Anda di halaman 1dari 9

Tafsir Nazhm Duror fi Tanasub Ayat wa Suwar (Al Biqai)

Oleh :

1. Adelia Intan Fernanda 53020210084

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Quran adalah mu’jizat terbesar Nabi Muhammad SAW yang disampaikan oleh
ruhul quds atau malaikat Jibril. Di dalamnya termuat pedoman hidup bagi manusia.
Mulai dari hubungan dengan yang Kuasa, hubungan kepada sesama manusia bahkan
hubungan kepada makhluk selain manusia. Bukan hanya berita dan hal-hal fisik yang
dijelaskan al-Quran, tetapi juga berita non-fisik atau berita-berita gaib. Demikianlah al-
Quran, diturunkan dengan pesan-pesan dari langit dan berusaha dipahami oleh manusia
dengan keterbatasan akalnya. Kandungan-kandungan di dalamnya tidak bisa dipahami
secara langsung. Melainkan diperlukan sebuah analisa atau telaah khusus untuk menguak
pesannya. Hasil dari telaah inilah yang kemudian menjadi produk penafsiran.

Seiring berjalannya waktu, permasalahn umat semakin kompleks. Maka diperlukan


sebuah pemahaman yang komprehensif tentang pesan-pesan al-Quran. Dunia penafsiran
semakin berkembang. Muncullah berbagai metode penafsiran atau dikenal dengan istilah
manhaj tafsir. Mulai dari metode global (ijmali), analitis (tahlili), tematik (maudhu’i) dan
perbandingan (muqarran). Setiap dari metode mempunyai karakteristik masing-masing.
Belakangan, muncul pula istilah corak (laun) tafsir. Ada corak tafsir isyari, falsafi, adabi
ijmali, ilmi dan sebagainya. Kemunculan corak dalam tafsir ini tidak lepas pula dari latar
belakang si mufassir. Bidang apa yang ditekuni, di lingkungan seperti apa dia
berkembang dan fakta-fakta lain yang menyertai seorang mufassir.

Dalam dunia tafsir, ada banyak kitab-kitab tafsir karya mufassir. Mulai dari kitab
tafsir klasik, modern sampai kontemporer. Setiap kitab mempunyai karakteristik masing-
masing. Salah satunya adalah kitab Nazhm Duror fi tanasub ayat wa suwar karya al-
Biqa’i. Sesuai nama kitabnya, kitab ini sering menjadi rujukan dalam hal munasabah.

B. Biografi Burhanuddin Ibrahim bin Umar al-Biqa’i


Kitab Nazhm Duror Tanasub Ayat wa Suwar dikenal dengan Tafsir al-Biqa’i, karena
pengarangnya terkenal dengan nama al-Biqa’i. Nama lengkapnya adalah al-Imam
Burhaanuddin Abu al-Hasan Ibrahim bin ‘Umar bin Hasan ar-Rubat bin Ali bin Abi Bakr

1
al-Biqa’i al-Kharbawi ad-Damisyqi asy-Syafi’i. Kunyah nya adalah Abu Hasan dan
laqob nya adalah Burhan ad-Din.1
Biqa’ adalah nama sebuah lembah di Lebanon (dahulu disebut Suriah). Lembah ini
terletak di antara Ba’labakka, Hamas dan Damaskus dengan panjang sekitar tujuh puluh
mil dan lebar sekitar tiga sampai tujuh mil. Sedangkan al-Kharbawi adalah nama suatu
daerah dengan air yang berlimpah di lembah Biqa’. Tempat ini adalah tempat dimana
Burhan ad-Din al-Biqa’i dilahirkan.2
Burhan ad-Din al-Biqa’i dilahirkan dari keluarga Bani Hasan di desa Kharbah
Rauhan. Salah satu daerah di lembah Biqa’i, Lebanon pada tahun 809 H. Kedua orang
tuanya hidup sederhana dan tidak memiliki kekayaan duniawi sama sekali. Biqa’i kecil
telah belajar membaca, menulis dan mengghafal al-Qur’an bersama pamannya, Ahmad
bin hasan ar-Ribat. Dia menjadi seorang hafiz Qur’an pada usia sepuluh tahun dan
menguasai berbagai ilmu.3
Pada usia dua belas tahun, al-Biqa’i pindah ke Damaskus karena keluarganya diserang
oleh kelompok Bani Muzahim. Damaskus merupakan pusat ilmu pengetahuan pada saat
itu. Di sana, Biqa’i mempelajari bidang hafalan al-Qur’an, qira’at dan macam-macam
ilmu syariat dan bahasa Arab. Ia berguru kepada Shamsuddin bin al-Jazri.4
Tahun 827 H, Biqa’i pindah ke al-Qudsi untuk mempelajari aljabar dan
perhitungan yang terdapat dalam kitab Manzumah karya Ibnu Haim. Pada saat yang
bersamaan, dia mengarang kitab tentang aljabar dan perhitungan yang diberi nama al-
Bahah. Tahun 828 H, ia kembali ke Damaskus karena ibunya meninggal. Tahun 832 H,
ia kembali ke al-Qudsi dan berhasil menghafal kitab at-Tuhfah karya al-Hafiz ibnu Hajar
al-’Asqalani dan mempelajari kitab Kafiyah bin Hajib yang memuat tentang tasrif. Tahun
834 H, Biqa’i pergi ke Kairo untuk berguru kepada al-Asqalani.5

Karena kecerdasannya, al-Asqalani memberi gelar al-’Allamah kepada al-Biqa’i.


Selain berguru kepada al-Asqalani, Biqa’i juga berguru kepada ulama Mesir lainnya.
Seperti, ash-Sharaf as-Subki, Samsuddin al-Wana’i. Dia juga melewati ke berbagai
daerah, seperti Askandariah dan Dimyati. Saat di Kairo inilah, ia berhasil mengarang
kitab Nazhm Duror Tanasub ayat wa suwar. Namun, karena ada gangguan dari orang-
orang yang iri dengan keilmuannya, Biqa’i memutuskan pulang ke Damaskus. Ia wafat
pada tahun 885 H di Damaskus.6 Dalam kitab al-Masaid disebutkan bahwa al-Biqa’i
berhasil mengarang 49 kitab selama masa pencarian ilmunya, di antaranya:7

1
Burhan ad-Din Abi Hasan Ibrahim bin ‘Umar al-Biqa’i, Masa’id an-Nazar lil Ishraf ‘Ala Maqashid as-Suwar
(Riyad: MAktabah al-Ma’arif, 1987), 31
2
Burhan ad-Din Abi Hasan Ibrahim bin ‘Umar al-Biqa’i, Masa’id an-Nazar lil Ishraf ‘Ala Maqashid as-Suwar
(Riyad: MAktabah al-Ma’arif, 1987), 32
3
Burhan ad-Din Abi Hasan Ibrahim bin ‘Umar al-Biqa’i, Masa’id an-Nazar lil Ishraf ‘Ala Maqashid as-Suwar
(Riyad: MAktabah al-Ma’arif, 1987), 34
4
Abdul Basid, Munasabah Surat dalam al-Qur’an: Telaah Kitab Nazmu Al-Durar Fi Tanasub Al-Ayat Wa As-
Suwar karya Burhanuddin al-Biqa’i, Tesis (Surabaya: Pascasarjana UIN Sunan Ampel, 2016), 54
5
Burhan ad-Din Abi Hasan Ibrahim bin ‘Umar al-Biqa’i, Masa’id an-Nazar..., 35
6
Abdul Basid, Munasabah Surat dalam al-Qur’an: Telaah Kitab Naz}mu Al-Durar..., hal. 55-56.
7
Burhan ad-Din Abi Hasan Ibrahim bin ‘Umar al-Biqa’i, Masa’id an-Nazar,hal. 51-62.

2
1 Al-ibahah fi Sharhi al-Bahah, membahas tentang ilmu perhitungan yang dikarang pada
usia 12 tahun di al-Quds.
1. Ahsan al-Kalam al-Muntaqi Min Zammil Kalam
2. Akhbaru al-Jallad fi Fath al-Bilad
3. Al-Idrak fi al-Fannni al-Ihtibak
4. Asad al-Biqa’ al-Na’isah fi Mu’tadi al-Muqadasah
5. Al-istishad bi Ayat al-Jihad
6. Sharh Jam’ al-Jawami’
7. Aswaqu al-Asywaqi min Mashari’i al-’Isyaq
8. Nazmu Al-Durar Fi Tanasub Al-Ayat Wa As-Suwar
9. Masa’id an-Nazar lil Ishraf ‘Ala Maqashid as-Suwar
C. Latar Belakang Penulisan Kitab Nazhm Duror fi Tanasub Ayat wa Suwar
Kitab Nazm Al-Durar Fi TanaSub Al-Ayat Wa As-Suwar karya al-Biqa’i mulai ditulis
pada bulan Sya’ban 861 H di Kairo. Penulisannya membutuhkan waktu 14 tahun dan
selesai pada hari selasa, 7 Sya’ban 875 H. penulisan kitab ini membutuhkan waktu yang
lama, karena membutuhkan perenungan dalam menemukan hubungan perurutan ayat
dengan ayat atau surat dengan surat (munasabah).8
Kitab Nazhm Duror fi Tanasub Ayat wa Suwar adalah sebuah kitab yang memuat
Munasabah antar ayat dan surat dalam al-Qur’an. Penulisan kitab ini dilatar belakangi oleh
beberapa alasan, yaitu:9

1. Sedikitnya pembahasan mengenai munasabah dalam al-Qur’an. Sedangkan hubungan


antar ayat maupun antar surat merupakan salah satu bentuk kemukjizatan al-Qur’an
dalam bidang bahasa (i’jaz al-lughawi) dan pemahaman tentang munasabah itu sangat
membantu dalam memahami al-Qur’an.
2. Kitab-kitab terdahulu yang membahas mengenai munasabah al-Qur’an, seperti at-Tahrir
wa at-Tahbir li Aqwal Aimmah al-Tafsir fi Ma’na al-kalam al-Sami’ al-Basir karya Ibn
al-Naqib dan kitab Miftah al-Bab al-Muqfil ‘ala Fahmi al-Qur’an al-Munazzal karya al-
Rabbani Abi Hasan al-Haralli, belum memadai dalam menjelaskan kepaduan tiap bagian
dalam al-Qur’an.
D. Metode Penafsiran

8
Abdul Basid, Munasabah Surat dalam al-Qur’an: Telaah Kitab Naz}mu Al-Durar, hal. 59.
9
Abdul Basid, Munasabah Surat dalam Al-Qur’an: Telaah Kitab Nazm Al-Duror, hal. 60.

3
Metode berarti jalan atau cara yang dalam bahasa Arab disebut tariqah dan manhaj.
Metode penafsiran adalah jalan atau cara yang ditempuh oleh mufassir untuk
menafsirkan al-Quran.10
Metode yang digunakan al-Biqa’i dalam menafsirkan al-Quran melalui kitabnya yang
berjudul Nazhm Duror fi Tanasub Ayat wa Suwar adalah metode tahlili atau metode
analitis. Menurut Farmawi, metode tahlili adalah suatu metode menafsirkan al-Quran
dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan
itu dan menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian
dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.
Ayat-ayat dalam kitab Nazhm Duror fi Tanasub Ayat wa Suwar diuraikan secara urut,
sesuai dengan susunan ayat dan surat dalam mushaf ‘Usmani. Penjelasannya mendetail
dengan menyertakan berbagai aspek yang dikandung dalam ayat atau surat yang
ditafsirkan. Seperti mufrodat, asbab al-nuzul, munasabah, konotasi atau persamaan
katanya dan juga pendapat-pendapat di sekitar ayat tersebut, baik yang berasal dari Nabi,
sahabat, tabi’in atau ahli tafsir lainnya.11
Karakteristik yang paling menonjol dari tafsir tersebut yang pertama adalah
penafsirannya dimulai dari surat al-Fatihah sampai dengan an-Nas atau diuraikan secara
urut sesuai susunan ayat dalam mushaf ‘Usmani. kedua, makna kosakata atau mufrodat.
Hampir semua kata dalam suatu ayat dijelaskan makna tafsirnya secara gamblang. Ketiga
adalah munasabah, sesuai dengan nama kitabnya, penafsiran pada suatu ayat selalu
menunjukkan keserasian dengan ayat lain dengan tema yang sama.
E. Sumber Penafsiran
Sumber penafsiran dalam kitab tafsir ini lebih berdasarkan pada penggunaan akal
(ra’yu). Sehingga al-Biqa’i dalam penguraian makna ayat banyak menggunaan
pendapatnya sendiri. Dalam penguraian suatu makna kata pun, al-Biqa’i menjelaskan
secara rinci. Tentunya itu semua menggunakan ijtihad atau akal. Dengan demikian, kitab
tafsir Nazhm Duror fi Tanasub Ayat wa Suwar ini termasuk kategori tafsir bi -al-ra’yi.
Penerapan tafsir bi al-ra’yi ini tidak terlepas dari fokus kitab ini yang membahas
tentang munasabah ayat. Yang otomatis penggunaan akal sangat mendominasi. Karena
penjelasan tentang munasabah antar ayat maupun antar surat tidak dijelaskan oleh al-
Quran dan Nabi, dan hal ini termasuk ke dalam wilayah ijtihadi, bukan tauqifi. Seperti
ketika al-Biqa’i menafsirkan kata langit (istiwa). Ia menafsirkan kata itu bukanlah langit

10
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), hal.380.
11
Abdul Basid, Muna.sabah Surat dalam al-Qur’an: Telaah Kitab Naz}mu Al-Durar..., hal. 67-68.

4
secara dhahir, tetapi sebagai simbol terhadap ketinggian dan kemuliaan. Al-Biqa’i
mengatakan bahwa lafadz istiwa lebih berhak ditafsiri dengan makna batinnya daripada
makna dzahir.12
F. Corak Penafsiran
Corak dalam bahasa Arab adalah ‫ون‬CC‫( ل‬warna). Dalam ilmu tafsir, yang dimaksud
dengan corak atau ‫ لون التفسير‬adalah suatu warna, arah atau kecenderungan pemikiran atau
ide tertentu yang mendominasi suatu karya tafsir. 13 Dalam kitab al-Mufassirun,
Hayatihim Wa Manhajihim karya Muhammad Ali Iyzari dijelaskan bahwa corak tafsir
adalah sebuah corak yang mengutamakan atau memfokuskan pada pembahasan seputar
bahasa dalam penafsiran al-Qur’an yang meliputi asal-asul kosakata atau mufradat,
pembentukan kata dan asal-usulnya (tasrif), perubahan harakat (i’rob) dan asal-usulnya,
qira’at (bacaan) yang sesuai dengan asas-asas bahasa Arab, susunan kalimat dan
kesusastraannya.14
Seorang yang menafsirkan al-Quran dengan pendekatan bahasa haruslah mengetahui
bahasa yang digunakan al-Quran, yaitu bahasa Arab dengan segala seluk-beluknya, baik
yang terkait dengan nahwu, balaghah dan sastranya. Dengan pengetahuan bahasa yang
bagus, seorang mufassir akan mudah melacak dan mengetahui makna dan susunan
kalimat-kalimat al-Quran mampu mengungkap makna di balik suatu kalimat. 15 Al-Biqa’I
ialah seorang yang terkenal cerdas sejak kecil, banyak orang yang memuji karya-
karyanya, termasuk al-Asqalani yang memuji karyanya, kitab Nazhm Duror fi Tanasub
Ayat wa Suwar. Jadi, syarat untuk menafsirkan al-Quran dengan pendekatan (corak)
bahasa sudah terpenuhi. Bahkan, dalam kitab al-Mufassirun, Hayatihim wa Manhajim
disebutkan bahwa al-Biqai adalah seorang sastrawan. 16 Yang otomatis kemampuan
bahasanya sangat tinggi.
Berdasarkan penjelasan di atas, tafsir Nazhm Duror fi Tanasub Ayat wa Suwar
menggunakan corak lughawi (bahasa). Corak ini mendominasi penafisran dalam tafsir al-
Biqa’i. Dalam setiap ayat yang ditafsirkan, al-Biqa’i selalu menjelaskan kosakatanya
dengan sangat detail. Jenis corak dalam tafsir ini adalah tafsir munasabah karena al-Biqai
menekankan pada tanasub atau keserasian antar ayat maupun antar surat dalam al-Quran.

12
Abdul Basid, Munasabah Surat dalam al-Qur’an: Telaah Kitab Nazmu Al-Durar..., hal. 68-69.
13
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir...,hal. 387-388.
14
Muhammad ‘Ali Izari, al-Mufassirun, Hayatihim wa Manhajihim (TT: Tsaqafah wal Irsyad al-Islami, 1965),
hal. 60.
15
Kusroni, Menelisik Sejarah dan Keberagaman Corak Penafsiran al-Quran, Jurnal El-Furqania, Vol. 5, No. 2
(Agustus, 2017), hal. 137.
16
Muhammad ‘Ali Izari, al-Mufassirun, Hayatihim…, hal. 1230.

5
G. Bentuk Munasabah
Munasabah atau keserasian, korelasi dalam pengertian bahasa berarti kedekatan.
Yang dimaksud dengan munasabah secara istilah adalah segi-segi hubungan antara satu
kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat, antara satu ayat dengan ayat lain dalam
banyak ayat, atu antara satu surat dengan surat lain. Hubungan mengenai ayat-ayat dan
surat-surat bukanlah suatu yang tuqifi, tetapi ijtihadi mufassir.17Al-Biqa’I dalam
memandang pentingnya ilmu munasabah al-Quran, setidaknya ada tujuh munasabah
yang ia rumuskan, yaitu :18

1) Keserasian antara kata demi kata dalam satu ayat


2) Keserasian antara kandungan satu ayat dengan fashilah (penutup ayat)
3) Keserasian antara ayat dengan ayat sebelumnya
4) Keserasian antara awal uraian satu surat dengan akhir uraiannya
Misalnya, di akhir tafsirannya terhadap surat an-Nisa, al-Biqa’I mengatakan bahwa
penutup surat tersebut mempunyai hubungan yang erat dengan bagian awal surat. Jika
bagian awal dan akhir surat digabung bagian akhir, maka seolah Allah berfirman:
“Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari seorang
diri. Darinya Allah meniptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah mengembang
biakkan pria dan wanita. Semuanya sama di depan syariat Allah, siapa yang sombong
dan ingkar, walau terhadap satu dari sekian banyak hukumNya, ia pasti akan
mendapatkan hukuman yang setimpal di hari Kiamat, dan ia pasti tidak kan bisa
berbohong atau ingkar di hadapan Allah, semua akan jelas dan terang.”

Dengan demikian, Nampak ada hubungan yang erat antara awal dan akhir surat.
Bagian akhir menerangkan luasnya ilmu dan pengetahuan Allah terhadap segala sesuatu
di alam raya, sedang bagian awalnya menerangkan besarnya kekuasaan Allah di alam
semesta. Jadi, bagian akhir surat ini penyempurna bagian awalnya. Sebab kesempurnaan
ilmu pengetahuan menuntut kekuasaan yang tidak terbatas.19

5) Keserasian akhir uraian satu surat dengan uraian awal surat berikutnya
Misalnya pada permulaan surat al-Hadid yang dimulai dengan tasbih:

‫َس َّبَح ِهَّلِل َم ا ِفى الَّس َم َو ِت َو اَأْلْر ِض َو ُهَو الَع ِزْيُز الَحِكْيُم‬

17
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu…, hal. 137-138.
18
Abdul Basid, Munasabah Surat dalam al-Qur’an: Telaah Kitab Nazmu Al-Durar..., hal. 71.
19

6
Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah, dan
Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Ayat tersebut bermunasabah dengan akhir surat sebelumnya, al-Waqi’ah:

‫َفَس ِّبْح ِباْس ِم َر ِّبِك الَعِظ ْيِم‬

“Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabb-mu yang Maha Besar.”20

6) Keserasian antara tema sentral setiap surat dengan nama surat tersebut
Al-Biqa’i menyatakan bahwa setiap surat dalam al-Quran pasti satu tema pokok yang
dikandungnya. Sebab semua kandungan kandungan surat biasanya merupakan
penerjemahan dan penjelasan terhadap nama surat. Misalnya. Kalimat basmalah yang
menjadi pembuka surat al-Fatihah dan mempunyai kaitan erat dengan tema yang
dikandung surat al-Fatihah.21

7) Keserasian antara surat dengan surat sebelumnya


H. Sistematika Penulisan
1. Memperhatikan terlebih dahulu mengenai tujuan umum suatu surat.
2. Melihat unsur-unsur yang terlibat dalam menggolongkan tujuan umum tersebut dengan
memperhatikan dari kedekatan dan unsur-unsur tersebut.
3. Mengaitkan ayat-ayat hukum dengan ayat lain sehingga terpenuhi syarat balaghah
(kesempurnaan uraian).22

KitabNadzmu al-Durar fi Tanasub al-Ayatwa al-Suwarterdiridari 8 juzataujilid.


Secaraterperinci, dapat di jelaskansebagaiberikut :
1. Juz I dari awal surat al-Fatihah sampai akhir surat al-Baqarah halaman 1-568.
2. Juz II dari awal surat Ali Imran sampai akhir surat al-An’am halaman 1-760.
3. Juz III dari awal surat al-A’raf sampai akhir surat Hud, halaman 1-598.
4. Juz IV dari awal surat Yusuf sampai akhir surat Maryam, halaman 1-567.
5. Juz V dari awal suratThaha sampai akhir surat ar-Rum, halaman 1-655.
6. Juz VI dari awal surat al-Luqman sampai akhir surat asy-Syura, halaman 1-663.
7. Juz VII dari awal surat al-Zuhruf sampai akhir surat al-Jumu’ah, halaman 1-624.
8. Juz VIII dari awal surat al-Taghabun sampai akhir surat an-Nas, halaman 1-632.

I. Komentar Ulama Mengenai Kitab


Banyak ulama yang mengakui kemampuan dan keilmuan Al-Biqa'i. Di antaranya ;
20

21

22
Dahlia Simanjuntak, Munasabat Al-Qur’an Menurut Al-Biqa’i, Jurnal el-Qanuny, vol. 4 no. 2, 2018, hal. 253.

7
1. Imam asy-Syaukami yang menilai Al-Biqa'i sebagai pakar dalam berbagai disiplin
ilmu agama, bukan hanya tafsir.
2. Umar Kahalat, seorang ahli tafsir yang memandang Al-Biqa'i sebagai ulama yang
ahli di bidang tafsir, sejarah, dan sastra.
3. Ibnu al-Imad, seorang ahli tafsir yang mengatakan bahwa Al-Biqa'i adalah
ilmuwan yang senang berdiskusi, gemar mengkritik, dan penulis yang produktif.
4. M.Quraish Shihab (ahli tafsir kontemporer Indonesia) pernah melakukan
penelitian terhadap Kitab Nazm ad-Durar untuk penulisan disertasinya. Ia
menyimpulkan bahwa salah satu keistimewaan buku tafsir Al-Biqa'i adalah
meskipun uraiannya terfokus pada usaha menemukan keserasian di antara ayat dan
surah dalam Al-Qur'an, namun uraian tentang tafsir ayat-ayat itu tidak terabaikan,
serta memberi penjelasan tentang hubungan kata demi kata dalam satu ayat.
J. Kelebihan dan Kekurangan
a. Kelebihan
1. Kehati-hatian dalam menafsirkan Al-Qur’an.
2. Memudahkan mencari munasabah dalam Al-Qur’an.
3. Terperinci dalam memaparkan segi balaghahnya.
4. Walaupun membahas munasabah akan tetapi penjelasan tafsirnya juga memahamkan
pembaca.
5. Konsisten menjelaskan munasabah antar ayat dalam satu surah dari segi makna,
sehingga makna ayat menjadi kesatuan yang utuh.
6. Konsisten menggunakan kode yang menunjukkan munasabah.
7. Penjelasan munasabah ayat oleh al-Biqa’i bersifat runtut dan berkesinambungan
antar ayat, dari ayat pertama hingga ayat terakhir.
8. Cara alBiqa’i mengungkap munasabah dengan bentuk narasi memberi kesan bahwa
setiap ayat dari surah al-Waqi’ah itu saling berhubungan.
b. Kekurangan
1. Terlalu panjang menjelaskan mengenai ayat atau kata-kata yang ada di dalamnya
dan ada yang menyampaikan secara lughowi dan sastra.
2. Ada kesenjangan dalam menjelaskan munasabah antara surah al-Waqi’ah dengan
surah al-Rahman.
3. Al-Biqa’i hanya menyebutkan isyarat munasabah antara nama surah al-Waqi’ah
dengan kandungannya, tanpa penjelasan mengenai keterkaitannya.

8
4. Tidak menjelaskan munasabah antara ayat dalam surah al-Waqi’ah dengan ayat
dalam surat lain.
5. Al-Biqa’i tidak menjelaskan munasabah antara fasilah (penutup ayat) dengan isi
kandungan ayat.
K. Daftar Pustaka
Simanjuntak Dahlia, Munasabat Al-Qur’an Menurut Al-Biqa’i, Jurnal el-Qanuny, vol. 4
no. 2, 2018
Khalil al-Qattan Manna’, Studi Ilmu-Ilmu…

Basid Abdul, Munasabah Surat dalam al-Qur’an: Telaah Kitab Nazmu Al-Durar...

Baidan Nasruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir...

‘Ali Izari Muhammad, al-Mufassirun, Hayatihim wa Manhajihim (TT: Tsaqafah wal


Irsyad al-Islami, 1965)

Kusroni, Menelisik Sejarah dan Keberagaman Corak Penafsiran al-Quran, Jurnal El-
Furqania, Vol. 5, No. 2 (Agustus, 2017)

Burhan ad-Din Abi Hasan Ibrahim bin ‘Umar al-Biqa’i, Masa’id an-Nazar lil Ishraf ‘Ala
Maqashid as-Suwar (Riyad: MAktabah al-Ma’arif, 1987)

Anda mungkin juga menyukai