Anda di halaman 1dari 64

MODUL

ULUMUL QUR'AN

Oleh :
Dr. H. Saifuddin Herlambang, MA

INSTITUT AGAMA ISLAM


NEGERI PONTIANAK

2018

1
KATA PENGANTAR
Kitab suci Alquran al-Karim merupakan wahyu Allah Subahanahu
wata‟ala sebagai mukjizat Nabi Muhammad Swt melalui perantaraan malaikat Jibrīl
'Alaihi Sallam secara mutawatir, dibukukan dalam mushaf, siapa yang membacanya
akan bernilai sebagai ibadah, dimulaikan dengan surah al-Fatihah dan diakhiri
dengan surah al-Nās. Alquran adalah mukjizat teragung Nabi Muhammad Saw yang
menjadi rujukan dan panduan umat Islam dalam menjalan syariat Islam, hal ini
berlaku bagi seluruh umat Islam.
Membaca Alquran adalah satu ibadah bagi setiap Muslim. Dalam beribadah,
wajib hukumnya bagi setiap Muslim untuk kembali kepada Alquran, hal ini dengan
membaca, memahami dan akhirnya mengamalkannya. Di samping harus merujuk
kepada hadis-hadis Nabi Saw sebagai panduannya. Untuk menggali nilai-nilai yang
terkandung di dalam Alquran harus melalui tahapan-tahapan keilmuan, salah satu yang
harus dikuasai dalam rangka menggali makna mendalam Alquran adalah ilmu ulumul
Quran.
Buku ini disiapkan bagi mahasiswa IAIN Pontianak atau setaraf dengannya
seperti STAIN dan UIN dalam mata kuliah Ulumul Quran, penulis menjadikan
materi ini sebagai bahan ajar dan modul untuk memudahkan mahasiswa dalam
mempelajari mata kuliah ini. Selain buat penulis selaku dosen yang mengampu mata
kuliah ini, modul ini juga diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam mencari
sumber materi dari bahan-bahan dasar yang ada dalam modul ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga modul ini bermanfaat untuk para pencari
ilmu terutama tentang ilmu ulumul Quran sebagai pintu gerbang memahami Alquran itu
sendiri. Buku ini penulis hadiahkan untuk yang tercinta kedua orang tua penulis,
anak istri dan keturunanku. Istimewa buat semua santri-santri dan mahasiswa-
mahasiswaku, semoga Allah Swt mengumpulkan kita di bawah naungan cahaya Alquran
di hari kiamat kelak, amin.

Jakarta, 1 Januari
2018 Penulis,

Dr. H. Saifuddin Herlambang, MA

2
SEJARAH ULUMUL QURAN
DAN PERKEMBANGANNYA

Pendahuluan
Sebagai sebuah cabang keilmuan, „Ulum al-Qur'an termasuk di antara cabang-
cabang keilmuan yang lebih belakangan hadir. Kemunculannya juga tidak bisa
dilepaskan dari perkembangan penulisan karya tafsir sepanjang Alquran. Sebagai sebuah
istilah yang tersusun atas dua kata, „ulum dan Alquran, dapat kita simpulkan bahwa ada
banyak ilmu yang akan dibicarakan dalam cabang kajian „Ulum al-Qur'an.
Ulum al-Qur'an : Ilmu-Ilmu Yang Mengkaji Alquran atau Ilmu Mandiri ?
Di berbagai literatur yang dinamai sebagai Ulum al-Qur'an, pembahasan apakah
Ulum al-Qur'an merupakan susunan dua kata (al-tarkib al-idhafi) yaitu al-„ulum dan al-
Qur'an yaitu ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Alquran. Ilmu ini adalah satu keilmuan
yang memiliki batasan keilmuan tersendiri, para ulama berbeda pendapat soal apa
sebenarnya definisi Ulum al-Qur'an, meski perbedaan keduanya tidak terlalu signifikan.
Jika menggunakan definisi yang terdahulu di atas, maka yang dimaksud dengan
Ulum al-Qur'an adalah ilmu apa saja yang dapat menjadi sarana untuk mempelajari
Alquran. Maka, ilmu yang dimaksud tidak hanya dibatasi pada ilmu-ilmu yang berkaitan
dengan Alquran sebagai teks agama - yang disebut sebagai ruang lingkup Ulum al-
Qur'an, seperti soal ilmu sabab al-nuzul, tartib al-nuzul (urutan turunnya Alquran
berupa pembahasan Makkiyah dan Madaniyah hingga nasikh dan mansukh), atau
sebagai teks berbahasa Arab seperti soal „Am dan Khass, Zhahir dan Ta‟wil, atau
Muhkamat dan Mutashaabihat - tetapi juga ilmu yang menjadi sarana untuk mencari
makna Alquran, misalnya soal penafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan soal ilmu
alam, maka ilmu alam menjadi bagian dari cakupan „Ulum al-Qur'an. Begitu juga
dengan ilmu-ilmu lain.
Dalam perkembangannya, belakangan muncul istilah al-Tafsir al-„Ilmi, sebuah
istilah yang digunakan untuk penafsiran Alquran yang menggunakan basis-basis ilmu
umum, seperti; Biologi, Fisika, Sosiologi, Geografi, dan sebagainya. Ini jika kita
menggunakan pemahaman kalau ulumul Quran sebagai al-Tarkib al-Idhafi, yaitu
pelekatan berbagai macam ilmu kepada Alquran.
Jika menggunakan pendapat yang kedua, maka Ulumul Quran adalah disiplin
mandiri yang memiliki cabang-cabang keilmuan tersendiri yang dianggap otoritatif
3
untuk mempelajari Alquran. Pendapat ini paling banyak dipegang oleh ulama klasik dan
yang merujuk kepada mereka. Dari pendapat inilah di dalam wilayah studi Islam dikenal
istilah Ulum al-Qur'an. Meski ada perdebatan siapa yang menuliskan ilmu ini pertama
kali secara sistematis, tapi Jalal al-Din al-Suyuthi dalam al-Itqan fi „ulum al-Qur'an dan
Burhanuddin al-Zarkasyi dalam al-Burhan fi „ulum al-Qur'an adalah yang menjadikan
istilah Ulumul Quran sebagai disiplin ilmu yang terpisah dan sistematis. Ilmu-ilmu yang
tercakup di dalamnya mulai dari asbab al-nuzul, tartib al-nuzul, „ilm al-naskh, muhkam dan
mutasyabihat, dan ilmu lain yang berhubungan langsung dengan Alquran.
Jika dilihat dari cakupan pembahasan keilmuan ulumul Quran ini, maka
keutamaan mempelajari ilmu ulumul Quran adalah sebagaimana keutamaan orang-
orang yang mempelajari Alquran dan mengajarkannya. Belajar ulumul Quran bagian
dari beribadah kepada Allah Swt, apalagi diajarkan dan diamalkan. Karena Alquran
merupakan su,ber utama syariat Islam, siapapun akan kembali ke Alquran untuk
mencari jawaban dalam persoalan-persoalan agama dan kehidupan. Meskipun tidak
dalam pengertian sempit, namun dalam pengertian luas, Alquran adalah sumber utama
ilmu pengetahuan. Oleh karenanya setiap orang Muslim seharusnya mempelajari ilmu
ulumul Quran ini untuk mengetahui secara lebih dekat tentang sumber hukum Islam.
Ulumul Quran di Masa Sahabat dan Tabi’in
Alquran sebagai wahyu telah selesai diturunkan menjelang Nabi Muhammad
Saw wafat. Setelah beliau wafat, saat itulah Alquran menjadi sebuah sumber utama
untuk memahami ajaran-ajaran Islam, dengan tetap didukung dari sabda Nabi Saw.
Alquran menempati posisi yang sangat vital karena selain ia merupakan wahyu yang
langsung diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw., ajaran-ajaran dasar dalam
islam termaktub didalamnya.
Berikut ini beberapa poin-poin penting sejarah perkembangan Alquran, sebagai
bagian dari perkembangan Ulum al-Qur'an.
Di masa Rasulullah Saw, para sahabat mempelajari Alquran langsung kepada
Nabi Saw. Mereka tidak hanya mendengar, atau menghafal saja, tapi sampai kepada
taraf memahami dan mengamalkan. Dalam sebuah riwayat, para sahabat tidak akan
berpindah kepada ayat lain sebelum mereka mengamalkannya. Para sahabat juga
berupaya keras untuk menghafal. Ibn Taymiyyah, mengutip riwayat Ibn ‗Umar yang
berupaya menghafal al-Baqarah selama 8 tahun. Dalam riwayat lain, pada masa itu
orang yang mampu menghafal al-Baqarah dan Ali ‗Imran adalah sesuatu yang luar biasa
di kalangan para sahabat.1
 Pada awalnya, Alquran tertulis dalam bentuk suhuf (lembaran-lembaran) yang
terpisah-pisah. Kemudian di masa Abu Bakar al-Shiddiq, ada usulan dari ‗Umar

1
Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi ‘Ushul al-Tafsir. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1971,
h. 36.

4
bin Khattab untuk membukukan Alquran melihat banyaknya para penghafal
yang gugur, dan dikhawatirkan menjadi hilangnya Alquran.Awalnya Abu Bakar
menolak, namun setelah berdialog panjang dengan ‗Umar, ia menerimanya dan
‗Umar berujar, “ni‟matu al-bid‟ah hadzihi” (bid‘ah yang paling benar adalah hal
ini !‖
 Ketika masa khalifah ‗Utsman bin ‗Affan, Alquran sudah dibukukan menjadi
satu buah mushaf. Para penghafal Alquran menyebar ke berbagai daerah
untuk mengajarkannya. Kemudian, muncul problem berikutnya, ketika
bermunculan keragaman cara melafalkan Alquran. Masing-masing meyakini
apa yang diucapkannya bersumber dari Nabi Saw. 2 akibat dialek lokal masing-
masing penduduk lokal. Maka, oleh ‗Utsman bin ‗Affan diambil keputusan
untuk menseragama Alquran dijadikan satu buah kitab, mulai saat itulah
salinan- salinannya disebarkan ke berbagai wilayah yang telah masuk ajaran
Islam.
Setelah Alquran dibukukan dan disebarkan ke berbagai daerah di sekitar
Mekkah dan Madinah, bersamaan dengan para sahabat yang datang kesana untuk
mengajarkan Islam, perkembangan ilmu keislaman pun terus berkembang. Pada abad
ke-2 H setelahnya, atau sekitar 200 tahun setelah Nabi wafat, muncul sejumlah
karya yang merupakan hasil ijtihad para ulama. Contohnya, di bidang hadis muncul
karya sepertiMuwatta‟ karya Malik bin Anas,Sahih al-Bukharikarya al-Bukhari,Sahih
Muslimkarya Muslim bin al-Hajjaj, atau Musnad karya Ahmad bin Hanbal.Di bidang
fikih dan usul fikih muncul karya seperti al-Umm dan al-Risalah, keduanya ditulis oleh
Imam al-Shafi‘i.
Karya-karya tersebut sebenarnya tidak terlepas dari upaya untuk memahami
Alquran, atau yang biasa kita kenal sebagai tafsir. Namun, pada masa itu juga
muncul sejumlah karya yang khusus membahas tentang makna-makna ayat Alquran.
Pembahasannya juga melibatkan riwayat-riwayat hadis dan makna kebahasaan yang
rujukannya (syawahid)-nya adalah syair-syair Jahiliyyah. Contoh tafsir dengan corak
seperti ini adalah tafsir karya Abu Ja‘far al-Thabari yang bernama Jami‟ al-Bayan fi Ta‟wil
Aayi Alquran, atau tafsir karya Muqatil Ibn Sulayman.
Kodifikasi Ulum al-Alquran sebagai Disiplin Ilmu Selain Tafsir
Secara faktual, sulit untuk mengatakan kalau di masa-masa awal Islam seperti di
masa Tabi‟in atau setelahnya sudah terdapat perkembangan „ulum al-Alquran
sebagai sebuah disiplin ilmu. Di masa ini yang muncul adalah buku-buku yang
membahas permasalahan partikular yang kini masuk kedalam bagian „ulum al-Qur'an.
Asbab al- Nuzul misalnya, sudah ditulis oleh ‗Ali Ibn al-Madini, salah satu guru Imam
al-Bukhari. Tentang al-Naskh, ditulis oleh Abu ‗Ubayd Qasim Ibn Salam dengan judul
al-Nasikh wa al-Mansukh.
2
Muhammad Muhammad Muhammad Salim Muhaysin, al-Fath al-Rabbani fi ‘Alaqat al-
Qira’at bi al-Rasm al-‘Utsmani. ( Riyadh: Jami’ah al-Imam Muhammad bin Su’ud al-Islamiyah,

5
1994); Fahd bin ‘Abdurrahman al-Rumi, Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an al-Karim. (Riyadh: Jami’ah
al- Imam Muhammad bin Su’ud al-Islamiyah, 2012), h. 90-92.

6
Pengklasifikasian diperkirakan pertama kali ditulis oleh al-Hufi (w. 330 H),
hanya saja tidak diketahui apa judul pastinya. Karya berikutnya baru muncul lebih dari
dua abad kemudian, berjudul Funun al-Afnan fi „Uyuun „ulum al-Qur'an karya Ibn al-Jauzi
(w. 537 H). Namun, diantara karya yang paling terkenal dan masih terus dirujuk
oleh siapapun yang ingin mempelajari Alquran atau „ulum al-Qur'an secara khusus
adalah al- Burhan fi „ulum al-Qur'an karya Burhanuddin al-Zarkasyi (w. 794 H) dan al-Itqan
fi „ulum al-Qur'an karya Jalalu al-Din al-Suyuti (w. 911 H).
Selain kedua buku yang dikatakan sebagai sumber primer di bidang ulum
Alquran ada lagi yang ditulis oleh ulama Abad ke-20 sampai saat ini. Beberapa diantara
adalah Manahil al-„Irfan fi „ulum al-Qur'an karya al-Zarqani, Mabaahits fi „ulum al-Qur'an
karya Syaikh Manna‘ al-Qatthan, al-Tibyan fi „ulum al-Qur'an karyaSyaikh ‗Ali al-
Shabuni, atau al-Qawa‟id al-Asasiyah fi „ulum al-Qur'an karya Sayyid Muhammad Ibn
‗Alawi al-Maliki.
Selain buku-buku berbahasa Arab, perlu saya sajikan beberapa buku bertema ini
namun disajikan dengan bahasa diluar bahasa Arab, dalam hal ini adalah bahasa Inggris
dan Indonesia. Karya-karya bahasa Inggris yang membahas topik-topik ‗ulum al-Qur'an
misalnya yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul The Qur‟an: An Introduction. Di
luar karya tersebut, sebenarnya ada banyak jurnal-jurnal ilmiah yang membahas topik-
topik yang lazim dikenal dalam Ulum Alquran dan ditulis oleh peneliti Barat, baik
muslim maupun non-muslim. Ada juga karya yang ditulis diluar dari pakem tema-tema
„ulum al- Qur'an, namun membahas tema yang berhubungan dengan Alquran.
Contohnya adalah The Story of Alquran: Its History and Place in Human Lifekarya Inggrid
Mattson. Karya ini penting diikutsertakan karena meski dinarasikan dalam model cerita,
namun yang paling menarik dari buku ini adalah seluruh bab disusun sesuai dengan
proses perkembangan Alquran. Dimulai dari masa turunnya, masa penulisan, masa
penyebaran, hingga bagaimana Alquran "dipahami" lalu ditafsirkan.
Berpindah ke Indonesia untuk menengok karya-karya di bidang Ulum al-Qur'an,
buku-buku karya Quraish Shihab masih menjadi primadona dan rujukan utama di
bidang studi Alquran. Memang beliau tidak menulis secara spesifik karya berjudul Ulum
al-Qur'an, namun karyanya yang berjudul ―Kaidah Tafsir‖ cukup memenuhi topik ini,
selain karya-karya lainnya seperti Tafsir al-Misbah yang paling monumental. Ada juga
buku karangan Prof. Dr. Hasbi Asshiddiqie yang berjudul „Sejarah dan Pengantar „Ulum al-
Qur'an dan Tafsir‟.

7
AL-QUR'AN DAN WAHYU
(PERBEDAAN ANTARA AL-QUR'AN DAN
HADIS)

Allah menyebutkan di beberapa ayat Alquran tentang posisinya sebagai wahyu.


Dalam arti, tidak ada di dalamnya yang merupakan bagian dari perkataan manusia.
Walaupun Allah Swt menyatakan bahwa Alquran adalah diwahyukan dan bukan dengan
ucapan Nabi Muhammad. Allah berfirman dalam surah al-Qalam 3-4,
(4 ) ‫وح ٌ ْوحى‬
ً ‫( إن هو إال‬3) ‫وما نٌ طق عن الهوى‬
“Tidaklah Dia (Muhammad) mengucapkannya dari hawa nafsunya. Yang ia ucapkan
adalah wahyu yang diturunkan (Allah) kepadanya (al-Qalam: 3-4).
Dalam ayat lain, Allah Swt. berfirman dalam surah al-An‘am: 92,,

‫ُ مَبَا ٌرك‬
‫َ وَه َذا ٌ ب‬
ِ
ُ‫زْلَناه‬.َ‫كَتا َأْن‬
― Dan ini adalah kitab (Alquran), kami telah turunkan dengan penuh
keberkahan)
Alquran banyak menyebutkan kata-kata nazzalna dan anzalnaa sebagai kata
yang menunjukkan turunnya Alquran sebagai wahyu dari Allah Swt. Ini menunjukkan
kalau Alquran jelas merupakan wahyu dari Allah Swt., dan bukan perkataan yang
muncul dari inisiatif pribadi Nabi Muhammad Saw.Karena Nabi Saw. pun sama sekali
tidak memiliki kemampuan untuk mengucapkan Alquran kecuali dengan izinnya, maka
siapapun yang mengatakan dapat membuatnya, maka ia telah berdusta.
Pengertian Wahyu
Secara kebahasaan, wahyu terambil dari kata berbahasa arab yaitu ‫و‬-‫ح‬-‫ي‬.
Menurut Ibn Faris, pada awalnya berarti segala pengetahuan yang disampaikan dengan
cara tersembunyi. 3 Senada dengan Ibn Faris, Nasr Hamid Abu Zayd mengatakan
8
kalauwahyu (arab: ‫ )الوًح‬didefinisikan sebagai “pemberitahuan yang disampaikan secara

3
Ibn Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), j. 6 h. 93.

9
tersembunyi (wa Ashlu al-Wahy fi al-Lughati Kulluha I‟lamun fi Khafa‟in). Para pakar bahasa
menggolongkan wahyu sebagai salah satu metode berkomunikasi, karena itu wahyu
sejajar dengan al-ilham (ilham), al-isyarah (isyarat), al-Iima‟ (tanda-tanda), al-
Kitabah (penulisan), dan al-Kalam (pernyataan).4
Sementara, secara istilah wahyu adalah apa yang disampaikan oleh Allah Swt.
kepada para Nabi-Nabi-Nya, termasuk Nabi Muhammad Saw, baik secara langsung
maupun lewat perantara malaikat Jibril ‗As. Ini berbeda dengan hadis yang baik
teks maupun maknanya bersumber langsung dari Nabi Muhammad Saw.
Nasr Hamid Abu Zayd berpendapat kalau wahyu sudah ada sebelum
diutuskannya Nabi Muhammad Saw dan memahami kalau wahyu adalah pemberitahuan
yang tersembunyi, maka setelah selesai turunnya Alquran sebenarnya manusia bisa
menerima pemberitahuan yang tersembunyi itu dari alam lain. Abu Zayd mengutip Ibn
Khaldun yang mengatakan bahwa yang dilarang Alquran itu sebenarnya klaim bahwa
hanya berita dari jin kepada para penyihir saja yang benar, sementara Alquran tidak.
Alquran justru datang untuk menolak ―wahyu‖ yang berasal dari jin itu.5 Yang terakhir
ini biasa disebut sihir. Menolak sihir tidak ada lagi setelah adanya Alquran adalah
pernyataan yang tidak berdasar menurut Ibn Khaldun.6
Sabda Nabi adalah Bagian dari Wahyu
Mengutip Fahd al-Rumi, ia menyebutkan beberapa contoh bagaimana
Rasulullah Saw. menerima wahyu. Contoh-contoh tersebut adalah, 1) pernyataan
dengan isyarat, 2( suara yang muncul tanpa ada sumbernya, 3) isyarat dengan anggota
fisik, dan 4) penulisan.7
Apa yang diwahyukan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw disebut sebagai
Alquran. Sementara yang diwahyukan kepada Nabi-Nabi yang lain tidak disebut
Alquran, seperti Taurat kepada Nabi Musa As. atau Injil kepada Nabi Isa As. Selain
Alquran, ada juga yang menjadi bagian dari wahyu yaitu hadis Qudsi. Hadis Qudsi
adalah pernyataan yang disampaikan Rasulullah Saw. Namun menggunakan pernyataan
Allah Berfirman, meriwayatkan dari Allah Swt., dan yang serupa. 8Manna‘ al-Qatthan
menambahkan hadis yang digolongkan sebagai wahyu, yang disebut tawqifi. Menurut al-
Qatthan hadis yang bersifat tawqifi adalah hadis yang isinya bersumber dari Alquran.9

4
Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash: Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an (Kairo: al-Markaz
al-Tsaqafi al-‘Arabi li al-Thiba’ah wa al-Nashr wa al-Tawzi’, 1994), h. 31.
5
Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, h. 101 seperti yang dikutip dalam: Nasr Hamid
Abu Zayd, Mafhum al-Nash: Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an, h. 39
6
Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash: Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an, h. 39.
7
Fahd bin ‘Abdurrahman al-Rumi, Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an al-Karim.
8
Manna’ al-Qattan, Mabaahits fi ‘Ulum al-Qur’an, h. 25.
9
Manna’ al-Qattan, Mabaahits fi ‘Ulum al-Qur’an, h. 27.

10
Manna‘ al-Qattan dalam karyanya Mabahits fi „ulum al-Qur'an memetakan antara
Alquran dengan hadis qudsi, dan hadis Nabi. Pemetaan Manna‘ al-Qattan dapat
digambarkan sebagai berikut,10

Alquran Hadis Qudsi Hadis Nabi


Alquran adalah wahyu dari Hadis Qudsi berasal dari Hadis Nabi ada yang
Allah kepada Rasulullah Allah Swt. Maknanya saja, tawqifi (maknanya berasal
Saw., dan orang Arab tidak dengan teksnya. dari wahyu) dan ada yang
tidak seorangpun mampu tawfiqi ijtihadi (maknanya
bertutur seperti Alquran berasal dari ijtihad Nabi
karena ia memiliki terhadap ayat atau sebuah
mukjizat permasalahan dari Alquran
Alquran mutlak Alquran dinisbahkan Hadis seluruhnya
dinisbahkan kepada Allah kepada Allah Swt. secara bersumber dari Rasulullah
Swt., teks maupun makna maknawi dan sifatnya Saw., meskipun secara
bersifat ikhbar konten tetap bersumber
(pemberitahuan dari Nabi) dari Allah Swt.
tentang wahyu itu, lewat
bahasa Nabi Saw.
Alquran seluruhnya Hadis Qudsi ada yang Hadis Nabi Saw. biasa, ada
mutawatir, dan jelas riwayatnya Ahad yang mutawatir dan ada
keotentitakannya (qat‟iyyu yang Ahad.
al-tsubut)
Bernilai ibadah Tidak bernilai ibadah Tidak bernilai ibadah
membacanya (karena itu (secara langsung) (secara langsung)
bisa dibaca dalam shalat)

Dari penjelasan Syaikh Manna al-Qatthan, kita dapat menyimpulkan bahwa


hadis Nabi Saw. tidak seluruhnya dapat disebut sebagai wahyu. Ia membedakan antara
hadis Qudsi, hadis yang maknanya tawqifi (berasal dari Allah Swt., tapi tidak diucapkan
dengan ungkapan Allah berfirman), dan hadis yang maknanya tawfiqi (ijtihad Nabi
Saw.).

10
Disarikan dari: Manna’ al-Qattan, Mabaahits fi ‘Ulum al-Qur’an (t.k.: Dar al-Rasyid li
al-Thiba’ah wa al-Nashr al-Tawzi’, t.t.), 26-27
11
SEJARAH TURUNNYA AL-QUR'AN

Pendahuluan
Menurut Fahd al-Rumi, dalam Alquran setidaknya dapat dikelompokkan
menjadi dua kelompok ayat dimana kelompok pertama mengatakan bahwa Alquran
diturunkan secara langsung satu kitab, dan kelompok kedua mengatakan bahwa
Alquran diturunkan dengan cara terpisah-pisah (mufarraqan). Untuk memperjelas, kedua
kelompok ayat tersebut akan disajikan dalam tabel berikut,

Turun Secara Langsung Turun Secara Bertahap


-1)‫َ وُق▪ْ رآًنا فَ▪َ رْق▪َناُه لَِت▪ْ قَ رَأُه َعَلى الَّنا ِس َعَلى ُم ْك ِإَّنا َأنْ▪َ زْلَناُه ِِف َْلي▪َلِ ة اْلَ ق ْد ِر (القدر‬
“Sesungguhnya kami telah turunkan kepadamu
di malam laylatu al-qadar” ‫ٍث‬
106) :‫َ ون▪َ ّزْلَناُه َت▪ْن ِزًي ًل (اإلسراء‬
“Dan Alquran telah kami pisahkan
(penurunannya) agar engkau (Muhammad)
mengajarkannya kepada manusia dengan
perlahan, dan kami telah menurunkannya
sebagai sebuah wahyu.”

‫َ وَلق ْد آَت▪ْي▪َنا ُمو َسى اْل ِكَتا َب َو ََج ْع لَنا َمَ عُو َأ ِإَّنا َأنْ▪َ زْلَناُه ِِف َْلي▪َلٍ ة ُمَبَا َركٍ ة ِإَّنا ُكَّنا ُمْن ِذ ِري‬
‫َن‬ ‫َخاُه‬
3) – ‫(الدخان‬ 35) :‫َ ىا ُرو َن َوِزًي را (الفرقان‬
“Sesungguhnya kami telah turunkan Alquran “Dan kami telah berikan kepada Musa sebuah
kepadamu di malam yang diberkahi. kitab dan kami telah menjadikan bersama
Sesungguhnya kami adalah pemberi peringatan. Musa saudaranya, Harun sebagai wakilnya.”
(al-Dukhan: 3)
‫َ ش ْهُ ر ََرم َضا َن الَّ ِذي ُأ ِْن َز ل فيِ و اْلُ قْ رآ ُن ُى‬
‫ً دى‬
... ‫▪ِّيَنا ٍت ِم َن ا ْاَُدى َواْلُ ْف رقَا ِن‬iَ ‫لِلَّنا ِس َو‬
‫(البقرة‬
)185 –
“Pada bulan ramadhan, diturunkan Alquran
(pada bulan) itu sebagai petunjuk bagi

12
manusia, dan bukti dari petunjuk (kebenaran)
dan pembeda (antara yang hak dan yang
batil) ... (al-Baqarah: 185)

13
Sebenarnya, masih ada dua teori lagi yang berbicara tentang sejarah turunnya
Alquran. Al-Zarqani berpendapat ada empat teori turunnya Alquran, meski ia
berpendapat kalau pendapat yang pertama adalah pendapat yang paling sahih. Menurut
al-Suyuthi, hanya tiga pendapat saja tentang teori Alquran.
Pandangan kelompok pertama, mengatakan kalau pada awalnya Alquran
diturunkan oleh Allah Swt. secara langsung di Bayt al-„Izzah, kemudian malaikat Jibril
menurunkannya secara berangsur-angsur kepada umat manusia sesuai dengan
kebutuhan dan kodrat mereka selama lebih dari dua puluh tahun.
Pandangan kedua, mengatakan kalau Alquran diturunkan setiap tahun di malam
laylatu al-qadr sebanyak 20 malam di 20 tahun sejak Rasulullah Saw diangkat menjadi
Nabi. Ada juga yang berpendapat 23 malam atau 25 malam sesuai dengan perbedaan
pendapat tahun berapa Nabi wafat. Di setiap malam tersebut diturunkan ayat sesuai
dengan takdir Allah. Baru kemudian diturunkan kepada Nabi Saw. di sepanjang
tahun sejak diangkat menjadi Nabi hingga beliau wafat.
Pendapat ketiga yang mengatakan kalau Alquran diturunkan seluruhnya pada
satu malam di laylatu al-qadar, kemudian Alquran diturunkan secara berangsur-angsur
di waktu-waktu yang berbeda selama masa Nabi Saw hidup. Ulama yang menggunakan
pendapat ini nampaknya ingin menolak pendapat tentang turunnya Alquran ke Bayt al-
„Izzah. Sebagian ulama mengkritik pendapat ini, diantaranya adalah Fakhru al-Din al-
Razi. Namun al-Razi tidak mentarjih berbagai pendapat tentang cara turunnya Alquran,
bahkan ia mengatakan wajib untuk tidak mentarjih satu pendapat karena sifatnya
yang masuk ke dalam ranah ghaybiyyat. Pendapat yang sama dipilih oleh Muqatil bin
Hayyan dan Ibn Jurayj.11
Pendapat keempat mengatakan bahwa Alquran pertamanya diturunkan di Lauh
al-Mahfuzh seluruhnya, kemudian para malaikat penjaganya menurunkannya berangsur-
angsur kepada Jibril selama dua puluh malam. Kemudian, Jibril menurunkannya secara
berangsur-angsur pula selama dua puluh tahun. Menurut Fahd al-Rumi, yang
berpendapat seperti ini diantaranya adalah al-Mawardi dalam karya tafsirnya al-Nukat
wa al-„Uyun.12
Menurut al-Zarqani, hanya pendapat pertama yang kuat dan sisanya terkalahkan
dengan dalil-dalil yang dijadikan argumen untuk pendapat yang pertama.13
Pendapat yang Kuat dalam Persoalan Ini
Al-Zarqani dan Fahd al-Rumi memilih pendapat yang sama dengan
menghadirkan sejumlah dalil untuk mendukungnya. Dalil-dalil tersebut secara
keseluruhan bersumber dari Ibn ‗Abbas meski periwayatnya dibawahnya berbeda-beda,

11
Fahd al-Rumi, Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an, h. 214.
12
Fahd al-Rumi, Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an, h. 215.
13
Al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, h. 40-42.

14
yang pada intinya mengatakan bahwa yang turun di malam laylatu al-qadar (dalam ayat
lain disebut al-laylah al-mubarakah) Alquran diturunkan seluruhnya ke Bayt al-„Izzah,
kemudian dengan perintah Allah Swt. Jibril menurunkannya secara berangsur-angsur
kepada Nabi Muhammad Saw. Berikut hadis-hadis yang dijadikan dalil, seperti yang
dikutip al-Zarqani dalam Manahil al-„Irfan.

Hadis Pertama
Al-Hakim meriwayatkan dari Sa‘id bin Jubair, dari Ibn ‗Abbas, ia berkata:
―Alquran diturunkan oleh Allah Swt. kemudian diletakkan diBayt al-„Izzah di langit dunia.
Dari Bayt al-„Izzah, Jibril menurunkannya kepada Nabi Saw.
Hadis Kedua
Al-Nasai, al-Hakim, dan al-Bayhaqi dari jalur Dawud bin Abi Hindi, dari
‗Ikrimah, dari Ibn ‗Abbas, ia berkata: ―Alquran diturunkan sekaligus ke langit
dunia pada malam laylatul qadar:

        


 

"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al- Quran) pada malam kemuliaan".14


Kemudian setelah diturunkan selama dua puluh tahun (kepada Nabi
Muhammad Saw)‖, kemudian Ibn ‗Abbas mengucapkan ayat Alquran:

14
Malam kemuliaan dikenal dalam bahasa Indonesia dengan malam Lailatul Qadr Yaitu suatu
malam yang penuh kemuliaan, kebesaran, karena pada malam itu permulaan turunnya Alquran.

15
                
     
 

“dan Alquran kami pisah-pisahkan (penurunan)-nya agar kamu bisa mengajarkan cara
membacanya kepada orang-orang dengan perlahan, dan kami telah turunkan Alquran itu sebagai
wahyu” (al-Isra‘ (17): 106:
Hadis Ketiga
Al-Hakim, al-Bayhaqi dan selain keduanya meriwayatkan dari jalur Manshur,
dari Sa‘id bin Jubayr, dari Ibn ‗Abbas, beliau berkata: ―Alquran diturunkan sekaligus ke
langit dunia, dan tempatnya berada di tempat-tempat bintang. Dan (kemudian) Allah
menurunkannya kepada Rasul-Nya sebagian kemudian sebagian.‖

ASBAB AL-NUZUL

Pengertian
Secara bahasa, Asbab (arab: ‫ )أس*باب‬adalah kata dalam bahasa Arab yang
berbentuk jamak (plural). Bentuk tunggalnya adalah sabab(arab: ‫)سبب‬. Sehingga Asbab al-
Nuzul dapat diartikan sebagai sebab-sebab turunnya Alquran. Dari pengertian ini, dapat
dipahami bahwa ayat-ayat Alquran turun dikarenakan ada sebab, peristiwa, atau
pertanyaan tertentu dari para sahabat kepada Nabi Saw. Lalu untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut, Allah menurunkan kepada Nabi Muhammad Saw ayat
untuk menjawab permasalahan mereka.
Meskipun begitu, sebuah ayat tidak hanya untuk tujuan (sabab) menjawab
pertanyaan. Mengutip riwayat al-Ja‘bari, Imam al-Suyuti dalam al-Itqan fi „ulum al-Qur'an
mengatakan kalau bahwa Alquran terbagi menjadi dua macam, pertama ayat-ayat yang
turun tanpa ada asbab al-nuzul, kedua, ayat yang turun karena ada peristiwa tertentu atau
menjawab pertanyaan dari sahabat Nabi Saw.15
Mengutip Ibn ‗Ashur, asbab al-Nuzul adalah ihwal yang menyebabkan ayat-ayat
Alquran diturunkan oleh Allah untuk menjelaskan ihwal tersebut, menjawab masalah di
dalamnya, atau membantah dan mengingkari apa yang terjadi saat itu.16

16
15
Jalalu al-Din al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an. al-Amanah al-‘Aamah li al-Shu’un
al-‘Ilmiyyah Majma’ al-Malik Fahd li Thiba’ah al-Mushhaf al-Sharif, h. 190.
16
Thahir ibn ‘Ashur, al-Tahrir wa al-Tanwir, j. 1 h. 46.

17
Kesimpulan penting yang perlu ditekankan dari Asbabun Nuzul adalah – seperti
yang dipaparkan oleh al-Zarqani – memang turun kepada Nabi Muhammad Saw. secara
bertahap, selama lebih kurang 23 tahun. Tapi sebenarnya, Allah muliakan Alquran
dengan diturunkan dalam tiga tahapan besar, pertama dari Allah Swt. kepada Lauh al-
Mahfuzh, dimana seluruh yang sudah dan akan terjadi pada ciptaan-Nya sudah
ditakdirkan. Kemudian, dari Lauh al-Mahfuzh diturunkan ke Bayt al-„Izzah secara
menyeluruh juga. Dan terakhir, dari Bayt al-„Izzah Allah memerintahkan Jibril As.
untuk menurunkan ayat-ayat Alquran kepada Nabi Muhammad Saw. secara bertahap
sejak ia menjadi Nabi Saw. dan menjelang wafat.17
Faidah Mengetahui Asbabun Nuzul
Ibn Taymiyyah mengtakan bahwa Asbabun Nuzul dapat membantu seseorang
memahami apa maksud dari sebuah ayat. Al-Suyuthi membuat pembahasan khusus
dalam al-Itqan soal apa saja faidah memahami „ulum al-Qur'an, diantaranya adalah:
 Mengetahui apa hikmah dari disyariatkannya sebuah hukum dari ayat tersebut,
lewat latar belakang turunnya sebuah ayat.
 Sebelum mengetahui sebab turunnya ayat, ayat itu boleh jadi dipahami sebagai
ayat yang maknanya umum. Lalu, ada dalil yang menjelaskan sebab turunnya
ayat tersebut sehingga ayat itu menjadi mukhassash (memiliki makna khusus).
Menurut satu pendapat, ada ijma‟ diantara para ulama bahwa kedudukan sababun
nuzul itu menjadi qat‟i dan memaknainya sendiri atau berijtihad diluar sebab
turunnya ayat tersebut itu terlarang.
 Mengetahui makna dan menghilangkan kesulitan memahami. Al-Wahidi
mengatakan: “tidak mungkin mengetahui penafsiran sebuah ayat tanpa mengeahui kisah
dan penjelasan tentang turunnya ayat tersebut.”
 Menghilangkan kebingungan soal pembatasan dari ayat.
 Menjadi penjelasan tentang siapa yang dimaksud dalam sebuah ayat. Contohnya
adalah ayat yang mengatakan: walladaziina qaala li waalidayhi uffi lakuma, oleh
Marwan bin Hakam dikatakan ayat ini ditrunkan untuk Abdurrahman bin
Abi Bakr. Kemudian, ‗Aisyah menjelaskan kekeliruan Marwan dan menjelaskan
maksud sesungguhnya dari ayat.18
Apakah ada Sabab al-Nuzul di semua Ayat Alquran ?
Al-Zarqani, dalam karyanya Manahil al-„Irfan fi „ulum al-Qur'an menyatakan kalau
tidak semua ayat dalam Alquran terdapat sebab turunnya. Ia mengklasifikasikan ayat-
ayat Alquran menjadi dua bagian, pertama ayat-ayat yang murni turun sebagai hidayah
bagi manusia dari Allah, kedua ayat-ayat yang turun dikarenakan sabab al-nuzul tertentu.
Masih menurut al-Zarqani, ia menegaskan kalau gagasan yang menyatakan bahwa setiap

17
Al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, h. 39-43.
18
Thahir ibn ‘Ash

18
ayat Alquran terdapat penyebab turunnya ayat tersebut adalah gagasan yang keliru.1Ibn
‗Ashur memiliki pendapat yang senada dengan al-Zarqani. Ia bahkan menegaskan
bahwa diturunkan Alquran bukan diperuntukkan untuk tujuan-tujuan tertentu. Ini
dikarenakan Alquran berfungsi sebagai hidayah sepanjang zaman, sementara sebab-
sebab turunnya ayat hanya terkhusus pada waktu tertentu saja.19
Nashr Hamid Abu Zayd, dalam karyanya Mafhum al-Nash, menolak pendapat
yang mengatakan kalau tidak selalu ayat Alquran turun beserta dengan asbab al-nuzul. Ia
berpendapat bahwa Alquran sejatinya memang diturunkan bersama dengan realita sosial
pada masa itu. Menurutnya, kalau para ulama tetap menyepakati bahwa ada ayat yang
tidak membutuhkan sabab al-nuzulsemestinya gagasan tentang naskh wa al-mansukh itu
juga batal. Karena semestinya jika Alquran diturunkan sekaligus dari Allah keLauh al-
Mahfuzh, harusnya tidak perlu ada naskh karena Allah Maha Mengetahui apa yang
terjadi di alam semesta ini. 20 Lebih lanjut, Abu Zayd menyarankan menggunakan
dua pertimbangan secara bersamaan dalam memahami ayat-ayat Alquran, karena lewat
asbab al-nuzul, makna umum berupa maqashid dari ayat tersebut dapat tercapai. 21
Al- Zamakhsyari, penulis tafsir al-Kassyaf berpendapat dalam menafsirkan surah al-
Humazah mengatakan bahwa sebab turunnya ayat memang khusus, tapi kandungannya
berupa ancaman bagi yang menyimpang, maknanya adalah umum. Jadi, siapapun yang
berperilaku seperti dalam ayat tersebut, maka ia terkena ancamannya pula.22
Kitab-Kitab Yang berisi Asbab al-Nuzul
Secara umum, jika sebuah kitab tafsir Alquran menggunakan model penafsiran
bi al-ma‟tsur, maka dapat dipastikan akan terdapat riwayat-riwayat yang membahas
tentang asbab al-Nuzul. Contohnya adalah tafsir Jami‟ al-Bayan fi Ta‟wil Ayi Alquran atau
yang lebih dkenal dengan Tafsir al-Thabari, sesuai dengan nama penulisnya Ibn Jarir al-
Thabari (w. 310 H). Ada juga tafsir yang menggunakan model penafsiran bi al-ra‟yi,
namun tetap mnggunakan dukungan asbab al-nuzul seperti Mafatih al-Ghayb yang
ditulis oleh Fakhru al-Din al-Razi (w. 606 H). Selain kedua kitab tersebut, ada juga
kitab-kitab yang khusus mencantumkan riwayat asbab al-nuzul Alquran. Di antaranya
adalah:
1. Asbab al-Nuzul karya al-Wahidi (w. 468 H)
2. Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul karya Jalalu al-Din al-Suyuthi (w. 911 H).
Contoh-Contoh Asbab al-Nuzul
Pertama, sebab turunnya ayat yaa ayyuha alladziina aamanudalam surah al-Baqarah.
Menurut seorang tabi‘in bernama „Alqamah Ra. Riwayatnya adalah sebagai berikut,

19
Thahir Ibn ‘Ashur, al-Tahrir wa al-Tanwir, j. 1 h. 46.
20
Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash: Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an (Kairo: al-Hay’ah
al-Mishriyyah al-‘Aamah li al-Kitab, 1990), h. 115.
21
Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash: Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an, h. 117.
22
Al-Suyuthi, al-Itqan fi’ Ulum al-Qur’an, h. 197.
19
‫يعين‬.][‫ فهو مدين‬،‫ ويا أَُّي▪ َها الذين آمنوا‬،‫ فهو مكي‬،‫ُ ك َ ش ْيٍ ء َنَ▪ َز ل ِفيِ و َيا أيها الناس‬
‫أن َيا‬ ‫ُّل‬
‫ ويا أيها الذين آمنوا خطاب أَ ْى ِل‬،‫َ أُّي▪ َها الناس ِخ َطا ُب أىل مكة‬
.‫املدينة‬
“Setiap ayat yang turun di dalamnya terdapat redaksi „yaa ayyuha al-naasu, maka ayat tersebut
adalah ayat makiyyah. Dan ayat yang redaksinya yaa ayyuha alladzina aamanu, maka ayat tersebut
adalah ayat madaniyah (ayat yang diturunkan di madinah).23

Kedua,adalah surah al-Thalaq: 4. Allah


berfirman,
‫َ والَ ًّلِاي يَ ِ ْ ِ م َن اْل‬
,ْ ‫ إِ ِن ا ْرتَْ▪ بُت‬,ْ ‫ِ ي ِم ْن ِن َ~اِا ُك‬
‫~ َ ِ ي‬
... ‫ُة َأ ْش ُه ٍر‬iَ ‫ل‬iًَ ‫فَِ ع َّدُت▪ ُه َّن‬
‫َن‬
Menurut al-Suyuthi, sebagian ulama sulit memahami maksud ayat ini hingga diantara
mereka dari mazhab Zhahiriyah mengatakan bahwa orang yang tidak lagi keluar darah
haid-nya (aayisah/menopause) tidak ada „iddah-nya lagi jika tidak ragu. Rupanya, ada
riwayat al-Hakim dari Ubay bin Ka‘ab bahwa ayat tersebut diturunkan bagi perempuan
yangg tidak mengetahui kebiasaan keluarnya darah haid-nya. 24 Sehingga, diketahuilah
lewat sabab al-nuzul bahwa ayat tersebut dturunkan untuk mereka yang ragu apakah
mereka memiliki „iddah atau tidak ? kemudian apakah „iddah mereka sama yang
disebut dalam surah al-Baqarah. Maka makna kata ْ‫ بتُ م ْرتَ ا ِن إ‬adalah ―jika sulit
bagi kalian
diketahui apa hukumnya atau kalian tidak tahu bagaimana sebenarnya „iddah mereka.25

20
23
Al-Wahidi, Asbab Nuzul al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1411 H), h. 26.
24
Al-Suyuthi, al-Itqan fi’ Ulum al-Qur’an, h. 193; Ibn Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-
Qur’an al-‘Adhim (t.t.: Dar Thayyibah li al-Nashr wa al-Tawzi’, 1999) j. 8 h. 149.
25
Al-Suyuthi, al-Itqan fi’ Ulum al-Qur’an, h. 193.

21
KODIFIKASI DAN PENYUSUNAN
SURAT- SURAT AL-QUR'AN

Menurut Manna‘ al-Qatthan dalam bukunya Mabahits fi „ulum al-Qur'an, kata


kodifikasi (al-jam‟u) memiliki dua makna yang berkembang. Makna pertama dari al-jam‟u
adalah al-hifzh (dalam bahasa Indonesia: menghafal). Ini berdasarkan surah al-Qiyamah
ayat 16-19:

‫ َِفإ َذا قَ▪َ رْأَناُه َفاَّتِب‬17) ‫وقُ▪ رآن‬ ِ ِ


َ ْ َ َ ‫و ( ) َ عل‬iِ ‫و ل َ ك لَت▪ ْع َج َل‬iِ ‫َ َل َُّتِْر ك‬
‫ْع‬ ( ُ‫و‬ ‫جع‬َْ ‫ إِ َّن ي▪َنا‬16 ‫َ~اَن‬
‫ُو‬
(19 ) ُ‫▪َياَنو‬iَ ‫( ُُثَّ إِ َّن َ عَلْي▪َنا‬18) ُ‫قُ▪ رآَنو‬
ْ
"Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al-Qur'an karena hendak cepat-
cepat (menguasai)nya. (16)26 Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu)
dan (membuatmu pandai) membacanya (17). Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka
ikutilah bacaannya itu (18). Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya
(19)."

Menurut riwayat Ibn ‗Abbas, kata jam‟ dalam ayat tersebut menunjukkan arti al-
Hifzh. Sabab al-Nuzul ayat tersebut adalah Nabi Saw. ketika diturunkan sebuah ayat, ia
segera melafalkan apa yang didengarnya karena khawatir akan terlupakan yang
dibacakannya. Allah Swt. kemudian mengingatkan beliau dengan firman-Nya “laa
tuharrik bih lisaanaka li ta‟jala bih”(jangan kau gerak-gerakan lisanmu agar engkau cepat
melafalkan (Alquran) itu). Karena sesungguhnya Allah yang membuat Alquran itu
terjaga di dalam hati Nabi Muhammad Saw.
Makna kedua al-jam‟u adalah tulisan itu sendiri al-Kitabah. Karena itu, al-
Jam‟ubisa berupa potongan ayat, sebuah ayat, atau kumpulan beberapa surat. Demikian
pendapat Manna‘ al-Qatthan. Manna‘ al-Qatthan membagi periodisasi pengumpulan
Alquran menjadi beberapa bagian,
Pertama jam‟u Alquran dalam arti penghafalannya di masa Nabi Saw.
Kedua jam‟u Alquran dalam arti pengumpulannya di masa Abu Bakar As-Shiddiq ra.
Ketiga jam‟u Alquran dalam arti penyeragaman naskah mushaf di masa Utsman bin
‗Affan Ra.

22
26
Maksudnya: Nabi Muhammad s.a.w. dilarang oleh Allah menirukan bacaan Jibril a.s. kalimat
demi kalimat, sebelum Jibril a.s. selesai membacakannya, agar dapat Nabi Muhammad s.a.w menghafal
dan memahami betul-betul ayat yang diturunkan itu.

23
Pada periode pertama, jam‟u Alquran bentuknya adalah pengajaran Alquran
secara langsung dari Nabi Saw. keapda para sahabat, dan menghafalkannya. Sebagian,
menuliskannya di beberapa media yang waktu itu dipakai seperti pelepah kurma atau
tulang hewan. Pada periode ini, ada sejumlah sahabat yang dikenal menghafal seluruh
ayat Alquran yang diturunkan. Seperti yang disebutkan al-Bukhari dalam shahih-nya,
Rasulullah bersabda:
“Tujuh orang ini adalah para penghafal (Alquran), Abdullah bin Mas‟ud, Salim bin Ma‟qil
mawla Abu Hudzaifah, Mu‟adz bin Jabal, Ubay bin Ka‟ab, Zayd bin Tsabit, Abu Zayd bin al-
Sakan, Abu al-Darda‟.”
Hadis tersebut beserta riwayat-riwayat hadis lain yang menyebutkan siapa saja
sahabat yang hafal Alquran dengan menyebutkan jumlah, tidak semerta menunjukkan
kalau hanya tujuh orang sahabat saja yang hafal Alquran. Yang tepat adalah, para
sahabat Nabi Saw. pada masa lalu saling berlomba-lomba untuk menghafal dan
emmahami apa yang diwahyukan kepada Nabi Saw. Mereka membacanya dalam shalat,
mengajarkannya kepada istri, hingga dalam satu riwayat suara sahabat saling bersahutan
di suatu malam karena mereka semua membaca Alquran. Dalam sebuah hadis
riwayat al-Bukhari, Abu Musa al-Asy‘ari pernah mengisahkan ketika Rasulullah Saw.
berjalan di malam hari di kota Madinah kemudian mendengar suara itu, diantaranya
adalah suara Abu al-Hasan al-Asy‘ari. Rasulullah memuji suaranya sebagai ―petikan
sitar diantara sitar-sitar Nabi Daud As.‖27
Periode kedua, jam‟u Alquran dalam di masa sahabat. Pada masa ini, Alquran
mulai dipikirkan untuk dikumpulkan dalam bentuk sebuah mushaf yang utuh, tidak lagi
dibiarkan hanya dalam bentuk hafalan yang diingat seluruhnya atau sebagian dari para
sahabat atau terpisah-pisah dalam catatan-catatan diatas media tulis di masa itu.
Pertimbangan ini pertama kali muncul pada masa Abu Bakar al-Shiddiq Ra. Di masa
beliau, terjadi perang Yamamah di tahun ke 12 H dan banyak para tentara juga
adalah penghafal Alquran. Pada masa itu, Umar bin Khattab bernisiatif mengusulkan
kepada Khalifah Abu Bakar untuk melakukan upaya pengumpulan Alquran menjadi
satu mushaf, karena dikhawatirkan akan hilangnya Alquran dari kalangan muslimin
karena banyaknya tentara yang meninggal.
Waktu itu, usulan Umar ditolak oleh Abu Bakar karena dianggap tidak
pernah dilakukan Rasulullah Saw. Negosiasi terus dijalankan hingga ‗Umar menyatakan
sebuah pernyataan yang sangat terkenal dalam sejarah pengumpulan Alquran, “ni‟matu al-
bid‟ah hadzihi‖ (sebaik-baiknya bid‘ah adalah (keputusan) ini). Abu Bakar pada
akhirnya menerima usulan ini. Ia memerintah ‗Umar 28 agar menemui Zayd bin Tsabit
dan menjadikannya sebagai pimpinan dalam upaya pengumpulan Alquran ini. Hal
yang

27
Manna‘ al-Qatthan, Mabahits fi „Ulum al-Qur‟an (Jakarta: Dar al-Rasyid), h. 119-120.
28Menurut Manna‘ al-Qatthan, dengan mengutip sebuah riwayat dari Zayd bin Tsabit
menyebutkan kalau Abu Bakar sendiri yang turun untuk membujuk Zayd agar mau menuruti perintahnya.
2
sama dilakukan Zayd dengan menolak terlebih dahulu. Namun setelah diyakinkan oleh
‗Umar, ia pun menerimanya.29
Zayd bin Tsabit menerapkan sekian metode untuk memastikan kalau sebuah
ayat dinilai sebagai ayat Alquran. Diantaranya adalah, berpegang kepada hafalan atau
catatan yang dimiliki oleh para sahabat. Untuk catatan, seseorang bisa memberikan
catatan ayat Alquran yang dimilikinya setelah ada minimal dua saksi yang membenarkan
kalau catatan tersebut adalah ayat Alquran. Untuk hafalan, syaratnya adalah minimal
harus ada dua orang yang menghafalkan ayat tersebut. Karena itu, menurut Manna‘
al- Qatthan ayat yang disebut hanya ada dalam catatan Abu Khuzaimah al-Anshari,
tidak bisa diragukan keberadaannya karena ada banyak sahabat yang meski tidak
memiliki catatan ayat tersebut.
Periode ketiga adalah jam‟u Alquran di masa ‗Usman bin ‗Affan. Pada periode ini,
para ulama biasa menyebut periode ini sebagai periode penyeragaman mushaf. Setelah
mushaf yang dikumpulkan Zayd selesai, ia menyerahkan kepada khalifah Abu Bakar.
Alquran hasil kompilasi Zayd tersebut disalin untuk diajarkan oleh para sahabat yang
menjadi penyebar Islam ke bebagai wilayah. Sampai masa ‗Umar bin al-Khattab wafat,
mushaf yang menjadi patokan tersebut dipegang oleh Hafshah, putri ‗Umar dan
salah satu istri mendiang Rasulullah Saw.
Pada masa ‗Usman, salinan itu sudah menyebar ke berbagai wilayah yang juga
ditaklukkan oleh pemerintahan Madinah. Proses penaklukan wilayah-wilayah yang
dikuasai oleh imperium besar seperti Romawi dan Persia disebut al-Futuhat al-Islamiyah.
Diantara proses Futuhat tersebut adalah, penaklukan yang terjadi di Armenia dan
Azerbaijan oleh Pasukan Irak yang waktu itu dipimpin Huzaifah bin Yaman. Rupanya,
pasukan yang diambil dari wilayah Suriah dan Irak mengalami perbedaan bacaan yang
cukup tajam. Huzaifah pun mencari solusi hingga melaporkannya kepada Khalifah
‗Usman. Kesimpulannya adalah, Zayd harus menetapkan satu macam cara membaca
saja, yaitu yang dikenal sebagai Mushaf Usman.

29
Manna‘ al-Qatthan, Mabahits fi „Ulum al-Qur‟an, h. 125-126.

2
MAKKIYAH DAN MADANIYAH

Menurut Nashr Hamid Abu Zayd, selain persoalan asbab al-nuzul yang
menunjukkan interaksi teks dengan realita masyarakat, tema Makkiyah dan Madaniyah
menunjukkan hal yang sama. Seperti yang akan dijelaskan pada bagian ini, kita akan
melihat bahwa Makiyah dan Madaniyah bukan hanya persoalan perbedaan wilayah atau
tempat dimana diturunkannya ayat, tapi ada perbedaan yang khas baik dari segi
konten (al-madhmun) maupun formasi dan susunan (al-tarkib wa al-bina‟) ayat-
ayatnya.30 Terkait dengan dimana turunnya ayat, Makiyah dan Madaniyah rupanya bukan
klasifikasi yang sangat simpel. Al-Suyuthi dalam al-Itqan memperinci lebih dalam
sehingga ada ayat yang diturunkan pada saat Nabi berhijrah, ada yang saat Nabi
tinggal di Madinah, atau saat Nabi berada di kota tertentu.31
Pengertian
Makkiyah secara kebahasaan adalah kata Makkah yang dilekatkan huruf ya‟
yang berfungsi sebagai al-nisbah, sehingga kata Makkah yang awalnya menjadi nama
sebuah tempat berubah menjadi sesuatu yang berhubungan dengan kota Makkah.
Singkatnya, Makkiyah dalam Alquran berarti ayat yang diturunkan di Mekkah. Begitu
juga dengan Madaniyah.
Namun, menurut al-Suyuthi topik Makkiyah dan Madaniyah ini tidak bisa
diklasifikasikan hanya berdasarkan dua kota tersebut. Ada sekian pertimbangan,
misalnya apakah ayat yang turun setelah Nabi hijrah namun saat ia sedang berada di
Mekkah, disebut ayat Makkiyah atau Madaniyah ? Pertanyaan ini yang menjadi diskusi
para ulama sejak dahulu.
Al-Suyuthi mengutip pendapat Abu al-Qasim al-Hasan bin Muhammad bin
Habib al-Naysaburi untuk menunjukkan betapa beragamnya klasifikasi Makki dan
Madani.
Abu al-Qasim al-Hasan bin Muhammad bin Habib al-Naysaburi berpendapat dalam bukunya “al-
Tanbih „ala Fadhl „ulum al-Qur'an”: “diantara ilmu yang paling agung dalam Ulum Alquran
adalah ilmu tentang dimana dan konteks ayat diturunkan, urutan mana ayat yang turun di Mekkah
dan Madinah, yang turun di Mekkah tapi dihukumi sebagai ayat Madaniyah atau sebaliknya, ayat
yang turun di Mekkah untuk orang-orang Madinah atau sebaliknya, yang terlihat seperti ayat
Makkiyah namun Madaniyah dan sebaliknya, yang turun di Juhfah, di Bayt al-Maqdis, al-Tha‟if
dan al-Hudayabiyah, yang turun di malam hari atau siang hari, yang turun terpisah-pisah atau
sekaligus, ayat-ayat Madaniyah di surah Makkiyah atau sebaliknya, ayat yang dibawa dari

30
Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash: Dirasat fi „Ulum al-Qur‟an, h.
75.

2
Mekkah ke Madinah atau sebaliknya, yang turun di Madinah dibawa ke Habsyah, atau yang turun
dengan makna global atau terperinci, dan yang masih ada perbedaan pendapat ulama di dalamnya. 32
Surah Makkiyah dan Madaniyah
Pemisahan antara Makkiyah dan Madaniyah memang dilakukan dengan meneliti
satu persatu ayat, dengan ditelusuri adakah riwayat yang mengindikasikan kalau ayat
tersebut adalah ayat Makkiyah atau ayat Madaniyah. Menurut Manna al-Qatthan, ada
beberapa surah yang diklasifikan sebagai surah Makkiyah dan Madaniyah. Selain itu, ada
juga ayat-ayat Makkiyah yang terdapat dalam surah Madaniyah serta sebaliknya.
Surah-surah yang disebut sebagai surah Madaniyah adalah: al-Baqarah, Ali
‗Imran, al-Nisa‘, al-Maidah, al-Anfal, al-Taubah, al-Nur, al-Ahzab, Muhammad, al-Fath,
al-Hujurat, al-Hadid, al-Mujadalah, al-Hasyr, al-Mumtahanah, al-Jum‘ah, al-Munafiqun,
al-Thalaq, al-Tahrim, dan al-Nashr.
Surah yang masih diperdebatkan apakah termasuk surah Madaniyah atau
Makkiyah ada dua belas surat, yaitu: al-Fatihah, al-Ra‘du, al-Rahman, al-Shaff, al-
Taghabun, al-Muthaffifin, al-Qadar, al-Bayyinah, al-Zalzalah, al-Ikhlas, al-Falaq, dan al-
Nas.
Selain surat diluar dua klasifikasi diatas, menurut Manna al-Qatthan adalah
surah Makkiyah.33
Perbedaan Antara Makkiyah dan Madaniyah
Ada dua metode yang digunakan untuk menentukan apakah sebuah ayat masuk
kedalam kategori Makkiyah dan Madaniyah, yaitu berdasarkan riwayat (sima‟i) dan
berdasarkan ijtihad (qiyasi ijtihadi). Metode pertama adalah dengan menelusuri riwayat-
riwayat dari para sahabat atau dari tabi‘in yang mendengar penjelasan dari para sahabat.
Persoalan Makki dan Madani, memang tidak diwajibkan diketahui oleh Nabi Saw.
Karena Makkiyah dan Madaniyah dibutuhkan setelah beliau wafat untuk mengetahui
konteks ayat saat menjelaskannya. Dan, kebanyakan penentuan sebuah ayat masuk
kedalam kategori Makkiyah dan Madaniyah adalah berdasarkan riwayat.
Metode kedua adalah dngan konteks atau ijtihad. Pada metode ini yang
dilihat adalah ciri khas sebuah ayat untuk menentukan apakah sebuat ayat tersebut
memiliki karakter ayat Makkiyah atau Madaniyah. Indikatornya misalnya kalau surah
Makkiyah adalah surah yang memiliki kisah-kisah Nabi atau kisah-kisah umat
terdahulu, sementara surah Madaniyah adalah sura yang banyak menyebutkan ayat-ayat
tentang hukum.34

32
Al-Suyuthi, al-Itqan fi „Ulum al-Qur‟an, h. 43-44.
33Manna al-Qatthan, Mabahits fi „Ulum al-Qur‟an
34Manna al-Qatthan, Mabahits fi „Ulum al-Qur‟an, h. 60-61.

2
Menurut al-Suyuthi, ada tiga pemetaan yang populer ditawarkan para ulama
untuk membedakan antara Makiyyah dan Madaniyyah. Perbedaan tersebutdapat
dipetakan sebagai berikut35,
Makkiyah Madaniyah
Diturunkan sebelum hijrah Diturunkan sesudah hijrah
Diturunkan di Mekkah, meskipun setelah Diturunkan di Madinah, meskipun
hijrah sebelum hijrah
Ayat yang ditunjukkan untuk masyarakat Ayat yang diturunkan untuk masyarakat
Mekkah Madinah

Untuk meringkas perbedaan antara Makkiyah dan Madaniyyah, al-Qatthan


menyebutkan sejumlah indikator (al-Dhawabith) dan ciri khas (al-Mumayyizat) tema-tema
ayat Makkiyah dan Madaniyah. Berikut adalah pemetaan perbedaannya berdasarkan
dimana ayat diturunkan, ditunjukkan kepada siapa sebuah ayat, hingga ciri khas tema
pada masing-masing ayat.36
Makkiyah & Madaniyah
Makkiyah Madaniyah
Indikator/al-Dhawabith
Setiap surah yang di dalamnya ada ayat Setiap surah yang menyebutkan di
sajdah dalamnya kewajiban atau hukum hadd
maka adalah Madaniyah.
Setiap surah yang di dalamnya ada Setiap surah yang mengisahkan atau
ungkapan Kalla (‫)كال‬. Ungkapan ini hanya menyebutkan tentang orang munafik
disebut 33 kali di 15 surah dan seluruh adalah Madaniyah, kecuali surah al-
surah ada di separuh bagian akhir ‗Ankabut
Alquran
Ayat yang memiliki ungkapan Ya Ayyuha Setiap surah yang terdapat
al-Nas perdebatan/dialog dengan Ahlul Kitab
adalah surah Madaniyyah.
Surah yang di dalamnya terdapat kisah-
kisah para Nabi dan umat terdahulu,
kecuali penyebutan kisah pada surah al-
Baqarah (karena surah al-baqarah adalah
surah Madaniyah)
Surah yang menyebutkan kisah Adam As
dan Iblis, kecuali surah al-Baqarah)
Setiap surah yang dimulai dengan ayat-

35Al-Suyuthi, al-Itqan fi „Ulum al-Qur‟an, h. 45-47.


36Manna al-Qatthan, Mabahits fi „Ulum al-Qur‟an, h. 63-64.

2
ayat yang tidak diketahui maknanya
kecuali oleh Allah, seperti Alim Lam
Mim, Alif Lam Ra. Ini dikecualikan
untuk surah al-Baqarah dan Ali ‗Imran
yang Madaniyyah.
Ciri Khas/al-Mumayyizaat
Dakwah untuk mentauhidkan Allah, Menjelaskan tata cara beribadah,
menegaskan kebenaran wahyu, dan muamalah, hukum jinayah, hukum
menjelaskan hari kiamat serta surga dan keluarga, waris, jihad, dan tema-tema
neraka hukum Islam lainnya.
Meletakkan fondasi-fondasi dasar syariah Berdialog dengan Yahudi dan Nasrani.
berupa akhlak yang baik, dan tercelanya Mengajak mereka memeluk Islam. Serta
kekejaman dan kekejian seperti yang menjelaskan kalau Yahudi dan Nasrani
dilakukan orang musyrik melakukan tahrif makna Kitab Sucinya.
Mengisahkan kisah-kisah para Nabi dan Membuka perilaku-perilaku orang-orang
umat terdahulu yang mendustai para munafik dan bahayanya bagi agama.
Nabi, sebagai peringatan bagi umat
muslim dan non muslim
Ayatnya pendek-pendek, namun Ayat-ayatnya panjang-panjang, dan
memiliki ungkapan yang kuat. memiliki gaya bahasa menjelaskan
sebuah tema atau tujuan tertentu.

2
Al-Nasikh wa al-Mansukh

Menurut Abdullah Saeed, para fuqaha (islamic jurist) masih jarang memberikan
perhatian yang mendalam dalam persoalan naskh terkait dengan perannya sebagai
penanda perubahan hukum Islam sesuai dengan konteks dan kondisi sosial.37
Nasikh secara bahasa berasal dari kata "nasakha" artinya menghapus. Al-
Zarqani mengatakan : izalat al-Syai' wa i'damuh yang maksudnya menghapuskan
sesuatu dan meniadakannya. Kata naskh ini ada dalam Aquran surat al-Hajj ayat 52:

                  


   
 

              


    

 
 
"Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasulpun dan tidak (pula) seorang
Nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan
godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh
syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana".

Pengertian nasikh-masnukh banyak, sesuai pandangan ulama masing-masing


dalam keilmuan mereka. Sehingga banyak pengertian nasikh mansukh ini diakibatkan
banyaknya pandangan yang menarik makna nasikh-mansukh ke dalam perpektif
kelimuan mereka masing-masing.
Al-Zarqani mengemukakan satu defenisi yang dianggapnya mendekati pada
makna syariat yang lebih tepat yakni : mengangkat suatu hukum syariat (syara') dengan
dalil syar'i, dengan kata lain, menghapuskan satu hukum syariat dengan dalil syar'i.
Adapun pengertian mengangkat suatu hukum syariat (syara') adalah pemutusan atau
penghapusan, hal ini berhubungan dengan perilaku orang yang dibebani kewajiban
tersebut, bukan pada penghilangan kewajiban itu tapi mengganti. Adapun pengertian
hukum syara' adalah firman Allah yang berhubungan dengan kewajiban manusia baik
dalam bentuk perintah (kewajiban), saran, pilihan ataupun dengan sesuatu yang menjadi
sebab sesuatu yang wajib itu sempurna, atau akibat larangan, akibat sah tidak-nya suatu
perintah, atau akibatnya rusak sesuatu perintah. Dalil syar'i artinya wahyu Allah Swt

2
37Abdullah Saeed, Interpreting the Quran: Towards a Contemporary Approach (New York: Routledge,

2006), h. 87

2
secara tertulis maupun yang tak tertulis mencakup semua yang ada dalam Alquran
maupun al-Sunnah.38
Pendapat lain mengatakan bahwa nasikh-mansukh adalah memindahkan sesuatu
tanpa merubah substansinya dan hal ini terjadi pada ayat-ayat yang bersifat mustasyabihat,
hal ini diisyaratkan oleh Alquran sendiri dalam QS. al-Jatsiyah ayat 29:

                


        
 

"(Allah berfirman): "Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan
benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan".
Dalam ayat lain Allah Swt berfirman QS. al-Baqarah ayat 106:

           g    


  g     
  

   
"Ayat mana saja[81] yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.
tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu"
Dalam ayat lain Allah Swt berfirman QS. al-Ra'du ayat 39 :

            


  
 
"Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia
kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh)".
Dalam ungkapan lain Allah Swt menyebutnya dengan sebutan "baddalna" (kami
mengganti), Allah mengangkat suatu perintah menggantinya dengan sesuatu
yang tetap, QS. al-Nahl ayat 101 :

       
           
     

2
      
  
"Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya
Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata:
"Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan
mereka tiada mengetahui".

Ada tida maca nasikh masukh. Bermacam-macam bentuk nasikh masnukh ini
adalah sebagai berikut:

38
Muhammad Abd al-'Azhim al-Zarqaniy, Manahil al-'Irfan fi 'ulum al-Qur'an (Ryadh: Maktabah
Nizar Mustafa al-Baz, tth), jilid 2, h. 140.

2
1. Naskh al-tilawah ma'a al-hukm ma'an ; menghapuskan bacaan dan hukumnya
secara bersamaan. Misalnya :
Hadis diriwayatkan oleh Aisyah ra. tentang masa menunggu bagi wanit yang
ditinggal mati oleh suaminya adalah sepuluh bulan lamanya. "'Asyru radha'at
ma'lumat yuhrimna"39
2. Naskh hukm duna al-tilawah; mengahapuskan suatu hukum tanpa
menghapus bacaannya. Misalnya:
Ayat Alquran tentang sedekah yang tertera dalam surat al-Mujadilah ayat 12
berikut:

                   
     


               


    g   
"Hai orang-orang beriman, apabila kamu Mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul
hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.
yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang
akan disedekahkan) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Ayat di atas mengajnjurkan untuk melakukan sedekah diseetiap para sahabat
melakukan pertemuan dengan Nabi, hal ini karena sering di antara para
sahabat menemui beliau tanpa batas waktu dan hal ini supaya mereka
memuliakan Nabi Saw. Akan tetapi ayat ini telah dihapus (dimansukh) oleh
ayat lain QS. al- Baqarah ayat 185 berikut ini :

              


     


               


         
  

          

2
       

             


       
  
"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu,
Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu
ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,

39
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab al-Radha' jilid 1 hal. 29 Imam al-Turmudzi,
Imam al-Nasa'i dan Abu Daud dalam bab nikah.

2
pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur".

3. Naskh al-tilawah duna al-hukm; menghapuskan bacaan tanpa menghapus


hukumnya. Misalnya:
Dikatakan bahwa ada ayat sebenarnya terdapat dalam surat al-Ahzab tentang
hukuman bagi penzina sbb;
‫الشخ واٌلشخة اذا زٌنا فارجموهما البتة‬
ٌ
Ayat tersebut telah terhapus oleh QS. an-Nur ayat 2 namun hukumnya tetap,
sebagai berikut:

              
       
  

           


        
 

   


"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu
untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari
akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan
orang-orang yang beriman".

Adapun hikmah dari nasikh mansukh ini adalah untuk menyempurnakan


hukum Allah Swt di bumi menyesuaikan kemampuan dan perkembangan kehidupan
manusia, karena agama Islam adalah agama yang "mulaim likulli zaman wa makan"
cocok dan dapat diaplikasikan pada semua tempat dan waktu.Allah Swt menyampaikan
perintahnya sesuai dengan ilmu dan penalaran manusia sesuai dengan tahapan-
tahapannya. Dengan demikian tidak ada alasan bagi manusia untuk menolak hukum
Tuhan, karena telah melalui proses asimilasi dengan kemampuan manusia secara alami.

I’jaz al-Qur'an
3
I‘jaz secara bahasa berarti melemahkan sesuatu. Dinamakan mu‘jizat karena
manusia tidak mampu untuk membuat atau mendatangkan sesuatu yang menyamai
mu‘jizat. Mu‘jizat adalah susuatu yang tidak biasa (khariqun li al-‗adah), terbebas dari
pertentangan, dan ia juga keluar dari batas-batas sebab sebagaimana diketahui manusia
umumnya. Adapun yang dinamakan I‘jazu Alquran adalah sesuatu yang bisa membuat

3
orang lain—baik secara individu maupun kelompok—lemah atau tidak mampu untuk
menyamai Alquran.

Tujuan dari mu‘jizat sendiri bukan hanya untuk melemahkan orang lain, akan
tetapi lebih dari itu, yakni menunjukkan bahwa Alquran adalah kitab yang haq (benar),
rasul yang menyampaikannya adalah seorang yang jujur, dan memastikan bahwa apa
yang disampaikan rasul itu adalah wahyu dari Allah. Seperti inilah semua mu‘jizat yang
juga dimiliki para Nabi-Nabi sebelumnya.

Adapun perbedaan mu‘jizat Nabi Muhammad dengan para Nabi sebelumnya


dapat diketahui dari jenis atau modelnya. Kalau mu;jizat Nabi Muhammad berupa aqli
yakni Alquran, sedangkan mu‘jizat para Nabi terdahulu berupa hissi (indrawi). Misalnya
mu‘jizat Nabi Musa adalah tongkat karena para kaumnya ketika itu mempunyai keahlian
dalam bidang sihir. Sedangkan Nabi Isa memiliki mu‘jizat yang mampu menghidupkan
orang yang telah meninggal, menyembuhkan kebutaan, dan lain-lain. Hal ini disebabkan
karena para kaumnya mempunyai keahlihan dalam bidang kedokteran dan ilmu hikmah.

Hal penting yang perlu dicatat terkait dengan mu‘jizat adalah bahwa mu‘jizat
Alquran itu bersifat mustamirrah (terus-menerus) dan kekal sampai hari kiamat nanti.
Sedangkan mu‘jizat para Nabi terdahulu itu hilang bersamaan dengan hilangnya masa
mereka, dan tidak ada yang menyaksikannya kecuali orang yang ada di waktu itu.40

Syarat-syarat mu’jizat

Mu‘jizat memiliki lima syarat utama, sebagaimana telah disebuatkan para


ulama‘- ulama‘ terdahulu. Oleh karena itu, apabila ada salah satu syarat yang tidak
terpenuhi, maka tidak dapat dinamakan mu‘jizat. Adapun syarat-syaratnya sebagaimana
diutarakan Ali as-Shobuni:

1. Mu‘jizat harus datang dari Allah


2. Berbeda dengan adat kebiasaan dan juga bertentangan dengan hukum alam
3. Orang yang menyampaikan risalahnya harus orang yang jujur.
4. Harus sesuai dengan ajakan dan ucapan Nabi yang mengaku memilikinya
5. Tidak ada orang lain yang menyampaikan mu‘jizat terssebut dengan isi yang
bertentangan.

Macam-macam Mu’jizat Alquran

Alquran adalah kalam Allah yang mu‘jizatnya meliputi gaya bahasa dan
nadhom- nya, keterangannya yang menakjubkan, ilmu dan hikmah di dalamnya,
kemampuannya dalam mengetahui hal-hal ghaib baik di masa lalu dan yang akan
datang. Orang-orang

Muhammad Alawi al-Maliki, al-Qawaid Asasiyah fi ilmi al-Qur‟an, (Jedah: Maktabatu Muluk Fahd, 1424
40

H)130
3
arab jahiliyah yang piawai dalam menggubah syair dan prosa faktanya tidak mampu
menandingi keindahan Alquran. Terdapat sekitar sepuluh macam mu‘jizat yang terdapat
dalam Alquran:

1. susunannya yang indah sangat berbeda dengan susunan karangan bangsa


Arab
2. gaya bahasanya yang menakjubkan sangat berbeda dan melebihi gaya
bahasa Arab
3. muatannya yang begitu kaya tidak dapat ditandingi oleh manusia manapun
4. syariatnya akurat dan sempurna, mengalahkan semua tasyri‘ buatan manusia
(positive).
5. Terdapat kabar-kabar mughibat (gaib)yang tidak dapat diketahui kecuali
melalui perantara wahyu.
6. Tidak bertentangan dengan ilmu-ilmu alam
7. Bersifat konstan, ajek, konsisten terhadap semua kabar-kabar tentang janji
dan ancaman
8. Keluasan ilmu dan pengetahuan di dalamnya yang mengandung beberapa
ilmu syariat dan ilmu alam
9. Kesetiaannya dalam menjawab berbagai macam persoalan yang dihadapi
manusia
10. Pengaruhnya dalam hati seseorang, baik yang mengikuti (mengimaninya)
dan yang mengingkarinya.

Muhkamat &Mutasyabihat
Secara bahasa, ulama ahli bahasa mendefinisikan kata al-Ihkam dengan
beberapa makna, namun semua makna itu menjurus pada satu pengertian yakni al-
man‘u (mencegah). Misalkan kata Ahkam al-Amri berarti Mana‟ahu „an al-
Fasadi (mencegahnya darikerusakan). Adapun makna at-Tasyabuh secara bahasa menurut
ahli bahasa adalah sesuatu yang mirip atau serupa yang kemudian membawa pada
ambiguitas/ketidakjelasan. Misalnya firman Allah ― ‫‖متشابها ب*ه وأتوا‬, yakni serupa dalam
bentuk dan ukuran namun rasanya berbeda.41
Allah Swt berfirman dalam Alquran surat Ali Imrah ayat 7 berikut ini:

41 Muhammad Abdul Adzim az-Zarqani, Manahil al-„Irfan, juz 2, 270.

3
                
           


            g       g


        
 

                      


            
 

            


 


"Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada
ayat-ayat yang muhkamaat[183], Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat[184]. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,
Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk
menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui
ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami
beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan
tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal".

[183] Ayat yang muhkamaat ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan
mudah.
[184] Termasuk dalam pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat: ayat-ayat yang mengandung beberapa
pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara
mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang
berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan
lain-lain.

3
Dalam mengomentari pembahasan ini, Ibn Habib an-Naisaburi menyebutkan
tiga pendapat: Pertama, Alquran semuanya adalah muhkamdengan dallil ― ‫‖أحكمت كتاب أٌاته‬.
Kedua, Alquran semuanya adalah mutasyabih, dalilnya ― ‫‖كتابامتشابهامثان‬. Ketiga, Alquran
mengandung ayat muhkamat dan mutasyabihat. Dan ini adalah pendapat yang paling
kuat.
Kemudian, dalam menentukan muhkam dan mutasyabih juga terdapat beberapa
pendapat. Ada yang berkata bahwa muhkam adalah ayat yang dapat diketahui
pengertian atau maknanya daridhohir ayat maupun secara ta‘wil (batin). Adapun yang
dinamakan mutasyabih adalah suatu perkara yang hanya diketahui oleh Allah. Seperti
persoalan hari kiamat, munculnya Dajjal, dan makna huruf muqaththa‟ahdi awal surat.
Selain itu, ada juga yang mengartikan bahwa muhkam adalah sesuatu yang hanya

3
mengandung satu macam makna saja, sedangkan mutasyabih adalah sesuatu yang
mengandung banyak makna. Abi Hatim, meriwayatkan dari Ikrimah dan Qatadah,
mengatakan bahwa muhkam adalah sesuatu yang dapat diamalkan, sedangkan
mutasyabih adalah sesuatu yang diimani bukan diamalkan.
Ikhtilaf Ulama’
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama‘ tentang apakah ayat-ayat
mutasyabihat bisa diamalkan (dita‘wilkan) atau hanya Allah saja yang tau maknanya?
Adanya perbedaan ini didasarkan pada sumber ayat yang berbunyi ― ‫‖العلم ًف والراسخون‬.
Apakah ayat ini ma‘tuf (mengikuti) ayat sebelumnya yakni ― ‫ ‖هلال إال تأوٌله ٌعلم وما‬atau
menjadi mubtada‘ dan wawu-nya menjadi wawu-nya li al-Isti‘naf (awal kalimat)?
Diantara ulama yang mengikuti pemahaman yang pertama adalah Mujahid, dia
berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas yang mengomentari ayat diatas dengan
perkataannya ― ‫ ‖تأوٌله ٌعلم ممن أنا‬atau akulah salah satu orang yang mengetahui
ta‘wilannya.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari ad-Dhahak mengatakan bahwa orang-orang
yang mendalam ilmunya (‫ )راس**خون‬mengetahui ta‘wil ayat-ayat al-Alquran. Apabila
mereka tidak mengetahui ta‘wilannya, maka mereka tidak mungkin mengetahui nasikh
mansukh, halal dan haram, tidak juga muhkam dan mutasyabih. Pendapat ini dikuatkan
Imam Nawawi dalam Syarah Muslimnya, dia berkata bahwa pendapat ini lebih tepat
karena tidak mungkin Allah memberi khitob(kewajiban) kepada hambanya tanpa
memberinya ilmu.42
Macam-macam Mutasyabihat
Az-Zarqani, dalam kitabnya Manahil al-Irfan membagi macam-macam ayat mutasyabihat
menjadi tiga bagian:
1. Tidak ada seorang manusia pun yang mampu mencapainya. Misalnya
mengetahui akan dzat Allah dan hakikat dari sifat-sifat-Nya. Seperti rahasia akan
terjadinya hari kiamat, dan lain sebagainya yag termasuk bagian dari hal-hal
yang ghaib dimana Allah sendiri telah merahasiakannya ― ‫إال ٌعلمها ال الغٌب مف*اٌتح‬
‫‖وعنده هو‬.
2. Semua manusia mampu mengetahuinya melalui perantara pembahasan dan
penelitian.
3. Hanya bisa diketahui oleh orang-orang tertentu seperti ulama‘-ulama‘ khusus
yang hatinya bersih dan mereka memahaminya melalui tadabbur terhadap ayat-
ayat al-Qur;an.
Contoh-contoh ayat Muhkam dan Mutasyabih

42 Jalauddin as-Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur‟an, juz 2, 7.

3
Di dalam beberapa ayat Alquran terdapat banyak ayat muhkamat, dinilai sudah
jelas kandungan perintah dan maksud ayat tersebut secara redaksional, di antara ayat
Muhkamat tersebut adalah QS. al-Baqarah ayat 275 berikut:

               


        
  

               g  


             
  

             g        


       


       


 


.......―Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba‖.......


Kata ahalla dan harrama secara jelas mengungkapkan bahwa jual beli itu halal sedangkan
riba itu haram tanpa membutuhkan pengertian lain.43
Ayat Mutasyabih lain terdapat dalam Alquran surat Thaha ayat 5 berikut :

        


  


―Allah (bersemayam) di atas ‗arsy‖


Ulama‘ salaf (di antaranya Imam Malik) memahami ayat di atas dengan
menyerahkan semuanya pada Allah Swt, dalam arti hanya Allah-lah yang tau tentang
3
makna hakiki ayat di istiwa‘. Adapun ulama‘ khalaf (diantaranya Imam Haramain/al-
Juwaini) memaknai ayat ‗arsy dengan makna yang lebih dalam dengan tanpa
pemaksaan.44

Qira’at Sab’ah
Terdapat hadist yang diriwayatkan oleh al-Bukhari yang berbunyi ― ‫القران هذا إن‬
‫‖أحرف سبعة علً أنزل‬. Sab‟ah berarti tujuh, sedangkan ahruf berarti jama‘ dari harf. Makna
harf banyak sekali, diantaranya pojok dari sesuatu, batas sesuatu, dan huruf hija‘iyah.
Adapun maksud hadist di atas berarti sesungguhnya Alquran ini diturunkan atas
tujuh bahasa dari bahasa Arab. Jadi sab‘atu ahruf tidak diartikan bahwa pada satu
huruf ada
43 Mustafa Dib al-Bagha, al-Wadhih fi Ulum al-Qur‘an, (Damaskus: Dar al-Kalam, 1998), juz 1, 124.
44Subhi Shalih, Mabahith fi Ulum al-Qur‘an

3
tujuh macam bentuk berbeda. Akan tetapi bahasa tujuh tersebut tersebar di dalam
Alquran. 45 Akan tetapi menurut Zarqani, ahruf diatas bermakna wajhu
(macam/bentuk).46
Perdebatan seputar ahruf Sab’ah
Imam suyuti menjelaskan bahwa ada sekitar empat puluh perbedaan
pendapat ulama dalam menjelaskan al-ahruf as-sab‘ah. Diantara pendapat tersebut
menyebutkan bahwa hadist dalam masalah ini termasuk musykil dan tidak diketahui
maknanya, karena harf bisa bermakna harf hija‘iyah, juga berarti kata, makan dan
arah. Pendapat kedua mengatakan sab‘ah maksudnya adalah kemudahan, bukan angka
tertentu. Pendapat lain mengatakan sab‘atu ahruf berarti tujuh qiraat, dan tidak ada dalam
al-Alquran kata yang dibaca dengan tujuh bentuk yang berbeda kecuali sedikit.47
Adapun pendapat yang paling rajih menurut a-Zarqani adalah pendapat imam ar-Razi.
Menurutnya ahruf as-Sab‘ah merupakan perbedaan dalam hal:
1. Mufra, Tasniyah Jama‘nya
2. Tasrif Fi‘il
3. I‘rab
4. Penambahan dan pengurangan
5. Taqdim dan Ta‘khir, dll.48
Sebab munculnya ahruf sab’ah
Terdapat sebuah hadist riwayat Muslim yang menjelaskan bahwa Nabi didatangi
malaikat Jibril dan berkata: Allah menyuruhmu untuk membacakan pada umatmu
Alquran atas satu huruf. Nabi berkata: Saya memohon perlindungan Allah,
sesungguhnya umatk tidak mampu akan hal itu. Hal ini diulangi sampai akhirnya
diperintahkan Allah membaca dengan tujuh kali.49
Hadist di atas mengindikasikan bahwa sebab munculnya ahruf sab‘ah adalah
rahmat Nabi Muhammad yang disampaikan kepada Allah untuk umat Muhammad. Az-
Zarqani menjelaskna bahwa hikmah diturunkannya Alquran dengan sab‟atu ahrufadalah
untuk mempermudah umat Islam secara keseluruhan, khususnya kepada bangsa
Arab yang kepada mereaka Alquran pertama diturunkan, yang mana ragam dialeg
masyarakat Arab ayng beragam. Seandainya mereka mambaca Alquran dengan bacaan
satu bacaan saja, tentu hal itu akan menyusahkan bagi mereka.50
Macam-macam Qiraat

45Fairuzabadi, al-Qamus al-Muhit (Beirut: Muassatu ar-Risalah, 2005), jilid 1, 799.


46Az-Zarqani, Manahil all-Irfan, jiid 1, 153.
47Jalaluddin as-Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur‟an, h 164.
48 Az-Zarqani, Manahil alIrfan, 155.
49 Az-Zarqani, Manahil al-Irfan, 157.
50 Az-Zarqani, Manahil al-Irfan, 139.

3
Qiraat disampaikan dari generasi ke generasi dalam bentuk sanad. Oleh karena
itu ada beberapa macam qiraat berdasarkan kuat dan lemahnya sanad. Sebagaimana
hadist, ada yang mutawatir, masyhur, dan syadz, begitupun dengan qira‘at.
Ibnu Jazari menjelaskan bahwa qira‘at yang jelas kesahihannya adalah:
1. Qira‘at yang cocok dengan bahasa Arab secara mutlak
2. Qiraat yang cocok dengan salah satu Mashahif Utsmani
3. Qira‘at yang diriwayatkan secara mutawatir.51
Adapun diantara imam qira‘at yang mutawatir adalah: Ibn ‗Amir (118), Ibn Katsir
(120), Asim (127), Abu ‗Amr (154), Hamzah (156), Nafi‘ (169), al-Kisa‘i (189),
Abu Ja‘far (130), Ya‘qub (205), dan Kholaf (229). Mereka adalah imam qira‘at
‗Asyrah al- Mutawatirah.52
Apakah ahruf Sab’ah terdapat dalam Mushaf Sekarang?
1. Jumhur fuqaha‘, Qurra‘, dan Mutakallimin mengatakan bahwa semua huruf ini
terdapat dalam mushaf Utsmani. Dalilnya adalah sebagai berikut:
a. Umat Islam tidak diperbolehkan menghilangkan/mengabaikan sesuatu di
dalamnya.
b. Para sahabat sepakat bahwa mushaf yang dikumpukan oleh Ustman
adalah sesuai dengan apa yang telah dituliskan Abu Bakar.
c. Semua mushaf yang telah ditulis oleh Abu Bakartelah mencakup semua
huruf sab‘ah, kemudian mushaf Utsmani juga mengacu pada mushaf
yang ditulis Abu Bakar.
2. Jumhur ulama‘ dari mutaqaddimin dan muta‘akhirin berkata bahwa mushaf
Ustmani ini sepertinya sudah mencakup ahruf Sab‘ah. Sesuai apa yang telah
dimaksudkan oleh Nabi.
3. Ibnu Jarir at-Tabari dan beberapa muridnya mengatakan bahwa sesungguhnya
Mushaf Utsmani tidak mencakup semua ahruf sab;ah kecuali hanya satu
huruf saja.53
Itulah beberapa pendapat ulama‘ mengenai ahruf sab‘ah, yang jelas pendapat at-
Tabari kemudian ditolak beberapa ulama‘ lain dengan beberapa alasan. Salah
satunya adalah az-Zarqani. Menurutnya, mushaf Utsmani sesungguhnya telah
mencakup seluruh huruf sab‘ah, dalam arti rasm Ustmani cocok atau sesuai dengan
huruf sab‘ah baik secara keseluruhan atau sebagian.

51 Ibn Jazari, Munjidul Muqri‟in wa Musyidu at-Thalibin, 19.


52 Az-Zarqani, Manahil alIrfan, 139.
53 Ali as-Shabuni, At-Tibyan fi Ulum al-Qur‟an, 225

4
Munasabah Alquran
Munasabah menurut bahasa berarti berdekatan, atau hubungan dan
keterkaitan antara dua hal atau lebih. 54 Adapun Munasabat Alquran adalah hubungan satu
ayat dengan ayat lain dilihat dari segi keumuman dan kekhususannya, rasional dan
perasaannya, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan persoalan sebab musabbab,
persamaan dan pertentangannya. Adapun manfaatnya adalah supaya sebagian dari
pembicaraan atau percakapan bisa menguatkan sebagian lainnya. Sebagaimana suatu
ayat yang bisa dikuatkan oleh ayat lainnya karena adanya hubungannantara keduannya
atau karena suatu ayat yang posisinya sebagai penyempurna ayat lain. Adapun ulama‘
pertama yang telah memperkenalkan ilmu munasabah ayat Alquran menurut beberapa
ulama‘ adalah Abu Bakar an-Naisaburi, dia adalah ulama‘ yang memiliki ilmu yang
sangat luas dalam bidang syari‘at dan adab. Diriwayatkan bahwa setiap dia memberikan
mengajian/pelajaran tentang suatu ayat, pasti dia menjelaskan hikmah dan alasan
kenapa suatu ayat posisinya di sini, dan lain sebagainya.55
Contoh Munasabah Ayat
Beberapa ulama memberikan contoh terkait munasabah ayat dalam Alquran,
salah satunya adalah Ahmad bin Umar al-Mahdawi. Dia memberikan contoh munasabat
ayat satu dengan lainnya. Misalnya firman Allah dalam QS. an-Nisa' ayat 125 :

            


    
 g


         


 

Ayat di atas bermunasabat dengan ayat sesudahnya dalam QS an-


Nisa' ayat 126 yang berbunyi :

              



    

Kedua ayat ini adalah bahwa pemilihan Nabi Ibrahim sebagai khalilullah
(kekasih Allah) itu karena ketaatan Ibrahim, bukan karena Allah butuh kepadanya.
4
Karena Allah memiliki segala yang ada di langit dan bumi.56
Kaidah untuk Mengetahui Munasabah
Terdapat beberapa kaidah yang digunakan ulama‘ untuk mengetahui munasabah
dalam ayat Alquran. Diantara kaidah itu berbunyi ―kebanyakan ayat Alquran yang
54 Khalid
Utsman Sabt, Qawaid Tafsir Jam‟an wa Dirasatan, 743.
55Jalaluddin
as-Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur‟an, Juz 2, 288
56Sami Atho Hasan, Munasabat baina al-Ayat wa as-Suwar, 17.

4
diakhiri dengan salah satu asma al-Husna menunjukkan adanya hubungan antara hukum
atau tema yang disebutkan dengan asma al-Husna tersebut‖. Maka ayat-ayat yang
membahas tentang rahmat Allah akan diakhiri dengan sifat-Nya ar-Rahman.
Misalnya firman Allah dalam surat al-A'raf (7) ayat 200 nerikut ini :

            


   


"Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan Maka berlindunglah kepada Allah
Swt".57
Penyebutan dua nama mulia (sami‘ dan basir) menunjukkan bahwa meminta
perlindungan kepada Allah itu tidak cukup dengan lisan saja, akan tetapi harus
melibatkan hati. Karena Allah pasti mendengar apa yang telah diucapkan dan Allah juga
mengetahui apa yang ada di dalam hati.
Atau ayat lain dalam Alquran surat al-Hajj ayat 63 yang berbunyi:

              


    


     

"Apakah kamu tiada melihat, bahwasanya Allah menurunkan air dari langit, lalu jadilah
bumi itu hijau? Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui".
Ayat diatas menunjukkan sifat Allah yang latif dan khobir, dua sifat ini
membuktikan betapa Allah pemberi rahmah untuk makhluknya dengan menurunkan
hujan dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dari bumi. Selain itu, Allah juga
menunjukkan sifat khobir-nya supaya fenomena alam tadi bermanfaat bagi manusia.58
Manfaat Mengetahui Munasabah
Di atas telah disinggung sedikit tentang manfaat memahami ilmu
Munasabah, kali ini kita akan mempelajari lebih spesifik manfaat mengetahui ilmu
munasabat Alquran yang lain, yakni untuk menghindari kesalahan dalam memahami
makna dan maksud ayat Alquran. Misalnya, di dalam Alquran terdapat banyak sekali
cerita umat terdahulu, baik berupa kewajiban mereka, larangan bagi mereka, atau

4
sekedar gambaran azab yang mereka hadapi.
Salah satu kisah umat terdahulu yang dimuat dalam Alquran adalah terkait
kewajiban yang harus mereka lakukan di saat sebelum Nabi Muhammad datang.
57
Maksudnya: membaca A'udzubillahi minasy-syaithaanir-rajiim
58Qawaid tafsir Jam‟an wa Dirasatan,745

4
Kebanyakan dari kewajiban itu adalah lebih berat dibandingkan dengan kewajiban-
kewajiban umat Muhammad. Hal ini bisa kita lihat misalnya dalam surat al-Baqarah ayat
54, bagaimana hukum bagi mereka yang ingin bertaubat dengan cara bunuh diri. Selain
itu ada beberapa hukum yang cukup berat lainnnya semisal tata cara mensucikan
pakaian yang terkena najis, masa berpuasa, dan lain sebagainya. Maka diutusnya
Muhammad adalah untuk menasakh hukum umat terdahulu dengan hukuman dan
kewajiban yang lebih ringan. Misalnya ayat al-A'raf (7) ayat 157 yang berbunyi:

            


   


              


       
g  


              


     

                    


         
    

 

"(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati
tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka
mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang
buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada
mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Quran), mereka Itulah orang-
orang yang beruntung".

4
Kalau kita tidak tahu konteks ayat ini, kita akan salah memahami ayat ini
sebagaimana pemahaman kaum Batiniyah yang berpendapat bahwa ayat ini sesuai untuk
mereka yang ketika sudah pada tingkatan tertentu dapat terbebas dari ―belenggu‖
kewajiban-kewajiban yang ada.59

59Kadar Yusuf, Studi al-Qur‟an. 111.

4
Rasm Ustmani
Selama kekhalifahan Ustman, umat Islam sibuk di medan jihad membawa Islam
asampai ke Azerbaijan dan Armenia. Berangkat dari suku kabilah yang beragam, sejak
awal para pasukan tempur memiliki dialek yang berlainan. Di sisi lain, Nabi Muhammad
di masa hidupnya juga mengajar mereka membaca Alqurandengan dialek mereka
masing-masing. Akan tetapi, sebagai akibat dari perbedaan dalam menyebutkan huruf
Alquran mengakibatkan adanya perselsihan diantara kalangan umat Islam.
Hudhaifah bin al-Yaman mengingatkan bahwa pada tahun 25 H sahabat
Ustman telah menyelesaikan persolan ini sampai tuntas. Beliau mengumpulkan umat
Islam dan menerangkan masalah perbedaan bacaan Alquran, sekaligus meminta
pendapat mereka tentang bacaan beberapa dialek. Walaupun begitu, beliau sadar bahwa
beberapa orang akan menganggap bahwa dialek tertentu sesuai dengan afiliasi kesukuan.
Terdapat dua riwayat tentang bagaimana Ustman melakukan tugas ini. Diantara
yang paling adalah beliau membuat naskah mushaf semata-mata berdasarkan mushaf
yang disimpan di bawah penjagaan Hafshah (bekas istri kedua Nabi). Riwayat kedua
mengatakan bahwa Ustman terlebih dahulu memberikan wewenang pengumpulan
dengan mengumpulkan sumber itu dari mana, sebelum nantinya dibandingkan
dengan suhuf yang sudah ada. Kedua riwayat sepaham bahwa suhuf Hafsha
memeinkanperan penting dalam pembuatan musthaf Ustmani.60
Ustman membuat Naskah Musthaf Tersendiri
Setelah Ustman memeperoleh mushaf yang disimpan Hafshah, lalu dia
memerintahkan dua belas orang untuk memperbanyak salinan naskah. Diantara dua
belas orang yang diminta untuk mencatat naskah sebagaimana bisa dilacak melalui
beberapa sumber adalah. (1) Sa'id bin al-'As bin Sa'id bin al-'As (2) Nafi' bin Zubair bin
`Amr bin Naufal. (3) Zaid bin Thabit, (4) Ubayy bin Ka'b, (5) 'Abdullah bin az-Zubair,
(6) 'Abrur-Rahman bin Hisham, dan (7) Kathir bin Aflah, dan lain-lain.
Selain itu, Ustman juga memerintahkan panitia dua belas tadi untuk mengumpulkan
Alquran yang ditulis di atas kulit pada zaman Nabi . Ibnu ‗Asakir, sejarawan terkenal
(w.571 H) meriwayatkan bahwa dalam salah satu ceramahnya, Ustman mengatakan
―Orang-orang telah berbeda dalam bacaan mereka, dan saya menganjurkan kepada
siapa saja yang ditulis di hadapan Nabi Muhammad hendaklah diserahkan padaku.‖
Setelah itu, banyak orang-orang yang mengumpulkan beberapa catatan tulisannya
kepada Nabi. Kemudian semua orang tadi diminta bersumpah dan kemudian semuanya
diserahkan kepada Zaid bin Tsabit.

60Musthafa al-A‘zami, The History of Qur‟anic Text, (Leicester: UK Islamic Academy), 88.

4
Penentuan dan Pendistribusian Mushaf Ustmani
Setelah pencatatan sekaligus verifikasi telah dilakukan, lalu dibacakan kepada
para sahabat dan diawasi langsung oleh Ustman. Kemudian hasil catatan atau duplikast
tersebut yang berbentuk mushaf untuk disebarluaskan di seluruh negara Islam.
Lalu, berapakah banyakkah naskah (mushaf) yang telah dibagi-bagikan Ustman?
menurut beberapa laporan, terdapat empat mushaf disebarkan di Kufah, Basrah, Suriah,
dan yang satu disimpan di Madinah. Riwayat lain menambahkan Makkah, Yaman, dan
Bahrain. Namun, ad-Dhani lebih cenderung menerima riwayat yang pertama. Shauqi
Dhaif percaya bahwa delapan naskah telah dibuat, karena Ustman mengambil satu
untuk dirinya sendiri.
Hal yang perlu dicatat disini adalah, bahwa tiada mushaf yang dikirim tanpa
seorang qari‘ (pembaca). Diantara sahabat yang menjadi qari‘ adalah Zaid bin Tsabit ke
Madinah, Abdullah bin as-Sa‘ib ke Makkah, Abdullah bin Syiab ke Suriah, Amr bin Abd
Qais ke Basrah, dan Abdurrahman as-Sulami ke Kufah. Semuanya mengajarkan sesuai
dengan apa yang dulu mereka dengar dari Nabi Muhammad SAW.
Ustman Membakar Seluruh Manuskrip yang Lain
Setelah duplikasi beberapa naskah telah dikirimkan, maka tidak perlu ada lagi
fragmentasi (pecahan tulisan) yang bergulir di tangan para sahabat. Oleh karena itu,
semua fragmentasi itu dibakar oleh Ustman. Mus‘ad bin Sa‘ad meriwayatkan bahwa
masyarakat menerima keputusan Ustman tersebut dengan baik. Riwayat lain
menyebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib berkata:
‫فوهلال ما فعل الذي فعلًف المصاحف إال عن مالمنا جٌمعا‬
Demi Allah, dia tidak melakukan apa-apa dengan fragmentasi diatas kecuali dengan persetujuan
dari kita. Dalam arti, tidak satupun diantara kami yang membantah
Mushaf Ustmani di Masa Lalu dan Sekarang
Lalu bagaimana gambaran mushaf Ustmani di masa lalu? Terdapat sebuah bukti
kuat berupa manuskrip yang memperlihatkan bahwa mushaf Ustman di masa lalu tidak
ada tanda titiknya, dan tidak ada pemisah surahnya kecuali dengan ungkapan kalimat
"Bismillahi ar-Rahman ar-Rahim" yang biasanya berjarak sedikit lebih senggang. Setelah
itu, dalam beberapa abad kemudian (sekitar abad ke-2 dan ke-3 H), terdapat
beberapa tanda yang disematkan dalam setiap surat. Sampai kemudian system tanda
dalam Alquran berkembang seperti mushaf yang sekarang kita kenal.

4
TADABBUR QUR’AN

Pengertian Tadabbur Qur’an

Secara etimologi, term "tadabbur" berasal dari akar kata "dabara" atau "tadabbara"
dalam bahasa Arab artinya "belakang". Sedangkan secara terminologi "tadabbur" berarti
merenung, memperhatikan, meneliti.61
Tadabbur merupakan salah satu cara untuk memahami Alquran. Dalam
pengertian yang sederhana Tadabbur dapat dipahami sebagai sebuah upaya
merenungkan, menghayati dan memikirkan serta pencermatan ayat-ayat Alquran untuk
dapat menggali makna, hikmah, ataupun maksud dan tujuan suatu ayat dalam
Alquran. Justru itu keindahan dan keagungan dan kemukjizat Alquran akan
didapatkan jika dilakukan tadabbur Alquran itu sendiri. Pelajaran dan hikmah serta
i'tibar yang begitu besar dan mendalam dari kandungan Alquran akan dapat
diterapkan dalam kehidupan manusia jika proses tadabbur terhadap Alquran terus
dilakukan.
Menurut pandangan Imam Ibn Qayyim pula, tadabbur bermakna memerhatikan
makna-makna di dalam Alquran dengan sepenuh hati dan menyatukannya di dalam akal
fikiran serta berfikir tentangnya. Memahami dan tadabbur terhadap Alquran akan
membuahkan iman dalam hati.
Kesimpulan pengertian tadabbur yaknisebagai suatu usaha manusia boleh
dirumuskan sebagai suatu usaha manusia yang sungguh-sungguh yang memadukan
pikiran, emosional, dan spiritual yang dilakukan secara khusyuk untuk merenungkan
kandungan ayat-ayat Alquran sehingga qalbu dapat menangkap pesan-pesan nilai yang
mendalam di balik ayat – ayat Alquran.
Membaca Alquran yang disertai dengan penggunaan akal dan hati dalam
memahami, menghayati dan memikirkan setiap ayat Alquran dengan kefahaman
terhadap maknanya serta merealisasikan makna tersebut melalui perbuatan, sikap dan
amalan dalam kehidupan seharian. Oleh itu setiap anggota badan seharusnya
memainkan peranan dalam merealisasikan bacaaan Alquran secara tadabbur.

Seruan Tadabbur Alquran


Dalam Alquran terdapat beberapa ayat yang menyebut kalimat tadabbur dan
menunjukkan kepada seruan mentadabbur Alquran. Seperti firman Allah Subahanahu
Wa Ta‘ala dalam surat Muhammad ayat 24 berikut ini:

 g           


    

"Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka
terkunci?"

4
61 Atabik Ali, Kamus al-'ashri Arab-Indonesia (Yogyakarta: Multi karya Grafika: 1996), 879.

5
Ayat ini sebagai dalil bahwa sebenarnya kita diwajibkan untuk melakukan
tadabbur dan interaksi terhadap Alquran, karena lewat cara ini manusia sebagai
orang yang beriman kepadanya dapat mencerna, mengambil hikmah dan pelajaran dari
Alqurn itu. Jangan sampai membiarkan Alquran hanya sebatas tulisan yang dipajang
tanpa dimanfaatkan untuk pedoman hidup yang universal. Kebaikan yang paling
utama dan terutama adalah membaca dan memahami Alquran serta mengajarkannya.
Namun mentadabburi Alquran sebaiknya ditarik ke dalam diri sendiri bukan ke
luar diri. Karena jika ditarik ke dalam diri sendiri maka ia akan memberi pencerahan
kepada yang membacanya. Namun jika membaca, memahami dan mentadabburinya
ditarik ke luar diri maka biasanya akan menjadikan Alquran sebagai alat untuk menilai,
mengukur dan menghukum orang lain. Belum tentu sesuatu yang kita lihat salah
pada orang lain di landasi oelh Alquran bermanfaat untuk diri kita, agama kita bahkan
akhirat kita. Oleh sebab itu tadabbur Alquran seyogiaynya diperuntukkan bagi
pembacanya.
Imam az-Zarkasyi mengatakan bahawa membaca Al-Qur'an tanpa tadabbur
makruh hukumnya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin Amru yang berbunyi
dianggap tidak faham orang yang membaca al-Qur'an kurang dari 3 hari Ia dicela kerana
telah mempercepatkan lafaz-lafaznya dan meninggalkan proses memahami isinya yakni
tadabbur. 62 Sesungguhnya para sahabat memandang Alquran sebagai surat daripada
Tuhan mereka. Mereka bertadabbur dengannya pada waktu malam dan
mengamalkan kandungannya pada siang harinya.

Menyadari hal inilah, maka kita perlu berusaha dan berusaha bagi
mencapai tahap tadabbur.
Ganjaran pahala yang banyak diberikan kepada siapa yang membaca dan
mentadabbur Qur‘an. Seseorang yang membaca Qur‘an bukan saja pandai
membaca dan tahu makna zahir ayat-ayat yang dibaca, tetapi juga mengkaji apa
yang ada di dalam makna yang tersurat yaitu makna-makna yang tersirat, tujuan
dan matlamat.63

Syarat utama dalam mencapai Tadabbur Qur’an


1. Tilawah Alquran
Tilawah Alquran adalah ibadah yang sangat penting karena dia adalah jalan
untuk memahami petunjuk hidup sepanjang zaman Selama kita masih berpegang
kepada Alquran dan sunnah, kita terjamin tidak akan pernah tersesat dalam
kehidupan dunia maupun akhirat.
Tilawah Alquran berarti membaca Alquran dengan sepenuh hati, khusyuk dan
sepenuh pengertian. Hal ini diungkapkan sebagaimana firman Allah dalam surat al-
Baqarah ayat 121 berikut :

62 Badral-Din Muhammad Ibn Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhan fi 'ulum al-Qur'an (Kairo: Dar al-
Turats, 1972), h. 173.
63 Abbas, Fadhl Hasan, Muhadharat fi „ Ulum al-Qur‟an (Amman: Dar al-Nafa‘is, 2007) hlm. 24.

5
                
        


     -   


   
"Orang-orang yang telah Kami berikan Al kitab kepadanya, mereka membacanya
dengan bacaan yang sebenarnya[84], mereka itu beriman kepadanya. dan
Barangsiapa yang ingkar kepadanya, Maka mereka Itulah orang-orang yang rugi".

Ayat di atas sebagai legitimasi kewajiban membaca Alquran dengan


sungguh-sungguh, tidak mengubah bacaannya, tidak pula menambahnya, menjaga
kemurnian Alquran. Hal ini terlihat dari adanya upaya untuk mengikuti
perintah Alquran; menghalalkan apa yang dihalalkannya dan mengharamkan apa-
apa yang diharamkannya. Mengikuti apa yang diperintahkan oleh Allah Swt lewat
wahyu- Nya dan meninggalkan apa yang dilarang oelh-Nya pula. Oleh karena
itu, membaca Alquran dengan tartil bukan sekedar bacaan saja ,tetapi
merangkumi dengan pemahaman.
2. Memahami dan memahami Alquran dengan benar
Salah satu cara mentadabburi Alquran adalah dengan memahami kandungannya
dan menghayatinya. Jika kita gagal untuk menghayati dan memahaminya, maka kita
akan gagal pula untuk mengamalkannya. Bagaimana tidak, kegagalan dalam memahami
isi kandungan Alquran akan menyimpangkan makna yang dimaksud oleh Allah Swt
dalam firmannya, dan berakibat kesesatan yang nyata. Dengan demikian sama saja
dengan gagal untuk memelihara Alquran.
Dalam memahami Alquran tentu lewat menafsirkannya, dan ini bisa dilakukan
oleh orang-orang yang diberi keutamaan dan kelebihan oleh Allah Swt. Untuk itu
ada beberapa syarat yang harus dikuasai di antaranya; meguasai bahasa Arab, memahami
asbabunnuzul ayat, mengerti sejarah Islam terkait dengan Nabi dan Alquran itu sendiri,
menguasai ilmu tafsir agar dapat merujuk kepadanya, dan menguasai hadis-hadis
Rasulullah Saw, menguasaiilmu Fiqih dalam Alquran.

3. Meyakini dan mengamalkan


Setelah memahami kandungan Alquran, tentu nilai yang paling utama dari
membaca dan memahami Alquran adalah mengamalkannya. Seberapa baguspun bacaan
Alquran seseorang, seberapa banyakpun hafalannya, nilainya diukur dari seberapa
banyak ia mampu mengamalkannya.

5
Setiap orang wajib kembali kepada Alquran dalam beribadah, agar tata caranya
selalu berdasarkan perintah Allah dan dijelaskan dalam hadis-hadis Nabi Muhammad
Saw. Hal ini agar tidak menyimpang dari apa yang telah digariskan oleh Allah Swt dan
dicontohkan oleh baginda Nabi Saw.

5
Allah mewahyukan Alquran dengan hikmah agar ia menjadi panduan kepada umat
Islam. Panduan ini akan dapat diperoleh jika kita dapat menghayati Alquran.
Kefahaman yang betul perlu disusul dengan penghayatan yang mantap. Untuk
menghayati Alquran, proses utamanya adalah dengan mentadabbur Quran itu
sendiri. Objektif utama Allah Subahanahu Wa Ta‘ala telah menurunkan Alquran
agar kita tadabbur kemudian beramal dengannya.
Untuk tahapan pada tadabbur Alquran , perlu dlakukan tilawah Alquran, kepahaman
yang benar terhadap ayat Alquran itu sendiri, beriman serta yakin pada kitab
Alquran, dan seterusnya beramal dengan isi kandungan dan perintah Alquran. Justru
itu kita mesti mengikuti langkah ke arah mentadabburkan Alquran sebagaimana yang
dilakukan oleh generasi umat Islam terdahulu. Kita mesti membaca Alquran dengan
lidah, akal dan hati. Alquran dipahami dan dihayati, iman umat Islam akan
meningkat sekaligus membawa mereka kepada kecemerlangan.
Sesungguhnya kekuatan umat Islam akan dapat dikembalikan jika senantiasa
berdampingan dengan kitab Alquran dan melaksanakan ajarannya. Alquran adalah
sumber kekuatan hakiki untuk umat Islam dan sumber hidayah yang mampu memimpin
ke arah kemakmuran hidup bertamadun di dunia dan kesejahteraan abadi di akhirat.
Pengamalan Alquran lewat membaca, memahami dan mengamalkannya adalah hakikat
dari arti hidup bersama Alquran, itu artinya Alquran akan bersama anda ke manapun
anda pergi, sekalipun teks book Alquran tidak terbawa oleh anda namun secara hakikat
ia selalu bersama anda. Kebersamaan ini akan sampai ke akhirat, ia akan menjadi cahaya
yang terang benderang di alam kubur dan akan menjadi syafaat di hari kemudian. Wallau
a'lam bi al-shawab.

Daftar Pustaka

Abu Zayd, Nashr Hamid, Mafhum al-Nash: Dirasat fi ‘Ulum Alquran. 1994. Kairo: al-Markaz al-
Tsaqafi al-‘Arabi li al-Thiba’ah wa al-Nashr wa al-Tawzi’.

Abu Zayd, Nasr Hamid, Mafhum al-Nash: Dirasat fi ‘Ulum Alquran. 1990. Kairo: al-Hay’ah al-
Mishriyyah al-‘Aamah li al-Kitab.

A’zam, Musthafa al-i, The History of Qur’anic Text. 1990. Leicester: UK Islamic Academy.

Abadi, Fairuz al-, al-Qamus al-Muhit. 2005. Beirut: Muassatu ar-Risalah.

Ali, Atabik, Kamus al-'ashri Arab-Indonesia, 1996. Yogyakarta: Multi karya Grafika.

5
Bagha, Mustafa Dib al-, al-Wadhih fi Ulum Alquran. 1998. Damaskus: Dar al-Kalam.

Dimasyqi, Ibn Katsir al-, Tafsir Alquran al-‘Adhim. 1999. t.t.: Dar Thayyibah li al-Nashr wa al-
Tawzi’, 1999.
Faris, Ibn, Mu’jam Maqayis al-Lughah, 1979. Beirut: Dar al-Fikr.

Hasan, Abbas, Fadhl, Muhadharat fi „ Ulum al-Qur‟an, 2007. Amman: Dar al-Nafa‘is.

Jazari, Ibn al-, Munjidul Muqri’in wa Musyidu at-Thalibin.

Maliki, Muhammad Alawi al-, al-Qawaid Asasiyah fi ilmi Alquran. 1424 H. Jeddah: Maktabah
Malik al-Fahd.

Muhaysin, Muhammad Muhammad Muhammad Salim, al-Fath al-Rabbani fi ‘Alaqat al-Qira’at bi


al-Rasm al-‘Utsmani. 1994. Riyadh: Jami’ah al-Imam Muhammad bin Su’ud al-Islamiyah.

Qattan, Manna’ al-, Mabaahits fi ‘Ulum Alquran. t.t. t.t.p.: Dar al-Rasyid li al-Thiba’ah wa al-
Nashr al-Tawzi’.

Rumi, Fahd bin ‘Abdurrahman al-, Dirasat fi ‘Ulum Alquran al-Karim. 2012. Riyadh: Jami’ah al-
Imam Muhammad bin Su’ud al-Islamiyah.

Subhi Shalih, Mabahith fi Ulum Alquran. 2010. Kairo: Muassasatu al-Risalah.

Saeed, Abdullah, Interpreting the Quran: Towards a Contemporary Approach. 2006.New York:
Routledge, 2006.

Suyuthi, Jalalu al-Din al-, al-Itqan fi ‘Ulum Alquran. t.t. al-Amanah al-‘Aamah li al-Shu’un al-
‘Ilmiyyah Majma’ al-Malik Fahd li Thiba’ah al-Mushhaf al-Sharif.

Shabuni , Ali al-, At-Tibyan fi Ulum Alquran. 2009. Surabaya: al-Haramain.

Sabt, Khalid Utsman, Qawaid Tafsir Jam’an wa Dirasatan. 2006. Kairo: Maktabah al-Falah.

5
Taimiyyah, Ibn, Muqaddimah fi ‘Ushul al-Tafsir. 1971. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Wahidi, Al-, Asbab Nuzul Alquran. 1411 H. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1411 H.

Zarqani, Al-, Manahil al-Irfan. 2006. Kairo: Dar al-Hadits.

Zuhri, Ibn Syihab al-, al-Nasikh wa al-Mansukh. 1999. Beirut: Muassasah al-Risalah.

Zarqaniy, Muhammad Abd al-'Azhim al-, Manahil al-'Irfan fi 'ulum al-Qur'an, tth. Ryadh:
Maktabah Nizar Mustafa al-Baz.

Zarkasyi , Badr al-Din Muhammad Ibn Abdullah al-, al-Burhan fi 'ulum al-Qur'an. 1972.
Kairo: Dar al-Turats.

5
BIODATA PENULIS

Dr. H. SaifuddinHerlambang, MA adalah dosen PNS IAIN Pontianak.


Lahir di Labuhan Batu -Sumatera Utara, 22 Oktober 1973. Putra ketiga dari lima
bersaudara dari Buya H. Amir Hasan Munthe dan Hj. Syamsinar Simanjuntak.
Ayahanda penulis merupakan tokoh senior Al-Washliyah di tingkat daerah, sangat
konsern terhadap pendidikan Madrasah di Al-Washliyahsejaktahun 1955 sampai
2002. Herlambang menikah dengan Torikoh S.Pd alumni Fakultas Tarbiyah Bahasa
Inggris UIN Syarif Hidayatullah-Jakarta, dikaruniai 3 anak; 1 laki-laki (Ahsan Ali
HertoMunthe), dan 2 perempuan (NafiesaMiesca Zahra - sekarang Mondok di
Pesantren Gontor Putri - dan Takiya Ulin Ni'mah). Tamat SD 1 (1986) dan MTs al-
Washliyah (1989), Madrasah Aliyah MA (1993) di Pondok Pesantren Modern Darul
Arafah merupakan Pondok Alumni Gontor di Medan - SUMUT. Sarjana S1 Bahasa
Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah (1999), MagisterTafsir Hadis UIN
Syarif Hidayatullah (2004) dengan Beasiswa Proyek Kemenag RI 2002. Menyelesaikan
program doktor di Sps UIN Syarif Hidayatullah. Pernah mengikuti Daurah tadribiyah li
mu'allim al-lughat al-'Arabiyah li ghair al-natiqin biha, yang diselenggarakan oleh
Universitas Madinah al-Munawwarah KSA (1992). Mendapat Beasiswa Sandwich
(Prosale) Diktis Kemenag RI Oktober - Desember 2015 di Universitas Zaytunah -
Tunisia, Afrika Utara. Pernahmeraihjuara 1 MTQ Nasional antar Mahasiswa PTIN
se-Indonesia di Lampung 1996.Sejak tahun 1999 sampai sekarang menggeluti usaha
di bidang Traveling Umrah dan Haji Khusus. Komisaris PT. ArminaMabror Tour &
Travel (2006-2009). Pernah menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa
Arab IAIN Syarif Hidayatullah (1997-1999). KetuaI katan Pemuda Al-Washliyah
(IPA) DKI Jakarta (1998-2000). Ketua Himpunan Qaridan Qari'ah Fathullah (HIMQAH
Fathullah UIN Syarif Hidayatullah (1998-2000). Pendiri Pondok Pesantren Global
Uswatun Hasanah - Penajam Paser Utara KALTIM
5
(2009). Ketua Yayasan Pondok Serambi Mustadh'afin Cinere - Depok 2013 s/d
sekarang. Pendiridan Pembina Sekolah terpadu Az-Zahra PondokPetir - Sawangan
(2002-2005). Editor Jurnalal-Albab IAIN Pontianak 2012 s/d sekarang. Penulisbuku
Mindset Sukses Perspektif Quran dan buku Hermeneutika Haji. Eksekutif Advisor
dan Pendiri el-Bukhari Institute - Jakarta sejak 2013 s/d sekarang. Saatini
Herlambang tinggal di Komplek PuriCirendeu Indah Jl. Tarumanegara 45 Kav.06
Pisangan - Ciputat-Tanggerang Selatan 15419. E-mail:
saifuddin_herlambang@&yahoo.co.id.

Anda mungkin juga menyukai