Anda di halaman 1dari 3

Memahami Multikulturalisme dalam Fikih Tarawih

Oleh: Ulfah Hayati Muzayanah

"Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya Nabi SAW, shalat di bulan Ramadlan dua puluh raka'at, (hadits
riwayat : Ibnu Abi Syaibah, Abdu bin Humaid, Thabrani di kitabnya Al-Mu'jam Kabir dan
Ausath, Baihaqi & Ibnu Adi dan lain-lain). Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin
Yusuf telah mengabarkan kepada Kami dari Ibnu Malik dari Syihab dari Humaid bio
abdurrahman dari abu Hurairah R.A. bahwa Rasulullah bersabda: ” Barangsiapa yang
melaksanakan qiyam Ramadhan (shalat Tarawih) karena iman kepada Allah dan mengharapkan
pahala (hanya dariNya) maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu”. Ibnu Syihab
berkatakemudian Rasulullah wafat. Namun orang-orang terus melestarikan tradisi menegakkan
malam Ramadhan (secara Bersama jamaah), keadaan tersebut terus berlanjut hingga zaman
kekhalifahan abu bakar dan awal-awal kekhalifahan Umar Bin Khattab (HR. Bukhori No. 2009)

Dan dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah bin Zubair dari Abdurrahman bin Abdul Qariy bahwa dia
berkata”aku keluar Bersama ‘Umar bin al Khattab r.a. pada malam Ramadhan menuju masjid
ternyata orang-orang shalat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah ada yang shalat sendiri
dan ada yang berjamaah yang jumlahnya kurang dari 10 orang. Maka ‘Umar berkata “Aku
berpikir bagaimana seandainya mereka semuanya shalat berjamaah dipimpin dengan 1 imam? Itu
lebih baik”. Kemudian ;umar memantapkan keinginannya lalu mengumpulkan mereka dan
Ubbay bin Ka’ab bertindak sebagai Imam. Kemudian aku keluar pada malam yang lain ternyata
orang-orang shalat dengan dipimpin oleh seorang imam, lalu ‘Umar berkata’ “sebaik-baiknya
bid’ah adalah ini. Dan mereka yang tidur lebih dahulu lebih baik daripada shalat lebih awal
malam. (HR. Bukhori no. 2010).

Dari dua hadis di atas menjelaskan tentang awal mula penegakan shalat malam (tarawih) di bulan
Ramadhan dalam perkembangannya ada perbedaan jumlah rakaat dalam pelaksanaan Tarawih.
Misalnya pada zaman Imam Madhab yakni Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Hambali dan
Imam Maliki. Pada masa Imam Syafi’i, Hanafi dan Hambali melaksanakan Shalat Tarawih 20
rakaat dan 3 (tiga) rakaat Witir itu pun ketika mendapatkan 2 (dua) salam atau 4 (empat) rakaat
diselingi dengan melaksanakan thowaf. Akan tetapi Imam Maliki melaksanakan di Masjid
Madinah tidak melaksanakan thowaf beliau melaksanakan shalat Tarawih 36 rakaat. Pelaksanaan
itu terus berlanjut pada masanya.

Dalam perkembangannya di Arab Saudi sekarang ini melaksanakan 11 rakaat yakni 8 (delapan)
rakaat tarawih dan 3 (tiga) rakaat untuk witir. Kebijakan ini diambil karena Umat Islam yang
shalat Tarawih di Masjidil haram dari berbagai negara dengan berbagai kekuatan fisik yang
berbeda.

Bagaimana praktik Tarawih di Indonesia? Kontroversi jumlah rakaat ini lebih popular diusung
oleh dua gerbong ormas yakni muhamadiyah dan nahdhatul Ulama. Hal ini tidak bisa dipungkiri
sudah lama terjadi dalam pelaksanaan Tarawih di Indonesia. Secara historis banyak diriwayatkan
bahwa Nabi Muhammad melaksanakan shalat 9 (sembilan) rakaat dengan 1 (satu) malam dan
sebagian riwayat menjelaskan bahwa Nabi memotong 2 (dua) rakaat rokaat dan 1 (satu) witir.
Seperti di kalangan NU Pelaksanaan Shalat Tarawih disetiap 2 (dua) rakaat salam kemudian
membaca bacaan assalatul Jama’ah dan membaca tasbih. Sedangkan yang lain misalnya
kalangan Muhammadiyah tidak ada selingan apapun dengan 2 (dua) rakaat salam dan ada juga
yang 4 (empat) rakaat salam.

Kenyataan ini kita temui dalam masjid atau musholla. Kadang mushola berdekatan dengan
praktik berbeda sesuai dengan yang menjadi imamnya dan golongan ormasnya. Praktik ini
menunjukkan bahwa satu macam shalat dengan jumlah pelaksanaan yang berbeda. Multikultur
seperti ini bagi Sebagian orang diperdebatkan yang tak kunjung usai saling meng klaeim
benarnya. Mungkin sampai akhir zaman tidak ada kebersamaan dalam jumlah rakaatnya. Atau
kita kenal dengan secara fikih tidak ada ijma’ (darojatil Ijma’) sehingga tidak ada kesalahan jika
melaksanakannya.
Praktik shalat Tarawih ini juga didaerah tertentu di Indonesia ada tradisi tradisi sendiri -sendiri
misalnya setelah tarawih jamaah bersantai dulu dengan makan makanan kecil yang disebut
dengan” Jaburan”. Di daerah lain ada acara Tarhim yakni Tarawih Silaturrahim dengan diawali
berbuka Bersama dan Tausiyah. Dan di banyak kabupaten melaksanakan safari Ramadhan.
Kondisi ini kental dengan budaya masyarakat mewarnai dalam Ritual Ramadhan.

Dari uraian tersebut kaifiyah shalat Tarawih ternyata bervariasi dalam pelaksanaannya yakni
pada jumlah rakaatnya mulai zaman Umar bin Khatab sampai sekarang. Sebagai seorang Muslim
dan Muslimah yang baik apa sikap kita? Pertama, penyadaran terhadap diri sendiri tentang
persoalan jumlah rakaat tarawih merupakan darojatil Ijma’ sehingga tidak seharusnya saling
menyalahkan tetapi menerima perbedaan dan menghormati bagi yang menjalankannya. Kedua,
melalui acara Tarawih Silaturrahim (Tarhim) memberikan wawasan tentang historis tarawih dan
hukumnya Ketiga, masing-masing ormas memberikan wawasan dalam berbagai kesempatan
tentang kekayaan pemikiran fikih yang terus berkembang. Keempat, pelaksanaan shalat Tarawih
lebih Fleksibel asalkan tempat itu suci dan mensucikan. Kelima, pihak pemerintah misalnya
pemerintah kabupaten memberikan wawasan kepada masyarakat tentang indahnya hidup
berdampingan saling menghormati dalam pelaksanaan ibadah tarawih. Seperti yang dilaksanakan
di Masjid akbar Surabaya imam shalat melaksanakan 23 rakaat sedangkan makmum bervariasi
ada yang melaksanakan 11 rakaat sehingga setelah melaksanakan 8 (delapan) rakaat maka
jamaah tersebut menunggu dengan berdzikir dan beri’tikaf sehingga pelaksanaan witirnya
Bersama-sama. Dan pelaksanaan seperti ini juga terjadi di banyak musholla.

Wallahu a’lam bi al shawab

Anda mungkin juga menyukai