Anda di halaman 1dari 11

ILMU QUR’AN DAN HADITS

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU AL-QUR’AN

Dosen Pengampu : Muhammad Rofiq Junaidi, M.Hum.

Disusun Oleh Kelompok 1 :


Ahmad Yusuf (215211079)
Nuryadi (215211084)
Ardelia Regita Cahyani (215211101)
Intan Ananda (215211102)
Fitri Nur Aini (215211108)

MANAJEMEN BISNIS SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID
SURAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan berbagai nikmat di
antaranya nikmat iman, serta kesehatan yang tak terkira harganya. Semoga dengan
melimpahnya rahmat tersebut, kita senantiasa istiqamah di jalan yang Allah ridhoi. Shalawat
serta salam tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw. kepada keluarganya, para
sahabatnya, para tabi’in hingga sampai kepada kita selaku umatnya. Semoga cahaya Nabi
Muhammad senantiasa menuntun kita untuk menapaki kehidupan akhir zaman.
Dalam makalah ini kami selaku kelompok 1 mengangkat judul “Sejarah
Perkembangan Ilmu Al-Qur‟an”. Kami selaku kelompok 1 mengucapkan banyak terima kasih
kepada dosen pengampu atas bimbingannya serta kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini.
Kami selaku kelompok 1 menyadari dalam pembuatan dan penyusunan makalah ini,
masih terdapat banyak kekurangan yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu, kami selaku
kelompok 1 memohon maaf sebesar-besarnya jika terdapat banyak kekurangan tersebut.
Dengan senang hati kami menerima kritik dan saran yang dapat menjadikan pembuatan
makalah selanjutnya lebih baik lagi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca
umumnya dan bagi kelompok 1 khususnya.

Surakarta, 09 Februari 2022

Kelompok 1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah merupakan rekaman peristiwa masa lalu yang dilalui oleh manusia
dengan segala sisinya. Sejarah memuat kejadian-kejadian yang telah lampau dimana
didalamnya mengandung arti dan nilai kehidupan. Sedangkan Al-Qur‟an adalah
wahyu Ilahy (kitab suci) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. sebagai
pedoman hidup bagi umat manusia.

Al-Qur‟an merupakan sumber utama ajaran Islam, dan juga merupakan


pedoman hidup bagi setiap manusia. Al-Qur‟an bukan sekedar memuat petunjuk
tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga mengatur hubungan manusia
dengan sesamanya, bahkan hubungan manusia dengan alam sekitarnya (Choiruddin
Hadliri:1993). Dengan deimkian, untuk dapat memahami ajaran Islam secara
sempurna, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah memahami Al-Qur‟an.
Al-Qur‟an, sebagaimana diketahui, diturunkan dalam bahasa Arab, baik lafal maupun
uslubnya. Namun demikian, tidaklah berarti bahwa semua orang Arab, atau orang
yang mahir dalam bahasa Arab, dapat memahami Al-Qur‟an secara rinci.

Masa pewahyuannya yang terbentang sekitar dua puluh tahunan,


merefleksikan perubahan-perubahan lingkungan, perbedaan dalam gaya dan
kandungan, bahkan ajarannya. Sekalipun bahasa Arab yang digunakannya dapat
dipahami, terdapat bagian-bagian di dalamnya yang sulit dipahami.5 Kaum Muslimin
sendiri,dalam rangka memahaminya, telah menghasilkan berton-ton kitab tafsîr yang
berupaya menjelaskan makna pesannya. Sekalipun demikian, sejumlah besar mufassir
Muslim masih tetap memandang kitab itu mengandung bagian-bagian mutasyãbihãt
yang, menurut mereka, maknanya hanya diketahui oleh Tuhan.

Sejak pewahyuannya hingga kini, al-Quran telah mengarungi sejarah panjang


selama empat belas abad lebih. Diawali dengan penerimaan pesan ketuhanan al-Quran
oleh Muhammad, kemudian penyampaiannya kepada generasi pertama Islam yang
telah menghafal dan merekamnya secara tertulis, hingga stabilisasi teks dan
bacaannya yang mencapai kemajuan berarti pada abad ke-3H/9 dan abad ke-4H/10
serta berkulminasi dengan penerbitan edisi standar al-Quran di Mesir pada
1342H/1923, kitab suci kaum Muslimin ini masih menyimpan sejumlah misteri dalam
berbagai tahapan perjalanan kesejarahannya.

Dalam penelusuran jejak historis al-Quran, asal-usul, dan perjalanan


kesejarahannya yang awal, kitab suci itu akan diperlakukan dan digunakan sebagai
sumber primer. Sebagaimana diakui, al-Quran merupakan rekaman otentik berbagai
aspek kesejarahan pra-Islam dan pada masa pewahyuannya. Sumber- sumber lainnya,
seperti hadits dan karya-karya klasik ataupun modern kesarjanaan Muslim, akan
digunakan secara kritis dalam penelusuran tersebut.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, kelompok kami perlu untuk untuk
merumuskan apa yang menjadi permasalahan dengan membuat pernyataan rumusan
masalah. Pokok masalah tersebut dapat dijabarkan secara rinci sebagai berikut:
1. Bagaimana asal usul dan pewahyuan Al-qur‟an?
2. Cara pengumpulan Al-qur‟an.
3. Stabilisasi teks dan bacaan Al-qur‟an

C. Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah dalam rangka untuk
mengungkapkan bagaimana asal usul dan pewahyuan Al-qur‟an,cara pengumpulan
Al-qur‟an dan stabilisasi teks dan bacaan Al-qur‟an secara umum.
D. Manfaat

Dengan penyusunan makalah ini diharapkan dapat memberikan penjelasan


secara komprehensif mengenai asal usul dan pewahyuan Al-qur‟an,cara
pengumpulan Al-qur‟an dan stabilisasi teks dan bacaan Al-qur‟an secara umum.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Ilmu Al-Qur‟an


1. Asal-usul dan Pewahyuan al-Quran
Awal mula sejarah al-quran dimulai dari situasi politik yang terjadi di jazirah arab,
Kawasan terisolasi dari sisi daratan dan lautan. Politik memanas saat itu antara Bizantium
dengan Persia dalam perebutan kekuasaan di Timur Tengah. Kota pertama islam yaitu
Makkah dan Yatsrib adalah merupakan pusat perniagaan yang sangat Makmur. Pada
waktu itu, istilah perniagaan yang sangat populer adalah menjual, membeli atau barter,
dan transaksi.
Sedangkan beberapa daerah di Madinah terdapat Kawasan-kawasan yang disebut
sebagai “hijau”. Aktivitas masyarakat tersebut merjuk kepada kitab suci yang mana
membahas mengenai pertanian yang telah menggunakan sistem irigasi. Tetapi, bentuk
pertanian yang dipraktekkan di luar oase-oase di Arabia pada umumnya bersifat musiman
karena ketergantungan yang sangat pada curah hujan, seperti ditamsilkan al-Quran dalam
berbagai kesempatan.1
Dalam melaksanakan perintah allah untuk berdakwah, Muhammad melakukannya
secara bertahap. Pada mulanya, Muhammad mendakwahkan risalah kenabiannya secara
privat kepada keluarga dan teman-teman dekatnya. Istrinya, Khadijah, dan keponakannya,
Ali ibn Abi Thalib, merupakan orang-orang pertama yang membenarkan kerasulannya.
Pada umumnya, pengikut-pengikut awal Nabi berasal dari kalangan tertindas yang tidak
memiliki posisi sosial penting, meskipun beberapa di antaranya adalah pedagang kaya –
seperti Abu Bakr al-Shiddiq (w. 634) – dan individu-individu yang mengalami fermentasi
keagamaan – seperti Utsman ibn Maz‟un. Tetapi, aristokrasi pedagang Makkah, yang
memiliki pengaruh besar dalam masyarakat, menolak dakwah Nabi dan menggunakan
pengaruh mereka untuk membendungnya. Mereka memandang dakwah Islam sebagai
suatu ancaman terhadap tradisi “bapak-bapak kami,” yaitu politeisme, yang darinya
mereka beroleh keuntungan material dan privilese sosial-ekonomi.2

Kitab suci kaum Muslimin, yang berisi kumpulan wahyu Ilahi yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad selama kurang lebih 23 tahun, secara populer dirujuk dengan

1
Taufik Adnan Amal. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur‟an. Jakarta. 2011
2
Taufik Adnan Amal. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur‟an. Jakarta. 2011
nama “al-Qur‟ãn”. Sebagian besar sarjana Muslim memandang nama tersebut secara
sederhana merupakan kata benda bentukan (mashdar) dari kata kerja (fi„l ) qara‟a yang
berarti, “membaca.” Dengan demikian al-qur‟ãn bermakna “bacaan” atau “yang dibaca”
(maqrû‟).3 Dalam manuskrip al-Quran beraksara kufi yang awal, kata ini ditulis tanpa
menggunakan hamzah – yakni al-qurãn.

Hal ini telah menyebabkan sejumlah kecil sarjana Muslim memandang bahwa
terma itu diturunkan dari akar kata qarana, “menggabungkan sesuatu dengan sesuatu yang
lain” atau “mengumpulkan,” dan al-qurãn berarti “kumpulan” atau “gabungan.”4 Tetapi,
pandangan minoritas ini harus diberi catatan bahwa penghilangan hamzah merupakan
suatu karakteristik dialek Makkah atau Hijazi,5 dan karakteristik tulisan al-Quran dalam
aksara kufi yang awal. Disamping itu, sebagaimana akan ditunjukkan dibawah, terma
qur‟ãn bertalian erat dengan akar kata qara‟a dalam penggunaan al-Quran sendiri.

Pengakuan Muhammad bahwa ia merupakan penerima wahyu dari Tuhan semesta


alam untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia mendapat tantangan keras dari
orang Arab yang sezaman dengannya. Al-Quran sendiri tidak menyembunyikan adanya
oposisi yang serius terhadap Nabi, tetapi justeru merekam rentetan peristiwa tersebut
tanpa memutarbalikkan pandangan-pandangan negatif para oposan kontemporer Nabi
mengenai asal-usul genetik atau sumber wahyu yang diterimanya – termasuk ejekan dan
celaan musuh-musuh Muhammad.6

Dalam sejumlah bagian al-Quran, kata-kata senada juga digunakan untuk merujuk
komunikasi pesan ilahi kepada para nabi sebelum Muhammad (12:109; 16:43; 21:7,25;
dll.): seperti kepada Nuh (23:27; 11:36-37; dll.), Musa (7:160; 20:13,77; 26:52,63; dll.),
Yusuf (12:15), dan lain-lain. Pesan yang dikomunikasikan, dalam kebanyakan kasus,
berupa perintah untuk melakukan sesuatu. Jadi, kepada Nuh, misalnya, “diperintahkan”
membuat bahtera berdasarkan “wahyu”. Begitu juga, kepada Musa “diperintahkan” untuk
melakukan eksodus di malam hari, memukul laut dan batu karang dengan tongkatnya.
Terkadang, yang diwahyukan kepada para nabi adalah doktrin: “Katakanlah:

3
Untuk berbagai istilah linguistik yang digunakan dalam tulisan ini, lihat Muhammad Ali al-Khuli, A
Dictionary of Theoretical Linguistics, (Beirut: Librairie du Liban, 1982).
4
Lihat Muhammad Badr al-Din al-Zarkasyi, al-Burhãn fî „Ulûm al-Qur‟ãn, (Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, tt.), i,
p. 278; Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Itqãn fî „Ulûm alQur‟ãn, (Dar al-Fikr, tt.), i, p. 87; Noeldeke, et.al.,
Geschichte, i, pp. 31 f. catatan no. 6..
5
Dengan demikian, besar kemungkinannya bahwa Nabi sendiri membaca terma ini sebagai qurãn, mengingat
asal-usul etnisnya.
6
Taufik Adnan Amal. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur‟an. Jakarta. 2011
„Sesungguhnya diwahyukan kepadaku bahwa Tuhanmu adalah Tuhan yang esa‟”
(18:110; 21:108; 41:6; dll.).7 Penetapan al-Quran sebagai sumber primer hukum Islam
juga memainkan peran penting dalam upaya penyusunan suatu aransemen kronologis
kitab suci tersebut. Hal ini tercermin jelas dalam berbagai bahasan tradisional tentang
nãsikh-mansûkh.8

2. Pengumpulan al-Quran

Terdapat dua jenis tulisan Arab – lazimnya disebut khat Hijazi – yang
berkembang ketika itu. Pertama adalah khat Kufi, dinamakan mengikuti kota Kufah,
tempat berkembang dan disempurnakannya kaidah-kaidah penulisan aksara tersebut.
Bentuk tulisan ini paling mirip dengan tulisan orang-orang Hirah (Hiri) yang bersumber
dari tulisan Suryani (Siriak). Khat Kufi digunakan ketika itu antara lain untuk menyalin
al-Quran. Bentuk tulisan kedua adalah khat Naskhi, yang bersumber dari bentuk tulisan
Nabthi (Nabatean). Khat ini biasanya digunakan dalam suratmenyurat. Namun, teori
tentang asal-usul kedua ragam tulis ini tidak begitu diterima sejarawan Arab, yang
melihat bahwa tulisan Musnad – bersumber dari tulisan Arami (Aramaik) yang masuk ke
Hijaz melalui Yaman – merupakan bagian dari rangkaian tulisan Arab.9

Unit-unit wahyu yang diterima Muhammad pada faktanya dipelihara dari


kemusnahan dengan dua cara utama: (i) menyimpannya ke dalam “dada manusia” atau
menghafalkannya; dan (ii) merekamnya secara tertulis di atas berbagai jenis bahan untuk
menulis. Jadi, ketika para sarjana Muslim berbicara tentang jam„u-l-qur‟ãn pada masa
Nabi, maka yang dimaksudkan dengan ungkapan ini pada dasarnya adalah pengumpulan
wahyu-wahyu yang diterima Nabi melalui kedua cara tersebut, baik sebagian ataupun
seluruhnya.

Pengumpulan pertama Al-Qur‟an dilakukan oleh khalifah Zayd Ibn Tsabit. al-
Quran sendiri dikumpulkan dan direkam secara tertulis pada masa Nabi. Sementara yang
dilakukan Khalifah Utsman, ketika mengumpulkan al-Quran pada masa kekhalifahannya,

7
Taufik Adnan Amal. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur‟an. Jakarta. 2011
8
Dalam fiqh klasik, terma nãsikh-mansûkh, sehubungan dengan al-Quran, memiliki tiga makna: (i) menunjuk
pada pembatalan hukum yang dinyatakan dalam kitabkitab samawi sebelum al-Quran; (ii) menunjuk pada
penghapusan sejumlah teks ayat-ayat al-Quran dari eksistensinya, baik penghapusan teks dan hukum yang
terkandung di dalamnya (naskh al-hukm wa-l-tilãwah) maupun penghapusan teksnya saja sedangkan hukumnya
tetap berlaku (naskh al-tilãwah dûna-l-hukm); dan (iii) penghapusan ayat-ayat yang turun lebih awal oleh ayat-
ayat yang turun belakangan, tetapi teks terdahulu itu masih tetap terkandung di dalam al-Quran 140 / TAUFIK
ADNAN AMAL (naskh al-hukm dûna-l-tilãwah). Makna terakhir inilah yang relevan dengan bahasan di sini.
9
Taufik Adnan Amal. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur‟an. Jakarta. 2011
adalah menyatukan kaum Muslimin pada pembacaan satu mushaf otoritatif. Dengan kata
lain, lewat upayanya dalam pengumpulan al-Quran, Utsman telah melakukan penyatuan
atau standardisasi teks al-Quran.

Ada sejumlah informasi yang cukup ekstensif tentang bahanbahan yang


digunakan untuk menyalin al-Quran. Informasi ini terutama didasarkan pada laporan-
laporan mengenai surat-surat yang dikirim Nabi ke berbagai penguasa dunia ketika itu
dan laporan mengenai pengumpulan al-Quran yang dilakukan Zayd. Dalam laporan
terakhir ini disebutkan sejumlah bahan yang ketika itu digunakan untuk menyalin wahyu-
wahyu yang diturunkan Allah kepada Muhammad,76 yaitu:

(i) riqã„ atau lembaran lontar atau perkamen, sebagaimana dijelaskan al-Suyuthi;77
(ii) likhãf atau batu tulis berwarna putih, terbuat dari kepingan batu kapur yang
terbelah secara horisontal lantaran panas;
(iii) „asib atau pelepah kurma, terbuat dari bagian ujung dahan pohon kurma yang tipis
– salah satu surat Nabi kepada Udzra ditulis di atas bahan ini;78
REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN / 177
(iv) aktãf atau tulang belikat, biasanya terbuat dari tulang belikat unta; (v) adllã„ atau
tulang rusuk, biasanya juga dari tulang rusuk unta; (vi) adîm atau lembaran kulit,
terbuat dari kulit binatang asli – bukan perkamen – dan merupakan bahan utama
yang digunakan untuk menulis ketika itu.10

Terdapat dua jenis mushaf, yaitu mushaf primer dan mushaf sekunder. Berikut
skema mushaf tersebut :

Mushaf Primer Mushaf Sekunder


1.Mushaf Salim ibn Ma„qil. 1. Mushaf Alqama ibn Qais
2. Mushaf Umar ibn Khaththab. 2. Mushaf al-Rabi„ ibn Khutsaim
3. Mushaf Ubay ibn Ka„b. 3. Mushaf al-Harits ibn Suwaid
4. Mushaf Ibn Mas„ud. 4. Mushaf al-Aswad ibn Yazid
5. Mushaf Ali ibn Abi Thalib 5. Mushaf Hiththan
6. Mushaf Abu Musa al-Asy„ari. 6. Mushaf Thalhah ibn Musharrif
7. Mushaf Hafshah bint Umar. 7. Mushaf al-A„masy
8. Mushaf Zayd ibn Tsabit. 8. Mushaf Sa„id ibn Jubayr
9. Mushaf Aisyah bint Abu Bakr. 9. Mushaf Mujahid

10
Ibid, iv, no. 87, 102, p. 123, mengungkapkan beberapa kisah – hampir-hampir merupakan anekdot – yang
dituturkan Ibn Sa„d mengenai utusan-utusan yang dikirim Nabi ke berbagai penguasa dunia. Dalam kisah-kisah
ini disebutkan bahwa surat Nabi yang dibawa para utusan tersebut ditulis di atas lembaran kulit (adîm).
10. Mushaf Ummu Salamah 10. Mushaf Ikrimah
11. Mushaf Abd Allah ibn Amr 11. Mushaf Atha‟ ibn Abi Rabah
12. Mushaf Ibn Abbas. 12. Mushaf Shalih ibn Kaisan
13. Mushaf Ibn al-Zubayr. 13. Mushaf Ja„far al-Shadiq.
14. Mushaf Ubayd ibn „Umair
15. Mushaf Anas ibn Malik

3. Stabilisasi Teks dan Bacaan al-Qur‟an


- Penyempurnaan Ortografi al-Quran
- Karakteristik Ortografi Utsmani

Ortografi (imlã‟) lama, atau scriptio defectiva, yang digunakan dalam salinan-
salinan al-Quran memiliki makna yang penting untuk sejarah teks kitab suci tersebut,
sekalipun sebagian besarnya hanya merupakan hal-hal yang bersifat teknis. Dari bentuk
ortografi inilah simpulan-simpulan tentang bahasa al-Quran dan munculnya ortografi baru
(scriptio plena) bisa ditarik.

Dalam ortografi Arab, kata-kata pada umumnya muncul tidak dalam bentuk ketika
ditempatkan dalam suatu konteks (siyãq, qarînah), melainkan dalam bentuk pausa. Tetapi,
dalam ortografi al-Quran, bentuk konteks juga digunakan.
BAB III

PENUTUPAN

A. Kesimpulan
Asal-usul dan Pewahyuan al-Quran Awal mula sejarah al-quran dimulai dari situasi
politik yang terjadi di jazirah arab, Kawasan terisolasi dari sisi daratan dan lautan. Tetapi,
bentuk pertanian yang dipraktekkan di luar oase-oase di Arabia pada umumnya bersifat
musiman karena ketergantungan yang sangat pada curah hujan, seperti ditamsilkan al-
Quran dalam berbagai kesempatan. Pada umumnya, pengikut-pengikut awal Nabi berasal
dari kalangan tertindas yang tidak memiliki posisi sosial penting, meskipun beberapa di
antaranya adalah pedagang kaya – seperti Abu Bakr al-Shiddiq (w. 634) – dan individu-
individu yang mengalami fermentasi keagamaan – seperti Utsman ibn Maz‟un. Kitab suci
kaum Muslimin, yang berisi kumpulan wahyu Ilahi yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad selama kurang lebih 23 tahun, secara populer dirujuk dengan nama “al-
Qur‟ãn” Sebagian besar sarjana Muslim memandang nama tersebut secara sederhana
merupakan kata benda bentukan (mashdar) dari kata kerja (fi„l ) qara‟a yang berarti,
“membaca.” Dengan demikian al-qur‟ãn bermakna “bacaan” atau “yang dibaca”
(maqrû‟). Hal ini telah menyebabkan sejumlah kecil sarjana Muslim memandang bahwa
terma itu diturunkan dari akar kata qarana, “menggabungkan sesuatu dengan sesuatu yang
lain” atau “mengumpulkan,” dan al-qurãn berarti “kumpulan” atau “gabungan.”

B. Saran
Kami sebagai pemakalah menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, untuk itu diperlukan kritik dan saran yang membangun demi
kelancaran proses pembelajaran dimasa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. M.M. Al-A‟Zami.(2005). The History The Qur’anic Text From Relevation to
Complication. Jakarta : Gema Insani.

Taufik. A. (2011). Rekontruksi Sejarah Al-Qur’an. Jakarta : Divisi Muslin Demokratis,


Yayasan Abad Demokrasi.

Wahyudin dan M. Saifulloh. (2013). Ulum Qur‟an, Sejarah dan Perkembangannya. Jurnal
Sosial Humaniora, 6(1), 21-31, http://iptek.its.ac.id/index.php/jsh/article/view/608

Anda mungkin juga menyukai