dianggap sebagai tahrif al-Quran. Mereka menganggapnya

sebagai ijtihad para Qari’ dalam tata cara bacaan al-Quran.

Dua ratus riwayat yang tersisa dan dijadikan sebagai sandaran oleh ahli tahrif,

kebanyakan tidak menunjukkan adanya masalah tahrif, melainkan menunjukkan

masalah-masalah yang lain. Sebagai contoh, riwayat Jabir bin Abdillah al-Anshari

265
yang mengisahklan Rasulullah saw berkata kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi

Thalib, “Wahai Ali, manusia diciptakan dari pepohonan yang beraneka ragam

sedangkan aku dan kamu diciptakan dari satu pohon. Allah berfirman, ‘Dan di bumi

terdapat berbagai bidang tanah yang berdekatan… (sampai pada) disirami dengan satu

air…’” Haji Nuri mengira bahwa kata “sampai pada” adalah bagian dari ayat yang

dibaca Rasulullah saw membacanya. 401 Padahal susunan kata tersebut adalah

penjelasan si perawi.

Imam Ja’far Shadiq as juga bersabda, “Di dalam shalat seusai membaca surah

Tauhid, Ayahku selalu membaca susunan kata ini: ‫ ” ﻛﺬﻟﻚ ﷲ ﺭﺑّﻰ‬Dalam sebagian

ah
riwayat di-mustahab-kan membaca tiga kali. Haji Nuri mengira bahwa susunan kata

tersebut adalah bagian dari surah Tauhid yang selalu diucapkan oleh Imam as di akhir

i
Sy
surah Tauhid. 402
P402F P

Riwayat-riwayat yang seolah menunjukkan tahrif al-Quran—meskipun setelah

dikaji lebih dalam—tidak menunjukkan adanya indikasi itu. Riwayat tersebut terbagi
a

mejadi beberapa bagian:


k

1. Riwayat-riwayat yang bersifat penafsiran. Seringkali Imam as memberikan


a

sedikit penafsiran disela membacakan ayat. Tujuan beliau adalah menjelaskannya.


st

Namun, menurut orang-orang seperti Haji Nuri, penafsiran disela bacaan seperti ini
u

dianggap sebagai bagian dari al-Quran dan memahaminya sebagai tahrif. 403 Kami P403F P
P

akan membawakan dua riwayat di bawah ini sebagai contoh:

Dalam al-Kafi, dinukil sebuah riwayat dari Imam Ali as bahwa beliau

membaca ayat ini: ‫ ﻭﺇﺫﺍ ﺗﻮﻟّﻰ ﺳﻌﻰ ﻓﻰ ﺍﻻﺭﺽ ﻟﻴﻔﺴﺪ ﻓﻴﻬﺎ ﻭﻳﻬﻠﻚ ﺍﻟﺤﺮﺙ ﻭﺍﻟﻨﺴﻞ‬, kemudian beliau

menambahkan: ‫( ﺑﻈﻠﻤﻪ ﻭﺳﻮء ﺳﺮﻳﺮﺗﻪ‬usaha berbuat onar di muka bumi ini dikarenakan

401
Fashlul Khithab; hal. 296. Dinukil dari Abu Said Neisyaburi; Riwayat Arba’in; nomor 31.
402
Fashlul Khithab; hal. 349. Dinukil dari Tafsir al-Burhan; jilid 4, hal. 521-523.
403
Ibid; hal. 275.

266
kezaliman dan perangainya yang buruk). Susunan kata yang berada setelah ayat ini

adalah penafsiran bukan bagian al-Quran.

Diriwayatkan dari Imam Musa bin Ja’far as bahwa beliau membaca ayat:

...‫ ﺍﻭﻟﺌﻚ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﻌﻠﻢ ﷲ ﻣﺎ ﻓﻰ ﻗﻠﻮﺑﻬﻢ ﻓﺄﻋﺮﺽ ﻋﻨﻬﻢ‬, kemudian beliau menambahkan:

‫ ﻓﻘﺪ ﺳﺒﻘﺖ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻛﻠﻤﺔ ﺍﻟﺸﻘﺎء‬, kata ini diucapkan beliau sebagai penjelasan dan penafsiran

mengapa Rasulullah saw berpaling dari mereka.

2. Riwayat-riwayat yang di dalamnya tertera lafazh tahrif. Maksudnya adalah

tahrif maknawi dan penafsiran yang tak pantas, tetapi Haji Nuri mengira bahwa yang

dimaksud dengan tahrif dalam riwayat-riwayat itu adalah tahrif lafazh.404P40F P

ah
Diriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda, “Kelak pada hari

kiamat akan datang tiga hal sambil mengadu; al-Quran, masjid dan al-Ithrah (keluarga

i
Sy
suci Nabi as). Al-Quran berkata, ‘Ya Rab, mereka telah menyelewengkan aku dan

merobek-robekku.’ Masjid akan berkata, ‘Ya Rab, mereka telah mencampakkan dan

meremehkan aku.’ Ithrah akan berkata, ‘Ra Rab, mereka telah membantai dan
a

mengusir kami.”
k

Meskipun dalam sebagian naskah tercantum kalimat “mereka telah


a

membakarku” sebagai ganti dari “mereka telah menyelewengkan aku”, namun kita
st

menganggap yang benar adalah “mereka telah menyelewengkan aku”.


u

Tahrif secara kebahasaan berarti penafsiran yang menyimpang, berbeda makna


P

termonologis. Selain itu, dengan qorinah mencampakkan masjid-masjid, di dalamnya

tidak ditujukan makna hakikinya, karena secara lahiriah, masjid-masjid itu ramai.

Dengan demikian maksud dari mencampakkan adalah sepinya masjid-masjid dari

orang-orang yang benar-benar menegakkan shalat. Tahrif dalam al-Quran juga berarti

404
Ibid; hal. 23-24.

267
merubah jalan dan mengganti hukum-hukum, tidak pernah bisa dijadikan sebagai dalil

tahrif lafzhi.

3. Riwayat-riwayat yang mereka duga menunjukkan hilangnya sebagian ayat-

ayat. Dalam al-Kafi diriwayatkan Imam Ja’far Shadiq as bersabda, “Sesungguhnya al-

Quran yang diturunkan Jibril kepada Muhammad saw adalah tujuh belas ribu ayat.”

Berbeda dengan riwayat yang tercantum dalam kitab al-Wafi—yang merangkum Al-

kutub Al-Arba‘ah—yang di dalamnya menyebutkan bentuk riwayat lain dari al-Kafi;

Tujuh ribu ayat. 405

Almarhum Faidh adalah orang yang jeli dalam menukil riwayat. Di dalam

ah
naskah-naskah al-Kafi yang ada sekarang, kemungkinan terdapat kesalahan. Selain itu

sanad yang disebutkan diragukan dan dari segi ini riwayat hal itu tidak bisa dijadikan

i
Sy
sandaran. 406

4. Riwayat-riwayat yang berhubungan dengan kemunculan Imam Mahdi af

yang mengabarkan bahwa beliau akan membawa al-Quran baru yang berbeda dengan
a

al-Quran yang ada. Riwayat-riwayat ini menganggap bahwa perbedaan yang ada
k

hanya dalam hal susunan. Sebagian riwayat lain menunjukkan adanya tambahan-
a

tambahan penafsiran, bukan nash pokoknya.


st

Dalam riwayat Syekh Mufid disebutkan bahwa Imam Muhammad Baqir as


u

bersabda, “Pada saat Imam Mahdi as muncul, beliau akan mengajarkan al-Quran,
P

dalam pengajaran itu akan menghadapi kesulitan, karena al-Quran yang dibawanya

berbeda dengan susunan mushhaf yang ada.”

5. Riwayat-riwayat yang berhubungan dengan kedudukan Ahlulbayt as dengan

susunan kalimat, “Seandainya al-Quran itu diperhatikan dengan jeli, maka akan jelas

keutamaan-keutamaan Ahlulbayt.”
405
Muhsin Faidh Kasyani; Al-Wafi; cetakan batu, jilid 2, juz lima, hal. 274 dan 232 dan cetakan
Maktabah Amirul Mukminin; jilid 5, hal. 1781.
406
Shiyanatul Quran Min al-Tahrif; hal. 263-267.

268
Di riwayatkan bahwa Imam Ja’far Shadiq as bersabda, “Sesiapa yang tidak

mengetahui kedudukan wilayah kami (Ahlulbayt), niscaya ia tidak akan selamat dari

bahaya fitnah.” 407

Ahli tahrif mengira maksud riwayat di atas adalah bahwa di dalam al-Quran

pernah disebutkan kedudukan-kedudukan wilayah secara tegas, namun kini telah

hilang. Padahal maksud Imam as bukanlah demikian, melainkan dengan menelaah

dan mendalami al-Quran yang ada ini akan mendapatkan kejelasan kedudukan-

kedudukan wilayah para Imam as. Sebagai contoh, ayat-ayat Ulil Amri, Dzawil Qurba

dan sebagainya, akan memperjelas kedudukan tinggi wilayah jika ditelaah dengan

ah
jujur, meskipun para penentang tidak mau memperhatikannya.

Kami akan menyebutkan beberapa contoh keutamaan Ahlulbayt yang

i
Sy
tercantum di dalam al-Quran yang tidak mereka akui. Tujuan kami adalah

menjelaskan bahwa riwayat-riwayat tersebut bukanlah tahrif al-Quran melainkan

perubahan tafsir dan makna ayat-ayat yang membuktikan keutamaan Ahlulbayt:


a

Katakanlah, “Aku tidak meminta imbalan kepada kalian atas risalah yang aku
k

bawa, melainkan mencintai keluarga (Ahlulbayt)ku…” (as-Syura : 23).


a

Muhammad bin Jarir Thabari, menafsirkan ayat yang mengabarkan ganjaran


st

risalah, ayat yang paling menonjol menyebut keutamaan Ahlulbayt karena mencintai
u

mereka ini, berusaha menutupi keutamaan Ahlulbayt. Dia berpendapat bahwa ayat ini
P

ditujukan kepada Quraisy untuk mengingat hubungan keluarga mereka dengan Nabi,

agar mereka melindungi Nabi dan menjaganya dari kejahatan musuh-musuh. Karena

ada hubungan keluarga, Rasulullah Muhammad saw mengharapkan jalinan kasih

sayang kepada Quraisy meskipun mereka tidak mengimaninya.

407
Tafsir al-Ayyasyi; jilid 1, hal. 13.

269
Thabari melanjutkannya dengan bepernadapat bahwa sebelumnya Nabi

memiliki hubungan yang sangat dekat dengan seluruh Quraisy. Karena mereka

mendustai beliau, mereka tidak membaiatnya, beliau saw berkata kepada mereka,

“Wahai kaumku, seandainya kalian enggan berbaiat kepadaku, setidaknya jagalah

hubungan kekeluargaan kalian denganku, jangan sampai orang-orang Arab lain

membelaku sementara kalian tidak.” Kemudian beliau mejelaskan tiga hal lain;1.

Meminta agar mencintai Ahlulbaytnya. 2. Meminta untuk mendekatkan diri kepada

Allah. 3. Meminta untuk menjalin tali silaturahmi agar satu sama lain saling

mengasihi. Setelah itu, untuk menguatkan pilihannya atas tiga hal ini, dia berpendapat

ah
bahwa dalil atas kebenaran pilihan pendapat yang sebelumnya, ialah “fi” dalam ayat

‫ ﺍﻟﻤﻮﺩّﺓ ﻓﻰ ﺍﻟﻘﺮﺑﻰ‬, karena yang pertama dari tiga bentuk di atas adalah maksud yang

i
diinginkan, seharusnya disebut tanpa “Fi” yaitu ‫ ﻣﻮﺩّﺓ ﺍﻟﻘﺮﺑﻰ‬. Seandainya yang kedua
Sy
maksudnya, maka seharusnya dikatakan ‫ ﺍﻟﻤﻮﺩّﺓ ﺑﺎﻟﻘﺮﺑﻰ‬. Jika yang ketiga yang dimaksud

maka seharusnya dikatakan ‫ ﻣﻮﺩّﺓ ﺫﻯ ﺍﻟﻘﺮﺑﻰ‬. 408


a

P408F P

Penafsiran dan sikap ini sangat jauh dari kebenaran. Bagaimana mungkin
k

Rasulullah saw meminta pertolongan kepada kaumnya yang musyrik dan


a

pembangkang, yang nyata-nyata menolak beliau. Penegasan ayat ini beliau jelaskan
st

sebagai ganjaran risalahnya.


u

Pendapat mereka berdua ini sangat aneh. Bukankah mereka (Qurays) tidak
P

menerima risalah Nabi saw dan mendustakan beliau. Rasulullah mengetahui hal ini.

Sangat tidak logis jika Rasulullah saw berkata kepada mereka, “Peliharalah pahala

risalahaku di dalam tali persaudaraan kita dan dukunglah aku.” Nabi saw tahu bahwa

musuhnya yang paling getol adalah Quraisy. Akal dan sikap bijaksana Nabi saw tidak

akan tunduk di hadapan musuh, apalagi meminta dukungan dari mereka.

408
Tafsir ath-Thabari; jilid 25, hal. 15-17.

270
Zamakhsyari, seorang guru sastra Arab berkata, “Maksud dari ‘Fil Qurba’

adalah perintah meletakkan orang-orang terdekat dan Ahlulbayt Nabi saw dalam

posisi kecintaanmu dan cintailah mereka, karena mereka berada pada posisi

kecintaanku (Rasulullah saw).” 409

Ibnu Makhluf Tsa’alibi dalam ayat wilayah, Sesungguhnya penolong kamu

hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat

dan menunaikan zakat dalam keadaan rukuk (Al-Maidah; 55). Ayat ini yang

diturunkan berkenaan dengan pemberian cincin yang dilakukan Imam Ali as. Hal ini

merupakan keutamaan yang sangat tinggi. Dia ingin menutupi keutamaan tersebut.

ah
Dia menegaskan bahwa ayat ini bersifat umum, mencakup setiap orang yang

mendirikan shalat dan pemberi zakat. Ketika ayat ini di turunkan, bertepatan dengan

i
Sy
dengan shalatnya Ali dan pemberian cincin oleh beliau, tetapi ayat ini tidak

diturunkan berkenaan dengan Ali. 410

Abdullah bin Zubair selalu mengklaim bahwa surah al-Dahr yang merupakan
a

keutamaan terbesar Ahlulbayt adalah surah Makki. Diaz menegaskan ini untuk
k

memutus hubungan dengan kisah pemberian makan.


a

Ringkasnya, di dalam al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang jika dikaji lebih
st

dalam akan menjelaskan keutamaan-keutamaan Ahlulbayt. Namun sangat


u

disayangkan bahwa fanatisme mereka telah menutupi pandangan mata mereka


P

terhadap kebenaran suatu kelompok. Merekalah yang mengaburkan hakikat.

Imam Ja’far Shadiq as bersabda, “Seandainya al-Quran itu dibaca dan

direnungkan sebagaimana yang di inginkan Allah dan (sesuai dengan apa yang)

diturunkan, niscaya kalian akan menemukan kami melalui tanda-tanda yang

409
Al-Kasysyaf; jilid 4, hal. 219-220. Shiyanatul Quran Min al-Tahrif; hal. 372-375.
410
Tafsir Tsa’alibi; jilid 1, hal. 471.

271
dijelaskan-Nya.” 411 Hadis ini adalah contoh-contoh dari riwayat-riwayat Syiah yang

tercantum dalam kitab-kitab yang diakui. Namun dijadikan hujjah bagi orang yang

berpendapat tentang tahrif. Padahal sudah jelas bahwa riwayat-riwayat tersebut sama

sekali tidak ada kaitannya dengan masalah tahrif.

Bab VI

Terjemahan al-Quran

Pembahasan bab ini akan kami mulai dengan tiga pertanyaan:

Pertanyaan pertama, bisakah al-Quran diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa

ah
lain?

Alasan diajukan pertanyaan ini adalah bahwa al-Quran adalah Kalam Ilahi dan

i
Sy
diturunkan dalam bentuk yang sangat ringkas dengan sastra menjulang sebagai

mukjizat. Oleh karena itu, bahasa lain tidak akan pernah bisa memiliki semua

keistimewaan tersebut. Teks yang sudah diterjemahkan adalah kalam makhluk,


a

sedangkan al-Quran adalah Kalam Al-Haq.


k

Pertanyan kedua, seandainya ia bisa diterjemahkan, meskipun semua


a

keistimewaan al-Quran itu tidak terkandung oleh teks hasil terjemahan, apakah ia bisa
st

disebut sebagai al-Quran, sebagaimana halnya dengan dua perjanjian yang mereka
u

anggap sebagai Taurat dan Injil yang diturunkan kepada Nabi Musa as dan Nabi Isa
P

as?

Pertanyaan ketiga, apakah hukum syar‘i teks yang telah diterjemahkan itu

sama dengan hukum al-Quran itu sendiri? Sebagai contoh, apakah orang yang tidak

bisa berbahasa dan membaca huruf Arab, ketika shalat diperbolehkan membaca

411
Tafsir al- ‘Ayyasyi; jilid 1, hal. 13.

272
terjemahannya? Sebagaimana ayat-ayat al-Quran tidak boleh disentuh tanpa bersuci,

apakah sama hukumnya dengan ayat-ayat yang sudah diterjemahkan?

Pembahasan tentang terjemahan al-Quran sejak dahulu hingga kini sudah

berlangsung dengan serius, terutama di kalangan para ulama. Dalam bab ini, setelah

menyebut masalah-masalah yang ringkas seputar macam-macam terjemahan kami

akan menjawab tiga pertanyaan di atas.

Pengertian terjemah

Tarjamah adalah masdar fi’il ruba’I, artinya adalah penjelasan. Oleh karena

itu, tulisan-tulisan yang menjelaskan biografi orang-orang besar, diberi nama Kutub

ah
al-Tarajim dan biografi masing-masing orang besar itu disebut dengan

terjemahannya. Menurut beberapa pendapat penulis kamus, dapat dipamahi bahwa di

i
Sy
dalam terjemahan, disyaratkan beberapa bahasa. Terjemah ialah pengalihbahasaan

dari suatu bahasa ke bahasa lain, seperti dari bahasa Arab ke bahasa Parsi.

Dalam Mu’jamul Washith disebutkan bahwa terjemah ialah pengalihbahsaan


a

perkataan dari satu bahasa ke bahasa lain. Seandainya satu makna disebutkan
k

berdampingan dengan dua kalimat, kalimat kedua menjelaskan menjelaskan kalimat


a

pertama, maka ini tidak disebut dengan terjemah, namun disebut menjelaskan kalimat.
st

Syarat penerjemahan yang benar ialah mendekati makna asalnya dengan sempurna.
u

Terjemah ialah menjelaskan apa yang diinginkan oleh kalimat dalam bahasa asalnya,
P

bahkan detail-detail teks aslinya, untuk dialihbahasakan kedalam teks penerjemah.

Sebagai contoh, kadangkala sebuah ungkapan tidak untuk menunjukkan makna,

melainkan untuk menampakkan penyesalan atau menampakkan kesedihan dan lain

sebagainya. Seandainya teks seperti ini diterjemahkan, maka terjemahan itu harus

menunjukkan arti-arti tersebut. Terjemahan itu harus sedemikian akurat hingga bisa

273
mengalihbahasakan makna penyesalan dan kesedihan, tidak hanya memindahkan

makna hakiki atau majazi suatu lafazh.

Terkadang sebuah kata bisa dimengerti ketika berada dalam susunan kalimat.

Oleh karena itu syarat bagi penerjemah ialah harus mengerti dua bahasa untuk bisa

mengartikulasikan secara mendetail maksud dari kalimat yang akan dialihbahasakan

dengan sempurna. Ringkasnya, naskah hasil terjemahan harus mencerminkan naskah

aslinya dengan sempurna agar tidak terjadi kekurangan sedikitpun. Tentunya setiap

kali teks asli memiliki kriteria-kriteria tertentu, seperti teks-teks yang berkaitan

dengan mazhab dan kitab-kitab samawi.

ah
Dibandingkan dengan menerjemahkan teks-teks lainnya, menerjemahkan teks

al-Quran sangat sulit karena nilai mukjizatnya. Karenanya, banyak sekali terjadi

i
Sy
kesalahan dalam terjemahan-terjemahan al-Quran yang contoh-contohnya akan kita

bahas di akhir buku ini.


a

Metode terjemahan
k

Penerjemahan itu berarti memindahkan suatu masalah dari suatu bahasa ke


a

dalam bahasa lain, maka teks yang sudah diterjemahkan itu bersifat penafsiran dan
st

penjelasan. Karenanya, ketika menerjemahkan ke dalam bahasa yang dituju, harus


u

memiilih artikulasi yang akurat untuk memperoleh pemahaman akurat seperti yang
P

diinginkan bahasa aslinya. Hal ini bisa dilakukan dengan tiga cara; 1. Penerjemahan

secara tekstual. 2. Penerjemahan bebas. 3. Penerjemahan dengan metode penafsiran.

1. Penerjemahan tekstual adalah menerjemahkan setiap kata dari bahasa

aslinya ke dalam kata dari bahasa penerjemah. Susunan-susunan kalimat, satu demi

satu, kata demi kata diubah hingga akhir.

274
Contoh, kalimat; ‫ ﺍﻋﻮﺫ ﺑﺎﷲ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ ﺍﻟﺮﺟﻴﻢ‬diterjemahkan; aku berlindung

kepada Allah dari setan yang terkutuk, �� ��﷽ , diartikan; Dengan nama

Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Terjemahan seperti ini sangat sulit

sekali, karena menemukan kata-kata yang sama, dengan kriteria-kriteria yang sama

dalam dua bahasa asli adalah pekerjaan yang tidak mudah. Kebanyakan penerjemah,

karena alasan ini, mengalami banyak kesulitan. Selain itu, dalam banyak kasus,

terjemahan-terjemahan seperti ini tidak bisa menjelaskan makna dengan sempurna.

Hal ini disebabkan oleh ketidaksepadanan makna kata dalam bahasa asli dengan

makna kata bahasa penerjemah.

ah
Kami tidak perlu membahas penerjemahan teksual ini tidak mampu

memindahkan keindahan dan daya tarik pembahasan. Penerjemahan tekstual bisa

i
Sy
dianggap sebagai metode penerjemahan yang paling tidak layak dan tidak mendapat

tempat di hati para ilmuwan dan peneliti, khususnya yang berkaitan dengan buku-

buku ilmiah. Metode penerjemahan seperti ini bisa diterapkan untuk


a

pengalihbahasaan kalimat pendek. Namun, jika pembahasan yang dipaparkan adalah


k

pembahasan ilmiah dan panjang, maka metode ini tidak akan pernah bisa
a

mengutarakan pokok pembahasan dan permasalahannya.


st

Penerjemahan al-Quran secara tekstual akan menuai hasil yang buruk. Karena,
u

kebanyakan ungkapan-ungkapan di dalamnya menggunakan berbagai macam kiasan,


P

analogi dan ekstensi. Kiasan dan analogi setiap bahasa hanya khusus untuk bahasa itu

sendiri dan hal itu tidak bisa digunakan ke dalam bahasa lain.

Kalau kita ingin menerjemahkan ayat 29, surah al-Isra’ dengan metode

tekstual:

‫ﻭﻻ ﺗﺠﻌﻞ ﻳﺪﻙ ﻣﻐﻠﻮﻟﺔ ﺍﻟﻰ ﻋﻨﻘﻚ ﻭﻻ ﺗﺒﺴﻄﻬﺎ ﻛ ّﻞ ﺍﻟﺒﺴﻂ ﻓﺘﻘﻌﺪ ﻣﻠﻮﻣﺎ ﻣﺤﺴﻮﺭﺍ‬

275
Artinya adalah sebagai berikut, “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu

pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi

tercela dan menyesal.” Pembaca terjemahan ini akan kebingungan, mengapa Allah

melarang membelenggu tangan dan mengulurkannya. Harus diperhatikan bahwa

“membelenggu tangan” dalam bahasa Arab bermakna kikir dan “mengulurkan

tangan” adalah dermawan.

2. Penerjemahan bebas. Dalam metode ini, penerjemah berusaha

memindahkan suatu makna dari suatu wadah ke wadah yang lain. Tujuannya adalah

mencerminkan makna awal dengan sempurna. Maksud dari kalimat awal bisa

ah
diartikan tanpa harus mengurangi makna dengan sedapat mungkin menyesuaikan

dengan makna dalam bahasa terjemahan. Terjemahan seperti ini disebut dengan

i
Sy
terjemahan maknawi, karena usahanya tercurah untuk mengalihbahasakan pengertian-

pengertiannya secara sempurna bukan pada teksnya. Dalam terjemahan-terjemahan

seperti ini, selama tidak merusak makna, penerjemah tidak harus mengikuti susunan
a

kata dalam teks aslinya. Metode ini seringkali digunakan dalam buku-buku ilmiah,
k

metode ini adalah metode penerjemahan terbaik dan bisa menjaga amanah dengan
a

baik. Bukankah maksud penulis buku adalah menjelaskan makna serta masalah-
st

masalah yang dibahas.


u

3. Penerjemahan dengan metode penafsiran. Penerjemah menjelaskan dan


P

mengurai masalah yang tercantum dalam bahasa asli dengan menggunakan bahasa

yang dikendaki, seperti tafsir-tafsir al-Quran berbahasa Persi atau bahsa-bahasa

lainnya.

Penerjemahan dengan metode tekstual sama sekali tidak bagus, karena tidak

mungkin digunakan dalam pembahasan panjang dan buku-buku ilmiah. Demikian

276
juga dengan penerjemahan metode penafsiran yang keluar dari batas, juga tidak

dianggap sebagai terjemahan yang baik.

Penerjemahan yang bagus adalah penerjemahan bebas. Sangat disayangkan

sekali sejak dahulu hingga saat ini terjemahan-terjemahan al-Quran, jika tidak

doterjemahkan secara tekstual, maka ditermahkan dengan metode penafsiran. Namun,

kini, setelah sedikit mengevaluasi berbagai macam terjemahan, kami akan

menyampaikan pokok bahasan; tentang mungkin dan diperbolehkannya

menerjemahkan al-Quran.

ah
Tiga kriteria dasar al-Quran

Al-Quran memiliki tiga kriteria yang tak boleh dilupakan. Tiga kriteria inilah

i
Sy
yang memberi kesakralan kepada kitab samawi ini dan membuatnya berbeda dari

kitab-kitab samawi lainnya.

Kriteria pertama. Seluruh ungkapan dan lafazh al-Quran adalah perkataan


a

Allah dan hasil karya-Nya. Oleh karena itu membacanya adalah satu bentuk
k

penghambaan murni dan menyebabkan kedekatan kepada Allah Swt.


a

Kriteria kedua. Al-Quran adalah kitab petunjuk bagi semua manusia yang
st

akan menuntunnya menuju jalan yang benar dan lurus.


u

Kriteria ketiga. Al-Quran adalah mukjizat kekal Islam yang selalu menjadi
P

dalil akan kebenaran kenabian khusus.

Dengan demikian bisa dikatakan bahwa al-Quran ditopang dengan tiga kriteria

ini. Karenanya, apakah dengan mengalihbahasakan lafazh-lafazh dan ungkapan-

ungkapan al-Quran kedalam bahasa lain juga dapat memindahkan semua kriteria

tersebut? Seandainya dalam pengalihbahasaan al-Quran, maknanya diusahakan agar

tetap terjaga dengan pengertian yang sempurna, apakah mungkin sisi mukjizat,

277
khususnya i’jaz bayani (penjelasan), juga bisa tercerminkan dalam teks yang sudah

diterjemahkan? Apakah kesakralan al-Quran sebagai perkataan Allah yang

menyebabkan penghambaan dan pendekatan diri kepada-Nya, bisa dimunculkan

dalam teks yang sudah diterjemahkan?

Sudah pasti tidak mungkin makna-makna al-Quran dengan keindahan yang

dimilikinya yang telah dijelaskan oleh Allah Swt, bisa bermakna sama secara

sempurna ketika dituangkan ke dalam bentuk terjemahan. Oleh karena itu sejeli dan

sepandai apapun, terjemahan al-Quran itu hanya bisa menampakkan sisi al-Quran

yang sangat kecil dan tidak akan bisa memiliki sisi kesakralan al-Quran. Karena

ah
terjemahan adalah perkataan makhluk sedangkan al-Quran adalah perkataan al-Haq.

Dengan meperhatikan masalah-masalah yang telah dijelaskan, menurut para

i
Sy
fuqaha, khususnya fuqaha Imamiah, tak ada satupun dari hukum-hukum syar‘i al-

Quran yang berlaku pada terjemahannya. Tentu, terjemahan al-Quran yang dianggap

sebagai al-Quran memiliki nilai terhormat, sama seperti seluruh tafsir. Namun,
a

kedudukannya tidak sepadan dengan kedudukan al-Quran itu sendiri.


k

Almarhum Muhaqqiq Hamadani mensyaratkan sahnya shalat dengan


a

mambaca surah al-Hamdu dengan bahasa Arab. Syarat ini juga berlaku bagi mereka
st

yang tak mampu mengucapkannya dengan bahasa Arab. Alasan beliau adalah karena
u

terjemahan adalah kalam manusia bukan kalam Ilahi. 412


P

Ada banyak riwayat Nabi Muhammad saw dan para Imam suci as yang

menjelaskan maslah ini:

Rasulullah saw bersabda, “Belajarlah al-Quran dengan bahasa Arabnya…”

412
Mishbahul Faqih; kitab al-Shalat; bab Qira’at, hal. 273-277.

278
Imam Ja’far Shadiq as bersabda, “Belajarlah bahasa Arab, karena ia adalah

kalamullah yang dengannya Dia berbicara kepada makhluk-Nya dan berbicara kepada

orang-orang terdahulu.” 413

Dalam masalah ini para fuqaha juga berfatwa sbb:

1. Sesiapa yang tidak bisa membaca surah al-Hamdu, wajib baginya untuk

belajar (membaca surah tersebut).

2. Sesiapa yang tidak bisa belajar surah al-Hamdu, maka dia harus membaca

ayat-ayat atau surah-surah al-Quran yang lain.

3. Sesiapa yang sama sekali tidak bisa membaca al-Quran hendaknya dia

ah
membaca zikir-zikir dan doa-doa berbahasa Arab, tentunya (bacaan zikir dn doa itu)

seukuran surah al-Hamdu.

i
Sy
4. Seandainya terjemahan itu memiliki sisi zikir dan doa, menurut pendapat

yang membolehkan membaca doa dengan selain bahasa Arab, maka diperbolehkan

membaca terjemahan doa dan untuk berhati-hati adalah tidak meninggalkannya (tidak
a

membaca doa dengan selain bahasa Arab).


k

Ringkasnya, para fuqaha Imamiah bersepakat bahwa tidak diperbolehkan


a

membaca terjemahan al-Quran ketika shalat. Mereka tidak memberlakukan hukum-


st

hukum yang berlaku pada al-Quran ke atas terjemahan al-Quran.


u

Para pemimpin mazhab-mazhab lain juga berpendapat sama dengan Imamiah,


P

kecuali Abu Hanifah dan para pengikutnya yang membolehkan bacaan terjemahan

surah al-Hamdu. Dalam hal ini mereka berpedoman kepada sebuah riwayat yang

mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw mengizinkan Salman al-Farisi

menerjemahkan surah al-Hamdu untuk orang-orang muslim Iran yang bermukim di

413
Wasailus Syiah; jilid 4, bab Qira’atil Quran, pembahasan 30, hadis 1 dan 2.

279
Yaman agar mereka membaca (terjemahan)nya dalam shalat dan perlahan-lahan

terbiasa.414

Driwayatkan bahwa Habib al-‘Ajami, salah seorang sahabat Hasan Bashri,

membaca al-Quran dalam shalat dengan bahasa Persi, karena lisannya tidak bisa

mengucapkan bahasa Arab. 415

Syekh Muhammad Bakhkhiat, mufti kabilah-kabilah Mesir, berfatwa untuk

penduduk Transfal, yaitu ketika mereka tak mampu menggunakan terjemahan di Comment [aa6]: Benarkah?

dalam shalat. Ia bersandar kepada perbuatan Habib al-‘Ajami.416

ah
Pentingnya terjemahan al-Quran

Penerjemahan al-Quran kedalam bahasa-bahasa lain dengan tujuan

i
Sy
mengenalkan bahasa Arab dan hakikat pengetahuan Qurani kepada bangsa-bangsa

asing, harus menjadi salah satu alasan keharusan berdakwah. Para mubalig Islam

selalu membimbing manusia ke jalan yang lurus dengan terjemahan dan tafisran ayat-
a

ayat dan surah-surah al-Quran. Hingga saat ini tak ada satupun ulama dan faqih yang
k

melarang penerjemahan al-Quran kedalam bahasa-bahasa lain. Tujuannya adalah


a

berdakwah tentang agama Islam dan memperkenalkan syariat dan hakikat al-Quran
st

kepada semua orang.


u

Penerjemahan al-Quran sudah terjadi sejak dahulu hingga sekarang dan sudah
P

menjadi bagian dari sejarah yang digeluti para ilmuan muslim, bahkan non muslim.

Sudah sepatutnya berbicara kepada orang-orang dengan bahasa mereka. Khususnya

berbicara tentang al-Quran yang merupakan kitab samawi dan petunjuk agama yang

mengajak seluruh bangsa kepada Islam. Meskipun al-Quran bukan hanya untuk

414
Syamsudin Sarkhasi; Al-Mabsuth; jilid 1, hal. 37.
415
Maraghi; Syarh Musallam al-Tsubut; hal. 17.
416
Muhammad farid al-Wujdi; Al-Adillah al-Ilmiah; hal. 58.

280
bangsa Arab saja, tidak ada paksaan bagi bangsa-bangsa selain Arab untuk belajar

bahasa Arab, meskipun jika mereka mau belajar hal itu adalah suatu keutamaan.

Sebagaimana yang sudah dibahas sebelumnya, saat ini salah satu sarana tablig

terbaik adalah menerjemahkan ayat-ayat al-Quran dan mengenalkan hakikat-hakikat

dan ilmu-ilmu al-Quran berikut syarah dan tafsirnya kepada penduduk dunia.

Sejatinya penduduk dunia ingin mengetahui hakikat-hakikat al-Quran yang terbukti

membuat bangsa-bangsa dengan budaya beraneka ragam menjadi satu bangsa dan

menjadikan mereka bersatu menghadapi orang-orang zalim.

Oleh karena itu al-Quran sangat perlu diterjemahkan ke semua bahasa-bahasa

ah
dunia untuk bisa mereka miliki agar mengambil manfaat dari al-Quran secara

langsung. Tentunya pekerjaan ini harus mendapat bimbingan orang-orang ahli dan

i
Sy
shalih.

Alasan-alasan para penentang terjemahan al-Quran


a

Sebagian dari para penentang penerjemahan al-Quran berargumentasi seperti


k

berikut ini:
a

1. Terjemahan al-Quran menyebabkan hilangnya al-Quran, sebagaimana


st

keaslian Taurat dan Injil yang hilang karena banyaknya naskah terjemahan dan saat
u

ini tidak ada bekas keaslian dua kitab ini yang tersisa.
P

2. Terkadang di antara naskah-naskah terjemahan terjadi banyak perbedaan

yang menyebabkan orang-orang yang ingin merujuknya tersesat, karena mereka tidak

mengetahui mana yang shahih dan mana yang tidak shahih.

3. Dalam banyak ayat, khususnya ayat-ayat yang berkenaan dengan alam dan

penciptaan manusia, terkandung banyak hakikat yang tak seorangpun bisa

mencapainya. Oleh karena itu, setiap orang akan menerjemahkan ayat-ayat seperti ini

281
menurut pengetahuan yang dimilikinya. Dengan demikian orang-orang yang merujuk

kepada naskah terjemahan ini, masing-masing akan memiliki pemahaman berbeda.

Seperti dalam ilmu moderen, ayat-ayat seperti ini akan diterjemahkan dan ditafsirkan

yang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Sudah pasti terjemahan-

terjemahan itu harus diubah. Hal ini akan menyebabkan tidak adanya konsistensi

makna ayat-ayat al-Quran dalam naskah terjemahan. 417

Dalam menjawab para penentang penerjemahan al-Quran ini harus

disampaikan bahwa pengalihbahasaan al-Quran tidak dengan logika penerjemahan

dua kitab perjanjian (Taurat dan Injil). Terjemahan dua kitab perjanjian itu berindikasi

ah
adanya usaha untuk menyembunyikan keaslian dua kitab, tujuannya adalah hanya

menampilkan terjemahan-terjemahan dan penafsiran-penafsiran yang dimaktubkan

i
Sy
serampangan.

Al-Quran sendiri mengabarkan maslaah ini dan mencela mereka yang

berusaha menyembunyikan dari pandangan manusia keaslian dua kitab perjanjian


a

(perjanjian lama dan perjanjian baru), Katakanlah, “Siapakah yang menurunkan kitab
k

(Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu
a

jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai berai, kamu perlihatkan
st

(sebagianya) dan kamu sembunyikan sebagian besarnya…” (Al-An’am : 91).


u

Al-Quran berada di tengah-tengah kaum muslimin, sejak hari pertama


P

diturunkannya hingga sekarang. Kaum musliminlah yang menjaganya. Al-Quran tidak

akan pernah dikubur di suatu tempat kemudian hilang keasliannya.

Tentang perbedaan pendapat dalam naskah terjemahan, dalam beberapa kasus

telah menimbulkan kekacauan. Karenanya, tidak semua orang boleh menerjemahkan

417
Muhammad Mushthafa Syathir al-Mishri; Al-Qaul al-Sadid fi Hukmi Tarjumati al-Quran al-Majid;
hal. 17-18.

282
al-Quran. Pekerjaan penting ini harus dilakukan dibawah bimbingan para ahli

dibidangnya.

Selain masalah tersebut, sebagian para penentang penerjemahan al-Quran

berpegang teguh kepada hadis-hadis yang menegaskan bahwa al-Quran harus dibaca

dengan bahasa Arab. Hadis-hadis ini mengharuskan setiap muslimin untuk membaca

al-Quran dengan bahasa Arab. Sebenarnya mereka tidak memahami hadis. Hadis itu

tidak menegaskan pelarangan menerjemahkan al-Quran. Alangkah baiknya jika kaum

muslimin bisa langsung memahami al-Quran dengan cara belajar bahasa Arab.

ah
Fatwa-fatwa Ulama

Ulama-ulama salaf tidak pernah membahas tentang terjemahan al-Quran,

i
Sy
kecuali hanya dalam kasus-kasus parsial. Cara mereka menerjemahkan, menafsirkan

ayat-ayat dan surah-surah al-Quran adalah dengan menjelaskan pada saat ceramah.

Saat ini masalah propaganda sudah semakin meluas. Al-Quran dan Islam
a

sudah mendunia. Kemudian dimunculkan pertanyaan apakah al-Quran itu bisa


k

diterjemahkan dan bisa dipahamkan kepada orang asing?


a

Pada pertengahan abad keempat Hijriah, sudah terjadi pembahasan dan


st

diskursus tentang penerjemahan al-Quran di Mesir dan negara-negara Islam lainnya.


u

Sebagian besar memperbolehkan dan menganggap penting pekerjaan ini dan sebagian
P

lain menentangnya.

Pada saat itu, semula pendapat yang memperbolehkan pererjemahan al-

Qurandi terima di Mesir, karena hal ini difatwakan oleh ulama terhebat al-Azhar.

Namun, pada akhirnya kelompok penentang berhasil membuktikan pendapatnya dan

akhirnya penerjemahan al-Quran pun dilarang.

283
Fatwa Kasyiful Ghitha’

Di Najaf al-Asyraf, fatwa al-Marhum Syekh Muhammad Husain Kasyiful

Ghitha’ ketika menjawab permohonan ustad Abdul Rahim Muhammad Ali

dimumkan. Penggalan dari fatwa tersebut sebagai berikut:

… seberapa bagus dan kuatnya terjemahan al-Quran yang dialihbahasakan ke

dalam bahasa-bahasa lain, tidak akan mampu mewakili al-Quran itu sendiri. Karena

al-Quran telah ditulis dengan bahasa Arab. Penerjemahan hanya melakukan

pengalihan makna-makna yang merupakan sebuah keharusan. Seandainya

penerjemahan itu dilakukan dengan sempurna dan tidak memiliki kekurangan, maka

ah
hukumnya boleh, bahkan untuk mereka yang mampu melakukannya, baik indifidual

maupun kelompok. Bahkan hukumnya adalah wajib dan harus. Karena tablig dan

i
Sy
berdakwah itu bergantung kepada hal terseut dan tercakup dalam ayat ini, Dan

hendaknya di antara kalian ada umat yang mengajak kepada kebaikan (Ali Imran :

104). Kebaikan manakah yang lebih tinggi dan lebih penting daripada mengajak
a

kepada Islam? Sejak dahulu hingga sekarang, penerjemahan al-Quran dengan bahasa
k

Persi adalah hal biasa dan tak satupun ulama yang melarangnya. Seandainya
a

terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Persi ini, menurut ajaran yang berlaku,
st

diperbolehkan, maka penerjemahan ke dalam bahasa-bahasa lainpun sudah pasti


u

diperbolehkan. Oleh karena itu tidak perlu lagi berpegangan kepada Ashlul Bara’ah
P

atau Ashlul Ibahah. Masalahnya lebih jelas dari keharusan istidlal atau al-Ashlul

Amali.418 Demikianlah pendapatnya.419

418
Ashlul Bara’ah ialah mukallaf tidak bertanggung jawab dalam hal taklif-taklif yang masih
diragukan. Ashlul Ibahah ialah bahwa hukum asalnya mubah). Al-Ashlul Amali adalah ilmu yang
mempelajari unsur-unsur yang sama ketika seorang faqih mendapati dalil yang menunjukkan suatu
hukum dan hukum itu tetap majhul.
419
Abdul Rahim Muhammad Ali al-Najafi; Al-Quran wa al-Tarjumah; hal. 3-4.

284
Pendapat Ayatullah Khu’i

Ayatullah Khu’i memiliki pendapat sempurna. Menurut beliau bahwa

penerjemahan al-Quran ke dalam bahasa-bahasa lain adalah salah satu pekerjaan

penting yang diperhatikan dalam berdakwah. Di dalam kitab al-Bayan, beliau

menyebutkan syarat-syaratnya secara umum. Pandangan beliau adalah sebagai

berikut:

Allah mengutus Nabi Muhammad saw dengan tujuan membimbing manusia.

Allah membekali Nabi Muhammad saw dengan al-Quran yang mengandung sumber

kebahagiaan manusia dan membimbing mereka menapaki jenjang-jenjang

ah
kesempurnaan. Hal ini adalah lutf dari Allah yang melingkupi semua orang, tidak ada

kaitannya dengan kelompok atau bangsa tertentu. Allah menghendaki bahwa al-Quran

i
Sy
diturunkan sesuai dengan bahasa kaum Nabi Muhammad saw, meskipun ajaran-

ajarannya bersifat universal dan mencakup seluruh lini kehidupan. Karenanya, semua

orang harus mengetahui ajaran-ajaran kebenaran yang terkandung di dalamnya agar


a

mendapat petunjuk. Tidak diragukan lagi bahwa penerjemahan al-Quran adalah salah
k

satu sarana penting untuk mendapatkan hidayah.


a

Penerjemahan harus tunduk kepada syarat-syarat tertentu; seorang penerjemah


st

harus menguasai bahasa asli dan bahasa tujuan secara sempurna. Seakurat apapun
u

sebuah terjemahan, masalah balaghah berlaku. Harus diperhatikan dengan jeli agar
P

tidak bertentangan dengan kebalikan tujuan asalnya. Syarat mendasar dalam

menerjemahkan al-Quran ialah memahami al-Quran itu sendiri dengan detail.

Pemahaman detail terhadap al-Quran meliputi tiga hal:

1. Lahiriah kalimat, sebagaimana orang Arab mengetahuinya dengan insting

dasar mereka.

285
2. Menjunjung tinggi rasionalitas untuk memahami ilmu-ilmu menjulang al-

Quran, karena ilmu-ilmu al-Quran selamanya tidak pernah jauh dari akal.

3. Merujuk kepada tafsir-tafsir salafus salih, khususnya Imam-imam suci as

agar tidak menerjang batas.

Sebelum penerjemah memulai pengalihbahasaan al-Quran, hendaknya dia

menguasai ilmu-ilmu al-Quran dengan sempurna agar makna-makna al-Quran bisa dia

pindahkan kedalam bahasa lain dengan baik dan teliti. Ketika memahami al-Quran

tidak boleh mencampuradukkan pendapat-pendapat pribadi dan sepihak. Campur

tangan pendapat pribadi tidak akan sesuai dengan kaidah apapun dan ia termasuk

ah
kategori tafsir birra’yi yang tidak bisa diakui. Seandainya syarat-syarat tersebut

diperhatikan dalam penerjemahan, maka hakikat-hakikat al-Quran dan pengetahuan-

i
Sy
pengetahuan Ilahi yang ada di dalamnya bisa ditransformasikan ke bangsa-bangsa

lain. Karena al-Quran diturunkan untuk semua orang. Tidak layak jika bangsa-bangsa

selain Arab tidak mendapatknnya. Al-Quran untuk semua orang dan semua orang
a

harus mengambil manfaat darinya. 420


a k

Surah Syekh al-Azhar kepada perdana menteri Mesir


st

Dalam sebuah surat resmi yang ditulis oleh rektor Universitas al-Azhar yang
u

lama, Syekh Mushthafa al-Maraghi, untuk perdana menteri Mesir pada tahun 1355 H,
P

disebutkan:

Sekelompok orang pada masa lalu dan sekarang menerjemahkan al-Quran ke

dalam bahasa lain. Penrjemah-penerjemah ini mengenal betul bahasa mereka, tetapi

tidak demikian dengan bahasa Arab, mereka tidak mengetahui istilah-istilah dan

kaidah-kaidah bahasa ini, mereka juga tidak banyak menguasai istilah-istilah Islam

420
Al-Bayan; Ta’liqat, nomor 50, hal. 540.

286
untuk bisa mengetahui pengetahuan-pengetahuan al-Quran sebagaimana mestinya.

Oleh karena itu, dalam terjemahan-terjemahan yang ada sekarang ini, terlihat banyak

kesalahan. Sangat disayangkan bahwa terjemahan-terjemahan dengan aib dan

kekurangan inilah yang dimiliki oleh kebanyakan orang, sementara mereka tidak

memiliki cara lain untuk mendapatkan pengetahuan-pengetahuan al-Quran selain

terjemahan-terjemahan yang tidak sempurna itu. Mereka menjadikannya sebagai

landasan memahami pengetahuan-pengetahuan Islam yang mengandung ajaran-

ajarannya mulia.

Umat Islam pada umumnya dan penduduk Mesir pada khususnya harus

ah
bergegas mengambil tindakan terhadap perbuatan yang berbahaya ini. Kemudian

mengkikis semua ketidaklayakan naskah terjemahan dengan memberikan kepada

i
Sy
bangsa-bangsa yang tidak berbahasa Arab naskah-naskah terjemahan tanpa cela dan

tanpa kekurangan. Hal ini dikarenakan kedudukan tinggi yang dimiliki Islam.

Jika langkah ini dilakukan dengan serius akan berdampak bagus untuk
a

menyebarluaskan hidayah ke seluruh penjuru dunia Islam. Karena, dasar untuk


k

mengajak kepada Islam, bertumpu kepada penyampaian hujjah yang jelas dan
a

argumen yang kuat. Di dalam al-Quran terdapat banyak sekali hujjah-hujjah serta
st

argumen-argumen yang jelas dan puncak yang bagi orang-orang yang jujur memiliki
u

konsekwensi logis untuk menerima dan tunduk kepada kebenaran.


P

Selayaknya lembaga negara menyampaikan suatu rancangan untuk

penerjemahan al-Quran agar pekerjaan ini secara resmi dilakukan oleh ulama-ulama

al-Azhar yang ahli dengan bantuan departemen Pendidikan dan Kebudayaan serta

dukungan dana negara. Saya memohon agar Anda memikirkan masalah ini.

287
Surat resmi dengan nada yang sama ditulis oleh departemen Pendidikan dan

Kebudayaan yang ditujukan kepada perdana menteri. Surat dari ulama al-Azhar

mendapat dukungan sehingga keinginannya itu dapat direalisasikan.

Fatwa-fatwa ulama al-Azhar

Permohonan fatwa secara rinci tentang syarat-syarat penerjemahan yang benar

diajukan kepada ulama al-Azhar. Permohonan tersebut dijawab dengan

memperbolehkan. Berikut teks pertanyaan dan jawabannya:

Tanya: Para ulama yang terhormat, setelah memperhatikan beberapa

ah
mukadimah yang tercantum di dalamnya, silahkan berikan pendapat Anda berkenaan

dengan pertanyaan di bawah ini:

i
Sy
1. Tidak diragukanlagi kalau al-Quran al-Karim adalah nama sebuah kitab

yang memiliki susunan dan metode khusus yang diturunkan kepada Rasulullah saw

dengan bahasa Arab. Tidak diragukan pula bahwa seandainya makna-makna al-Quran
a

dipahami dengan benar dan diterjemahkan kedalam bahasa lain, maka terjemahan
k

tersebut bukanlah al-Quran itu sendiri, melainkan hanya terjemahan dan tak ubahnya
a

bagaikan tafsir dan penjelasan.


st

2. Tidak ada perselisihan bahwa terjemahan tekstual yang sesuai dengan dari
u

kata per kata yang ada dalam al-Quran adalah tidak mungkin.
P

3. Orang-orang menyodorkan terjemahan-terjemahan al-Quran dan semua

orang bisa memilikinya, terjemahan-terjemahan itu mengandung banyak kesalahan.

Sementara sebagian kaum muslimin tidak mengetahui bahasa Arab. Banyak orang

yang tidak mengetahui bahasa Arab bersandar kepada naskah-naskah terjemahan ini.

Bahkan para pemuka agama non muslim yang ingin mengetahui ilmu-ilmu

pengetahuan Islam juga menggunakan naskah terjemahan-terjemahan tersebut.

288
4. Untuk memahami makna-makna al-Quran, harus melalui ulama terbaik al-

Azhar. Setelah merujuk pendapat-pendapat salaf dan para mufassir besar, makna-

makna tersebut dapat disandaingkan dengan ungkapan-ungkapan detail dan terbatas.

Setelah itu, pengalihbahasaan harus dilakukan orang-orang yang berkemampuan dan

memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan jujur, sehinga mereka bisa

mengalihbahasakan makna-makna dengan penuh amanah dan ikhlas. Hendaknya

naskah terjemahan itu mencerminkan bahasa aslinya (Arab).

Apakah melakukan perbuatan yang disertai dengan syarat-syarat seperti ini

diperbolehkan ataukah tidak?

ah
Tentu, harus ada penjelasan bahwa naskah tersebut adalah terjemahan dan

bukan al-Quran itu sendiri. Naskah tersebut sama sekali tidak memiliki keistimewaan-

i
Sy
keistimewaan al-Quran. Naskah terjemahan tersebut bukanlah apa yang selama ini

dipahami oleh para ulama tentang al-Quran. Naskah terjemahan tersebut akan

diletakkan di samping aslinya atau terjemahan tersebut tidak dicetak terpisah dengan
a

teks aslinya.
k

Jawab: Setelah menghaturkan puji syukur kehadirat Allah dan shalawat dan
a

salam kepada Muhammad dan keluarganya, kami telah memahami semua yang Anda
st

tanyakan dan kami beritahukan bahwa menerjemahkan dengan syarat-syarat tersebut,


u

diperbolehkan menurut syariat.


P

Rektor universitas al-Azhar pada saat itu adalah Muhammad Mushthafa al-

Maraghi. Beliau membenarkan fatwa ini dan menambahkan kalimat berikut dibawah

jawaban tersebut: Bismillahirrahmanirrahim. Aku hadapkan pertanyaan ini kepada

para ulama besar dan aku menyetujui pendapat mereka.

Setelah diumumkannya fatwa para ulama al-Azhar dan adanya dukungan dari

pihak Syekh al-Azhar, lembaga negara mulai menerjemahkan al-Quran.

289
Para penentang penerjemahan al-Quran di Mesir

Upaya yang dilakukan ulama al-Azhar tersebut ditentang oleh sekelompok

yang dipimpin oleh Syekh Muhammad Sulaiman yang saat itu menjabat sebagai wakil

ketua Mahkamah Agung. Mereka berusaha keras mencegah penerjemahan al-Quran

dengan melibatkan ulama-ulama ternama seperti Syekh Muhammad Ahmadi

Zhawahiri, mantan rektor Universitas al-Azhar dan beberapa anggota majelis para

ulama.

Syekh Muhammad Ahmadi Zhawahiri tidak menghadiri pertemuan majelis

ah
ulma untuk menjalankan proses penerjemahan. Diaz tidak menunjukkan sikap sepakat

atas upaya tersebut. Dia menulis surah yang berisi motifasi pencegahan uapaya

i
Sy
tersebut kepada Ali Mahir Pasya, mantan perdana menteri.

Kelompok penentang ini mengadakan pertemuan-pertemuan untuk mencegah

penerjemahan al-Quran. Mereka menyebarluaskan ungkapan ketidaksetujuan mereka


a

dan menebar angket yang kemudian dikirimkan kepada lembaga yudikatif negara.
k

Mereka meminta agar lembaga yudikatif negara untuk mencegah penerjemahan al-
a

Quran. Mereka menggerakkan massa untuk melakukan demonstrasi ke jalan-jalan dan


st

pasar-pasar dengan isu penentangan penerjemahan al-Quran.


u

Para ulama penentang itu di antaranya terdiri dari mantan ketua mahkamah
P

agung, beberapa hakim dan beberapa jaksa. Di dalam lembaga yudikatif negara juga

terdapat orang-orang yang menentang penerjemahan al-Quran, seperti Syekh Abbas

Jamal, wakil pembela syariat dan beberpa anggota lainnya bekerja sama sebagai

oposan. Mereka berupaya agar anggaran yang sudah ditetapkan untuk menerjemahkan

al-Quran itu dihapus. Selain itu kelompok oposisi ini juga mengkoordinasi beberapa

ulama besar Syam, Palestina dan Irak agar mereka menulis surat kepada perdana

290
menteri Nahhas Pasya yang berikan peringatan atas upaya yang sedang dilakukan itu.

Mereka bersumpah atas nama iman dan keyakinan dalam dada, atas nama al-Quran

dan agama untuk mencegah penerjemahan al-Quran.

Upaya para penentang ternyata berhasil, akhirnya penerjemahan al-Quran

yang nyaris dikerjakan, terpaksa terhenti.

Perdana menteri Nahhas Pasya berada di tengah-tengah dua kelompok tersebut

dengan menyodorkan pekerjaan penerjemahan tafsir baru al-Quran sebagai problem

solving. Sangat disayangkan, sebuah pekerjaan penting yang hendak membentangkan

jalan lebar penyebarluasan ajaran-ajaran Islam harus terhenti hanya karena pandangan

ah
sempit suatu kelompok.421

i
Sy
Terjemahan al-Quran adalah sebuah risalah

Apapun bentuknya, apapun alasannya, penerjemahan al-Quran kedalam

berbagai bahasa dunia adalah satu hal yang penting. Alasannya adalah sebagai
a

berikut:
k

Dalil pertama. Al-Quran adalah kitab dakwah yang harus disampaikan


a

kepada semua manusia dan harus bisa di mengerti oleh mereka, Bulan Ramadhan
st

yang didalamnya telah diturunkan al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
u

penjelasan-penjelasan tentang petunjuk (itu) sebagai pembeda (antara kebenaran dan


P

kebatilan)… Ini adalah sebuah penjelasan bagi manusia, petunjuk dan nasihat bagi

orang-orang yang bertakwa (Ali Imran : 138).

Dalil kedua. Islam bukanlah agama prifat. Semua bangsa berhak

menganutnya. Tidak ada suatu bangsa yang lebih mulia dari bangsa yang lain

sehingga mereka harus diutamakan. Al-Quran adalah kitab petunjuk dan penjelasan

421
Silahkan merujuk ke Majalah Al-Rawabith al-Arabiyah al-Mishriyyah; Shafar dan Rabi’ul Awwal,
tahun 1355 H.

291
tentang Islam. Semua manusia dan bangsa-bangsa dunia adalah sama, Kami tidak

mengutusmu kecuali untuk semua manusia sebagai pembawa berita gembira dan

pemberi peringatan… (Saba’ : 28). Maha Suci Allah yang telah menurunkan al-

Furqan (al-Quran) kepada hamba-Nya, agar ia menjadi pemberi peringatan kepada

seluruh alam (Al-Furqan : 1).

Dalil ketiga. Tugas kaum muslimin adalah memperdengarkan ajaran Islam ke

telinga orang-orang sedunia dan menjalankan sebuah risalah yang dibebankan al-

Quran ke atas pundaknya, Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat

Islam), umat yang tengah-tengah agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia

ah
dan agar rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu (Al-Baqarah :

143). …dan Kami telah menurunkan al-Dzikr (al-Quran) kepadamu supaya kamu

i
Sy
menjelaskan kepada mereka apa yang telah diturunkan kepada mereka dan siapa

tahu mereka dapat berpikir (Al-Nahl : 44).

Dalil keempat. Tujuan diturunkannya al-Quran ialah untuk dijelaskan kepada


a

semua orang. Bukan hanya untuk dibaca. Al-Quran bukan hanya diperuntukkan bagi
k

bangsa tertentu. Al-Quran untuk semua orang. Semua orang harus mengetahui dan
a

memilikinya. Allah berfirman, Dan al-Quran ini diwahyukan kepadaku (Muhammad)


st

supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang
u

sampai al-Quran (kepadanya) (Al-An‘am : 19).


P

Sesungguhnya orang-orang yang membunyikan apa yang telah Kami turunkan

berupa penjelasan-penjelasan dan petunjuk, setelah Kami menjelaskan kepada

manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh semua

(makhluk) yang dapat melaknat (Al-Baqarah : 159).

292
Penerjemahan pada masa lalu

Sebelumnya sudah dibahas bahwa Rasulullah saw telah mengizinkan Salman

untuk menerjemahkan surah al-Hamdu ke dalam bahasa Parsi agar orang-orang yang

berbahasa Persi dapat membacanya dalam shalat dan perlahan-lahan mereka bisa

terbiasa membacanya. Tindakan terpuji ini terus berlangsung pada zaman Nabi

Muhammad saw. Sekelompok sahabat menerjemahkan sebagian ayat atau bagian dari

al-Quran untuk mereka yang baru memeluk Islam agar mereka bisa mengetahui

hakikat-hakikat dan ilmu-ilmu al-Quran.

Pada masa Hijrah pertama, kaum muslimin pergi ke Habasyah. Ja’far bin Abi

ah
Thalib menerjemahkan penggalan surah Maryam untuk Najjasyi, para menteri dan

para pembesar yang hadir di dalam majlis. Tauldan ini menyebabkan mereka tertarik

i
Sy
kepada Islam dan kebenarannya. Ustad Muhaqqiq Shadr al-Afadhil berkeyakinan

bahwa Ja’far mengetahui bahasa Amhari yaitu bahasa orang-orang Habasyah (baca: Comment [aa7]: Benarkah?

Etiopia). Beliau menerjemahkan ayat-ayat al-Quran ke dalam bahasa mereka. Sudah


a

pasti bahwa membaca al-Quran dengan bahasa Arab yang tidak mereka ketahui, tidak
k

akan bisa mempengaruhi mereka. Oleh karena itu, ketika al-Quran dibacakan di
a

hadapan mereka bersama dengan terjemahannya, pengaruhnya sangat kuat hingga


st

menjadikan jiwa orang-orang yang hadir dimajlis terpesona, khususnya Najjasyi yang
u

saat itu berkata, “Demi Allah, perkataan Muhammad tidak ada bedanya dengan
P

perkataan al-Masih.” Setelah berkata demikian Najjasy menangis tersedu-sedu.

Raja Raik Mahruq, kepala daerah Rur di India, pada tahun 230 H, meminta Comment [aa8]: Benarkah?
Comment [aa9]: Benarkah?
Abdullah bin Umar bin Abdul Aziz utusan khalifah di daerah itu, untuk

menerjemahkan al-Quran dengan bahasa India dan menafsirkannya untuknya.

Pekerjaan ini dilakukan oleh seorang penulis yang hebat. Si penerjemah berkata,

“Ketika aku sedang menafsirkan dan menerjemahkan surah Yasin sampai pada ayat,

293
Katakanalah; ‘Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya pertama kali.

Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk (Yasin; 79), yang aku terjemahkan ke

dalam bahasa Sansekerta, tiba-tibaRaja jatuh dari singgasananya sambil berlinang air

mata, sampai-sampai lantai dan wajahnya basah oleh air matanya. Dalam keadaan

menangis ia berkata, ‘Ini adalah Tuhan Yang layak disembah. Tidak ada tuhan yang

menyamai-Nya.’ Sebelum kejadian itu dia sudah memeluk Islam secara sembunyi-

sembunyi. Setelah peristiwa ini, dia selalu bermunajat kepada Allah dan menyembah-

Nya dalam kesendirian.” 422

Pada masa Sultan Manshur bin Nuh Samani (350-365 H.), atas perintah

ah
ulama-ulama Mawara’an Nahr, menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Persi.

Penerjemahan ini dilakukan di terjemahan tafsir Muhammad bin Jarir al-Thabari (w.

i
Sy
310 H.) yang dikirim dari Baghdad untuk sang Sultan. Dalam mukadimah terjemahan

ini disebutkan, “Ini adalah kitab tafsir besar yang kabarnya telah diterjemahkan oleh

Muhammad bin Jarir al-Thabari ke dalam bahasa Persi dan bahasa Dari yang benar.
a

Ketika kitab ini dibawa dari Baghdad berjumlah empat puluh mushhaf. Kitab ini
k

ditulis dengan bahasa Tazi (Arab) dengan sanad-sanad yang panjang dan diberikan
a

kepada Sultan Said Muzhaffar Abu Shalih Manshur bin Nuh bin Nashr bin Ahmad bin
st

Ismail. Kemudian beliau kesulitan membaca kitab ini karena kalimatnya


u

menggunakan bahasa Tazi dan sangat ingin agar aku menerjemahkannya ke dalam
P

bahasa Persi. Kemudian dia mengumpulkan ulama-ulama Mawara’an Nahr dan

meminta fatwa mereka apakah diperbolehkah membaca dan menulis tafsir al-Quran

dengan bahasa Persi, karena beliau adalah orang yang tidak memahami bahasa Tazi

(Arab)? Allah berfirman, Dan Kami tidak mengutus seorang rasul kecuali dengan

422
Silahkan merujuk ke Majalah Tauhid; Makalah Shadrul Afadhil, tahun kedua, nomor 9, hal. 216.
Ramharmazi-e Buzurg bin Syahriyar; Ajaib al-Hindi; cetakan Lidan, 1883 M.

294
lisan kaumnya. Bahasa yang digunakan di sini adalah bahasa Persi dan semua raja-

raja disini adalah orang-orang Ajam (bukan orang Arab)...”

Malik Muzhaffar Abu Shalih memerintahkan agar semua ulama Mawara’an

Nahr berdiskusi untuk menerjemahkan kitab ini. Dari kota Bukhara, hadir al-Faqih

Abu Bakar bin Ahmad bin Hamid dan Khalil bin Ahmad Sajistani. Dari kota Balkh,

hadir Abu Ja’far bin Muhammad bin Ali. Dari India, hadir al-Faqih Hasan bin Ali

Mandus dan Abul Jahm Khalid bin bin Hani’ al-Muttafaqah. Demikian juga ulama-

ulama dari kota Samakand, kota Sapijab, kota Farghanah dan setiap kota berkumpul

di Mawara’an Nahr.

ah
Kemudian Sultan Said Malik Muzhaffar Abu Shalih memerintahkan kepada

jamaah tersebut agar memilih siapa di antara mereka yang lebih alim untuk

i
Sy
menerjemahkan kitab ini. Akhirnya penerjemahanpun berlangsung.

Metode penerjemahan terse adalah dengan dengan menyebutkan nash al-

Quran dengan bahasa Arab yang kemudian menyertakan terjemahannya, kemudian


a

terjemahan tafsirnya. Naskah erjemahan al-Quran dan terjemahan tafsir Thabari


k

disebutkan dalam cetakan ini.


a

Penerjemahan al-Quran yang ditulis dalam bahasa Persi, Dari, adalah naskah
st

terjemahan al-Quran berbahasa Persi pertama yang kami miliki. Boleh jadi ia adalah
u

naskah terjemahan al-Quran berbahasa Persi paling sempurna dan terbaik, meskipun
P

dalam batas-batas tertentu intonasinya sulit bagi orang-orang Persi.

Ada juga naskah terjemahan lain yang menggunakan bahasa Persi kuno yang

dikerjakan oleh seorang alim faqih bermazhab Hanafi, Abu Hafsh Najmudin Umar

bin Muhammad Nasafi (462-538 H.). Dia salah seorang ulama Mawara’an Nahr. Dia

memiliki tafsir berbahasa Persi yang sangat bagus. Pertama-tama dia menerjemahkan

295
ayat-ayat al-Quran, kemudian tafsirnya. Tafsir ini berbeda dengan tafsir nasafi yang

terkenal yang ditulis oleh Abul Barakat Abdullah bin Ahmad bin Mahmud al-Nasafi.

Syarah dan tafsir berbahasa Persi yang paling sempurna ialah yang ditulis oleh

Syekh Jamaludin Abul Futuh Husain bin Ali bin Muhammad al-Razi. Dia salah

seorang ulama abad keenam. Keluarganya berdomisili di Neisyapor. Dalam tafsir ini,

pertama-tama ayat-ayat al-Quran diterjemahkan secara tekstual, kemudian baru tafsir

ayat-ayatnya. Sejak pertama ditulis hingga sekarang, tafsir ini mendapat perhatian

ulama dan para ilmuan muslim.

Nizhamudin Hasan bin Muhammad al-Qommi al-Neisyaburi (w. 728 H.)

ah
menulis sebuah tafsir Gharaib al-Quran wa Raghaib al-Furqan dengan bahasa Arab.

Tafsir ini dikenal dengan nama tafsir Neisyaburi. Pertama-tama si mufassir

i
Sy
menafsirkan sisi lahiriahnya, setelah itu sisi batinnya. Metode ini telah memberikan

keindahan tersendiri kepada tafsir ini. Tafsir ini dicetak di Mesir dan sangat di

sayangkan bahwa mereka menghapus bahasa Persi yangh ada di dalamnya. Namun
a

naskah-naskah yang dicetak di India dan Iran masih ada.


a k

Meneliti terjemahan-terjemahan al-Quran


st

Sebelum meneliti kekuatan dan kelemahan naskah-naskah terjemahan yang


u

ada, kita perlu melihat kembali syarat-syarat penerjemahan yang bagus agar kita bisa
P

menampakkan tolok ukur untuk menjustifikasi. Di bawah ini kami sampaikan syarat-

syarat terjemahan dan penerjemah yang bagus:

Syarat-syarat terjemah

Telah kita bahas bahwa menerjemah adalah mengalihbahasakan pemahaman

dari satu bahasa ke bahasa yang lain dengan tetap menjaga akurasi kedua bahasa itu

296
secara mendetail. Setiap kali teks asli dalam naskah yang hendak diterjemahkan

memiliki kedalaman makna, maka naskah terjemahannya juga harus memiliki kadar

yang sama dengan teks aslinya. Misalakan, teks aslinya berkaitan dengan Pencipta

alam yang hendak memberi petunjuk kepada manusia, maka naskah terjemahannya

harus selengkap naskah aslinya dan pemahaman menjulang dalam teks asli harus

terbebas dari pendapat pribadi serta istimbat tanpa dalil sahih. Tujuannya adalah

menghindari kesalahan.

Oleh karena itu, untuk menerjemahkan al-Quran dengan baik, syarat-syarat

berikut harus diperhatikan:

ah
1. Setiap kandungan ayat secara lahiriah, baik naskah asli atau naskah

terjemahan, harus diperhatikan dengan jeli. Tentang makna ayat yang menyertakan

i
Sy
rasionalitas dan membutuhkan istidlal, maka hal ini harus dimasukkan dalam kategori

penafsiran.

2. Memilih padanan makna seakurat mungkin dan idiom yang tepat untuk
a

mengalihbahsakannya. Makna dan pemahaman sempurna tentang ayat harus


k

tercermin dalam naskah terjemahan. Seandainya diperlukan penambahan idiom atau


a

kata, maka harus diletakkan dalam kurung.


st

3. Terjemahan al-Quran harus dibawah pengawasan para ahli yang memiliki


u

penguasaan cukup terhadap ilmu-ilmu agama agar teks terjemahan itu terjaga dari
P

kesalahan dan penyimpangan.

4. Huruf-huruf Muqaththa’ah yang ada di awal surah harus dibiarkan tanpa

diterjemahkan. Kalimat-kalimat Mutasyabih seperti al-Burhan yang ada dalam ayat

28 surah Yusuf, Dâbbah dalam ayat 82 surah al-Naml dan A’raf dalam ayat 46 surah

Al-A’raf diterjemahkan secara literal tanpa memberikan penjelasan.

297
5. Tidak menggunakan istilah-istilah ilmiah dan sulit dalam naskah

terjemahan. Karena, naskah terjemahan itu untuk konsumsi umum. Tidak boleh

mencantumkan pendapat dalam naskah terjemahan.

6. Penerjemahan al-Quran layak dilakukan oleh tim. Setiap anggota tim harus

memilih menerjemahkan suatu bagian (dari al-Quran) sesuai spesialisasi masing-

masing. Selain menguasai masalah, setiap anggota tim harus menikmati

pekerjaannnya masing-masing.

7. Naskah terjemahan al-Quran harus berada di sebelah teks bahasa Arab agar

orang yang merujuk al-Quran, ketika mendapati kesulitan bisa langsung menilik

ah
terjemahan itu, agar tidak muncul anggapan bahwa naskah terjemahan bisa

menggantikan posisi al-Quran.

i
Sy
Syarat-syarat seorang penerjemah

1. Penerjemah al-Quran harus menguasai dua bahasa (bahasa asli dan bahasa
a

penerjemahan) dengan baik. Dia harus mengetahui kaidah-kaidah bahasa kedua


k

bahasa secara sempurna.


a

2. Penerjemah al-Quran harus memiliki pengetahuan agama yang luas dan


st

harus bisa merujuk tafsir-tafsir yang diakui dengan tidak merasa puas terhadap hasil
u

awal terjemahannya.
P

3. Penerjemah harus membebaskan dirinya dari segala bentuk keinginan-

keinginan internal yang diciptakan oleh lingkungan atau keyakinan-keyakinan taklid.

Dia hanya wajib memahami maksud ayat-ayat tanpa menambahkan apapun.

4. Orang-orang yang tidak memiliki kelayakan untuk melakukan pekerjaan

penting ini hendaknya tidak melakukannya. Tentu, mereka yang berhak melakukan

298
pekerjaan tersebut harus merasa bertanggungjawab mengawasi naskah penerjemahan

yang sudah dilakukan.

Setelah syarat-syarat penerjemahan dan penerjemah al-Quran sudah kita

sebutkan, dapat dipahami mengapa sejak dahulu hingga kini kebanyakan naskah

terjemahan pribadi tidak terhindar dari kesalahan. Karena, semua syarat tersebut

mustahil dimiliki oleh satu orang saja. Oleh karena itu, setiap naskah terjemahan al-

Quran yang ada, jika mempertimbangkan syarat-syarat tersebut, memiliki kekuatan

dan kelemahan.

Kami akan membahas sebagian dari nakah terjemahan-terjemahan yang telah

ah
ada, dengan tetap memperhatikan dan memeberi penghargaan tinggi terhadap

kegigihan dan niat baik para penerjemah yang menyebarluaskan pengetahuan-

i
Sy
pengetahuan Ilahi.

Menurut keyakinan kami, untuk meminimalisir kesalahan-kesalahan, maka

penerjemahan al-Quran jangan lagi dilakukan secara individual, namun harus


a

dikerjakan oleh tim ahli yang diawasi secermat mungkin oleh pakar yang
k

berkelayakan.
a

- Badrudin Zarkasyi, sosok terbesar yang menekuni ilmu-ilmu al-Quran dan


st

Jalaludin Suyuthi, seorang alim ternama dibidang sastra Arab, mebahas kalimat:
u

‫ﻫﺪ ﻧﺎ‬, yang tercantum dalam ayat ... ‫( ﻭﺍﻛﺘﺐ ﻟﻨﺎ ﻓﻰ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﺣﺴﻨﺔ ﻭﻓﻰ ﺍﻻﺧﺮﺓ ﺍ ﻧّﺎ ﻫﺪ ﻧﺎ ﺍﻟﻴﻚ‬Al-
P

A’raf : 156). Mereka menganggap kalimat tersebut berasal dari kata dasar “Hada

Yahdi.” 423 Namun sesuai dengan mutakallim ma’al ghair (yang menunjukan arti
P423F P

lebih dari satu), kata dasar kalimat ini adalah ‫ ﻫﺪﻳﻨﺎ‬.

423
Zarkasyi menyebutkan ada tujuh belas arti “Hada.” Dia berkata, “Dan salah satu dari makna “Hada”
adalah taubat. Al-Burhan; jilid 1, hal. 103-104.

299
Bahwa “Hudna” satu wazan dengan “Qulna”, berasal dari kata dasar “Hada

Yahudu” yang satu wazan dengan “Qola Yaqulu”, artinya “kembali”. Maka dalam

ayat tersebut berarti taubat dan kembali kepada Allah.

Zamakhsyari berpendapat, ‫( ﻫﺪﻧﺎ‬Hudna) adalah mutakallim ma’al ghair yang

berasal dari kata dasar ‫ ﻫﺎﺩﻩ ﻳﻬﻮﺩﻩ‬. 424 P42F P

Raghib Ishfahani berpendapat, ‫( ﻫﻮﺩ‬Haud), berarti kembali dengan lemah

lembut, berasal dari kata dasar ‫ﺗﻬﻮﻳﺪ‬ yang berarti berjalan dengan tenang dan

perlahan, sebagaimana jalannya seekor semut. Kata ini oleh masyarakat umum

digunakan untuk arti taubat dan kembali kepada Allah.

ah
Allah berfirman, ‫ ﺇﻧّﺎ ﻫﺪﻧﺎ ﺍﻟﻴﻚ‬artinya, kami bertaubat kepada-Mu.425 P425F P

Raghib, dengan keilmuannya yang tinggi di bidang sastra dan bahasa Arab,

dalam kitab al-Mufradat menafsirkan ayat ‫ﻲ ﺍﻟﻘﻴّﻮﻡ‬


i
ّ ‫( ﻭﻋﻨﺖ ﺍﻟﻮﺟﻮﻩ ﻟﻠﺤ‬Thaha : 111). Dia
Sy
P P

memengulas kata ‫ ﻋﻨﺖ‬dan berarti ‫ ﺫﻟّﺖ‬dan ‫( ﺧﻀﻌﺖ‬tertunduk).

Padahal kata itu berasal dari kata dasar ‫‘( ﻋﻨﻰ‬Ania) yang berarti merendahkan
a

diri dan pasrah. Karena itulah seorang tawanan disebut dengan ‘ani yang artinya
k

adalah orang-orang yang memikul beban kehinaan dan penyerahan.


a

Thabarsi ketika dalam menjelaskan ayat tersebut berpendapat bahwa tunduk


st

dan patuh, sebagaimana tunduknya seorang tawanan di tangan orang yang


u

menguasainya. 426 P 426F P


P

Sangat mengherankan bahwa Raghib juga menyebut ayat ini berasal dari kata

dasar ‫‘( ﻋﻨﻰ‬Ania). 5 2TP47F P2T

- Seorang alim kontemporer, Ilahi Qamsyei menerjemahkan ayat,

424
Al-Kasysyaf; jilid 2, hal. 165.
425
Al-Mufradat; hal. 546.
426
Tafsir Thabarsi; jilid 7, hal. 31.
5- al-Mufradat; hal 349 dan 350.

300
‫( ﻓﺄﺗﺖ ﺑﻪ ﻗﻮﻣﻬﺎ ﺗﺤﻤﻠﻪ ﻗﺎﻟﻮﺍ ﻳﺎ ﻣﺮﻳﻢ ﻟﻘﺪ ﺟﺌﺖ ﺷﻴﺌﺎ ﻓﺮﻳّﺎ‬Maryam : 27). Dia mengira bahwa

kaumnya Sayidati Maryamlah yang datang untuk membawa serta Maryam bersama

mereka. Dia memngartikannya seperti ini, “Ketika kaum maryam mendatanginya

untuk membawanya pergi bersama mereka, mereka berkata, ….” Padahal makna

ayatnya adalah seperti ini, Maka maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan

menggendongnya. Kaumnya berkata, “Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah

melakukan sesuatu yang amat mungkar.”

Demikian juga ketika menerjemahkan ayat, ...‫( ﻭﻛﻨﺖ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺷﻬﻴﺪﺍ ﻣﺎ ﺩﻣﺎ ﻓﻴﻬﻢ‬Al-

Maidah : 117). Dia mengira bahwa dhamir ‫ ﻛﻨﺖ‬adalah mukhathab, karenanya

ah
diterjemahkan seperti ini, “Dan Kamu menjadi saksi atas (perbuatan) mereka selama

aku berada ditengah-tengah mereka…” Padahal dhamir-nya adalah dhamir

i
Sy
mutakallim, seharusnya diterjemahkan, “Dan selama aku berada ditengah-tengah

mereka, aku memantau dan menjadi saksi mereka…” Apalagi “memantu” di sini

bukan pantauan Tuhan, khususnya pada masa kehidupan Nabi Isa. Dalam
a

menerjemahkan ayat, (Al-Fajr : 25-26). Dia mengira bahwa dua fi’il ‫( ﻻﻳﻌﺬﺏ‬tidak ada Comment [aa10]: Mana teks Arabnya?
k

yang menyiksa) dan ‫( ﻭﻻﻳﻮﺛﻖ‬dan tiada yang mengikat) ialah mabni majhul, maka
a

dibaca dengan fathah “dzal” dan “tsa’”. Karenanya, dia menerjemahkannya seperti
st

ini, “Maka pada hari itu tidak ada seorangpun yang disiksa seperti siksaan orang kafir
u

dan tiada seorangpun yang diikat (dengan ikatan kehancuran) selain orang kafir.”
P

Padahal dua fi’il tersebut adalah fi’il ma’lum. Kasus seperi ini adalah salah satu dari

ketidaksempurnaan penjerjemahan secara individual.

- Ustad Muhammad Baqir Behbudi dengan kejeliannya dalam hal terjemahan

dan tafsir al-Quran juga tidak terhindar dari banyak kesalahan. Di antaranya ketika

menerjemahkan ayat, ... ‫( ﺣﺘﻰ ﻳﺘﺒﻴّﻦ ﻟﻜﻢ ﺍﻟﺨﻴﻂ ﺍﻻﺑﻴﺾ ﻣﻦ ﺍﻟﺨﻴﻂ ﺍﻻﺳﻮﺩ ﻣﻦ ﺍﻟﻔﺠﺮ‬Al-Baqarah :

187). Beliau mengartikan seperti ini, “Sampai ketika benang putih dapat dibedakan

301
dari benang hitam dikarenakan terangnya cahaya fajar.” Dia menyangka makna ‫ﺍﻟﺨﻴﻂ‬

adalah makna harfiahnya, yaitu “benang”. Padahal yang dimaksud dalam ayat itu

tidak demikian, melainkan tampak benang putih yang berada di atas ufuk, dari benang

hitam (kegelapan malam).

Kesalahan ini pernah dilakukan oleh salah seorang sahabat Nabi Muhammad

saw yang meletakkan dua potong benang hitam dan putih di bawah bantalnya dan

selalu memandanginya untuk bisa melihat waktu ketika bisa dibedakannya benang

putih dengan benang hitam. Pada hari itu juga dia pergi menemui Rasulullah saw dan

berkata, “Aku tak mampu membedakannya.” Rasulullah saw tersenyum dan berkata,

ah
“Kamu salah, maksudnya adalah putihnya fajar yang terpisah dari kegelapan

malam.” 427 P428F P

i
Demikian juga dengan ayat ‫( ﺫﻟﻚ ﻧﺘﻠﻮﻩ ﻋﻠﻴﻚ ﻣﻦ ﺍﻵﻳﺎﺕ ﻭﺍﻟﺬﻛﺮ ﺍﻟﺤﻜﻴﻢ‬Ali Imran : 58).
Sy
Beliau mengartikan seperti ini, “… dan suatu peringatan dari al-Quran yang ahli.”

“Al-Hakim” yang posisinya sebagai sifat al-Quran, dalam ayat ini, tidak benar
a

jika diterjemahkan dengan “ahli”. Seandainya ia menjadi sifat manusia, maka


k

terjemahan itu dapat dibenarkan. Al-Hakim dalam ayat ini berarti tegak atau yang
a

mencakup masalah-masalah yang penuh hikmah. Terjemahan ayatnya adalah seperti


st

ini, Semua yang Kami bacakan kepadamu itu adalah sebagian dari bukti-bukti
u

(kebenaranmu sebagai Rasul) dan sebuah peringatan yang penuh dengan hikmah.”
P

Beliau juga menerjemahkan ayat ‫( ﻓﻤﻦ ﻳﻌﻤﻞ ﻣﺜﻘﺎﻝ ﺫ ّﺭﺓ ﺧﻴﺮﺍ ﻳﺮﻩ‬Al-Zilzal : 7).

dengan “Barangsiapa yang melakukan (suatu perbuatan) seberat semut…” Padahal

yang dimaksud ialah atom-atom yang bertebaran yang dapat dilihat dari cahaya

matahari yang sepertinya tak memiliki beban.

427
Tafsir Thabarsi; jilid 1, hal. 281.

302
Ayat ‫( ﺳﺄﻝ ﺳﺎﺋﻞ ﺑﻌﺬﺍﺏ ﻭﺍﻗﻊ‬Al-Ma’arij : 1) beliau artikan seperti ini, “Benda cair

telah mengalir bersama dengan azab yang turun.” Diaz mengira bahwa bacaan ayat itu

... ‫ ﺳﺎﻝ ﺳﺎﺋﻞ‬yang berarti “benda cair yang mengalir”. Padahal bacaan ayat itu hanya

untuk mempermudah pembacaan “Hamzah”, ia tidak merubah materi dan kata

dasarnya. 428
P429F P

- Di dalam naskah terjemahan Abul Qasim Payandeh juga terdapat banyak

kesalahan. Sebagian dari kesalahan-kesalahan itu bisa dilihat dalam terjemahan ayat,

ّ ‫ﻲ‬
... ‫ﺇﻥ ﷲ ﺍﺻﻄﻔﻰ ﻟﻜﻢ ﺍﻟﺪﻳﻦ‬ ّ ‫ﺻﻰ ﺑﻬﺎ ﺍﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺑﻨﻴﻪ ﻭﻳﻌﻘﻮﺏ ﻳﺎ ﺑﻨ‬
ّ ‫( ﻭﻭ‬Al-Baqarah; 132). Disebutkan

seperti ini, “Dan Ibrahim berpesan kepada putra-putra dan Ya’qub tentang agama,

ah
‘Wahai putra-puterku, Allah telah memilih agama untuk kalian…” Si penerjemah

mengira bahwa “Ya’qub” di-athaf-kan ke “Banihi” (putera-puteranya). Padahal

i
Sy
Ya’qub itu di-athaf-kan ke “Ibrahim” dan dibaca rafa’. Terjemahan ayat itu dengan

menjaga urutannya ialah seperti ini, “Dan (dalam masa-masa terakhir umur) Ibrahim

dan Ya’qub berpesan tentang agama kepada putra-putranya, (dan masing-masing


a

berkata kepada putera-puteranya), ‘Wahai putra-putraku, Allah telah memilih agama


k

suci ini untuk kalian…”


a

Dia telah menerjemahkan ayat ... ‫( ﻭﺍﺧﺘﻼﻑ ﺍﻟﻠﻴﻞ ﻭﺍﻟﻨﻬﺎﺭ‬Al-Baqarah : 164) sebagai
st

perbedaan malam dan siang. Padahal maksudnya ialah datangnya siang berlalunya
u

malam yang berarti pergeseran. 429 Ia berasal dari kata dasar ‫( ﺧﻠﻒ‬belakang) bukan
P430F P
P

berasal dari kata dasar ‫ ﺧﻼﻑ‬yang berarti “perbedaan”.

Kami akan memenyuguhkan beberapa penerjemah bahasa Persi dengan

bermacam pernerjemahan yang telah dilakukan pada era kontemporer dalam bagan

berikut ini: 430 P P431F

428
Husain ustad Wali; Fashl Nameh-e Mutarjim; tahun ke 3, nomor 10, hal. 112-114, musim panas
1372.
429
Ibid; nomor 19, hal. 156-157.
430
Payam-e Quran; hal; 44, 45.

303
Urutan Penerjemah Bentuk terjemahan
1 Syah Waliullah Dehlawi Persi kuno tapi mendetail dan tekstual
2 I’timadul Salthanah Tekstual
3 Bashirul Mulk Muqayyad (tidak bebas), dibawah
pengawasan Mahdi Ilahi Qamsyei
4 Mahdi Ilahi Qamsyei Tafsiri dan termasuk terjemahan
kontemporer terlaris yang sebenarnya itu
adalah terjemahan Bashirul Mulk dengan
menambahkan poin-poin tafsiri.
5 Abul Qasim Payandeh Terjemahan ayat-ayatnya diperhatikan
dengan baik.
6 Muhammad Kazhim Ma’azzi Tekstual
7 Mahmud Yasiri Tafsiri
8 Abbas Mishbah Zadeh Terjemahan yang diambil dari terjemahan-
terjemahan zaman Qajar dan tafsir Abul
Futuh.
9 Ali Naqi Faidhul Islam Tafsiri dan kemungkinan kajian.

ah
10 Ridha Siraj Tafsiri dan kajian
11 Jamaludin Astar Abadi Tekstual dengan tambahan sedikit
penjelasan-penjelasan.
12 Husain Imad Zadeh Tafsiri
13 Hikmat Âli Agha
i
Tidak bebas dan diambil dari terjemahan
Sy
Ilahi Qamsyei dan tafsir Abul Futuh.
14 Zainal Abidin Rahnema Disertai dengan keterangan dan
kemungkinan terjemahan yang detail.
15 Asadullah Mushthafawi Tafsiri.
a

16 Daryusy Syahin Tidak bebas dan mendetail.


17 Abdul Muhammad Ayati Tidak bebas dengan sedikit keterangan.
k

18 Jalaludin Farsi Tidak bebas.


19 Muhammad Baqir Behbudi Semacam tafsiri.
a

20 Muhammad Khajuy Mengutip dari terjemahan-terjemahan kuno.


21 Abul Qasim Imami Penerjemahan dengan metode yang mudah.
st

22 Ahmad Kawianpur Diambil dari tafsir Abul Futuh dan Kasyful


Haqaiq
23 Jalaludin Mujtabawi Tidak bebas disertai dengan keterangan.
u

24 Kazhim Pur Jawadi Tidak bebas.


25 Darul Quran al-Karim
P

(Diterjemahkan oleh tim)


26 Nashir Makarim Syirazi Kesimpulan dari tafsir Nemuneh.
27 Baha’udin Khurram Syahi Menggunakan metode hasyiah dan memberi
komentar.
28 Mahdi Fuladwand Tidak bebas dan detail.

Terjemahan al-Quran dalam bahasa selain Persi

Dikarenakan kedudukannya yang tinggi, al-Quran telah menarik perhatian

bangsa-bangsa lain. Karena belajar bahasa Arab pada waktu itu tidaklah mudah, maka

304
para penerjemah mulai menerjemahkan kitab samawi ini. Sampai kini, al-Quran telah

diterjemahkan dengan sempurna lebih dari enam puluh lima bahasa dunia.431

Sebagian dari terjemahan ini mengalami puluhan bahkan ratusan kali cetak. Selain

dari naskah-naskah terjemahan berbahasa Jerman, Itali, Perancis, Turki, Urdu, Cina

dan bahasa-bahasa dunia lainya, hanya satu dari tiga ratus terjemahan al-Quran

berbahasa Inggris yang dilakukan oleh George Sail yang telah dicetak sampai lebih Comment [aa11]: Benarkah?

dari empat puluh kali.

Tentunya tidak bisa diyakini bahwa semua penerjemah ini memiliki niat yang

baik. Niat busuk sebagian dari mereka sangat jelas, karena sebagian dari mereka

ah
pernah bermusuhan dengan agama Islam dan kaum muslimin. Dengan niatan inilah

sebagian dari mereka menerjemahkan al-Quran. Karena tidak memiliki kemampuan

i
Sy
cukup sebagai penerjemah, maka seringkali hasil terjemahan mereka melenceng dan

salah. Hal ini terjadi karena tidak ada pengawasan. Perbuatan salah seperti ini, tingkat

bahanya tidak lebih sedikit dengan unsur sengaja merubah al-Quran. Bagaimanapun
a

juga dampak-dampak negatif kesalahan ini akan kembali kepada dasar dan akar Islam.
k

Hal seperti ini akan menyimpangkan Islam. Hal ini adalah malapetaka yang
a

musibahnya akan dituai semua dunia Islam.


st

Oleh karena itu orang-orang yang berwenang dalam masalah ini tidak boleh
u

tinggal diam. Mereka harus menyikapi perbuatan-perbuatan salah yang


P

membahayakan seperti ini. Karena, dibalik penerjemahan ini, terdapat

persekongkolan.

Sebagai contoh yang bisa disebutkan ialah terjemahan “Mithran; Ya’qub

putera seorang Nasrani”, salah seorang petinggi gereja yang menerjemahkan dengan Comment [aa12]: Benarkah?

431
Ishmet Binaraq; Kitab Syenasi-e Jahani-e Tarjumehha wa Tafsirha-e Capi-e Quran-e Majid;
terjemahan Muhammad Ashif Fikrat, Bunyad-e Pasyuhesyha-e Astan-e Qods; 1373, hal. 58.

305
bahasa Suryani, sudah pasti (al-Quran itu) diterjemahkan dengan niat tidak baik.

Terjemahan ini dicetak pada tahun 1925 M dan sudah diterbitkan.

Abu Abdillah Zanjani berpendapat bahwa mungkin penerjemahan berbahasa

Latin pertama (bahasa di Eropa) dilakukan pada tahun 1143 M oleh Kint, dibantu oleh

Petrus Thalithle dan seorang ilmuan Arab. Penerjemahan ini dilakukan untuk

diberikan kepada Dickluni. Tujuannya adalah membantah al-Quran. Pada tahun 1594

M, Henkilman menerbitkan terjemahan al-Quran dan selanjutnya pada tahun 1598 M Comment [aa13]: Benarkah nama2 ini?

diterbitkan terjemahan al-Quran cetakan Maraki yang di dalamnya menyertakan

penghinaan terhadap al-Quran. 432

ah
Dengan memperhatikan beberapa contoh tentang naskah-naskah terjemahan

al-Quran yang tak layak, maka tugas para ulama dan pakar di bidang ilmu-ilmu

i
Sy
keislaman semakin berat, terutama dalam bidang penerjemahan al-Quran secara

benar.

Untuk menambah pengetahun para pembaca, pada akhir bab ini kami akan
a

menunjukkan beberapa naskah terjemahan al-Quran:


k

Nomor Bahasa Jumlah Jumlah Para Catatan


a

terjemahan bagian dan penerjemah


st

lengkap. pilihan. dan jumlah


cetakan
u

1 Âsami Satu
P

terjmah
2 Afrikans 2 1
3 Albania 3
4 Jerman 65 naskah 24 Loudik
Oulman; 16
kali.
Maks

432
Tarikh al-Quran; hal 69.

306
Hening; 12
kali.
Rudy Part;
11 kali.
Shuager; 4
kali.
5 Urdu 300 naskah Rafiudin
Dehlawi; 30
kali.
Abdul kadir
Dehlawi; 22
kali.

ah
6 Armania 3 naskah 1 Abraham
Amir

i
Canjans; 2
Sy
kali.
7 Spanyol 31 naskah 4 Tak dikenal;
7 kali.
a

Khan
k

Warent; 4
kali.
a

Hernandes
st

Kata; 3 kali.
8 Spranto 2 naskah 2 Dengan
u

tulisan Latin .
P

9 Amhari 2 naskah 1 Berasal dari


kawasan
Afrika, di
tulis dengan
huruf khusus.
10 Indonesia 39 naskah 23 Ahmad
Hasan; 9
kali.

307
Mahmud
Yunus; 9
kali.
Muhammad
Hasbi
Shiddiqi;6
kali.
11 Inggris 295 naskah 131 Georg Sail; Kami
105 kali. memiliki
Radwel; 32 lebih dari 300
kali. macam
terjemahan

ah
dalam bahasa
Inggris tapi

i kami hanya
Sy
akan
menunjukkan
beberapa
a

terjemahan
k

yang terkenal
saja.
a

Piktsal; 24 Seorang
st

kali. muslim
Sunni.
u

Palmar; 15
P

kali.
Arbrai; 40 Seorang
kali. penerjemah
nasrani.
Yusuf Seorang
Abdullah; 50 muslim
kali. Sunni.
Syakir; 30 Seorang

308
kali. penulis Syiah.
12 Italia 20 naskah 4 Luigi
Lounli; 6
kali.
13 Braho 1 naskah 4
14 Birma 1 naskah
15 Bulgaria 1 naskah 1
16 Balujistan 1 naskah Terjemahan
Persi Dehlawi
telah
diterjemahkan
ke dalam

ah
bahasa
Balujistan.
17 Banggali 39 naskah 95

i
Girish
Sy
(Bangladesh) Candrasen; 7
kali.
18 Bugini 1 naskah
a

19 Portugal 8 naskah 3 Bento Tulisan Latin


k

Dokastro; 6
kali.
a

20 Pashto 14 naskah 23 Murad Ali; 4 Terjemahan


st

kali. Parsi Dehlawi


juga telah
u

diterjemahkan
P

ke dalam
bahasa
Pashto.
21 Punjabi 15 naskah 45 Muhammad
Habibullah;
6 kali.
22 Tamil 12 naskah 3 Abdul Tulisan
Hamid berbahasa

309
Naqawi; 5 Arab dan
kali. tulisan
khusus.
23 Thai 2 naskah
24 Turki 107 naskah 197 Muhammad Telah dicetak
Tafsiri dalam bahasa
Dabbagh Turki dengan
Zadeh; 11 berbagai
kali. aksen
Hasan Istanbuli,
Bashri juga dengan
Cantai; 10 berbagai

ah
kali. macam
Fikri tulisan Arab,

i
Yawarz; 7 Kuril dan
Sy
kali. Latin.
25 Talogar 4 naskah 7 Kaocilkuri
Narayana; 2
a

kali.
k

26 Jawa 1 naskah 4
27 Jurjani 4 naskah Alvin Ricard Berasal dari
a

Nikel; 2 kali. kawasan Asia


st

dengan
tulisan Latin.
u

28 Ceko 14 naskah 6 Tazo-Jusyid; Berasal dari


P

5 kali. kawasan
Afrika
dengan
tulisan Arab
dan Latin.
29 Cina 1 naskah
30 Husah 5 naskah 2 Abdul Salam
Shadiq

310
Madsen; 3
kali.
31 Denmark Dari kawasan
Afrika
dengan khat
Latin.
32 Doyula
33 Rusia 16 naskah 3 Nikolayef; 5
kali.
Simir Nuic
Sablokuf; 4
kali.

ah
34 Romania 1 naskah Yasonara-
Osamuikada;

i
2 kali.
Sy
35 Jepang 9 naskah Tusyihikawa
Yazutsu; 2
kali.
a

Konici
k

Sakamoto; 2
kali.
a

36 Sansekerta 2 naskah Dengan


st

tulisan
khusus.
u

37 Suryani 1
P

38 Sindi 24 naskah 25 Taj Mahmud


Amruti.
39 saw ahili 5 naskah 10 Abdullah
Shalih al-
Farisi; 12
kali.
40 Swedia 4 naskah 4 Karl
Wilhalm

311
Zitersten; 2
kali.
41 Sundani 1 naskah 5 Kawasan
pacific dan
ditulis
dengan khat
Arab.
42 Sinegal 2 Kawasan
pacific dan
tulisan khusus
43 Serbia dan 11 naskah 6 Muhammad
Kroasia Panca –

ah
Jamaludin
Caosyuic; 6

i
kali.
Sy
44 ‘Ibri 4 naskah 2 Juzef Juil
Reolin; 3
kali.
a

45 Parsi 107 naskah 65 Syah Sudah kita


k

Waliullah sebutkan di
Dehlawi; 34 depan secara
a

kali. khusus.
st

Mulla
Husain
u

Kasyifi; 19
P

kali.
46 Perancis 116 naskah 21 Kazimirski;
29 kali.
Andareh
Duriah; 22
kali.
saw ari; 21
kali.

312
47 Finlandia 3 naskah Jusi Aro –
Armas
Salonan –
Knot
Talkulist; 2
kali.
48 Kamboja 1 Dengan khat
khusus.
49 Karoul Di kawasan
Afrika
dengan khat
Latin.

ah
50 Kurdi 2 naskah 2 Dengan khat
khusus.
51 Korea 1 naskah

i
Sy
52 Kasymir 2 naskah
53 Kutukuli Dengan khat
Latin di
a

kawasan
k

Afrika.
54 Kanada 1 naskah
a

55 Gujarat 11 naskah 2 Ahmad


st

Baha’i –
Sulaiman
u

Jam’ani; 20
P

kali.
56 Latin 5 naskah 28 Robertus
Kotenslis –
Hermanus
Dalmata; 3
kali.
57 Luganda 1 naskah
58 Lituania 1 naskah 5

313
59 Makasar 2 Di kawasan
Pasific
dengan khat
khusus.
60 Malayalama 1 naskah 3 Di kawasan
Asia dengan
khat Arab dan
Latin.
61 Mali 14 naskah 37 Ahmad
Hasan; 6
kali.
62 Majari 2 naskah 2

ah
63 Marati 2 naskah 1
64 Maranao 1 Di kawasan

i Asia dengan
Sy
khat Arab dan
khat khusus.
65 Meimani Di kawasan
a

Asia dengan
k

khat Arab.
66 Norwegia 1 naskah 1
a

67 Belanda 26 naskah 1 Glazeh


st

Makr; 8 kali.
68 Hindi 6 naskah 3
u

69 Hanggaduy Di kawasan
P

Eropa dengan
khat Latin.
70 Yuruba 4 naskah M.S. Kul; 2 Di kawasan
kali. Afrika
dengan khat
Latin.
71 Yunani 8 naskah 1 Pentaki

314
Data ini diambil dari buku ilmu bibliografi terjemahan-terjemahan sampai

pada tahun 1980 M yang diambil dari kitab bibliografi dunia dari Yayasan Ihsan

Ughlu.

i ah
Sy
a
a k
st
u
P

315

Anda mungkin juga menyukai